Menurut Priyo Budi Santoso wakil ketua DPRRI, UU Desa juga mengatur tentang
alokasi dana dari pemerintah pusat. "Selama ini kan tidak pernah ada anggaran dari
pusat. Jumlahnya sebesar 10 persen dari dana per daerah, wajib diberikan, nggak
boleh dicuil sedikitpun. Kira-kira sekitar Rp700 juta untuk tiap desa per tahunnya,"
ujar dia.
Sementara itu Wakil Ketua Pansus RUU Desa, Budiman Sudjatmiko, menyatakan
jumlah 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam
anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus
harus diberikan ke Desa. "Sepuluh persen bukan diambil dari dana transfer daerah,"
kata Budiman. Artinya, kata Budiman, dana sekitar Rp104,6 triliun ini dibagi sekitar
72.000 desa. Sehingga total Rp 1,4 miliar per tahun per desa.
"Tetapi akan disesuaikan geografis, jumlah penduduk, jumlah kemiskinan," ujarnya.
Dana itu, kata Budiman, diajukan desa melalui Badan Pemusyawaratan Desa (BPD)
yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan
wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
BPD merupakan badan permusyawaratan di tingkat desa yang turut membahas dan
menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa. "Mereka
bersidang minimal setahun sekali," ujar Budiman.
2. Penghasilan Kepala Desa
Selain Dana Milyaran Rupiah, keistimewaan berikutnya adalah menyangkut
penghasilan tetap Kepala Desa. Menurut Pasal 66 Kepala Desa atau yang disebut
lain (Nagari) memperoleh gaji dan penghasilan tetap setiap bulan. Penghasilan
tetap kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana perimbangan dalam
APBN yang diterima oleh kabupaten/kota ditetapkan oleh APBD. Selain penghasilan
tetap yang dimaksud, Kepala Desa dan Perangkat Desa juga memperoleh jaminan
kesehatan dan penerimaan lainya yang sah.
3. Kewenangan Kepala Desa
Selain dua hal sebagaimana tersebut diatas, dalam UU Desa tersebut akan ada
pembagian kewenangan tambahan dari pemerintah daerah yang merupakan
kewenangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu adanya peluang
desa untuk mengatur penerimaan yang merupakan pendapatan desa yaitu
sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU Desa. Hal ini ditegaskan oleh Bachruddin
Nasori, Anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Desa (Panja RUU Desa).
Jika selama ini, Kepala desa menjadi pesuruh camat, bupati. Tapi hari ini jadi raja
dan penentu sendiri, jadi Kepala Desa yang berkuasa penuh mengatur dan
membangun desanya," kata Bachruddin Nasori.
Apakah dengan demikian Kepala Desa akan menjadi Raja-raja kecil ?
Walaupun dengan Undang-Undang Desa ini Kepala Desa mempunyai kewenangan
penuh dalam mengatur dan mengelola keuangan sendiri tetapi seorang Kepala
Desa tidak boleh menjadi Raja Kecil. Mantan Ketua Pansus Rancangan UndangUndang Desa DPR RI, Budiman Sujatmiko, pada acara sosialisasi UU Desa untuk 253
kepala desa di Kabupaten Subang, Sabtu (11/1/ 2014), menegaskan "Saudara kelak
tidak boleh jadi raja-raja kecil di desa," ujar Budiman yang disambut aplous seluruh
kepala desa yang hadir.
Dikatakan Budiman, kewenangan dan alokasi dana yang besar yang diamanatkan
UU Desa itu, tidak ada satu pasal pun yang mengisyaratkan monopoli kebijakan
Kepala Desa. Bahkan, lanjut Budiman, Kepala Desa akan memikul tanggung jawab
yang lebih besar untuk mempertanggungjawabkan semua kewenangan dan
pengelolaan dana yang akan dilakukannya kelak.
4. Masa Jabatan Kepala Desa bertambah
Dengan Undang-Undang Desa yang baru masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun
dan dapat dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-
turut atau tidak secara berturut-turut (pasal 39). Demikian juga dengan masa
jabatan Badan Permusyawaratan Desa, mereka bisa menjabat paling banyak tiga
kali masa jabatan, baik secara berturut turut maupun tidak berturut-turut. Hal Ini
berbeda dengan Undang-Undang yang berlaku sebelumnya yaitu UU Nomor 32
Tahun 2004 dimana Kepala Desa dan BPD hanya bisa menjabat paling banyak 2
(dua) kali masa jabatan.
Disini ada penambahan fungsi BPD yaitu pada huruf c yaitu melakukan pengawasan
kinerja Kepala Desa. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004,dimana dalam pasal 209 disebutkan Badan Permusyawaratan Desa berfungsi
menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat.
Tantangan dan Tanggung Jawab
Banyak kalangan meragukan keefektifan Undang-Undang ini. Keraguan mereka
terutama pada kekhawatiran akan pengelolaan dana yang begitu besar. Janganjangan dana ini akan menjadi bancaan bagi Desa yang menerimanya. Menanggapi
hal ini Budiman Sudjatmiko mengatakan, Bancakan dana desa ini, bisa dihindari
karena dana ada di kabupaten. Sementara penyusunan proposal pengajuan
anggaran ini, tidak berjalan sendiri. Ada pemerintah kota dan pemerintah
kabupaten yang melakukan pendampingan, termasuk penyusunan budgeting.
Selain itu, menurut Priyo Budi Santoso, UU ini juga diharuskan membentuk
semacam DPR tingkat desa, namanya Badan Permusyawaratan Desa. Anggotanya
sekitar sembilan orang. "UU ini tidak memangkas kewenangan Bupati atau Walikota
atau Gubernur pada kepala desa," kata dia.
Tanggapan Pemerintah
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, meminta masyarakat tidak khawatir dengan
potensi penyimpangan dana triliunan rupiah ini sebab setiap tahun akan dilakukan
pengawasan sistem. Pemerintah, kata dia, akan melakukan pengawasan dalam
baru disahkan hari ini oleh DPR RI, dana sebesar 10 persen dari APBN akan masuk
langsung ke desa.
"Dengan disahkan UU Desa, Kepala Desa harus belajar accounting karena kepala
desa nanti akan menjadi pejabat pembuat komitmen. Jangan sampai kepala desa
masuk penjara karena ketidakmengertiannya dalam mengelola keuangan," kata
Bachruddin usai rapat paripurna pengesahan RUU Desa di Gedung DPR RI, Jakarta,
Rabu.
"Selama ini tidak pernah terpikirkan adalah APBN tidak pernah masuk desa. Selama
ini kementerian-kementerian menjadikan desa sebagai objek dari proyek yang
hasilnya diambil pusat," kata Bendahara Umum PKB itu.
Alokasi dana ini diharapkan dapat mengakselerasi pembangunan di tingkat desa.
Sebelum-sebelumnya, alokasi dana dari APBN belum menyentuh sampai ke tingkat
desa.
Disamping itu, dengan UU Desa ini, nantinya kepala desa dapat mengambil
kebijakansecara mandiridalam mengelola potensi dan pembangunan desanya,
tanpa didikte oleh kepala daerah atau pemerintah pusat seperti yang berlangsung
selama ini.
Namun demikian, menurut Bacharuddin, dana sebesar itu (Rp 1 Miliar/tahun) mesti
ada pertanggungjawabannya secara administratif. Oleh sebab itu setiap kepala
desa wajib menguasai akuntansi atau minimal pembukuan, agar pemakaian dana
tersebut bisa dipertanggungjawabkan.
Jika dari sisi data akuntansi tidak valid dikhawatirkan akan banyak kepala desa yang
tersandung kasus korupsi.
Jangan sampai kepala desa masuk penjara karena ketidakmengertiannya dalam
mengelola keuangan, imbuh Bachruddin.
Melihat banyaknya pejabat kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, bukan tak
mungkin jika ladang korupsi itu akan pindah ke Kantor-Kantor Kepala Desa, setelah
diberlakukannya UU Desa yang baru ini nantinya.
Oleh sebab itu, pihaknya menghimbau agar para Kepala Desa beserta perangkatnya
mulai sekarang belajar Accounting.
Kepala BPK RI Perwakilan Jawa Barat, Kornel Syarif Prawiradiningrat, mengingatkan
agar para kepala desa yang akan segera mendapatkan dan miliaran itu bersikap
ektra hati-hati.
"Jangan sampai setelah menerima duit miliaran rupiah lalu beberapa bulan
kemudian berurusan dengan penegak hulum," ujar Kornel. Ia mencontohkan, era
otonomi daerah gara-gara salah urus soal keuangan telah menyeret 525 bupati dan
walikota berurusan dengan hukum.
Lalu, ia memberikan solusi jitu agar para kepala desa lepas dari jeratan hukum.
"Buat pembukuan yang baik, akuntabel dan transfaran," Kornel menjelaskan.
Pembukuan yang baik yakni mencatat semua penerimaan dan pengeluaran dengan
detil. Misalnya, setiap pembelian barang harus ada kuitansinya, barang yang dibeli
harus sesuai peruntukannya.
"Tidak boleh ada yang disembunyikan dan dimainkan, semua bukti-bukti dicatat
secara benar dan lengkap," jelas Kornel.
Penutup
Dari sekian banyak Undang-Undang yang mengatur tentang Desa sejak Indonesia
merdeka 17 Agustus 1945 memang Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014
adalah yang terbaik. Desa sebagai ujung tombak pemerintahan terbawah memiliki
otonomi dalam mengatur pembangunan untuk mensejahterakan rakyatnya. Akan
tetapi dalam pelaksanaannya harus diawasi agar tidak terjadi penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang. Badan Permusyawaratan Desa sebagai unsur
pemerintahan Desa harus bisa menjalankan tugas dan fungsinya sesuai amanat
Undang-Undang agar Kepala Desa tidak terjebak dalam jeratan hokum. Masyarakat
Desa diharapkan juga ikut mengawasi dan mengambil peran aktif melalui
musyawarah desa agar pelaksanaan pembangunan bisa benar-benar efektif dan
tepat sasaran serta dilakukan secara transparan dan akuntabel.