Difteri
Difteri
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas
dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,
selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI:
2007)
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang
disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans,
ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti
oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.
(Acang: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau
mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan
ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium
diphtheriae (C. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas mukosa saluran pernapasan dan
kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit tekak dan demam secara tibatiba disertai tumbuhnya membran kelabu yang menutupi tonsil serta bagian saluran pernapasan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Difteri)
Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan
Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema
ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
Infeksi berat
2.2 Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru
toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman
bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi
mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik
dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia
C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus
dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite,
medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat
membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu
coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang
dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis
eritrosit.
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.
Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan
dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi
virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada
bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini
mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di
laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain
untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa
diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan
produksi toksin, yaitu dengan cara:
1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai
saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
3. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam,
lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.
Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil
difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan
Corynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk
koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
o Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang
terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan
jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml
toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan
otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu
600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender
yang telah mengering.
2.3 Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 C, ada pseudomembrane bisa di
faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),
disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak
jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya
apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya,
walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan
(throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gambar 2. pseudomembran
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti
demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher
sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003)
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam
gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul
berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak
penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian
yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides,
sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis
paralysis jaringan saraf atau nefritis.
2.4 Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler.
Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan
yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan
toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai
minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri
dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)
Tipe difteri
Dosis DS (KI)
Cara Pemberian
Difteri hidung
20.000
IM
Difteri tonsil
40.000
IM atau IV
Difteri faring
40.000
IM atau IV
Difteri laring
40.000
IM atau IV
80.000
IV
80.000-120.000
IV
IV
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc
NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD
merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada
pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :
Uji Kepekaan
Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah
pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,
maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).
Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
Tes kulit
SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20
menit.
Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata
bagian bawah
1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15
20 menit kemudian
Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi
secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi)
dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan
adrenalin 1:1000.
2. Antibiotik
Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
3. Kortikosteroid
Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorok (nasofaringeal swab)
2.
3.
4.
5.
6.
EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan
sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa
dilakukan 2-3x seminggu.
7. Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.
Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk
larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung
antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada
yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna
merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi
apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang
akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick
test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan
yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45,
hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat
suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
(Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap
toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam
waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama
beberapa hari.
1.
Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi
tempat spesies,uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.
DIAGNOSA BANDING
1. Difteri Hidung
Pada difteri nasal, penyakit yang menyerupai adalah rhinorrhea (common cold, sinusitis,
adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital)
1. Difteri Fausial
Harus dibedakan dengan:
-
Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap sebagai penderita
difteriae bila panas terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu
dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi
sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring an tonsil tampak hiperemis dengan
membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada
tonsil saja.
-
Penyakit ini juga membran putih yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan
langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif).
-
Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan
kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.
-
PENGOBATAN PENYULIT
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjagaagar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang
disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
PENGOBATAN KARIER
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji shick negatif tetapi
mengandung basil difteria dalam nasofaring. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisillin
100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
Biakan
Uji Shick
Tindakan
(-)
(-)
(+)
(-)
(+)
(+)
(-)
(+)
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :
1. Miokarditis
biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
Pemerikasaan Fisik :
Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda
payah jantung.
Gambaran EKG :
o Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi
ventrikel dan perubahan interval QT
o Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
o Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung
1. Kolaps perifer
2. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis
3. Urogenital : dapat terjadi nefritis
4. Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf
terutama sistem motorik
Tanda-tanda renjatan :
o
Anak gelisah
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus Semu :
Anak L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan fisik
anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi.
Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul
dengan 3 lpm.
Anamnesa:
1. Identitas pasien
a. Nama : L
b. Usia : 6 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
2. Keluhan Utama :
Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau makan. Sehingga anak L dipasang
NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy.
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat penyakit masa lalu
Pemeriksaan Fisik
B1
B2
B3
B4
Normal
B5
B6
: Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit
1. Diagnosa keperawatan: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat
pembengkakan.
Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal
Kriteria Hasil:
No Intervensi
Rasional
1.
2.
3.
Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan
yang memuaskan.
No
Intervensi
Rasional
1.
Beri makan melalui Naso Gastric Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian
Tube (NGT)
makanan oral memungkinkan.
2.
No
Intervensi
Rasional
1.
No
Intervensi
Rasional
1.
2.
3.
No.
Intervensi
1.
Rasional
Menetralisir Toksin
Eradikasi Kuman
Menanggulangi infeksi
sekunder
2.
3.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun corynebacterium
diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran
pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit
dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.
4.2 Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anakanak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman
yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan
tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri
mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan
yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.
DAFTAR PUSTAKA