Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN

Disusun Oleh :
Alice Melissa Simaela
03010020

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 23 NOVEMBER 2015 - 31 JANUARI 2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Menurut
World Health Organization (WHO), insidens TB pada tahun 2008 adalah 9,4 juta dan 3,6 juta
di antaranya menginfeksi wanita. Global Report of Tuberculosis tahun 2015 Indonesia
termasuk dalam high burden country dengan angka insidensi Tuberkulosis tertinggi kedua
dari 22 negara high burden lainnya. Bahkan target reduksi 50% kasus dari tahun 1990 hingga
2015, masih belum tercapai. Selain itu, TB merupakan salah satu penyebab terbesar kematian
pada wanita, yaitu sekitar 700.000 kematian setiap tahun, dan sepertiga dari kematian
tersebut terjadi pada wanita usia subur. Suatu penelitian lain yang dilakukan di UK pada
tahun 2008, insidens TB pada kehamilan adalah 4,2 per 100.000 kehamilan. TB pada
kehamilan dapat bermanifestasi sebagai TB pulmoner dan TB ekstrapulmoner.1
Indonesia belum mempunyai data prevalensi TB pada perempuan hamil. Di poliklinik
tuberkulosis Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) tahun 2006 dan 2007
terdapat 0,2% perempuan hamil yang mengidap TB. Angka tersebut sebanding dengan
prevalensi TB pada masyarakat umum. Untuk itu diasumsikan bahwa penyebaran TB pada
perempuan hamil minimal tidak berbeda dengan sebaran di kalangan masyarakat. Oleh
karena itu usaha penapisan seharusnya dapat dilakukan pada populasi perempuan hamil
mengingat risiko yang lebih tinggi yang akan didapat oleh ibu dan janin.
Periode prenatal dengan jadwal pemeriksaan berkala yang telah ditetapkan oleh WHO
memberi kesempatan untuk membantu usaha ini dengan melakukan pemeriksaan dan
pengobatan, terutama pada perempuan hamil yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi
penyakit ini. Pada perempuan hamil TB memberi pengaruh pada kehamilan dan janin terkait
dengan keterlambatan pengobatan. Lebih dari 90% perempuan hamil dengan TB aktif muncul
dari populasi perempuan hamil dengan infeksi tuberkulosis yang tidak diobati. 2,10,11 Mortalitas
perinatal pada perempuan hamil yang menderita TB enam kali lebih tinggi jika dibandingkan
kontrol dengan insidens prematuritas dan berat badan lahir rendah meningkat dua kali lipat.

Diagnosis dan pengobatan yang terlambat berhubungan dengan meningkatnya morbiditas ibu
empat kali lebih tinggi.
Pada masa sebelum ditemukannya kemoterapi, didapatkan kematian sampai 70%
disebabkan oleh TBC pada wanita usia reproduksi. Setelah kemoterapi ditemukan insidens
TBC meningkat kembali, hal ini dikarenakan timbulnya bermacam-macam faktor, salah
satunya infeksi human immunodeficiency viral (HIV).3 TBC pada kehamilan mempunyai
gejala klinis yang serupa dengan TBC perempuan tidak hamil. Diagnosis mungkin
ditegakkan terlambat karena gejala awal yang tidak khas. Keluhan yang sering ditemukan
batuk, demam, malaise, penurunan berat badan dan hemoptisis.
Pemberian regimen kemoterapi yang tepat dan adekuat akan memperbaiki kualitas
hidup ibu, mengurangi efek samping obat anti tuberculosis (OAT) terhadap janin dan
mencegah infeksi yang terjadi pada bayi yang baru lahir.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menular dan dapat menyerang
berbagai organ dalam tubuh, dan terutama menyerang paru. Infeksi ini disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.2
2.2 Faktor Predisposisi
Adapun faktor-faktor predisposisi seseorang dapat tertular Tuberkulosis ialah kontak
dengan penderita tuberkulosis, nutrisi kurang, dan faktor sosio ekonomi.2
2.3 Epidemiologi
Indonesia belum mempunyai data prevalensi TB pada perempuan hamil. Di poliklinik
tuberkulosis Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) tahun 2006 dan 2007
terdapat 0,2% perempuan hamil yang mengidap TB. Pada tahun 2013, diperkirakan 3.3 juta
wanita mengidap TB, dimana sebagian besar diderita oleh wanita di Afrika dan Asia Tenggara
dengan jumlah mencapai 70% kasus. Menurut Global Report of Tuberculosis tahun 2015
Indonesia termasuk dalam high burden country dengan angka insidensi Tuberkulosis tertinggi
kedua dari 22 negara high burden lainnya. Bahkan target reduksi 50% kasus dari tahun 1990
hingga 2015, masih belum tercapai. Tuberkulosis kemudian menjadi salah satu penyebab
kematian dan penyulit pada masa kehamilan.1
2.4 Etiologi dan Mikrobiologi Tuberkulosis
Penyebab dari penyakit tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis,yang
mempunyai karakteristik mikrobiologi yaitu bersifat an aerobic, non-spore-forming,
nonmotile bacillus, merupakan salah satu dari lima anggota Mycobacterium tuberculosis
complex, di mana yang lain adalah: M. bovis, M. ulcerans, M. Africanum, andM. microti,
akan tetapi M. tuberculosis

adalah yang bersifat pathogen pada manusia. Golongan

mycobacterium lain yang juga dapat menginfeksi manusia adalah Mycobacterium leprae, M.
avium, M. Intracellulare, and M. scrofulaceum.3,4

2.5 Patofisiologi Tuberkulosis


Tuberkulosis dapat menyerang hampir semua organ tubuh, tetapi yang biasa diserang
adalah paru (lebih kurang 80%). Pada pasien pengidap HIV, pola dari infeksi TBC ini agak
berbeda, yang mana cenderung terjadi TBC extrapulmonal. Hampir semua infeksi TBC
disebabkan oleh penularan melalui inhalasi dari partikel-partikel yang infeksius yang
dikeluarkan oleh pasien pengidap TBC lewat batuk, bersin, berbicara, atau menggunakan
tissue yang mengandung kuman TBC. Cara penularan lain yang mungkin terjadi yaitu lewat
mulut dengan mengkonsumsi susu yang tidak dioasteurisasi dan bisa juga melalui implantasi
langsung melalui kulit yang tidak intact atau melalui conjunctiva. Aerosolized tuberculosis
particles dengan besar partikel antara 1-5m dapat dibawa ke udara bebas dan dapat
menyebar ke tempat yang jauh dan dapat menginfeksi orang-orang di sekitarnya. Setelah
sampai di paru, maka terjadi reaksi dari tubuh, terjadi proses fagositosis oleh makrofag paru,
terjadi reaksi granulomatous, yang mana kemudian menimbulkan pembentukan Ghons
focus. Basil TBC ini tetap berada dalam kondisi dorman dalam Ghons focus ini untuk waktu
yang lama, yang mana suatu saat dapat berubah menjadi reaktif terutama bilamana seseorang
mengalami kondisi immunocompromised atau mengidap penyakit lain yang melemahkan
sistem imunnya.5
2.6 Tuberkulosis pada Kehamilan
Berbagai opini dari praktisi medis mengenai tuberkulosis pada kehamilan secara
singkat direfleksikan sebagai suatu kondisi kesehatan masyarakat yang signifikan. Hal
tersebut digambarkan dengan pisau bermata dua, sisi pertama adalah efek tuberkulosis pada
kehamilan dan pola perkembangan neonatus, sisi lainnya merupakan efek kehamilan terhadap
perkembangan tuberkulosis. Tuberkulosis tidak hanya menyumbang proporsi yang signifikan
dalam beban penyakit global, juga merupakan kontributor yang signifikan untuk kematian
ibu, merupakan salah satu penyakit dari tiga penyebab utama kematian di kalangan wanita
usia 15-45 tahun. Angka insiden TB pada kehamilan tidak tersedia di banyak negara karena
banyak faktor perancu. Namun demikian, diperkirakan bahwa kejadian TB pada wanita hamil
akan sama tingginya pada populasi umum, dengan kejadian mungkin lebih tinggi di negara
berkembang.6
2.6.1 Efek Kehamilan pada Tuberkulosis

Peneliti dari zaman Hippocrates telah menyatakan kekhawatiran mereka tentang efek
tak diinginkan yang mungkin ada pada kehamilan dengan TB paru. Terjadinya TB diyakini
sebagai akibat dari peningkatan tekanan intraabdomen terkait dengan kehamilan. Keyakinan
ini dipegang secara luas sampai awal abad keempat belas. Peneliti seperti Hedvall dan
Schaefer menunjukkan tidak adanya keuntungan maupun efek samping dari kehamilan
terhadap progresi TB. Namun, kehamilan yang berurutan dapat memberikan efek negatif
yaitu menimbulkan reaktivasi tuberkulosis laten.7
Beberapa penelitian, salah satunya yang dilakukan di New Orleans menyatakan
bahwa selama kehamilan progresifitas TB relatif stabil dibandingkan dengan setelah
kehamilan. 6 minggu setelah kehamilan didapatkan bahwa terdapat perjalanan penyakit
menjadi lebih progresif. Hal ini dianggap sebagai akibat dari hormon estrogen yang tinggi
saat kehamilan, dan menurun seusai kehamilan. Estrogen memiliki hubungan sinergi dengan
IFN-gamma dalam menghambat pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis. Selain itu,
estrogen dapat menyebabkan aktivasi makrofag, serta NK-Cell yang berperan penting6,7
Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa diagnosis tuberkulosis pada kehamilan
mungkin lebih sulit dilakukan, karena gejala awalnya mungkin dianggap berasal dari
kehamilan.Penurunan berat badan yang berhubungan dengan penyakit juga mungkin tertutupi
oleh kenaikan berat badan normal pada kehamilan.

2.6.2 Efek Tuberkulosis terhadap Kehamilan


Efek TB terhadap kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk tingkat
keparahan

penyakit,

umur

kehamilan

saat

didiagnosis

TB,

adanya

penyebaran

ekstrapulmoner, koinfeksi HIV dan pengobatan yang diberikan. Prognosis paling buruk
terjadi pada wanita dengan diagnosis penyakit yang sudah lanjut pada masa nifas, begitu juga
pada wanita dengan koinfeksi HIV. Kegagalan pengobatan juga memperburuk prognosis.
Namun, data mengenai efek TB terhadap maternal dan luaran neonatal masih belum
jelas. Beberapa penelitian mengatakan bahwa dengan pengobatan yang tepat dalam jangka
waktu yang benar, infeksi TB tidak memberikan efek negatif terhadap kehamilan. Dari suatu
penelitian prospektif di India, tidak ada perbedaan pada komplikasi kehamilan pada wanita
yang didiagnosis TB dan diterapi dengan wanita hamil yang tidak terkena TB. Namun,
terdapat suatu pengecualian pada wanita hamil yang terlambat memulai terapi TB, terjadi

peningkatan mortalitas neonatus dan tingginya angka prematur. Dalam penelitian, diagnosis
dan terapi TB dimulai pada umur gestasi antara 13 dan 24 minggu (67%). Hasil dari terapi
seperti konversi sputum, stabilisasi penyakit dan angkat terjadinya relaps hampir sama
dengan penderita TB yang tidak hamil, Namun dalam penelitian ini, ibu hamil yang terinfeksi
TB, tidak terinfeksi HIV. Pada wanita hamil dengan HIV, efek dari TB lebih berkaitan dengan
infeksi HIV daripada keadaan kehamilannya. 6,7
Berlawanan dengan penelitian di atas, sebuah review retrospektif di Taiwan, ibu hamil
yang didiagnosis TB mengalami peningkatan risiko terjadinya kelainan pada kehamilan
dibandingkan dengan ibu yang tidak terinfeksi TB. Pada ibu hamil dengan TB mempunyai
angka persentase berat lahir rendah dan bayi yang lebih kecil daripada usia gestasi yang
tinggi, namun tidak ada perbedaan mengenai kelahiran prematur pada dua kelompok tersebut.
Meskipun demikian, diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang
penting.TB masih menjadi penyebab morbiditas dan mortilitas maternal yang signifikan,
terutama dalam konteks ko-infeksi HIV. 6
Komplikasi obstetrik lainnya yang dilaporkan adalah abortus spontan, uterus yang
kecil, peningkatan berat badan hamil yang tidak optimal.Lainnya adalah lahir prematur, berat
badan lahir rendah, dan meningkatnya mortalitas neonates, seperti yang sudah disebutkan
diatas.Diagnosis dan terapi TB yang cepat merupakan suatu hal yang penting.TB masih
menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas maternal yang signifikan, terutama dalam
konteks ko-infeksi HIV.Diagnosis yang telat merupakan faktor independen dimana akan
meningkatkan morbiditas sebanyak empat kali lipat, dan kelahiran premature meningkat
sebanyak sembilan kali lipat. 7

2.7 Tuberkulosis pada Neonatus


Transmisi TB ibu ke anak dapat terjadi di dalam uterus dengan penyebaran hematogen
melalui vena umbilikus dan aspirasi atau menelan cairan amnion yang terinfeksi dan juga
selama proses kelahiran melalui kontak dengan cairan amnion yang terinfeksi atau sekresi
genital. Infeksi post-partum dapat terjadi melalui penyebaran di udara atau melalui cairan
susu yang terinfeksi dari lesi tuberkulosis aktif di payudara. Walaupun transmisi melalui ASI
dapat diabaikan, bayi dari ibu dengan TB aktif masih dapat terinfeksi melalui penyebaran

lewat udara.Jika ibu baru saja didiagnosa, belum di terapi, dan TB aktif, maka ibu harus
dipisahkan dari anaknya untuk mencegah penularan. Diagnosis TB pada neonatus bukan hal
yang mudah, kecurigaan klinis terhadap gejala non spesifik dan sulit dibedakan dengan
gejalan kongenital lainnya merupakan hal penting. Pada TB kongenital, gejala terlihat pada
umur 2 dan 3 minggu. Diagnosis definitif yaitu dengan kultur M.tuberkulosis dari jaringan
atau cairan. Gambaran radiologi dada yang abnormal sering ditemukan, setengahnya
memberikan gambaran pola miliar.Jika terdiagnosa TB aktif, harus diberikan terapi penuh.
Jika tidak terdiagnosis TB aktif, maka diberikan profilkasis isoniazid.
Tuberkulosis kongenital merupakan komplikasi di dalam uterus yang jarang terjadi
sementara itu risiko transmisi setelah kelahiran tinggi. Tuberkulosis kongenital merupakan
hasil penyebaran hematogen melalui vena umbilkal ke hati janin atau melalui penelanan atau
aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Fokus primer terbentuk di hati dengan adanya
keterlibatan nodus limfe periportal. Basil tuberkel menginfeksi paru secara sekunder, berbeda
pada dewasa yang 80% infeksi primer terjadi di paru.
Tuberkulosis kongenital mungkin sulit dibedakan dengan infeksi neonates atau infeksi
kongenital dengan gejalan yang mirip pada umur dua sampai tiga minggu. Gejala-gejalanya
adalah hepatosplenomegaly, repiratory distress, demam, dan limfadenopati.Abnormalitas
radiografi dapat terlihat namun secara umum terlihat belakangan. Diagnosis tuberkulosis
neonates ditegakkan dengan kriteria diagnosis Cantwell et al, yaitu adanya kompleks primer
hepar/ granuloma kaseseosa pada biopsy hepar perkutaneus saat kelahia, plasenta yang
terinfeksi, atau tuberkulosis traktus genital maternal, dan lesi saat minggu pertama kehidupan.
Kemungkinan transmisi setelah kelahiran harus disingkirkan dengan menelaah semua riwayat
kontak termasuk kontak dengan tenaga medis dan penjenguk.8
Sebanyak setengah dari neonatus dengan tuberkulosis kongenital meninggal dunia
terlebih lagi pada kasus yang tidak diterapi.

2.8 Diagnosis Tuberkulosis pada Kehamilan


Untuk mendiagnosis kondisi tersebut, riwayat paparan terhadap individu dengan
batuk kronis atau berkunjung ke daerah endemik tuberkulosis harus diperoleh. Riwayat
gejala, mirip dengan gejala yang dialami oleh wanita tidak hamil. Perhatian harus
ditingkatkan mengingat gejala pada ibu hamil tidak spesifik, yaitu keringat di malam hari,

demam di malam hari, batuk darah, penurunan berat badan yang progresif, dan batuk kronis
selama lebih dari tiga minggu. Tahap penting dalam membuat diagnosis pada kehamilan yaitu
untuk mengidentifikasi faktor risiko untuk infeksi TB dan gejala-gejala infeksi. Setiap ibu
yang datang dengan tanda dan gejala TB, dianggap sebagai tersangka (suspek) TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. 9,10
Pemeriksaan rutin terhadap TB selama masa kehamilan bukan merupakan suatu
standar yang dilakukan diberbagai tempat pelayanan, dan hal ini menjadi salah satu faktor
keterlambatan diagnosis dan meningkatkan angka mortalitas maternal. Pada suatu penelitian
di Soweto, Afrika Selatan, pemeriksaan penyaring TB dengan menanyakan beberapa
pertanyaan saat melakukan kunjungan antenatal dirasakan mudah untuk dilakukan. Oleh
karena itu, direkomedasikan cara tersebut dilakukan di daerah dengan prevalensi HIV tinggi,
dimana angka infeksi TB pada wanita hamil juga tinggi dalam keadaan tersebut.11
Alat diagnostik yang biasa digunakan adalah pemeriksaan sputum bakteri tahan asam,
kultur sputum, dan spesimen lainnya, dan radiografi dada. Tes tuberkulin mempunyai nilai
diagnosis pada infeksi laten TB, kecuali di daerah dengan prevalensi dan insiden TB yang
tinggi.9,11
Pada wanita hamil dengan gejala dan tanda TB, juga dapat dilakukan tes tuberkulin.
Tes tersebut sudah dinyatakan aman untuk dilakukan pada ibu hamil. Namun, masih
diperdebatkan mengenai sensitivitas tuberkulin saat kehamilan. Penelitian awal mengatakan
bahwa adanya penurunan sensitivitas tuberkulin saat kehamilan, sementara itu penelitian
terakhir mengatakan tidak adanya perbedaan antara populasi hamil dan tidak hamil.
- Tes Mantoux
Injeksi intradermal derivat protein yang sudah dimurnikan sebanyak 0.1 mL (5
tuberculin units), dan reaksi kulit dianalisis 48-72 jam kemudian berdasarkan diameter
indurasi terbesar yang terbentuk. Tes ini lebih akurat daripada tes tine.
Positif palsu dapat terjadi pada pasien yang sudah mendapatkan vaksin BCG, yang sudah
mendapatkan pengobatan untuk tuberkulosis, ataupun pasien yang sudah terinfeksi dengan
spesies mycobacterium lainnya. Negatif palsu dapat terjadi karena sistem imun yang menurun
dan kesalahan teknis.

Pemeriksaan radiologi dada dengan penutup di bagian perut dapat dilakukan setelah
tes kulit tuberkulin, walaupun pemeriksaan radiografi dada tertunda karena kekhawatiran
akan efek radiasi terhadap janin.
Pemeriksaan mikroskopik sputum atau specimen lain untuk bakteri tahan asam masih
menjadi dasar diagnosis untuk TB dalam kehamilan. Pemeriksaan dahak dengan pewarnaan
BTA dilakukan dengan metode SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) sebanyak tiga kali pengambilan,
yaitu saat pertama kali berkunjung, kemudian setelah bangun tidur pagi di hari kedua (pot
dahak dibawa pulang), dan saat menyerahkan pot dahak hari kedua. Tiga contoh sputum
harus diperiksa untuk smear, kultur, dan uji kerentanan obat. Pewarnaan bakteri tahan asam
menggunakan Ziehl-Neelsen, flouresen, Auramine-Rhodamine, dan teknik Kinyoun.
Pemeriksaan dengan pewarnaan mungkin tidak kuat untuk diagnosis, karena hasil yang
negatif mungkin dapat luput. Individu dengan basil yang sedikit, pemeriksaan mikroskopis
tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.
Kontrol terhadap infeksi merupakan hal penting dalam kontrol penyebaran TB,
dimana infeksius hanya ketika di paru atau laring, dan tidak menyebar dengan kontak
singkat.Anggota keluarga dari ibu hamil yang terinfeksi harus diberikan informasi mengenai
cara penyebaran dan perlu dilakukan tes penyaring.
Adapun berikut merupakan alur diagnosis pada Ibu dengan Suspek Tuberkulosis Paru
menurut Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan oleh Kementrian Kesehatan
Indonesia;2

2.9 Tatalaksana TB pada Kehamilan


Penatalaksanaan pasien TBC pada kehamilan tidak berbeda dengan TBC tanpa
kehamilan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah pemberian OAT yang bisa menimbulkan
efek teratogenik terhadap janin. Penatalaksanaan secara umum terbagi atas penderita dengan
TBC aktif dan TBC laten.
Wanita hamil dengan TBC aktif biasanya diterapi dengan tidak mempertimbangkan
trisemester kehamilan. OAT yang digunakan tidak berbeda dengan wanita yang tidak hamil.
Golongan utama OAT seperti isoniazid, rifampisin, etambutol digunakan secara luas pada

wanita hamil. Obat-obat tersebut dapat melalui plasenta dalam dosis rendah dan tidak
menimbulkan efek teratogenik pada janin.
Penatalaksanaan TBC pada wanita hamil harus diberikan secara tepat dan adekuat,
serta mencegah timbulnya efek samping teratogenik pada janin. Untuk wanita hamil dengan
Kategori 1 (pasien TB baru BTA positif, ATAU pasien TB baru BTA negatif foto toraks
positif), ibu diberikan rifampisin, INH, pirazinamid, dan etambutol setiap hari selama 2
bulan, dilanjutkan rifampisin dan INH 3 kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan. Setelah
itu dilakukan pemeriksaan dahak kembali di akhir tahap intensif (bulan kedua). Bila hasil
negatif, lanjutkan pengobatan tahap berikutnya. Bila hasil negatif, lanjutkan pengobatan
tahap berikutnya. Bila hasil positif, berikan tambahan pengobatan seperti tahap intensif
selama 28 hari (OAT sisipan). Setelah selesai, lakukan pemeriksaan dahak ulangan. Bila
negatif, lanjutkan pengobatan ke tahap berikutnya. Bila tetap positif, rujuk pasien ke layanan
TB-MDR untuk pemeriksaan resistensi sambil melanjutkan pengobatan ke tahap lanjutan. 2
Lakukan pemeriksaan dahak satu bulan sebelum tahap lanjutan selesai (bulan kelima).
Bila hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan. Bila hasilnya postif, rujuk pasien ke layanan TBMDR dan mulai pengobatan kategori 2. Setelah itu lakukan pemeriksaan dahak di akhir
pengobatan (bulan keenam). Bila hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan. Bila hasilnya
positif, rujuk pasien ke layanan TB-MDR dan mulai pengobatan kategori 2.2
Lakukan pemeriksaan di akhir pengobatan (bulan keenam). Bila hasilnya negatif,
pasien dinyatakan sembuh. Bila hasilnya positif, rujuk pasien ke layanan TB-MDR dan mulai
pengobatan kategori 2. Apabila Ibu sudah melahirkan, setelah bayi lahir diberikan profilaksis
INH (5-10 mg/kgBB/hari) sampai 6 bulan. Vaksinasi BCG segera diberikan setelah
pengobatan profilaksis selesai. Ibu hamil dengan Tuberkulosis Kategori 2 (pasien kambuh,
pasien gagal, pasien putus berobat) dan ibu hamil dengan TB ekstra paru sebaiknya dirujuk
ke layanan TB-MDR untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai.2

2.9.1 Obat Antituberkulosis selama Kehamilan


OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan yaitu obat lini pertama (first line) dan
obat lini kedua (second line). Yang merupakan OAT lini pertama adalah Rifampisin, Isoniazid
(INH), Etambutol (EMB), dan Pirazinamid (PZA), sedangkan yang termasuk OAT lini kedua
adalah

Streptomisin,

Kanamisin,

Etionamid,

Kapreomisin,

Fluoroquinolones,

Amoxycillin/Clavulanic Acid, Para-Aminosalicylic Acid (PAS), Amikacin, Ethionamide and

Prothionamide, serta Cycloserine. Namun perlu diingat bahwa Ibu hamil tidak boleh
diberikan Streptomisin karena dapat menyebabkan cacat bawaan.
Dosis obat yang diberikan adalah sebagai berikut;
INH dosis 5 mg/kgbb/hari (untuk pemberian setiap hari) atau 10 mg/kgBB/hari
(untuk pemberian 3 kali seminggu); maksimum 300 mg/hari
Rifampisin 10 mg/kgBB/hari; maksimum 600 mg/hari
Pirazinamid 25 mg/kgBB/hari; maksimum 2000 mg/hari

Etambutol 15 mg/kgBB
Terapi tersebut dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) sesuai
berat badan ibu seperti tabel dibawah ini;2
Adapun KDT atau Kombinasi Dosis Tetap tahap intensif adalah 1 tablet mengandung
kombinasi RHZE (150 mg/75 mg/400 mg/275 mg) dan KDT tahap lanjutan 1 tablet mengandung
kombinasi RH (150 mg/150 mg).

A. RIFAMPISIN
Rifampisin merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada sel yang sedang
tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel yang sedang tidak aktif (resting cell).
Bekerja dengan menghambat sintesa RNA M. tuberculosis sehingga menekan proses awal
pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Bekerja di intra dan ekstra sel. Pada konsentrasi
0,005 -0,2 mg/l akan menghambat pertumbuhan M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga
menghambat beberapa Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara
in vitro, rifampisin dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M.
tuberculosis dan juga mempunyai mekanisme post antibiotic effect terhadap bakteri gram

negatif.16 Diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna, absorpsi rifampisin dapat berkurang
bila diberikan bersama makanan.
Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata pada urin, saliva, feses,
sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg BB, ikatan protein plasma 60-80%,
waktu paruh 1-6 jam dan akan memanjang bila terdapat gangguan fungsi hepar. Dapat
melewati barier plasenta dan dapat dijumpai konsentrasi rendah di ASI. Rifampisin melewati
plasenta dengan kadar yang sama dengan ibu.3,4
Pada akhir trismester ke-3 rasio konsentrasi pada tali pusat dan ibu besarnya 0,12 0,33. Pada 442 perempuan hamil yang minum rifampisin, termasuk 119 perempuan yang
terpajan selama trismester pertama tidak terdapat peningkatan kelainan janin secara
bermakna. Beberapa studi yang menunjukkan insidens malformasi rata-rata 1,8 - 4,4% pada
204 kehamilan. Efek samping ringan dapat timbul pada pemberian rifampisin antara lain:
sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan, sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri
tulang dan sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah dan kadang-kadang diare. Efek
samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah sindrom respirasi, purpura, anemia hemolitik
yang akut, syok dan gagal ginjal. Efek samping pada bayi baru lahir juga didapatkan
hemorrhagic disease of the newborn sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K.

B. ISONIAZID (INH)
Isoniazid (INH) menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting
dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak
yang terekstraksi oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman yang peka yang menyerap
obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses aktif. Bersifat bakterisid, dapat
membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. INH mudah
diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kelarutan INH dalam lemak tinggi, berat
molekul rendah dan melalui plasenta serta mudah mencapai janin dengan kadar hampir sama
dengan ibu.
Pada penelitian, setelah pemberian INH dosis 100 mg jangka pendek sebelum
kelahiran didapatkan rasio konsentrasi tali pusat dan ibu sebesar 0,73. Kadar puncak dicapai
dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Efek samping berat berupa hepatitis dapat
timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai
ikterus hilang. Efek samping yang ringan dapat berupa: tanda keracunan pada saraf tepi,
kesemutan, nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian

piridoksin (dengan dosis 5-10 mg per hari atau dengan vitamin B kompleks). Efek samping
pada bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan (hemmorrhagic disease of the newborn)
sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K sebelum kelahiran.
C. ETAMBUTOL
Etambutol (EMB) merupakan inhibitor arabinosyl transferases (I,II,III). Arabinosyl
transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, yang merupakan unsur esensial
dari dinding sel Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl transferase III lebih kuat
dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase digunakan untuk menjadikan EMB-CAB
operon. Hal ini menyebabkan metabolisme sel terhambat dan sel mati. Gangguan sintesis
arabinoglycan mengubah barier sel, lipofilik meningkatkan aktivitas obat yang bersifat
seperti rifampisin
dan ofloksasin. Dinding sel Mycobacterium spp sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup organisme di penjamu. Dinding sel Mycobacterium terdiri dari mycolic
acid, arabinoglycan dan peptidoglycan. Dinding sel merupakan lapisan lipid bilayer dan
asimetris. Hampir semua galur M. tuberculosis dan M. kansasii sensitif terhadap etambutol.
Etambutol tidak efektif untuk kuman lain. Etambutol pada konsentrasi 1-5 g/ml akan
menghambat pertumbuhan M.tuberculosis secara in vitro.
Etambutol ini tetap menekan pertumbuhan M.tuberculosis yang telah resisten
terhadap isoniazid dan streptomisin. Etambutol dosis 15 mg/kg BB ini hanya aktif terhadap
sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik, sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB
bersifat bakterisidal. Penggunaan etambutol tunggal, ditemukan sputum basil tahan asam
(BTA) negatif dalam 3 bulan, tetapi ditemukan resistensi 35% dari kasus dan frekuensi relaps
lebih tinggi.
D. PIRAZINAMID
Pirazinamid (PZA) adalah suatu prodruk, yang memerlukan konversi enzim
pirazinamidase (dihasilkan oleh mikobakterial tertentu) menjadi bentuk aktif asam pirazinoat,
masuk ke dalam sitoplasma M. tuberculosis secara difusi pasif, mengalami konversi oleh
enzim nikotinamidase/pirazinamidase menjadi bentuk aktif asam pirazinoat (POA). PZA lebih
aktif terhadap basil tuberkel semidorman karena sistem pompa efluks yang lemah
dibandingkan dengan basil sedang bertumbuh cepat, di mana pompa efluks lebih aktif.
Peradangan akut akan menurunkan pH akibat produksi asam laktat oleh sel-sel inflamasi, hal
ini menguntungkan aktivitas PZA. Berkurangnya peradangan akan meningkatkan pH

lingkungan basil tuberkel yang berakibat pada peningkatan konsentrasi hambat minimal PZA.
Kuman dalam keadaan dorman tidak dapat dipengaruhi karena pada saat itu ambilan PZA
tidak terjadi. Banyak penelitian menyatakan daya sterilisasi obat ini dalam makrofag, dengan
konsentrasi 20g/ml menghambat basil tuberculosis intraseluler.

E. STREPTOMISIN
Streptomisin melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi janin dan cairan
amnion serta mencapai kadar kurang dari 50% dibandingkan kadar ibu. Efek samping yang
dilaporkan dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksisiti. Tuli kongenital telah dilaporkan
terjadi pada bayi yang terpajan selama dalam kandungan, walaupun tidak ada hubungan yang
pasti tentang mekanisme ototoksisiti dengan pajanan selama kehamilan. Hasil penelitian
menggunakan audiogram menunjukkan 50 anak tidak mengalami gangguan, 2 dari 33 anak
dengan kehilangan pendengaran, sampai 4 dari 13 anak dengan tes kalorifik tidak normal.
Hal ini merupakan kejadian ototoksisiti yang berasal dari pajanan selama dalam kandungan. 8
Penelitian lain menyimpulkan streptomisin dapat menyebabkan kerusakan sistem vestibular
dan kerusakan nervus kranialis ke 8. Pada negara berkembang dianjurkan tidak menggunakan
streptomisin selama kehamilan. Dosis streptomisin 0,75 - 1 g/hari selama 14-21 hari
selanjutnya 1g 3 kali seminggu secara intramuscular. Oleh karena itu, streptomisin tidak
boleh diberikan karena dapat menyebabkan cacat bawaan pada janin.4,5

2.9.2 Pengobatan TB pada Wanita Menyusui


Konsensus umum menyatakan bahwa meskipun terdapat konsentrasi kecil dari obat
antituberkulosis disekresi lewat air susu ibu, hal ini tidak menjadi kontraindikasi bagi ibu
untuk menyusui anaknya. Konsentrasi dari OAT yang diekskresi lewat ASI ini rendah dan
tidak membahayakan bagi bayi. Bahkan bilamana bayi membutuhkan pengobatan untuk
penyakit aktif yang terjadi pada bayinya atau terapi profilaksis diberikan sesuai guidelines
terapi pada anak.
Idealnya ibu dan anak dipisahkan terlebih dahulu sampai terjadi konversi dari BTA
sputum. Akan tetapi hal ini tidak bisa dilakukan terutama di negara berkembang. Oleh karena
itu menyusui tetap dilakukan, yang menjadi kontraindikasi adalah bilamana terjadi
tuberculous breast abscess.2

2.9.2 Pengobatan TB pada Wanita pengguna Kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB
sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung dosis
tinggi (50mikrogram).2

2.10 Pencegahan Tuberkulosis


Vaksin BCG telah menjadi kebijakan imunisasi nasional di banyak negara untuk
memberikan imunitas aktif sejak masa anak, terutama negara dengan beban yang tinggi.
Wanita non-immune yang bepergian ke negara-negara endemik juga harus divaksinasi. Perlu
diketahui bahwa kontraindikasi vaksin BCG adalah wanita hamil.
Pencegahan penyakit TBC tidak hanya berhenti pada vaksin BCG mengingat penyakit
ini merupakan penyakit kemiskinan. Perbaikan kehidupan dengan ventilasi yang baik dan
menghindari kehidupan overcrowded perlu didorong. Perbaikan status gizi merupakan aspek
penting dalam pencegahan. Wanita hamil dengan HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk TB
yang akan mempengaruhi outcome maternal dan perinatal. Pada tahun 2009, sebanyak 1,1
juta orang terdiagnosis dengan koinfeksi. Oleh karena itu, pencegahan primer HIV/AIDS
merupakan langkah utama dalam pencegahan tuberkulosis kehamilan. Untuk itu diperlukan
uji penapisan untuk wanita hamil dengan risiko tinggi bahkan pada mereka yang tidak
menunjukkan gejala klinis. Bagaimanapun juga, individualisasi pasien dan keputusan klinis
yang rasional diperlukan untuk memutuskan waktu yang tepat untuk memberikan Isoniazid
preventive therapy (IPT) pada wanita hamil dengan risiko tinggi. Komitmen pemerintah
sangat diperlukan sehingga WHO dan lembaga-lembaga internasional yang terlibat
memerangi tuberkulosis berhasil mengusir monster masyarakat ini.12

BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak mempengaruhi


manifestasi klinis dan progresitivitas tuberkulosis bila diterapi dengan tepat dan adekuat.
Penggunaan regimen pengobatan yang tepat dan adekuat dapat memperbaiki kualitas hidup
ibu hamil dan menghindari efek samping ke janin dan bayi yang baru lahir. Penggunaan obat
streptomisin dan obat lini kedua dihindari pada wanita hamil karena efek samping terhadap
janin, kecuali dalam keadaan MDR.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2015.


2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas
Kesehatan Dasar dan Rujukan. Edisi Pertama. Jakarta. 2013. p168-71.
3. Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Yogyakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2002.
1. Cunningham G, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom
KD, et al. Williams Obstetrics [ebook]. Edisi ke-21. New York : McGrawHill; 2007.
2. Ghosh K, Chowdhury J, Ghosh K. Tuberculosis and female reproductive
health.Journal of Postgraduate Medicine. 2011;57(4):307.
3. Mnyani C, McIntyre J. Tuberculosis in pregnancy. BJOG: An International
Journal of Obstetrics &Gynaecology. 2011 Jan;118(2):22631.
4. Loto OM, Awowole I. Tuberculosis in Pregnancy: A Review. Journal of
Pregnancy. 2012;2012:17.
1.The Global Plan to Stop Tb 2011-2015: Transforming the Fight Towards
Elimination

of

Tuberculosis,

World

Health

Organization,

Geneva,

Switzerland, 2010.
2.Kothari A, Girling J. Tuberculosis and pregnancy: result of a study in a
high prevalence area in London. Eur J Obstet Gynecol 2006; 126: 48-55.
3.

Laksmi Maharani, Biran Affandi, Tjandra Yoga Aditama, Joedo


Prihartono. Profil perempuan hamil penderita tuberkulosis di poliklinik
tuberkulosis Persatuan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia Baladewa
Jakarta Pusat.Indones J Obstet Gynecol 2009;33-4:210-5

4. Pathways to Better Diagnostics for Tuberculosis; A Blueprint for


Development of TB Diagnostics, World Health Organization,Geneva,
Switzerland, 2009.
5. Gupta, U. Nayak, M. Ram et al., Postpartum tuberculosis incidence and

mortality among HIV-infected women and their infants in Pune, India,

2002-2005, Clinical Infectious Diseases, vol. 45, no. 2, pp. 241249,


2007.

Anda mungkin juga menyukai