Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
Stomatitis berasal dari Bahasa Yunani, stoma yang berarti mulut dan itis yang berarti
inflamasi. Stomatitis adalah inflamasi lapisan mukosa dari struktur apa pun pada mulut;
seperti pipi, gusi (gingivitis), lidah (glossitis), bibir, dan atap atau dasar mulut. Kata
stomatitis sendiri secara bahasa berarti inflamasi pada mulut. Inflamasi dapat disebabkan
oleh kondisi mulut itu sendiri (seperti oral hygiene yang buruk, susunan gigi yang buruk),
cedera mulut akibat makanan atau minuman panas, atau oleh kondisi yang memengaruhi
seluruh tubuh (seperti obat-obatan, reaksi alergi, atau infeksi).
Stomatitis adalah inflamasi lapisan struktur jaringan lunak apa pun pada mulut.
Stomatitis biasanya merupakan kondisi yang menyakitkan, yang terkait dengan kemerahan,
pembengkakan, dan kadang-kadang perdarahan dari daerah yang terkena. Bau mulut
(halitosis) juga mungkin menyertai keadaan ini.Stomatitis terjadi pada semua kelompok
umur, dari bayi hingga dewasa tua.
Stomatitis aftosa rekuren merupakan bentuk penyakit yang sering ditemukan pada
mukosa mulut. Stomatitis aftosa rekuren dikenal juga sebagai seriawan, stomatitis aftosa,
recurrent aphthae, recurrent oral ulceration ataupun canker sores.
Walaupun sudah sering dialami, tetapi hingga kini etiologi yang pasti dari penyakit ini
belum diketahui. Stomatitis aftosa rekuren merupakan self-limiting disease yang melibatkan
10 25% populasi. Penyakit ini dapat ditemukan pertama kali pada anak-anak ataupun
remaja. Penderitanya biasanya terlihat sehat, tidak merokok. Di dalam mulut, lesi berupa
erosi bulat yang nyeri dengan tepi berupa kemerahan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Stomatitis Apthousa Reccurent (SAR) yang dikenal juga dengan nama canker sore,
merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh ulkus rekurens pada mukosa oral dan orofaring.
SAR sering dikaitkan hubungannya dengan immunologis, defisiensi hemtologis, alergi,
abnormalitas psikologikal.
Etiologi
Penyebab pasti dari SAR masih belum diketahui, namun kemungkinan bersifat
multifaktor karena kejadiannya tidak dipastikan rekuren dari faktor yang sama. SAR timbul
karena pengaruh faktor-faktor predisposisi seperti stres, trauma, alergi, gangguan endokrin,
makanan yang bersifat asam, atau makanan yang mengandung gluten. Pemeriksaan intra oral
diperlukan untuk mengetahui sumber trauma.
1. Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan kemungkinan penyebab paling tinggi dari seluruh
kejadian SAR, dengan peningkatan insidensi yang dipengaruhi keterlibatan faktor
lingkungan. Sekitar 40-50% pasien yang terkena SAR memiliki riwayat keluarga yang
juga pernah terkena SAR. Kemungkinan dipengaruhi oleh status SAR orangtua.
Hubungan juga meningkat pada anak kembar. Studi oleh Ship menunjukkan bahwa
pasien dengan orang tua positif-SAR memiliki 90% kemungkinan terjadinya SAR,
dimana pada pasien dengan orang tua nonpositif-SAR hanya memiliki kemungkinan SAR
sebesar 20%.
2. Trauma
Pasien SAR sering dilaporkan terkena ulser akibat trauma seperti terkena sikat
gigi atau injeksi saat anestesi lokal. Trauma akibat gigitan dan penyikatan gigi yang
salah, dapat menyebabkan robeknya mukosa dan memperparah ulser yang sudah ada.

3. Alergi
Zat deterjen pada pasta gigi, misalnya sodium lauryl sulfat, diduga sebagai
pemicu terjadinya SAR pada beberapa orang. Mekanismenya diduga akibat abnormalitas
imun. Merupakan respon limfosit T terhadap antigen. Aksi sitotoksis dari limfosit dan
monosit pada epitel mukosa oral dapat menyebabkan ulserasi. Imunitas humoral dan cellmediated terhadap antigen streptokokus oral dan mukosa oral manusia tampaknya
merupakan hal yang penting pada SAR. Meskipun etiologinya tidak diketahui, berbagai
studi baru-baru ini mencurigai proses imunopatik yang melibatkan aktivitas sitolitik
diperantarai sel sebagai respons terhadap HLA atau antigen asing.
4. Stres dan menstruasi
Kedua faktor ini berperan penting sebagai penyebab kejadian SAR. Beberapa
literatur menyebutkan adanya hubungan yang erat antara SAR dengan siklus menstruasi
meskipun belum ada bukti yang menyakinkan bahwa keadaan psikologis atau stres
berhubungan dengan SAR.
Mekanisme terjadinya SAR pada stres berhubungan dengan hormon kortisol. Sekresi
kortisol yang meningkat pada respon stres meningkatkan level plasma kortisol. Hal ini
akan meningkatkan katabolisme protein sehingga penyembuhan luka menjadi lambat.
Hormon kortisol yang terbentuk dapat menghambat imunoglobulin A yang terdapat
dalam saliva, yang merupakan sistem imun dalam saliva. Sehingga apabila stres, kortisol
meningkat, lalu IgA menurun dan sistem imun turun sehingga mempermudah terjadi
ulser.
5. Mikroorganisme
Beberapa mikroorganisme yang berperan terhadap terjadinya SAR diantaranya
Streptococci, HSV, Varicella Zoster dan Cytomegalovirus. Bentuk L dari streptokokus
dicurigai menjadi penyebab dalam pembentukan ulserasi aftosa.
6. Defisiensi nutrisi
Defisiensi zat besi (Fe), asam folat, vitamin B12 dan vitamin B-kompleks
(vitamin B1, B2, dan B6) dilaporkan berhubungan dengan kejadian SAR. Hubungannya
biasanya karena defisiensi, terutama vitamin B12 dan asam folat akibat malabsorpsi.
Gangguan hematologik terutama defisiensi besi, folat atau vitamin B 12 khususnya serum
Fe, folat, atau vitamin B12 juga dihubungkan dengan SAR. Pada defisiensi ini,

hemoglobin berada di bawah normal, dan ditandai dengan mikrositosis atau makrositosis
sel darah merah.
7. Faktor Sistemik
Kondisi sistemik yang mempengaruhi kejadian SAR diantaranya gangguan GIT,
neutropenia, HIV, defisiensi IgA, dan penggunaan obat-obatan anti inflamasi non steroid.
8. Perubahan kebiasaan merokok
Menurut Greenberg and Glick, penghentian kebiasaan merokok pada beberapa
kasus dapat meningkatkan frekuensi dan derajat keparahan dari SAR itu sendiri.
Tembakau dapat meningkatkan keratinisasi mukosa, yang menyebabkan mukosa lebih
tahan terhadap ulserasi.
Klasifikasi
SAR diklasifikasikan berdasarkan karakteristik klinisnya, yaitu:
1. Stomatitis Apthous Recurrent minor
Aptous minor mempunyai keceenderungan terjadi pada mukosa bergerak yang terletak
pada jaringan kelenjar saliva minor. Sering terjadi pada mukosa bibir dan pipi, dan jarang
terjadi pada mukosa berkeratin seperti palatum durum dan gusi cekat. Gejala prodormal
terkadang muncul. Apthous minor tampak sebagai ulkus oval, dangkal, berwarna kuningkelabu, dengan diameter sekitar 3-5 mm. Tidak ada bentuk vesicle yang terlihat pada
ulkus ini. Tepi eritematosus yang mencolok mengelilingi pseudomembran fibrinosa. Rasa
terbakar merupakan keluhan awal, diikuti rasa sakit hebat beberapa hari. Kambuh dan
pola terjadinya bervariasi. Ulkus bisa tunggal maupun multiple, dan sembuh spontan
tanpa pembentukan jaringan parut dalam waktu 14 hari. Kebanyakan penderita
mengalami ulser multiple pada 1 periode dalam waktu 1 bulan.

Gambar: Stomatitis Apthous Recurrent minor


2. Stomatitis Apthous Recurrent mayor

Aptous mayor merupakan bentuk yang lebih besar dari aptous minor, dengan ukuran
diameter lebih dari 1 cm, bersifat merusak, ulser lebih dalam, dan lebih sering timbul
kembali. Umumnya terjadi pada wanita dewasa muda yang mudah cemas. Seringnya
multiple, meliputi palatum lunak, fausea tonsil, mukosa bibir, pipi, dan lidah, kadangkadang meluas sampai ke gusi cekat. Ulkus ini memiliki karakteristik, crateriform,
asimetris dan unilateral. Bagian tengahnya nekrotik dan cekung. Ulkus sembuh beberapa
minggu atau bulan, dan meninggalkan jaringan parut.

Gambar: Stomatitis Apthous Recurrent mayor


3. Stomatitis Apthous Recurrent herpetiform
Ulkus herpetiform ini, secara klinis mirip ulkus-ulkus pada herpes primer. Gambaran
berupa erosi kelabu yang jumlahnya banyak, berukuran sekepala jarum yang membesar,
bergabung dan menjadi tak jelas batasnya. Awalnya berdiameter 1-2 cm dan timbul
berkelompok 10-100 buah. Ulkus dikelilingi daerah eritematosus dan mempunyai gejala
sakit. Biasanya terjadi hampir pada seluruh mukosa oral terutama pada ujung anterior
lidah, tepi-tepi lidah dan mukosa labial. Sembuh dalam waktu 14 hari.

Gambar: Stomatitis Apthous Recurrent herpetiform

Manifestasi Klinis
Lesi SAR yang pertama kali muncul seringkali terjadi pada usia 20-an dan dapat
ditimbulkan oleh trauma minor, menstruasi, infeksi saluran pernafasan atas, atau kontak dengan
makanan tertentu. Tahap-tahap perkembangan ulser pada RAS:

Tahap prodormal

: berlangsung 2 48 jam, rasa tidak enak di dalam mulut dan

disertai gejala malaise seperti demam. Tetapi tahap ini jarang terjadi pada kebanyakan
pasien.

Tahap pre-ulseratif

: ditandai dengan adanya mukosa yang berwarna kemerahan dan

bengkak.

Tahap ulseratif: merupakan tahap yang dominan, pasien merasakan adanya nyeri lokal
pada mukosa mulut. Terlihat lesi cekung dengan margin yang tajam dan jelas dikelilingi
daerah yang eritema dan oedem. Lesi berbentuk bulat atau oval regular. Hal ini
berlawanan dengan lesi traumatik yang berbentuk irregular.

Tahap penyembuhan : rasa nyeri menghilang, terlihat gambaran granulasi dan


pseodomembran.

Tahap remisi

: tahap ini waktunya panjang / pendek, regular / irregular

tergantung dari faktor etiologi.


Patofisiologi SAR
Pada awal lesi terdapat infiltrasi limfosit yang diikuti oleh kerusakan epitel dan infiltrasi
neutrofil ke dalam jaringan. Sel mononuclear juga mengelilingi pembuluh darah (perivaskular),
tetapi vasculitis tidak terlihat. Namun, secara keseluruhan terlihat tidak spesifik.
Perjalanan stomatitis aphtous dimulai dari masa prodromal selama 1-2 hari, berupa panas
atau nyeri setempat. Kemudian mukosa berubah menjadi makula berwarna merah, yang dalam
waktu singkat bagian tengahnya berubah menjadi jaringan nekrotik dengan epitelnya hilang
sehingga terjadi lekukan dangkal. Ulkus akan ditutupi oleh eksudat fibrin kekuningan yang dapat
bertahan selama 10-14 hari. Bila dasar ulkus berubah warna menjadi merah muda tanpa eksudat
fibrin, menandakan lesi sedang memasuki tahap penyembuhan.

Diagnosis
SAR adalah penyebab utama dari ulser oral rekuren dan seringkali ditemui bersama
penyakit lainnya. Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang teliti dari klinisi yang berpengalaman
dapat membedakan RAS dari lesi primer akut lain seperti stomatitis viral atau dari lesi multipel
kronis seperti pemphigoid, sama halnya dari penyebab terjadinya ulser rekuren, seperti penyakit
jaringan ikat, reaksi obat-obatan, dan penyakit kulit. Anamnesis harus ditekankan pada gejala
kelainan darah, keluhan-keluhan sistemik, dan lesi yang berhubungan dengan kulit, mata, genital,
atau rektal. Pemeriksaan laboratorium harus digunakan saat ulser bertambah parah atau terjadi
pada usia di atas 25 tahun. Biopsi hanya dilakukan untuk menunjang kesembuhan penyakit lain
yang menyertainya, khususnya penyakit granulomatosa seperti Chrons disease atau sarcoidosis.
Pasien dengan ulser minor atau mayor yang parah harus mengetahui faktor penyebab
yang diperiksa, termasuk penyakit jaringan ikat dan kadar abnormal zat besi, folat, vitamin B12,
dan ferritin. Pasien dengan kelainan tersebut harus dirujuk ke bagian penyakit dalam untuk
penanganan gangguan absorpsi atau terapi pengganti yang tepat. Klinisi juga harus dapat
memutuskan makanan apa yang membuat alergi atau sensitif terhadap gluten yang ditemukan
pada kasus-kasus dimana lesi parah dan resisten terhadap terapi lain. Pasien dengan infeksi HIV,
khususnya mereka dengan kadar CD4 di bawah 100/mm3, dapat menderita ulser aftosa mayor.
Diferensial Diagnosis
Diagnosa banding dari RAS adalah Traumatic ulcer, Behets syndrome, recurrent HSV
infection, recurrent erythema multiforme.
1. Traumatic ulser
Lesi SAR berbentuk bulat atau oval, sedangkan traumatic ulcer irregular. SAR biasanya
mengenai mukosa non keratin seperti mukosa bukal dan labial, sedangkan traumatic ulcer
bisa mengenai palatum, gingiva, dan lidah. Persamaannya dengan SAR adalah
etiologinya yaitu trauma pada mukosa.
2. Behcets Syndrome
Behets Syndrome, ditemukan oleh dermatologis Turki Hulsi Behet, secara klasik
digambarkan sebagai trias gejala yang meliputi ulser oral rekuren, ulser genital rekuren,
dan lesi mata. Behets syndrome disebabkan oleh imunokompleks yang mengarah pada
vasculitis dari pembuluh darah kecil dan sedang dan inflamasi dari epitel yang
disebabkan oleh limfosit T dan plasma sel yang imunokompeten. Lesi tunggal yang

paling umum terjadi pada Behets syndrome terjadi di mukosa oral. Ulser oral rekuren
muncul pada lebih dari 90% pasien; lesi ini tidak dapat dibedakan dari RAS. Beberapa
pasien memiliki riwayat lesi oral ringan yang rekuren; beberapa pasien lainnya memiliki
lesi yang besar dan dalam serta meninggalkan jaringan parut yang mirip dengan lesi RAS
mayor.
3. Recurrent HSV infection
Infeksi herpes rekuren dalam rongga mulut (recurrent herpes labialis [RHL]; recurrent
intraoral herpes simplex infection [RIH]) muncul pada pasien yang pernah terinfeksi
herpes simpleks dan memiliki serum antibodi untuk melawan infeksi eksogen primer.
Herpes rekuren bukan merupakan infeksi berulang melainkan re-aktivasi virus yang
menjadi laten dalam jaringan saraf antara episode-episode dan masa replikasi. Herpes
simpleks dapat dikultur dari ganglion trigeminal pada jasad manusia, dan lesi herpes
rekuren bisaanya muncul setelah pembedahan yang melibatkan ganglion tersebut. Herpes
rekuren dapat juga diaktivasi oleh trauma pada bibir, demam, sinar matahari,
imunosupresan, dan menstruasi. Virus berjalan ke bawah menuju batang saraf untuk
menginfeksi sel epitel, menyebar dari sel ke sel dan menyebabkan lesi.
4. Recurrent erythema multiforme
Erythema multiforme (EM) adalah penyakit inflamasi akut pada kulit dan membran
mukosa

yang

menyebabkan berbagai macam lesi kulit-karenanya

dinamakan

multiforme. Lesi pada mulut pada umumnya adalah inflamasi yang dibarengi vesikel
dan bulla yang ruptur dengan cepat dan bisanya adalah komponen penting dari gambaran
khas dan seringkali adalah satu-satunya komponen. Erythema multiforme dapat terjadi
sekali atau kambuh an harus dipertimbangkan dalam diagnosa multiple acute oral ulcers,
ada atau tidaknya riwayat dari lesi yang sama.
Terapi
Meskipun stomatitis aphthous recurrent dapat sembuh secara spontan dalam 10-14 hari
setelah onset, namun kelainan ini dapat menimbulkan rasa yang sangat sakit. Tujuan dari terapi
harus dapat mengurangi inflamasi, meminimalisir rasa sakit dan rasa tidak nyaman, serta
mempercepat proses penyembuhan. Beberapa pengobatan yang dianggap baik meliputi
penggunaan antibiotik, obat kumur antimikroba, dan suplemen makanan.

Pengobatan diberikan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Pada kasus yang ringan
dengan 2-3 lesi ringan dapat digunakan obat topikal seperti Orabase atau Zilactin. Sebagai
pereda rasa sakit dapat diberikan topikal anestesi atau diklofenak. Topikal analgesik dengan
sediaan obat kumur atau spray, seperti benzydamine hidrochloride dapat digunakan untuk
mengurangi ketidaknyamanan. Bagaimanapun, 2% gel lignocaine, digunakan secara langsung
atau dicairkan sebagai obat kumur, lebih efektif untuk kasus SAR yang parah. Penggunaan
jangka panjang lignocaine tidak disarankan, karena mempunyai efek sistemik jika terabsorbsi.
Obat untuk tenggorokan (Over-the-counter throat Lozenges) yang mengandung anestesi, selalu
dikombinasikan dengan antiseptik, dapat digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan SAR
tapi kebanyakan mengandung gula. Beberapa pasien juga membutuhkan analgesik sistemik
seperti ibuprofen dan parasetamol.
Bahan antiseptik dapat sangat membantu untuk mengurangi infeksi sekunder sementara,
dengan sedian obat kumur, gel, dan pastiles. Obat kumur klorheksidin digunakan secara luas
untuk perawatan simtomatik SAR dan membantu pasien yang sulit memelihara kebersihan
mulutnya. Digunakan 3 kali sehari setelah makan dan dikumur dalam mulut sekitar 1 menit,
mengurangi durasi dan ketidaknyamanan SAR. Larutan zink sulfat dan zink klorida juga
mempunyai efek yang menguntungkan.
Pada kasus berat digunakan kortikosteroid topikal seperti fluocinonide, betamethasone,
atau clobetasol untuk mempercepat waktu penyembuhan dan mengurangi ukuran lesi. Gel dapat
digunakan 2 3 kali sehari sesudah makan dan saat akan tidur. Pada lesi yang lebih besar terapi
dapat dilakukan dengan meletakkan gauze sponge yang berisi topikal steroid pada lesi lalu
dibiarkan selama 15 30 menit. Area lesi dikeringkan sebelum aplikasi topikal kortikosteroid,
kemudian obat diaplikasikan tanpa tekanan didaerah lesi. Pasien diinstruksikan untuk tidak
makan dan minum sekitar satu jam setelah aplikasi topikal kortikosteroid tersebut. Obat topikal
lainnnya yang dapat mengurangi waktu penyembuhan SAR adalah tetrasiklin topikal, yang dapat
digunakan sebagai obat kumur atau diaplikasikan pada gauze sponge. Pada lesi mayor atau lesi
minor yang multipel dan tidak merespon terapi topikal diberikan terapi sistemik seperti
kolchicines, pentoxifyllin, dapsone, steroid sistemik dan thalidomide.

DAFTAR PUSTAKA

Cawson, R.A. ; E.W. Odell. 2002. Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. 7 th ed.
Churchill Livingstone : Edinburg.
Gayford, J.J and Haskell,R. 1990. Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine). Alih Bahasa oleh
Drg. Lilian Yuwono. Jakarta : EGC.
Gandolfo et al. 2006. Oral Medicine. Churchill Livingstone : Elsevier.
Greenberg and Glick. 2008. Burkets Oral Medicine. Oral Medicine. 11 th edition. Ontario: BC
Decker Inc.
_________________. 2003. Burkets Oral Medicine. AS: BC Decker Inc.
Lamey and Lewis. 1991. Oral Medicine in Practice. Glasgow dental hospital and school.
Langlais and Miller. 2000. Atlas Berwarna: Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta:
Hipokrates.
_______________. 2003. Color atlas of common oral disease. Philadelphia: Lippincot William
& Wilkins
Little, dkk. 2002. Dental Management Of The Medically Compromised Patient. 6th ed. St. Louis:
Mosby.
Mosby. 2008. Mosby's Dental Dictionary, 2nd Edition. Elsevier.
Neville, B.W; Damm, D.D; Allen,C.N; and Bouquot, J.E. 1995. Oral and Maxillofacial
Pathology. Philadelphia London Toronto: Saunder Co. 295-365 pp.
Sonis, dkk. 1995. Principles and Practice of Oral Medicine. Pennsylvania : W.B. Saunders
Company.
Tyldesley. 2003. Tyldesleys Oral Medicine. 5th ed. Inggris: Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai