Anda di halaman 1dari 28

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Trauma Kapitis


Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.
1.2 Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium.
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium
dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal).
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada
bayi dan anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal.

Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis,
fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian
bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu : duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinussinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat
pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub
araknoid.

Gambar 1. Potongan Melintang


Anatomi Kepala

4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater
dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara
manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik,
yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada
batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan,
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan
juga kedua hemisfer serebri.

Gambar 2. Anatomi Otak

5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid
yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial
(terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).
7. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan

tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis.
1.3 Fisiologi
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu
tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH 2O atau 4 sampai 15 mmHg.
Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari
dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan
serebrospinal ( sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah
satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur
lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila
salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme
kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi
parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan
serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan
tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan
kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah
( herniasi ) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat
langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme
kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian
neuronal.

1.4 Patofisiologi Cedera Kepala


Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi, proses
cedera otak dibagi:
1. Proses primer
Ini adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses
mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan
dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga
tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan kematian langsung neuron pada
daerah yang terkena.
2. Proses sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena
kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur
anatomi maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi. Insult
sekunder pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui
beberapa proses:
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang
rusak dan sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:
o Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dan sistokeletonnya.
Kerusakan ini dapat berakibat:
- Edema sintotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada
dendrit dan sel glia
- Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa
kalsium mengenai semua jenis sel
- Inhibisi dari sintesis protein intraseluler

o Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran kapiler


disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini tampak pula
sludging dari sel-sel darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah
otak menjadi rusak.
o Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang kemudian
membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan multipetekial. Ini
menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada
akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial
Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi neuronal
yang luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler dan meningkatnya
kadar neurotransmitter eksitatorik. Peningkatan dan kebocoran neurotransmitter
eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death. Selain itu kerusakan
dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar kalsium (ca) intraseluler
serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya sitoskeleton karena enzim
fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas yang memperburuk dan merusak
integritas membran sel yang masih hidup.
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary barin injury)
Penyebab dari proses inibisa intrakranial atau sistemik:
o Intrakranial
Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara
berangsur-angsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak
sehingga perfusi otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron
disusul oleh hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat herniasi, kenaikan
TIK ini dapat juga akibat hematom berlanjut misalnya pada hematoma epidural.
Sebab TIK lainnya adalah kejang yang dapat menyebabkan asidosis dan
vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi
o Sistemik
Perubahan sistemik akansangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat
menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global.

Penyebab gangguan sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly
Hs yaitu hipotensi , hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia, hiperpireksia,
hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan hipoproteinemia.
Trauma yang mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit
kepala. Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak,
yang cukup mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur
pada objek yang tumpul atau datar. Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi
elastisitas, tulang akan patah/retak. Hal ini dapat menyebabkan fraktur linear
yang sederhana, meluas dari pusat pukulan sampai ke basis. Benturan yang lebih
hebat dapat menyebabkan fraktur stellata dan bila lebih hebat lagi dapat
menyebabkan depresi fraktur.
Tipe-tipe dari fraktur tidak hanya tergantung dari kecepatan pukulannya,
tetapi yang lebih penting ditentukan oleh besar permukaan objek yang mengenai
tengkorak. Objek yang runcing dapat menyebabkan perforasi pada tengkorak
sedangkan objek yang lebih besar dgnkecepatan yang sama menyebabkn depresi
fraktur. Jarang fraktur terjadi pada lawan dari tempat benturan. Tengkorak
bergerak lebih cepat dari otak bila terkena benturan. Meskipun otak mengalami
contusio pada tempat bawah benturan, tetapi kerusakan lebih berat terjadi pada
permukaan tengkorak yang kasar, pada tonjolan-tonjolan tulang, crista galli, pada
sayap sphenoid mayor dan ospetrosus, seperti sering terlihat pada contusio pada
fossa anterior (frontal basal) dan fossa media (temporal basal). Pada benturan
didaerah frontal, otak bergerak dari anterior ke posterior, sedangkan benturan
pada daerah ocipital menyebabkan otak bergerak sepanjang sumbu axis,
sedangkan lateral impact menyebabkan otak bergerak dari satu sisi ke sisi lain.

Gambar-3: Tanda panah menunjukkan


tempat dan arah pukulan. (dikutip dari
Adams)

Menurut Gurjian, ciri khas biomekanik dari coup contra coup dan contusio adalah
sebagai berikut:
1. Coup contusio disebabkan oleh efek langsung dari tulang yang membentur
2. Contra coup contusio disebabkan oleh gerakan otak terhadap permukaan
tulang

yang tidak rata

3. Bila kepala relatif diam, benturan langsung menyebabkan coup lesi tanpa
contra coup efek
4. Bila kepala bebas bergerak, benturan pada kepala menyebabkan lesi contra
coup tanpa lesi coup.
1.5 Jenis Trauma
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi
trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari
dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala
tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala
setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala
tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga
menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai
kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006). Kemungkinan kecederaan
atau trauma adalah seperti berikut;
a) Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis
fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound
fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan splintering.
Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.

Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak
terdapat juga hematoma subdural.
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau
kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini
memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini
sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat. Terdapat
tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan
serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons eye (penumpukan darah
pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior,
media dan posterior.
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini
boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilaris.
b) Luka memar (kontosio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit
tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak
terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada
frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI
(Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu
daerah yang mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup
besar dapat mengubah tingkat kesadaran.
c) Laserasi (luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana
lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan
seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang

10

ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan
dapat menimbulkan jaringan parut.
d) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi
akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
e) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada
kranial terlepas setelah kecederaan.
1.5.1 Trauma Murni atau Multipel
Menurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban mengalami
trauma kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang multipel dalam
penelitian di Israel. Kecederaan multipel berkaitan dengan keparahan dan ia adalah asas
dalam mendiagnosa gambaran keseluruhan kecederaan. Dengan merekam seluruh
kecederaan yang dialami oleh korban, ia dapat membantu dalam mengidentifikasi
kecederaan yang sering mengikut penyebab trauma pada korban.
a. Trauma Murni
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan pada
salah satu regio atau bagian anatomis yang mayor.
b. Trauma Multipel
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan
secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial
dan disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma
dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan

11

penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain
(Veterans Health Administration Transmittal Sheet).
1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi
serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa
bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul adalah seperti berikut:
Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa menyebabkan pasien apnu.
Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan pasien kuadriplegi, paralisis hipotonus tungkai
atas dan bawah serta syok batang otak.
Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang bilateral pada
tapak tulang servikal C2.
Tulang belakang torak dan lumbar bisa diakibatkan oleh cedera kompresi dan cedera
dislokasi.
Spondilosis servikal juga dapat terjadi.
Cedera ekstensi yaitu cedera Whiplash terjadi apabila berlaku ekstensi pada tulang
servikal.
2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan cedera
paru.
a) Cedera dinding torak seperti berikut:
Patah tulang rusuk.
Cedera pada sternum atau steering wheel.
Flail chest.
Open sucking pneumothorax.
1.6 Perdarahan Intrakranial
1.6.1. Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun,
disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.

12

Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas
selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.
1.6.2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya
meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
a) Perdarahan subdural akut
Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang
lambat, serta gelisah.
Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera
batang otak.
b) Perdarahan subdural subakut
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
c) Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan.
Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara
pelan-pelan ia meluas.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
1.6.3. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan otak yaitu
yang dikenal sebagai ruang subaraknoid.

13

1.6.4. Perdarahan Intraventrikular


Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.
Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral.
1.6.5 Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana
terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman, ini dikenali
sebagai counter coup phenomenon.
1.7 Gejala Klinis Trauma Kepala
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
1.7.1. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
1.7.2. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
1.7.3. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

14

d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi


abnormal ekstrimitas.
1.8 Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera
dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang
terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan
rehabilitasi medik.
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat
kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat
darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab
sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam
dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan
kesadaran pada saat diperiksa:
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari
anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk
mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada
saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan
penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
B. Pasien dengan kesadaran menurun
1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal
serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala.
CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat

15

lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi.


Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh
karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ
lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu
disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama
adalah:
o Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan
sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan
o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru,
infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.

16

Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.
o Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder.
Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok
septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch
atau darah
b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik
pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari
salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder
dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan
abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang
tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK bsebaiknya
dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20
mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi

17

vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi


dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dgn mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi
diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi
periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang
ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.
3. Terapi diuretik
o Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui
sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi
diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap
6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm
o Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan
cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya
bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik
serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis
terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3
jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.

18

5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan
bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan
posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit
sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya
edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya
dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh
karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri.
Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan
takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat
dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi
gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya
pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic
hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum,
kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal
dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena
meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada
demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral
melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari

19

g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi
dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih
sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi,
hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung
berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat
larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain
misalnya Fenitoin.
Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral. Profilaksis: diberikan pada pasien
cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom
intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang
h. Komplikasi sistematik
o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada
fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah
kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan
suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya,

disamping tindakan

menurunkan suhu dengan kompres


o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat dicegah
dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi
trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara
perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.

20

BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. M

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 27 tahun

Suku Bangsa

: Minangkabau

Alamat

: Selayo

Pekerjaan

: Pengantar barang

No. MR

: 092128

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke poliklinik Neurologi RSUD
Solok pada tanggal 13 September 2014 dengan:
Keluhan Utama :
Lupa ingatan sejak 1 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien post kecelakaan lalu lintas satu hari yang lalu. Awalnya pasien sedang
mengendarai sepeda motor, mekanisme kecelakaan tidak diketahui oleh pasien dan
keluarga. Pasien diketahui memakai helm dan helm tetap terpasang setelah kejadian.
Pasien tidak sadar dan langsung dibawa ke IGD RS Muara Bodi, sadar kembali 3 jam
setelah kejadian. Pasien tidak dapat mengingat kejadian kecelakaan tersebut. Tidak
ada muntah selama di IGD RS Muara Bodi. Keluar darah dari hidung, mulut dan
telinga tidak ada. Nyeri kepala ada, terasa dibagian kepala kanan belakang. Pusing
berputar tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu :
-

Tidak pernah mengalami cedera kepala sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini.

21

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum

: sakit sedang

Kesadaran

: GCS 15 (E4M6V5)

Tekanan darah

: 120/70 mmHg

Nadi

: 82 x/menit, teratur

Nafas

: 19 x/menit, teratur

Suhu

: 36,5oC

Tinggi Badan

: 160 cm

Berat Badan

: 80 Kg

Pemeriksaan Khusus
Kulit

: turgor kulit baik

Kepala

: normocephal

Rambut

: hitam, tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, terdapat


perdarahan subkonjunctiva dextra.

Telinga

: tidak ditemukan kelainan

Hidung

: tidak ditemukan kelainan

Leher

: bruit karotis (-)

Status Lokalis
Regio Kapitis

: tidak ada luka maupun hematom pada kepala

Regio brachialis

: luka lecet pada lateral brachialis sinistra ukuran 3 cm x 3 cm

Regio Kruris

: luka lecet pada genu sinistra dengan ukuran 3 cm x 0,5 cm

Status Internus :
KGB
# Leher

: tidak teraba pembesaran

# Aksila

: tidak teraba pembesaran

# Inguinal

: tidak teraba pembesaran

22

THORAK
- Paru

: Inspeksi

- Jantung

- Abdomen

: simetris kiri dan kanan

Palpasi

: fremitus normal kanan sama dengan kiri

Perkusi

: sonor

Auskultasi

: vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)

: Inspeksi

: iktus tidak terlihat

Palpasi

: iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi

: batas-batas jantung dalam batas normal

Auskultasi

: irama teratur, murni, bising (-)

: Inspeksi

: tidak membuncit

Palpasi

: hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) Normal

- Corpus Vertebrae

: Inspeksi

: Penonjolan (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (-)

Perkusi

: Nyeri ketok (-)

Status Neurologis :
1.

Kesadaran

komposmentis

kooperatif,

E4M6V5
2.

Tanda rangsangan meningeal : - Kaku kuduk (-)


- Brudzinsky I (-)
- Brudzinsky II (-)
- Kernig (-)

3.

Tanda peningkatan tekanan intrakranial : - muntah proyektil (-)


- sakit kepala progresif (-)

4.

Nn Kranialis :
-NI

: penciuman baik

- N II : reflek cahaya +/+

23

GCS

15

- N III, IV, VI : pupil isokor, bulat, diameter 3 mm, bola mata dapat digerakkan
ke segala arah
- N V : bisa membuka mulut, menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan
- N VII : bisa menutup mata, mengangkat alis : simetris, plica nasolabialis kanan
dan kiri simetris dan pengecapan 2/3 lidah depan normal.
- N VIII : fungsi pendengaran baik, nistagmus tidak ada
- N IX, X : arcus faring simetris, uvula di tengah, refleks muntah (+), perasa 1/3
belakang lidah baik.
- N XI : bisa mengangkat bahu dan bisa melihat kiri dan kanan
- N XII: kedudukan lidah dalam dan dijulurkan simetris/di tengah, tremor (-).
5.

Motorik
Anggota gerak kanan :
Kekuatan : 5/5/5
5/5/5
Tonus

: eutonus

Trofi

: eutrofi

Anggota gerak kiri :


Kekuatan : 5/5/5
5/5/5
Tonus

: eutonus

Trofi

: eutrofi

24

Koordinasi
-

Cara berjalan

: tidak ada kelainan

Romberg test

: tidak ada kelainan

Ataxia

: tidak ada

Rebound phenomen

: bisa dilakukan

Test tumit lutut

: bisa dilakukan

Disarthria

: tidak ada

Disgrafia

: tidak ada

Supinasi pronasi

: dalam batas normal

Tes jari hidung

: dalam batas normal

Tes hidung jari

: dalam batas normal

Sensorik
-

Eksteroseptif

: baik

Proprioseptif

: baik

7. Fungsi otonom
-

BAK dan BAB normal

8. Reflek fisiologis : Reflek biceps ++/++, Reflek triceps ++/++, KPR ++/++, APR ++/++
9. Reflek patologis : Babinski group -/10.

Fungsi luhur : baik

PEMERIKSAAN PENUNJANG : DIAGNOSA KERJA :


Diagnosa Klinis

: Cedera kepala ringan GCS 15 + amnesia retrograde + vulnus


excoriatum brachialis sinistra

Diagnosa Topik

: Lobus frontal

Diagnosa Etiologi

: Benturan dinamis (kecelakaan)

Diagnosis Diferensial: -

Diagnosis Sekunder : -

TERAPI
Khusus :

Metil prednisolon 3 x 4 mg
Asam folat 2 x 50 mg

Rencana :
- Brain CT Scan
Prognosis :
- Quo ad vitam

: dubia ad bonam

- Quo ad fungtionam

: dubia ad bonam

- Quo ad sanationum

: dubia ad bonam

BAB III
DISKUSI
Telah diperiksa seorang pasien laki-laki berumur 27 tahun pada tanggal 13 September
2014 di poliklinik Neurologi RSUD Solok. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamesis dan
pemeriksaan fisik.
Dari anamesis didapatkan pasien dengan keluhan utama lupa ingatan sejak 1 hari yang
lalu. Pasien kecelakaan lalu lintas sejak satu hari yang lalu. Pasien post kecelakaan lalu lintas
satu hari yang lalu. Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda motor, mekanisme
kecelakaan tidak diketahui oleh pasien dan keluarga. Pasien diketahui memakai helm dan
helm tetap terpasang setelah kejadian. Pasien tidak sadar dan langsung dibawa ke IGD RS
Muara Bodi, sadar kembali 3 jam setelah kejadian. Pasien tidak dapat mengingat kejadan
kecelakaan tersebut. Tidak ada muntah selama di IGD RS Muara Bodi. Keluar darah dari
hidung, mulut dan telinga tidak ada. Nyeri kepala ada, terasa dibagian kepala kanan belakang.
Pusing berputar tidak ada.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit sedang, kesadaran
komposmentis koperatif dengan GCS 15 (E4M6V5). Status internus didapatkan dalam batas
normal.
Pada status neurologis tidak ditemukan tanda rangsang meningeal dan tidak
ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Pemeriksaan nervus cranialis juga
ditemukan dalam batas normal, pemeriksaan fungsi motorik juga tidak ditemukan kelainan,
pemeriksaan fungsi sensorik dalam batas normal. Pada pemeriksaan ditemukan fungsi refleks
fisiologis dalam batas normal dan tidak ditemukan refleks patologis. Pada fungsi otonom
tidak ditemukan tanda neurogenic bladder. Cedera kepala pada pasien dengan GCS 15,
disertai muntah dan tidak disertai kejang digolongkan ke dalam cedera kepala ringan.

DAFTAR PUSTAKA
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta:Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta.
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com.
Boies A., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC.
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia:Lippicott Williams and
Wilkins
Adams RD. Principles of neurology. 6th ed vol.2 New York: McGraw Hill, 1997:874-901
Andradi S. Simposium cedera kranio serebral, 199
Cohadon F. The concept of secondary damaage inbrain trauma, in ischemia in head injury.
Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery,1995:1-7
Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma. Philadelphia : WB
Sounders, 1996: 53-90
Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981
Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed). Sydney : Butterworth,
1990: 422-426
Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill, 1996
Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and management. Philadelphia:
WB Sounders, 1990: 169-213
Martin NA et al. Characterization of cerebral hemodynamic phase following sever head
trauma: hypoperfusion, hyperemia and vasospasm. J. neurosurgey, 1997(87): 9-19
Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury. London: Chapman & Hall
Medical, 1997
Robertson et al. Oxygen utilization and cardiovasculer function in head patients.
Neurosurgery
1996 (15):307-314
Teasdale G. Pathological and clinical evidence of ischemic brain damage in brain trauma.
London : Chapman & Hall Medical, 1995:21-29
Thomson WA. Severe head injury, in TEOH (ed) Sydney: Butterworth, 1990: 427-431

Anda mungkin juga menyukai