Anda di halaman 1dari 39

Posted in Neurologi by DokMud's Blog

5 Votes
Pendahuluan(1,2)
Trauma medula spinalis dapat disebabkan oleh berbagai proses patologis termasuk trauma.
Fokus pemeriksaan yaitu pada gambaran klinis secara umum keterlibatan dari susunan medula
spinalis.
Kecelakaan lalu lintas, terjatuh, olahraga (misalnya menyelam), kecelakaan industri, luka tembak
dan luka bacok, ledakan bom merupakan penyebab trauma medula spinalis.
Patofisiologi (1,2,3)
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda yang segera
ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama kalinya sama
pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian syaraf oleh fragmen-fragmen tulang,
ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak
dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi.
Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam
kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan dislokasi.
Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempattempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6
dan T11-12.
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang
nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medula
spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medula spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam
trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau
terlempar oleh gaya eksplosi bom.

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :


1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang
paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra
yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami
dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan
menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan
posterior.

Manifestasi Lesi Traumatik(1,2,3)


Komosio Medula Spinalis
Komosio medula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medula spinalis hilang sementara
akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan
terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam / hari tanpa meninggalkan gejala sisa.
Kerusakan reversibel yang medasari komosio medula spinalis berupa edema, perdarahan
perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopik medula
spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka
kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada medula spinalis lebih mengarah ke
perubahan anatomik daripada fisiologik.

Kontusio Medula Spinalis


Berbeda dengan komosio medula spinalis yang diduga hanya merupakan gangguan fisiologik
saja tanpa kerusakan anatomik makroskopik, maka pada kontusio medula spinalis didapati
kerusakan makroskopik dan mikroskopik medula spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan
(edema), perubahan neuron, reaksi peradangan.
Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan adanya bercak-bercak degenerasi Waller
dan pada kornu anterior terjadi hilangnya neuron yang diikuti proliferasi mikroglia dan astrosit.

Laserasio Medula Spinalis

Pada laserasio medula spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas medula
spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi
vertebra.

Perdarahan
Akibat trauma, medula spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural maupun
hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat
anestesia epidural dan sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relatif ringan
tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medula spinalis. Kedua keadaan
diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di dalam substansia
grisea medula spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash
atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk.
Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medula spinalis di bawah lesi, yang sering
menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka
terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior medula spinalis. Hal ini
menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella sebagai berikut : terdapat paralisis
flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis spastik, dengan utuhnya
sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.

Kompresi Medula Spinalis


Kompresi medula spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun perdarahan epi dan
subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan sindrom kompresi medula spinalis akibat
tumor, kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis
flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi.
Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf tepi
dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).
Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal demikian, dan menimbulkan nyeri
radikuler spontan. Dulu gambaran penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang sebenarnya
lebih tepat dinamakan neuralgia radikularis traumatik yang reversibel. Di bawah lesi kompresi
medula spinalis akan didapati paralisis spastik dan gangguan sensorik serta otonom sesuai
dengan derajat beratnya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktu-dislokasi
vertbra L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medula spinalis. Biasanya tidak
dijumpai gangguan motorik yang menetap, tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen
sakralis yang terutama mengenai daerah sadel, perineum dan bokong.
Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa retensio urine serta pada pria
terdapat impotensi. Kompresi kauda ekuina akan menimbulkan gejala, yang bergantug pada
serabut saraf spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai paralisis flaksid dan atrofi otot.
Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat.

Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya
kontrol volunter vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.

Hemiseksi Medula Spinalis


Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medula spinalis. Gambaran
klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelumpuhan neuron
motorik perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena
hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral
(UMN) dan defisit sensorik proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral terdapat defisit
sensorik protopatik.

Sindrom MedulaSpinalis bagian Anterior


Sindrom ini mempunyai ciri khas berikut : paralisis dan hilangnya sensibilitas protopatik di
bawah tingkat lesi,tetapi sensibilitas protopatik tetap utuh.

Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior


Ciri khas sindrom ini adalah adanya defisit motorik yang lebih berat pada lengan dari pada
tungkai dan disertai defisit sensorik. Defisit motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada
tungkai) dapat dijelaskan akibat rusaknya sel motorik di kornu anterior medula spinalis segmen
servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus kortikospinalis yang terletak lebih medial di
kolumna lateralis medula spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilitis
servikal.

Transeksi Medula Spinalis


Bila medula spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal maka akan dijumpai 3
macam gangguan yang muncul serentak yaitu :
1. semua gerak volunter pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan hilang
fungsinya secara mendadak dan menetap
2. semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
3. semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan hilang. Efek terakhir ini
akan disebut renjatan spinal (spinal shock), yang melibatkan baik refleks tendon maupun
refleks otonom. Kadang kala pada fase renjatan ini masih dapat dijumpai refleks
bulbokavernosus dan atau refleks anal. Fase renjatan spinal ini berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan (3-6 mingu)

Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang dewasa yaitu kurang
dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius atau keadaan metabolik yang
terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebh lama.
McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.
1. Hilangnya fasilitas traktus desendens
2. Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada refleks ekstensor, dan
3. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya sebagai dasar pembagian
gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksia dan aktivitas refleks yang
meningkat.
Syok spinal atau arefleksia
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, refleks hilang,
paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi
dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi
kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter
vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi ( disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat
sistem saraf pusat yang lebi tinggi ) tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik.
Urin akan terkumpul, setelah tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin
akan mengalir keluar (overflow incontinence)
Demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus parlitik. Refleks genitalia
(ereksi penis, refleks bulbokavernosus, kontraksi otot dartos) menghilang.
Aktifitas refleks yang meningkat
Setelah beberapa minggu respon refleks terhadap rangsang mulai timbul, mula-mula lemah
makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul refleks fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan
kemudian fleksi tripel muncul. Beberapa bulan kemudian refleks menghindar tadi akan
bertambah meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai akan menimbulkan kontraksi otot
perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi dan pengosongan kandung kemih secara otomatis.
Hal ini disebut refleks massa.

Diagnosis (1,3)
Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma
akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi.

Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa
adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor
serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya
derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma
pada daerah vertebra servikalis tersebut.
Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab
sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.
Penatalaksanaan (1,2,3)
Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah konservatif dan simptomatik.
Manajemen yang paling utama untuk mempertahankan fungsi medula spinalis yang masih ada
dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan medula spinalis yang mengalami trauma
tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkas sebagai berikut :
v stabilisasi, imobilisasi medula spinalis dan penatalaksanaan hemodinamik dan atau gangguan
otonom yang kritis pada cedera dalam fase akut, ketika penatalaksanaan gastrointestinal (contoh,
ileus, konstipasi, ulkus), genitourinaria (contoh, infeksi traktus urinarius, hidronefrosis) dan
sistem muskuloskletal (contoh, osteoporosis, fraktur).
v Jika merupakan suspek trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual atau dengan collar.
Pindahkan pasien secara hati-hati.
v Terapi radiasi mungkin dibutuhkan pada penyakit dengan metastasis. Untuk tumor spinal yang
menyebabkan efek massa gunakan deksametason dosis tinggi yaitu 10-100 mg intra vena dengan
6-10 mg intravena per 6 jam selama 24 jam.Dosis diturunkan dengan pemberian intravena atau
oral setiap 1 sampai 3 minggu.
v Trauma medula spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otot-otot interkostal.
Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernapasan bahkan kadangkala apnea. Bila perlu
dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian oksigen saja tidak efektif membantu penderita.
Pada trauma servikal, hilangnya kontrol vasomotor menyebabkan pengumpulan darah di
pembuluh darah abdomen, anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi,
menyebabkan imbulnya hipotensi.

v Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi gaster akut. Bila
tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan akan memperberat pernapasan.
v Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema.
Kemudian bila peristaltik timbul kembali dapat diberikan obat pelunak feses. Bila traktus
gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat diganti dengan supositoria.

Operasi
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu.
Indikasi untuk dilakukan operasi :
1. reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal,
bilamana traksi dan manipulasi gagal.
2. adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap
menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang
adekuat.
3. trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen
tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus
intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan
tomografi untuk membuktikannya.
4. fragmen yang menekan lengkung saraf.
5. adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya
dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai
hematoma.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.emedicine.traumamedulaspinalis.htm
2. Nuartha B.N., Joesoef A.A., Aliah A., dkk, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1993
3. Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
BAB 1
PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang

Cedera servikal merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan
kelemahan setelah trauma. Tulang servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau
axis, C3, C4, C5, C6 dan C7. Benturan keras atau benda tajam yang mengenai tulang servikal
ini tidak hanya akan merusak struktur tulang saja namun dapat menyebakan cedera pada
medulla spinalis apabila benturan yang disebabkan ini sampai pada bagian posterior tulang
servikal. Struktur tulang servikal yang rusak dapat menyebabkan pergerakan kepala menjadi
terganggu. Sedangkan apabila mengenai serabut saraf spinal dapat menghambat impuls
sensorik dan motorik tubuh.
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung,
kanker dan stroke, tercatat 50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3% penyebab
kematian ini karena trauma langsung medulla pinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi
trauma pada laki- laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40%
spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport,
kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti
dengan C5 dan C6 terutama pada usia decade 3.
Trauma pada servikal C1 dan C2 dapat menyebakan dislokasi atlanto-servikalis
sehingga kepala tidak dapat melalakukan gerakan mengangguk dan apabila menembus
ligamentum posterior dan mencederai medulla spinalis maka pusat ventilasi otonom akan
terganggu. Cedera pada C3-C5 menyebabkan gangguan pada otot pernapasan dan cedera
pada C4-C7 mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas (qudriplegia).
Karena sangat pentingnya peranan tulang servikalis pada fungsional tubuh manusia
maka evaluasi dan pengobatan pada cedera servikal memerlukan pendekatan yang
terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan
stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen. Penanganan rehabilitas spinal cord dan
kemajuan perkembangan multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari
fusi servikal dan stabilitas merupakan hal penting harus dikenal masyarakat. Oleh karena itu,
perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu menguasai dan memmahami pengetahuan
tentang asuhan keperawatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien dengan
cedera servikalis. Sehingga pada tatanan praktiknya, perawat mampu mengaplikasikan teori
dengan baik dan terampil.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anatomi
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher,
punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra
yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan berperan
dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan
pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.

Gambar 1. Tulang Belakang (www.medscape.com, 2010)


Atlas (C1) adalah vertebra servikalis pertama dari tulang belakang.
Atlas bersama dengan Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan tengkorak dan tulang
belakang dan khusus untuk memungkinkan berbagai gerakan yang lebih besar. C1 dan C2
bertanggung jawab atas gerakan mengangguk dan rotasi kepala.
Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari anterior dan posterior sebuah lengkungan dan dua massa
lateral. Tampak seperti dua cincin. Dua massa lateral pada kedua sisi lateral menyediakan
sebagian besar massa tulang atlas. Foramina melintang terletak pada aspek lateral. Axis terdiri
dari tonjolan tulang besar dan parsaticularis memisahkan unggulan dari proses artikularis
inferior. Prosesus yang mirip gigi (ondontoid) atau sarang adalah struktur 2 sampai 3 cm
corticocancellous panjang dengan pinggang menyempit dan ujung menebal. Kortikal berasal dari
arah rostral (kearah kepala) dari tubuh vertebra.

Gambar 2. Atlas dan Axis (www.bonespine.com, 2009)

Trauma tulang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang belakang
dan medulla spinalis. Adapun beberapa ligamen yang terdapat pada tulang servikal antara lain
adalah :
1.

ligamen'ta fla'va : serangkaian pita dari jaringan elastis kuning melekat dan memperluas
antara bagian ventral lamina dari dua tulang yang berdekatan, dari sumbu ke sacrum..
Namanya Latin untuk "ligamen kuning," dan ini terdiri dari elastis jaringan ikat
membantu mempertahankan postur tubuh ketika seseorang sedang duduk atau berdiri
tegak. Terletak posterior tubuh vertebra, tetapi anterior proses spinosus dari tulang
belakang, yang merupakan tulang Prongs memancing ke bawah dari belakang setiap
tulang belakang, yang flava ligamenta membentuk dua sejajar, bersatu garis vertikal
dalam kanalis vertebralis. Hal ini juga mencakup dari C2, vertebra servikalis kedua,
semua cara untuk S1 dari sacrum , tulang ditumpuk pada dasar tulang belakang di
panggul. Pada ujung atas, setiap flavum ligamentum menempel pada bagian bawah
lamina dari vertebra di atasnya. lamina ini adalah proyeksi horizontal pasangan tulang
yang membentuk dua jembatan mencakup ruang antara pedikel di kedua sisi tubuh
vertebral dan proses spinosus belakangnya. Mereka memperpanjang dari pedikel, setiap
proses yang kurus menonjol ke belakang dari kedua sisi dari tubuh vertebra, dan sudut
terhadap garis tengah tulang belakang, menggabungkan di tengah. Dalam melakukannya,
mereka membentuk melebar "V" yang mengelilingi aspek posterior kanal tulang
belakang .

Gambar 3. Spinal Ligament-ligamentum Flavum (www.spineuniverse.com, 2010)


2.

Ligamentum nuchae adalah, padat bilaminar septum, segitiga intermuskularis


fibroelastic garis tengah. Ia meluas dari tonjolan oksipital eksternal ke punggung C7 dan
menempel pada bagian median dari puncak occipital eksternal, tuberkulum posterior C1
dan aspek medial duri terpecah dua belah leher rahim, ligamen terbentuk terutama dari
lampiran aponeurotic dari otot leher rahim yang berdekatan dan yg terletak di bawah.
Dari dangkal sampai dalam, otot-otot ini adalah trapezius, genjang kecil, capitus splenius,
dan serratus posterior superior. Juga anatomi, dan mungkin penting secara klinis, ligamen
telah ditemukan memiliki lampiran berserat langsung dengan dura tulang belakang antara
tengkuk dan C1,

2.

Zygapophyseal adalah sendi sinovial sendi-sendi paling dasar dalam tubuh manusia.
Gabungan sinovial ditandai dengan memiliki kapsul sendi, cairan-cairan sinovial sendi
kapsul untuk melumasi bagian dalam sendi, dan tulang rawan pada permukaan sendi di
tengah atas dan bawah permukaan yang berdekatan dari setiap tulang belakang untuk
memungkinkan tingkat gerakan meluncur.

Gambar 4. Anterior dan posterior cervical ligament (www.boneandspine.com,2009)


4.

Atlantoaxial ligamentum posterior adalah tipis, membran luas melekat, di atas, untuk
batas bawah lengkung posterior atlas , bawah, ke tepi atas dari lamina dari sumbu .

4.

Atlantoaxial ligamentum anterior adalah membran yang kuat, untuk batas bawah
lengkung anterior dari atlas, bawah, ke depan tubuh sumbu . Hal ini diperkuat di garis
tengah dengan kabel bulat, yang menghubungkan tuberkulum pada lengkung anterior dari
atlas ke tubuh dari sumbu, dan merupakan kelanjutan ke atas dari ligamentum
longitudinal anterior .

4.

Ligamentum longitudinal posterior terletak dalam kanalis vertebralis, dan


membentang sepanjang permukaan posterior tulang belakang tubuh, dari tubuh sumbu,
di mana ia terus-menerus dengan tectoria membrana, untuk sakrum. ligamentum ini lebih
sempit di badan vertebra dan lebih luas pada ruang disk intervertebralis. Hal ini sangat
penting dalam memahami kondisi patologis tertentu tulang belakang seperti lokasi khas
untuk herniasi cakram tulang belakang.

4.

Ligamentum transversal dari atlas adalah kuat, band tebal, yang lengkungan di cincin
dari atlas , dan mempertahankan proses yg mirip gigi di kontak dengan lengkung anterior.
Ligamentum transversal membagi cincin dari atlas menjadi dua bagian yang tidak setara:
ini, posterior dan lebih besar berfungsi untuk transmisi dari medula spinalis dan membran
dan saraf aksesori.

2.2 Definisi
Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan
menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur adalah pemisahan atau
patahnya tulang.
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat
trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb
( Sjamsuhidayat, 1997).
Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis oksiput
hingga C .
2

2.3 Klasifikasi
Tingkat cedera didefinisikan oleh ASIA menurut Penurunan Skala (dimodifikasi dari klasifikasi
Frankel), dengan menggunakan kategori berikut:

A - Lengkap: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang dipertahankan dalam segmen
sacral S4-S5.

B - lengkap: Fungsi sensori dipertahankan di bawah tingkat neurologis dan meluas


melalui segmen sakral S4-S5.

C - lengkap: Fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan sebagian


besar otot kunci di bawah tingkat otot neurologis memiliki nilai kurang dari 3.

D - lengkap: fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan sebagian


besar otot kunci di bawah level neurologis telah kelas otot lebih besar dari atau sama dengan
3.
E - Normal: Fungsi sensorik dan motorik yang normal.

Cedera servikal dapat digolongkan menjadi :


a.

Cedera fleksi
Fraktur kompresi : disebabkan karena fleksi yang tiba-tiba.
Fraktur fleksi teardrop : melibatkan seluruh columna ruang interspinosus melebar dan
dapat menyebabkan cedera medulla spinalis.
Subluksasi anterior : kompleks ligamentum superior mengalami ruptur sedangkan
ligamentum anterior tetap utuh.
Dislokasi faset bilateral : disebabkan fleksi yang berlebihan
Fraktur karena dorongan : terjadi karena fleksi leher yang tiba-tiba selain itu bisa juga
terjadi karena fraktur langsung di prosesus spinosus, trauma oksipital, tarikan yang sangat
kuat di ligamentum supraspinosus.
b.

Cedera Fleksi-rotasi

Dislokasi faset unilateral : terjadi saat fleksi bersamaan dengan rotasi sehingga
ligamentum dan kapsul teregang maksimal. Dislokasi kedepan pada vertebra di atas
dengan atau tanpa di sertai kerusakan tulang.
Dislokasi antlantoaxial : terjadi karena hiperekstensi, terjadi pergeseran sendi antara C1
dan C2 dan biasanya fatal. Cedera ini dapat menyebabkan rheumatoid arthritis.
c.

Cedera ekstensi

Fraktur menggantung : terjadi pada C2 yang disebabkan karena hiperekstensi dan


kompresi yang tiba-tiba.
Ekstensi teardrop : hiperekstensi mendadak dan terjadi akibat tarikan oleh ligamentum
longitudinal.
d.

Cedera compresi axial

Fraktur jefferson : terjadi pada C1 dan disebabkan karena kompresi yang sangat hebat.
Kerusakan terjadi di arkus anterior dan posterior.
Fraktur remuk vertebra : penekanan corpus vertebra secara langsung dan tulang menjadi
hancur. Fragmen tulang masuk ke kanalis spinalis kemudian menekan medulla spinalis
sehingga terjadi gangguan saraf parsial
Fraktur atlas :

Tipe I dan II : fraktur stabil karena terjadi pada arkus anterior dan posterior.

Tipe III : terjadi pada lateral C1

Tipe IV : sering disebut sebagai fraktur jefferson

Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal yang unik, berbagai sindroma tidak lengkap dapat
dijumpai pada cedera kord spinal servikal. Pada sindroma ini, fungsi sensori dan motor tertentu
terganggu atau hilang, namun lainnya tetap utuh.
1.

Sindroma kord sentral

Paling sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal. Karena sebab
tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian sentral dapat mengalami

kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera ringan. Khas pasien mengeluh disestesi
rasa terbakar yang berat pada lengan, mungkin karena kerusakan serabut spinotalamik, mungkin
saat ia menyilang komisura anterior. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan lengan, dengan
utuhnya kekuatan ekstremitas bawah. Sebagai tambahan, sensasi nyeri dan suhu hilang dalam
distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan cedera primer terhadap kord spinal
sentral dapat menimbulkan gambaran defisit serupa, seperti siringo- mielia, tomor kord spinal
intrinsik, dan hidromielia. Sindroma ini secara jarang dapat terjadi pada kord spinal bawah
(konus medularis).
2.

Sindroma arteria spinal anterior

Terjadi karena arteria ini mencatu substansi kelabu dan putih bagian ventrolateral dan
posterolateral kord spinal. Kerusakan arteria ini berakibat sindroma klinis paralisis bi- lateral dan
hilangnya sensasi nyeri serta suhu dibawah tingkat cedera, namun sensasi posisi dan vibrasi
(fungsi kolom posterior) utuh. Lesi arteria ini bisa karena cedera tulang belakang, neoplasma
yang terletak anterior (biasanya metastasis) dan cedera aortik.
3.

Sindroma Brown-Sequard

Pada bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal. Defisit
neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral, sensasi vibrasi dan posisi. Sebagai
tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka tembus dan peluru dapat
menimbulkan sindroma Brown-Sequard 'lengkap', namun manifestasi tak lengkap sindroma ini
tampak dengan berbagai ragam pada lesi lain, termasuk trauma dan neoplasma.
4.

Sindroma kolom posterior

Terjadi bila kolom posterior rusak secara selektif, berakibat hilangnya sensasi vibrasi
dan proprioseptif bilateral dibawah lesi. Temuan ini tersering dijumpai sekunder terhadap
kelainan sistemik (neurosifilis), namun secara jarang dijumpai setelah trauma kord spinal.

2.4 Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah
raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:

a. Fraktur akibat peristiwa trauma


Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa
pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran ataupenarikan. Bila tekanan kekuatan
langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut
rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran
kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan
berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal
terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor)
atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

2.5 Manifestasi klinis


Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot,
tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur
dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
d. Spasme otot

Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.


e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat
terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak
terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan
otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang
kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

2.6 Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah kecelakaan mobil,
kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat tembakan atau pisau. Menurut
mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi
aksial. Cidera cervical atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2.
Cidera tulang belakang cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur.

C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan arcus posterior
yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya. Tulang ini berartikulasi dengan
kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan
mengangguk. Dibawah, tulang ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlantoaxialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal
atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga menyebabkan
ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera pada C1 dan C2
menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya inervasi
otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru
menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh
ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari anterior yang bisa
menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan
kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7
dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada diafragma,
otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla spinalis
yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras mengenai medulla spinalis.
Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian
terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan
neuron. Ini disebut cedera neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan
patologis progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka akan terjadi
kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf spinal dan pembuluh darah
disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik
pada jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit
atau jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang menyebabkan
konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan dari
cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah peningkatan level Ca
pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam
beberapa jam kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di
medula spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan katekolamin
sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel.

Di tingkat selular, adnya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat merangsang
pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya ketidakseimbangan elektrolit, dan
pelepasan mediator inflamasi dapat mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan
manifestasi sel mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.

2.7 Penatalaksanaan

Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya kerusakan pada
tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan anggota gerak atau perubahan
sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien kerusakan tulang belakang akibat cedera
sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut.
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera lain yang
menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan patah tulang belakang
tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil
temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang
dengan gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi
patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini.
Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan
akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau
dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu
melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan
harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut.
Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah
kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara
laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang.
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya
imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun
yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan
jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila
terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan
jalan napas dan sirkulasi.
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk
dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga leher
pada saat pengangkutan.
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan
neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat dilakukan. Pada
umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat hematom retroperitoneal
sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung. Pemasangan kateter tetap pada fase awal
bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat
syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta
mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering.

Terapi pada cidera medula spinalis terutama ditujukanuntuk meningkatkan dan


memperhatikan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cidera medula
spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis
komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72jam pertama, cenderung menetap dan
prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang
lebih baik. Apabila funsi sensoris dibawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali
berjalan adalah lebih dari 50%.
Metilpredinsolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula
spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh national institute of health di amerika Serikat.
Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cidera medula spinalis traumatik masih
dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standart terapi.
Dalam chochrane library menunjukkan bahwa metilpredinsolon dosis tinggi merupakan
satu satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinis tahap 3 sehingga dianjurkan
untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika. Tindakan rehabilitasi medik
meruoakan kunci utama dalam penanganan pasien cidera medula spinalis.fisioterapi, terapi
okupulasi dan blader training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama
fisioterapi adalah mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas,
dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan central cord syndrome/CSS
biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat
berjalan dengan bantuan apapun ataupun tidak.
Terapi Okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ektermitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sdehari hari/ activiting of dayli
living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang
servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan CT berkisar antara 72
-91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi dapat mencapai 96 % bila
mengkombinasikan CT dengan myelografi.
MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah servikal .
MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah medula spinalis , radiks
saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan. Namun pada salah satu penelitian didapatkan
adanya abnormalitas berupa herniasi diskus pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga

hasil pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit , keluhan
maupun pemeriksaan klinis. Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu
mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme
otot, artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi
atau kompresi.
Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu
gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari iritasi/kompresi
radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau
kompresi .

Metode untuk foto daerah cervical


1.

Pada foto anteroposterior garis lateral harus utuh, dan prosesus spinosus dan
bayangan trakea harus berada pada garis tengah. Diperlukan foto dengan mulut
terbuka untuk memperlihatkan C1 dan C2 (untuk fraktur massa lateral dan odontoid).

2.

Foto lateral harus mencakup ketujuh vertebra cervical dan T1, jika tidak cedera yang
rendah akar terlewatkan. Hitunglah vertebra kalau perlu, periksa ulang dengan sinarX sementara menerapkan traksi ke bawah pada lengan. Kurva lordotik harus diikuti
dan menelusuri empat garis sejajar yang dibentuk oleh bagian depan korpus vertebra,
bagian belakang badan vertebra. massa lateral dan dasar-dasar prosesus spinosus
setiap ketidakteraturan menunjukkan suatu fraktur atau pergeseran. Ruang
interspinosa yang terlalu lebar menunjukkan luksasi anterior. Trakea dapat tergeser
oleh hematoma jaringan lunak.

3.

Jarak tiang odontoid dan bagian belakang arkus anterior pada atlas tidak boleh
melebihi 4,5 mm ( anak-anak ) dan 3mm pada dewasa

4.

Untuk menghindari terlewatnya adanya dislokasi tanpa fraktur diperlukan film lateral
pada posisi ekstensi dan fleksi.

5.

Pergeseran korpus vertebra ke arah depan terhadap korpus vertebra dibawahnya dapat
berarti klinis yaitu dislokasi permukaan unilateral jika pergeseran yang kurang dari
setengah lebar korpus vertebra. Untuk hal ini diperlukan foto oblik untuk
memperlihatkan sisi yang terkena. Pergeseran yang lebih dari setengah lebar korpus
vertebra tersbut menunjukkan dislokasi bilateral.

6.

Lesi yang tidak jelas perlu dilanjutkn pemeriksaan CT scan.

2.9 Komplikasi
1.

Syok neurogenik

Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada
medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan
persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya
terjadi hipotensi.
2.

Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera
medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun
tidak seluruh bagian rusak.

3.

Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera
yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas.

4.

Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti nasal,
bradikardi dan hipertensi.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Contoh Kasus
Pasien F, laki-laki usia 40 tahun, pekerjaan pegawai swasta, masuk RS Dr Soetomo pada
tanggal 28 Januari 2011 atas rujukan RS Soedono, dengan keluhan utama kelemahan anggota
gerak sejak 5 hari yang lalu. Klien merasa kelemahan anggota geraknya semakin memberat.
Makan dan minumnya baik. Klien tampak menggunakan colar neck.

Satu bulan sebelum masuk RS Dr Soetomo, pasien mengalami kecelakaan. Mobil yang
ditumpangi pasien masuk ke lubang, dan kepala pasien terbentur atap mobil sampai 4x. Saat itu
pasien pingsan, lamanya kira-kira 20 menit, perdarahan THT tidak ada, muntah tidak ada dan
pasien masih mengingat peristiwa sebelum kejadian. Pasien mengalami kelemahan pada keempat
anggota gerak, nyeri hebat di area leher bagian belakang dan dipasang colar neck. Jika buang air
kecil (BAK) pasien ngompol, pasien juga tidak bisa buang air besar (BAB), klien dirawat di RS
Soedono Madiun selama 10 hari. Pasien masih menggunakan kateter sejak pulang dari RS
Soedono sampai saat ini dan untuk bisa BAB dibantu dengan klisma. Sejak pulang dari RS
Soedono, pasien menjalani fisioterapi sebanyak 9 kali yang dilakukan oleh fisioterapist agar bisa
berjalan lancar. Saat difisioterapi, kepala pasien ditarik.
Riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal. Riwayat pemberian steroid di RS
Soedono tidak diketahui.
Pemeriksaan Diagnostik
a.

Hasil Laboratorium :

Hb 13,2 g/dl
Ht 36 %
Leukosit 16.500/uL
Trombosit 244.000/uL
LED 25 mm
Ureum 23 mg/dL
Kreatinin darah 0.6 mg/dl
GDS 126 mg/dL
Na 105 meq/l
K 4,2 meq/l
Cl 73 meq/l

b.

Foto X cervical : dislokasi C1-C2

b.

MRI : fraktur C1 dengan dislokasi ke posterior, stenosis berat medulla spinalis setinggi
CI-CII.

b.

BGA

: menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi


pH 7.607
pCO 21.5 mmHg
2

pO 84.7 mmHg
2

SO % 92.2
2

BE 0.0 mmol/L
HCO 21.7 mmol/L
3

Terapi yang diberikan : O sungkup rebreathing 6 l/m


2

IVFD NaCl 0,9 % per 12 jam


Imobilisasi leher dengan collar neck
Metilprednisolon tab 4 x 8 mg
Ranitidin 2 x 1 amp injeksi
NaCl tab 3 x 500 mg
Periksa AGD ulang 6 jam kemudian
Diagnosis kerja

: Tetraparesis

Diagnosis klinis

: Tetraparesis, inkontinensia uri dan retensi alvi, hiponatremi, hipoklorida,


alkalosis respiratorik, leukositosis.

Diagnosis topis

: servikal 1, proccesus odontoid, medulla spinalis

Diagnosis patologi

: Fraktur, dislokasi

Diagnosis etiologi

: Trauma

3.2 Asuhan Keperawatan


I. Pengkajian
1. Identitas
Nama

: Tn. F

Umur

: 40 tahun

Alamat

: Madiun

Pekerjaan

: Pegawai Swasta

2. Keadaan Umum : kesadarannya compos mentis, klien memakai colar neck


3. Keluhan Utama

: Pasien mengeluh mengalami kelemahan anggota gerak 5 hari yll 7


semakin memberat. Mengalami muntah-muntah 10x
dalam 2 hari.

4. Riwayat penyakit sekarang

6. Riwayat Penyakit Dulu


7. Riwayat Alergi

: Klien mengalami kecelakaan lalu lintas 1 bulan yang lalu

: Klien menyatakan tidak mempunyai alergi.

8. Riwayat Penyakit Keluarga


9. Keadaan Umum

: Tn.F mengalami kelemahan keempat anggota gerak,


nyeri di area cedera, demam, sesak napas. Muntah.

: Tidak ada masalah

: TD = 100 / 60 mmhg,
N= 80 x/menit
RR = 29 x/menit
T = 38,5 C
0

ROS (Review of System)

B1 (Breathing)

: napas pendek, sesak

B2 ( Blood )

: berdebar-debar, hipotensi, suhu naik turun.

B3 ( Brain )

: nyeri di area cedera

B4 ( Blader )

: inkontinensia uri

B5 ( Bowel )

: tidak bisa BAB (konstipasi), distensi abdomen, peristaltik usus menurun.

B6 ( Bone )

: kelemahan ke empat anggota gerak(Quadriplegia)

Psikososial

: menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan
menarik diri.

Analisa Data

N
o
1.

Data

DS : klien mengeluh sesak napas.

Etiologi

Masalah
Keperawatan

Cedera cervical (C1C2)

Ketidakefektifan pola
napas

DO : klien terlihat pucat, sianosis, adanya


pernapasan cuping hidung
RR= 29x/menit
TD = 100/60 mmHg

Kelumpuhan otot
pernapasan
(diafragma)

Ekspansi paru
menurun

Pola napas tidak


efektif
2.

DS : klien mengeluh nyeri hebat & tidak

Cedera cervical

Nyeri

bisa tidur.
DO : Klien terlihat sangat gelisah, suhu
tubuh klien naik turun tak menentu, klien
memakai colar neck. N=80x/mnt.
S= 38,5 C
0

Hasil foto X-cervical menunjukan fraktur


dislokasi C1-2.

Fraktur dislokasi
servikal

Pelepasan mediator
inflamasi
Prostalglandin,
bradikinin dll

Skala nyeri 8 (interval 1-10).


respon nyeri hebat
dan akut

Nyeri

3.

DS : Klien megatakan sering ngompol.

Cedera cervikalis

DO : Klien terpasang kateter.


Kompresi medulla
spinalis

Gangguan sensorik
motorik

Kelumpuhan saraf
perkemihan

Gangguan pola
eliminasi uri

Inkontinensia uri

Gangguan pola
eliminasi uri

4.

DS : Klien mengeluh tidak bisa BAB.

Cedera cervikalis

Gangguan eliminasi
alvi (Kostipasi)

DO : Peristaltik usus klien menurun,


abdomen mengalami distensi.
Kompresi medulla
spinalis

Kelumpuhan
persarafan usus &
rektum

Gangguan eiminasi
alvi

5.

DS : Klien merasa mengalami kelemahan


pada keempat anggota geraknya.
DO : Klien membutuhkan bantuan untuk
memenuhi ADL nya.

Cedera cervikalis

Kompresi medula
spinalis

Gangguan motorik

Kerusakan mobilitas
fisik.

sensorik

Kelumpuhan

Kerusakan mobilitas
fisk

3.3 Diagnosa Keperawatan


1.

Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot pernapasan (diafragma), kompresi medulla
spinalis.

2.

Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d adanya cedera pada cervikalis

3.

Gangguan pola eliminasi uri : inkontinensia uri b.d kerusakan saraf perkemihan

4.

Gangguan eliminasi alvi : Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus akibat kerusakan
persarafan usus & rectum.
Kerusakan mobiltas fisik b.d kelumpuhan pada anggota gerak

5.

1.

Rencana Intervensi

1.

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma

Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen


Kriteria hasil :
a.

ventilasi adekuat

b.

PaCo2<45

c.

PaO2>80

d.

RR 16-20x/ menit

e.

Tanda-tanda sianosis(-) : CRT 2 detik

Intervensi keperawatan :
Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.

1.

Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2.

Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret,
dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.

3.

Kaji fungsi pernapasan.


Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial,
karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4.

Auskultasi suara napas.


Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang
berakibat pnemonia.

5.

Observasi warna kulit.


Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan
segera

6.

Kaji distensi perut dan spasme otot.


Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma

7.

Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.


Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai
ekspektoran.

8.

Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional :
menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi
adanya kegagalan pernapasan.

8.

Pantau analisa gas darah.


Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh :
hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.

10.

Berikan oksigen dengan cara yang tepat.


Rasional : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.

11.

Lakukan fisioterapi nafas.


Rasional : mencegah sekret tertahan

2.

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera

Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang dengan skala nyeri 6 dalam waktu 2 X 24
jam
Intervensi keperawatan :
Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5.

1.

Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.


2.

Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.


Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih
dan berbaring lama.

3.

Berikan tindakan kenyamanan.


Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.

4.

Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.

Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.


5.

Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.


Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan
meningkatkan istirahat

3.

Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat


perkemihan.

Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan


Kriteria hasil :
a.

Produksi urine 50cc/jam

b.

Keluhan eliminasi urin tidak ada

Intervensi keperawatan:
Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.

1.

Rasional : mengetahui fungsi ginjal


2.

Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.

2.

Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.


Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.

4.

Pasang dower kateter.


Rasional membantu proses pengeluaran urine

4.

Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan


pada usus dan rektum.

Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi

Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali


Intervensi keperawatan :
1.

Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.


Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.

2.

Observasi adanya distensi perut.

2.

Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT.

2.

Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan
stress.

2.

Berikan diet seimbang TKTP cair


Rasional : meningkatkan konsistensi feces

6.

Berikan obat pencahar sesuai pesanan.


Rasional: merangsang kerja usus

5.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan

Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera
diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil :
a.

Tidak ada konstraktur

b.

Kekuatan otot meningkat

c.

Klien mampu beraktifitas kembali secara bertahap

Intervensi keperawatan :
1.

Kaji secara teratur fungsi motorik.


Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum

2.

Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.


Rasional memberikan rasa aman

3.

Lakukan log rolling.


Rasional : membantu ROM secara pasif

4.

Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.


Rasional mencegah footdrop

5.

Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.


Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik

6.

Inspeksi kulit setiap hari.


Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas
kulit.

7.

Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.


Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan spastisitas.

6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama


Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering

Intervensi keperawatan :
Inspeksi seluruh lapisan kulit.

1.

Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer.


2.

Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan.

Rasional : untuk mengurangi penekanan kulit


3.

Bersihkan dan keringkan kulit.


Rasional: meningkatkan integritas kulit

4.

Jagalah tenun tetap kering.


Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit

5.

Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan.


Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan tekanan pada
kulit serta mengurangi kerusakan kulit.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat dapat
diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: Fraktur akibat peristiwa trauma, fraktur akibat peristiwa
kelelahan atau tekanan, fraktur patologik karena kelemahan pada tulang.
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, edema, memar/ ekimosis, spasme otot,
penurunan sensasi, gangguan fungsi, mobilitas abnormal, krepitasi, defirmitas, shock
hipovolemik.
Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya yaitu: hiperfleksi, fleksirotasi, hiperekstensi, ekstensi- rotasi, kompresi vertical. Klasifikasi berdasarkan derajat
kestabilan yaitu: stabil dan tidak stabil
Setelah primery survey, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan eksternal, tahap
berikutnya adalah evaluasi radiografik tercakup di dalamnya, plain foto fluoroscopy,
polytomography CT-scan tanpa atau dengan myelography dan MRI.

4.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan professional, perawat hendaknya dapat memberikan
asuhan keperawatan keperawatan pada penderita cegera servikal untuk mencegah atau
meminimalkan komplikasi yang mungkin terjadi. Sehingga dapat diharapkan dapat terwujud
kesehatan pada klien cedera servikal secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Adhim.2010. Diagnosis dan Penanganan Fraktur Servikal.http/www.fik-unipdu.web.id. Diakses
tanggal 11 Maret 2011
Dawodu, Segun.2008.Spinal Cord Injury.http://www.medscape.com. Diakses tanggal 11 Maret
2011

Devenport,
Moira.2010.Cervical
Spine
Fracture
in
http://www.medscape.com. Diakses tanggal 11 Maret 2011

Emergency

Medicine.

Eidelson, MD, Stewart G. 2010 .Lumbar


Spine .www.spineuniverse.com/anatomy/lumbar-spine. Diakses tanggal
23 Maret 2011
Khosama,
Herlyani.Diagnosis
dan
Penatalaksanaan
Trauma
Medula
http://neurology.multiply.com/journal/item/27. Diakses tanggal 11 Maret 2011

Spinalis.

Malanga,
A.Gerrad.2008.
Cervical
Spine
Sprain/Strain
Injuries.
http://www.medscape.com . Diakses tanggal 11 Maret 2011
O. Bertora,Guillermo, and M. Bergmann ,Julia.2008. Whiplash Injury:
Frequent Brain Lesions studied through Brain Electric Tomography LORETA. http:// www.vertigo-dizziness.com/english/whiplash-in. Diakses
tanggal 11 Maret 2011
Pal Singh, Arun
.2009 .Basic Anatomy of Upper Cervical Spine.
http://boneandspine.com/musculoskeletal-anatomy/basic-anatomy-ofupper-cervical-spine/. Diakses tanggal 23 Maret 2011
Sika.2010.Asuhan
Keperawatan
dengan
Pasien
Fraktur
Servikalis.
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pathology.Diakses tanggal 11 Maret 2011
Strefer
Tiffiny.2010..
Care
of
the
patient
with
http://LipincotsNursing.com.Diakses tanggal 11 Maret 2011

cervical

spine

injury.

Sweet
haven
Publishing
Services.2006.Spinal
Cord
Injury.http://www/freeed.net/sweethaven/medtech/nursecare. Diakses tanggal 11 Maret 2011
Yip, Kevin .2010. Cervical Spine Trauma: Dislocation and Subluxation.
http://indonesian.orthopaedicclinic.com.sg/. Diakses tanggal 11 Maret
2011

Anda mungkin juga menyukai