Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) DIFTERI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau
tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar
oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri
dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad
ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini
juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai.
Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh
agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan
lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana definisi difteri?
1.2.2 Bagaimana etiologi difteri?
1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis difteri?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi difteri?
1.2.5 Bagaimana penatalaksanaan difteri?
1.2.6 Bagaimana WOC dari difteri?
1.2.7 Bagaimana komplikasi difteri?

1.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus difteri?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui dan memahami definisi difteri.
2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri.
3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri.
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri.
5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan difteri.
6. Mengetahui dan memahami WOC dari difteri.
7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari difteri.
8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan difteri.
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus difteri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas

dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet,
selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI:
2007)
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang
disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans,
ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti
oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.
(Acang: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau
mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)
Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan
ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat
menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).
Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium
diphtheriae (C. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas mukosa saluran pernapasan dan
kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit tekak dan demam secara tibatiba disertai tumbuhnya membran kelabu yang menutupi tonsil serta bagian saluran pernapasan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Difteri)

Gambar 1.Corynebacterium diphteriae


Klasifikasi Difteri
Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950):
-

Infeksi ringan

Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan
Infeksi sedang

Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema
ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
Infeksi berat

Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi

Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis

Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:


Difteria Tonsil Faring (fausial)
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis
servikalis dan submandibularis, bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak
leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derjat penetrasi toksin dan
luas memban. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi. Dapat terjadi
paralis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi.
Stupor, koma, kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis dan
neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna.
Diteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas
bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran
yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe
difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dan sekret purulen dan berbau.

2.2 Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru
toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman
bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi

mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik
dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia
C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus
dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite,
medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat
membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu
coklat.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang
dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis
eritrosit.
Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.
Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan
dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi
virulensinya berbeda.
Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada
bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini
mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di
laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah
kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain
untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa
diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.
Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan
produksi toksin, yaitu dengan cara:
1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai
saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
3. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam,
lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil
difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan
Corynebacterium serosis.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk
koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
o Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang
terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi
dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan
jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml
toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan
otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu
600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender
yang telah mengering.
2.3 Manifestasi Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 C, ada pseudomembrane bisa di
faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),
disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak
jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya
apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya,
walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan
(throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.

Gambar 2. pseudomembran
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti
demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher
sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003)
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam
gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul
berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak

penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian
yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides,
sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis
paralysis jaringan saraf atau nefritis.
2.4 Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler.
Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan
yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan
toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan
jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai
minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri
dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)

2.5 Penatalaksanaan Difteri


Tindakan Umum
Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi

b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum


c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul
Jenis Tindakan :
1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini
dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan
(terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
3. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,
stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
4. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
5. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
6. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
7. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
Berikan Oksigen
Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :
I. Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
II. Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
III. Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
IV. Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu
tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
Tindakan Spesifik
Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara
unilateral/bilateral.
80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke
uvula, palatum molle dan dinding faring.
120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring,
komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe difteri

Dosis DS (KI)

Cara Pemberian

Difteri hidung

20.000

IM

Difteri tonsil

40.000

IM atau IV

Difteri faring

40.000

IM atau IV

Difteri laring

40.000

IM atau IV

Kombinasi lokasi di atas

80.000

IV

Difteri + penyulit, bullneck

80.000-120.000

IV

Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja 80.000-120.000

IV

SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc
NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD
merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada
pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :
Uji Kepekaan
Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah
pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im,
maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).
Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
Tes kulit
SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20
menit.
Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata
bagian bawah
1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15
20 menit kemudian
Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi

secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi)
dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan
adrenalin 1:1000.

2. Antibiotik
Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

3. Kortikosteroid
Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan
tenggorok (nasofaringeal swab)
2.

Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin

3.

Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen

4.

Enzim CPK, segera saat masuk RS

5.

Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)

6.

EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan
sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa
dilakukan 2-3x seminggu.

7. Tes schick:
Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin.
Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk
larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung
antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada
yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna
merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi
apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang
akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)
Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang
mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick
test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan
yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45,
hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat
suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
(Sumarmo: 2008)
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap
toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam
waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama
beberapa hari.
1.

Tes hapusan spesimen:

Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi
tempat spesies,uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.
DIAGNOSA BANDING
1. Difteri Hidung
Pada difteri nasal, penyakit yang menyerupai adalah rhinorrhea (common cold, sinusitis,
adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital)
1. Difteri Fausial
Harus dibedakan dengan:
-

Tonsilitis folikularis atau lakunaris

Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap sebagai penderita
difteriae bila panas terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu

dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi
sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring an tonsil tampak hiperemis dengan
membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada
tonsil saja.
-

Angina Plaut Vincent

Penyakit ini juga membran putih yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan
langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif).
-

Infeksi tenggorokan oleh mononukleusus infeksiosa

Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan
kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.
-

Blood dyscrasia (misalnya leukimia)

Mungkin pula ditemukan ulkus membranposa pada faring dan tonsil.


1. Difteri Laring
Harus dibedakan dengan laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan
membran rapuh yang tidak berdarah), atau benda asing pada laring, yang semuanya akan
memberikan gejala striddor inspirasi dan sesak.
1. Difteri Kulit
Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau
stafilokokus.

PENGOBATAN PENYULIT
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjagaagar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang
disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

PENGOBATAN KARIER
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji shick negatif tetapi
mengandung basil difteria dalam nasofaring. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisillin
100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri

Biakan

Uji Shick

Tindakan

(-)

(-)

Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar


diberikan booster toksoid difteria

(+)

(-)

Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari


oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu
minggu.

(+)

(+)

Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40


mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-)

(+)

Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :
1. Miokarditis

biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit

Pemerikasaan Fisik :

Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda
payah jantung.
Gambaran EKG :

o Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi
ventrikel dan perubahan interval QT
o Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
o Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung
1. Kolaps perifer
2. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis
3. Urogenital : dapat terjadi nefritis
4. Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf
terutama sistem motorik

Terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit

Tanda-tanda renjatan :
o

TD menurun (systol 80 mmHg)

Tekanan nadi menurun

Kulit keabu-abuan dingin dan basah

Anak gelisah

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus Semu :

Anak L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan fisik
anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi.
Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul
dengan 3 lpm.
Anamnesa:
1. Identitas pasien
a. Nama : L
b. Usia : 6 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
2. Keluhan Utama :
Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau makan. Sehingga anak L dipasang
NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy.
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat penyakit masa lalu

Pemeriksaan Fisik

B1

: Breathing (Respiratory System)


RR tak efektif (Sesak nafas)

B2

: Blood (Cardiovascular system)


tachicardi

B3

: Brain (Nervous system)


Normal

B4

: Bladder (Genitourinary system)

Normal

B5

: Bowel (Gastrointestinal System)


Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi

B6

: Bone (Bone-Muscle-Integument)
Lemah pada lengan, turgor kulit

1. Diagnosa keperawatan: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat
pembengkakan.
Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal
Kriteria Hasil:

Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas

Pernapasan tetap pada batas normal

No Intervensi

Rasional

1.

Oksigenasi dengan pemasangan nasal Mempertahankan kebutuhan oksigen


kanul
yang maksimal bagi pasien

2.

Tirah baring selam 2 minggu di ruang Untuk mepertahankan atau


isolasi
memperbaiki keadaan umum

3.

Pemberian SAD 40.000 KI secara IM Menetralisir toksin sehingga


atau IV
mengurangi peradangan

1. Diagnosa keperawatan: Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan


berhubungan dengan peradangan pada faring
Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.

Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan
yang memuaskan.

No

Intervensi

Rasional

1.

Beri makan melalui Naso Gastric Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian
Tube (NGT)
makanan oral memungkinkan.

2.

Pantau masukan keluaran dan


berat badan.

Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.

1. Diagnosa keperawatan: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur


pemasangan NGT
Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso Gastric
Tube

No

Intervensi

Rasional

1.

Bersihkan kateter sesering mungkin

Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam


tubuh

1. Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan,


ketidaknyamanan karena pemasangan NGT.
Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.
Kriteria Hasil:

Pasien istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga.

Mulut tetap bersih dan lembab.

Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada.

No

Intervensi

Rasional

1.

Beri stimulasi taktil (mis;


membelai, mengayun).

Untuk memudahkan perkembangan


optimal dan meningkatkan
kenyamanan.

2.

Beri perawatan mulut.

Untuk menjaga agar mulut tetap bersih


dan membran mukosa lembab.

3.

Dorong orangtua untuk


berpastisipasi dalam perawatan
anak.

Untuk memberikan rasa nyaman dan


aman.

1. Diagnosa keperawatan : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke


daerah jantung
Tujuan : Denyut jantung normal dan pasien tidak gelisah
Kriteria hasil:
-

bunyi jantung normal

tidak ditemukan tanda-tanda payah jantung.

gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST

No.

Intervensi

1.

Pemberian ADS 40.000 KI secara IM atau IV


-

Rasional

Menetralisir Toksin
Eradikasi Kuman

Menanggulangi infeksi
sekunder

2.

Pemberian obat sedative


(diazepam/luminal)

Untuk mengurangi rasa gelisah anak

3.

Pantau terus hasil perekaman EKG

Untuk evaluasi segala kedaaan dari


miokard

DOWNLOAD : WOC ASKEP DIFTERI

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun corynebacterium
diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran
pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit
dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.
4.2 Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anakanak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.
Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman
yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan
tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri
mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan
yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Biofarma. 2007.Vaksinasi. http:/www.biofarma.com,2007


Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian
Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta
Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010, 16.00 WIB.
Kadun I Nyoman.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
CV Infomedika: Jakarta
Raya, Rheny. 2010. Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri. www.raya.blogspot.com. 15
Oktober 2010
Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku : Diagnosa keperawatan edisi : 8 Penterjemah Monica
Ester.EGC.Jakarta
Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica
Ester.EGC.Jakarta
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta
Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag.
IKA FK UI: Jakarta
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam:
Jakarta
Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta
Behrman, Kliegman dan Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai