PENDAHULUAN
Era reformasi merupakan era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Era reformasi telah dimulai sejak tahun 1998 yang lalu. Latar belakang
lahirnya era reformasi adalah tidak berfungsinya roda pemerintahan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang politik, ekonomi, dan
hukum. Maka dengan adanya reformasi, penyelenggaran negara berkeinginan
untuk melakukan perubahan secara radikal (mendasar) dalam ketiga bidang
tersebut.
Dalam bidang hukum, diarahkan kepada pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baru dan penegakan hukum (law of enforcement).
Undang-Undang yang dibentuk dan dibuat dalam era reformasi ini, yang paling
dominan adalah Undang-Undang atau hukum yang bersifat sektoral, sedangkan
hukum yang bersifat dasar (basic law) kurang mendapat perhatian. Hal ini tampak
dari kurangnya pembahasan dari berbagai hukum dasar, seperti Hukum Perdata,
Hukum Dagang, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Kontrak, dan
lainnya. Hukum kontrak kita masih menggunakan peraturan Pemerintah Kolonial
Belanda yang terdapat dalam buku III KUH Perdata. Buku III KUHPerdata
menganut sistem terbuka (open system) artinya bahwa para pihak bebas
mengadakan
kontrak
dengan
siapapun,
menentukan
syarat-syaratnya,
production
sharing,
joint
venture,
dan
lain-lain.
Walaupun
peraturan yang berbentuk Undang-Undang belum ada. Yang ada hanya dalam
bentuk Peraturan Menteri.
Peraturan itu hanya terbatas peraturan yang menangani leasing, sedangkan
kontrak-kontrak yang lain belum mendapat pengaturan yang khusus. Akibat dari
tidak adanya kepastian hukum tentang kontrak tersebut maka akan menimbulkan
persoalan dalam dunia perdagangan, terutama ketidakpastian bagi para pihak yang
mengadakan kontrak. Dalam kenyataannya salah satu pihak sering kali membuat
kontrak dalam bentuk standar, sedangkan pihak lainnya akan menerima kontrak
tersebut karena kondisi sosial ekonomi mereka yang lemah. Untuk itu pada masa
mendatang diperlukan adanya Undang-Undang tentang kontrak yang bersifat
nasional, yang menggantikan peraturan yang lama. Undang-Undang tersebut juga
memberikan kedudukan yang seimbang kepada para pihak dalam memenuhi hak
dan kewajibannya.
Walaupun belum adanya Undang-Undang tentang kontrak yang khusus
dan bersifat nasional maka kajian teoritis maupun empirik dalam proporsal ini
adalah
berpedoman
dan
bertitik
tolak
pada
KUHPerdata,
peraturan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN FUNGSI
1. Pengertian
Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda verbintenis.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain.
Hal yang mengikat itu adalah pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan,
misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran,
kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah
bersusun. Pristiwa hukum itu menciptakan hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara
timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib
memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah
suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu.
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan
dengan perikatan, adalah Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam teori baru
tersebut perikatan sendiri merupakan bagian dari hukum perdata yang memuat
tentang perjanjian. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru,
yaitu :
1. Tahap pra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para
pihak.
3. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian
2. Fungsi Kontrak
Fungsi kontrak ada dua macam yaitu:
1. Fungsi yuridis
Fungsi yuridis kontrak adalah dapat memeberi kepastian hukum bagi
para pihak.
2. Fungsi ekonomis
Fungsi ekonomis adalah mengerakkan (hak milik) sumber daya dari
nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.
B. JENIS-JENIS PERIKATAN
1. Perikatan Murni (Perikatan Bersahaja)
Perikatan apabila masing-masing pihak hanya satu orang dan sesuatu yang
dapat dituntut hanya berupa satu hal prestasi. Perikatan ini dapat dilakukan
seketika, misalnya: ketika di pasar terjadi perikatan.
2. Perikatan Bersyarat:
Perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya digantungkan kepada suatu
peristiwa yang belum dan tidak tentu akan terjadi. Dibedakan menjadi:
a) Syarat Tangguh:
Perikatan yang lahirnya digantungkan kepada terjadinya peristiwa
itu.Artinya apabila syarat tersebut dipenuhi, maka perikatannya menjadi
berlaku.
Contoh: A janji ke B kalau dia lulus akan memberikan mobilnya.
b) Syarat Batal:
Suatu perikatan yang sudah ada, yang berakhirnya digantungkan kepada
peristiwa itu. Artinya apabila syarat tersebut dipenuhi, maka perikatannya
menjadi putus atau batal.
Contoh:A akan menyewakan rumahnya ke B asal tidak dipakai untuk
gudang. Jika B menggunakan rumah tersebut untuk gudang, maka syarat
itu telah terpenuhi dan perikatan menjadi putus atau batal dan pemulihan
dalam keadaan semula seperti tidak pernah terjadi perikatan.
dan
masing-masing
dapat
menuntut
kepada
b. Perikatan Spesifik:
Perikatan dimana obyeknya ditentukan secara terinci, sehingga tampak
ciri-ciri khususnya. Misalnya: debitur diwajibkan menyerahkan beras
sebanyak 10 kg dari Cianjur dengan kualitas nomor 1.
9. Perikatan Perdata dan Perikatan Alami
a. Perikatan Perdata:
Perikatan dimana pemenuhan hutangnya dapat dituntut pelaksanaannya
dimuka pengadilan.
b. Perikatan Alami:
Perikatan
dimana
pemenuhan
hutangnya
tidak
dapat
dituntut
mustahil
pemenuhan
pembayaran
utang-utangnya.
Kewenangan seperti ini diatur secara umum di dalam KUH 1341 KUH Perdata.
Syarat-syarat berlakunya Actio Paulina
1. Perbuatannya harus perbuatan hukum;
Perbuatan hukum artinya kalau debitur tidak melakukan sesuatu atau
mendiamkan/membiarkan adanya daluarsa piutangnya kepada pihak lain, tidak
menerima hadiah yang diberikan kepada debitur dari pihak lain atau dengan
perkataan lain debitur membiarkan agar harta bendanya berkurang maka actio
paulina tidak dapat diperlakukan.
2. Perbuatan hukum itu tidak diwajibkan, yaitu tidak terpaksa dilakukan.
3. Perbuatan hukum itu harus merugikan kreditur
Contohnya membayar hutang yang belum waktunya harus dibayar,
menjaminkan harta bendanya untuk hutangnya yang sudah harus dibayar, juga
termasuk perikatan wajar
4. Debitur dan Pihak Ketiga mengetahui bahwa perbuatannya itu merugikan
kreditur
Contohnya debitur memberikan hadiah, atau menjual harta bendanya
dengan harga yang murah sekali, pokoknya tanpa perbuatan debitur itu kreditur
akan mendapatkan lebih banyak lagi
Secara khusus Actio Pauliana diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (UUK).
Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan
pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang
merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan
pailit diucapkan
Syarat-syarat pembatalan Actio Pauliana Menurut UU Kepailitan :
1. Dilakukan Actio Pauliana tersebut untuk kepentingan harta pailit ;
2. Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum;
3. Debitur tersebut telah dinayatakan pailit, jadi tidak cukup misalnya jika
terhadap debitur tersebut hanya diberlakukan penundaan kewajiban
pembayaran hutang (PKPU) ;
4. Perbuatan hukum dimaksud telah merugikan kepentingan Kreditor;
5. Perbuatan hukum tersebut dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan;
6. Kecuali dalam hal-hal berlaku pembuktian terbalik, dapat dibuktikan
bahwa pada saat melakukan perbuatan hukum tersebut Debitor mengetahui
BAB III
PENUTUP
Dalam kebanyakan sistem hukum jenis kontrak tertentu harus dibuat
secara tertulis untuk dapat diterapkan. Apabila suatu penawaran sudah dibuat dan
diterima sesuai dengan peraturan yang diringkas diatas, maka sebuah kontrak
sudah diadakan. Secara umum hukum mengharuskan bahwa begitu suatu kontrak
dibuat, maka harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Serupa pula
halnya bahwa sebuah kontrak dapat dinyatakan tak dapat dilaksanakan tak dapat
dilaksanakan bilamana ada unsur paksaan/ancaman dalam panyusunan kontrak
tersebut.
Banyak kontrak dibuat tanpa formalitas atau kehati-hatian yang mendetail.
Kebanyakan orang membuat beratus-ratus kontrak setahunnya. Tetapi kebanyakan
kontrak demikian tidak tertulis. Walaupun ada yang tertulis, kontraknya tidak
dapat menguraikan secara persis tentang apa arti dari setiap ketentuan kontraknya,
dan bagaimana ketentuan itu diwujudkan dalam setiap peristiwa yang mungkin
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. 2001. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis).
Bandung: PT Citra Aditya Bakhti.
Salim, HS. 2006. Hukum Kontrak (Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak).
Jakarta: Sinar Grafika.
Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Bandung: Elips