5 Votes
Pendahuluan(1,2)
Trauma medula spinalis dapat disebabkan oleh berbagai proses patologis termasuk trauma.
Fokus pemeriksaan yaitu pada gambaran klinis secara umum keterlibatan dari susunan medula
spinalis.
Kecelakaan lalu lintas, terjatuh, olahraga (misalnya menyelam), kecelakaan industri, luka tembak
dan luka bacok, ledakan bom merupakan penyebab trauma medula spinalis.
Patofisiologi (1,2,3)
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan tanda yang segera
ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang terjadi untuk pertama kalinya sama
pentingnya dengan traksi dan kompresi yang terjadi selanjutnya.
Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian syaraf oleh fragmen-fragmen tulang,
ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak
dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi.
Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam
kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan dislokasi.
Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1
Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada tempattempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6
dan T11-12.
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang
nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medula
spinalis.
Efek trauma yang tidak dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medula spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam
trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan berdiri, atau
terlempar oleh gaya eksplosi bom.
Pada laserasio medula spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat diskontinuitas medula
spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi
vertebra.
Perdarahan
Akibat trauma, medula spinalis dapat mengalami perdarahan epidural, subdural maupun
hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat
anestesia epidural dan sepsis. Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang relatif ringan
tetapi segera diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medula spinalis. Kedua keadaan
diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di dalam substansia
grisea medula spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash
atau trauma tidak langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi berdiri/duduk.
Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medula spinalis di bawah lesi, yang sering
menyerupai lesi transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka
terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior medula spinalis. Hal ini
menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella sebagai berikut : terdapat paralisis
flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis spastik, dengan utuhnya
sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan retensio urin dan hilangnya
kontrol volunter vesika urinaria, inkontinensia alvi dan impotensi.
Pada anak-anak, fase shock spinal berlangsung lebih singkat daripada orang dewasa yaitu kurang
dari 1 minggu. Bila terdapat dekubitus, infeksi traktus urinarius atau keadaan metabolik yang
terganggu, malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebh lama.
McCough mengemukakan 3 faktor yang mungkin berperan dalam mekanisme syok spinal.
1. Hilangnya fasilitas traktus desendens
2. Inhibisi dari bawah yang menetap, yang bekerja pada refleks ekstensor, dan
3. Degenerasi aksonal interneuron
Karena fase renjatan spinal ini amat dramatis, Ridoch menggunakannya sebagai dasar pembagian
gambaran klinisnya atas 2 bagian, ialah renjatan spinal atau arefleksia dan aktivitas refleks yang
meningkat.
Syok spinal atau arefleksia
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, refleks hilang,
paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi
dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi
kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Sfingter
vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi ( disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat
sistem saraf pusat yang lebi tinggi ) tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik.
Urin akan terkumpul, setelah tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter uretra maka urin
akan mengalir keluar (overflow incontinence)
Demikian pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus parlitik. Refleks genitalia
(ereksi penis, refleks bulbokavernosus, kontraksi otot dartos) menghilang.
Aktifitas refleks yang meningkat
Setelah beberapa minggu respon refleks terhadap rangsang mulai timbul, mula-mula lemah
makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul refleks fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan
kemudian fleksi tripel muncul. Beberapa bulan kemudian refleks menghindar tadi akan
bertambah meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai akan menimbulkan kontraksi otot
perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi dan pengosongan kandung kemih secara otomatis.
Hal ini disebut refleks massa.
Diagnosis (1,3)
Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma
akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi.
Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa
adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor
serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya
derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma
pada daerah vertebra servikalis tersebut.
Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab
sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.
Penatalaksanaan (1,2,3)
Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah konservatif dan simptomatik.
Manajemen yang paling utama untuk mempertahankan fungsi medula spinalis yang masih ada
dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan medula spinalis yang mengalami trauma
tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkas sebagai berikut :
v stabilisasi, imobilisasi medula spinalis dan penatalaksanaan hemodinamik dan atau gangguan
otonom yang kritis pada cedera dalam fase akut, ketika penatalaksanaan gastrointestinal (contoh,
ileus, konstipasi, ulkus), genitourinaria (contoh, infeksi traktus urinarius, hidronefrosis) dan
sistem muskuloskletal (contoh, osteoporosis, fraktur).
v Jika merupakan suspek trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual atau dengan collar.
Pindahkan pasien secara hati-hati.
v Terapi radiasi mungkin dibutuhkan pada penyakit dengan metastasis. Untuk tumor spinal yang
menyebabkan efek massa gunakan deksametason dosis tinggi yaitu 10-100 mg intra vena dengan
6-10 mg intravena per 6 jam selama 24 jam.Dosis diturunkan dengan pemberian intravena atau
oral setiap 1 sampai 3 minggu.
v Trauma medula spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otot-otot interkostal.
Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernapasan bahkan kadangkala apnea. Bila perlu
dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian oksigen saja tidak efektif membantu penderita.
Pada trauma servikal, hilangnya kontrol vasomotor menyebabkan pengumpulan darah di
pembuluh darah abdomen, anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi,
menyebabkan imbulnya hipotensi.
v Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi gaster akut. Bila
tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan akan memperberat pernapasan.
v Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema.
Kemudian bila peristaltik timbul kembali dapat diberikan obat pelunak feses. Bila traktus
gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat diganti dengan supositoria.
Operasi
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu.
Indikasi untuk dilakukan operasi :
1. reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal,
bilamana traksi dan manipulasi gagal.
2. adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap
menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang
adekuat.
3. trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen
tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus
intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan
tomografi untuk membuktikannya.
4. fragmen yang menekan lengkung saraf.
5. adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya
dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai
hematoma.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.emedicine.traumamedulaspinalis.htm
2. Nuartha B.N., Joesoef A.A., Aliah A., dkk, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1993
3. Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Cedera servikal merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan
kelemahan setelah trauma. Tulang servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1 atau atlas, C2 atau
axis, C3, C4, C5, C6 dan C7. Benturan keras atau benda tajam yang mengenai tulang servikal
ini tidak hanya akan merusak struktur tulang saja namun dapat menyebakan cedera pada
medulla spinalis apabila benturan yang disebabkan ini sampai pada bagian posterior tulang
servikal. Struktur tulang servikal yang rusak dapat menyebabkan pergerakan kepala menjadi
terganggu. Sedangkan apabila mengenai serabut saraf spinal dapat menghambat impuls
sensorik dan motorik tubuh.
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung,
kanker dan stroke, tercatat 50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3% penyebab
kematian ini karena trauma langsung medulla pinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi
trauma pada laki- laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40%
spinal cord injury disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport,
kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti
dengan C5 dan C6 terutama pada usia decade 3.
Trauma pada servikal C1 dan C2 dapat menyebakan dislokasi atlanto-servikalis
sehingga kepala tidak dapat melalakukan gerakan mengangguk dan apabila menembus
ligamentum posterior dan mencederai medulla spinalis maka pusat ventilasi otonom akan
terganggu. Cedera pada C3-C5 menyebabkan gangguan pada otot pernapasan dan cedera
pada C4-C7 mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas (qudriplegia).
Karena sangat pentingnya peranan tulang servikalis pada fungsional tubuh manusia
maka evaluasi dan pengobatan pada cedera servikal memerlukan pendekatan yang
terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan
stabilitas merupakan kunci keberhasilan manajemen. Penanganan rehabilitas spinal cord dan
kemajuan perkembangan multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari
fusi servikal dan stabilitas merupakan hal penting harus dikenal masyarakat. Oleh karena itu,
perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu menguasai dan memmahami pengetahuan
tentang asuhan keperawatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan pada pasien dengan
cedera servikalis. Sehingga pada tatanan praktiknya, perawat mampu mengaplikasikan teori
dengan baik dan terampil.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Anatomi
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher,
punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra
yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan berperan
dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan
pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.
Trauma tulang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang belakang
dan medulla spinalis. Adapun beberapa ligamen yang terdapat pada tulang servikal antara lain
adalah :
1.
ligamen'ta fla'va : serangkaian pita dari jaringan elastis kuning melekat dan memperluas
antara bagian ventral lamina dari dua tulang yang berdekatan, dari sumbu ke sacrum..
Namanya Latin untuk "ligamen kuning," dan ini terdiri dari elastis jaringan ikat
membantu mempertahankan postur tubuh ketika seseorang sedang duduk atau berdiri
tegak. Terletak posterior tubuh vertebra, tetapi anterior proses spinosus dari tulang
belakang, yang merupakan tulang Prongs memancing ke bawah dari belakang setiap
tulang belakang, yang flava ligamenta membentuk dua sejajar, bersatu garis vertikal
dalam kanalis vertebralis. Hal ini juga mencakup dari C2, vertebra servikalis kedua,
semua cara untuk S1 dari sacrum , tulang ditumpuk pada dasar tulang belakang di
panggul. Pada ujung atas, setiap flavum ligamentum menempel pada bagian bawah
lamina dari vertebra di atasnya. lamina ini adalah proyeksi horizontal pasangan tulang
yang membentuk dua jembatan mencakup ruang antara pedikel di kedua sisi tubuh
vertebral dan proses spinosus belakangnya. Mereka memperpanjang dari pedikel, setiap
proses yang kurus menonjol ke belakang dari kedua sisi dari tubuh vertebra, dan sudut
terhadap garis tengah tulang belakang, menggabungkan di tengah. Dalam melakukannya,
mereka membentuk melebar "V" yang mengelilingi aspek posterior kanal tulang
belakang .
2.
Zygapophyseal adalah sendi sinovial sendi-sendi paling dasar dalam tubuh manusia.
Gabungan sinovial ditandai dengan memiliki kapsul sendi, cairan-cairan sinovial sendi
kapsul untuk melumasi bagian dalam sendi, dan tulang rawan pada permukaan sendi di
tengah atas dan bawah permukaan yang berdekatan dari setiap tulang belakang untuk
memungkinkan tingkat gerakan meluncur.
Atlantoaxial ligamentum posterior adalah tipis, membran luas melekat, di atas, untuk
batas bawah lengkung posterior atlas , bawah, ke tepi atas dari lamina dari sumbu .
4.
Atlantoaxial ligamentum anterior adalah membran yang kuat, untuk batas bawah
lengkung anterior dari atlas, bawah, ke depan tubuh sumbu . Hal ini diperkuat di garis
tengah dengan kabel bulat, yang menghubungkan tuberkulum pada lengkung anterior dari
atlas ke tubuh dari sumbu, dan merupakan kelanjutan ke atas dari ligamentum
longitudinal anterior .
4.
4.
Ligamentum transversal dari atlas adalah kuat, band tebal, yang lengkungan di cincin
dari atlas , dan mempertahankan proses yg mirip gigi di kontak dengan lengkung anterior.
Ligamentum transversal membagi cincin dari atlas menjadi dua bagian yang tidak setara:
ini, posterior dan lebih besar berfungsi untuk transmisi dari medula spinalis dan membran
dan saraf aksesori.
2.2 Definisi
Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan
menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur adalah pemisahan atau
patahnya tulang.
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat
trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb
( Sjamsuhidayat, 1997).
Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai basis oksiput
hingga C .
2
2.3 Klasifikasi
Tingkat cedera didefinisikan oleh ASIA menurut Penurunan Skala (dimodifikasi dari klasifikasi
Frankel), dengan menggunakan kategori berikut:
A - Lengkap: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang dipertahankan dalam segmen
sacral S4-S5.
Cedera fleksi
Fraktur kompresi : disebabkan karena fleksi yang tiba-tiba.
Fraktur fleksi teardrop : melibatkan seluruh columna ruang interspinosus melebar dan
dapat menyebabkan cedera medulla spinalis.
Subluksasi anterior : kompleks ligamentum superior mengalami ruptur sedangkan
ligamentum anterior tetap utuh.
Dislokasi faset bilateral : disebabkan fleksi yang berlebihan
Fraktur karena dorongan : terjadi karena fleksi leher yang tiba-tiba selain itu bisa juga
terjadi karena fraktur langsung di prosesus spinosus, trauma oksipital, tarikan yang sangat
kuat di ligamentum supraspinosus.
b.
Cedera Fleksi-rotasi
Dislokasi faset unilateral : terjadi saat fleksi bersamaan dengan rotasi sehingga
ligamentum dan kapsul teregang maksimal. Dislokasi kedepan pada vertebra di atas
dengan atau tanpa di sertai kerusakan tulang.
Dislokasi antlantoaxial : terjadi karena hiperekstensi, terjadi pergeseran sendi antara C1
dan C2 dan biasanya fatal. Cedera ini dapat menyebabkan rheumatoid arthritis.
c.
Cedera ekstensi
Fraktur jefferson : terjadi pada C1 dan disebabkan karena kompresi yang sangat hebat.
Kerusakan terjadi di arkus anterior dan posterior.
Fraktur remuk vertebra : penekanan corpus vertebra secara langsung dan tulang menjadi
hancur. Fragmen tulang masuk ke kanalis spinalis kemudian menekan medulla spinalis
sehingga terjadi gangguan saraf parsial
Fraktur atlas :
Tipe I dan II : fraktur stabil karena terjadi pada arkus anterior dan posterior.
Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal yang unik, berbagai sindroma tidak lengkap dapat
dijumpai pada cedera kord spinal servikal. Pada sindroma ini, fungsi sensori dan motor tertentu
terganggu atau hilang, namun lainnya tetap utuh.
1.
Paling sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal. Karena sebab
tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian sentral dapat mengalami
kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera ringan. Khas pasien mengeluh disestesi
rasa terbakar yang berat pada lengan, mungkin karena kerusakan serabut spinotalamik, mungkin
saat ia menyilang komisura anterior. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan lengan, dengan
utuhnya kekuatan ekstremitas bawah. Sebagai tambahan, sensasi nyeri dan suhu hilang dalam
distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan cedera primer terhadap kord spinal
sentral dapat menimbulkan gambaran defisit serupa, seperti siringo- mielia, tomor kord spinal
intrinsik, dan hidromielia. Sindroma ini secara jarang dapat terjadi pada kord spinal bawah
(konus medularis).
2.
Terjadi karena arteria ini mencatu substansi kelabu dan putih bagian ventrolateral dan
posterolateral kord spinal. Kerusakan arteria ini berakibat sindroma klinis paralisis bi- lateral dan
hilangnya sensasi nyeri serta suhu dibawah tingkat cedera, namun sensasi posisi dan vibrasi
(fungsi kolom posterior) utuh. Lesi arteria ini bisa karena cedera tulang belakang, neoplasma
yang terletak anterior (biasanya metastasis) dan cedera aortik.
3.
Sindroma Brown-Sequard
Pada bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal. Defisit
neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral, sensasi vibrasi dan posisi. Sebagai
tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka tembus dan peluru dapat
menimbulkan sindroma Brown-Sequard 'lengkap', namun manifestasi tak lengkap sindroma ini
tampak dengan berbagai ragam pada lesi lain, termasuk trauma dan neoplasma.
4.
Terjadi bila kolom posterior rusak secara selektif, berakibat hilangnya sensasi vibrasi
dan proprioseptif bilateral dibawah lesi. Temuan ini tersering dijumpai sekunder terhadap
kelainan sistemik (neurosifilis), namun secara jarang dijumpai setelah trauma kord spinal.
2.4 Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah
raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cukup
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
2.6 Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah kecelakaan mobil,
kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat tembakan atau pisau. Menurut
mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi
aksial. Cidera cervical atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2.
Cidera tulang belakang cervical bawah termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3C7. Ruas tulang belakang C5 adalah yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan arcus posterior
yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya. Tulang ini berartikulasi dengan
kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan
mengangguk. Dibawah, tulang ini beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlantoaxialis, tempat berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal
atau multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga menyebabkan
ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera pada C1 dan C2
menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi hilangnya inervasi
otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru
menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh
ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari anterior yang bisa
menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang menyebabkan
kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7
dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada diafragma,
otot trapezius, dan sebagian pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla spinalis
yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras mengenai medulla spinalis.
Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian
terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan
neuron. Ini disebut cedera neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan
patologis progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka akan terjadi
kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf spinal dan pembuluh darah
disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke medulla spinalis atau akan terjadi ischemik
pada jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit
atau jam kemudian akan ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang menyebabkan
konstriksi kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan dari
cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah peningkatan level Ca
pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan pada endotel pembuluh darah yang dalam
beberapa jam kemudian dapat menimbulakan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di
medula spinal. Peningkatan potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan katekolamin
sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel.
Di tingkat selular, adnya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat merangsang
pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya ketidakseimbangan elektrolit, dan
pelepasan mediator inflamasi dapat mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan
manifestasi sel mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
2.7 Penatalaksanaan
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya kerusakan pada
tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan anggota gerak atau perubahan
sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien kerusakan tulang belakang akibat cedera
sampai dibuktikan bahwa tidak ada kerusakan tersebut.
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera lain yang
menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan patah tulang belakang
tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil
temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang
dengan gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi
patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini.
Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan
akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau
dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu
melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan
harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut.
Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah
kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara
laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang.
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya
imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun
yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang patut dicurigai berdasarkan
jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila
terdapat kelemahan pada ekstremitas yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan
jalan napas dan sirkulasi.
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk
dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk menyangga leher
pada saat pengangkutan.
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan
neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat dilakukan. Pada
umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari akibat hematom retroperitoneal
sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung. Pemasangan kateter tetap pada fase awal
bertujuan mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat
syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta
mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering.
hasil pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit , keluhan
maupun pemeriksaan klinis. Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu
mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme
otot, artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi
atau kompresi.
Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu
gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari iritasi/kompresi
radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau
kompresi .
Pada foto anteroposterior garis lateral harus utuh, dan prosesus spinosus dan
bayangan trakea harus berada pada garis tengah. Diperlukan foto dengan mulut
terbuka untuk memperlihatkan C1 dan C2 (untuk fraktur massa lateral dan odontoid).
2.
Foto lateral harus mencakup ketujuh vertebra cervical dan T1, jika tidak cedera yang
rendah akar terlewatkan. Hitunglah vertebra kalau perlu, periksa ulang dengan sinarX sementara menerapkan traksi ke bawah pada lengan. Kurva lordotik harus diikuti
dan menelusuri empat garis sejajar yang dibentuk oleh bagian depan korpus vertebra,
bagian belakang badan vertebra. massa lateral dan dasar-dasar prosesus spinosus
setiap ketidakteraturan menunjukkan suatu fraktur atau pergeseran. Ruang
interspinosa yang terlalu lebar menunjukkan luksasi anterior. Trakea dapat tergeser
oleh hematoma jaringan lunak.
3.
Jarak tiang odontoid dan bagian belakang arkus anterior pada atlas tidak boleh
melebihi 4,5 mm ( anak-anak ) dan 3mm pada dewasa
4.
Untuk menghindari terlewatnya adanya dislokasi tanpa fraktur diperlukan film lateral
pada posisi ekstensi dan fleksi.
5.
Pergeseran korpus vertebra ke arah depan terhadap korpus vertebra dibawahnya dapat
berarti klinis yaitu dislokasi permukaan unilateral jika pergeseran yang kurang dari
setengah lebar korpus vertebra. Untuk hal ini diperlukan foto oblik untuk
memperlihatkan sisi yang terkena. Pergeseran yang lebih dari setengah lebar korpus
vertebra tersbut menunjukkan dislokasi bilateral.
6.
2.9 Komplikasi
1.
Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada
medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan
persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya
terjadi hipotensi.
2.
Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera
medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun
tidak seluruh bagian rusak.
3.
Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera
yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas.
4.
Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti nasal,
bradikardi dan hipertensi.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Contoh Kasus
Pasien F, laki-laki usia 40 tahun, pekerjaan pegawai swasta, masuk RS Dr Soetomo pada
tanggal 28 Januari 2011 atas rujukan RS Soedono, dengan keluhan utama kelemahan anggota
gerak sejak 5 hari yang lalu. Klien merasa kelemahan anggota geraknya semakin memberat.
Makan dan minumnya baik. Klien tampak menggunakan colar neck.
Satu bulan sebelum masuk RS Dr Soetomo, pasien mengalami kecelakaan. Mobil yang
ditumpangi pasien masuk ke lubang, dan kepala pasien terbentur atap mobil sampai 4x. Saat itu
pasien pingsan, lamanya kira-kira 20 menit, perdarahan THT tidak ada, muntah tidak ada dan
pasien masih mengingat peristiwa sebelum kejadian. Pasien mengalami kelemahan pada keempat
anggota gerak, nyeri hebat di area leher bagian belakang dan dipasang colar neck. Jika buang air
kecil (BAK) pasien ngompol, pasien juga tidak bisa buang air besar (BAB), klien dirawat di RS
Soedono Madiun selama 10 hari. Pasien masih menggunakan kateter sejak pulang dari RS
Soedono sampai saat ini dan untuk bisa BAB dibantu dengan klisma. Sejak pulang dari RS
Soedono, pasien menjalani fisioterapi sebanyak 9 kali yang dilakukan oleh fisioterapist agar bisa
berjalan lancar. Saat difisioterapi, kepala pasien ditarik.
Riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal. Riwayat pemberian steroid di RS
Soedono tidak diketahui.
Pemeriksaan Diagnostik
a.
Hasil Laboratorium :
Hb 13,2 g/dl
Ht 36 %
Leukosit 16.500/uL
Trombosit 244.000/uL
LED 25 mm
Ureum 23 mg/dL
Kreatinin darah 0.6 mg/dl
GDS 126 mg/dL
Na 105 meq/l
K 4,2 meq/l
Cl 73 meq/l
b.
b.
MRI : fraktur C1 dengan dislokasi ke posterior, stenosis berat medulla spinalis setinggi
CI-CII.
b.
BGA
pO 84.7 mmHg
2
SO % 92.2
2
BE 0.0 mmol/L
HCO 21.7 mmol/L
3
: Tetraparesis
Diagnosis klinis
Diagnosis topis
Diagnosis patologi
: Fraktur, dislokasi
Diagnosis etiologi
: Trauma
: Tn. F
Umur
: 40 tahun
Alamat
: Madiun
Pekerjaan
: Pegawai Swasta
: TD = 100 / 60 mmhg,
N= 80 x/menit
RR = 29 x/menit
T = 38,5 C
0
B1 (Breathing)
B2 ( Blood )
B3 ( Brain )
B4 ( Blader )
: inkontinensia uri
B5 ( Bowel )
B6 ( Bone )
Psikososial
: menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah dan
menarik diri.
Analisa Data
N
o
1.
Data
Etiologi
Masalah
Keperawatan
Ketidakefektifan pola
napas
Kelumpuhan otot
pernapasan
(diafragma)
Ekspansi paru
menurun
Cedera cervical
Nyeri
bisa tidur.
DO : Klien terlihat sangat gelisah, suhu
tubuh klien naik turun tak menentu, klien
memakai colar neck. N=80x/mnt.
S= 38,5 C
0
Fraktur dislokasi
servikal
Pelepasan mediator
inflamasi
Prostalglandin,
bradikinin dll
Nyeri
3.
Cedera cervikalis
Gangguan sensorik
motorik
Kelumpuhan saraf
perkemihan
Gangguan pola
eliminasi uri
Inkontinensia uri
Gangguan pola
eliminasi uri
4.
Cedera cervikalis
Gangguan eliminasi
alvi (Kostipasi)
Kelumpuhan
persarafan usus &
rektum
Gangguan eiminasi
alvi
5.
Cedera cervikalis
Kompresi medula
spinalis
Gangguan motorik
Kerusakan mobilitas
fisik.
sensorik
Kelumpuhan
Kerusakan mobilitas
fisk
Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot pernapasan (diafragma), kompresi medulla
spinalis.
2.
3.
Gangguan pola eliminasi uri : inkontinensia uri b.d kerusakan saraf perkemihan
4.
Gangguan eliminasi alvi : Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus akibat kerusakan
persarafan usus & rectum.
Kerusakan mobiltas fisik b.d kelumpuhan pada anggota gerak
5.
1.
Rencana Intervensi
1.
ventilasi adekuat
b.
PaCo2<45
c.
PaO2>80
d.
RR 16-20x/ menit
e.
Intervensi keperawatan :
Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
1.
Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2.
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret,
dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3.
5.
6.
7.
8.
Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional :
menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi
adanya kegagalan pernapasan.
8.
10.
11.
2.
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang dengan skala nyeri 6 dalam waktu 2 X 24
jam
Intervensi keperawatan :
Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5.
1.
3.
4.
3.
b.
Intervensi keperawatan:
Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
1.
2.
4.
4.
2.
2.
2.
Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan
stress.
2.
6.
5.
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera
diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil :
a.
b.
c.
Intervensi keperawatan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Intervensi keperawatan :
Inspeksi seluruh lapisan kulit.
1.
4.
5.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur dapat dapat
diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: Fraktur akibat peristiwa trauma, fraktur akibat peristiwa
kelelahan atau tekanan, fraktur patologik karena kelemahan pada tulang.
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, edema, memar/ ekimosis, spasme otot,
penurunan sensasi, gangguan fungsi, mobilitas abnormal, krepitasi, defirmitas, shock
hipovolemik.
Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya yaitu: hiperfleksi, fleksirotasi, hiperekstensi, ekstensi- rotasi, kompresi vertical. Klasifikasi berdasarkan derajat
kestabilan yaitu: stabil dan tidak stabil
Setelah primery survey, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan eksternal, tahap
berikutnya adalah evaluasi radiografik tercakup di dalamnya, plain foto fluoroscopy,
polytomography CT-scan tanpa atau dengan myelography dan MRI.
4.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan professional, perawat hendaknya dapat memberikan
asuhan keperawatan keperawatan pada penderita cegera servikal untuk mencegah atau
meminimalkan komplikasi yang mungkin terjadi. Sehingga dapat diharapkan dapat terwujud
kesehatan pada klien cedera servikal secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adhim.2010. Diagnosis dan Penanganan Fraktur Servikal.http/www.fik-unipdu.web.id. Diakses
tanggal 11 Maret 2011
Dawodu, Segun.2008.Spinal Cord Injury.http://www.medscape.com. Diakses tanggal 11 Maret
2011
Devenport,
Moira.2010.Cervical
Spine
Fracture
in
http://www.medscape.com. Diakses tanggal 11 Maret 2011
Emergency
Medicine.
Spinalis.
Malanga,
A.Gerrad.2008.
Cervical
Spine
Sprain/Strain
Injuries.
http://www.medscape.com . Diakses tanggal 11 Maret 2011
O. Bertora,Guillermo, and M. Bergmann ,Julia.2008. Whiplash Injury:
Frequent Brain Lesions studied through Brain Electric Tomography LORETA. http:// www.vertigo-dizziness.com/english/whiplash-in. Diakses
tanggal 11 Maret 2011
Pal Singh, Arun
.2009 .Basic Anatomy of Upper Cervical Spine.
http://boneandspine.com/musculoskeletal-anatomy/basic-anatomy-ofupper-cervical-spine/. Diakses tanggal 23 Maret 2011
Sika.2010.Asuhan
Keperawatan
dengan
Pasien
Fraktur
Servikalis.
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pathology.Diakses tanggal 11 Maret 2011
Strefer
Tiffiny.2010..
Care
of
the
patient
with
http://LipincotsNursing.com.Diakses tanggal 11 Maret 2011
cervical
spine
injury.
Sweet
haven
Publishing
Services.2006.Spinal
Cord
Injury.http://www/freeed.net/sweethaven/medtech/nursecare. Diakses tanggal 11 Maret 2011
Yip, Kevin .2010. Cervical Spine Trauma: Dislocation and Subluxation.
http://indonesian.orthopaedicclinic.com.sg/. Diakses tanggal 11 Maret
2011