Anda di halaman 1dari 28

Film Preservation

Do or Dont

Monday, May 26, 14

Preservasi Film Nasional

Monday, May 26, 14

Budayawan Armin Pane (1953)


dalam sebuah artikelnya, mengutip
pendapat Sigfreid Kracauer
menyatakan bahwa: media film
merupakan pencerminan paling
nyata masalah mentalitas, budaya
dan perkembangan suatu
masyarakat, melebihi media seni
yang lain.

Setidaknya ada dua hal yang


menguatkan alasan tersebut;
Pertama film merupakan kerja
koleklif yang melibatkan banyak
unsur sampai sebuah film ditonton
khalayaknya. Yang kedua, film
diproduksi untuk ditonton oleh
khalayak sebanyak mungkin. Oleh
karena itu film diproduksi tidak bisa
lepas dari konteks masyarakat yang
melingkupinya.

Film Nasional

Monday, May 26, 14

Sebagai produk budaya sebuah


masyarakat bangsa dan negara,
dalam satu kurun waktu yang
panjang dan akan terus berlangsung
sampai
masa
depan.
pendokumentasian film merupakan
hal penting.

Meski film nasional baru mulai sejak


tahun 1927, dan tentu peristiwa
tersebut merupakan lonjakan
teknologi mekanis di bidang kesenian
Indonesia, tetapi upaya
pelestariannya merupakan sesuatu
yang tidak menjadi prioritas. Adanya
Sinematek
di Indonesia masih
belum mampu menyimpan khasanah
budaya film nasional. Upaya
pelestarian film Indonesia sudah
saatnya menjadi perhatian semua
pihak pemangku kepentingan
industri film.

Monday, May 26, 14

Mengapa perfilman nasional perlu


dilestarikan?

Apakah film-film nasional yang


didominasi seksploitasi, kekerasan,
mistis dan miskin logika perlu
dilestarikan?

Menurut kesejarahan, apapun produk


budaya masyarakat merupakan
pencerminan dari budaya suatu
masyarakat pada masanya.

Sejauhmana budaya masyarakat dapat


tercermin dari produk film perlu
dilakukan penelitian yang mendalam.
Penelitian yang dilakukan oleh Sigfried
Kracauer tentang film-film Jerman
sebelum kemunculan Hitler
menunjukkan betapa siapnya
masyarakat Jerman saat itu akan
datangnya sistem totaliter yang
dikemudian hari berujuwd system
diktatorial Adolf Hitler melalui Nazi.

Film Nasional

Monday, May 26, 14

Selama 1900-1950 ada sekitar 230 bioskop


di kota-kota besar Indonesia yang
memainkan 2 sampai 3 film setiap minggu.

Pada tahun 1925, Bioskop Concordia di


Bandung memainkan The Four Horsemen of
the Appocalypse, sementara Bioskop Taman
Deca tahun 1932 memainkan King of Jazz;
All Quiet on He Westn Front; Liebe auf Befel;
Free Love; dan banyak film-film baru lainnya,
lebih awal bahkan dari penayangan di
Belanda sendiri (Biran, 2009).

Momentum dari kehadiran bioskop pertama


kali di Hindia Belanda diprakarsai oleh
Scharwz dengan bioskop yang dirikannya
bernama De Nederlandsche Bioscope
Maatchappij yang mulai beroperasi pada
akhir tahun, 5 Desember 1900. Scharwz
adalah pelopor yang mengusung konsep
bioskop menetap. Scharwz juga digunakan
sistem promosi melalui surat kabar untuk
mempromosikan jadwal penayangan film di
bioskopnya, melalui surat kabar Bintang
Betawi (Nugraha, 2008: 4).

Film Produksi Pertama

Monday, May 26, 14

Pada tahun 1926, film Hindia Belanda


pertama Loetoeng Kasaroeng,
diproduksi oleh L. Heuveldorp (NV Java
Film Co). Produksi film ini menandai
era baru pertumbuhan industri film
Indonesia.

Bangsa asli Indonesia selama


kepemimpinan mereka mengambil
bagian dalam industri film sebagai
aktor atau asisten sutradara. Hanya
kemudian, setelah Indonesia
menyatakan kemerdekaannya, kaum
intelektual Indonesia mulai mengambil
peran penting dalam pengembangan
industri film Indonesia.

Melalui kesadaran bahwa film dapat


digunakan sebagai media untuk
mengkritisi kondisi sosial dan
menanamkan nilai-nilai nasional,
pembuat film di era 1950-an mulai
memproduksi film-film idealis dan
mengikutsertakan hasil karyanya pada

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Ira Maya dan Kakek Ateng

Monday, May 26, 14

Ira Maya Putri Cinderella

Monday, May 26, 14

Warkop DKI

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Petualangan Sherina

Monday, May 26, 14

AADC

Monday, May 26, 14

Film dan Pita Seluloid

Monday, May 26, 14

Film diawali oleh teknologi


pita film seluloid. Seluloid
adalah sejenis plastik
yang berbahan
nitroselulosa.

Jenis pita seluloid:

1. 8 mm

2. Super 8 mm

3. 16 mm

4. 35 mm

5. 65 mm dan 70 mm

Monday, May 26, 14

Pita 8mm: pita ini dibuat untuk


kamera khusus yang
dikembangkan oleh Eastman
Kodak pada tahun 1932 dengan
tujuan bagi para pengguna
rumahan. Maka dari itu
produksi film dengan pita 8mm
dihitung lebih murah daripada
ukuran yang lain. Ukuran 8mm
itu mengacu pada jarak
diagonal tiap frame pita. Ratarata pita film seluloid jenis ini
mampu merekam antara 3-5
menit, dan bergerak pada
kecepatan 12, 15, 16, dan 18
frame per detik.

Monday, May 26, 14

Super 8 camera adalah pengembangan dari


kamera 8mm dan dirilis pada tahun 1965.
Pada masanya, ini adalah pilihan para
filmmaker amatir. Gambar yang dihasilkan
sedikit lebih bagus daripada kamera 8mm.
Tidak terlalu banyak perbedaan antara
kamera 8mm dengan Super 8.

Perbedaan yang mendasar hanya terletak


pada ukuran materi yang digunakan. Untuk
Super 8, ukuran materi seluloid yang
digunakan sedikit lebih besar untuk setiap
framenya. Selain itu, ukuran lubang di
samping frame pada pita seluloid super 8
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan
pita 8mm.

Karena bentuknya yang kecil dan ringan ,


serta pengoperasiannya mudah, kamera
8mm dan kamera super 8 lebih banyak
digunakan untuk keperluan shooting
rumahan. Pada jamannya, kamera 8mm dan
super 8 meyerupai consumer camcorder di
jaman sekarang.

Monday, May 26, 14

Kamera ini menggunakan pita


seluloid yang diagonalnya 16mm.
Jenis film 16mm ini dikembangkan
oleh Eastman Kodak pada tahun
1923. Tujuannya pada saat itu
adalah sebagai alternatif membuat
film yang lebih murah
dibandingkan dengan film 35mm.
Biarpun pada awalnya ditujukan
bagi filmmaker amatir, namun ke
depannya kamera 16mm menjadi
cukup populer di kalangan
filmmaker, terutama yang
budgetnya cukup ketat.

Di Indonesia sendiri, rata-rata iklan


dan film yang menggunakan
seluloid memakai kamera film
16mm. Variasi lain dari kamera
16mm adalah super 16mm, namun
tidak terlalu banyak berbeda.
Hanya ukuran diagonal framenya
yang sedikit lebih besar.

Kamera 35 mm sampai saat ini masih menjadi favorit


banyak filmmaker (walaupun banyak juga yang sudah
beralih ke High Definition). Lagi-lagi, 35 mm diambil
dari ukuran diagonal pita seluloidnya. Ukuran pita ini
sama dengan pita seluloid yang digunakan pada
fotografi. Bedanya, pada kamera foto posisi pita
horizontal, sedangkan pada pita kamera film posisi pita
vertikal.

Dasar dari kamera ini ditemukan oleh Lumiere


bersaudara, sedangkan pita 35mm sendiri ditemukan
oleh William Dickson dan Thomas Edison,berdasarkan
film stock yang disuplai oleh George Eastman. 35 mm
sudah mengalami beberapa modifikasi, dari yang
tadinya hitam putih, menjadi bisa menerima warna,
dan dari yang tadinya tidak bisa menangkap suara,
menjadi bisa menerima sinyal suara.

35mm adalah ukuran standar di dunia film dan


beberapa festival besar hanya menerima format akhir
berupa 35mm. 35mm juga merupakan standart yang
digunakan di bioskop-bioskop, sehingga film dengan
hasil akhir 35mm bisa diputar di seluruh dunia. Namun
dewasa ini, sudah ada bioskop-bioskop yang bisa
memutar format digital.

Film-film berbudget besar masih cenderung memilih


kamera 35mm untuk shooting, karena kualitas
gambarnya masih belum ada yang mengalahkan.
Selain itu juga ada perasaan gengsi tersendiri ketika
shooting menggunakan kamera 35mm.

Monday, May 26, 14

Monday, May 26, 14

Selain itu ada juga kamera


dengan format 65mm dan
70mm. Namun kedua jenis ini
tidak begitu populer karena
biaya yang harus dikeluarkan
untuk kedua jenis kamera ini
sangatlah mahal. Film yang
menggunakan jenis kamera
ini biasanya adalah film-film
IMAX.

Proses Restorasi Film

Monday, May 26, 14

Anda mungkin juga menyukai