Pterigium
Pterigium
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan
umumnya bilateral di sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan
bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium
membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat
secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah
perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti
mengurangi resiko kekambuhan.( Voughan, 2009)
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus
pterygium cukup sering didapati. Mereka yang sering bekerja di bawah
cahaya matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi karena faktor
risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa
dipengaruhi juga oleh papaparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu
atau kekeringan), karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar
hidupnya berada pada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari,
berdebu dan berpasir. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013
prevalensi pterigium di indonesia 8,3%, Prevalensi pterygium tertinggi
ditemukan di Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara
Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium
terendah, yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen. (Riskesda, 2013)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konjungtiva
2.1.1 Anatomi Konjungtiva
bulbaris
sekitar
kornea
disebut
dan
dalam
bagian-bagian
Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit.
Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak
ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan
awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva
pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.
3.
Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
Lapisan
superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus
preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu
nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
(Laszuarni, 2009)
2.2 PTERIGIUM
2.2.1 Definisi
Menurut American Academy of Ophthalmology pterigium adalah
kata dari bahasa Yunani, pterygos, "sedikit sayap") adalah berbentuk sayap,
pembuluh darah, pertumbuhan berdaging yang berasal dari konjungtiva dan
yang dapat menyebar ke limbus kornea dan seterusnya. (AAO, 2012)
Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu proses degeneratif dan
hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul
pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea
antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. (Dzunic, 2010)
Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk
segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif . pertembuhan ini biasanya
terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang
meluas ke daerah kornea.
Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif,
pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan
untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah
reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.
Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin
menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang
mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga
memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi. (Dzunic, 2010)
2.2.2 Epidemiologi
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian
dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi
epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari
yang kronis, dengan meningkatnya
khatulistiwa 'sabuk
orang
berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis
13 utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi
(23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia
40-101 tahun)
pterigium
(6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki
tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia
lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih
tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali
dengan penduduk kulit hitam dari Barbados. (Gazzar, 2002)
Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera
meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang jarang terjadi untuk
seseorang menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari
40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium,
sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi
terjadinya pterigium. Hal yang berbeda dengan beberapa studi dimana
pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.
2.2.4 MORBIDITAS DAN MORTALITAS
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam
fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi
inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah. (Fisher, 20
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali
lebih banyak dibandingkan wanita. (Fisher, 2009)
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20
tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi. (Fisher, 2009)
2.2.4 Etiologi
Ada sejumlah teori mencoba untuk menjelaskan patogenesis
pterygium Namun, etiologi belum ditentukan. Kebanyakan penelitian telah
menunjukkan variasi geografis dalam insiden, dengan negara-negara yang
lebih dekat ke khatulistiwa yang menunjukkan tingkat yang lebih tinggi
terjadinya pterigium. (AAO,2012). Diperkirakan penyakit ini sering terjadi
pada orang yang tinggal di iklim panas. oleh karena itu kontak yang terlalu
lama terhadap sinar ultraviolet, panas, angin tinggi dan debu dapat
menyebabkan pembentukan pterygia. Baru-baru ini, beberapa virus juga
memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin. (Swastika, 2008)
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk
limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal
ini
mengaktifkan
faktor
pertumbuhan
jaringan
yang
menginduksi
2.2.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pterygium terjadinya pterigium sangat berhubungan erat
dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang
kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B
merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gen P53 yang teradapat pada
stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF
( vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenese, migrasi
sel, dan angigenesis. Akibat terjadinya perubahan degenerasi kolagen dan terlihat
jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular
dibawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnnya menembus kornea.
Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran bowman yang disebabkan oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan.
Kerusakan membran bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi dysplasia. (Drakeiron, 2009)
Defisiensi Limbal Stem cell, Limbal stem cell adalah sumber regenerasi
epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjugtivalisasi
pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan
konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada
pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
pterigium merupakan defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem
cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi
fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaaan histopatologi daerah
kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan
basofilia dengan menggunakan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin, pemusnahan
lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas, epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukan area hiperplasia dari sel goblet. (Chui, 2011)
astigmat.
Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona
optic.
Merupakan
bentuk
pterigium
yang
paling
berat.
ketika bagian
Gambar 6. Pterigium
2.2.8 Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga
ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di
luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta
dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya. (Laszuarni, 2009)
Pemeriksaan fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar
mata (sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada
permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat
merah akibat dari iritasi dan peradangan.
Gambar. Pterigium
keterangan:
A.
Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi
dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea
B.
C.
Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung
dan
badan.
Derajat
pertumbuhan
pterigium
ditentukan
Derajat 1
Derajat 2
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium. (Fisher, 2011)
2.2.9 Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Penanganan pterigium
pada tahap awal adalah berupa tindakan konserfatif seperti penyuluhan
pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet
dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan
atau topical lubricating drops. (Anton,2010)
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium
yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC
juga cukup berat. (inascrs,2011)
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
B. Teknik Pembedahan
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya
mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.8
Gambar. Pinguecula
2. Pseudopterigium
Pseudopterigium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada
konjungtiva yang berbeda dengan pterigium, dimana pada pseudopterigium
terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera.
Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea sedangkan
pterigium tidak. Kadang- kadang dapat dibedakan dengan melihat pembuluh
darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium daripada
pseudopterigium. Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai
dengan konjungtiva bulbi normal. (Ilyas, 2007)
Gambar. Pseudopterigium
2.2.11 Komplikasi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan berbentuk segitiga
yang meluas dari konjungtiva hingga menutupi kornea. salah satu dari
sekian banyak kelainan pada mata, hal ini di sebabkan oleh letak
geografis yang berada digaris khatulistiwa sehingga banyak terpapar
oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari
piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya
aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh
pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala
apapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif,
gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan
tergantung dari stadiumnnya.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya
perawatan secara konservatif dengan memberikan obat anti inflamasi
jika ada inflamasi dan menggunakan kacamata untuk melindungi dari
sinar UV. Pada pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut
DAFTAR PUSTAKA
7. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG,
Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook
Atlas 2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
8. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated :
2009. Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed July 7 ,
2012.
Anton,
dkk.
Pterigium.
2010.
Availableble
from
www.
Inascrs.org/pterygium/
Caldwell,
M.
Pterygium.
2011.
Available
from:
www.eyewiki.aao.org/Pterygium
Drakeiron.
Pterigium.
2009.
Available
from:
http://drakeironn.wordpress.com/infopterigium
Erry, Mulyani, UA., Susilowati, D. 2013. Distribusi Dan Karakteristik
Pterigium Di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. 2008. Clinincal
Approach To Depositions And Degenerations Of The Conjungtiva,
Cornea, Sclera. In: External Disease Nd Cornea. San Fransisco :
Americam Academy Of Ophtamology
Suharjo. 2007. Ilmu Kesehatan Mata edisi I. Yogyakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada