Anda di halaman 1dari 30

8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Emergency Medical Service (EMS)


Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus
dipandang sebagai satu system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah.
Sistem mengandung pengertian adanya komponen-komponen yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta
dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat
diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang
berkelanjutan. Alasan kenapa upaya pertolongan penderita harus
dipandang sebagai satu system dapat diperjelas dengan skema di bawah ini
:
Injury &
Diss

Pre Hospital Stage

Hospital Stage

- First

- Emergenc

Responder
- Ambulance

y Room
- Operating

Service

24

Rehabilitatio
n-

Fisical
Psycologi

cal
Social

Room
- Intensif

jam
Care Unit
- Ward Care

Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera


akan sangat bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre
Hospital Stage bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan

kesehatan saja. Jika di tempat pertama kali kejadian penderita


mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya maka resiko
kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa diilustrasikan dengan
penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak dihentikan selama
periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit dalam
kondisi gagal ginjal.
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas
(The Golden periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga
dikenal

istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat berharga bagi

kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang tanpa


bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban.
Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap
kualitas hidup penderita nantinya yaitu :
Siapa penolong pertamanya
Berapa lama ditemukannya penderita,
kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan
dukungan pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong
pertama di wilayah Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang
awam yang tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang kemampuan
pertolongan bagi penderita gawat darurat.. Kecepatan penderita ditemukan
sulit kita prediksi tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi,
jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan
yang datang dan penolong pertama di tempat kejadian dapat kita
modifikasi.
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai
gerbang utama jalan masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan

10

suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan dalam hal kualitas dan


kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah
tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat
ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan
akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke
unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal perawatan.
Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa
keberhasilan pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat
yaitu penderita yang terancam nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi
banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian cederanya. Pertolongan
harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan
terkordinasi dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem
Pelayanan gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Jika bencana massal terjadi
dengan korban banyak, maka pelayanan gawat darurat harian otomatis
ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat darurat dalam bencana
(SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus mulai
memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat
terpadu.
1. Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
a) Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan
memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan
yang datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit
lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang
berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan

11

sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi


harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah
bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana
cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana
kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama
bencana berlangsung.
b) Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki
kemampuan menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika
penderita dapat langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin
selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan karena
cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan
jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak
yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber
perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi
& tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang
awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan
dasar yaitu :
- Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
- Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung)
- Menguasai teknik mengontrol perdarahan
- Menguasai teknik memasang balut-bidai
- Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum
karena bertugas sebagai pelayan masyarakat

seperti polisi, petugas

kebakaran, tim SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan lain
yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat
dalam kondisi :

12

Penyakit anak
Penyakit dalam
Penyakit saraf
Penyakit Jiwa
Penyakit Mata dan telinga
Dan lainya sesuai kebutuhan sistem
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat

diberikan kepada masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan


medis baik secara formal maupun informal secara berkala dan
berkelanjutan. Pelatihan formal di intansi-intansi harus diselenggarakan
dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang sama
dan lencana tanda lulus yang sama. Sehingga penolong akan memiliki
kemampuan yang sama dan memudahkan dalam memberikan bantuan
dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana masal.
c) Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya
dan personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut
dan udara. Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih
dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa
kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan
ambulan, itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi standar
gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan
dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
d) Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi
yang kini berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai
swasta memiliki jamsostek, masyarakat miskin mempunyai ASKESKIN.
Orang berada memiliki asuransi jiwa

13

e) Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara
periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.
B. TEMS (Tulungagung emergency medical service)
Tulungagung Emergency Medical Services (TEMS ) merupakan
sistem pelayanan kegawat daruratan medis dan non medis secara terpadu
dengan melibatkan kepolisi dan dan badan penanggulangan bencana
daerah,BPBD.
1.
a)
b)
c)

Jenis pelayanan TEMS


perawatan medis akut Pre Hospital,
transportasi ke perawatan definitif
transportasi medis lain untuk pasien dengan kesakitan dan cedera.

2. Tujuan TEMS
a) Memperkuat sistem pelayanan gawat darurat khususnya pra rumah sakit
dan rumah sakit (IGD) untuk mencapai standar minimal kawasan Asia
b) Memperkuat SDM khususnya dokter dan perawat melalui pendidikan
formal dan pelatihan2 serta magang, dari jenjang minimal sampai
pendidikan formal untuk mencapai standar minimal kawasan Asia
c) Mampu memberikan pelayanan gawat darurat yang terakreditasi
internasional disemua IGD rumah sakit
d) Diperlukan dokter dan perawat Indonesia yang kompeten di bidang
Emergency Medicine dan Emergency Nursing

3. Konsep TEMS
ini diintegrasikan dengan pelayanan di tingkat dasar seperti yang
ada di Puskesmas. Selain secara medis terintegrasi dengan Puskesmas,
layanan ini juga terkoneksi dengan command center yang dimiliki Polres

14

Tulungagung dan siaga bencana di BPBD. Untuk layanan ini, masyarakat


hanya tinggal menekan call center di 0355-320119, maka pusat komando
akan mengirim mobil ambulan. Selama dalam penanganan pasien di lokasi
kejadian, kondisinya akan terpantau lewat GPS yang terpasang pada
masing-masing mobil ambulan..

4. Prinsip dasar penangulangan gawat darurat


Pelayanan emergensi medik diwujudkan untuk memenuhi prinsip dasar
pertolongan pertama, yaitu :
a) Mempertahankan kehidupan
b) Mencegah cedera lebih lanjut
c) Mempercepat pemulihan

5. Bentuk sistem EMS kabupaten Tulungagung

15

C. Pendidikan Kesehatan
1. Definisi Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan merupakan suatu bentuk tindakan mandiri
keperawatan untuk membantu klien baik individu, kelompok, maupun
masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan
pembelajaran yang didalamnya

perawat sebagai perawat pendidik

(Suliha,dkk,2002). Menurut Notoatmodjo (2010) pendidikan kesehatan


adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar
masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara, dan
meningkatkan taraf kesehatannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan
kesehatan adalah suatu bentuk kegiatan dengan menyampaikan materi
tentang kesehatan yang bertujuan untuk mengubah perilaku sasaran.
2. Tujuan Pendidikan Kesehatan
Tujuan utama pendidikan kesehatan (Mubarak dan Chayati, 2009) yaitu :
a. Menetapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri.

16

b.Memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya,


dengan sumber daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan
dari luar.
c. Memutuskan kegiatan yang paling tepat guna untuk meningkatkan taraf
hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat
3. Sasaran Pendidikan Kesehatan
Menurut Notoadmojo (2003) sasaran pendidikan kesehatan dibagi
dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu :
a. Sasaran Primer (Primary Target)
Masyarakat pada umumnya menjadi sasaran langsung segala upaya
pendidikan atau promosi kesehatan. Sesuai dengan permasalahan
kesehatan, maka sasaran ini dapat dikelompokkan menjadi, kepala
keluarga untuk masalah kesehatan umum, ibu hamil dan menyusui untuk
masalah KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), anak sekolah untuk kesehatan
remaja, dan juga sebagainya.
b. Sasaran Sekunder (Secondary Target)
Yang termasuk dalam sasaran ini adalah para tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh adat, dan sebagainya. Disebut sasaran sekunder, karena
dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok

ini

diharapkan untuk nantinya kelompok ini akan memberikan pendidikan


kesehatan kepada masyarakat di sekitarnya.
c. Sasaran Tersier (Tertiary Target)
Para pembuat keputusan atau penentu kebijakan baik di tingkat pusat,
maupun daerah. Dengan kebijakan-kebijakan atau keputusan yang
dikeluarkan oleh kelompok ini akan mempunyai dampak langsung
terhadap perilaku tokoh masyarakat dan kepada masyarakat umum.
4. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari 3 dimensi
menurut Fitriani ( 2011) yaitu;

17

1) Dimensi sasaran
a. Pendidikan kesehatan individu dengan sasarannya adalah individu.
b. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasarannya adalah kelompok
masyarakat tertentu.
c. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasarannya adalah masyarakat
luas.
2) Dimensi tempat pelaksanaan
a. Pendidikan kesehatan di rumah sakit dengan sasarannya adalah pasien
dan keluarga
b. Pendidikan kesehatan di sekolah dengan sasarannya adalah pelajar.
c. Pendidikan kesehatan di masyarakat atau tempat kerja dengan
sasarannya adalah masyarakat atau pekerja.
3) Dimensi tingkat pelayanan kesehatan
a. Pendidikan kesehatan untuk promosi kesehatan (Health Promotion),
misal: peningkatan gizi, perbaikan sanitasi lingkungan, gaya hidup dan
sebagainya.
b. Pendidikan kesehatan untuk perlindungan khusus (Specific Protection)
misal : imunisasi
c. Pendidikan kesehatan untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat (Early
diagnostic and prompt treatment) misal : dengan pengobatan layak dan
sempurna dapat menghindari dari resiko kecacatan.
d. Pendidikan kesehatan untuk rehabilitasi (Rehabilitation) misal : dengan
memulihkan kondisi cacat melalui latihan-latihan tertentu.
5. Langkah-langkah dalam Penyuluhan Kesehatan
Menurut Effendy (1998) ada beberapa langkah yang harus ditempuh
dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan masyarakat, yaitu :
1) Mengkaji kebutuhan kesehatan masyarakat
2) Menetapkan masalah kesehatan masyarakat
3)Memprioritaskan masalah yang terlebih dahulu untuk ditangani melalui
penyuluhan kesehatan masyarakat
4) Menyusun perencanaan penyuluhan, seperti :
a) Menetapkan tujuan
b) Penentuan sasaran
c) Menyusun materi atau isi penyuluhan
d) Memilih metoda yang tepat

18

e) Menentukan jenis alat peraga yang akan digunakan


5) Pelaksanaan penyuluhan
6) Penilaian hasil penyuluhan
7) Tindak lanjut dari penyuluhan
6. Faktor-faktor Keberhasilan dalam Penyuluhan
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan terhadap sasaran dalam
keberhasilan penyuluhan kesehatan menurut Notoatmojo (2007) yaitu :
1) Faktor penyuluh yang meliputi kurangnya persiapan, kurangnya
penguasaan materi yang akan dijelaskan oleh pemberi materi, penampilam
yang kurang meyakinkan sasaran, bahasa yang digunakan kurang dapat
dimengerti oleh sasaran, suara pemberi materi yang terlalu kecil, dan
penampilan materi yang monoton sehingga membosankan.
2) Faktor sasaran yang meliputi tingkat pendidikan sasaran yg terlalu
rendah, tingkat sosial ekonomi sasaran yg terlalu rendah, kepercayaan dan
adat istiadat yang telah lama tertanam sehingga sulit untuk mengubahnya,
dan kondisi tempat tinggal sasaran yang tidak memungkinkan terjadinya
perubahan perilaku.
3) Faktor proses penyuluhan yang meliputi waktu penyuluhan tidak
sesuai dengan waktu yang diinginkan sasaran, tempat penyuluhan yang
dilakukan di tempat yang dekat keramaian sehingga menggangu proses
penyuluhan, jumlah sasaran yang terlalu banyak, alat peraga dalam
penyuluhan kesehatan kurang, metode yang digunakan kurang tepat, dan
bahasa yang digunakan sulit dimengerti oleh sasaran.
7. Metode Pendidikan Kesehatan
Menurut Notoadmojo (2003) agar mencapai suatu hasil yang
optimal, materi juga harus disesuaikan dengan sasaran. Demikian juga
alat bantu pendidikan. Untuk sasaran kelompok maka metodenya harus

19

berbeda dengan sasaran massa dan sasaran individual. Ada 3 macam


metode pendidikan kesehatan, yaitu :
1. Metode Pendidikan Individual (perorangan)
Metode ini digunakan untuk membina perubahan perilaku baru, atau
membina seseorang yang mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku.
Dasar digunakannya pendekatan individual ini karena setiap orang
mempunyai masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan
perilaku tersebut. Bentuk pendekatan ini, antara lain :
a. Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counceling)
Dengan cara ini kontak antara klien dan petugas lebih jadi lebih efektif.
b. Interview (wawancara)
Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan.
Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali
informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan.
2. Metode Pendidikan Kelompok
Dalam memilih metode pendidikan kelompok, harus diingat besarnya
kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal dari sasaran. Ada
beberapa macam metode kelompok tersebut, yaitu:
1) Kelompok besar
Apabila peserta penyuluhan itu lebih dari 15 orang, antara lain ceramah
dan seminar.
a. Ceramah
Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun
berpendidikan rendah.
b. Seminar
Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan
menengah ke atas. Seminar adalah suatu bentuk penyajian dari satu ahli
atau beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan
biasanya dianggap hangat di masyarakat.
2) Kelompok Kecil

20

Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang biasanya disebut


kelompok kecil. Metode-metode yang cocok untuk kelompok kecil ini
antara lain :
a. Diskusi Kelompok
Untuk memulai diskusi, pemimpin diskusi harus memberikan pancinganpancingan yang berupa pertanyaan sehubungan dengan topik yang
dibahas. Sehingga terciptalah diskusi kelompok.
b. Curah Pendapat (brain stroming)
Merupakan modifikasi diskusi kelompok, dimulai dengan memberikan
satu masalah, kemudian peserta memberikan jawaban/tanggapan.
Tanggapan/jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart/papan
tulis, sebelum semuanya mencurahkan pendapat tidak boleh ada komentar
dari siapa pun. Setelah semuanya mengemukaan pendapat, baru tiap
anggota boleh berkomentar dan akhirnya terbentuklah diskusi.
c. Bola Salju (snow balling)
Kelompok dibagi dalam pasangan-pasangan (1 pasang 2 orang) dan
kemudian dilontarkan suatu pertanyaan atau masalah. Setelah kurang
lebih 5 menit maka tiap 2 pasang bergabung menjadi satu. Mereka tetap
mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari kesimpulannya. Kemudian
tiap 2 pasang yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi
dengan pasangan lainnya dan demikian seterusnya sehingga akhimya
akan terjadi diskusi dari seluruh anggota kelompok.
d. Kelompok-kelompok kecil (buzz group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang
kemudian akan diberi suatu permasalahan yang sama atau tidak dengan
kelompok lain dan masing-masing kelompok mendiskusikan masalah
tersebut. Selanjutnya kesimpulan dari tiap kelompok tersebut didiskusikan
kembali dan dicari kesimpulannya.
e. Memainkan Peran (role play)

21

Beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peran tertentu.


Setelah mendapatkan peran mereka masing-masing, mereka kemudian
memainkan peran tersebut.
f. Permainan Simulasi (simulation game)
Metode ini merupakan gabungan antara role play dengan diskusi
kelompok. Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam bentuk permainan.
3. Metode Pendidikan Massa
Metode ini cocok untuk mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang
ditujukan kepada masyarakat. Berikut ini ada beberapa contoh metode
untuk pendekatan massa, yaitu :
a. Ceramah Umum (public speaking).
b. Pidato-pidato/ diskusi tentang kesehatan dapat dilakukan melalui media
elektronik, baik televisi maupun radio.
c. Simulasi contohnya seperti dialog antara pasien dengan perawat.
d. Billboard biasanya dipasang di tempat-tempat umum dan diisi dengan
pesan-pesan atau informasi informasi kesehatan.
8. Media Pendidikan Kesehatan
Media merupakan sesuatu yang bersifat menyalurkan pesan dan
dapat merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan audien sehingga dapat
mendorong terjadinya proses belajar pada dirinya. Tujuan penggunaan
media adalah untuk mempermudah sasaran memperoleh pengetahuan dan
ketrampilan. Kehadiran media mempunyai arti yang sangat penting, sebab
ketidakjelasan bahan yang akan disampaikan dapat dibantu dengan
menghadirkan

media

sebagai

perantara

(Mubarak

dkk,

2006).

Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan


(media), media ini dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu Media Cetak, Media
Elektronik, dan Media Papan (Bill board).
1) Media Cetak
a. Booklet : digunakan untuk menyampaikan pesan dalam bentuk buku,
baik tulisan maupun gambar.

22

b. Leaflet : melalui lembar yang dilipat, isi pesan bisa gambar/tulisan


ataupun keduanya.
c. Flyer (selebaran) ; seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan.
d. Flip chart (lembar Balik) ; pesan/informasi kesehatan dalam bentuk
lembar balik. Biasanya dalam bentuk buku, dimana tiap lembar (halaman)
berisi gambar peragaan dan di baliknya berisi kalimat sebagai
pesan/informasi berkaitan dengan gambar tersebut.
e. Rubrik/tulisan-tulisan : pada surat kabar atau majalah, mengenai
bahasan suatu masalah kesehatan, atau hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan.
f. Poster : merupakan suatu bentuk media cetak berisi pesanpesan/informasi kesehatan, yang biasanya ditempel di tembok-tembok, di
tempat-tempat umum, atau di kendaraan umum.
g. Foto : digunakan untuk mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.
2) Media Elektronik
a. Televisi : dapat dalam bentuk sinetron, sandiwara, forum diskusi/tanya
jawab, pidato/ceramah, TV, quiz, atau cerdas cermat.
b. Radio : bisa dalam bentuk obrolan/tanya jawab, ceramah.
c. Video Compact Disc (VCD)
d. Slide : digunakan untuk menyampaikan pesan/informasi kesehatan.
e. Film strip : digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan.
3) Media Papan (Bill Board)
Papan/bill board yang dipasang di tempat-tempat umum dapat dipakai diisi
dengan pesan-pesan atau informasi informasi kesehatan. Media papan di
sini juga mencakup pesan-pesan yang ditulis pada lembaran seng yang
ditempel pada kendaraan umum (bus/taksi).

D. Konsep Sikap
1. Definisi Sikap
Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai
objek atau situasi yang relatif, yang disertai perasaan tertentu dan
memberi dasar pada orang tersebut untuk membuat respon atau

23

berperilaku dalam acara tertentu yang telah dipilih (Sunaryo, 2004).


Menurut Azwar (2005) mendefenisikan sikap sebagai suatu pola, tendensi
atau kesiapan antisipasif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam
situasi sosial atau secara sederhana. Sikap adalah respon secara stimuli
sosial yang telah terkondisikan. Sikap yang terdapat pada diri individu
akan memberi warna atau corak tingkah laku ataupun perbuatan individu
yang bersangkutan. Dengan memahami atau mengetahui sikap individu,
dapat diperkirakan respon atau perilaku yang akan diambil oleh individu
yang bersangkutan. Kecenderungan bertindak dari individu, berupa
respon tertutup terhadapa stimulus ataupun objek tertentu adalah suatu
sikap (Sunaryo, 2004).
2. Struktur Sikap
Menurut Azwar (1993 dalam Sunaryo, 2004) bahwa sikap memiliki tiga
komponen yang membentuk struktur sikap yang ketiganya saling
menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif.
1) Komponen Persepsi (perceptual)
Berisi kepercayaan individu yang berhubungan dengan hal-hal bagaimana
persepsi individu terhadap objek sikap, dengan apa yang dilihat dan
diketahui(pengetahuan),

pandangan,

pikiran,

pengalaman

pribadi,

kebutuhan emosional dan informasi dari orang lain.


2) Komponen Afektif (affective/emosional)
Komponen ini menunjuk pada dimensi emosional sebjek individu,
terhadap objek sikap baik yang positif (rasa senang). Reaksi emosional
banyak dipengaruhi oleh apa yang kita percayai sebagai sesuatu yang
benar terhadap objek sikap tersebut.
3) Komponen Kognitif (cognitive/perilaku)
Yaitu komponen sikap yang berkaitan dengan predisposisi atau
kecenderungan bertindak terhadap objek sikap yang dihadapinya.

24

Menurut Notoatmodjo (2003 dalam Sunaryo, 2004) bahwa struktur sikap


terdiri dari tiga komponen pokok yaitu:
1) Komponen kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu
objek.
2) Komponen yang meliputi kehidupan emosional atau evaluasi individu
terhadap suatu objek sikap.
3) Komponen predisposisi atau kesiapan/kecenderungan individu untuk
bertindak.

3. Tingkatan Sikap
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap memiliki empat tingkatan dari yang
terendah sampai yang tertinggi, yaitu:
a) Menerima (receiving)
Menerima dapat diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap periksa
kehamilannya, dapat diketahui atau diukur dari kehadiran ibu untuk
mendengarkan penyuluhan yang telah diberikan.
b) Merespon (responding)
Menanggapi ini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi apabila ditanya. Menyelesaikan dan
mengerjakan tugas adalah salah satu indikasi dari sikap.
c) Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan sebagai subjek atau seseorang memberikan nilai
yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya
dengan orang

lain dan

bahkan mengajak,

mempengaruhi

atau

menganjurkan orang lain merespon. Pada sikap ini individu mengajak


orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
d) Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap
apa yang telah diyakininya atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

25

dengan segala resiko yang mungkin akan dialaminya, merupakan sikap


yang paling tinggi.
Pada manusia sebagai faktor sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari
pengaruh interaksi satu sama lainnya (eksternal). Disamping itu manusia
juga individu, sehingga apa yang datang dari dirinya (internal) juga
mempengaruhi pembentukan sikap (Notoadmodjo, 2003).
4. Faktor-Faktor

yang

Mempengaruhi

Pembentukan

dan

Pengubahan Sikap
Manusia sebagai faktor sosial, pembentukan sikap tidak lepas dari
pengaruh interaksi satu sama lainnya (eksternal). Disamping itu manusia
juga individu, sehingga apa yang datang dari dalam dirinya (internal) juga
mempengaruhi pembentukn sikap (Notoadmojo, 2003).
1) Faktor Internal
Dalam hal ini individu menerima, mengolah dan memilih segala sesuatu
yang datang dari luar, serta menentukan mana yang akan diterima dan
mana yang akan ditolak. Faktor internal menyangkut motivasi dan sikap
yang bekerja dalam diri individu pada saat itu, serta mengarahkan minat,
perhatian (psikologis) juga perasaan sakit,lapar dan haus (faktor
fisiologis).
2) Faktor Eksternal
Merupakan stimulus untuk membentuk dan menentukan sikap. Stimulus
tersebut dapat bersifat langsung, misalnya individu dengan individu,
individu dengan kelompok. Dapat juga bersifat tidak langsung yaitu
melalui perantara seperti alat komunikasi dan sebagainya.
5. Pembentukan dan Perubahan Sikap
Menurut Wirawan (2000, dalam Sunaryo, 2004) ada beberapa cara untuk
membentuk dan mengubah sikap individu, yaitu:
1) Adopsi

26

Adopsi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui


kejadian yang terjadi berulang dan terus menerus sehingga lama kelamaan
secara bertahap hal tersebut akan diserap oleh individu dan akan
mempengaruhi pembentukan serta perubahan sikap individu.
2) Diferensiasi
Diferensiasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap karena
sudah

dimilikinya

pengetahuan,

pengalaman,

intelegensi

dan

bertambahnya umur. Oleh karena itu hal-hal yang terjadi dianggap sejenis,
sekarang dipandang tersendiri dan lepas dari sejenisnya sehingga
membentuk sikap tersendiri.
3) Integrasi
Integrasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap yang terjadi
secara bertahap, diawali dari bermacam-macam pengetahuan dan
pengalaman yang berhubungan dengan objek sikap tertentu sehingga
akhirnya terbentuk sikap terhadap objek tersebut.
4) Trauma
Trauma adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui
kejadian secara tiba-tiba dan mengejutkan. Sehingga menimbulkan kesan
mendalam dalam diri individu. Kejadian tersebut akan mengubah sikap
individu terhadap kejadian sejenis.
5) Generalisasi
Generalisasi adalah suatu cara pembentukan dan perubahan sikap karena
pengalaman traumatik pada diri individu yang dapat menimbulkan sikap
negative terhadap semua hal yang sejenis.
6. Pengukuran Sikap
Mengukur sikap tidak lain adalah mencoba membentuk peringkat sikap
seseorang menurut ciri-ciri yang sudah ditetapkan. Pada umumnya
pengukuran sikap dapat dibagi dalam tiga cara yaitu: wawancara,
observasi dan kuesioner. Setiap cara memiliki keuntungan dan

27

keterbatasan sehingga peneliti perlu mempertimbangkan cara yang sesuai


dengan tujuan penelitian sikap (Gayatri,2004). Skala yang digunakan
dapat berupa skala nominal, ordinal maupun interval. Skala sikap yang
sering digunakan adalah: pertama skala mode Thrustone, dengan skala ini
responden diminta untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap
deretan pernyataan mengenai objek sikap. Skala yang kedua adalah model
Likert, dengan skala ini responden diminta untuk membubuhkan tanda
cek pada salah satu dari lima kemungkinan jawaban yang tersedia sangat
setuju, setuju, tidak tentu, tidak setuju, sangat tidak setuju.
Peneliti dapat menyingkatnya menjadi empat tingkatan sesuai dengan
keinginan dan kepentingan peneliti yang mencipatakn instrumen tersebut,
seperti selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah. Ketiga adalah
semantic differensial (perbedaan semantik). Dengan instrumen ini
responden diminta untuk menetukan peringkat terhadap objek sikap
diantara dua kutub. Kata sifat yang berlawanan misalnya: baik-tidak
baik, berharga-tidak berharga, dan sebagainya. Keempat adalah skala
Guttman, merupakan semacam pedoman wawancara/kuesioner terbuka
yang

dimaksud

untuk

membuka

sikap.

Kelima

adalah

skala

Inkeles,merupakan jenis kuesioner tertutup seperti tes prestasi belajar


dalam bentu pilihan ganda (Arikunto, 2006).
E. Kegawatdaruratan
1. Definisi Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan merupakan keadaan yang bermanifestasikan
gejala-gejala akut akan adanya suatu keparahan pada tingkatan tertentu,
dimana apabila pada keadaan tersebut tidak diberikan perhatian medis

28

yang memadai, dapat membahayakan keselamatan individu bersangkutan,


menyebabkan timbulnya gangguan serius fungsi tubuh ataupun terjadinya
disfungsi organ atau kecacatan.(ACEP, 2013).
Menurut The American Hospital Association (AHA) dalam Herkutanto
(2007) pengertian gawat darurat adalah: An emergency is any condition
that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the
responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate
medical attention. This condition continues until a determination has been
made by a health care professional that the patients life or well-being is
not threatened. Akan tetapi, ternyata dalam praktek nyatanya, banyak
keadaan yang dianggap gawat darurat, pada akhirnya setelah melalui
proses observasi dan evaluasi yang memadai, dianggap bukan suatu
keadaan gawat darurat.
Maka perlu dibedakan keadaan false emergency dengan true emergency.
A true emergency is any condition clinically determined to require
immediate medical care. Such conditions range from those requiring
extensive immediate care and admission to the hospital to those that are
diagnostic problems and may or may not require admission after work-up
and observation.
2. Keadaan-keadaan kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan dalam bidang medis dapat bermanifestasikan berbagai
gejala dan tampilan yang beragam. Keadaan-keadaan gawat darurat yang
dapat kita temukan sehari-hari adalah seperti (American College of
Emergency Physicians, 2004) :
a. Nyeri dada
b. Sindroma Koroner Akut
c. Diseksi Aorta
d. Nyeri Abdomen

29

e. Aneurisma Aorta Akut


f. Apendisitis Akut
g. Perdarahan subarahnoid
h. Demam pediatrik
i. Meningitis
j. Masalah airway
k. Trauma
l. Cedera Kepala
m. Cedera Spinal
n. Luka
o. Fraktur
p. Torsi Testikular
q. Kehamilan Ektopik
r. Sepsis
3. Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Penanganan awal ataupun sering disebut pertolongan pertama
merupakan pertolongan secara cepat dan bersifat sementara waktu yang
diberikan pada seseorang yang menderita luka atau terserang penyakit
mendadak. Pertolongan ini menggunakan fasilitas dan peralatan yang
tersedia pada saat itu di tempat kejadian. (Nasution, 2009)
4. Tujuan Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Tujuan yang penting dari penanganan awal kegawatdaruratan adalah
memberikan perawatan yang akan menguntungkan pada orang-orang
tersebut sebagai persiapan terhadap penanganan lebih lanjut. Dalam
penanganan pasien-pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat
penting, maka diperlukan suatu cara penilaian yang cepat untuk
menentukan tindakan perawatan yang harus diberikan sesegera mungkin
dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang. Terdapat suatu
pendekatan yang dikenal dengan Initial Assesment (Penilaian Awal) yang
meliputi (ATLS, 2009) :
a.
Persiapan
b.
Triase
c.
Primary survey (ABCDE)
d.
Resusitasi

30

e.
f.
g.
h.
i.

Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi


Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
Tambahan terhadap secondary survey
Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
Penanganan definitif

Tahapan-tahapan penilaian awal ini merupakan suatu urutan


kejadian progresif yang berjalan secara linier ataupun longitudinal. Dalam
situasi klinis sesungguhnya, pelaksanaannya dapat berjalan secara paralel
ataupun bersamaan. Prinsip dasar dalam ATLS adalah membantu dalam
penilaian dan pemberian resusitasi pasien-pasien gawat darurat. Penilaian
dibutuhkan untuk mengetahui prosedur mana saja yang perlu dilakukan,
karena tidak semua pasien membutuhkan seluruh prosedur ini. Primary
Survey yang meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
dan Exposure/Environmental) adalah bagian awal dari penanganan suatu
kegawatdaruratan. Dalam proses ini, fungsi vital pasien gawat harus
dinilai secara cepat dan segera diberikan perawatan untuk pertolongannya.
5. Primary Survey Penanganan awal
Dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi keadaankeadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-tahapan
sebagai berikut :
A : Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal
B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi
C : Circulation, kontrol perdarahan
D : Disability, status neurologis
E : Exposure/Environmental control
a) Airway
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ
vital lainnya merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling
cepat. Obstruksi airway akan menyebabkan kematian dalam hitungan

31

beberapa menit. Gangguan pernapasan biasanya membutuhkan beberapa


menit lebih lama untuk menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi
biasanya lebih memakan waktu yang lebih lama lagi. Maka dari itu,
penilaian airway harus dilakukan dengan cepat begitu memulai penilaian
awal. (Greaves, 2006)
Menurut ATLS 2009, kematian-kematian dini yang disebabkan
masalah airway, dan yang masih dapat dicegah, sering disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
b) Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. (American College of
Surgeons, 2009) Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup
kedalam dengan yang dihembuskan ke luar dari paru.
c) Circulation
Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan
oleh banyak jenis perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan
perdarahan adalah masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan.
(American College of Surgeons, 2009)
d) Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan
neurologis yang

cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari

pemeriksaan tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tandatanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis. (American College of
Surgeons, 2009)

32

Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan suatau


spektrum keadaan yang luas mulai dari letargi sampai status koma.
Perubahan apapun yang mengganggu jaras asending sistem aktivasi
retikular dan sambungannya yang sangat banyak dapat menyebabkan
gangguan tingkat kesadaran. (Smith, 2010)
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan
menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan
metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder.
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai eye opening penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah
penderita:
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung
kuku jari tangan)
d. Tidak memberikan respon
2. Menilai best verbal response penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah
penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon
3. Menilai best motor respon penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah
penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d. Fleksi abnormal (decorticated)

33

e. Ektensi abnormal (decerebrate)


f. Tidak memberikan respon Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang
diperoleh, semakin jelek kesadaran)
e) Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus
dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian
tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log
roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat,
ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi. (Nasution,
2009)
6. Peran Perawat dan Bidan dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan
a) Peran Perawat
Berdasarkan data dalam daftar dan unit kodifikasi mengenai
standar kompetensi seorang perawat di dalam Standar Kompetensi
Perawat Indonesia, dikatakan bahwa seorang perawat baik perawat
vokasional, ners, ners spesialis, maupun ners konsultan, semuanya harus
mampu mengidentifikasi dan melaporkan situasi perubahan yang tidak
diharapkan, meminta bantuan cepat dan tepat dalam situasi gawat
darurat/bencana dan menerapkan keterampilan bantuan hidup dasar
sampai bantuan tiba. Tambahan lain bagi seorang ners spesialis adalah
berkemampuan mengambil peran kepemimpinan dalam triage dan
koordinasi asuhan klien sesuai kebutuhan asuhan khusus. Sedangkan
untuk sseorang ners konsultan harus juga mampu memobilisasi dan
mengkoordinasikan sumber daya dan mengambil peran kepemimpinan
dalam situasi gawat darurat dan/atau bencana.
b) Peran Bidan

34

Dalam Standar Kompetensi Bidan Indonesia, seorang bidan


dituntut untuk mememiliki keterampilan dalam memberikan asuhan
kegawatdaruratan terutama dalam kegawatdaruratan kebidanan, seperti
prolaps tali pusat, distosia bahu, malpresentasi,dan keadaan gawat janin.
Akan tetapi disebutkan juga bahwa bidan harus berkompetensi dalam
memberikan

pertolongan

kegawatdaruratan

terus

menerus

sesuai

kebutuhan seperti melakukan resusitasi bayi baru lahir, kegawatdaruratan


maternal seperti perdarahan, resusitasi jantung paru maupun keadaan
gawat napas.
7. Aspek Hukum

dan

Medikolegal

dalam

Penanganan

Awal

Kegawatdaruratan
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena
mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Dipandang dari segi
hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Pada
keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:
- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
- Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat
darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan
kematian.Situasi emosional dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan
pekerjaan tenaga kesehatan yang di bawah tekanan mudah menyulut
konflik antara pihak pasien dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan.
(Herkutanto, 2007)
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan
bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu

35

kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga


kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari
tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat
merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat
dihindari, khususnya tindakan medis yang mengandung risiko. Pengaturan
kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur
dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan
bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan
tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase
di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki
kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk
tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan
tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus
menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu.

F. Kerangka Konseptual

36

Penelitian kerangka konsep adalah bagian penelitian yang


menyajikan konsep

teori dalam bentuk kerangka konsep penelitian

(hidayat,2009)
Pendidikan kesehatan m
(EDUKASI)
TEMS(Tulungagung
Emergrncy Medical
Service)
SIKAP
Baik
Sedang
kurang

Komponen
TEMS :
Jenis
pelayanan
tujuan
konsep

Keterangan:

Penanganan
kegawatdaruratan

: diteliti
Huruf dicetak tebal : diteliti
: tidak diteliti

Gambar 2.2: Kerangka konsep hubungan pendidikan kesehatan dengan TEMS,


menjelaskan bahwa TEMS
antaranya jenis

mempunyai beberapa komponen di

pelayanan,tujuan dan kosep dalam penanganan

kegawat daruratan. Faktor-faktor tersebut bisa menimbulkan sikap


masyarakat terhadap adanya TEMS. Pendidikan kesehatan dapat

37

mempengaruhi sikap masyarakat terhadap adanya TEMS dalam


penanganan cepat kegawat daruratan

G. Hipotesis
Hipotesis adalah asumsi pertanyaan tentang hubungan antara dua atau
lebih variable yang di harapkan bisa menjawab pertanyaan dalam
penelitian. Setiap hipotesis terdiri dari suatu unit atau bagian dari
permasalahan (Nursalam 2003).
H1 : Ada pengaruh pendidikan kesehatan TEMS terhadap sikap
masyarakat dalam penanganan cepat kegawatdaruratan
H0 : Tidak ada pengaruh pendidikan kesehatan TEMS terhadap sikap
masyarakat dalam penanganan cepat kegawatdaruratan

Anda mungkin juga menyukai