Anda di halaman 1dari 411

BAB 1

Gadis itu menatap bukunya yang tergeletak dengan


manis di hadapannya tanpa semangat. Matanya sayu dan
sesekali mulutnya menguap. Dia sama sekali tidak terpengaruh
dengan orang yang lalu lalang di sekitarnya. Seolah teringat
sesuatu, dia mengambil tasnya dan merogoh kantungnya yang
paling luar. Dia sesekali memainkan bibir mungilnya,
mengerutkan keningnya dan memiringkan kepalanya saat
tangannya sibuk mengaduk aduk isi tasnya. Dia tersenyum
lebar pada saat menemukan benda yang dicarinya. Dia
menarik sebuah cermin kecil yang berwarna ungu. Dia
menggenggam cermin itu dan mulai menatap wajahnya yang
terpantul.
Seorang gadis yang berusia 24 tahun akhir terpantul di
cermin. Miana Hendrawan bukan gadis yang cantik luar biasa
namun dia memiliki daya tarik yang sangat besar. Dia memiliki
wajah yang klasik dan terkesan misterius. Matanya berwarna
hitam kelam, hidungnya bangis dan bibir mungilnya yang
dihiasi lipstick berwarna merah muda semakin mempertegas
daya tarik yang dimilikinya. Orang yang pernah bertemu
dengannya memiliki kesepakatan tidak tertulis, daya tarik Mia
yang paling besar terletak pada matanya. Mia memiliki mata
yang indah dan tajam. Bagi Mia sendiri, mata adalah jendela
hatinya. Dengan melihat matanya saja, orang bisa mengetahui
perasaan Mia.
Untuk ukuran gadis yang tinggal di Medan, Mia
termasuk jangkung. Tingginya mencapai seratus tujuhpuluh
sentimeter. Karena itu Mia tampak semakin menjulang dengan
memakai sepatu bertumit. Rambutnya yang hanya sebahu
disanggul dan dihiasi dengan rangkaian bunga melati. Kebaya
putih dari bahan brokat dan sarung tenun songket merah yang
dikenakannya membuatnya terlihat anggun. Anting anting,
kalung dan gelang yang terbuat dari mutiara semakin
mempercantik Mia.
Orang orang yang melihatnya berdecak kagum ketika
melihat kecantikan Mia. Tetapi Mia sendiri tidak sependapat
dengan mereka. Dia justru merasa risih dengan penampilannya
saat ini. Tidak heran, karena sehari harinya, Mia lebih senang

memakai kemeja atau kaus. Mia tidak peduli dengan tren


mode. Baginya berpakaian rapi dan serasi sudah lebih dari
cukup. Karena itu Mia merasa aneh tubuhnya dibalut dengan
kebaya. Dia merasa tidak nyaman menggunakan busana
nasional Indonesia itu. Tetapi apa boleh buat, suka atau tidak
suka, nyaman atau tidak nyaman, dia harus tetap
menggunakan busana itu untuk menyambut hari paling
penting dalam hidupnya. Beberapa saat lagi dia akan
mengakhiri masa lajangnya dengan seorang pria pilihan
orangtuanya. Walau wajahnya terlihat tenang, namun
jantungnya berdetak kencang. Dalam kediamannya, Mia
menyimpan kekhawatiran, bahwa segala sesuatunya tidak
berjalan dengan lancar. Titik titik keringat muncul di
keningnya yang putih mulus. Dia menggerakkan tangannya ke
arah buku di hadapannya. Dia menggunakan buku itu sebagai
kipas.
Siang itu cuaca di kota Medan memang luar biasa
panas. Matahari memancarkan sinarnya tanpa ampun. Namun,
udara yang panas itu tidak mengurangi antusiasme tamu
tamu keluarga Hendrawan dan Rayadi untuk datang ke gereja
tempat berlangsungnya upacara pernikahan. Halaman gereja
yang luas dipenuhi mobil para tamu dan karangan bunga
ucapan selamat untuk kedua mempelai.
Gereja itu tidak terlalu besar. Dinding di bagian luarnya
dicat putih. Gereja itu memiliki tiga pintu. Satu terletak di
bagian depan dan juga merupakan pintu masuk utama. Dua
lagi terletak di kanan dan kiri gereja. Semua pintunya terbuat
dari kayu jati, yang apabila ditutup akan membentuk tanda
salib. Di sebelah kiri dan kanan pintu terdapat tangga menuju
lantai dua. Langit langit gereja dihiasi dengan enam lampu
kristal berukuran besar. Bagian dalam gereja juga dicat putih.
Tepat di atas altar tergantung salib yang berukuran sangat
besar. Orangtua pasangan yang akan menikah sepakat untuk
memilih gereja itu untuk melangsungkan upacara pernikahan
karena tempatnya yang luas dan bisa menampung banyak
orang.
Untuk acara resepsinya sendiri, orangtua kedua
mempelai memilih untuk menggelarnya di gedung serba guna
milik gereja. Pertimbangan mereka, selain efisien dalam hal
biaya dan waktu, gedung itu juga sanggup menampung lebih

dari seribu orang. Gedung itu berjarak enam meter dari gereja.
Letaknya persis di sebelah kanan gereja. Karena itu, tamu
tamu yang datang, cukup berjalan kaki s aja untuk bisa sampai
ke gedung serba guna. Gedung itu dilengkapi pendingin,
supaya setiap orang yang mengikuti acara yang diadakan di
situ tidak kegerahan. Rencananya, resepsi akan dimulai begitu
upacara pemberkatan pernikahan selesai.
Sementara itu, jarum panjang dan pendek pada jam
dinding yang tergantung di atas pintu masuk gereja
menunjukkan angka sepuluh lewat tigapuluh menit. Acara
akan dimulai jam sebelas tetapi para tamu yang hadir hampir
memenuhi kursi kursi yang tersedia. Setiap kursi dihiasi
bunga mawar putih yang diikat dengan pita yang terbuat dari
kertas berwarna sama. Altar yang berada di dalam gereja juga
dihiasi dengan karangan bunga mawar putih yang merupakan
bunga kesukaan pengantin perempuan.
Seiring berjalannya waktu, tamu yang datang semakin
banyak. Udara panas mulai menyeruak ke dalam gereja
mengalahkan angin yang keluar dari dalam AC yang terletak di
dinding dan langit langit gereja. Sebagian besar dari tamu
yang datang mulai menggunakan kipas atau kertas acara
pernikahan untuk mengusir hawa panas.
Di bagian belakang gereja, terdapat ruangan yang
masih menyatu dengan bangunan gereja. Di ruangan
berukuran enam kali enam meter itulah, biasanya para pelayan
Tuhan mempersiapkan diri sebelum memulai kebaktian.
Ruangan itu biasanya disebut konsistori.
Kebaya ini membuatku sulit bergerak. Sesak sekali
rasanya keluh Mia di depan Eva sahabat baiknya.
Eva sudah menjadi sahabatnya sejak mereka duduk di
sekolah dasar. Saking akrabnya, mereka sampai kuliah di
tempat yang sama, yakni Universitas Sumatra Utara. Mereka
juga memilih jurusan yang sama,
manajemen. Berbeda
dengan Mia yang cenderung tomboy, Eva justru sangat
feminim. Dia juga memiliki wajah yang sangat cantik. Mata
bulat dan hidungnya mancung. Wajahnya selalu ramah pada
setiap orang yang ditemui. Rambutnya yang panjang selalu
dibiarkan tergerai. Mia pernah menyarankan agar Eva
memotong rambutnya karena dia merasa gerah melihatnya.
Tetapi yang bersangkutan menolaknya dengan alasan dia

sangat menyayangi rambut panjangnya itu. Eva tersenyum


tipis melihat tindak tanduk sahabatnya itu. Ini kan peristiwa
sekali dalam seumur hidupmu, jadi apa salahnya sih kau
menahannya. Cuma sehari saja kok, nasihatnya.
Mia menarik napas dalam dalam kemudian
mengeluarkannya pelan pelan. Dia mematut diri di depan
cermin. Sepertinya aku terlihat aneh dengan kebaya ini, dia
berputar putar di depan Eva.
Eva tersenyum geli dan menjawab, Tidak sayang, kau
justru kelihatan sangat cantik. Arman pasti terpesona
melihatmu.
Mia tertegun mendengar Eva mengucapkan nama
Arman. Arman Rayadi adalah nama pria yang akan
menikahinya. Pernikahan Mia dengan Arman adalah hasil
perjodohan yang diatur orangtua mereka. Perjodohan ini
sebenarnya berlawanan dengan kata hati Mia tetapi dia tidak
kuasa menentang keinginan orangtuanya. Dari dulu Mia sudah
terbiasa menuruti perintah orangtuanya.
Karena itu Mia setuju saja dijodohkan dengan Arman
kendati tidak mencintainya. Mia pikir, rasa cinta itu akan
tumbuh seiring bertambahnya usia pernikahan. Lagipula
setelah berkenalan, Mia dan Arman ternyata memiliki
persamaan dalam hobby. Mereka berdua sama sama gila
baca.
Tadinya orangtua masing masing menyuruh keduanya
agar segera melangsungkan pernikahan. Tetapi Mia dan Arman
serempak menolak dengan alasan ingin menyelesaikan kuliah.
Jadilah, keduanya bertunangan lebih dahulu.
Arman dan Mia kuliah di tempat yang sama, Universitas
Sumatra Utara. Tetapi keduanya jarang bertemu. Mia kuliah di
fakultas ekonomi sementara Arman di teknik. Walaupun
demikian keduanya selalu menyempatkan diri untuk bertemu
sekedar untuk mendekatkan diri.
Arman di mata Mia adalah pria yang sangat menawan.
Tubuhnya tinggi tegap. Setiap melihat wajah Arman, Mia
selalu teringat sosok Clark Kent, alter egonya si manusia baja,
Superman. Itu dikarenakan mereka memiliki garis wajah yang
sama. Apalagi Arman juga memakai kacamata.
Namun, yang paling Mia sukai dari Arman adalah
tawanya. Setiap tertawa, Arman tidak pernah berusaha

menahannya. Arman selalu tertawa lepas seolah olah tidak


ada beban hidup. Satu hal lagi yang Mia sukai dari Arman
adalah kebaikan hatinya. Itu membuat Mia mulai menyukainya
dan mulai merasakan sesuatu setiap berdekatan dengan
Arman. Namun, Mia tidak berani memastikan apakah yang
dirasakannya itu cinta atau tidak.
Setelah keduanya menyelesaikan kuliah dan meraih
gelar sarjana, para orangtua menetapkan tanggal pernikahan.
Mia yang sudah menyukai Arman sama sekali tidak keberatan.
Arman sendiri tidak mengatakan apa apa. Dia menyerahkan
segala sesuatunya kepada orangtuanya. Sekarang, hari ini jam
sebelas siang dia akan menikah dengan Arman dan mungkin
akan menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan pria itu.
Hatinya diliputi perasaan tegang luar biasa setiap mengingat
hal itu. Mia dihantui pikiran tentang pernikahan yang akan
dijalaninya. Apakah aku bisa mencintainya? Apakah aku akan

bahagia bersamanya? Apakah Arman juga bisa mencintaiku?

Hati Mia bagaikan dilanda badai yang sangat besar.


Perasaannya jadi tidak karu karuan.
Mia tersadar dari lamunannya saat mendengar bunyi
readminder ponselnya. Mia memang sengaja memasangnya
untuk menyambut hari istimewanya. Dia menyetelnya sepuluh
menit sebelum acara dimulai. Mia mulai bersiap siap karena
ia harus berjalan memasuki gereja. Jantungnya berdebar keras
menunggu aba aba dari abangnya, Hendra.
Mulanya dia menunggu dengan sabar. Tetapi, setelah
sepuluh menit tidak kunjung melihat tanda dari Hendra, Mia
mulai gelisah. Setetes keringat turun membasahi pipinya.
Dengan sigap Mia melapnya dengan tissu. Dia melakukannya
supaya riasannya tidak rusak. Merasa tidak tahan hanya diam
dan menunggu, Mia memutuskan mencari tahu.
Eva, kenapa acaranya belum dimulai juga? Mia
bertanya pada sahabat baiknya itu yang baru saja memasuki
ruang serbaguna. Tadi dia pergi ke dalam gereja untuk
menanyakan apakah acaranya sudah bisa dimulai. .
Itu karena Arman belum datang, jawab Eva gugup.
Mia tertegun. Dia melihat jam yang tergantung di
dinding. Sudah jam setengah duabelas. Mia mulai keringat
dingin. Keringat sebesar butir jagung membasahi wajahnya.
Dengan saputangan yang digenggamnya sejak tadi, dia melap

wajahnya. Jantungnya semakin berdebar kencang. Perasaan


tegang, gelisah dan panik bercampur aduk. Kenapa Arman
belum datang juga, Mia bertanya tanya dalam hati. Dia
berjalan mondar mandir di ruangan itu.
Apa ada yang tahu kenapa Arman belum datang juga,
Mia bertanya pada orang orang yang berada di ruangan itu.
Hampir semua orang yang ada di ruangan menggeleng.
Tubuh Mia mendadak lemas.
Mungkin dia terjebak macet, Eva berusaha
menenangkannya.
Aku ingin duduk, suara Mia tak lebih dari sebuah
bisikan. Dia berjalan ke sudut ruangan dan duduk di kursi yang
ada di situ. Jantung Mia berdetak dengan sangat kuat. Dia
sampai merasa jantungnya bisa melompat keluar karena
saking cepatnya. Tangannya juga terasa dingin karena
perasaan tegang yang meliputi diri Mia. Karena itu, Mia
memilih untuk menenangkan diri. Dia mencoba menghibur
dirinya sendiri. Aku tidak boleh panik. Aku harus tenang.

Mungkin Arman terjebak macet. Dia pasti datang. Aku yakin


itu.

Tidak jauh dari tempat duduk Mia, Eva berdiri bersandar


di tembok sambil memandang sahabatnya itu dengan penuh
kesedihan. Hatinya pedih sekali melihat apa yang sedang
dialami sahabatnya itu. Maafkan aku Mia, bisiknya dalam hati.
Mia kembali hanyut dalam lamunannya, sampai ia
dikejutkan dering ponselnya yang nyaring. Mia terlonjak dari
kursi karena kaget. Mia melihat nama yang tertulis di layar
ponsel. Dia terheran heran saat melihat nama Arman yang
tertera. Tanpa pikir panjang lagi, cepat cepat dia
menjawabnya.
Astaga Arman dimana kau? Mengapa kau belum
datang? Apa terjadi sesuatu? Tamu tamu sudah mulai
gelisah, Mia memberondong Arman dengan pertanyaan demi
pertanyaan.
Eva dan orang orang yang ada di ruangan itu
mengarahkan pandangan ingin tahu ke Mia.
Tidak terjadi apa apa Mia. Aku baik baik saja,
suara Arman terdengar gugup.

Syukurlah. Tetapikenapa kau belum datang juga?


Apa kau tahu sekarang jam berapa? Mia bertanya dengan hati
hati.
Hening sesaat. Aku tidak akan datang, Mia, gumam
Arman pelan namun cukup untuk membuat jantung Mia nyaris
copot mendengarnya.
Wajah Mia menegang. Tangannya mencengkeram kuat
ponselnya. Arman, apa maksudmu? Kenapa kau bilang kau
tidak akan datang? Mia mulai dihampiri perasaan takut.
Mia tidak menyadari suaranya cukup keras, sehingga
orang orang yang ada di ruangan itu terkejut. Pandangan
ingin tahu yang diarahkan padanya dengan cepat berubah
menjadi tatapan penuh keprihatinan.
Aku tidak bisa menikah denganmu, Mia, suara Arman
terdengar sangat berat.
Mia berdiri mematung. Wajahnya pucat pasi. Ucapan
Arman bagaikan petir yang menyambarnya. Dia mulai dilanda
rasa panik luar biasa tetapi dia berusaha mengendalikan diri.
Mia menarik napas dalam dalam. Kenapa kau tidak
bisa menikah denganku? tanyanya dengan suara yang dibuat
setenang mungkin.
Karena aku tidak mencintaimu, kata Arman terus
terang.
Hati Mia perih sekali saat mendengar kejujuran Arman.
Untuk sesaat dia tidak tahu berbuat apa. Perasaannya kalut
sekali. Matanya mulai basah, namun, Mia berusaha mati
matian agar tangisnya tidak pecah di tempat itu. Masalah itu
rupanya, Mia mendengus dingin. Aku juga tidak
mencintaimu, kata Mia dengan nada datar.
Karena itu, aku tidak ingin kita melakukan kesalahan
terbesar dalam hidup kita. Menikah tanpa cinta adalah suatu
kebodohan.
Jangan menceramahiku, Arman! bentak Mia.
Wajahnya merah padam karena saking marahnya. Berani
sekali dia menasihatiku. Memangnya kau saja yang tahu
tentang masalah itu? Aku juga! Asal kau tahu saja yah, aku
bersedia dijodohkan denganmu karena aku berpikir cinta bisa
tumbuh seiring bertambahnya usia pernikahan! seru Mia
kesal. Kalau saat ini dia berada di hadapanku, mungkin dia

sudah kuhajar habis habisan dengan jurus karate yang


7

sudah kupelajari selama ini. Hanya itu satu satunya cara


untuk membantuku mengatasi rasa amarah ini.

Pendapat itu mungkin ada benarnya tapi saat ini hal itu
tidak mungkin terjadi padaku karena aku mencintai orang
lain, suara Arman tidak lebih dari sebuah bisikan tetapi cukup
untuk membuat dunia Mia runtuh seketika.
Mia sempat terpaku sesaat sambil menggenggam
ponselnya. Begitu kesadarannya kembali dia langsung
bertanya dengan membabi buta, Apa? Kau bilang kau
mencintai orang lain? Sejak kapan?
Sejak aku kenal denganmu, kata Arman lirih.
Kalau saja Mia tidak menggenggam ponselnya dengan
erat, mungkin benda mungil warna perak berbentuk segi
empat itu sudah jatuh dari tangannya karena begitu
mendengar ucapan Arman barusan, tubuhnya lemas seketika.
Dia seperti kehilangan tenaga untuk sesaat. Namun, tidak
berapa lama, amarahnya kembali mencuat. Jadi selama ini
kau menduakan aku! Brengsek kau Arman! Seharusnya kau
bilang padaku. Dengan begitu aku tidak perlu berada dalam
situasi memalukan ini! sembur Mia penuh emosi.
Aku tahu. Maafkan aku Mia, kata Arman dengan nada
memelas.
Mia meremas ponselnya karena gemas dan marah.
Ingin rasanya dia melempar ponselnya itu namun dia berhasil
menahan diri mengingat dia tidak sendirian di ruangan itu. Dia
tahu betul kalau sekarang dia sedang menjadi pusat perhatian
orang orang yang ada di sekelilingnya. Karena itu dia tidak
mau terlihat lemah. Dia juga tidak mau orang orang itu
melihat dia
memohon pada Arman agar mau menikah
dengannya. Maaf saja yah, aku tidak mau kehilangan harga

diriku gara gara pria brengsek itu, tekadnya. Kalau dia tidak
mau menikah ya sudah. Duniaku tidak akan kiamat gara gara
batal menikah dengannya. Memangnya pria di dunia ini dia
saja.

Dia mendengus dingin. Hah! Enak saja! Memangnya


dengan kata maaf saja, kau pikir semua masalah yang kau
buat bisa selesai? Aku ingin kau datang ke sini sekarang juga!
Aku tidak mau menanggung masalah ini sendirian! Kita harus
menyelesaikannya bersama sama, tegas Mia.

Jawaban Arman di luar dugaan Mia. Aku tidak bisa


Mia. Aku tidak berani, ujarnya terus terang.
Mia terpana mendengar penolakan Arman. Saking
kagetnya, mulut Mia sampai terbuka lebar. Orang orang
menatapnya dengan rasa ingin tahu yang sangat besar. Ya

Tuhan, ternyata aku dijodohkan dengan seorang pengecut,


batinnya dan parahnya lagi, aku mulai suka padanya. Mia mati

matian mengendalikan emosinya. Dia berusaha menahan diri


dan mencoba untuk bersikap tenang.
Dengan dingin Mia berkata, Kalau kau tidak mau
datang, baiklah. Itu terserah padamu. Aku tidak akan
memohon, suara Mia bergetar karena menahan amarah.
Di ujung sana, Arman terkesiap. Tadinya dia mengira
Mia akan memakinya habis habisan. Ternyata reaksi Mia
benar benar di luar perkiraannya. Sebelum Mia berubah
sikap, cepat cepat dia bicara, Mia, aku benar benar minta
maaf. Suara Arman terdengar penuh penyesalan.
Berhentilah mengucapkan kata maaf! Aku tidak mau
mendengar penyesalan darimu. Kata penyesalan dan maaf
saja tidak cukup buatku! Kau tahu, Man, aku benar benar
bersyukur tidak jadi menikah denganmu setelah mengetahui
betapa pengecut dan brengseknya dirimu. Kau benar! Aku
hampir saja melakukan kebodohan terbesar dalam hidupku
dengan menikahimu. Aku tidak bisa membayangkan akan
seperti apa kehidupanku bila jadi menikah denganmu. Bisa
bisa, aku menghabiskan sisa hidupku hanya untuk
melindungimu. Benar benar sial sekali perempuan yang
berhubungan denganmu itu, kata Mia dengan nada mengejek.
Setelah mengatakan apa yang ada di kepalanya, Mia
mematikan ponselnya dan menarik napas dalam dalam. Dia
sempat tertegun dan memandangi ponselnya. Suara Eva yang
lembut saat memanggil namanya,
menyadarkannya. Dia
mendongak dan tersenyum datar.
Arman baru saja menelepon. Dia tidak bisa datang.
Jadi pernikahan kami batal, kata Mia dengan santai seolah
olah tidak terjadi apa apa.
Orang orang di sekitarnya melongo. Eva mendekat
dan memegang tangannya Mia. Mia kau ini kenapa? Apa yang
kau bilang barusan itu, sungguh sungguh? tanyanya hati
hati.

Mia menatap Eva dengan pandangan getir. Saat itu juga


sadarlah Eva apa yang dikatakan sahabatnya adalah
sungguhan. Eva terpaku. Pikirannya berkecamuk. Arman tidak
main main. Dia benar benar melakukannya. Eva
melayangkan pandangan pada Mia yang sedang berdiri
termangu.
Tiba tiba Mia menoleh padanya dan tersenyum tipis.
Wajahnya sama sekali tidak kelihatan terpukul. Eva juga
merasa keheranan karena tidak melihat sisa sisa kemarahan
di wajah Mia. Aku akan memberitahu tamu tamu yang lain,
cetus Mia dengan suara setegar mungkin.
Mata Eva melotot saking terkejutnya. Jangan lakukan
itu Mia. Biar orangtuamu saja yang mengatasinya, cegah Eva.
Tidak bisa, Va. Aku harus melakukan sendiri. Aku tidak
mau menyusahkan orang lain, Mia bersikeras.
Tetapi, mereka bisa mentertawakanmu, kata Eva
cemas.
Biarkan saja. Aku tidak peduli bagaimana reaksi
mereka. Lebih baik mereka mentertawakan daripada
mengasihani aku. Mia menatap tajam sahabatnya itu. Aku
paling benci dikasihani, katanya dingin.
Mia, kumohon. Jangan keras kepala begitu dong, ucap
Eva dengan nada memelas. Dia menahan Mia dengan
memegang tangan kanan sahabatnya itu.
Lalu kau ingin aku melakukan apa, Eva? Apa kau ingin
aku menjadi seorang pengecut seperti Arman?
Tidak, Mi. Bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin.
Ucapan Eva terhenti karena Mia mengangkat tangannya yang
sebelah lagi untuk menyetopnya.
Jangan buang buang waktumu mencegahku Eva. Aku
tidak selemah yang kau kira. Percayalah, aku bisa
mengatasinya kok, Mia melemparkan senyum manisnya.
Perlahan pegangan Eva mulai mengendur. Dia
memandang Mia dengan tatapan sendu. Baiklah. Lakukan apa
yang ingin kau lakukan. Aku tidak akan mencegahmu lagi.
Terima kasih, teman, kata Mia tulus.
Mia berjalan dengan tegak menuju pintu keluar diiringi
tatapan keprihatinan orang orang yang berada di ruangan
itu. Sementara, Eva masih berdiri termangu sambil
berpegangan pada kursi yang tadi diduduki Mia.
Seolah

10

olah ada yang menyadarkannya, cepat cepat ia menoleh ke


arah Mia.
Mia! teriaknya.
Mia menoleh dengan raut wajah keheranan, Ya?
Eva bingung mau berkata apa. Dia menatap temannya
itu dengan mata berkaca kaca dan mulut terkunci rapat. Kata
kata yang tadinya ingin diucapkannya tidak bisa keluar.
Mia hanya tersenyum tipis melihat tingkah sahabatnya
itu. Tanpa mengatakan apa apa, dia meninggalkan ruangan
itu.
Setelah Mia pergi, Eva terduduk lemas. Tangan Eva
yang tadinya terkepal tiba tiba terkulai lemah. Wajahnya
memucat dan bahasa tubuhnya menunjukkan kalau ia merasa
gelisah. Hatinya gundah gulana. Diam diam, dirinya dihantui
perasaan bersalah. Dia memandangi sosok Mia yang sedang
berjalan menuju gereja. Maafkan aku teman. Maafkan aku.

Kau adalah salah satu orang yang paling tidak ingin kusakiti.
Tetapi, apa yang menimpamu benar benar di luar kendaliku.

Eva bangkit berdiri dan berjalan dengan gontai meninggalkan


gereja. Dia tidak menghiraukan suara suara yang memanggil
namanya.
Sementara itu, Mia, dalam setiap langkahnya menuju
gereja, ia tidak henti hentinya berdoa dalam hati memohon
agar Tuhan memberi kekuatan padanya. Beberapa orang yang
masih berada di luar gereja memandanginya sambil berbisik
bisik. Mulanya suara mereka pelan. Namun, lama kelamaan
suara mereka semakin keras seperti ribuan lebah yang sedang
mengerubungi madu. Mia sadar sepenuhnya kalau orang
orang itu sedang membicarakannya. Ternyata kabar cepat
sekali menyebar, pikir Mia. Tetapi Mia tidak peduli. Dia terus
saja berjalan menuju gereja dengan kepala tegak.
Akhirnya dia sampai di pintu masuk utama gereja. Dia
memandangi pintu itu dengan perasaan berkecamuk. Kalau

aku jadi menikah, aku akan berjalan melalui pintu ini. Tidak
kusangka, aku akan melewati pintu ini justru untuk
mengumumkan pembatalan pernikahanku.
Mia menarik napas dalam dalam. Dia mengumpulkan
seluruh keberaniannya. Setelah merasa siap dia mulai berjalan
memasuki gereja melewati pintu itu. Seluruh orang yang
berada di dalamnya terdiam melihat Mia. Suasana gereja yang

11

tadinya ramai seperti pasar mendadak hening bagaikan


kuburan. Wajah Mia sangat tenang saat memasuki gereja.
Tidak terlihat sedikit pun amarah, kekecewaan ataupun duka
karena perbuatan Arman. Dia berjalan dengan penuh percaya
diri.
Dari kejauhan, Mia melihat orangtuanya dan Arman
berdiri di dekat altar. Wajah mereka terlihat sangat bingung.
Sedangkan abangnya, Hendra dan Robert tidak terlihat. Dari
bisik bisik para tamu, Mia bisa mendengar keheranan
mereka.
Pengantin prianya kan belum kelihatan kok yang
wanita sudah masuk ke dalam, bisik salah seorang tamu pada
temannya satu bangku.
Mungkin dia sudah datang tetapi kita tidak melihatnya.
Aku yakin dia pasti sudah ada di depan bersama keluarganya,
jawab temannya dengan penuh percaya diri.
Nyali Mia sempat ciut mendengar bisik bisik dari tamu
tamu yang hadir. Sempat terbersit dalam benaknya untuk
kabur tetapi dia mengusir niat itu jauh jauh. Dia terus saja
berjalan tanpa keraguan.
Akhirnya ia sampai di altar. Begitu tiba di sana, dia
disambut tatapan penuh tanda tanya dari kedua orangtuanya
dan calon mertuanya.
***
Dua orang pria muda berjas, baru masuk dari pintu
sebelah kanan gereja. Mereka memiliki mata dan garis wajah
yang mirip dengan Mia. Tidak heran, karena mereka adalah
Abang Mia. Keduanya mengenakan kacamata dan memiliki
postur tubuh yang sama. Yang mengenakan kacamata dengan
bingkai perak dan rambut disisir ke belakang adalah Hendra.
Dia adalah anak tertua dalam keluarga Hendrawan. Sementara
yang menggunakan bingkai berwarna hitam dan rambutnya
berpotongan seperti tokoh kartun Tintin adalah Robert. Kedua
pria gagah dan tampan itu terheran - heran melihat adegan di
depan mereka. Mereka saling berpandangan lalu kembali
menatap ke depan.
Robert melirik Hendra yang masih terbengong
bengong. Batang hidung Arman belum kelihatan kenapa Mia
sudah kau suruh masuk?

12

Aku tidak menyuruhnya masuk, sahut Hendra tanpa


menoleh. Dia sama herannya dengan Robert.
Terus, siapa dong yang menyuruhnya masuk? Itukan
seharusnya menjadi tugasmu.
Mana aku tahu, sahut Hendra dengan raut wajah
kebingungan. Dia mengangkat bahunya. Mungkin Arman
sudah datang, makanya Mia masuk, terka Hendra.
Seharusnya kita tahu kalau dia sudah datang. Kita ini
kan keluarga mempelai perempuan, kata Robert masih
dengan nada tidak mengerti.
Entahlah. Aku pun sama tidak mengertinya
denganmu, Hendra mengangkat bahu. Tadi sih, kata
orangtuanya, Arman datang belakangan. Aku tanya apa
alasannya, mereka bilang tidak tahu.
Aneh sekali, gumam Robert. Matanya sibuk mencari
cari sosok Arman di antara orang orang yang ada di gereja
itu. Apa benar dia sudah datang? Tetapi kenapa aku belum

melihatnya. Di mana sebenarnya dia? Mia tidak mungkin


masuk sebelum menerima tanda dari Hendra, pikir Robert.
Robert terus mengedarkan pandangannya ke setiap sudut
gereja sampai matanya terasa lelah. Namun sia sia saja,
karena dia tidak menemukan Arman.
Berbeda dengan saudaranya yang mencari cari sosok
Arman, Hendra justru bertanya tanya dalam hati. Bukankah

Mia seharusnya menunggu tanda dariku? Kenapa dia sudah


masuk?

Sebenarnya Arman itu sudah datang atau belum sih?


tanya Hendra.
Robert mengangkat bahu. Aku rasa dia belum datang.
Kalau dia sudah datang seharusnya dia berdiri di depan.
Bagaimana kalau kita ke altar dan mencari tahu? tanya
Robert.
Aku rasa itu bukan usul yang bagus. Kalau kita maju ke
sana, suasana akan tambah ramai. Apa kau tidak bisa lihat
kalau di sana sudah ada Mama, Papa dan calon mertua adik
perempuan kita?
Yeah, kau benar. Kita duduk saja dan menunggu.
Sepasang saudara itu duduk di kursi terdepan. Kursi itu
khusus disediakan untuk keluarga mempelai laki laki dan
perempuan. Pandangan keduanya terarah ke altar. Mereka

13

tidak menghiraukan pertanyaan pertanyaan dari orang


orang yang duduk di belakang mereka. Setiap ada yang
bertanya, mereka selalu menjawab tidak tahu.
Sementara itu, di depan altar, di hadapan ratusan
pasang mata, Mia berdebat kecil dengan orangtua dan calon
mertuanya. Mereka tidak peduli dengan keadaan sekitar
mereka.
Mia, Arman belum datang kenapa kau sudah masuk?
tanya Nyonya Hendrawan, wanita yang masih terlihat segar
dan cantik di usianya yang sudah mencapai lima puluh lima
tahun.
Kalian semua duduklah di kursi. Aku ingin
memberitahukan sesuatu pada para tamu.
Kau mau bilang apa? kali ini calon mertuanya, Nyonya
Rayadi yang angkat suara. Wanita paruh baya itu terlihat
dipenuhi rasa was was.
Mia tersenyum tipis, Bukan hal yang penting. Kalian
jangan khawatir, semuanya akan baik baik saja. Kumohon
duduklah, pinta Mia dengan suara lembut.
Tuan Hendrawan berusaha tenang walaupun hatinya
diliputi rasa was was. Dia mengamati wajah putri satu
satunya untuk mencari tahu kalau kalau putrinya itu
menyembunyikan sesuatu. Setelah tidak menemukan
kejanggalan pada wajah putrinya itu dia menarik napas dalam
dalam. Dia memegang tangan kanan istrinya. Ayo, kita
duduk, Ma, Tuan Hendrawan menarik tangan istrinya. Tanpa
banyak bicara, Nyonya Hendrawan menurut pada ucapan
suaminya. Tuan Hendrawan menoleh ke calon besannya yang
masih terlihat ragu ragu. Kalian juga, duduklah.
Pasangan Rayadi menurut. Mereka duduk di sebelah
calon besannya. Walaupun wajah mereka terlihat tanpa emosi,
namun hati mereka berdebar debar menanti apa yang akan
dikatakan oleh Mia.
Begitu orangtuanya duduk di kursi, Hendra dan Robert
langsung mengajukan berbagai pertanyaan. Apa yang terjadi,
Ma? Apa Arman sudah datang? Kalau memang belum, kenapa
Mia sudah masuk? Apa yang mau dikatakan Mia?
Pasangan Hendrawan menggeleng. Kami tidak tahu.
Lebih baik kita dengarkan saja. Semoga saja apa yang
kukhawatirkan tidak terjadi, harap Tuan Hendrawan.

14

Memangnya apa yang Papa khawatirkan? tanya


Hendra penasaran.
Hendra tidak mendapatkan jawaban. Papanya menolak
untuk memberitahu. Kita dengarkan saja.
Sekarang seluruh perhatian orang orang yang ada di
dalam gereja terpusat pada sosok gadis dengan kebaya putih
yang berdiri di depan.
Dengan suara yang lantang, Mia berkata, Pertama
tama saya ingin meminta maaf karena telah membuat kalian
menunggu lama. Saya berdiri di sini untuk mencegah kalian
terus menunggu tanpa adanya kepastian kapan upacaranya
akan dimulai.
Para tamu mulai ribut. Pasangan Hendrawan dan Rayadi
mendadak tegang. Nyonya Hendrawan menggenggam erat
tangan suaminya. Wajahnya terlihat sangat cemas. Sementara
suaminya berusaha untuk tenang. Hendra dan Robert juga ikut
ikutan tegang.
Apa maksud dari ucapannya itu? bisik Robert.
Hendra tidak menjawab. Dia sibuk menduga duga apa
yang ada di benak adik perempuannya itu. Apa yang akan kau
lakukan Mia, tanya Hendra dalam hati. Dia mengamati wajah
adiknya dengan seksama dari kejauhan. Otak Hendra dipenuhi
beragam dugaan hingga sampailah dia pada satu kesimpulan.
Rasanya sekarang aku bisa menebak apa yang akan
dikatakan oleh Mia, cetus Hendra.
Robert menoleh. Apa?
Kita lihat saja.
Mia menarik napas panjang dan menghembuskannya
kuat kuat. Sederet kata meluncur dari mulutnya. Saya tidak
akan panjang lebar. Saya langsung saja ke pokok
permasalahannya. Saya dan Arman sepakat untuk
membatalkan pernikahan. Alasannya sederhana saja, kami
tidak ingin menikah tanpa cinta. Harap anda semua maklum,
kata Mia dengan suara tegas. Setelah itu dia langsung cepat
cepat turun dari podium. Dia berjalan dengan cepat dan keluar
dari dalam gereja melalui pintu sebelah kanan. Tidak ada
seorang pun yang berhasil mencegahnya.
Sontak suasana gereja menjadi ramai. Tamu tamu
yang hadir saling berebutan memberikan reaksi dan komentar.
Ada yang mengatakan penyesalan, keprihatinan dan

15

kekecewaan. Bahkan ada juga yang mengatakan kekaguman


atas keberanian Mia untuk mengatakan sendiri mengenai
pembatalan pernikahannya.
Keluarga Mia sendiri masih terlihat syok. Pasangan
Hendrawan dan Rayadi sangat terkejut sampai sampai
mereka tidak bergerak dari kursinya. Hendra dan Robert
mencoba mendekati Mia tetapi terhalang para tamu yang
berdiri di sekitar mereka.
Mia tidak ambil pusing dengan reaksi para tamu.
Setelah menyampaikan apa yang ingin dikatakannya, Mia
bergegas meninggalkan gereja. Dia tidak peduli dengan suara
suara yang memanggil namanya. Dia terus saja berjalan
tergesa - gesa melintasi halaman gereja menuju pintu
gerbang. Baju yang ia kenakan membuat Mia kesulitan
berjalan dengan cepat. Terpaksa dia mengangkat songketnya
sampai selutut, supaya dia lebih leluasa dalam bergerak.
Sambil berjalan, Mia masih bisa mendengar suara
suara yang meneriakkan namanya. Di antara keributan itu, Mia
masih bisa mendengar suara Hendra yang memanggilnya
tetapi dia pura pura tidak mendengar. Entah apa yang ada di
pikirannya waktu itu, Mia memutar kepalanya dan menolleh ke
belakang. Di pintu keluar Mia melihat Mama dan papanya,
kedua abangnya Hendra dan Robert serta mantan calon
mertuanya berjalan tergopoh gopoh menuju ke arahnya. Ah,
rupanya mereka ingin penjelasan. Karena takut tersusul, Mia
mempercepat langkah kakinya. Dia berjalan menuju ke jalan
raya. Karena saking tergesa gesanya, hampir saja dia
terjatuh karena kakinya tanpa sengaja menginjak kain
songketnya. Tubuh Mia sempat limbung, tetapi dia berhasil
mempertahankan keseimbangannya.
Pada saat itulah terdengar suara papanya memanggil
nama panjangnya, Miana. Langkahnya terhenti. Mia berdiri
mematung tepat di tengah tengah halaman gereja. Akhirnya
dia memutuskan berhenti dan memberikan penjelasan kepada
keluarga dan mantan calon mertuanya.
Napas pasangan Hendrawan dan Rayadi tersengal
sengal ketika mereka akhirnya bisa menyusul Mia.
Mia sayang, ada apa? Kenapa kau membatalkan
pernikahan tanpa berkonsultasi dengan kami? Di mana

16

Arman? mamanya mengajukan pertanyaan dengan membabi


buta.
Mia sebenarnya enggan memberikan penjelasan.
Terlebih lagi semua tamu mulai mendekatinya dengan
pandangan ingin tahu. Situasi itu membuat Mia merasa gerah
dan ingin cepat cepat berlalu dari tempat itu.
Papanya menggenggam tangannya yang dingin dan
berkata dengan lembut, Mia sayang, kau belum menjawab
pertanyaan Mamamu.
Mia mengalihkan pandangannya ke arah lain karena dia
tidak sanggup menatap mata orangtuanya. Tetapi sejauh mata
memandang, hanya tamu tamu yang sibuk berbisik bisik
yang dilihatnya. Menyaksikan itu semua, ingin rasanya Mia
menjerit sekencang kencangnya. Tetapi tidak ada teriakan
yang keluar karena mulutnya terkunci. Matanya memerah
karena menahan tangis.
Miana, kami ingin mendengar apa yang terjadi
sebenarnya, akhirnya orangtua Arman angkat suara. Rupanya
mereka sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Mereka
ingin tahu apa andil putra mereka dalam kejadian ini.
Mia mengumpulkan seluruh keberaniannya dan menoleh
ke arah mereka. Dengan suara tenang dia berkata, Aku kan
sudah bilang kalau pernikahannya batal.
Walaupun sudah mengetahuinya, tetap saja pasangan
Hendrawan dan orangtuanya Arman sangat terkejut. Tubuh
Nyonya Hendrawan mendadak limbung. Dia berpegangan pada
tubuh suaminya. Kelihatan sekali dia tidak siap menerima
kejutan demi kejutan yang dibuat putri satu satunya itu.
Sementara Tuan Hendrawan dan orangtua Arman terdiam.
Kedua abang Mia, Hendra dan Robert yang sudah
berdiri di samping Mia dari tadi, juga tidak berkomentar apa
apa. Tetapi raut wajah mereka menunjukkan keprihatinan atas
apa yang menimpa adik perempuan kesayangan mereka.
Kenapa pernikahannya bisa batal? Kalau kalian
memang tidak ingin menikah seharusnya kalian bilang dari
awal. Jadi hal seperti ini tidak perlu terjadi. Apa kalian pernah
memikirkan pandangan orang lain terhadap keluarga kita?
sesal Tuan Rayadi.
Om, aku tidak pernah berniat sedikitpun untuk
membatalkan
pernikahan.
Arman
yang
berinisiatif

17

membatalkannya duluan, kata Mia dengan nada getir. Dia


membatalkannya lewat ponsel. Alasannya karena dia tidak
mencintaiku dan sudah memiliki kekasih.
Pasangan Rayadi terperangah. Mulut mereka ternganga
karena saking terkejutnya. Tidak mungkin, ucap keduanya
berbarengan.
Dasar pria brengsek, cetus Hendra dan Robert
serempak. Serta merta ucapan mereka itu mengusik perasaan
orangtuanya Arman. Mereka menatap Hendra dan Robert
dengan raut wajah tidak senang. Tetapi kedua pria rupawan
itu tidak peduli. Mereka malah membalas dengan menatap
tajam pasangan itu.
Yang terparah dari ini semua adalah aku memenuhi
keinginannya untuk membatalkan pernikahan sementara dia
tidak mengabulkan permintaanku, Mia menambahkan.
Pasangan Hendrawan dan Rayadi terhenyak mendengar
ucapan Mia. Tidak terkecuali Hendra dan Robert.
Apa yang kau minta dari pria brengsek itu, Mi? tanya
Hendra dengan hati hati.
Aku memintanya datang ke sini untuk membantuku
menjelaskan kepada para tamu, kerabat dan orangtua kenapa
upacara pernikahan dibatalkan. Ternyata dia menolak. Dia
bilang tidak punya keberanian, kata Mia dengan suara lirih.
Tidak! Itu tidak mungkin. Putraku tidak mungkin
bertindak seperti itu! bantah Tuan Rayadi.
Itulah kenyataan yang sebenarnya. Kalau Om tidak
percaya, tanyakan pada putra Om sendiri. Kalau dia tidak mau
mengakuinya maka bagiku putra Om itu adalah pria paling
pengecut sedunia, tegas Mia. Kali ini dia benar benar tidak
bisa lagi menahan kekesalannya.
Putraku itu seorang pemberani. Aku yakin kau hanya
melebih lebihkannya karena sebenarnya kau yang bersalah!
tuduh Nyonya Rayadi. Sekarang aku tahu kenapa dia bisa
menyukai orang lain. Melihat sikapmu yang seperti ini, suka
menuduh orang sembarangan, pria lain pun tak akan tahan,
ujar Nyonya Rayadi dengan nada sinis.
Mata Mia terbelalak mendengarnya. Demikian pula
pasangan Hendrawan serta Hendra dan Robert. Mereka tidak
menyangka mamanya Arman berkata seperti itu. Biasanya ia
selalu bersikap lemah lembut. Tidak pernah sekalipun dia

18

bersikap kasar terhadap orang lain. Tetapi, rupanya rasa


sayangnya terhadap Arman mengalahkan sifatnya selama ini.
Jangan berkata seperti itu pada putriku, bentak Tuan
Hendrawan dengan emosi yang meluap - luap. Setidaknya
putriku berani menghadapi para tamu dan mengatakan yang
sebenarnya. Sementara putra kalian menampakkan batang
hidungnya saja dia tidak berani.
Sudahlah, Pa. Aku bisa membela diri, tegas Mia.
Terserah Tante mau bilang apa karena aku mengatakan yang
sebenarnya.
Yang terpenting adalah aku terhindar dari
kesalahan terbesar dalam hidupku. Sekarang aku mau pulang.
Aku tidak tahan lagi berada di sini.
Pulanglah, Nak. Beristirahatlah. Tentang masalah ini
kau jangan khawatir. Kami akan menyelesaikan ini semua,
kata papanya.
Mia tersenyum. Terima kasih, Pa.
Aku akan mengantarmu, Hendra menawarkan.
Mia menolak dengan halus, Tidak perlu, Bang. Saat ini
aku ingin sendiri.
Tunggu! panggil Tuan Rayadi.
Langkah Mia terhenti. Dia menoleh.
Apa maksud dari ucapanmu barusan? Tadi kau bilang
terhindar dari kesalahan terbesar dalam hidupmu. Apa
artinya?
Mia tersenyum dingin, Om ingin tahu apa maksudnya.
Baiklah, akan kuberitahu. Mia mendekati pasangan Rayadi.
Dia memandangi mereka berdua dengan tatapan sedingin es.
Aku hampir saja melakukan kesalahan terbesar dalam
hidupku dengan menikahi putra Om.
Pasangan Rayadi menatap Mia dengan raut wajah tidak
percaya.
Kuakui dulu sempat menyukainya. Bahkan, aku mulai
jatuh cinta padanya. Namun, perasaanku itu layu sebelum
berkembang. Tidak ada yang tersisa. Putra kesayangan Om
sendiri yang telah menghapusnya, Mia menambahkan dengan
suara datar.
Kali ini pasangan Rayadi tidak membantah. Mereka
hanya diam membisu.
Mia menoleh ke arah keluarganya, Papa, sebelum aku
pulang, apakah Papa bisa menolongku?

19

Katakan saja sayang, sahut Tuan Hendrawan.


Tolong beritahukan pada tamu tamu cerita yang
sebenarnya. Katakan pada mereka kalau Arman yang
membatalkan pernikahan ini. Sampaikan juga permintaan
maafku.
Semua orang
yang berada disekitar Mia terpana
mendengar ucapan Mia. Namun, Hendra yang pertama
bereaksi.
Apa? seru Hendra tak percaya. Tidak bisa! Bisa bisa
pria tidak bernyali itu besar kepala. Selain itu, kau bisa
ditertawakan. Mia, kita katakan saja kalau kau yang
meninggalkannya karena dia tidak lebih dari seorang pria
pengecut.
Enak saja! ujar Nyonya Rayadi dengan nada sengit.
Kalian tidak boleh memanipulasi kejadian yang sebenarnya.
Apa kalian ingin mencoreng nama baik putraku?
Nama baik putramu memang sudah tercoreng karena
masalah ini, cetus Robert dengan nada kesal.
Pasangan Rayadi siap siap membantah ketika Mia
mengangkat kedua tangannya di depan muka mereka.
Hentikan, Mia melerai cekcok yang terjadi antara
kedua keluarga. Terserah kalian mau bilang dan melakukan
apa. Aku tidak mau tahu. Yang kuinginkan saat ini adalah
pulang. Apa kalian ingin mendengar penjelasan lagi?
Semua yang ada di situ terdiam. Mereka menggeleng.
Kalau tidak ada lagi, aku mau pergi. Tanpa berkata
apa apa, Mia berjalan dengan gontai. Kali ini tidak ada lagi
yang mencegahnya. Semua orang hanya bisa memandanginya
tanpa bicara satu patah kata pun.
Begitu sampai di jalan raya, Mia langsung menghentikan
taksi pertama yang melintas di depannya. Dia langsung masuk
dan taksi itupun menghilang di tengah ramainya lalu lintas.
Keluarga Mia dan Arman hanya bisa memandangi
kepergiannya.
***
Setelah Mia berlalu dari pandangan mereka, keluarga
Hendrawan dan Rayadi, bahu membahu menyelesaikan
masalah yang menyangkut pembatalan pernikahan putra putri
mereka. Walaupun tadi sempat terjadi kekisruhan karena
kedua keluarga sama sama membela anaknya masing

20

masing, mereka sepakat untuk bekerja sama menyelesaikan


semua kekacauan yang terjadi. Saat ini, kedua keluarga itu
duduk melepas lelah di ruang serbaguna.
Mereka memandangi petugas petugas katering
membereskan meja meja yang dipenuhi makanan. Karena
pernikahannya batal, otomatis pesanan katering juga
dibatalkan.
Sekarang kalian baru tahu dampak dari perbuatan
kalian, celutuk Hendra santai.
Apa maksudmu, Nak? tanya Mamanya bingung.
Masa kalian tidak tahu maksud Hendra? Robert ikut
menanggapi.
Kedua pasangan orangtua itu semakin tidak mengerti.
Tidak usah basa basi. Langsung saja katakan apa yang
ada di pikiran kalian, kata Tuan Hendrawan.
Kalianlah yang paling bersalah atas apa yang terjadi
hari ini, kata Hendra terus terang.
Perjodohan yang kalian atur benar benar konyol,
tuding Robert.
Kenapa kalian bicara seperti itu? Kami ini orangtua
kalian. Tunjukkan rasa hormat kalian, tegur Tuan Hendrawan.
Huh, sekarang aku tahu kenapa Arman membatalkan
pernikahan. Yang aku lihat sekarang adalah anak anak kalian
memiliki sifat yang sama yaitu tidak mempunyai rasa hormat
pada orangtuanya, sindir Nyonya Rayadi.
Setidaknya kami bukan pengecut, ledek Robert.
Pasangan Rayadi seketika berang mendengar ucapan
Robert. Untungnya Tuan Hendrawan bereaksi cepat untuk
meredakan emosi yang mulai meninggi.
Sudahlah. Untuk apa lagi kita bertengkar? Apa yang
kita alami hari ini sudah cukup berat. Terlepas dari apa yang
terjadi, kita telah menerima pelajaran berharga, kata Tuan
Hendrawan. Hendra, Robert, Papa mengerti maksud kalian,
ujarnya pelan.
Syukurlah kalau Papa mengerti. Rob, Hendra melirik
saudaranya. Aku mau cari udara segar. Masalah ini membuat
kepalaku pusing dan mau pecah. Apa kau mau ikut? tanya
Hendra.

21

Robert mengangguk tanpa suara. Dia menyusul Hendra


yang berjalan duluan. Sekarang yang tinggal hanya pasangan
Hendrawan dan Rayadi.
Apa kalian mengerti maksud dari Hendra dan Robert?
Tuan Hendrawan menoleh pada istrinya dan pasangan Rayadi.
Mereka bertiga serempak mengangguk lalu tertunduk.
Kita telah melakukan kesalahan dengan memaksa anak
kita terikat dalam perjodohan padahal mereka tidak saling
mencintai. Kita meyakinkan mereka bahwa cinta bisa tumbuh
di kemudian hari. Sekarang lihat apa yang terjadi. Anak anak
kita menjadi korban ego kita, orangtuanya, sesal Tuan
Hendrawan.
Jangan menyalahkan dirimu, Pa. Papa dengarkan tadi,
kalau Mia bilang dia sempat memiliki perasaan suka pada
Arman. Tetapi perasaan itu hilang karena Arman membatalkan
pernikahan secara sepihak dan tidak berani mengatakannya
secara langsung di depan tamu, sindir istrinya.
Pasangan Rayadi merasa tersinggung dengan ucapan
mantan calon besannya itu.
Apa kau sedang menyindir kami? tanya Nyonya
Rayadi.
Oh, rupanya kalian cepat tanggap juga yah, Nyonya
Hendrawan tertawa sinis. Aku akan mengatakan di depan
kalian saat ini juga. Aku sangat bersyukur putriku tidak jadi
menikah dengan putra kalian yang pengecut itu. Aku tidak bisa
membayangkan putriku akan menghabiskan seluruh sisa
hidupnya dengan Arman. Hidupnya pasti tidak akan
bahagia,lanjut Nyonya Hendrawan.
Apa sudah puas bicaranya? Dari tadi putraku terus
yang kalian salahkan, Tuan Rayadi membela diri.
Putraku bukan pengecut! Kami mengenalnya dengan
baik. Pasti ada alasan mengapa dia bertindak seperti itu.
Mungkin saja masalahnya tidak terletak pada putra kami
melainkan pada Mia! tegas Nyonya Rayadi. Dia paling tidak
suka ada yang menjelek jelekkan dan menghina putra
kebanggaannya itu.
Walhasil terjadi perdebatan antara dua pasang orangtua
di ruangan itu. Kedua pasangan yang tadinya akur dan
bersahabat sampai sampai menjodohkan anak mereka
bertengkar sengit bagaikan anjing dan kucing. Masing

22

masing tiidak mau mengalah dan sibuk membela anaknya


masing masing. Orang orang yang masih ada di gereja
tertarik melihat pertengkaran itu.
Jangan sembarangan menuduh putriku! Nyonya
Hendrawan setengah berteriak. Mia, anak yang baik. Dari
kecil dia tidak
pernah mengecewakan kami. Dia selalu
menuruti kami. Walaupun dia tidak mencintai anak kalian,
tetapi
dia
tetap
mau
menikah
dengannya
demi
membahagiakan kami, orangtuanya, Nyonya Hendrawan
mulai terisak.
Sudahlah. Jangan menangis Ma, hibur suaminya.
Tuan Hendrawan menoleh ke arah mantan calon
besannya yang diam membisu.
Sebaiknya kita berhenti saling menyalahkan. Kita
kembali saja ke rumah kita masing masing. Peristiwa hari ini
memberikan pelajaran berharga buat kita untuk tidak lagi
memaksakan kehendak pada anak anak kita, kata Tuan
Hendrawan.
Kau benar, sahut Tuan Rayadi. Hari ini kita benar
benar telah menerima pelajaran berharga. Dari lubuk hatiku
yang paling dalam, aku ingin menyatakan penyesalanku.
Percayalah, aku tidak pernah menginginkan ini terjadi. Aku
benar benar tidak tahu kalau Arman sudah memiliki kekasih.
Tentang hal ini akan kutanyakan langsung padanya dan
kuyakinkan pada kalian kalau aku akan memberinya
pelajaran, tegas Tuan Rayadi.
Papa! kata istrinya. Tuan Rayadi melirik tajam.
Istrinya pun tertunduk. Dia tahu makna dari lirikan suaminya.
Itu artinya suaminya tidak mau dibantah.
Mewakili Arman, aku ingin meminta maaf pada kalian.
Aku mendoakan agar Mia memperoleh kebahagiaan, ucap
Tuan Rayadi tulus.
Terima kasih, kata Tuan Hendrawan.
Setelah saling pamitan kedua pasangan suami istri itu
pun masuk ke dalam mobil yang membawa mereka
meninggalkan gereja dan kembali ke rumahnya masing
masing.

23

***
Hendra dan Robert sedang duduk berdua di restoran
Sunda yang terletak di lantai paling atas Medan Mall. Mereka
sedang menikmati es campur. Keduanya duduk saling
berhadapan dengan raut wajah yang berbeda. Wajah Robert
terlihat masih tegang dan penuh emosi. Sebaliknya, Hendra
duduk dengan wajah tanpa ekspresi.
Menyebalkan, celutuk Robert. Bisa bisanya kita
bersantai di sini setelah kejadian hari ini.
Hendra tidak menyahut. Mulutnya terkunci rapat.
Dasar
Arman
brengsek.
Berani
sekali
dia
memperlakukan adik kita seperti itu. Lihat saja kalau aku
ketemu dengannya. Akan kuhajar dia, tekad Robert.
Lagi lagi Hendra bersikap diam. Dia tidak menjawab.
Dia asyik mengaduk ngaduk mangkuk yang berisi es campur.
Robert sampai gemas melihatnya. Dia dengar nggak sih apa
yang baru kubilang? Dia menepuk dahi Hendra. Kau dengar
tidak sih apa yang kubilang barusan?
Hendra mengangkat wajahnya. Tangan kanannya
mengusap ngusap dahinya yang habis ditepuk Robert. Iya,
aku dengar. Lalu kau mau aku bilang apa? Arman pengecut,
brengsek, bajingan sampai seratus kali? akhirnya ia buka
suara.
Robert cemberut. Kau ini! Bisa bisanya bercanda
setelah apa yang terjadi. Apa kau sudah lupa kalau wanita
yang ditinggalkan Arman adalah adik kita?
Aku tidak lupa. Hanya saja aku malas menanggapinya
saat ini.
Apa yang akan kau lakukan kalau bertemu
dengannya?
Mungkin sama sepertimu. Memberinya pelajaran agar
lain kali dia tidak bersikap pengecut. Yah, mungkin
memukulnya atau memberinya tamparan yang sangat keras di
wajahnya. Saking kerasnya, sampai membekas dan baru hilang
beberapa hari kemudian.
Robert memandang saudaranya itu dengan tidak
berkedip. Itu saja? tanyanya dengan nada datar. Kau hanya
menamparnya?

24

Memangnya apa lagi? Aku kan tidak mungkin


membunuhnya. Aku tidak mau masuk penjara, gumam
Hendra.
Suasana berubah menjadi hening. Keduanya mengaduk
ngaduk isi mangkuk mereka. Sesekali mereka menarik napas
pelan.
Ah, kasihan sekali Mia. Masih muda tetapi sudah
mengalami hal seperti ini. Apa menurutmu dia bisa
menghadapi masalah ini? Robert melirik Hendra yang sedang
asyik dengan es campurnya.
Tentu saja. Mia itu gadis yang kuat. Kau lihat sendiri
kan apa yang dilakukannya tadi?
Robert manggut manggut. Yah, kau benar. Adik kita
itu sangat tegar. Kalau aku yang berada di posisinya, mungkin
aku akan langsung pergi dari kota ini dan tidak pernah
kembali.
Huh, Hendra mendengus dingin. Kalau aku berada di
posisi Mia, saat itu juga aku mencari Arman sampai ketemu
dan menghajarnya habis habisan terus menyeret dia ke
hadapan tamu tamu yang datang.
Mendadak Hendra seperti teringat sesuatu. Hei, tadi
Mia bilang Arman punya kekasih. Apa kau tahu siapa dia?
Robert mengangkat bahu. Mana aku tahu.
Hendra menyandarkan punggungnya pada kursi sambil
memandangi orang yang lalu lalang. Dia melipat tangannya.
Aku tidak peduli dengan siapa dia berhubungan. Sekarang
yang sedang kupikirkan, bagaimana kira kira perasaan Mama
dan Papa. Pernahkah Mama dan Papa membayangkan beban
yang dipikul Mia seumur hidupnya? Sudah dijodohkan,
ditinggalkan pula. Menurutmu apa mereka merasa bersalah
atas apa yang menimpa Mia?
Kurasa begitu, sahut Robert. Berdoa sajalah, supaya
kita bisa melalui ini semua, lanjutnya lagi.
Ngomong ngomong, sepertinya aku tidak melihat Eva
saat Mia membatalkan pernikahan, celutuk Hendra.
Masa sih? Setahuku dia datang. Terakhir kali, aku
melihatnya di ruang serbaguna bersama dengan Mia. Setelah
itu, aku sama sekali tidak tahu dia pergi ke mana.
Kenapa dia tidak mendampingi Mia pada saat kejadian
tadi? Dia itu kan sahabat Mia? Hendra terheran heran.

25

Kalau aku tahu, pasti kubilang. Masalahnya, aku sama


sekali tidak tahu apa apa. Mungkin saja, dia ada urusan yang
sangat penting. Atau.Robert terdiam sejenak, entahlah. Kau
tanyakan sajalah pada Mia,serunya.
Hendra termangu. Dia menopang kepalanya dengan
kedua tangannya. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang sama.
Kenapa adikku harus mengalami semua ini? Dia melirik Robert
yang duduk terpekur. Dia memandang ke langit langit
restoran itu. Semoga saja ada hikmah yang didapatkan Mia

dari peristiwa tadi. Aku juga berharap, suatu saat nanti dia
akan menemukan kebahagiaan yang bisa membuatnya
melupakan kejadian hari ini Mia, adikku sayang, semoga saja
apa yang kau alami hari ini, hanyalah suatu proses untuk
mendapatkan kebahagiaan sejati.

***
Taksi berwarna putih yang ditumpangi Mia berhenti
persis di depan rumahnya. Setelah membayar, dia langsung
berlari masuk ke dalam rumahnya.
Pembantunya yang
terbengong bengong melihat kedatangannya. Non,
bukankah Anda seharusnya menikah?
Pernikahannya batal. Kalau ada yang mencariku, bilang
saja sudah pergi, jawab Mia sekenanya.
Pergi ke mana, Non?
Bilang saja aku ke Hongkong, Afrika atau ke ujung
dunia. Terserah kau saja. Pokoknya aku tidak mau diganggu!
Mia masuk ke kamar. Dia mengunci pintu. Dia bersandar pada
pintu kamarnya. Di dalam kamarnya, Mia tidak kuasa menahan
tangis. Airmata yang ditahannya dari tadi akhirnya tumpah
bagaikan air terjun Niagara. Wajahnya jadi coreng moreng
karena airmatanya merusak riasannya. Namun, Mia tidak ambil
pusing dengan wajahnya sekarang. Tubuhnya merosot sampai
dia terduduk di lantai. Dia menangis sambil memeluk kedua
kakinya. Mia meratapi nasibnya. Dia terus menangis sampai
akhirnya ketiduran di lantai yang dingin karena kelelahan.
***
Mia terbangun tiba tiba. Kebayanya basah kuyup
karena keringat. Napasnya tersengal sengal. Dia menyeka
wajahnya dengan tangan kanannya. Dia baru saja mengalami
mimpi buruk. Di dalam mimpinya, seluruh tamu yang diundang
mentertawakan dia karena gagal menikah. Mia tertegun

26

sejenak. Setelah itu dengan susah payah dia bangkit berdiri


dari atas lantai. Dia berjalan sempoyongan menuju meja
riasnya. Mia duduk di depan meja riasnya. Di cermin, dia
melihat jelas matanya merah dan bengkak. Wajahnya yang
berantakan karena riasan yang luntur. Mia bangkit dari kursi
dan melangkah terhuyung huyung menuju kamar mandi. Dia
memutar keran dan mulai membasuh wajahnya dengan sabun.
Dia melepas segala hiasan yang ada di rambutnya. Dia juga
mengganti bajunya dengan kaos berwarna biru polos dan
celana pendek hitam yang panjangnya sampai lutut.
Setelah merapikan rambutnya dan melap wajahnya
dengan handuk, Mia duduk di atas tempat tidurnya yang
empuk sambil melipat kaki. Air matanya kembali menetes saat
mengingat kejadian yang menimpanya.
Aku tidak tahu

bagaimana pandangan orang terhadapku sekarang. Mereka


pasti mentertawakanku. Malang sekali nasibku. Sudah
dijodohkan ditinggalkan pula oleh calon suami. Dosa apa yang
telah kuperbuat sampai sampai aku harus mengalami ini, Mia

bertanya pada dirinya sendiri.


Dia melirik tasnya yang terletak di lantai. Dengan gaya
malas malasan, dia meraih tas itu. Mia membuka dan
mengambil ponselnya dari dalam tas yang dibawanya ke
gereja. Ponselnya itu dalam keadaan tidak aktif. Dia langsung
mematikan ponselnya begitu selesai berbicara dengan Arman,
sewaktu di gereja tadi. Dia memandangi ponsel Samsungnya
yang berwarna perak itu. Mia mengaktifkan ponselnya. Tidak
berapa lama terdengar suara yang menandakan pesan
diterima. Di layar ponselnya, tertera nama Helen. Dengan
wajah enggan, Mia membaca pesan dari Helen. Tidak berapa
lama, dia menghela napas. Di dalam pesannya, Helen
menanyakan upacara pernikahan Mia. Dia juga mengucapkan
selamat atas pernikahannya. Mia sama sekali tidak punya
minat untuk membalas pesan Helen. Dia menaruh ponselnya di
atas meja belajarnya dan kembali duduk terpekur di atas
tempat tidurnya.
Helen adalah teman yang dikenal Mia melalui internet
persisnya lewat situs Friendster. Dia lebih tua sepuluh tahun
dari Mia. Pertama tama mereka berkomunikasi via email dan
chatting. Itu berlangsung hampir dua tahun. Kemudian mereka
saling tukar nomor telepon dan ponsel. Bisa empat kali dalam

27

seminggu, Helen menghubunginya lewat telepon. Demikian


juga Mia. Kalau saling berkirim sms, mereka berdua
melakukannya hampir setiap saat.
Tanpa terasa sudah lima tahun lebih mereka
bersahabat. Selama itu, sudah empat kali Helen mengunjungi
Mia di Medan. Ketika bertemu untuk pertama kalinya, Mia bisa
melihat dengan jelas kalau wajah asli Helen lebih cantik
daripada fotonya. Helen adalah wanita yang sangat cantik dan
dewasa. Rambutnya hitam panjang dan wajahnya oval. Dia
mengenakan
kacamata
berbingkai
emas.
Wajahnya
menyiratkan kelembutan dan kebijaksanaan. Sempat terbersit
keinginan dalam diri Mia untuk menjodohkan Helen dengan
salah satu abangnya, namun usahanya gagal karena Helen dan
kedua abangnya memilih untuk bersahabat. Buat Mia, Helen
seperti kakak perempuan yang tidak pernah ia miliki.
Mia mengundang Helen untuk datang ke pernikahannya
dan Helen menyanggupi. Namun, beberapa hari menjelang
hari H, Helen membatalkan kedatangannya karena dia memiliki
urusan yang tidak bisa ditunda. Mia sempat kesal, tetapi, pada
saat ini dia mensyukuri ketidakhadiran Helen karena dengan
demikian dia tidak melihat bagaimana hari di mana Mia
seharusnya bahagia berubah menjadi saat saat paling
memalukan dalam hidupnya
Dia mulai berbaring dan melamun. Dering ponsel
mengagetkan Mia dari lamunannya. Mia sama sekali tidak
memiliki keinginan untuk mengangkat ponselnya. Dia tetap
berbaring di atas tempat tidur sampai ponselnya berhenti
berbunyi. Namun, tidak berapa lama, ponselnya kembali
berdering. Wajah Mia terlihat gusar. Dia menutup telinganya
dengan bantal, tetapi ponsel itu tetap berdering.
Mia bangkit dari ranjang dan mengambil ponselnya.
Ketika melihat layar, nama Helen tertera. Mia tidak
mengangkatnya. Dia membiarkan ponsel itu terus berbunyi
sampai berhenti. Tetapi si penelepon rupanya tidak kenal
menyerah. Ponsel Mia kembali berdering. Mia pun
memutuskan untuk menerimanya.
Halo?
Aduh, yang pengantin baru. Asyik sekali, sampai
sampai tidak mau menerima telepon, terdengar suara
menggoda.

28

Mia tersenyum kecut. Dia tidak bisa marah pada Helen


atas sikapnya itu. Maaf. Aku baru dari kamar mandi, Mia
berbohong.
Oh. Aku hanya ingin
tahu bagaimana acara
pernikahanmu? Semuanya berjalan dengan lancar kan?
Mia menarik napas. Tidak ada pernikahan, Helen.
Arman tidak datang, Mia berusaha mati matian menahan
tangis.
Di ujung sana, Helen terdiam. Dia benar benar
terkejut. Kau sedang tidak bercanda kan, Mi? dia bertanya
dengan agak takut takut.
Mia tertawa getir. Mana mungkin aku bercanda dengan
masalah seserius ini.
Helen terdiam. Mia mulai membayangkan bagaimana
reaksi Helen. Apakah reaksinya sama dengan orang orang di
gereja?
Aku turut prihatin Mia. Bagaimana keadaanmu?
Buruk sekali, Mia mulai terisak. Aku malu sekali, Len.
Helen benar benar prihatin mendengar kejadian yang
menimpa sahabatnya itu. Pasti perasaannya saat ini sangat
terluka. Benar benar keterlaluan pria yang bernama Arman
itu. Dengan
nada meyakinkan, Helen berkata, Jangan
menangis Mia. Arman tidak pantas mendapatkan air matamu.
Mia tidak menjawab. Dia masih saja sesenggukan.
Sudah jangan bersedih lagi. Dengarkan aku baik baik
Mia. Aku bukan orang yang pintar dalam menghibur orang,
tetapi aku bisa mengerti apa yang kau rasakan. Aku tidak mau
kau tenggelam kesedihan. Itu hanya akan semakin
menyiksamu.
Aku tahu.
Apa kau mau aku datang ke Medan? tanya Helen.
Tidak. Terima kasih. Aku masih bisa mengatasi
masalah ini, tolak Mia halus.
Di ujung sana, Helen tertegun. Walau Mia bersuara
setegar mungkin, Helen bisa merasakan betapa hancurnya hati
sahabatnya itu. Helen memutar otaknya untuk membantu
sahabatnya itu melupakan peristiwa menyakitkan yang baru di
alaminya.

29

Rasanya, yang paling kuinginkan saat ini, pergi


meninggalkan Medan. Aku mau memulai hidup baru dan
melupakan peristiwa tadi, cetus Mia lirih.
Secercah ide muncul di kepala Helen saat mendengar
keinginan Mia. Hmm, kenapa kau tidak datang saja ke
Jakarta? Kita bisa tinggal bersama. Rumah yang kutempati ini
terlalu besar untukku. Kau bisa bekerja di sini. Siapa tahu, kau
juga bisa menemukan jodohmu yang sesungguhnya di
Jakarta.
Semangat Mia yang tadinya lenyap, mencuat ke
permukaan. Benarkah? tanyanya tidak percaya.
Tentu saja, tegas Helen.
Terima
kasih
atas
tawarannya,
Len.
Akan
kupertimbangkan. Sekali lagi terima kasih atas dukunganmu.
Kau memang teman yang baik, kata Mia tulus.
Hei, itulah gunanya teman. Aku tunggu keputusanmu
yah. Jangan bersedih lagi. Aku ingin sekali ngobrol lebih
banyak denganmu tetapi kelihatannya kau masih sedih sekali.
Lagipula aku masih banyak pekerjaan. Aku akan
menghubungimu lagi secepatnya.
Iya. Sampai nanti. Bye.
Klik. Hubungan terputus. Mia kembali merebahkan
tubuhnya di atas ranjangnya dan kembali hanyut dalam
lamunan. Matanya menatap langit langit kamarnya yang
dicat biru muda dan dinding kamarnya yang dihiasi poster
Donald Bebek berukuran besar. Donald adalah tokoh kartun
kesayangannya. Hatinya agak terhibur setiap melihat tampang
lucu Donald.
Lamunannya terhenti ketika pintu kamarnya diketuk
pelan. Terdengar suara orangtuanya memanggil namanya.
Namun, Mia tidak menggubris panggilan itu. Dia menutup
telinga dengan kedua tangannya sampai suara ketukan itu
terhenti.
Mia berbaring di atas tempat tidurnya dengan posisi
telungkup. Tangannya memain mainkan renda sarung
bantalnya. Helen benar. Aku tidak boleh hanyut dalam

kesedihan ini. Aku harus bangkit dan menata hidupku. Jalan


hidupku masih panjang. Masih banyak yang ingin kuraih. Masa
hanya gara gara Arman, roda hidupku harus berhenti. Lihat
saja nanti, akan kutunjukkan padanya, kalau aku bisa
30

melupakan semua peristiwa buruk yang kualami barusan. Akan


kutunjukkan pada semua orang, kalau Miana Hendrawan
adalah gadis yang kuat.

Mia meraih remote radio tapenya yang terletak di meja


kecil yang berada di sisi kanan tempat tidurnya. Dia memasang
radio. Tangannya sibuk memencet tombol untuk mencari
stasiun radio yang memutar lagu yang disukainya. Tangannya
baru berhenti memencet, saat terdengar lagu Let Me Love You
yang dinyanyikan Mario di radio Kiss FM Medan.
Setelah itu, Mia kembali terhanyut dalam lamunannya.
Airmatanya kembali menetes. Ini terakhir kalinya aku

mengeluarkan airmata karena ulah si pengecut itu. Aku tidak


akan pernah membiarkannya membuatku menangis lagi. Dia
memejamkan matanya. Remote yang digenggamnya terlepas.
Sebelum lagu yang diputar di radio selesai, Mia sudah tertidur
dengan pulasnya.

31

BAB 2
Dua bulan berlalu sejak peristiwa yang meninggalkan
luka di hati Mia. Perlahan lahan dia mulai bisa
menyembuhkan rasa lukanya dan bersikap lebih tegar. Mia
seperti terlahir kembali. Dia mulai berani menentukan
keputusan sendiri tanpa campur tangan kedua orangtuanya.
Dia memutuskan untuk melanjutkan hidup dengan mulai
mencari pekerjaan yang sesuai dengan cita citanya yakni
menjadi seorang guru. Sebenarnya mamanya tidak setuju.
Tetapi belajar dari peristiwa yang telah terjadi, kedua
orangtuanya memberi kebebasan kepada Mia untuk melakukan
apapun yang dia inginkan.
Siang itu udara sangat panas. Karena belum mendapat
pekerjaan, Mia lebih senang berada di rumah. Pepatah yang
mengatakan, rumahku adalah istanaku benar benar dia
terapkan. Mia sedang malas malasan di atas tempat tidurnya
ketika ponselnya berdering. Dia tersentak kaget saat melihat
nama Arman tertera di layar ponselnya. Perasaan Mia, heran
bercampur kesal. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan.

Mau apa lagi dia? Apa belum cukup sudah meninggalkanku di


gereja sendirian? Mia membiarkan ponselnya terus berbunyi.

Ketika deringnya berhenti, cepat cepat Mia mematikan


ponselnya.
Ketika Mia menyalakan ponselnya, sederetan pesan dari
Arman muncul. Mia terheran heran melihatnya. Dia benar
benar tidak menyerah. Apa sih maunya manusia tanpa
perasaan itu? Mia langsung menghapus pesan dari Arman
tanpa membacanya. Namun, ketika hanya ada satu pesan
yang tersisa, rasa penasarannya memuncak.

Tidak ada salahnya kubaca. Mungkin isinya permintaan


maaf, pikir Mia menghibur diri. Namun betapa terkejutnya Mia
saat membaca pesan dari Arman. Si pengecut itu ingin
bertemu denganku, teriak Mia dalam hati. Mia hampir saja

terjatuh dari atas tempat tidurnya ketika tiba tiba teleponnya


berbunyi. Sialan, bikin kaget saja, pikirnya.
Mia tertegun saat melihat nama Arman tertera di layar
ponsel. Mia enggan menjawab tetapi rasa penasaran kembali
menggempurnya. Apa maunya si Arman ini? Jangan jangan

dia mau kembali lagi padaku, Mia mulai berpikir yang tidak
32

tidak. Mia ragu ragu antara menjawab telepon dari Arman


atau tidak. Setelah mempertimbangkan masak masak
akhirnya dia menjawabnya.
Halo?
Mia, kaukah itu? Ini aku Arman.
Mau apa kau? tanya Mia dengan galak.
Aku ingin bertemu denganmu. Aku mohon, Mia.
Mia melotot sampai bola matanya seolah olah mau
meloncat keluar. Apa? Kau mau bertemu denganku? Huh,
berani sekali kau mengajakku bertemu setelah apa yang kau
lakukan padaku. Apa kau sudah lupa kejadian yang
menimpaku?
Aku ingat Mia dan aku benar benar minta maaf.
Karena itu aku ingin bertemu denganmu secara langsung.
Kumohon Mia, suara Arman terdengar memelas.
Mia sempat berpikir lama sebelum akhirnya
memutuskan untuk memenuhi ajakan Arman. Tidak ada

salahnya kalau aku menemuinya. Daripada aku dihantui rasa


penasaran. Aku tidak mau dia berpikir aku takut bertemu
dengannya. Ini kesempatanku untuk menunjukkan kepadanya
kalau aku bisa bangkit dari keterpurukan karena ulahnya.
Baiklah. Aku bersedia menemui. Mia merasa heran pada
dirinya sendiri. Cepat sekali aku memutuskan untuk menerima
tawarannya. Makanya dia cepat cepat menambahkan dengan
suara tegas, Tetapi itu hanya supaya kau berhenti
menggangguku. Mengerti?
Iya, aku mengerti, sahut Arman. Suaranya tetap
terdengar sabar menghadapi gaya bicara Mia yang seenaknya.
Di mana kita ketemu?
Di Medan Mall saja. Persisnya di Dunkin Donuts jam 2
siang. Apa kau bisa?
Aku tidak tahu. Tunggu saja sampai aku datang, Mia
memutuskan pembicaraan. Berani sekali dia mengajakku

bertemu. Sudah begitu ngajak ketemunya di Dunkin Donuts


lagi. Masa aku dikasih donat? Mana sebanding donat dengan
sakit hatiku karenanya. Benar benar keterlaluan. Lihat saja
nanti, akan kubiarkan dia menunggu sampai bosan. Mia
tertawa kecil mengingat rencananya untuk mengerjai Arman.

Si pengecut itu akan merasakan betapa tidak enaknya


menunggu.
33

***
Mia sampai di Medan Mall jam 5 sore. Suasana mall sore
hari itu sangat ramai. Maklum hari Sabtu, waktu bagi sepasang
kekasih untuk menikmati hidup. Sesampainya di lobby dia
melongok ke dalam Dunkin Donuts. Matanya sibuk mencari
cari sosok Arman. Jangan jangan dia sudah pulang lagi

karena tidak tahan menunggu. Dasar tidak bisa dipercaya,


gerutu Mia dalam hati. Gerutuan Mia terhenti setelah dia

menemukan sosok Arman. Dia melihat Arman sedang duduk


sendirian sambil membaca. Sulit kupercaya! Ternyata dia
masih menungguku. Mia menggigit bibirnya. Apa yang

pertama kali kulakukan kalau bertemu dengannya? Menampar,


meninju, memaki, mencubit atau menyiramnya? Aku benar
benar bingung. Lebih baik, supaya aku puas, aku lakukan saja
semuanya. Tetapi, bagaimana tanggapan orang yang
melihatnya? Nanti mereka bilang aku ini cewek barbar lagi?
Ah, sudahlah. Aku tidak peduli apa kata orang.

Arman sedang mengaduk aduk kopinya ketika Mia


berdiri di hadapannya. Arman mengangkat wajahnya dan
tersenyum senang, Mia, kau sudah datang rupanya.
Mia memandang Arman dengan tatapan setajam pisau.
Tanpa banyak bicara, dia langsung menampar pipi Arman
dengan sangat keras. Saking kerasnya, orang orang di
sekitar mereka menoleh keheranan dan penuh rasa ingin tahu.
Namun, Mia tidak mau ambil pusing dengan perhatian orang
yang sedang tertuju ke arah dia dan Arman. Dengan gaya
yang tenang, seolah tidak terjadi apa apa, Mia duduk di
kursi.
Sementara itu, Arman masih berdiri sambil mengelus
pipinya yang memerah karena tamparan Mia. Rasanya perih
dan panas. Aku memang pantas menerimanya setelah apa
yang kuperbuat padanya. Dia melirik Mia yang hanya duduk
diam sambil melipat tangan dan terus menatap tajam dirinya.
Arman sampai jengah dibuatnya.
Berhentilah memandangku seperti itu Mia. Kau
membuatku takut. Aku sampai mengira kau akan menelanku
bulat bulat, cetus Arman terus terang.
Aku memang ingin memakanmu, kata Mia ketus.

34

Arman menggaruk garuk kepalanya. Rupanya dia

masih marah padaku makanya sikapnya kasar begini. Tetapi,


aku pantas menerimanya. Perbuatanku padanya, dua bulan
yang lalu benar benar keterlaluan. Aku tidak ingin

bertengkar denganmu. Kau mau makan apa Mia?


Mia menatapnya dengan pandangan menyipit. Kau
tidak bertanya kenapa aku datangnya terlambat?
Aku tidak ingin mengetahui kenapa kau datang
terlambat, kata Arman kalem.
Mia mencondongkan badannya. Tetapi aku ingin sekali
memberitahumu. Dia kembali bersandar. Aku datang
terlambat karena sengaja, kata Mia santai.
Arman tidak terkejut. Aku tahu. Karena itu aku tidak
bertanya.
Mia mengibaskan tangannya sambil berkata, Ah
sudahlah. Aku sudah di sini. Katakan apa yang ingin kau
katakan. Ngomong ngomong aku minum jus jeruk saja. Aku
sedang tidak nafsu makan saat ini apalagi setelah melihat
wajahmu. Bisa bisa aku muntah.
Arman tidak marah mendengar ucapan Mia. Akan
kupesankan.
Tidak berapa lama Arman datang. Dia meletakkan jus
jeruk ukuran besar di depan Mia.
Aku berubah pikiran. Sekarang aku ingin makan donat
rasa mocca dan yang ada coklat di dalamnya. Aku tidak tahu
namanya tetapi aku yakin kau tahu yang mana donatnya,
kata Mia enteng.
Lagi lagi Arman hanya tersenyum dan tidak
membantah perintah Mia. Tidak berapa lama dia datang
membawa pesanan Mia. Betapa terkejutnya Mia melihat apa
yang dibawa Arman. Ternyata Arman memesan donat dari
berbagai rasa. Mia sampai malu dibuatnya. Dia tidak henti
hentinya memaki dalam hati. Bagaimana tidak kesal, sekarang
mata orang orang yang ada di situ tertuju padanya. Makna
pandangan mereka semuanya sama, Mia dianggap rakus.
Mia berlagak tenang dan mulai menggigit donatnya.
Aku tidak punya banyak waktu. Langsung saja katakan apa
maumu.
Aku ingin meminta maaf atas semua kejadian yang
menimpamu.

35

Mia terbelalak. Kau memintaku datang hanya untuk


mengatakan itu! Kau membuang buang waktuku saja.
Bukannya kau sudah berkali kali mengatakannya? Aku saja
sampai bosan kau buat. Kalau cuma ini yang ingin kau bilang,
lebih baik aku pulang saja, Mia bangkit dari kursinya.
Dengan gerakan gesit, Arman menyambar tangan Mia
dan memegangnya dengan erat. Tapi itu belum cukup. Aku
ingin memberitahumu alasan sebenarnya kenapa aku tidak
bisa menikah denganmu. Jadi, kau jangan pergi dulu.
Refleks Mia menepis tangan Arman. Lepaskan
tanganmu! Jangan pernah menyentuhku lagi! tegas Mia. Dia
menatap Arman dengan penuh kebencian. Sedikit pun Mia
tidak memiliki keinginan untuk menyembunyikan perasaan
bencinya terhadap Arman.
Arman pun tahu diri melihat reaksi Mia. Maaf, katanya
singkat.
Mia menarik napas, Kau sudah mengatakan alasanmu
padaku, di hari di mana kita seharusnya menikah. Waktu itu,
kau bilang kau sudah punya kekasih. Jadi, itu sudah cukup
buatku.
Aku ingin memberitahumu siapa kekasihku, sahut
Arman mengejutkan.
Mia nyaris tersedak mendengarnya. Dia menatap Arman
tanpa berkedip. Dia mengamati Arman dari atas sampai
bawah. Dia ini, polos atau bego?Atau kedua duanya? Apa sih

maunya? Apa belum puas dia meninggalkanku di gereja?


Sekarang dia mau memberitahuku siapa kekasihnya. Kenapa
tidak
sekalian
saja
dia
mengambil
pistol
dan
menembakku?Demgan begitu aku tidak merasakan sakit hati
Mia berusaha mengendalikan perasaannya yang
lagi.

bergejolak. Mia mendelik sebal. Kau sudah gila yah? Untuk


apa aku tahu siapa kekasihmu? tanyanya dengan gaya acuh
tak acuh. Kau pacaran dengan artis Hollywood sekalipun, aku
tidak peduli, karena kita sudah tidak ada hubungan. Aku tidak
mau tahu siapa kekasihmu! tegas Mia.
Arman menggaruk garuk kepalanya. Dia benar
benar bingung bagaimana menjelaskan rahasia yang sudah
disimpannya selama ini kepada mantan calon istrinya itu.
Dengar yah, pertama tama, aku ini masih waras. Alasanku,
memberitahukan nama kekasihku, karena aku tidak ingin kau

36

mendengarnya dari
mulut orang lain. Aku ingin kau
mendengarnya dari mulutku sendiri. Selain itu, aku sudah
bersikap pengecut di hari di mana seharusnya kita menikah.
Aku juga sudah membohongimu. Karena itu, untuk
menebusnya, aku ingin bersikap jujur padamu. Aku tahu ini
mungkin menyakitkan, tetapi aku melakukannya supaya
semuanya jelas dan tidak ada lagi rahasia.
Mia tercenung. Sekarang laki laki brengsek ini malah

membuatku penasaran. Aku jadi ingin tahu siapa gadis yang


membuat Arman meninggalkanku demi dirinya. Mia sempat
berpikir sejenak. Apa untungnya kalau aku tahu siapa
kekasihnya. Memangnya itu bisa mengobati luka yang sudah
dibuatnya? Mia melirik Arman dan kata kata itu pun

meluncur tanpa berhasil ditahannya. Siapa namanya? tanya


Mia pendek. Dalam hati dia merasa malu melihat tingkahnya.
Untuk mengalihkan perhatian, dia menyeruput jus jeruknya.
Eva.
Mia nyaris tersedak jus jeruk mendengar ucapan Arman.
Raut wajahnya seketika menegang. Matanya melotot. Apa kau
bilang? tanya Mia setengah berbisik.
Eva adalah kekasihku, kata Arman lirih.
Mulut Mia terbuka lebar karena saking kagetnya. Dia
seperti kehilangan kesadaran untuk sesaat. Tidak! Itu tidak
mungkin, dia menggeleng - gelengkan kepalanya kuat kuat.
Tangannya mencengkram kuat pinggiran meja. Kau sengaja
bilang begitu karena ingin menyakitiku kan? Kau ingin merusak
persahabatan kami? tanya Mia. Nada bicaranya mulai ngawur.
Sudah kuduga reaksinya akan begini. Arman jadi
merasa tidak enak atas apa yang baru saja dilakukannya. Aku

pernah berjanji pada diriku sendiri, tidak akan menyakiti Mia


lagi. Sekarang, hanya dalam waktu dua bulan, aku sudah
melanggarnya. Tetapi, aku tidak punya pilihan. Aku harus
mengatakannya. Aku tidak bohong Mi. Aku berani bersumpah

kalau apa yang kubilang barusan itu, seratus persen benar,


Arman berusaha meyakinkannya. Lihat mataku baik baik.
Apa aku seperti orang yang sedang berbohong?
Mia menatap mata Arman tanpa berkedip. Dia sama
sekali tidak melihat ada kebohongan di sana. Tubuh Mia
mendadak lemas. Kalau memang benar, Eva adalah

37

kekasihmu, kenapa dia datang di hari di mana seharusnya kita


menikah?
Aku tidak tahu, Arman menggeleng.
Kau tidak tahu, katamu? sembur Mia penuh emosi.
Sumpah Mia, aku benar benar tidak tahu, Arman
membela diri.
Mia mengepalkan tangannya, lalu menggebrak meja.
Bunyinya sangat keras. Akibatnya, mereka berdua, sekarang
menjadi pusat perhatian orang orang yang ada di Dunkin
Donuts itu. Sulit kupercaya! Mia menggeleng gelengkan
kepalanya, lalu dia menatap Arman. Jadi kau pacaran dengan
sahabatku selama ini tanpa memberitahuku! Kalian
menyembunyikan rahasia ini dariku! teriaknya histeris. Mia
sudah mulai kehilangan kendali atas emosinya.
Arman terperangah dengan reaksi Mia. Selama
berhubungan dengannya, tidak pernah sekalipun Arman
melihat Mia kehilangan kendali. Tenang dong, Mi. Kita sudah
jadi pusat perhatian orang. Nanti mereka kira, aku
menyakitimu lagi. Duduklah. Kita bicarakan dengan tenang.
Kau memang sudah menyakitiku, desis Mia sambil
menepuk dadanya sendiri. Walaupun begitu, dia menuruti
perkataan Arman untuk tenang.
Aku ingin memberitahumu Mia tapi Eva melarangku.
Dia bilang tidak ingin persahabatannya denganmu rusak.
Mia membasahi tenggorokannya yang kering dengan air
jeruk yang dingin. Setelah minum, dia merasa lebih tenang.
Apa Eva tahu kalau kau akan meninggalkanku? tanya Mia
dengan nada tajam.
Dia tidak tahu tetapi aku rasa dia sudah
memperkirakannya. Karena jujur saja, aku sangat tergila gila
padanya dan sanggup melakukan apa saja untuknya.
Mia mendengus dingin mendengar pengakuan Arman.

Pantas saja dia meninggalkanku. Ternyata dia sudah dibutakan


cinta. Apa dia pernah mencegahmu meninggalkanku?

Arman menggeleng pelan. Tetapi dia tidak henti


hentinya menekanku agar tidak memberitahukan hubungan
kami padamu, Arman berusaha meyakinkan.
Apa dia tahu kalau kau menemuiku untuk memberitahu
tentang ini? tanya Mia dengan nada datar.
Tidak, jawab Arman singkat.

38

Kepala Mia mendadak pusing tujuh keliling. Sulit


baginya untuk menerima hal ini. Lengkap sudah
penderitaanku, batin Mia. Luka hatinya yang mulai sembuh
kembali menganga. Mia tidak habis pikir, mengapa Eva,
sahabat baiknya selama bertahun tahun, tega menyimpan
rahasia sepenting ini darinya. Dia bisa menebak kalau Arman

akan meninggalkanku demi dirinya tetapi dia tidak mengatakan


apa apa. Dia sengaja atau memang tidak memiliki
keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku harus
meminta penjelasan dari Eva secepatnya. Mia menghabiskan

air jeruknya dengan sekali tegukan. Lalu, dia menatap Arman


dengan pandangan menusuk.
Kalian benar benar tahu cara membuat orang lain
menderita! Kenapa kalian tidak bunuh aku sekalian supaya aku
tidak merasakan sakitnya dikhianati? kata Mia dengan suara
sedingin es.
Tidak Mia. Itu tidak benar. Sedikitpun kami tidak
berniat membuatmu menderita.
Oh ya? Apapun yang mau kaukatakan sekarang, aku
tidak mau dengar, karena bagiku, semua ucapanmu, terdengar
seperti omong kosong. Bodoh sekali aku bisa bisanya sempat
menyukaimu. Tapi bagaimanapun juga semua sudah terjadi
dan aku yang jadi korban. Kalian telah menenggelamkanku ke
dasar laut yang paling dalam. Kuucapkan selamat padamu
Arman. Pada Eva juga. Dia mengambil piring berisi donat dan
melemparkannya ke wajah Arman. Spontan Arman bangkit
dari kursinya karena terkejut. Kuharap kalian puas! Aku
pergi! tanpa berkata kata lagi Mia berlalu dari hadapan
Arman.
Dia menyetop taksi dan menyebutkan jalan Halat
sebagai tempat yang dituju. Selama dalam perjalanan Mia
tidak henti hentinya menggerutu dalam hati. Sekarang dia
tidak hanya kesal pada Arman tetapi juga pada sahabatnya
Eva. Masih segar dalam ingatannya, Eva memberi semangat
saat Mia baru saja menerima telepon dari Arman perihal
pembatalan pernikahannya. Bisa bisanya dia berbuat begitu,

padahal dia sudah tahu sebelumnya. Hari ini juga, aku harus
mendapatkan penjelasan dari mulut Eva.
***

39

Mia sekarang berada di depan pagar rumah Eva. Dia


memandangi rumah tingkat dua berwarna putih itu. Dia
memencet bel dengan ragu ragu. Sesosok gadis cantik
dengan rambut dikuncir kuda keluar dari dalam rumah.
Sejenak dia terpana saat melihat tamunya. Mia? Ini benar
benar kejutan, Eva berseru dengan nada suara seriang
mungkin. Dia membuka pintu gerbangnya dan menyambut
kedatangan sahabatnya itu.
Apa kau sudah baikan? tanya Eva dengan hati hati.
Mia menjawab dengan lugas, Aku tidak sakit.
Maksudku bukan itu. Apa kau sudah tidak sedih lagi?
Eva, sekian tahun kita bersahabat, ternyata kau belum
mengenal aku dengan baik. Kalau yang kau maksud rencana
pernikahanku yang gagal, tenang saja. Aku sudah
melupakannya. Aku tidak mencintai Arman. Jadi untuk apa aku
menangisinya? Buang buang waktu saja. Aku ini bukan
wanita lemah. Kau tahu itu kan? Karena itu aku akan terus
menjalani dan menikmati hidup ini. Suara Mia terdengar
mantap.
Eva tercengang mendengar penjelasan panjang Mia.
Eva jadi salah tingkah melihat tindak tanduk Mia.
Kau tidak mengajakku masuk, Eva?
Ah! Eh! Maaf. Hampir saja lupa, ayo masuk, dia
membuka pintu gerbangnya lebar lebar. Seperti biasa, kita
langsung ke kamarku saja. Eva berjalan di depan Mia dengan
perasaan tidak karu karuan. Dia mempersilakan Mia duduk.
Kau mau minum apa, Mia?
Mia tersenyum tipis. Seperti biasa. Masa kau sudah
lupa?
Tidak, Eva buru buru menjawab. Aku tidak lupa.
Kau paling suka minuman rasa jeruk. Tunggu yah, aku akan
membuatnya.
Mia duduk santai sambil menyilangkan kakinya di kamar
Eva. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar Eva.
Kamar itu dicat dengan warna kuning. Pernak pernik Hello
Kitty bertebaran di mana mana. Mata Mia tertumbuk pada
sosok boneka Hello Kitty berukuran kecil yang sedang
memakai jas hujan. Boneka itu adalah hadiah ulang tahun Mia
untuk Eva. Terlihat dengan jelas kalau boneka itu dirawat
dengan baik oleh pemiliknya.

40

Tidak berapa lama, Eva muncul sambil membawa


nampan berisikan minuman kesukaan Mia dan makanan kecil.
Jujur saja Mia, kedatanganmu ini mengejutkan aku.
Kenapa kau berkata seperti itu Eva? Bukankah aku
sudah sering datang ke sini.
Iya, aku tahu. Hanya sajabiasanya kau selalu
memberitahukan kedatanganmu.
Oh itu. Aku lupa, ujar Mia pendek.
Apakau ingin mengatakan sesuatu? tanya Eva hati
hati.
Mia termangu ragu. Tetapi, sejak dalam perjalanan
menuju kemari, dia sudah bertekad untuk meminta penjelasan
dari Eva. Aku sudah sampai di sini. Aku tidak boleh mundur.
Hampir saja lupa. Aku ke sini karena ada yang ingin
kutanyakan. Ke mana saja kau Eva di saat aku
membutuhkanmu? Kita terakhir kali bertemu di hari
pernikahanku. Sejak itu kau hilang bagaikan ditelan bumi. Dua
bulan lamanya kita tidak bertemu.
Mia, maafkan aku. Waktu itu aku sedang sibuk
sibuknya menyelesaikan skripsiku. Kau tahukan kalau dosen
pembimbingku terus terusan menekanku agar segera
menyelesaikan skripsiku. Sebenarnya aku ingin menemuimu.
Tetapi kupikir kau pasti sedih sekali dan sedang ingin sendiri.
Jadi aku memutuskan menunggu sampai kau merasa tenang.
Mia menatap tajam Eva. Sementara wajah Eva
menunduk dan meremas remas tangannya.
Pembohong! desis Mia.
Eva mengangkat wajahnya dan berbalik menatap Mia
dengan wajah pucat. Kau bicara apa Mia? tanya Eva dengan
nada cemas.
Mia berdiri menghadap Eva dan menunjuknya, Jangan
berpura pura Eva. Kau tahu persis apa yang kumaksud.
Jangan melihatku dengan pandangan seperti itu, Mia.
Wajah Eva terlihat memelas.
Sebenarnya Mia tidak tega. Bagaimanapun juga Eva
adalah teman baiknya. Tetapi dia menyesalkan ketidakjujuran
Eva. Mia berdiri dan berjalan menuju jendela.
Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau adalah
pacarnya Arman?

41

Eva hampir saja loncat dari atas tempat tidur karena


saking kagetnya. Mia, kau sedang bercanda yah? Eva
tertawa kecil.
Mia heran melihat reaksi Eva yang berlagak tidak tahu.
Kau tahu betul kalau aku sedang tidak bercanda. Kau juga
seharusnya tahu kalau aku tidak mungkin bercanda mengenai
hal sepenting ini.
Reaksi Eva tidak berubah. Dia tetap saja tertawa tawa
kecil.
Mia tambah heran melihatnya.
Arman sudah mengatakan tentang hubungan kalian
padaku, ujar Mia pendek.
Tawa di wajah Eva langsung lenyap. Mukanya memucat
seketika.
Mia tidak peduli dengan reaksi Eva. Dia terus saja
nyerocos mengeluarkan semua unek unek yang sudah
ditahannya dari tadi. Kau adalah sahabat baikku, Va. Kita
sudah bersahabat selama bertahun tahun. Kita selalu
bersama pada saat suka dan duka. Kita selalu bersikap jujur
satu sama lain. Tetapikenapa sekarang kau menodai
persahabatan kita? Kenapa kau tidak memberitahuku, kalau
kau ini pacarnya Arman? Kalau saja kau jujur dari awal, aku
akan menolak dijodohkan dengan Arman. Tetapi kenyataannya
kau terus merahasiakan hubunganmu dengan Arman. Kau
bahkan datang di hari pernikahanku. Kau melihat apa yang aku
alami tetapi kau diam saja. Sebenarnya kau anggap apa aku
ini? sembur Mia.
Eva bungkam.
Aku menunggu jawaban darimu, cetus Mia datar.
Mia, aku benar benar tidak tahu kalau Arman akan
membatalkan pernikahannya denganmu. Kalau aku tahu dia
berniat melakukan itu aku pasti berusaha mencegahnya. Aku
tidak bohong, Mia.
Aku tahu itu, Mia manggut manggut.
Arman bilang dia tidak pernah memberitahumu tentang
rencananya karena dia khawatir dengan reaksimu. Tapi dia
punya perkiraan kau bisa menebak rencananya karena kau
tahu betul Arman sangat tergila gila padamu dan sanggup
melakukan apa saja demi mempertahankanmu.

42

Air mata Eva mulai meleleh. Mau tidak mau Mia merasa
kasihan juga. Tetapi Mia tidak melakukan apa apa untuk
membuat perasaan temannya itu lebih baik karena dalam
perjalanan menuju rumah Eva, Mia sudah membulatkan tekad
untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka.
Mia menarik napas supaya dia merasa lebih rileks karena dia
mulai merasa lelah dengan pembicaraan yang panjang.
Yang membuatku tidak habis pikir adalah sikap
diammu Eva. Kau memberikanku semangat ketika aku
mengetahui Arman membatalkan pernikahan. Kau tahu kalau
penyebabnya adalah hubunganmu dengan Arman tetapi kau
diam seribu bahasa. Kenapa Eva? bisik Mia lirih.
Eva tidak tahan juga melihat kegundahan hati Mia.
Selain itu perasaan bersalah yang sudah menggunung terasa
membuat dadanya sesak. Dia duduk di tepi tempat tidur sambil
menatap lantai. Perlahan lahan sederet kalimat pengakuan
meluncur dari mulutnya.
Aku merahasiakan semua ini darimu karena aku tidak
mempunyai keberanian. Aku sama pengecutnya dengan
Arman. Aku ingin memberitahumu tetapi aku takut pada
reaksimu. Aku takut kau akan memutuskan persahabatan di
antara kita, apalagi aku bisa merasakan kalau kau mulai
menyukai Arman.
Selain itu aku juga takut kehilangan Arman karena aku
sangat mencintainya. Aku akui aku sangat egois karena tidak
memberitahumu yang sebenarnya. Itu karena aku tidak mau
kehilangan kalian berdua, lanjutnya lagi.
Itulah letak kesalahanmu. Seharusnya kau bilang
padaku. Kita pasti bisa menemukan solusinya.
Kalau aku mengatakan yang sebenarnya tentang
hubunganku dengan Arman, apa yang akan kau lakukan Mia?
Apa kau akan melepaskannya demi aku? tantang Eva.
Mia tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak siap
diserang dengan pertanyaan seperti ini. Dia berpikir keras
untuk menemukan jawaban yang tepat.
Mungkin aku akan melepaskannya, cetus Mia.
Reaksi Eva datar saja. Dia melipat kedua tangannya
sambil menggeleng gelengkan kepala. Menurutku kau tidak
akan melepaskannya. Kau menyukainya.

43

Aku tidak akan meralat ucapanmu. Karena memang


benar aku suka pada si pengecut itu tetapi kau lupa pada satu
hal. Cinta tidak bisa dipaksakan. Aku memang mencintainya,
tetapi, kalau dia tidak mencintaiku, aku bisa apa? Untuk apa
aku mempertahankan pria yang tidak mencintaiku?
Taruhlah
kau
bersedia
melepaskannya
tetapi
bagaimana dengan orangtua kalian berdua. Apa mereka akan
membiarkan kalian berpisah?
Mia mengerutkan keningnya. Pertanyaan yang rumit,
pikirnya. Jujur saja, aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Tetapi kita kan belum pernah mencobanya. Bagaimanapun
juga mereka tidak bisa memaksa kami untuk menikah kan?
Mia bertanya balik.
Eva tertawa sinis. Menurutmu begitu yah?
Mia sedikit terkejut melihat reaksi Eva yang sinis.
Namun, dia menyadari kalau reaksi Eva ada benarnya juga.
Jika mereka mengatakan yang sebenarnya, apa orangtuanya
akan diam saja?
Kau lupa satu hal, cetus Mia.
Apa itu?
Jawaban Mia sangat singkat. Pengorbanan.
Kau ingin aku berkorban untukmu?
Tentu saja tidak. Yang saling mencintai di sini kan kau
dengan Arman. Sedangkan aku? Aku adalah pihak yang
bertepuk sebelah tangan. Jadi, sudah sepantasnya, aku yang
berkorban.
Kau akan berkorban untukku? tanya Eva tidak
percaya.
Bukankah itu gunanya teman?
Aku tidak tahu harus bilang apa, sergah Eva.
Kau tidak perlu mengatakan apa apa karena
semuanya sudah terlambat.
Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.
Eva, kau telah membohongiku. Kau mengenal aku
dengan baik. Sekali dibohongi orang terdekatku maka aku
tidak akan pernah mempercayai orang itu untuk seterusnya.
Orang yang tidak kupercaya tidak pantas mendapat
pengorbananku, tegas Mia.
Wow, tunggu dulu. Menurutmu aku tidak pantas
mendapat pengorbanan karena kebohongan yang kulakukan.

44

Mia, aku melakukan itu untuk kebaikan. Coba kau berada di


posisiku. Apa yang kau lakukan?
Aku tidak akan menjawabnya karena aku tidak ada di
posisimu. Sudahlah, aku tidak mau memperpanjang masalah
ini lagi. Aku sudah lelah. Terlalu banyak yang kuketahui hari ini
dan itu membuatku pusing. Aku mau pulang, Mia beranjak
dari tempat duduknya.
Mia berjalan menuju pintu rumah sedangkan Eva
mengekor di belakangnya. Sebelum tangannya menyentuh
handel pintu, dia menoleh ke Eva. Mia sadar sepenuhnya apa
yang hendak dikatakannya akan sangat menyakitkan tetapi dia
sudah memutuskan.
Sahabat itu harus saling jujur, Eva. Kalau salah
seorang tidak jujur pada yang lain dan mengkhianatinya, tidak
ada gunanya lagi mempertahankan persahabatan.
Eva melongo. Mia! Apa kau marah padaku? Apa kau
ingin mengakhiri persahabatan kita? Kalau kau mau aku akan
memutuskan hubungan dengan Arman. Kita mulai dari awal
lagi. Tetapi kumohon Mia, jangan bersikap seperti ini padaku.
Kita sudah lama berteman. Eva terisak isak di bahu Mia.
Mia hanya berdiri kaku bagaikan patung. Aku tidak
marah padamu, Eva. Justru sebaliknya aku sudah
memaafkanmu. Hanya saja aku paling tidak bisa menerima
ketidakjujuran. Itu sudah jadi prinsip hidupku. Aku pernah
berjanji pada diriku, kalau aku tidak akan memaafkan orang
yang tidak jujur kepadaku. Tetapi untukmu pengecualian. Kau
adalah teman baikku. Aku ingin melihatmu bahagia dengan
pria yang kau sukai.
Mia memutar handel pintu. Aku pulang dulu, bisiknya
lirih. Jaga dirimu baik baik, Eva.
Mia apa mungkin kita bisa berteman lagi? rengek Eva.
Mia terdiam. Aku tidak tahu Eva. Aku benar benar
tidak tahu. Tetapi kita lihat saja nanti.
Dengan gontai Mia berjalan meninggalkan rumah Eva.
Sementara itu Eva hanya bisa memandangi punggung
temannya menjauh dengan air mata berlinang linang. Dunia
Eva serasa runtuh. Dia telah kehilangan sahabat terbaiknya
karena ketidakjujuran yang dilakukannya.
Eva menutup pintu dengan pelan. Dia memandang ke
sekeliling ruang tamu. Ingin rasanya dia menghancurkan

45

seluruh pajangan yang ada di situ tetapi dia tidak mempunyai


kekuatan. Tubuhnya terasa lemah sekali. Dia berjalan masuk
ke kamar lalu meringkuk di atas tempat tidur sambil memeluk
boneka pemberian Mia. Air matanya menetes deras
membasahi bantalnya. Maafkan aku Mia. Maafkan aku,

bisiknya pelan.

***
Mia kembali berada di dalam taksi untuk yang
kesekiankalinya dalam hari itu. Sejenak Mia bisa melupakan
masalah yang menghimpitnya saat melihat suasana jalan raya
kota Medan. Jalan raya di Medan setiap Sabtu malam selalu
padat karena banyak penduduk Medan yang keluar rumah
sekedar untuk mencari hiburan.
Taksi yang ditumpangi Mia sempat melintas daerah
Kesawan Square, salah satu tempat makan yang paling banyak
dikunjungi di Medan. Pada siang hari Kesawan Square tidak
lebih dari kawasan perkantoran biasa. Namun, pada malam
hari, jalan itu telah disulap menjadi tempat makan yang ramai.
Jalanan dipenuhi deretan kedai yang menawarkan berbagai
menu masakan. Untuk bisa makan di situ, pengunjung harus
membeli kupon terlebih dahulu. Kupon itu seperti voucher.
Pengunjung membayar makanan yang dipesan, dengan
voucher itu.
Mia sering ke sini bersama dengan teman temannya
tidak terkecuali Arman dan Eva. Sempat terbersit di benaknya
untuk mampir. Tetapi mengingat apa yang baru menimpanya
hari itu, dia membatalkannya. Dia sudah tidak sabar untuk
sampai di rumah.
Sesampainya di rumah, Mia melihat mamanya sudah
menunggu di teras. Mamanya kelihatan lega melihat
kedatangan Mia. Mia dari mana saja kau Nak? Kau membuat
Mama cemas.
Aku baru bertemu dengan Arman, jawab Mia pendek.
Nyonya Hendrawan terpana. Dia mengerutkan
keningnya. Matanya menyipit. Apa? Mau apa dia? tanyanya
dengan nada curiga.
Rahasia. Sudah yah, aku mau mandi terus tidur.
Malam, Mama kusayang.

46

Nyonya Hendrawan terheran heran melihat tingkah


Mia. Dia memutar badannya dan berjalan tergesa gesa ke
bagian samping rumah.
Papa, Nyonya Hendrawan masuk ke ruang kerja
suaminya tanpa mengetuk.
Tuan Hendrawan menjawab tanpa mengangkat
wajahnya dari koran Ada apa, Ma?
Mia bersikap aneh.
Terus kenapa? Bukannya dia memang selalu bersikap
aneh?
Papa! Jangan bercanda! Kelihatannya dia baru
mengalami kejadian yang tidak mengenakkan. Apa tahu kalau
dia baru menemui Arman?
Tuan
Hendrawan
menurunkan
korannya
dan
memandang istrinya. Kau bilang dia bertemu dengan Arman?
Iya, Pa. Mia sendiri yang bilang.
Untuk apa mereka bertemu?
Mana Mama tahu, Nyonya Hendrawan mengangkat
bahunya. Kita harus mencari tahu, Pa, usul istrinya.
Tuan Hendrawan kembali mengangkat korannya. Tidak
usah, Ma. Biarkan saja dia mengatasi sendiri masalahnya.
Lagipula, Papa yakin, dia tidak mau kita mencampuri
kehidupannya lagi. Mia sudah besar, Ma. Papa khawatir kalau
kita mencampuri kehidupannya lagi, dia justru semakin kacau.
Nyonya Hendrawan terdiam. Dia merenungkan setiap
ucapan yang keluar dari mulut suaminya. Benar juga. Kalau

kami terus mencampuri hidup Mia, bisa bisa dia semakin


menjauh dari kami.

Sementara itu, Mia di dalam kamarnya tidak melakukan


apa apa. Dia berbaring di atas tempat tidurnya dalam posisi
telentang. Tidak ada air mata. Wajahnya terlihat tenang.
Kejadian yang baru dialaminya memang sangat menyakitkan
tetapi dia tidak mau menangis gara gara itu. Untuk
melupakannya, Mia memasang walkman dan mendengarkan
lagu favoritnya. Tangannya memegang komik Donald Bebek.
Hanya itu yang bisa menghiburnya saat ini. Dia sering dibilang
kekanak kanakkan karena hobbynya itu tetapi dia tidak
peduli. Tingkah polah Donald yang selalu sial dan gampang
marah bisa membuatnya lupa akan masalahnya walau itu
hanya untuk sesaat.

47

BAB 3
Mia sedang menonton telenovela Rubi ketika mamanya
datang menghampiri. Mia sebenarnya tidak terlalu menyukai
telenovela karena inti ceritanya selalu sama. Tentang
percintaan gadis miskin dengan pria kaya. Namun, Rubi adalah
pengecualian. Ceritanya lain daripada yang lain. Mia tertarik
pada tokoh utamanya yang selalu dipenuhi ambisi, Rubi.

Mungkin ada pelajaran yang bisa kudapat dari sini. Bukan sifat
materialistisnya tetapi kecerdasannya dan ketegarannya.
Kau sedang nonton apa, Mia? Nyonya Hendrawan
duduk di sebelahnya.
Memangnya Mama tidak bisa lihat? Tidak perlu basa
basi deh. Katakan saja apa mau Mama.
Mamanya cemberut. Mia, jangan bersikap ketus begitu
dong pada Mama.
Mia menghela napas dan memandang mamanya. Maaf,
Ma. Sekarang Mama mau bicara apa?
Begini, apa kau ingat dengan keluarga Santoso. Teman
papamu di Jakarta?
Dia menggelengkan kepalanya.
Tidak. Aku tidak
ingat.
Masa kau tidak ingat? Kau kan sering bermain dengan
anaknya, Doni?
Di dalam kepala Mia seolah olah terdengar suara
alarm saat mendengar ucapan mamanya barusan. Dia
menatap mamanya dengan curiga. Mama, aku benar benar
tidak ingat.
Mia, dia pernah datang ke sini. Orangnya tampan,
putih, hidungnya mancung dan dia memakai kacamata. Kalau
tidak salah dia datang, pada saat ulangtahun Robert,
mamanya terus berusaha untuk mengingatkan Mia.
Ooooh, mulut Mia membentuk huruf O. Ternyata
Doni yang itu. Aku ingat sekarang. Ada apa dengannya? Apa
dia masuk dalam infotainment, acara kesukaan Mama? Mia
bicara asal asalan.
Mama baru tahu kalau dia masih single.
Mia keheranan. Apa hubungannya denganku kalau dia

masih single? Aku tidak peduli, sekalipun dia pria single paling
tampan di Indonesia. Aku saja sudah lupa padanya. Mia melirik
48

mamanya dengan pandangan penuh selidik. Sementara yang


dipandangi berlagak menikmati Rubi. Namun, Mia tidak tertipu
karena dia tahu betul acara kesukaan mamanya. Nyonya
Hendrawan adalah penikmat infotainment sejati. Jam enam
pagi sudah menyalakan televisi untuk menikmati acara yang
sudah seperti ritual baginya. Kadangkala Mia sampai kesal
melihatnya dan sering mengajukan protes. Tetapi mamanya
selalu bisa membela diri. Alasannya beragam. Mulai dari tidak
ada acara yang enak, aktor kesukaan sampai dengan topik
dalam arisan. Alasan terakhir membuat Mia tidak habis pikir.
Arisan macam apa yang membicarakan gosip artis?
Mia manggut manggut. Dia sudah kehilangan
konsentrasi menonton. Apa yang dikhawatirkannya dari tadi
akhirnya terjadi juga. Mama mau menjodohkan aku lagi,
yah? terka Mia.
Kau sudah bisa menebak maksud Mama rupanya,
Nyonya Hendrawan terkekeh.
Mia melotot. Bibirnya maju. Keningnya berkerut dan
tangannya dikepal. Mama ini apa apaan sih? Apa Mama
sudah lupa peristiwa yang menimpaku karena perjodohan yang
Mama dan Papa atur?
Tentu saja tidak. Karena itu Mama ingin kau
melupakannya dengan memulai hubungan yang baru lagi.
Bagaimana? Kau mau kan?
Tidak! sembur Mia. Mia berkacak pinggang dan
menatap tajam mamanya. Mama ini tidak mengerti
perasaanku yah? Apa peristiwa yang kualami belum cukup
menyadarkan Mama?
Mama bukannya tidak mengerti mengenai peristiwa
yang pernah kau alami. Tetapi tidak ada salahnya kan
mencoba lagi? Kali ini Mama yakin kalau anak teman papamu
itu tidak akan meninggalkanmu. Karena yang Mama tahu dia
menyukaimu sejak kau masih kecil.
Yang benar saja! Waktu itu kan aku masih sangat kecil.
Bagaimana mungkin dia sudah jatuh cinta pada balita, Ma?
Walaupun sejak kecil kek, remaja kek. Pokoknya aku tidak mau
dijodohkan dengannya.
Ayolah Mia. Sekali ini saja. Kau temui dulu dia, baru
memutuskan.

49

Mia mendengus. Dengan ketus ia menjawab, Aku tidak


mau dijodohkan lagi. Kalau mau, Mama saja yang menikah
dengannya!
Miana Hendrawan! Berani sekali kau berkata seperti itu
pada mamamu. Maksud Mama kan baik. Mama tidak ingin kau
jadi perawan tua. Perjodohan itu tidak jelek. Mama tidak akan
sembarangan mencarikan jodoh untuk putri kesayangan
Mama.
Mama, ini bukan jaman Siti Nurbaya lagi. Perjodohan
itu sudah kuno. Dulu aku memang mau dijodohkan, tetapi
sekarang tidak. Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang
sama lagi. Cukup sekali saja aku mengalami peristiwa
memalukan itu!
Mamanya menghela napas panjang. Mama ingin kau
mempertimbangkannya lagi. Calon pilihan Mama ini dokter
lulusan Universitas Indonesia loh. Dia memiliki kepribadian
yang baik. Bisa saja dia bekerja di Jakarta tetapi dia memilih
bekerja di Medan. Mama kira salah satu alasannya adalah
supaya dia bisa dekat denganmu.
Mia menatap Mamanya dengan sorot mata tegas. Aku
tidak peduli dia lulusan mana. Mau lulusan Harvard sekalipun,
pokoknya aku menolak dijodohkan! Mama tidak
bisa
memaksaku!
Kita lihat saja nanti, kata mamanya. Pertimbangkan
dulu. Mama yakin Doni bisa menjadi suami yang baik
untukmu.
Aku heran. Dari dulu selalu aku yang dipaksa menikah
duluan. Bagaimana dengan Bang Hendra dan Robert? Aku
tidak pernah melihat Mama sibuk mencarikan calon istri buat
mereka, protes Mia.
Untuk apa Mama mencarikan buat mereka? Mereka
kan laki laki. Jadi mereka bisa mencari sendiri gadis yang
tepat untuk dijadikan istri.
Oh begitu toh. Aku dicarikan jodoh karena aku seorang
perempuan. Itu adalah pendapat paling aneh yang pernah
kudengar. Dari mana Mama mendapatkan pandangan seperti
itu? Memangnya hanya pria saja yang bisa cari calon istri. Aku
dan banyak perempuan di luar sana juga bisa, Mama! tegas
Mia.

50

Mamanya tidak menanggapi protes Mia. Dia asyik


membolak balik majalah.
Mia sewot ucapannya dianggap angin lalu. Aku mau ke
kamar! katanya tiba tiba.
Sebelum masuk ke kamarnya, Mia menoleh, Ngomong
ngomong Mama, bukan hanya aku yang bisa jadi perawan
tua. Anak laki laki Mama juga bisa jadi perjaka tua.
Mamanya tercengang mendengar ucapan Mia. Dia mau
menegur putrinya itu, tetapi Mia sudah menghilang di balik
pintu kamarnya. Nyonya Hendrawan hanya bisa geleng
geleng kepala melihat tingkah putri semata wayangnya itu. Mia
memiliki kebiasaan langsung masuk kamar jika sedang kesal.
Pembicaraan dengan mamanya mengenai Doni rupanya
membuat Mia sangat kesal. Makanya dia main masuk saja ke
kamarnya dan meninggalkan mamanya sendirian di ruang
menonton.
***
Malam harinya, Mia mondar mandir di dalam
kamarnya. Aku harus melakukan sesuatu, pikirnya. Aku tidak

mau dijodohkan lagi. Apa jaminannya kalau aku tidak akan


ditinggalkan lagi? Mia berpikir keras untuk menemukan solusi.
Aha, aku tahu. Satu satunya cara untuk menghindar adalah
pergi dari rumah ini. Aku harus pindah. Tetapi ke mana?
Pikiran Mia mumet. Tiba tiba dia teringat pada ucapan Helen.
Temannya itu pernah mengajukan tawaran untuk datang ke
Jakarta. Mia, kau benar benar beruntung. Mia tersenyum
senyum sendiri di depan kaca.
Saat semua anggota keluarganya tengah dibuai mimpi,
Mia mengendap endap menuju ruang kerja papanya. Dia
sempat melihat ke jam berbentuk rumah yang tergantung di
dinding. Sudah jam sebelas malam. Mia agak ngeri setiap
melihat angka sebelas. Itu adalah angka di mana dia
seharusnya melangsungkan pernikahan.
Dia menyalakan komputer lalu
memasang kabel
telepon di belakang cpu - nya. Dia memasang sambungan
internet. Dia masuk ke situs yahoo dan mulai mengetik alamat
emailnya beserta kata kuncinya. Mudah mudahan tidak ada
telepon yang masuk, harap Mia. Biasanya kalau ada telepon
yang masuk, sambungan internet otomatis terputus.

51

Jam sebelas begini yang sering menelepon adalah


teman teman abangnya. Mia sudah hapal betul kebiasaan
teman teman Hendra dan Robert yang gemar menelepon
larut malam. Mia sempat bertanya - tanya, apa pekerjaan
teman teman abangnya itu penjaga malam atau bukan.
Sampai sampai Mia menjuluki mereka manusia kalong. Dia
mulai mengetik pesan yang akan dikirim ke Helen. Jari jari
Mia bergerak lincah di atas keyboard komputer.

Helen aku baru saja mengalami peristiwa berat. Hari


Sabtu kemarin Arman mengajakku bertemu. Dia ingin
memberitahukan alasan selengkapnya kenapa dia tidak bisa
menikahiku. Tadinya aku tidak mau menemui dia, tetapi
rupanya si brengsek itu tidak menyerah. Dia terus mengirimiku
pesan ingin bertemu.
Akhirnya aku putuskan untuk menemui dia. Dia
memberitahuku semua alasannya kenapa dia tidak bisa
menikahiku. Dia juga memberitahuku siapa kekasihnya. Kau
tidak
bisa
membayangkan
perasaanku
ketika
dia
memberitahuku siapa kekasihnya. Ternyata pacar Arman itu
adalah teman baikku, Eva! Aku benar benar kecewa. Karena
itu aku memutuskan persahabatanku dengannya.
Tetapi itu belum semuanya. Mamaku ingin
menjodohkanku lagi. Kali ini dengan seorang pria yang sudah
mengenalku sejak umur tiga tahun. Aku benar benar kesal
sekarang. Aku sudah menolak tetapi mamaku terus memaksa.
Aku ingin tahu apa tawaranmu masih berlaku. Balasnya yang
cepat yah.
Mia mengetik alamat email Helen dan langsung
mengklik tanda send. Dia tersenyum puas saat tanda pesannya
sudah sampai, terpampang di layar komputer.
***
Sepanjang pagi Mia tidak bisa tenang. Hatinya berdebar
debar menunggu jawaban dari Helen. Ingin rasanya dia
langsung memasang internet tetapi itu tidak mungkin karena
masih pagi. Bisa bisa papa dan mamanya bernyanyi tentang
betapa mahalnya biaya telepon saat ini.
Mia hanya duduk sendirian di teras sambil memandangi
kendaraan yang lalu lalang di depan rumahnya. Pagi itu
rumahnya sudah terlihat sepi. Papa dan kedua abangnya,

52

sudah berangkat kerja dari tadi. Yang ada di rumah tinggal


Mia, mamanya dan para pembantu.
Mia merasa bosan. Sebenarnya banyak bekas teman
kuliahnya yang mengajak jalan jalan tetapi dia menolak
dengan alasan tidak punya uang. Namanya juga
pengangguran, selalu begitu dalih Mia. Padahal yang membuat
Mia malas adalah udara yang sangat panas. Saat ini Medan
memang sedang dilanda musim kemarau.
Namun pagi itu udara lumayan sejuk. Mia sampai
terkantuk kantuk dibuatnya. Coba kalau musim kemarau,
udara di Medan sejuk begini, kan asyik, pikir Mia. Kepalanya
tertunduk dan matanya terpejam. Dia mulai tertidur dan tidak
mendengar suara klakson.
Mia, tegur mamanya mengejutkan.
Mia tersentak dari tidur ayamnya. Dia menoleh. Tampak
di hadapan Mia, mamanya sudah tampil rapi. Nyonya
Hendrawan memang sangat aktif dalam kegiatan yang
diadakan gereja, lingkungan tempat mereka tinggal ataupun
yayasan di mana dia menjadi anggota. Hampir setiap hari
Mamanya keluar. Mia sering meledek mamanya lebih sibuk dari
istri presiden.
Mama mau pergi. Ada acara bakti sosial. Kau seharian
di rumah kan?
Mia mengangguk.
Mama pergi dulu.
Dari teras rumah Mia mengawasi mamanya masuk ke
dalam mobil yang dikemudikan temannya. Setelah mobil
Toyota Avanza menghilang dari pandangannya, Mia langsung
berlari ke dalam rumah. Dia memasuki ruang kerja papanya.
Cepat cepat dia menyalakan komputer dan memasang
kabel telepon. Dia langsung memasang internet dan masuk ke
situs yahoo. Mia mengetik alamat emailnya. Betapa senangnya
dia melihat sudah ada jawaban dari Helen. Mia tersenyum
cerah saat mulai membaca pesan dari Helen.

Mia, aku turut prihatin atas masalah yang menimpamu.


Tetapi aku percaya kau pasti bisa mengatasinya. Aku tahu
kalau kau adalah gadis yang kuat. Lupakan masalah Arman
dan Eva. Masih banyak pria yang bisa kau jadikan pasangan
hidup. Suatu saat kau akan bertemu dengan pria yang

53

mencintaimu apa adanya. Oh ya, masih banyak juga loh


wanita yang bisa kau jadikan sahabat.
Tentang tawaranku, tentu saja masih berlaku. Kau bisa
datang kapan saja. Yang perlu kau lakukan hanya
meneleponku saja, maka aku akan datang menjemputmu.
Tentang tempat tinggal kau tidak perlu khawatir. Kau bisa
tinggal bersama denganku. Kabari aku terus yah. Byebye
Mia memekik kegirangan. Terima kasih Tuhan. Jakarta
tunggu aku, teriak Mia. Mia menari nari mengelilingi meja.
Mendadak senyum Mia hilang. Dia berhenti. Dia teringat
pada keluarganya. Sekarang dia kebingungan sendiri
bagaimana cara menyampaikan kepada keluarganya. Papa dan
abangnya mungkin tidak ada masalah tetapi mamanya. Mia
yakin mamanya tidak akan mengijinkan.
Seharian Mia berpikir bagaimana cara terbaik untuk
meminta persetujuan keluarganya. Dia gelisah memikirkan
reaksi keluarganya. Mia tidak tidur siang. Dia sibuk mereka
reka rencananya di atas tempat tidur. Dia terus begitu sampai
matahari pulang ke peraduannya di ufuk barat. Tekadnya
sudah bulat. Bagaimana pun juga ia harus berangkat ke
Jakarta.
***
Malam pun tiba. Satu per satu anggota keluarga
Hendrawan mulai menampakkan diri. Yang pertama kali
menginjakkan kaki di rumah adalah kedua orangtuanya.
Ternyata mamanya menyusul papanya ke kantor. Setelah itu
datang Hendra. Dia bekerja sebagai senior accountant di salah
satu cabang perusahaan terkemuka di negeri ini.
Hai, sapa Mia. Bagaimana harimu?
Hendra menoleh. Oh hai, kau rupanya, Hendra
tersenyum. Tidak baik karena hari ini aku tidak bertemu
dengan gadis cantik.
Mia mendelik ke arah Hendra. Dia paling tidak senang
melihat sifat abangnya yang satu ini. Hendra paling gampang
tergoda wanita cantik. Kalau ada gadis berparas lumayan lewat
di
depannya
maka
mata
Hendra
tidak
berhenti
mempelototinya. Karena kebiasaan buruknya inilah, Hendra
mendapat julukan mata keranjang dari adiknya.
Tetapi, Mia tidak pernah bisa marah setiap kebiasaan
buruk Hendra kambuh, karena abangnya itu sangat

54

menyayangi dan melindungi dia. Paling yang bisa dia lakukan


untuk membela kaumnya adalah dengan tidak henti hentinya
menasihati abangnya itu untuk menghormati wanita. Mia juga
sering mengkampanyekan emansipasi wanita di depan
abangnya itu.
Sementara sifat Robert berbanding terbalik dengan
Hendra. Bisa dibilang Robert agak dingin pada perempuan. Dia
sering terlihat kaku apabila berada di dekat perempuan. Mia
sering menebak nebak kelakuan abangnya itu disebabkan
pekerjaannya yang kelewat serius. Robert sendiri bekerja
sebagai Manajer Keuangan di perusahaan yang sama dengan
Hendra.
Tidak heran, sementara Hendra sudah gonta ganti pacar
berapa kali sementara Robert masih saja sendirian.
Anehnya, walaupun memiliki sifat yang berbeda, Hendra
dan Robert sangat kompak dalam segala hal terutama yang
menyangkut adik perempuan mereka satu satunya. Mereka
bertekad untuk selalu melindungi Mia.
Mereka bertiga sering menghabiskan waktu bersama.
Mulai dari jalan ke mall, nonton ke bioskop dan berlibur
bersama.
Mia baru sadar dia tidak melihat sosok Robert. Karena
bekerja di tempat yang sama, biasanya kedua abangnya itu
selalu pulang bersama.
Aku tidak melihat Bang Robert. Kalian tidak pulang
bersama?
Tidak, sahut Hendra pendek.
Ke mana dia?
Hendra menggeleng, Tidak tahu. Hendra duduk
dengan santai di sofa di depan televisi. Dia asyik membaca
koran Kompas.
Kalau sudah begitu, Mia malas menanyakan lebih lanjut
karena abangnya itu pasti menjawab dengan asal asalan.
Hati Mia sempat tergelitik untuk meminta pendapat
abangnya tentang rencana kepergiannya ke Jakarta tetapi
suara nyaring dari teras membuat Mia mengurungkan niatnya.
Halo semuanya, aku pulang, Robert tersenyum cerah.
Kenapa kau pulang belakangan? Mia menginterogasi
abangnya itu.

55

Karena aku tadi beli ini dulu, Robert mengangkat


tangan kanannya yang memegang kotak bertuliskan Pizza Hut.
Hendra dan Mia melongo. Kalau cuma satu kotak yang
ditenteng Robert mungkin reaksi mereka tidak akan seperti itu.
Masalahnya Robert menenteng tiga kotak pizza berukuran
supreme.
Banyak sekali, celutuk Mia.
Ini memang kusengaja. Dari minggu kemarin rasanya
aku ingin makan pizza tetapi tidak punya waktu luang untuk
membelinya, Robert berkilah.
Hendra dan Mia tertawa geli. Kau lagi ngidam yah?
Seperti wanita hamil saja, gumam Mia.
Robert cemberut.
Ah, kalian sedang berkumpul rupanya, orangtua
mereka memasuki ruang nonton.
Nyonya Hendrawan melirik ke jam dinding. Sudah
waktunya makan malam. Ayo, kita ke ruang makan, ajaknya.
Dia tidak menyuruh Hendra dan Robert mandi terlebih dahulu
sebelum makan. Dia pernah mencobanya, namun kedua
anaknya itu tidak pernah menurutinya. Pernah sekali waktu
mereka menuruti, namun, begitu selesai mandi, mereka
langsung tertidur pulas. Belajar dari situ, Nyonya Hendrawan
tidak pernah lagi menyuruh mereka mandi dulu baru makan
malam.
Aku tidak makan Ma,celutuk Robert. Aku makan pizza
saja.
Nyonya Hendrawan menatap anaknya dengan raut
wajah tidak senang. Tidak boleh, tegasnya.
Memangnya kenapa?
Masa kau makan pizza saja, bukannya nasi. Itu tidak
baik untuk kesehatan. Setidaknya isi dulu perutmu dengan nasi
baru makan pizza.
Kalau caranya begitu, mana sanggup aku Ma. Bisa
bisa perutku meledak karena kekenyangan, protes Robert.
Percuma saja Robert mengajukan keberatan karena
mamanya sama sekali tidak menggubris ucapannya. Robert
kau sudah dewasa. Masa masalah ini saja, Mama harus
memaksamu. Lagipula ngapain kau beli pizza sebanyak itu?
Buang buang uang saja.
Aku sudah lama ingin makan pizza, Ma.

56

Suasana di meja makan mulai ribut. Robert sibuk


membujuk mamanya agar diijinkan makan pizza, Hendra dan
Tuan Hendrawan sibuk melerai mereka sementara Mia hanya
bisa memandangi mereka. Dia ragu ragu untuk bicara.
Namun, tekadnya sudah bulat. Dia harus meminta persetujuan
keluarganya.
Mama, Papa, ada yang ingin kusampaikan, kata Mia
hati - hati. Namun, suaranya terlalu pelan untuk bisa menarik
perhatian.
Aku mau ke Jakarta, Mia mengeraskan suaranya.
Suasana di meja makan mendadak sunyi. Tidak
terdengar lagi suara berdebat. Semua mata terarah pada Mia.
Seluruh anggota keluarganya terperangah mendengar
ucapannya.
Apa kau bilang barusan? tanya Hendra.
Aku bilang, aku mau ke Jakarta, Mia mengulang
perkataannya.
Papanya terdiam sedangkan mamanya terlihat sangat
syok.
Tuan Hendrawan mengamati wajah putri satu satunya
itu. Dia bisa melihat wajah Mia terlihat sangat serius saat
mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke Jakarta. Tidak
terlihat sedikitpun keraguan di wajah Mia. Tuan Hendrawan
ingin menanyakan sesuatu pada putrinya tetapi entah kenapa
dia merasa hal itu percuma saja karena dia sudah mengetahui
jawabannya.
Tuan Hendrawan menatap putrinya dengan penuh
perasaan sayang. Jadi, kau mau ke Jakarta?
Iya, Papa.
Istrinya terperangah. Tidak! Tidak boleh, seru Nyonya
Hendrawan. Kau tidak boleh pergi ke Jakarta. Pokoknya kau
tidak boleh ke mana mana! tegasnya.
Di luar dugaan, Tuan Hendrawan tidak memperdulikan
protes istrinya. Kalau kau ke Jakarta, kau mau tinggal dengan
siapa?
Mendadak Nyonya Hendrawan bangkit dari kursinya
setelah mendengar pertanyaan suaminya. Dia menatap
suaminya dengan penuh kemarahan. Sementara itu, Hendra
dan Robert hanya duduk manis sambil memperhatikan adegan
di depan mereka.

57

Mia menoleh ke arah mamanya yang kelihatan gusar


sekali, kemudian menjawab dengan suara pelan, Di rumah
Helen.
Tuan Hendrawan mengerutkan keningnya. Helen yang
pernah datang dan menginap di sini?
Mia mengangguk
Tidak bisa, seru Nyonya Hendrawan. Pa, Mia tidak
boleh ke Jakarta apapun alasannya. Mama tidak bisa
membayangkan kau pergi ke kota sebesar Jakarta sendirian.
Biarpun kau tinggal di rumah Helen. Bagaimana kalau terjadi
sesuatu. Misalnya, ternyata Helen terlibat masalah dengan
hukum.
Mia mendelik sebal. Mama ini paranoid sekali! Mama
sudah empat kali bertemu dengannya. Mama pernah bilang
padaku kalau dia gadis yang baik. Sekarang Mama bilang dia
terlibat masalah dengan hukum. Jangan bicara sembarangan
dong Ma, sahut Mia.
Mama tahu. Tetapi selama ini yang datang kan dia.
Sementara kau tidak pernah ke rumahnya. Siapa yang tahu
bagaimana kehidupan dia yang sebenarnya di Jakarta sana,
kata Nyonya Hendrawan ngotot. Papa, lakukan sesuatu dong.
Kita tidak boleh membiarkan putri kita satu satunya pergi.
Tuan Hendrawan manggut manggut mendengar
ocehan istrinya. Kita kan sudah bertemu dengannya beberapa
kali dan dari yang Papa lihat, sepertinya dia gadis yang baik.
Kalau begitu, Papa tidak bisa melarangmu. Kau boleh pergi,
Nak.
Papa! Mamanya menjerit. Lengkingannya sangat keras
dan tidak enak didengar di telinga. Dia kesal sekali melihat
betapa cepat suaminya membuat keputusan. Bagaimana
kalau sesampainya di sana dia melakukan sesuatu yang buruk
pada putri kita? Misalnya menjual Mia? nyonya Hendrawan
sempat mengernyitkan keningnya saat mendengarkan
ucapannya sendiri tetapi apa boleh buat, itu yang pertama kali
terlintas dalam pikirannya.
Mia mendelik. Jangan bicara sembarangan tentang
Helen dong, Ma. Dia itu gadis baik baik. Bagaimana mungkin
dia melakukan hal yang jahat pada temannya sendiri?
Yah, mana tahu saja. Selama ini dia terus yang
mengunjungimu sedangkan kau tidak pernah datang ke

58

Jakarta. Siapa yang tahu bagaimana kehidupan Helen yang


sebenarnya,
Nyonya
Hendrawan
bersikeras
dengan
pendapatnya.
Tuan Hendrawan menarik napas. Dia menggeleng
gelengkan kepalanya melihat istrinya bersikap keras kepala.
Jangan berpikir yang tidak tidak, Ma. Miana pasti bisa jaga
diri. Dia itu kan bisa karate dan taek wondo. Dia pasti bisa
melawan orang yang ingin berbuat macam macam padanya,
Tuan Hendrawan berusaha menenangkan istrinya.
Aku tidak percaya ini, desis Robert yang dari tadi
diam. Pa, aku biasanya tidak setuju dengan aturan yang
diterapkan Mama kepada Mia tetapi untuk masalah yang satu
ini, Mama ada benarnya juga.
Kau lihat kan? Putramu saja bisa menyadari. Kenapa
kau yang jadi papanya malah jadi ngaco seperti ini?
Papa bukannya ngaco. Papa pikir Mia mungkin bisa
memulai hidupnya yang baru di Jakarta. Dia juga bisa mencari
kerja di sana.
Apa Papa tidak tahu kalau lulusan daerah sangat sulit
cari kerja di Jakarta?
Itu tergantung pada Mia, apakah dia bisa menunjukkan
kemampuannya atau tidak. Tetapi Papa yakin, pasti Mia bisa
mengatasinya, pria tua itu tersenyum bijaksana.
Sementara anggota keluarganya yang lain sedang
berdebat, Hendra malah asyik menyantap makanan yang ada
di meja. Dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi
disekitarnya. Hendra memang tipe orang yang paling malas
berdebat. Dia juga paling enggan ikut campur dalam masalah
apapun.
Bagaimana pendapatmu, Dra? Robert menepuk bahu
saudara laki lakinya itu.
Sendok yang dipegang Hendra hampir saja terjatuh dari
tangannya, karena kaget. Apa? Eh..oh Hendra
salah
tingkah. Kau tanya apa?
Robert geleng geleng kepala melihat tingkah
saudaranya itu. Aku tanya bagaimana pendapatmu tentang
keinginan Mia pergi ke Jakarta?
Hendra tersenyum malu. Apapun yang ingin dia
lakukan, aku tidak akan mencegahnya. Aku akan mendukung
keputusannya, sahut Hendra santai.

59

Mia tersenyum lega mendengar ucapan Hendra. Dia


melemparkan senyuman terima kasih.
Oh, Nyonya Hendrawan menepuk kepalanya. Aku
tidak bisa menerima ini, keluhnya.
Tuan Hendrawan menggenggam tangannya. Mama,
sudahlah. Sekali ini saja, kita biarkan Mia melakukan apapun
yang dia inginkan. Kita tidak perlu lagi campur tangan atas
keputusannya. Lagipula siapa tahu setelah ke Jakarta dia akan
menemukan jodohnya. Bukankah itu yang selalu kau
inginkan?
Nyonya Hendrawan tidak menyahut. Dia sadar
sepenuhnya tidak akan menang melawan suami dan anak
anaknya. Terlebih lagi, Hendra yang mendukung keinginan
Mia. Kalau sudah begitu, Robert pasti mengikutinya. Dengan
lemah dia mulai menyendok nasi ke piring piring kosong
yang terletak di meja makan. Kita makan saja, cetusnya lirih.
Dia melirik Hendra yang sudah makan duluan. Putra sulungnya
itu hanya tersenyum simpul dengan mulut yang masih penuh
dengan makanan. Habis dari tadi kalian bicara terus sih,
padahal aku lapar banget. Jadi aku makan duluan deh,
cetusnya membela diri.
Robert yang tadinya ngotot ingin makan pizza pun jadi
ikut makan malam. Namun, terlihat jelas kalau wajahnya tidak
rela meninggalkan pizza yang dibelinya. Tenang saja, aku pasti
akan memakan kalian. Jadi tunggu yah, dia melirik kotak pizza
yang terletak di kursi.
Mia merasa tidak enak telah menimbulkan pertengkaran
di antara Mama dan Papanya. Dia merasa menyesal tetapi dia
tidak bisa berbuat apa apa. Tanpa bicara sepatah katapun
dia duduk di kursi dan mulai menyuapi mulutnya dengan nasi.
Itu adalah makan malam yang paling tidak menyenangkan
buat Mia.

60

BAB 4
Walaupun belum memastikan kapan berangkat ke
Jakarta, Mia mulai memasukkan sebagian baju bajunya ke
dalam koper sambil bersenandung ceria. Tekadnya sudah bulat
untuk meninggalkan Medan menuju Jakarta. Tidak ada yang
bisa menghalanginya.
Sepanjang Sabtu, Mia menghabiskan waktu mencatat
barang apa saja yang akan dibawanya ke Jakarta.
Mia memandangi koleksi bacaannya yang tersusun rapi
di rak. Bagaimana ini? Aku tidak bisa meninggalkan bukuku di

sini. Nanti aku baca apa? Tetapi aku juga tidak mungkin
membawa semuanya karena berat barang bawaan di pesawat
dibatasi. Kalau lebih aku jadi dikenai biaya tambahan, pikir
Mia. Ah, sudahlah. Aku bisa meminta Bang Hendra untuk
mengirimkannya sedikit demi sedikit.
Mia mengalihkan perhatian pada baju yang tersusun
rapi di dalam lemarinya. Dia mulai mengeluarkan satu persatu
dan memasukkannya ke dalam koper. Saat sedang asyik
menyusun baju, terdengar suara mamanya yang memanggil
namanya. Mia menghentikan kegiatannya dan berjalan keluar
kamar.
Mama memanggilku?
Iya. Waktunya makan malam.
Mia menuruti mamanya tanpa banyak bicara.
Makan malam hari Sabtu itu terasa membosankan buat
Mia karena Hendra dan Robert sedang tidak ada di rumah.
Mereka berdua lebih memilih menghabiskan malam Minggu
bersama dengan teman teman mereka.
Mia jadi merasa tidak nyaman, makan malam bertiga
saja bersama dengan orangtuanya. Papanya sih bukan
masalah tetapi mamanya. Sesekali Mia mencuri pandang ke
mamanya. Dia bisa melihat dengan jelas ekspresi mamanya
sangat sedih.
Selesai makan malam mereka berada di ruang keluarga
dan menonton televisi. Mia sayang. Apa kau tidak bisa
merubah keputusanmu? mamanya bertanya dengan hati
hati. Mama berjanji tidak akan memaksamu untuk
berhubungan dengan pria yang tidak kau inginkan asal kau

61

membatalkan kepergianmu. Mama mohon Mia, turuti perintah


Mama. Sekali ini saja.
Untuk sesaat Mia sempat bimbang mendengar
permintaan mamanya. Namun, tekadnya untuk berangkat ke
Jakarta sudah bulat. Mama, bertahun tahun aku selalu
menuruti perintahmu. Terakhir kali aku memenuhi permintaan
Mama, aku ditinggalkan di gereja sendirian tepat dihari
pernikahanku. Jadi cukup sudah! Mama, untuk sekali saja,
biarkan aku melakukan apapun yang kuinginkan, tegas Mia.
Aku akan tetap pergi ke Jakarta apapun yang terjadi. Aku
akan memulai hidup baru.
Mia, mengapa kau lakukan ini pada kami, Nak? Kami
sangat menyesal atas apa yang terjadi. Tetapi kita kan bisa
memulai dari awal. Kami tidak akan memaksamu melakukan
apa yang tidak kau inginkan lagi. Kami akan membiarkanmu
melakukan apa pun yang kau inginkan, asal kau jangan
meninggalkan kami.
Tuan Hendrawan menatap istrinya lalu menarik napas.
Tidak usah melarangnya, Ma. Kita biarkan saja Mia melakukan
apa yang dia inginkan. Papa yakin dia pasti bisa mengatasi
semua masalahnya. Putri kita selalu mengatakan kalau dia
bukan wanita lemah. Dan dia sudah membuktikannya. Jadi kita
tidak usah mencampuri keputusannya lagi.
Tuan Hendrawan berhenti sejenak kemudian dia
menambahkan, Selama ini dia selalu menuruti kemauan kita.
Kita telah membayar mahal karena terus terusan
memaksanya menuruti kemauan kita. Dia ditinggalkan di hari
pernikahannya karena menuruti kemauan kita. Kita biarkan
saja dia pergi. Siapa tahu dia bisa memulai hidup yang baru.

Bagaimana ini? Di keluarga ini hanya aku yang


menentang keputusan Mia. Apa aku menyerah saja dan
membiarkannya pergi? Nyonya Hendrawan menatap wajah

putrinya. Peristiwa yang menimpa Mia muncul lagi dalam


ingatannya. Apakah dia belum bisa melupakan peristiwa itu?
Itukah sebabnya dia ingin pergi ke Jakarta?
Nyonya
Hendrawan menarik napas dalam dalam, lalu berkata, Kalau
memang begitu jadinya, aku tidak akan mencegahnya. Mia,
Mama mengijinkanmu pergi, kata mamanya dengan suara
pelan.

62

Mia tersenyum cerah. Dia benar benar merasa senang


sekarang. Demikian pula Tuan Hendrawan. Dia lega akhirnya
istrinya merestui kepergian putri mereka ke Jakarta.
Tuan Hendrawan menoleh kepada putrinya, Apa yang
akan kau lakukan begitu sampai di Jakarta, Nak?
Aku akan mencari pekerjaan.
Pekerjaan seperti apa yang kau inginkan? Kalau kau
mau, Papa akan menelepon teman teman Papa di sana, dan
meminta mereka supaya memberikanmu pekerjaan.
Mia tersenyum, Tidak perlu, Pa. Aku akan cari sendiri.
Aku sudah memutuskan, akan jadi guru bahasa Inggris.
Apa? mamanya terkejut. Kau ini kan lulusan fakultas
ekonomi kenapa jadi guru?
Aku masuk fakultas ekonomi karena keinginan Papa
dan Mama. Aku sudah jadi sarjana ekonomi seperti yang kalian
inginkan. Sekarang biarkan aku mewujudkan cita citaku
sejak kecil, menjadi seorang guru.
Tetapi Nak, gaji guru kan kecil? protes Mamanya.
Mama, aku tidak pernah melihat segala sesuatu dari
jumlah tetapi dari kepuasan batin yang kudapatkan.
Papanya tersenyum lembut. Papa mendukungmu, Nak.
Papa membebaskanmu melakukan apapun yang kau inginkan,
selama itu tidak bersifat negatif.
Terima kasih atas pengertian Papa. Mia melirik
Mamanya yang kelihatan gusar. Bagaimana, Ma? Apa mama
setuju aku jadi guru?
Mamanya memandang suami dan putrinya dengan raut
wajah sebal. Terserah kau saja. Mulai sekarang kau bebas
melakukan apa saja yang kau inginkan. Resikonya tanggung
sendiri, sahut mamanya ketus.
Mia dan Papanya hanya tertawa geli melihat reaksi
Nyonya Hendrawan.
Oh ya, kapan kau berangkat? Papa akan memesankan
tiket untukmu.
Bagaimana kalau hari Sabtu depan?
Nyonya bagaikan tersengat lebah mendengar ucapan
Mia. Apa? Sabtu depan? Apa itu tidak terlalu cepat?
Tidak, Ma. Lebih cepat lebih baik.
Papanya manggut manggut. Baiklah. Papa akan
memesankan tiket untukmu. Kau mau naik pesawat apa?

63

Mandala saja.
Kenapa Mandala? tanya papanya heran.
Nggak kenapa kenapa. Yang penting bisa sampai di
Jakarta dengan selamat.
Nyonya Hendrawan tidak tertarik lagi terlibat
percakapan dengan suami dan putrinya itu. Dia enggan
berdebat karena tahu tidak akan ada gunanya. Sejak
ditinggalkan Arman di gereja, Mia berubah total. Tidak ada
yang bisa merubah pendiriannya. Mia yang sekarang adalah
Mia yang sangat keras kepala. Diam diam, dia pergi dari
tempat itu dan meninggalkan suaminya berdua saja dengan
putrinya.
***
Senin pagi, setelah suami dan putranya berangkat ke
kantor masing masing, Nyonya Hendrawan menyendiri di
dalam kamarnya. Dia sedang duduk di atas tempat tidur dan
menangis ketika Mia memasuki kamarnya.
Mia keheranan melihatnya dan memutuskan untuk
mencari tahu penyebabnya. Mama, kenapa kau menangis?
tanyanya penuh selidik.
Nyonya Hendrawan menyeka airmatanya dengan
saputangan yang dipegangnya dari tadi. Mia, apa kau
bersikeras pergi ke Jakarta karena membenci Mama? Karena
itu kau menghindari Mama?
Mia terdiam. Dia duduk di samping mamanya. Jangan
bicara begitu dong, Ma. Sudah, jangan menangis lagi, kata
Mia dengan lembut. Dia mengusap pipi mamanya dengan
penuh kasih sayang. Lalu Mia berlutut dan menggenggam
tangan mamanya.
Mama, aku tidak pernah membencimu atas apa yang
menimpaku. Aku sangat menyayangimu. Aku selalu
menganggap apa yang kau lakukan adalah demi kebaikanku.
Aku sangat berterima kasih untuk itu. Tetapi Mama tidak bisa
terus terusan mengatur kehidupanku. Aku sudah dewasa,
Ma. Sudah waktunya aku menentukan sendiri langkah yang
akan kuambil dalam kehidupan ini.
Mamanya menatap Mia dengan mata berkaca kaca.
Dia mengusap kepala Mia dengan sikap keibuan. Mama juga
sangat menyayangimu, Nak. Mama hanya tidak bisa

64

membayangkan kalau kau berada sendirian di Jakarta tanpa


kami di sisimu. Mama takut sesuatu yang buruk menimpamu.
Aku tahu itu, Ma. Mama, tenang saja. Tidak akan
terjadi apa apa. Aku bisa menjaga diri. Mia menghela
napas. Begini saja, kalau terjadi sesuatu, aku akan kembali ke
sini.
Benarkah itu?
Iya, Ma. Tetapi Mama jangan mendoakan aku
mengalami sesuatu yah hanya supaya aku pulang ke Medan.
Mamanya melotot. Jangan bicara sembarangan, Mia.
Mama mungkin ingin kau pulang secepatnya tetapi tidak
mungkin Mama melakukan tindakan semacam itu!
Maaf, Ma. Aku hanya bercanda, Mia tertawa geli.
Mia menatap mamanya dan tersenyum. Aku sayang
padamu, Ma, Mia memeluk mamanya.
Aku juga sayang padamu, Nak. Mamanya membalas
dengan memeluk erat putri satu satunya itu.
Segala beban yang menghimpit hati ibu dan anak itu
selama beberapa hari, hilang disapu oleh pelukan penuh kasih.
***
Malam harinya saat makan malam, untuk pertama
kalinya Mia bisa menyantap makanannya dengan nikmat.
Selama ini dia selalu dibebani masalah mulai dari persiapan
pernikahannya yang ternyata batal, masalah Arman dan Eva,
keinginan mamanya untuk menjodohkannya lagi dan rencana
kepergiannya ke Jakarta.
Sekarang dia benar benar lega. Tidak ada lagi yang
bisa menghalangi kepergiannya ke Jakarta. Jantung Mia selalu
berdebar debar setiap memikirkan apa yang akan dia hadapi
di Jakarta nanti. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan,
apakah dia bisa mendapatkan pekerjaan? Apakah dia bisa
hidup mandiri tanpa orangtua dan saudaranya di sisinya?
Kadang Mia merasa takut tetapi adakalanya juga dia sangat
bersemangat.
Papa sudah mendapatkan tiket
untukmu, cetus
papanya mengejutkan. Kau akan berangkat hari Sabtu depan,
jam setengah satu siang.
Hendra dan Robert berhenti menyuap makanan. Mereka
melongo. Namun Hendra yang pertama kali bersuara, Papa
bilang barusan, Mia akan berangkat Sabtu depan?

65

Iya. Dia sendiri yang meminta dibelikan tiket untuk


Sabtu.
Hendra dan Robert berbarengan menoleh ke arah Mia.
Kenapa Mia? tanya Robert.
Bukankah lebih cepat lebih baik? sahut Mia santai. Dia
sama sekali tidak menyembunyikan perasaan senangnya
karena papanya sudah mendapatkan tiket.
Hendra dan Robert gusar mendengarkan jawaban dari
Mia yang terkesan enteng. Apa kau sudah tidak tahan lagi
berada di antara keluargamu, Mia? tanya Hendra dengan
nada tajam.
Mia terperangah. Dia bisa menangkap nada tidak suka
dalam suara abangnya. Tidak. Bukan begitu maksudku. Aku
hanya sudah merencanakan ini dari jauh jauh hari, bantah
Mia. Aku tidak mengerti darimana kau mendapat pikiran
seperti itu.
Kau kan sudah tidak kuliah lagi. Kau tinggal cari kerja
saja, jadi tidak ada yang kau kejar. Untuk apa cepat cepat
pergi? ujar Robert kalem.
Mia ingin membantah tetapi mulutnya terasa terkunci.
Dia ingin berangkat cepat cepat bukan karena tidak tahan
lagi berada di antara keluarganya. Hanya saja dia tidak tahu
bagaimana mengutarakan alasannya. Dia diam saja.
Di luar dugaan Mia, mamanya membelanya. Sudahlah.
Kalau memang Mia ingin berangkat cepat, kan tidak apa apa.
Lebih cepat lebih baik karena mencari pekerjaan di Jakarta
tidak mudah. Kalian ini bagaimana sih katanya sebagai Abang
akan mendukung apapun keputusan Mia, tetapi nyatanya?
Kalian malah memprotes keputusan Mia untuk berangkat
cepat, tuntut Nyonya Hendrawan.
Robert menunduk sementara Hendra membuang muka
ke arah lain. Dia tidak mau memandang wajah orangtua dan
adik perempuannya.
Karena kalian diam, Papa anggap itu sebagai
persetujuan.
Hendra dan Robert menanggapi ucapan Papa mereka
dengan wajah tanpa ekspresi. Mia jadi merasa tidak enak
melihatnya. Bagaimanapun dia sangat menyayangi kedua
abangnya itu. Karena itu dia selalu berusaha menghindari
pertengkaran dengan mereka atau menyakiti hati mereka.

66

Selesai makan malam dia pergi ke halaman belakang


rumah mereka di mana Hendra dan Robert sering duduk
berdua sambil merokok. Larangan merokok di rumah yang
diterapkan mamanya membuat tidak ada pilihan lain bagi
mereka selain melakukannya di halaman belakang.
Apa aku boleh bergabung? tanya Mia hati hati.
Kedua abangnya yang sedang duduk di kursi plastik
berbarengan menoleh.
Hendra menunjukkan kursi kosong di sampingnya
dengan kepalanya. Tanpa banyak bicara, Mia duduk di sana.
Ada apa? suara Robert terdengar berat tanda dia
masih kesal dengan kejadian di ruang makan tadi.
Bukannya kalian sudah tahu? Mia malah balik
bertanya.
Hendra tersenyum kecut mendengar ucapan adiknya
itu. Dia membuang rokoknya ke tanah dan menginjak dengan
kakinya. Kemudian, matanya asyik memandangi deretan bunga
suplir milik mamanya yang berderet rapi.
Lalu apa yang kau harapkan dari kami? Kau ingin kami
merestui kepergianmu? cetus Hendra dengan gaya malas malasan.
Iya, angguk Mia.
Wow, terus terang sekali, ujar Robert santai.
Hendra hanya mendengus dingin mendengar ucapan
Mia yang jujur. Dia memasang wajah acuh tak acuh.
Habis sudah kesabaran melihat
tingkah kedua
abangnya itu. Keterlaluan sekali mereka ini. Giliran baik, baik

banget. Giliran jahat, menyebalkan banget, pikir Mia sengit.

Mia bangkit berdiri dan mempelototi kedua abangnya.


Tetapi gelapnya malam membuat abangnya tidak bisa melihat
ekspresi marah Mia.
Kalian benar benar keterlaluan. Mama saja yang
tadinya tidak mengijinkan malah mendukungku tetapi kalian?
Dulu mendukungku tetapi sekarang malah memprotes
keberangkatanku! suara Mia bergetar karena menahan tangis.
Gantian jadi Hendra dan Robert yang merasa tidak
enak. Mia, bukan itu maksud kami, kata Robert sambil garuk
garuk kepala.
Hendra berusaha bersikap tidak peduli namun hatinya
gelisah bukan main melihat wajah Mia yang seperti orang mau

67

menangis. Dia paling takut kalau Mia menangis. Kalau


orangtuanya sampai tahu, bisa bisa mereka disemprot habis
habisan. Lagipula, hati Hendra cepat sekali luluh kalau
melihat adiknya menangis. Demikian pula Robert.
Tetapi terlambat sudah. Airmata Mia mulai menetes di
pipinya. Aku akan tetap berangkat apapun anggapan kalian,
tegasnya dingin. Dia masuk ke dalam rumah meninggalkan
Hendra dan Robert yang duduk termangu dalam kegelapan
malam.
Robert melirik Hendra. Bagaimana ini? Kita sudah
membuatnya marah dan menangis.
Hendra mengangkat bahu. Biarkan saja.
Membiarkannya? Dra, kau tahu kan apa akibatnya buat
kita kalau Papa dan Mama tahu? Satu minggu saja tidak cukup
buat mereka untuk memarahi kita!
Lalu kau mau apa? Aku juga sama bingungnya
denganmu. Kau tenang saja. Mia bukan tipe anak pengadu.
Dra, kita minta maaf saja yuk? ajak Robert.
Apa? Hendra terbelalak. Minta maaf katamu? Enak
saja. Dia saja tidak minta maaf karena berangkat ke Jakarta
secepat ini?
Robert mendengus. Aku tahu itu. Tetapi alangkah
baiknya kalau kita tidak bertengkar seperti ini. Aku tidak suka,
Dra.
Kalau kau mau, kau saja yang minta maaf, kata
Hendra kalem.
Tangan Robert bergerak ingin menjitak kepala Hendra
tetapi terlambat karena si pemilik sudah keburu menghindar.
Kau ini! Dra, dia itu adik kita. Apa pantas,kita sebagai abang
membuat adik menangis?
Hendra tidak menjawab. Tangannya sibuk mencabuti
rumput.
Jangan kau rusaki rumput itu, tegur Robert.
Hendra menatapnya dengan sebal tanpa mengatakan
apa apa. Dia melemparkan rumput yang dicabutnya ke atas
tanah. Dalam kegelapan, dia tersenyum masam.
Hari hari berikutnya dilalui Mia tanpa bertegur sapa
dengan kedua abangnya. Walaupun demikian baik Mia ataupun
Hendra dan Robert berusaha agar orangtua mereka tidak
mengetahui perang dingin yang terjadi.

68

***
Akhirnya tibalah hari keberangkatan Mia. Seluruh
barang barang yang hendak dibawanya sudah siap semua.
Taksi yang akan membawanya ke bandara sudah menanti di
depan teras rumah. Dari jauh jauh hari Mia memang sudah
meminta untuk tidak diantar. Untungnya kali ini orangtuanya
tidak memprotes keinginannya.
Sekarang tiba saatnya buat Mia untuk mengucapkan
salam perpisahan dengan keluarganya. Mia memeluk papanya
dengan erat.
Apa kau yakin, kami tidak perlu mengantarmu ke
bandara?
Tidak perlu, Pa. Aku bisa sendiri kok, jawab Mia
dengan suara mantap.
Sementara itu mamanya mulai terisak. Ja..ga
dirimu baik baik, Nak, kata mamanya terbata bata.
Pasti, Ma, kata Mia dengan lembut. Dia memeluk
mamanya lebih erat. Doakan aku ya, Ma, agar segala
sesuatunya berjalan lancar, pinta Mia.
Tentu saja, Nak. Kami akan selalu mendoakanmu.
Sekarang Mia menoleh ke arah Hendra dan Robert yang
berdiri di samping papanya.
Aku pergi dulu, Mia mengulurkan tangannya kepada
Hendra. Di luar dugaan Mia, Hendra memeluknya dengan erat
sampai sampai ia sulit bernapas.
Jaga dirimu baik baik, Mia. Maafkan kami karena
telah bersikap jahat padamu. Jujur saja, kami bersikap begitu
karena tidak bisa membayangkan kau akan pergi secepat itu
dari sisi kami.
Setelah Hendra giliran Robert yang memeluknya.
Adikku sayang,adikku manis, bisiknya lembut. Mia sampai
mau menangis mendengarnya tetapi dia menahan mati
matian agar airmatanya tidak menetes.
Aku akan merindukanmu. Kau harus bahagia di sana,
kata Robert. Dia melepaskan pelukannya.
Biarkan aku memandangimu sampai puas karena kita
akan berpisah untuk waktu yang lama.
Mia tersenyum kecil. Kalian kan bisa mengunjungiku.

69

Oh, itu pasti, angguk Hendra serius.


Aku akan menunggu kalian.
Suara klakson taksi mengejutkan mereka.
Sebaiknya aku berangkat, Mia mengingatkan.
Seluruh anggota keluarga Hendrawan terlihat merasa
berat melepas kepergian Mia. Sebelum masuk ke dalam taksi,
Mia melemparkan senyum kepada keluarganya. Dari dalam
taksi dia melambaikan tangan. Demikian pula orangtuanya
beserta Hendra dan Robert. Airmata Mia baru tumpah saat dia
dalam perjalanan menuju bandara. Dia sadar akan sangat
merindukan keluarganya.
Sebelum sampai di bandara, Mia memandangi jalan
jalan yang dilintasinya. Aku lahir dan besar di kota ini. Aku

tidak hanya merindukan keluargaku tetapi juga kota ini. Aku


cinta kota Medan, bisiknya.

***
Sesampainya di terminal keberangkatan bandara
Polonia, Mia langsung check in. Setelah itu ia membayar
airport tax. Dia baru mau berjalan menuju ruang tunggu ketika
terdengar suara memanggilnya. Dia menoleh dan melihat Eva
berlari lari kecil ke arahnya.
Eva, kenapa kau datang kemari? Siapa yang
memberitahumu?
Mamamu. Aku menelepon ke rumahmu untuk
menanyakan keadaanmu. Aku benar benar khawatir padamu
setelah pembicaraan kita yang terakhir. Mamamu bilang hari
ini kau berangkat ke Jakarta. Mia, katakan padaku yang
sejujurnya. Apa kau pergi karena aku dan Arman?
Tidak. Aku pergi karena aku ingin mencari suasana
baru, jawab Mia.
Dia meremas tangan Mia dan mulai sesenggukan.
Awalnya suara tangis Eva pelan namun lama kelamaan
tangisannya bertambah keras dan menarik perhatian orang
yang lalu lalang.
Mia merasa tidak enak karena orang mulai
memandanginya dengan tatapan aneh. Dia melihat sekitarnya
dengan perasaan cemas. Jangan menangis Eva. Orang lain
akan berpikir aku menyakitimu.
Kau memang menyakitiku, teriak Eva tiba tiba.

70

Mia melongo. Tidak salah nih? Bukannya dia yang


menyakitiku dengan rahasianya? Mia melihat ke sekelilingnya.
Orang orang memandangnya dengan curiga. Eva,
tenanglah, Mia menepuk nepuk pelan pundak temannya itu.
Akhirnya Eva bisa mengendalikan dirinya. Dengan masih
sesenggukan dia berkata, Kepergianmu sangat menyakitiku,
Mia. Kau pergi tanpa pamitan padaku. Kau memang sudah
memutuskan pertemanan kita tetapi bukan berarti kau pergi
seenaknya saja tanpa mengatakan apa apa padaku. Kau
tega sekali Mia.
Mia tidak mengatakan apa apa. Dia memikirkan apa
yang akan ia katakan ke Eva. Sebenarnya dia sudah
melupakan pembicaraannya yang terakhir dengan Eva dan
Arman. Dia memutuskan memaafkan perbuatan kedua orang
yang pernah dekat dengannya. Tidak ada gunanya aku

menyimpan kebencian terhadap mereka. Itu hanya menyiksa


diriku sendiri dan membuatku tidak bahagia. Sudah waktunya
aku berdamai dengan masa lalu. Begitu yang ada di pikiran
Mia saat itu.
Jangan pergi, Mia. Aku sudah memutuskan
hubunganku dengan Arman. Persahabatan kita lebih penting,
Eva memelas.
Kau tidak perlu melakukan itu, Eva. Arman pasti sangat
mencintaimu sampai sampai dia meninggalkanku. Dia sudah
berkorban demikian pula aku. Jangan buat pengorbanan kami
sia sia, Eva.
Apa gunanya Arman di sampingku kalau aku
kehilangan sahabat yang sangat kusayangi. Eva menunduk.
Kau tidak kehilangan aku sepenuhnya, Eva.
Eva mengangkat wajahnya dan tersenyum cerah. Apa
benar yang kau katakan itu, Mia?
Mia mengangguk. Untuk saat ini aku tidak bisa
bersahabat denganmu. Mungkin setelah aku bisa memaafkan
dan menenangkan diriku serta menata kehidupanku , aku akan
bersahabat lagi denganmu.
Benarkah? mata Eva berbinar.
Mia mengangguk.
Terima kasih, Mia, ucap Eva tulus.
Mia melirik jam tangannya. Aku harus masuk ke ruang
tunggu.

71

Memangnya pesawatmu berangkat jam berapa?


Sebelum Mia menjawab, terdengar pengumuman
supaya semua penumpang pesawat Mandala tujuan Jakarta
agar bersiap siap di ruang tunggu.
Kau dengar sendiri barusan. Aku benar benar harus
masuk ke ruang tunggu.
Baiklah. Jaga dirimu baik baik di sana. Aku sering
dengar tingkat kejahatan sangat tinggi di sana, Eva
mengingatkan.
Jangan khawatir, Va. Apa kau sudah lupa kalau aku
bisa beladiri?
Aku tahu itu. Tetapi tidak ada salahnya kan
mengingatkanmu untuk lebih berhati hati.
Mia mengangguk sambil tersenyum. Semoga kau dan
Arman bahagia, kata Mia tulus.
Eva mengangguk dan tersenyum tulus. Mereka pun
berjabat tangan. Dengan gontai Mia mulai berjalan sedangkan
Eva menatap punggungnya.
Mia! Eva berteriak.
Mia menoleh heran.
Aku tunggu kabar baik darimu, seru Eva sambil
mengedipkan mata.
Mia hanya tersenyum geli mendengar teriakan Eva. Dia
tahu benar apa maksud dari ucapan temannya itu. Mia
melambaikan tangannya ke Eva sebelum benar - benar masuk
ke ruang tunggu. Sore itu, ruang tunggu dipenuhi penumpang
yang menanti untuk diberangkatkan. Mia duduk di deretan
kursi yang paling depan. Dia memandang dinding kaca yang
memisahkan ruang tunggu itu dengan landasan. Sementara
itu, bus bus bandara bolak balik mengantarkan penumpang
dari ruang tunggu ke pesawat yang ada di tengah landasan.
Tidak berapa lama setelah Mia duduk di kursi, para
petugas dari maskapai penerbangan Mandala Airlines mulai
bersiap siap di pintu kaca yang bertuliskan nomor dua.
Kemudian terdengar suara pengumuman yang meminta
agar penumpang Mandala tujuan Jakarta bersiap siap untuk
memasuki pesawat. Mia pun ikut mengantri. Setelah
menunjukkan tiketnya kepada petugas dia masuk ke dalam
bus bandara yang akan membawanya ke pesawat yang berada
lumayan jauh dari ruang tunggu.

72

Sebelum menaiki tangga pesawat, Mia sempat


melemparkan pandangan ke belakang. Selamat tinggal Medan,

kota yang kucintai. Aku pasti akan kembali lagi, bisiknya pelan.

Mia mendapat tempat duduk dekat jendela. Sebelum


duduk, dia menaruh ranselnya ke tempat penyimpanan tas
yang terletak di atas kursi. Setelah itu dia duduk dan
memasang sabuk keselamatan. Di sampingnya duduk
sepasang suami istri.
Mia asyik memperhatikan penumpang yang mulai
memenuhi pesawat. Ini kesekian kalinya Mia naik pesawat. Dia
dan keluarganya memang selalu bepergian dengan pesawat
setiap berlibur keluar kota Medan. Mia melirik ke jam Fossil
Bluenya. Hm, untung pesawat ini berangkat tepat waktu. Aku

tidak bisa membayangkan kalau jam keberangkatannya


meleset. Pasti Helen bisa kelamaan menunggu,, batinnya.

Setelah memastikan semua penumpang yang terdaftar


berada dalam pesawat, dua orang pramugari menutup pintu
pesawat.
Kemudian
mereka
memberikan
intruksi
penyelamatan diri apabila pesawat mengalami pendaratan
darurat. Mia memperhatikan gerakan gerakan yang
diperagakan pramugari dengan seksama.
Tanpa terasa, Mia terhanyut dalam lamunan. Dulu Mia
sempat memiliki keinginan menjadi seorang pramugari.
Namun, keinginan itu terbentur pada rasa percaya dirinya yang
rendah. Mia merasa dirinya memiliki wajah yang kurang
menarik. Padahal seluruh anggota keluarga dan teman
temannya tidak henti hentinya meyakinkan kalau dia
memiliki wajah yang cantik. Tetapi sia sia saja. Mia sudah
tidak berhasrat lagi menjadi pramugari.
Dia mempunyai cita cita lain yakni menjadi seorang
guru. Dia sengaja merahasiakan dari orangtuanya karena Mia
tahu benar kalau mereka akan tidak akan menyetujuinya. Mia
menjalani kuliah di jurusan ekonomi sesuai dengan keinginan
orangtuanya. Selain itu dia juga mendalami kemampuannya
berbahasa Inggris dengan mengikuti berbagai les dan
pelatihan. Mia tersadar dari lamunannya saat melihat
pramugari mondar mandir membagikan makanan.
Dalam pesawat, Mia mengeluarkan novel yang baru
dibelinya, Sekuntum Nozomi karangan Marga T. Tapi dia tidak
bisa konsentrasi membaca. Pikirannya melayang pada

73

peristiwa demi peristiwa yang menimpanya. Oh Tuhan, kenapa

aku harus mengalami itu semua? Dan kenapa aku tidak


kunjung bisa melupakannya? Pelupuk mata Mia mulai basah.
Nona, Anda mau minum apa? terdengar suara lembut
di sampingnya.
Mia terkejut. Cepat cepat ia menyeka airmatanya. Ia
menoleh. Ternyata salah seorang pramugari yang sedang
tersenyum ramah. Jus jeruk saja, ucapnya pelan.
Anda baik baik saja? Kelihatannya Anda kurang
sehat, kata pramugari itu dengan ramah.
Saya hanya merasa lelah. Tetapi saya baik baik saja.
Terima kasih atas perhatian Anda.
Baiklah kalau begitu. Ini minuman Anda.
Terima kasih. Mia menerima gelas kecil berisikan
orange juice sambil tersenyum kepada pramugari.
Mia melihat makanan yang ada di depannya. Dia
membuka kotak makanan yang ditutupi kertas aluminium.
Kotak itu berisi nasi, sayur dan udang goreng tepung.
Lumayan, buat mengganjal perut, pikirnya. Dia melihat
makanan lain yang disediakan. Ada buah pepaya dan melon.
Untuk penutupnya, ada puding coklat.
Mia pun mulai menyantap hidangan yang tersedia di
hadapannya. Dia makan dengan lahapnya. Selesai makan, dia
merapikan semuanya. Dia tidak tertarik menyentuh pepaya
dan melon ataupun puding coklat karena merasa perutnya
sudah sangat kenyang.
Mia mengambil novel Sekuntum Nozominya dan mulai
membaca. Sesekali Mia memandang keluar melalui jendela
pesawat. Tetapi hanya awan yang terlihat. Pemandangan yang
sama terus terusan membuat Mia diserang kantuk yang amat
sangat. Merasa tidak kuat lagi, dia pun tertidur dengan
lelapnya.

74

BAB 5
Mia terbangun pada saat mendengar suara pilot yang
memberitahu kalau pesawat akan segera mendarat. Dia
menoleh ke kanan. Para pramugari sibuk memberitahu para
penumpang agar mengenakan sabuk pengaman. Mia pun
segera memeriksa sabuk pengamannya.
Roda pesawat Mandala yang membawa Mia, menyentuh
landasan jam setengah tiga kurang sepuluh menit. Mia
mengucap syukur karena ia sampai di Jakarta dalam keadaan
selamat. Dia menyandarkan kepalanya ke kursi dan
memandangi langit yang agak mendung melalui jendela.
Mia baru berdiri setelah pesawat benar benar
berhenti. Tetapi dia tidak langsung keluar. Dia memilih
menunggu dan membiarkan penumpang lain berebutan keluar
dari pesawat.
Melihat jumlah penumpang yang berebutan keluar mulai
berkurang, Mia mengambil ranselnya dan berjalan menuju
pintu keluar pesawat. Mia memanggul ransel Exportnya dan
menenteng kardus kecil berisikan kue khas Medan, bika
Ambon.
Saat menginjakkan kakinya di tangga pesawat, Mia
berkata dalam hati, akhirnya aku sampai di Jakarta. Ini adalah
pertama kalinya Mia mengunjungi Jakarta. Mama dan Papanya
beserta Hendra dan Robert sudah berkali kali ke sini. Tetapi
dia belum pernah sekalipun. Karena setiap kali dia mau ikut
selalu saja ada halangan mulai dari sakit, sekolah ataupun
ujian akhir.
Mia berjalan bersama penumpang lainnya menuju
tempat pengambilan bagasi yang letaknya lumayan jauh.
Sambil berjalan, Mia mengaktifkan ponselnya. Setelah berjalan
beberapa lama, akhirnya Mia sampai di tempat yang dituju.
Mia memandang ke sekelilingnya. Kepalanya bergerak ke kiri
dan kanan seolah olah sedang mencari sesuatu. Astaga tidak
ada troli. Untung saja aku tidak banyak membawa barang. Mia
menarik kopernya dan mulai berjalan menuju pintu keluar.
Dia berjalan di antara kerumunan orang yang berdesak
desakkan. Ramai sekali, pikirnya. Sambil menarik kopernya,
Mia membaca sms yang masuk ke ponselnya. Banyak sekali
pesan dari orangtuanya, Hendra dan Robert yang masuk.

75

Pertanyaan mereka semuanya sama. Apakah dia sudah sampai


atau belum. Apakah dia sudah dijemput atau belum. Mia
memutuskan untuk menelepon mereka. Selesai menelepon,
bunyi yang menandakan ada pesan yang baru masuk kembali
terdengar. Hah, ada pesan dari Helen, pekik Mia dalam hati.
Pesan Helen berbunyi penyesalannya kalau dia akan datang
terlambat dan meminta agar Mia menunggunya sampai
datang. Mia sama sekali tidak merasa marah setelah membaca
pesan dari Helen. Dia menarik kopernya dan mencari kursi.
Tanpa memperhatikan keadaan sekitarnya, Mia duduk di salah
satu kursi panjang menghadap ke jalan. Dia sama sekali tidak
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Dia bahkan tidak
menyadari ada pria tampan yang tidak berhenti
memperhatikan segala tindak tanduknya.
Makhluk tampan yang duduk persis di sebelah kanan
Mia bernama Alan. Perhatian Alan tadinya tertuju pada gadis
yang lalu lalang di depannya sampai Mia melintas dan duduk di
sampingnya. Wajah Mia yang dingin dan misterius menarik
perhatiannya. Memang dia tidak secantik gadis gadis yang
dikenal Alan tetapi dia mempunyai daya tarik yang luar biasa.
Alan jadi tergelitik untuk menggoda perempuan menarik yang
duduk di sampingnya.
Hai cantik! Boleh kenalan tidak? Namaku Alan,
katanya dengan penuh percaya diri. Alan langsung
mengeluarkan senjata andalannya. Senyum yang menawan
mengembang di wajahnya. Dia yakin wanita itu akan langsung
luluh melihat senyumnya. Soalnya, belajar dari pengalaman,
setiap wanita yang melihat senyumannya pasti salah tingkah
dan tersipu malu.
Mia menoleh ke kanan kiri untuk melihat apa ada orang
di sampingnya. Setelah memastikan hanya dia satu satunya
perempuan yang duduk di situ, Mia memandang Alan dengan
keheranan. Kau bicara denganku? Mia menunjuk dirinya
sendiri.
Alan tertawa geli melihat tingkah makhluk menarik di
depannya. Tentu saja. Memangnya kau tidak bisa lihat kalau
di kursi ini hanya kau satu satunya perempuan? kata Alan
masih sambil tersenyum. Ayo dong balas senyumanku. Aku
pegal nih pasang wajah seperti ini. Tetapi reaksi Mia benar
benar di luar dugaan Alan.

76

Mia mendengus dingin. Dengan ketus ia menjawab,


Aku tidak peduli siapa namamu dan aku sama sekali tidak
tertarik untuk mengetahuinya. Lagipula aku tidak tertarik
bicara dengan orang asing!
Nyali Alan sempat ciut melihat reaksi gadis di
sampingnya itu. Tetapi, bukan Alan namanya kalau takut.
Wah, boleh juga gayamu. Tetapi orang asing, katamu? Aku
kan sudah memperkenalkan diri. Aku sudah memberitahukan
namaku. Atau apa perlu aku juga memberitahu umur,
pekerjaan, tempat tinggal dan nomor teleponku? tanyanya
dengan wajah yang dihiasi senyum nakal.
Mia tercengang. Ini pertama kalinya dia bertemu
dengan seorang pria dengan rasa percaya diri sebesar itu.
Tebal sekali mukanya. Sudah dibilang tidak masih saja ngotot.
Atau, jangan jangan, otaknya memang dangkal? Kau tidak
mendengar ucapanku dengan jelas, yah? tanya Mia dengan
raut wajah sebal yang justru membuatnya kelihatan lebih
menarik.
Alan menggeleng dengan wajah polos.
Mia dongkol sekali melihatnya. Baiklah kukatakan sekali
lagi! Aku tidak tertarik untuk berkenalan denganmu!
Apa kau sudah mengerti sekarang? Mia melotot sambil
berkacak pinggang.
Alan tercengang cengang. Belum pernah ada seorang
gadis memperlakukannya sekasar ini. Biasanya, setiap gadis
yang ia temui selalu bersikap manis terhadapnya. Tetapi
anehnya, harga dirinya sama sekali tidak terluka mendapat
perlakuan seperti itu. Dia mengamati gadis menarik yang
berdiri di hadapannya dengan gaya menantang. Tadinya ia
ingin ngotot, tetapi setelah melihat sorot mata yang sedingin
es, ia mengurungkan niatnya. Rupanya dia tipe gadis yang
gampang naik darah. Oke. Baiklah kalau begitu, kata Alan
menyerah. Dia menggaruk garuk kepalanya. Asal kau tahu
saja banyak sekali gadis gadis yang tertarik untuk berkenalan
denganku.
Mia tidak menjawab. Dia hanya mendengus dingin.
Alan tersenyum tipis melihat tingkah polah gadis manis
di depannya. Baru kali ini ada perempuan yang bersikap galak
terhadapnya. Dengan tubuh tegap, kekar dan tinggi seratus
delapan puluh lima senti, Alain Harsono digilai banyak

77

perempuan. Belum lagi wajahnya yang macho dan tampan.


Dagunya dihiasi bekas bekas jambang. Sadar akan
ketampanannya, Alan memanfaatkannya untuk merayu gadis
gadis. Dia bergonta - ganti pasangan sesering dia berganti
pakaian. Kalau sudah bosan, dia akan mulai mencari
perempuan lain yang bisa dijadikan kekasih.
Namun, dibalik sifat playboynya, Alan memiliki
kepribadian yang sedikit unik. Kendati dibesarkan dalam
keluarga berada, Alan sama sekali tidak pernah menggunakan
kekayaannya untuk menarik perhatian gadis gadis. Selain itu,
walaupun sering bergonta ganti pasangan, Alan tidak pernah
melakukan hubungan yang melebihi batas kewajaran. Seks
bebas tidak ada dalam kamusnya. Perhatiannya pada gadis
yang dipacari hanya sebatas ucapan dan perbuatan yang
romantis. Tidak pernah lebih dari itu. Tetapi, justru itu yang
membuatnya semakin digilai kaum hawa.
Alan juga memiliki otak yang cerdas. Dia kuliah di
Universitas Indonesia, jurusan arsitektur dan lulus dengan nilai
yang memuaskan. Setelah lulus, Alan langsung bekerja di
perusahaan milik keluarganya dan menempati salah satu posisi
yang penting. Alan menyadari, saat ini, sangat sulit untuk
mendapatkan pekerjaan. Terlebih lagi, kenaikan BBM membuat
banyak perusahaan melakukan PHK besar besaran. Alan
berpikir, dengan bekerja di perusahaan keluarganya, dia tidak
akan terkena PHK. Atas pertimbangan itulah, Alan bersedia
bekerja di perusahaan milik papanya.
Tetapi, ada sifat Alan yang kurang disukai keluarga
besarnya. Dia suka bersikap seenaknya, masa bodoh dan
ceroboh. Dia selalu datang dan pergi seenaknya. Entah itu di
rumah atau di kantor. Tidak heran, ia sering bertengkar
dengan papanya. Kalau sudah begitu, ia sering meninggalkan
rumah selama berhari hari. Dia baru pulang, kalau amarah
papanya sudah reda.
Kedua orang berbeda jenis kelamin itu duduk dalam
diam. Walaupun mata Alan dan Mia terarah ke depan tetapi
pikiran mereka melayang entah ke mana. Keduanya hanyut
dalam lamunan masing masing.
Mia meluruskan kakinya. Masih terbayang dalam
kepalanya, ucapan Alan barusan. Berani sekali dia bilang,

banyak gadis yang tertarik padanya. Aku yakin mereka pasti


78

gadis gadis bodoh karena tidak bisa membedakan mana


lelaki yang baik mana yang bajingan. Tanpa disengaja, Mia

melirik ke samping. Dia terkejut saat melihat Alan masih duduk


di sampingnya dengan mata jelalatan. Bola matanya tidak
berhenti bergerak mengikuti gerak orang orang yang lalu
lalang di depannya. Kadang kadang, wajahnya dihiasi
senyum apabila ada gadis cantik melintas di depannya.
Kenapa kau masih berada di sini? tanya Mia dengan
wajah keheranan.
Alan menoleh. Sejenak, wajahnya terlihat keheranan
tetapi tidak berapa lama ia tertawa kecil. Nona, memangnya
hanya kau yang menunggu seseorang? Aku juga!
Yang benar saja! Dari tadi kau hanya melihat gadis
gadis yang lewat saja.
Iya dong. Aku paling tidak suka menyia nyiakan
pemandangan gratis seperti ini, lagi lagi Alan melemparkan
senyum nakalnya. Dia mendekatkan wajahnya ke Mia. Seringai
nakal terlihat di wajahnya. Aku kira kau tidak peduli
denganku. Ternyata dari tadi kau memperhatikanku, yah? Akui
saja. Sebenarnya kau tertarik padaku kan? godanya.
Dalam sekejap, emosi Mia langsung meninggi
mendengar godaan Alan. Aku tidak tertarik padamu! bentak
Mia. Lagipula aku punya pengalaman buruk dengan pria,
gumamnya tanpa sadar.
Alan menunjukkan ketertarikan. Oh ya? Pengalaman
buruk apa? tanya Alan penasaran.
Mia menyesal keceplosan bicara. Kau tidak perlu tahu
karena itu bukan urusanmu! Lagipula apa kau pikir aku mau
membagi pengalaman hidupku dengan orang asing? sembur
Mia.

Wah, benar benar deh cewek yang satu ini. Galak


banget, pikir Alan. Kalau dibandingkan dengan herder galakan
siapa yah? Tetapi semakin dia marah kok malah semakin
menarik yah? Terserah kau saja, Alan mengangkat bahu.
Alan! terdengar suara perempuan.
Alan dan Mia serempak menoleh ke arah sumber suara.
Wajah Alan dihiasi senyum cerah saat melihat wajah
perempuan yang memanggilnya.
Oh, Rina sayang, cetusnya dengan suara genit.
Kenapa lama sekali?

79

Aku lama di tempat pengambilan bagasi, sahut cewek


yang bernama Rina dengan tidak kalah genitnya. Mereka
saling mencium pipi dan kemudian berpelukan.
Mia sampai merasa muak melihat adegan di depannya.
Dia membuang muka ke arah lain. Dasar orang orang tidak

tahu malu. Apa mereka tidak bisa membedakan mana tempat


umum dan mana yang bukan?

Apa kau sudah membawa barang barangmu?


periksa Alan.
Gadis itu mengangguk.
Bagaimana dengan oleh oleh? Kau tidak lupa kan?
tanya Alan.
Aku tidak mungkin lupa oleh oleh untuk yayangku,
sahut Rina genit.
Mia hampir terbahak melihat tingkah Alan dan Rina.

Seperti anak kecil saja, pikirnya geli.

Ayo kita pulang, Alan menggandeng tangan Rina.


Mereka berjalan sambil bergandengan mesra.
Mia mengamati pasangan itu dengan menggeleng
gelengkan kepala. Betapa terkejutnya Mia ketika melihat Alan
sempat menoleh kepadanya. Alan mengedipkan mata dan
melemparkan senyum manis. Raut wajah Mia berubah masam.

Sialan, sudah punya gandengan sempat sempatnya dia


menggodaku. Dia mencibir.
Mia? Kaukah itu, terdengar suara lembut di
belakangnya.
Mia menoleh terkejut. Helen!!! Mia menjerit
kegirangan.
Mereka saling berpelukan kemudian berpandangan lalu
berpelukan lagi.
Akhirnya kita bertemu lagi! pekik Helen kesenangan.
Iya. Aku senang sekali, kata Mia dengan raut wajah
ceria.
Maaf ya, aku terlambat, sesal Helen.
Nggak papa. Yang penting kita bertemu.
Helen mengamati Mia dari atas sampai ke bawah. Kau
semakin cantik saja, puji Helen.
Mia tersenyum malu. Pipinya memerah karena pujian
Helen. Ah, kau ini. Bisa saja, kata Mia malu malu.

80

Aku nggak bohong Mia. Aku yakin adik laki lakiku pun
akan terpesona jika bertemu denganmu, celoteh Helen tanpa
menyembunyikan kekagumannya pada Mia.
Kau juga lebih cantik, balas Mia.
Oh itu sudah pasti, Helen tergelak. Sebaiknya kita
berhenti memuji. Kalau tidak, bisa sampai pagi kita di sini. Oh
ya, apa ini barang barangmu?
Mia mengangguk. Aku juga membawa bika Ambon
untukmu dan keluargamu.
Helen menjerit kesenangan. Mia sampai kaget
dibuatnya. Aku memang sedang ingin makan Bika Ambon,
serunya.
Karena itu aku membawa tiga kotak.
Banyak sekali, cetus Helen. Sepertinya malam ini aku
bakalan pesta Bika Ambon nih, Helen tergelak.
Mia hanya tersenyum tipis.
Astaga, mau berapa lama lagi kita di sini. Helen seperti
disadarkan sesuatu.
Ayo kita pulang, ajak Helen. Dia
mengambil kotak bika Ambon dari tangan Mia. Soalnya sudah
sore nih.
Mereka berjalan menuju tempat parkir sambil
mengobrol. Helen membantu Mia dengan menarik kopernya
yang berukuran besar.
Mereka sampai di depan mobil Daihatsu Taruna. Setelah
memasukkan semua barang bawaan Mia, Helen menyalakan
mesin mobil. Perlahan lahan mobil itu mulai bergerak
meninggalkan tempat parkir.
***
Mobil itu berhenti tepat di depan rumah mungil bercat
putih. Rumah itu tidak memiliki pagar dan letaknya pun agak
tinggi dari permukaan tanah. Tepat di sebelah kanan rumah
terdapat garasi.
Kita sudah sampai, ucap Helen. Mereka pun
mengambil barang barang yang ada di mobil dan berjalan
menuju rumah. Mereka melewati jalan menuju ke garasi.
Kemudian menaiki empat anak tangga yang terbuat dari batu
untuk sampai ke teras rumah. Tangga itu terletak di sisi kanan
teras rumah.
Kau tinggal di sini sendirian? tanya Mia.

81

Helen mengangguk. Silakan masuk,


Helen
mempersilakan Mia.
Mia pun masuk dan memandang ke sekeliling rumah
Helen. Rumah itu memang mungil tetapi terasa nyaman.
Kamarnya hanya ada dua tetapi letaknya saling berhadapan. Di
antara kedua kamar itu terdapat kamar mandi.
Sementara itu dapur dan ruang makan digabung
menjadi satu. Letaknya persis di bagian belakang. Antara
ruang makan dan ruang tamu dipisahkan oleh rak buku yang
sangat besar. Tingginya mencapai langit langit rumah. Di
tengah tengah rak buku itu terdapat celah sebesar pintu
rumah.
Rumah ini tadinya milik pamanku. Dia pindah tugas ke
luar negeri. Daripada dibiarkan kosong, aku diminta tinggal di
sini. Lagipula aku ingin mandiri, Helen nyengir.
Dia memberikan rumahnya gratis untukmu? Mia
bertanya dengan raut wajah takjub.
Memangnya kenapa? Dia kan pamanku. Lagipula
rumah ini tidak terlalu besar. Cuma ada dua kamar. Yang
terpenting ada kamar mandi, ruang tamu, dapur dan garasi.
Baik sekali pamanmu itu. Dia sudah menikah?
Sudah, tetapi bercerai. Istrinya menganggap dia terlalu
mementingkan pekerjaan. Dia kesepian dan mencari
pelampiasan kepada laki laki lain.
Istri pamanmu berselingkuh?
Ya, pamanku sangat sedih. Hatinya sangat terluka
karena perbuatan istrinya itu. Yang kutahu sekarang dia tidak
berminat untuk menikah lagi.
Mia manggut manggut. Walaupun dia tidak pernah
bertemu dengan paman Helen, di dalam hatinya dia turut
merasa prihatin atas apa yang dialami oleh paman sahabatnya
itu.
Kau lihat lihat saja sampai puas rumah ini, kata
Helen.
Mia tidak menjawab. Dia asyik melihat perabotan yang
ada di rumah itu.
Ini semua barang barangmu? tanya Mia.
Sebenarnya sih hanya sebagian. Kebanyakan milik
pamanku. Tetapi dia sudah menyerahkan semuanya. Jadi bisa
dibilang ini semua adalah milikku.

82

Mata Mia terbentur pada lemari kaca yang terletak di


kiri kanan televisi. Rak itu dipenuhi VCD. Dia mendekati lemari
itu. Mia melihat lihat koleksi VCD Helen yang tersusun rapi di
lemari. Kau suka film perang yah? Aku lihat koleksi VCD-mu
kebanyakan film perang. Ada Saving Private Ryan, Black Hawk
Down, The Longest Day, Schindler List dan Platoon.
Ini bukan punyaku tetapi adikku. Dia sering datang dan
menginap ke sini.
Mia menatap Helen heran. Adikmu sering ke sini?
Helen mengangguk.
Laki laki atau perempuan?
Tentu saja laki laki. Kan jarang ada perempuan yang
suka dengan film perang.
Aku suka film perang, cetus Mia.
Oh ya? tanya Helen tidak percaya.
Kau sendiri bagaimana? Mia malah balik bertanya.
Kau suka film seperti apa?
Aku suka film komedi romantis, sahut Helen.
Kau suka film jenis itu?
Habis ceritanya ringan dan menghibur sih. Tidak perlu
sampai mengkerutkan kening untuk menontonnya. Aku paling
suka kalau yang main cowoknya ganteng, Helen mengikik.
Apa kau selalu menilai film dari siapa yang main?
Tentu saja. Aku tidak akan menonton film aktor yang
tidak kusuka walaupun orang orang bilang ceritanya bagus.
terang Helen santai.
Kau tidak bisa begitu. Bagaimana kalau akting dan
jalan ceritanya bagus? Apa kau tidak mau nonton juga?
Tidak, jawab Helen kalem. Bagaimana mungkin aku
bisa tahan menontonnya kalau yang main aktor yang tidak
kusukai?
Kau ini, Mia tertawa geli.
Cukup sudah diskusi kita tentang film. Ayo kutunjukkan
kamarmu, Helen menarik tangan Mia.
Helen membuka pintu kamar lalu masuk bersama Mia.
Kamar itu berukuran sedang. Di dalamnya terdapat meja rias,
ranjang berukuran sedang, lemari dan meja belajar.
Kamar ini biasanya ditempati adikku kalau dia
menginap di sini.
Lalu kalau dia datang, bagaimana dong?

83

Kau tidak perlu khawatir. Dia bisa tidur di kamarku.


Lagipula dia jarang datang ke sini.
Wajah Mia dipenuhi rasa penasaran. Kenapa bisa
begitu? tanya Mia ingin tahu.
Helen tersenyum. Bagaimana mengatakannya yah?
Adikku itu baru menginap di sini kalau dia sedang bermasalah
dengan orangtuaku.
Wah! Adikmu sering bertengkar dengan orangtuamu?
Helen mengiyakan. Tetapi kau jangan salah sangka
dengan adikku. Sebenarnya dia itu anak yang baik hanya saja
tidak suka dikekang.
Dari tadi kita membicarakan adikmu tetapi kau belum
memberitahuku siapa namanya. Waktu kau datang ke Medan
juga, kau hanya sekali menyebutkan namanya. Jadi aku lupa
deh.
Oh ya, hampir lupa. Namanya Tiba tiba ponsel
Helen berdering. Tunggu sebentar Mia, aku jawab ini dulu,
Helen meminta persetujuan Mia.
Silakan saja.
Sementara Helen menjawab telepon, Mia melihat mulai
menyusun barang barang yang dibawanya.
Kegiatan Mia terhenti saat ketika pintu kamarnya
diketuk. Mia menoleh dan melihat Helen sudah berdiri di sana.
Mia, aku minta maaf. Itu tadi telepon dari kantor. Ada
urusan yang tidak bisa ditunda. Jadi aku harus pergi, kata
Helen dengan wajah penuh penyesalan.
Astaga Helen. Kau tidak perlu begitu. Kalau mau pergi
ya pergi saja. Jangan menganggapku sebagai penghalang.
Aku benar benar menyesal. Seharusnya aku
menemanimu.
Mia tersenyum. Helen, aku benar benar tidak
keberatan kalau kau mau pergi. Apalagi itu menyangkut
urusan kantor. Kau tenang saja. Aku akan baik baik saja
kok, Mia menenangkan Helen.
Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu. Kalau ada
sesuatu, kau telepon aku yah.
Iya. Cepat pergi nanti kau terlambat.
Oh ya, hampir lupa, Helen menepuk keningnya. Kalau
kau lapar di kulkas ada makanan yang siap dipanaskan. Atau
kalau mau di dalam lemari ada mie instan. Pokoknya kalau kau

84

butuh makanan tinggal cari saja di dapur. Semuanya tersedia.


Kau bisa menggunakan kompor gas kan?
Mia tertawa geli melihat tingkah Helen. Ya bisa dong.
Sudahlah kau tidak perlu khawatir. Aku bisa mengurus diri kok.
Sudah pergi sana, Mia mendorong Helen. Sebelum pergi,
Helen menyempatkan diri menyambar kotak berisi bika Ambon.
Dia mengatakan pada Mia, sepulang dari kantor, dia akan
mampir ke rumah orangtuanya dan memberikan kue itu pada
mereka.
Mia mengantar kepergian Helen sampai teras rumah.
Helen melambaikan tangan dari dalam mobil. Mia menunggu
sampai mobil itu berlalu dari pandangannya.
Kemudian dia masuk ke dalam rumah dan melanjutkan
menyusun barang barangnya. Selesai menyusun barang dan
merapikan kamar, Mia duduk di sofa yang terdapat di ruang
tamu dan melepas lelah. Tubuhnya penuh dengan keringat.
Rasanya aku jorok sekali. Mandi ah. Mia mengambil
handuk dan melenggang masuk kamar mandi.
Mia memutar shower dan mulai membersihkan
tubuhnya. Saat sedang keramas, Mia seperti mendengar suara
ketukan. Dia berhenti mengucek rambutnya untuk memastikan
pendengarannya tidak salah. Sepertinya tadi aku dengar suara
ketukan. Mia memasang telinganya baik baik, namun ia tidak
mendengar suara apapun. Mungkin itu cuma perasaanku saja.
Ketika Mia mulai menyabuni tubuhnya, suara ketukan
kembali terdengar. Kali ini suaranya lebih keras. Ternyata
benar benar ada yang datang. Mia cepat cepat
membersihkan sabun diseluruh tubuhnya.
Suara ketukan bertambah keras. Mia pun kelabakan
mendengarnya. Cepat cepat dia mengeringkan tubuhnya.
Dia membuka pintu kamar mandi dan berteriak,
Tunggu sebentar!
Namun, yang terjadi justru ketukan itu bertambah
keras. Bahkan berubah menjadi sebuah gedoran. Mia sampai
kesal mendengarnya. Nggak sabaran banget sih jadi orang,
Mia bersungut sungut. Cepat cepat dia mengenakan
pakaian dan berlari menuju pintu. Rambutnya pun masih
basah dan kusut. Tetapi Mia tidak ambil pusing dengan
keadaannya itu. Perhatiannya sekarang terpusat pada orang
yang menggedor pintu rumah.

85

Betapa terkejutnya Mia saat membuka pintu dan


melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Dia berdiri
mematung di depan pintu. Demikian pula Alan Harsono. Dia
tidak kalah terkejutnya melihat sosok Mia. Kedua orang itu
saling berhadap hadapan.
Alan yang pertama bereaksi. Pertama dia keheranan
tetapi tidak berapa lama senyum nakal muncul di wajahnya.
Sulit kupercaya kita bisa bertemu di sini. Ternyata kita benar
benar jodoh ya, cetusnya spontan.
Mia tidak menanggapi ucapan Alan. Dia masih terlihat
sangat syok, sampai sampai dia tidak bisa membuka
mulutnya.
Alan tersenyum geli. Kau seperti melihat hantu saja,
cetusnya. Dia menjentikkan jari di depan wajah Mia. Hei, kau
baik baik saja kan?
Mata Mia mengerjap. Dia sempat merasa kesadarannya
hilang untuk sesaat ketika melihat Alan. Iya, aku baik baik
saja, kata Mia pelan.
Namun, tidak berapa lama, Mia menatap Alan dengan
mata tidak berkedip.
Alan sampai berjengit dibuatnya.
Selama ini, kau belum pernah melihat pria tampan yah? Itu
makanya kau menatapku terus terusan. Tapi nggak papa.
Kau bisa mempelototiku sampai puas. Aku nggak keberatan
kok, karena aku suka sekali menyenangkan wanita. Apalagi
pengagumku, celoteh Alan dengan cueknya.
Wajah Mia merah padam. Dia mendelik sebal. Mau apa
kau ke sini? Kau mengikutiku yah? tanya Mia galak.
Hei, Non. Jangan sembarangan menuduh yah. Aku
tidak mengikutimu. Geeran sekali jadi orang. Mana aku tahu
kau tinggal di sini, Alan membela diri.
Mia memandang Alan dengan tatapan dingin. Itukan
katamu. Siapa yang tahu kau mengikuti kami dari tadi, kata
Mia dengan nada sewot.
Alan terbahak mendengarnya. Oh ya? Hei, Nona!
Memangnya kau pikir siapa kau, makanya aku mengikutimu?
Artis bukan. Model juga bukan. Rugi benar aku mengikutimu.
Buang buang bensin saja. Apa kau tahu bensin itu mahal
sekali?

86

Jangan banyak alasan! Ini tidak ada hubungannya


dengan bensin. Sekarang aku minta kau pergi dari sini, Mia
mendorong Alan.
Alan terbengong bengong. Dia tidak bergerak dari
posisinya. Gantian dia mempelototi Mia. Kau mengusirku? dia
berkacak pinggang.
Mia mengangguk mantap.
Enak saja. Memangnya ini rumahmu?
Bukan. Ini bukan rumahku tetapi temanku, Helen. Dia
sedang tidak berada di rumah jadi aku bertanggungjawab atas
keamanan rumah. Termasuk melarang laki laki hidung
belang sepertimu mengganggu
kami, tegas Mia sambil
menunjuk Alan.
Pahamlah Alan sekarang, siapa gadis yang berdiri di
hadapannya ini. Jadi kau temannya Kak Helen, kata Alan
dalam hati. Kenapa tidak bilang dari tadi? Alan memandang
gadis yang sedang menatap galak dirinya dari atas sampai
bawah. Terbersit dalam pikiran Alan untuk menggoda gadis
pemberang di depannya ini.
Minggir! Alan mendorong Mia. Alan membuka pintu
dan masuk ke dalam rumah.
Mata Mia terbelalak melihat tingkah Alan yang
seenaknya. Hei! Berani sekali kau! Cepat keluar! Kalau tidak
aku akan berteriak!
Teriak saja, yang kencang yah, sahut Alan cuek.
Dengan santainya dia membuka pintu kamar Mia dan
melempar ransel yang dari tadi dipanggulnya ke atas tempat
tidur. Mendadak Alan terdiam. Matanya jelalatan melihat
keseluruh isi kamar.
Apa apaan ini? Alan terkejut melihat kamar yang
biasa ditempatinya kalau menginap dihiasi barang barang
perempuan.
Alan memandang Mia, Kau tidur di kamar ini yah?
Iya benar. Tetapi tunggu dulu. Apa maumu? Berani
sekali kau menerobos masuk ke dalam rumah yang bukan
milikmu!
Niat Alan untuk menggoda Mia hilang sudah. Dia berdiri
dan menunjuk Mia dengan jarinya. Hei Non, apa salahnya
kalau aku menerobos masuk ke rumah kakakku sendiri?
tantang Alan.

87

Tunggu dulu! Mia mengangkat kedua tangannya


menyetop Alan. Kau bilang Kakak?
Betul! kata Alan kalem. Helen itu kakakku.
Kau bohong, kata Mia sambil tertawa. Itu tidak
mungkin. Sifat kalian saja berbeda bagaikan bumi dan langit.
Tentu saja, dia kan perempuan sedangkan aku laki
laki, sahut Alan asal asalan.
Tawa Mia langsung lenyap. Wajahnya berubah serius.
Kau bohong kan?
Aku tidak bohong, kata Alan sambil tersenyum nakal.
Senyum kemenangan menghiasi wajahnya. Bagaimana kalau
kita taruhan? Kalau ternyata dia bukan kakakku, aku akan
melakukan apa pun yang kau minta. Demikian juga sebaliknya,
kalau dia kakakku, kau akan memenuhi permintaanku.
Bagaimana? Kau mau atau tidak? tantang Alan.
Mia tidak tahu harus berkata apa. Dia kebingungan
sendiri. Bagaimana ini? Apa benar sigenit ini adik Helen? Kok

sifatnya berbeda sekali? Apa aku menelepon Helen saja untuk


memastikan? Mia tidak henti hentinya bertanya dalam hati.

Hei, Nona. Aku sedang bicara padamu. Kau mau


taruhan denganku atau tidak? Ataujangan jangan kau
takut yah? Alan mencibir.
Siapa yang takut padamu? Aku tidak mau taruhan!
tolak Mia kasar.
Alan tersenyum geli melihat tindak tanduk Mia. Dasar.
Bilang saja kalau kau takut. Hei Nona! Kau kan sudah ada di
sini. Memangnya kau tidak melihat foto foto yang dimiliki
kakakku?
Aku belum melihatnya. Aku kan baru datang hari ini.
Lagipula aku dari tadi sibuk menyusun barang barangku.
Alan manggut manggut. Sekarang kau sedang tidak
sibuk kan? Apa lagi yang kau tunggu? Silakan kau lihat foto
foto yang ada di rumah ini sampai puas.
Mia mencibir Alan. Dia benar benar kesal dibuat Alan.
Dia menyeret kakinya ke meja kecil yang terbuat dari kayu jati
yang menjadi tempat foto foto keluarga Helen. Mia melihat
foto foto yang berjejer rapi dengan enggan. Jantungnya
hampir copot saat melihat ada beberapa foto Alan sedang
berpose akrab dengan Helen. Ternyata si genit ini tidak

bohong. Dia benar benar adiknya. Tetapi, bisa saja kan dia
88

teman Helen yang mengaku sebagai adiknya untuk mengerjai


aku.

Bagaimana? Sekarang kau percaya kan kalau aku itu


adik Helen? tanya Alan santai sambil melipat tangannya.
Tetap saja aku tidak percaya, jawab Mia keras kepala.
Alan menarik napas lalu menggaruk garuk kepalanya
yang tidak gatal. Dia ini benaran tidak percaya atau pura

pura. Kalau memang dia benar benar tidak percaya, bodoh


sekali dia. Jangan jangan, kalau ada orang yang datang dan
bilang gempa, mungkin dia akan bereaksi sama. Dasar cewek
bebal. Kau sudah lihat fotoku dengan Helen, masa kau masih
nggak percaya juga? tanya Alan ngotot.
Itu tidak berarti apa apa buatku. Bisa saja kau
temannya atau kekasihnya.
Alan tersenyum masam. Keras kepala sekali perempuan

yang satu ini. Percuma saja aku meyakinkannya. Sampai


mulutku berbusa menjelaskan, aku rasa dia tetap tidak
percaya.

Di mana kau kenal Kak Helen?


Kenapa tanya tanya?
Aku bertanya supaya masalah kita bisa selesai.
Aku kenal dia lewat internet. Situs friendster. Kau tahu
kan situs itu? tanya Mia hati hati.
Kalau bicara jangan sembarangan yah. Memangnya
wajahku ini terlihat seperti orang yang tidak tahu apa apa?
Tentu saja aku tahu situs friendster, kata Alan sewot. Dia
memang senewen kalau ada orang yang menganggap remeh
dirinya hanya karena wajahnya yang tampan.
Apa dia tidak pernah cerita tentang keluarganya?
Dia cerita. Dia bilang punya abang namanya Ari, Andi
dan adik yang bernama Hana. Dia juga punya adik laki laki
tapi aku lupa namanya. Yang pasti bukan Alan, cetus Mia.

Ternyata dia lebih bodoh dari yang aku duga, pikir Alan.
Dia ingat nama saudara saudaraku. Hanya namaku saya
yang dia tidak ingat. Bisa bisanya Kakak bersahabat dengan
cewek seperti ini. Sudah bodoh, gampang naik darah pula.

Mia menatap Alan dengan mata menyipit. Dia mencoba


menerka apa yang ada di kepala Alan. Apa yang sibodoh ini
pikirkan. Huh, jangan jangan dia sedang mencari cara untuk
meyakinkanku. Lihat saja, kalau dia pikir aku bisa ditipu, maka

89

dia salah besar. Akan kubuat dia menyesal telah


menggangguku.
Apa dia pernah menunjukkan foto keluarga? suara
Alan memecah keheningan.
Pernah, tapi aku sudah lupa wajah wajah
keluarganya. Kok pembicaraan kami ini seperti interogasi saja,

pikir Mia bingung.

Masa iya sih kau lupa? tanya Alan keheranan.


Lagi lagi Mia menggelengkan kepalanya. Untuk apa?
Yang berhubungan kan kami bukan keluarga. Jadi kami
tukaran foto sendiri, cetus Mia polos.

Pantas saja kau tidak tahu kalau aku adiknya Helen.

Apa kau ingat dengan pertemuan kita di bandara tadi?


Ingat. Memangnya kenapa?
Apa kau juga ingat kalau tadi aku menyebutkan
namaku?
Tentu saja aku ingat.
Nah, sekarang coba kau ingat ingat lagi nama adik
laki laki yang pernah disebutkan Helen.
Untuk apa aku melakukan itu? Mia keheranan.
Tidak bisakah kau melakukan sesuatu tanpa harus
bertanya? suara Alan mulai tidak sabar.
Mia mendengus sebal. Dengan raut wajah cemberut,
Mia memutar kembali ingatannya. Dia mencoba mengingat
ingat nama saudara Helen. Mendadak dia terhenyak. Perlahan
lahan dia menoleh ke Alan. Aku ingat sekarang. Helen

pernah bilang kalau dia punya adik laki laki bernama Alan.
Bagaimana ini?
Alan menghela napas. Sekarang kau percaya kan?
Di luar dugaan Alan Mia menjawab, Aku baru percaya
kalau Helen sendiri yang mengatakannya, tegas Mia.
Alan terbengong bengong. Ya Tuhan, ternyata dia

lebih bodoh dan keras kepala dari dugaanku. Apapun yang aku
bilang pasti tidak ada gunanya. Lebih baik aku diam saja dan
menunggu Kakak datang. Biar dia saja yang menjelaskan. Alan
melirik Mia. Lihat saja nanti kalau Kak Helen datang. Kita lihat
siapa yang tertawa paling akhir.

Ya sudahlah! Terserah kau saja. Mau percaya kek. Mau


nggak kek. Bodo amat. Tetapi yang pasti aku nggak mau pergi
dari rumah ini, kata Alan jengkel. Dia benar benar dongkol

90

melihat sifat Mia yang keras kepala. Hebat sekali kalau ada

orang yang bisa tahan dengan sifatnya itu.

Alan menghempaskan pantatnya di sofa dari bahan kulit


berwarna coklat. Dia mengambil majalah Cinemags yang
terletak di bawah meja. Dia membolak balik majalah itu
dengan kasar. Kelihatan betul dia sangat kesal. Mia memilih
duduk di kursi kecil yang terletak di samping sofa dan
menyalakan televisi.
Dari balik majalahnya, Alan mengamati Mia dengan
seksama. Ini keduakalinya aku bertemu dengan sipemberang

berwajah menarik ini di hari yang sama dan sampai sekarang


aku belum tahu siapa namanya. Bisa bisanya Kakak
berteman dengan cewek galak seperti ini. Tetapi.sepertinya
Kakak pernah cerita kalau dia punya teman yang dikenal
melalui internet. Kalau tidak salah, Kakak juga pernah bilang
namanya. Alan mengerutkan keningnya. Bibirnya mengkerut.
Wajahnya memang seperti itu kalau sedang mencoba
mengingat sesuatu. Siapa yah namanya? Mira, Mimi, Maria,
Maya atauAlan mencuri pandang ke arah Mia mimpi buruk?
Alan terkikik geli. Habis dengan sikap seperti itu, siapa pun

yang pernah bertemu dengannya bisa mengalami mimpi


buruk. Ah, udah ah. Aku nggak ingat. Lebih baik tunggu Kakak
saja, biar semuanya jelas. Biar tahu rasa kau. Oh indahnya.
Aku tidak sabar menunggu dia meminta maaf padaku.
Mia merasa ada yang memandanginya. Dia melirik
makhluk tampan yang memegang majalah. Sadar dirinya
ketahuan sedang mengamat amati, Alan berlagak sibuk
membaca.
Mata Mia tertuju pada layar televisi tetapi pikirannya
tidak. Dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Alan di
rumah itu. Selain itu dia merasa tidak enak karena telah
bersikap kasar padanya. Walaupun dia menegaskan tidak
percaya kalau Alan itu adik Helen, sebenarnya hati kecil Mia
berkata lain. Suara hatinya membenarkan kalau Alan itu adik
Helen.
Mia melirik Alan yang masih asyik membaca. Dia
mengumpulkan seluruh keberaniannya dan bertanya pada
Alan, Apa kau mau minum sesuatu?
Alan mengangkat wajahnya dan melemparkan
senyumnya yang menawan pada Mia. Tidak, terima kasih.

91

Kalau aku mau, aku bisa mengambilnya sendiri, tolak Alan


halus.
Mia mengangkat bahu. Terserah.
Hmm, jadi Kak Helen menyuruhmu tidur di situ, Alan
menunjuk kamar yang ditempati Mia dengan kepalanya.
Mia mengangguk. Helen bilang adiknya sering tidur di
situ kalau sedang bertengkar dengan orangtuanya.
Apa kau tahu itu artinya apa?
Mia menggeleng tidak mengerti.
Itu artinya kau akan tidur di atas kasur yang biasa aku
tiduri, bisik Alan. Matanya bersinar jenaka.
Namun, Mia tidak memperhatikan mata Alan. Dia terlalu
panik karena membayangkan tidur di ranjang yang sama
dengan pria yang kerap menggodanya itu. Bagaimana kalau

sigenit ini memang adik Helen? Bagaimana kalau ternyata


seprainya belum diganti? Pikiran Mia benar benar kalut.

Tiba tiba saja Alan sudah berdiri di samping Mia. Dia


menepuk pelan kepala Mia. Aku tahu apa yang kau pikirkan.
Kakakku tidak mungkin menerima tamu kalau dia belum
membersihkan semuanya. Apalagi dia itu orangnya super
bersih. Dia pasti sudah mengganti sepreinya.
Mia menoleh. Darimana kau tahu?
Ya, wajar dong kalau aku tahu. Dia kan kakakku. Jadi
aku mengenal kebiasaannya dengan baik.
Keduanya kembali diam membisu. Alan sudah kembali
ke sofanya dan asyik berkutat dengan majalahnya sedangkan
Mia memusatkan perhatian pada layar televisi. Tanpa mereka
sadari, keduanya sering saling mencuri pandang.
Alan pelan pelan menggeser majalahnya dan melirik
ke Mia. Ternyata pada saat yang bersamaan, Mia juga sedang
menatap ke arahnya. Merasa tertangkap basah keduanya
membuang muka.

Benar benar deh cewek yang satu ini. Dari tadi aku
tidak bosan memandangi wajahnya. Aku penasaran sekali ingin
tahu namanya. Apa namanya sama menariknya dengan
wajahnya yah, Alan bertanya tanya dalam hati. Hei Non,

panggil Alan.
Mia yang mulai asyik menonton televisi menoleh. Apa?
Duduk sini, Alan menepuk nepuk sofa. Ada yang
mau kutanyakan.

92

Mia memandang ngeri. Aku duduk di sini saja. Tanya


saja dari situ.
Kau ini. Kalau duduknya berdekatan kan lebih akrab.
Kau takut aku menyentuhmu yah? goda Alan.
Siapa yang takut? Aku hanya lebih nyaman duduk di
sini.

Baru kali ini aku bertemu dengan perempuan yang


susah diajak bicara. Biasanya perempuan yang baru kutemui
selalu dengan senang hati memperkenalkan diri mereka
padaku. Siapa namamu?

Ngapain nanya nanya?


Alan berusaha menahan diri melihat tingkah Mia.
Karena ini kedua kalinya kita bertemu dan sampai sekarang
aku belum tahu namamu.
Apalah artinya sebuah nama?
Alan tersenyum kecut mendengar jawaban Mia. Kau
tidak mau memberitahuku yah siapa namamu?
Aku tidak bisa memberitahumu karena aku belum yakin
sepenuhnya mengenai identitasmu. Lagipula, kalau kau
memang benar adik Helen, seharusnya kau tahu namaku,
senyum kemenangan menghiasi wajah Mia.
Oops. Mampus aku. Ya, sudah kalau nggak mau bilang.
Aku nggak bakalan maksa. Dasar cewek keras kepala. Aku
mau pergi. Aku titip tas, Alan bangkit dari sofa dan bergegas
pergi.
Hei, mana boleh kau seenaknya titip tas di rumah
orang.
Peraturan dari mana itu? Sudah berapa kali kubilang?
Ini kan rumah kakakku. Jangankan menitip tas, menginap di
sini pun aku bisa, kata Alan cuek.
Mia mau membantah ucapan Alan tetapi dia
mengurungkan niatnya setelah Alan menunjukkan raut wajah
serius.
Sebelum memegang handel pintu Alan menoleh ke Mia
yang masih berdiri mematung. Kau pernah pacaran, Nona?
Ngapain nanya nanya begituan?
Karena setahuku cewek yang nggak pernah pacaran
biasanya selalu bersikap galak pada pria asing.
Pendapat bego dari mana tuh? tanya Mia ketus.

93

Alan tersenyum, Sudah kuduga kau tidak akan


mempercayainya. Dengar baik baik Nona. Aku ini sudah
banyak makan asam garam dalam berhubungan dengan
perempuan. Jadi bisa dibilang aku cukup mengenal kaum hawa
dengan baik, celoteh Alan panjang lebar. Dia berbicara seolah
olah yang ada di hadapannya anak kecil.
Mia melemparkan pandangan mencemooh. Dia berjalan
mengekor Alan menuju pintu rumah.
Oh ya? Alan berhenti mendadak di depan pintu
rumah sehingga Mia tidak sengaja menabrak punggungnya.
Apa lagi sih? bentak Mia. Mau pergi saja susah
betul.
Kau tidak ingin tahu aku mau pergi ke mana?
Untuk apa? Kau ini pacar juga bukan. Teman juga
bukan. Jadi aku tidak peduli kau mau pergi ke mana, gerutu
Mia.
Walaupun Mia sudah menunjukkan ketidaktertarikannya
ke mana Alan hendak pergi, lelaki itu tidak peduli. Dengan
tenang ia memberitahu ke mana ia akan pergi.
Aku mau bertemu dengan Kak Helen, ujarnya.
Karena kau tidak mau memberitahuku siapa namamu, maka
aku langsung menanyakannya pada Helen. Aku yakin dia pasti
dengan senang hati akan memberitahuku siapa gadis
pemberang dengan logat lucu yang saat ini tinggal di
rumahnya.
Mata Mia terbelalak. Kau pasti bercanda.
Alan tersenyum senang melihat reaksi Mia. Dia
mengambil ponsel dari sakunya lalu menekan sejumlah nomor.
Kak Helen? Ini aku Alan. Kau sedang di kantor yah? Apa
urusanmu sudah selesai? Apa kita bisa bertemu? Kita ketemu
di Mal Kelapa Gading saja. Di food court jam tujuh malam.
Mia melongo. Dia tidak tahu harus bicara apa.
Jangan pasang tampang bloon begitu ah. Kau jadi gak
cantik lagi, Di luar dugaan Mia, Alan dengan cueknya hendak
mengelus pipinya yang mulus. Refleks Mia langsung
menghindar. Dia langsung pasang kuda kuda.
Jangan kurang ajar yah. Ngapain pegang pegang?
semburnya.
Alan hanya tertawa geli. Dia sama sekali tidak takut
dengan amarah Mia. Dia hanya melipat tangannya dan

94

mengamati Mia dari atas sampai bawah. Aha, jadi kau bisa
yah? cetus Alan kagum.
Iya, dan aku sama sekali tidak akan ragu
menggunakannya terhadap laki laki kurang ajar.
Alan bertepuk tangan. Kau ini benar benar
mengagumkan. Sudah cantik, galak bisa beladiri juga. Kapan
kapan, kalau aku ada waktu, kita bisa bertanding, kata Alan.
Mia terbengong bengong.
Ngomong ngomong, apa kau sudah bekerja? Kalau
belum, kusarankan untuk melamar jadi satpam atau polisi. Kau
benar benar berbakat untuk pekerjaan seperti itu, tegas
Alan sungguh sungguh.
Mia terpana. Apa apaan sigenit ini? Masa dia
menyuruhku jadi satpam atau polisi. Hei daripada
menghinaku terus lebih baik kau pergi. Kalau memang benar
kau akan bertemu dengan Helen, jangan biarkan dia
menunggu.
Baik Bu! Alan bersikap memberi hormat seolah olah
di hadapannya ada polisi. Mia sampai cemberut dibuatnya.
Alan tertawa ngakak dan masuk ke dalam mobil. Dia
menyalakan mesin mobil dan menurunkan kacanya. Kau tahu,
Nona?
Apa lagi? Kenapa belum pergi pergi juga sih?
Belum pernah aku sesenang ini berbicara dengan
seorang wanita.
Apa kau sedang merayuku?
Alan tidak menjawab. Dia hanya melemparkan
senyumnya yang paling menawan dan langsung melesat bak
meteor dengan Mitsubishi Estradanya meninggalkan Mia yang
berdiri di depan rumah. Dasar genit, Mia mencibir.
***
Alan menyetir seperti pembalap profesional. Sebentar
sebentar dia melihat jam casio G shocknya. Sudah jam

setengah tujuh dan aku masih di jalan tol. Kalau sampai Kakak
sampai duluan bisa diceramahi aku, pikir Alan.
Begitu keluar tol, Alan mengarahkan mobilnya ke Mal
Kelapa Gading. Mal di Jakarta bagian utara itu biasanya selalu
dipenuhi pengunjung pada hari Sabtu. Alan merasa khawatir
dia bakalan susah mendapatkan tempat parkir. Setelah

95

mobilnya diperiksa petugas keamanan, dia langsung menuju


tempat parkir.
Alan merasa gusar karena setiap lantai parkir penuh dan
tidak ada tempat sama sekali. Dia melirik jam tangannya.

Sudah jam tujuh lewat lima menit. Astaga, aku terlambat.


Mudah mudahan saja, Kakak belum datang. Akhirnya Alan

menemukan tempat parkir di lantai tiga. Setelah memarkir


mobilnya dia langsung bergegas masuk ke dalam mal dan
menuju food court. Matanya mencari cari sosok Helen.
Namun, dia tidak kunjung menemukannya. Alan pun memilih
duduk di depan stan Bakmi Naga. Sebelumnya, dia
menyempatkan diri memesan minuman dan membayarnya.
Setelah duduk, Alan mengambil ponselnya dan
memencet nomor Helen. Halo Kak. Di mana kau? Kenapa
belum sampai?
Aku di belakangmu, terdengar suara perempuan. Alan
menoleh. Dia tersenyum cerah melihat kedatangan Kakak
perempuan yang sangat disayanginya. Halo Kak, sapanya.
Halo adikku sayang, balas Helen. Dia duduk tepat di
hadapan Alan. Ada apa kau menyuruhku ke sini? Kenapa
tidak datang ke rumah saja?
Tadi aku ke rumahmu.
Oh ya? Jadi kau sudah bertemu
Ya, aku sudah bertemu dengannya, Alan meminum
jus jeruknya.
Dia memandangi wajah Helen yang sangat dikaguminya
itu. Siapa dia Kak? Soalnya aku tanya siapa namanya, dia
tidak mau menyebutkan. Aku sudah bilang kalau aku adalah
adikmu, tetapi dia tidak percaya. Bahkan, aku sudah
memperlihatkan foto kita berdua dan memberitahu namaku
tetapi tetap saja dia bersikap keras kepala.
Helen tersenyum. Rasanya aku bisa menduga apa yang
terjadi. Kalian pasti bertengkar.
Alan tertawa getir. Dia gadis yang menarik. Tetapi
Alan menggantung ucapannya. Dia galak sekali seperti
serigala. Aku akan memberi hormat jika ada pria yang tahan
dengan perilakunya itu.
Helen tertawa geli mendengar keluh kesah adiknya.
Kau pasti kaget sekali melihat ada perempuan yang bersikap
galak padamu.

96

Alan mengangkat tangannya. Dia menghela napas. Aku


kaget juga sih. Soalnya selama ini, tidak ada perempuan yang
bersikap kasar padaku. Tapi, oh Tuhan! Kak, dia sangat
menarik sekali. Dia nggak cantik tetapi wajahnya itu loh.
Menarik sekali. Bagaimana mengatakannya yah? Wajahnya
bisa dibilang misterius. Hanya saja tertutupi dengan sifat
galaknya itu. Siapa sih namanya?
Bukannya aku pernah memberitahumu?
Alan cengengesan. Lupa.
Helen terdiam. Jari jari tangan kanannya mengetuk
ngetuk meja. Namanya Mia, ujarnya pendek. Nama
lengkapnya sih Miana Hendrawan. Aku mengenalnya melalui
internet. Kami sering chatting dan kirim kiriman email. Itu
sudah berlangsung selama bertahun - tahun. Aku juga sudah
tiga kali mengunjunginya di Medan.
Alan manggut manggut. Ia ingat sekarang. Ya, Kakak

pernah menyebutkan nama itu. Jadi nama sipemberang itu


Miana Hendrawan dan biasa dipanggil Mia. Ternyata namanya
sama menariknya dengan siempunya. Apa yang dia lakukan di

Jakarta?
Aku yang mengajaknya. Dia baru saja mengalami
peristiwa yang tidak mengenakkan.
Alan jadi semakin tertarik dengan kehidupan Mia. Apa
itu? tanya Alan ingin tahu.
Itu rahasia adikku sayang, kata Helen.
Namun, Alan tidak menyerah mendengar penolakan
Helen. Ayolah, Kak. Kasih tahu. Peristiwa tidak mengenakkan
apa yang baru dialami Mia? Alan mengeluarkan rayuan
mautnya.
Sia sia saja Alan membujuk Helen. Kakaknya itu
bersikukuh tidak mau memberitahu rahasia Mia. Maafkan aku,
Lan. Aku sudah berjanji pada Mia untuk merahasiakannya.
Kalau kau mau tahu, tanya saja langsung pada orangnya.
Siapa tahu dia dengan senang hati akan memberitahumu,
goda Helen.
Alan cemberut. Bagaimana mau tanya tentang
rahasianya? Namanya saja sampai setengah mati aku ingin
tahu, tetap saja dia tidak memberitahu, gerutu Alan.

97

Kan tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu untuk


menghargai usahamu, dia akan memakimu misalnya, celoteh
Helen.
Muka Alan berubah masam. Ah, sudahlah, dia
mengibaskan tangannya. Peduli amat dia punya rahasia apa.
Aku bisa hidup kok tanpa tahu rahasianya. Lagipula nggak ada
untungnya buatku, gerutu Alan. Oh ya, Kak. Malam ini aku
nginap di rumahmu yah?
Helen terkejut mendengar permintaan adiknya itu. Ada
apa lagi, Lan? Apa kau bertengkar lagi dengan Papa?
Alan tidak menjawab. Dia meminum lagi jus jeruknya.
Aku lapar. Aku mau pesan makanan dulu. Apa kau mau?
Samakan saja dengan pesananmu.
Yakin nih? Soalnya aku mau pesan semur jengkol,
canda Alan.
Helen mendelik. Alan hanya tertawa jahil lalu berjalan
menuju stan Bakmi Naga yang berada tidak jauh dari mejanya.
Dia memesan dua porsi mie ayam pangsit goreng. Setelah
membayar di kasir, Alan kembali ke mejanya.
Kau belum menjawab pertanyaanku, Lan, tuntut
Helen.
Yeah, kau benar. Aku bertengkar dengan Papa. Dia
memarahiku habis habisan karena kemarin aku tidak datang
ke kantor.
Memangnya ke mana kau?
Aku kesiangan. Aku bangun jam duabelas siang.
Karena kurasa nanggung jadi aku nggak ke kantor. Habis
kemarinnya temanku ada yang ulang tahun dan kami pesta
semalam suntuk. Aku pulang jam lima pagi, jelas Alan
panjang lebar.
Helen geleng geleng kepala mendengar penjelasan
adiknya itu. Duh, Lan. Terang saja papa marah. Kau ini benar
benar keterlaluan. Temanmu itu juga. Masa bikin pesta di
hari orang biasa kerja.
Karena dia berulang tahun tepat di hari itu, bela Alan.
Kenapa dia tidak mengadakan hari Sabtu?
Dia ingin merayakan berdua saja dengan kekasihnya.
Ada yang tidak kumengerti di sini. Kau pesta Kamis
malam sampai Jumat dini hari. Terus kau tidur di mana.

98

Ya, itu dia. Aku tidur di rumahnya. Aku baru pulang


Sabtu pagi tadi, Alan cengengesan.
Alan, Alan. Kapan kau berubah? Helen menunjukkan
keprihatinannya.
Kak, kemarin itu aku benar benar kebablasan.
Mereka itu teman lamaku dan kami sudah lama sekali tidak
berjumpa. Jadi pesta itu bisa dibilang semacam reuni juga,
Alan berkilah.
Tapi semalam suntuk, Lan? Apa kau tidak ingat kalau
keesokan harinya kau kerja?
Alan tidak menjawab.
Katakan padaku, Lan. Apa kau tidak merasa lelah
menjalani kehidupan seperti ini?
Percayalah Kak. Aku juga ingin berubah tetapi sulit
sekali.
Helen
menghela
napas.
Aku
tidak
berhak
menghakimimu. Kau sudah dewasa dan bebas melakukan
apapun yang kau mau. Helen menopang dagunya. Aneh
sekali, tadi, waktu aku ke rumah, Mama dan Papa tidak bilang
kalau kalian bertengkar.
Apa yang kau lakukan di rumah?
Aku mengantarkan oleh oleh Mia pada Mama dan
Papa.
Alan mendengus. Aku tidak tahu kenapa mereka
bersikap begitu. Ngomong ngomong, apa aku dibolehkan
menginap di rumahmu, Kak? tanya Alan hati hati.
Habis, mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin
membiarkanmu tinggal di rumah temanmu dan membuat
kesalahan yang sama. Lagipula bukannya kau selalu menginap
di rumahku setiap bertengkar dengan Papa?
Helen melirik adiknya yang memasang wajah bersalah.
Tetapi ingat. Kau tidur di sofa. Kamarmu sudah ada yang
menempati dan aku tidak mau kau tidur di kamarku. Itu
hukuman untukmu, tegas Helen.
Terima kasih Kak.
Ngomong ngomong setelah bertengkar dengan Papa
kau ke mana? Kau bertengkarnya pagi kan? Siangnya kau ke
mana?
Aku menjemput teman di bandara.

99

Yang benar? Jadi tadi siang kau ke bandara. Tapi kok


kita nggak ketemu yah?
Kakak datangnya jam berapa?
Aku datang jam tiga lewat limabelas menit. Kau datang
jam berapa?
Terang saja kita nggak ketemu. Aku jam tiga sudah
meninggalkan bandara
Iya, ya, Helen manggut manggut.
Apa kau tahu Kak? Di bandaralah aku pertama kali
bertemu dengan Mia.
Oh ya? Ini benar benar suatu kebetulan yang
mengagumkan. Tetapi tunggu dulu, jangan diteruskan.
Rasanya aku bisa menebak. Kau menggodanya yah?
Aku tidak menggodanya, aku hanya ingin berkenalan
dengannya saja. Aku melihat dia duduk sendirian, ya sudah
aku ajak dia berkenalan. Tetapi siapa sangka, dia galak sekali.
Helen terbahak. Sekarang aku mengerti kenapa dia
tidak percaya kau adikku.
Alan tidak menanggapi. Dia hanya tersenyum kecut.
Helen memegang tangan Alan yang terletak di atas
meja. Alan, karena kau akan menginap di rumahku, aku minta
agar kau tidak mengganggunya. Dia itu cewek yang baik. Dia
sangat berbeda dengan teman teman wanitamu.
Alan terlihat gusar. Darimana kau tahu kalau dia anak
yang baik? Anak yang baik setahuku tidak galak kepada orang
yang mengajak berkenalan.
Kalau yang mengajak berkenalan pria sepertimu, wajar
kalau para wanita baik baik merasa khawatir.
Kakak ini, Alan mulai sewot. Memangnya aku terlihat
seperti lelaki hidung belang?
Aku tidak bilang begitu ucapan Helen terputus
karena pesanan mereka baru saja diantar.
Helen melanjutkan, Aku tidak bilang kau lelaki hidung
belang. Tetapi reputasimu sebagai penakluk wanita benar
benar tergambar jelas dalam setiap tingkah lakumu, Lan. Jadi
wajar saja, Mia bersikap seperti itu. Kau mengerti maksudku
kan?
Ya, ya, aku mengerti. Sekarang apa aku boleh
memakan mie ayam ini?

100

Tidak ada yang melarangmu, sahut Helen. Aku juga


mau makan.
Sepasang kakak adik itu menyantap mie ayam tanpa
bicara sepatah katapun. Sejak kecil Helen dan Alan memang
diajarkan orangtuanya agar tidak makan sambil bicara karena
tidak sopan. Mereka asyik memakan mie ayam itu sampai
habis tak bersisa.
Ah, kenyang sekali rasanya.
Lan, sebaiknya kita pulang. Soalnya Mia sendirian.
Tunggu. Aku menghabiskan minumanku dulu.
Setelah menghabiskan makanan dan minuman masing
masing, sepasang bersaudara itu bergegas pergi dari food
court.
Kau parkir di mana?
Aku parkir di lantai tiga, jawab Alan tanpa menoleh.
Dia asyik cuci mata dengan cewek cewek yang berseliweran
di mal itu.
Kebetulan sekali. Aku juga parkir di sana. Helen
menoleh. Betapa kagetnya dia saat tidak menemukan Alan di
sampingnya. Lebih kaget lagi dia, ketika melihat Alan sedang
berbincang dengan serombongan gadis yang berdandan
modis.
Anak ini. Sempat sempatnya. Alan! seru Helen
sehingga menarik perhatian orang orang yang lalu lalang.
Alan menoleh lalu segera mohon diri dari hadapan gadis
gadis itu. Dia berjalan tergopoh gopoh. Dia cengegesan.
Maaf Kak, cetusnya santai.
Helen tidak tahu harus bicara apa. Soalnya dia sudah
hapal betul dengan kebiasaan Alan yang satu ini. Alan, kalau
kau masih mau berada di mal ini, silakan saja. Aku tidak akan
melarangmu.
Nggak Kak. Aku ikut pulang denganmu.
Kalau begitu berhentilah bersikap layaknya seorang
playboy. Setidaknya untuk saat ini! Aku punya seorang teman
dari luar kota yang sedang sendirian di rumah dan dia mungkin
sedang menungguku! sembur Helen galak.
Iya, aku mengerti. Jangan marah gitu dong, Alan
menenangkan kakaknya.
Mereka pun melanjutkan perjalanannya menuju tempat
parkir.

101

Oh ya, Kak. Tadi kau bilang Mia dari luar kota. Dari
kota apa? tanya Alan ingin tahu.
Medan, jawab Helen pendek.
Sekarang aku tahu darimana logatnya berasal, Alan
nyengir.
Helen berhenti melangkah dan mempelototi Alan.
Adiknya itu jadi salah tingkah. Jangan bicara seperti itu
tentang dia, Lan. Aku tidak suka! tegas Helen.
Iya, aku minta maaf, sesal Alan.
Mereka pun kembali berjalan.
Kau sudah dua kali bertemu dengannya. Bagaimana
menurutmu? tanya Helen tiba tiba.
Dia tidak terlalu cantik, tetapi kuakui ada yang menarik
dari wajahnya. Penuh dengan misteri. Kadang kadang
terlihat sedih. Tetapi dia sangat angkuh, kurang ramah dan
curigaan.
Kalau diajak berkenalan pria bertampang genit
sepertimu, aku mungkin akan bersikap sama, kata Helen
kalem.
Alan cemberut, Tega teganya kau bilang aku genit.
Memang itu kenyataannya kok. Nah, kita sudah sampai
di tempat parkir. Kita berpisah di sini. Sampai ketemu di
rumah.
Sepasang kakak beradik itu berpisah untuk sementara.
Keduanya berjalan menuju mobil masing masing.
Saat menyetir mobilnya, Alan bertingkah seperti orang
yang kurang waras. Dia tersenyum senyum sendiri setiap
membayangkan bagaimana reaksi Mia saat melihat dia pulang
bersama dengan Helen.
***
Sementara itu, Mia mondar mandir di teras rumahnya.

Sudah jam sembilan malam kenapa Helen belum pulang juga


yah? Apa terjadi sesuatu?

Tidak tahan digigiti nyamuk, Mia memilih kembali ke


dalam rumah. Dia duduk di sofa dan menyalakan televisi.
Tetapi hanya bertahan sebentar. Menyebalkan sekali. Ini kan

hari Sabtu tetapi kenapa tidak ada acara yang enak,


gerutunya.

Dia melihat lihat koleksi vcd Helen. Tetapi tidak ada


satupun judul yang menarik perhatiannya. Lebih baik aku baca

102

novel saja. Mia masuk ke kamarnya. Ketika hendak mengambil


novel, mata Mia tertumbuk pada tumpukan ransel milik Alan
di sudut kamarnya.
Ah, aku lupa tas sigenit itu masih di sini. Mia duduk di
tepi tempat tidurnya sambil memandangi tumpukan tas itu.
Apa benar sigenit itu bertemu dengan Helen, yah? Benak Mia
dipenuhi berbagai pertanyaan seputar Alan. Apa yang harus

kulakukan dengan tasnya seandainya dia tidak kembali? Aku


harus bilang apa pada Helen? Saking asyiknya melamun, Mia

tidak mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah.


Ah, lebih baik tas ini kukeluarkan saja. Mia mengambil
ransel itu dan membawanya keluar dari kamar.
Mau kau bawa ke mana tasku? Jantung Mia hampir
saja copot mendengar suara itu. Dia menoleh untuk mencari
sumber suara. Betapa terkejutnya dia melihat Alan dan Helen
berdiri berdua.
Helen, kau sudah pulangbersama dengannya cetus
Mia salah tingkah.
Halo Mia, Alan tersenyum nakal dan melambaikan
tangannya.
Helen jadi merasa tidak enak melihat sikap Mia jadi
serba salah. Mia, Alan sudah menjelaskan semuanya padaku.
Jadi, benar dia adikmu? suara Mia bergetar karena
gugup.
Helen mengiyakan.
Sekarang aku menunggu permintaan maaf, tuntut
Alan terus terang.
Helen mendelik ke arah Alan. Matanya seolah olah
memperingatkan Alan untuk tidak berbuat macam macam.
Kau tidak perlu minta maaf, Mia. Aku mengerti kok
kalau kau salah paham dengan pria seperti Alan, Helen
menenangkan.
Kakak ini bagaimana sih? Aku sudah dikasari, kakak
malah bilang supaya dia tidak perlu minta maaf. Ini tidak adil,
protes Alan.
Aku minta maaf, cetus Mia mengagetkan dua
bersaudara itu.
Aku tidak dengar. Bisa kau ulangi lagi, pinta Alan
cuek. Dia pura pura tidak melihat lirikan tajam dari Helen.

103

Aku minta maaf karena tidak mempercayaimu, kata


Mia dengan suara lebih keras dan jelas.
Sebenarnya aku masih sulit menerima kenyataan
dikasari olehmu. Tetapi demi menghormati kakakku, maafmu
diterima.
Mia menarik napas lega. Terima kasih, ucapnya tulus.
Helen bertepuk tangan. Sekarang masalahnya sudah
beres. Bagaimana kalau kalian berjabat tangan? Sebagai tanda
kalau kalian sudah berdamai dan perkenalan secara resmi?
Helen memandang dua makhluk menawan di depannya itu.
Alan yang duluan mengulurkan tangan. Sementara Mia
terlihat ragu ragu.
Namaku Alain Harsono. Kau bisa memanggilku Alan.
Akhirnya Mia membalas uluran tangan Alan. Miana
Hendrawan. Panggil saja Mia.
Helen merasa lega melihat Alan dan Mia saling berjabat
tangan. Karena kalian sudah berdamai, kuharap kalian bisa
berteman dengan baik.
Entahlah Kak. Aku tidak yakin bisa berteman dengan
Mia apalagi melihat sifatnya, celutuk Alan terus terang. Mia
sampai malu mendengarnya.
Aku juga tidak berharap berteman dengan pria genit
sepertimu, balas Mia.
Helen tiba tiba merasa pusing. Kedua orang ini sama

saja. Baru berdamai sudah saling mengejek. Mudah


mudahan aku bisa sabar menghadapi mereka berdua.
Hentikan! Helen melerai mereka. Tidak bisakah kalian
bersikap layaknya orang dewasa?
Alan dan Mia tidak menjawab. Mereka saling
melemparkan pandangan permusuhan.
Selama kalian berada di rumahku, aku tidak mau
mendengar ada pertengkaran. Kalian mengerti? tuntut Helen.
Alan dan Mia mengangguk ogah ogahan. Sebenarnya
dalam hati mereka tidak janji bersikap seperti itu tetapi demi
menghormati Helen terpaksa mereka pura pura berdamai.
Sekarang lebih baik kita semua beristirahat.
Apa? Ini kan baru jam sepuluh malam, protes Alan.
Helen menatap tajam Alan. Kau mau menurutiku atau
tidak, itu terserah padamu tetapi aku sudah terlalu lelah untuk
berdebat denganmu, Lan.

104

Alan terpaksa
menyetujui kakaknya. Kalau dia
menentangnya bisa bisa dia ditendang keluar dari rumah.
Mia sebenarnya sama seperti Alan. Dia paling lambat
tidur jam duabelas malam. Tetapi dia tidak berani membantah
Helen. Dia ingat statusnya di rumah itu adalah sebagai tamu.
Helen menepuk keningnya. Hampir saja lupa. Kau
sudah makan, Mia?
Mia mengangguk. Tadi aku memanaskan makanan
yang ada di kulkas. Kuharap kau tidak marah, Mia tersipu
malu.
Oh tidak. Kenapa harus marah. Aku justru senang kau
menganggap rumahku ini seperti rumahmu sendiri, kata
Helen sungguh sungguh.
Mia tersenyum simpul. Sebaiknya aku tidur. Selamat
malam semuanya.
Selamat malam Mia. Mimpi yang indah, balas Helen.
Alan, kau tidak membalas ucapan Mia?
Selamat malam, Mia, sahut Alan dengan malas
malasan.
Mia hanya tersenyum tipis melihat tingkah Alan. Dia
menghilang di balik pintu kamarnya.
Sementara itu Helen sibuk mengambil perlengkapan
tidur untuk Alan.
Ini bantal dan selimut. Buat dirimu merasa nyaman.
Makasih Kak.
Aku tidur dulu. Selamat malam, Lan.
Kak, panggil Alan.
Helen menoleh.
Aku harap Kakak tidak bilang pada Mama dan Papa di
mana aku tidur.
Kenapa? tanya Helen tidak mengerti.
Aku malas menghadapi mereka. Saat ini hubunganku
dengan Mama dan Papa benar benar buruk. Aku sudah tidak
tahan lagi tinggal di rumah. Mereka selalu menyuruhku
melakukan apa yang tidak aku sukai. Aku kan bukan anak kecil
lagi. Coba bayangkan, aku pernah dibiarkan terkunci di luar
hanya karena terlambat pulang. Aku tahu kalau aku ini anak
laki - laki yang paling kecil , tetapi bukan berarti mereka bisa
menekanku begitu saja.

105

Tetapi pada kenyataannya kelakuanmu itu seperti anak


kecil. Kau selalu bergonta ganti pacar. Pada saat kau
menghadapi masalah dengan keluarga pacarmu, selalu kami
yang menyelesaikan agar tidak terjadi skandal. Kau harus
merubah sifat playboymu itu.
Kak, aku bukan seorang playboy. Mereka hanya teman,
Kak.
Teman dengan keuntungan, maksudmu?
Terserah Kakak mau bilang apa. Tapi sekarang, aku
mulai berpikir untuk punya rumah sendiri.
Apa? Helen terkejut.
Kalau aku sudah terkurung di luar, aku sering bingung
mau menginap di mana. Andi dan Ari tidak mau menerimaku.
Mereka bilang, aku bisa memberikan contoh yang buruk
kepada anak anaknya. Padahal aku kan tidak punya sifat
buruk. Aku ini anak yang baik. Tidak kecanduan narkoba
ataupun alkohol. Aku juga tidak pernah berfoya foya.
Memang aku sering pulang malam. Tetapi itu kan tidak bisa
dijadikan alasan. Itu makanya aku selalu ke rumahmu, kalau
aku tidak punya tempat menginap.
Helen menghela napas sambil memandang adiknya
yang tampan itu. Apa kau pernah mengutarakan keinginanmu
itu?
Alan mengangguk. Tapi setiap aku mengatakan tinggal
sendirian, mereka tidak mengijinkan. Mereka bilang,
membiarkanku tinggal sendirian bagaikan menanam investasi
yang sia sia. Coba kau bayangkan, Papa menyamakanku
dengan kegiatan bisnisnya! Mereka baru mengijinkanku tinggal
terpisah kalau sudah menikah. Menikah! Yang benar saja.
Tidak terbersit sedikitpun dalam pikiranku.
Kalau begitu adanya, kau tidak akan pernah bisa
tinggal sendiri, Lan! tegas Helen. Selamat malam, Lan,
Helen meninggalkan Alan yang termangu di atas sofa.

106

BAB 6
Siang itu cuaca cukup panas. Karena itu Helen, Alan dan
Mia memilih menghabiskan waktu dengan bersantai di rumah.
Hawa di dalam rumah cukup sejuk karena AC.
Helen membolak balik koran. Dia menoleh ke Mia
yang asyik membaca novelnya. Mia, kalau kau ingin melihat
lowongan kerja, aku sarankan untuk beli koran Kompas edisi
Sabtu dan Minggu. Lowongan kerja banyak pas hari itu saja,
beritahu Helen.
Ya, aku tahu itu. Soalnya koran terbitan Medan dan
Jakarta kan sama isinya.
Oh iya, aku lupa, Helen tersenyum malu. Kau kan
lulusan fakultas ekonomi, aku rasa lowongan yang
berhubungan dengan latar belakang pendidikanmu banyak.
Aku ingin jadi guru, sahut Mia lugas.
Alan yang sedang berkutat di depan laptopnya tertegun
mendengar keinginan Mia barusan. Dia menegakkan
badannya. Jadi guru? Apa yang ada di benaknya, sampai dia
memilih profesi guru. Alan melirik Mia. Dia juga memasang
telinganya supaya dia bisa mendengar percakapan Helen dan
Mia.
Kenapa kau ingin jadi guru? tanya Helen penasaran.
Sederhana saja. Itu sudah menjadi cita citaku sejak
kecil.
Mulia sekali cita citamu itu, celutuk Alan.
Tapibagaimana kau mengajar dengan sifat seperti itu?
Mia terlihat bingung. Maksudmu?
Alan menutup laptopnya lalu berdiri. Sejak pertama kali
aku bertemu denganmu, aku bisa melihat kau ini orang yang
gampang marah, Mia. Dan menurutku orang pemarah tidak
pantas jadi seorang guru, kata Alan terus terang. Wajah Mia
sampai memerah mendengarnya. Menghadapi anak sekolah
itu tidak mudah loh. Dibutuhkan kesabaran yang sangat
tinggi, lanjut Alan lagi. Dia memasang wajah polos dan seolah
tidak tahu apa apa. Jelas sekali, dia sama sekali tidak ambil
pusing dengan raut wajah Mia yang memerah.
Helen bisa merasakan suasana mulai memanas. Saat itu
juga Helen bisa melihat dengan jelas kalau Alan masih sulit
memaafkan sikap Mia terhadap dirinya. Makanya dia berani

107

bicara blak blakan. Biasanya Alan selalu bisa mengontrol diri.


Bagaimana kalau kita jalan jalan? usul Helen tiba tiba.
Dia memutar wajahnya ke kiri dan kanan untuk melihat reaksi
kedua orang yang sedang bersitegang itu.
Mia tidak menanggapi usulan Helen. Emosinya sudah
tidak tertahankan lagi. Sebenarnya Mia bukan orang yang
emosian. Hanya saja sejak kejadian yang menimpanya,
emosinya jadi labil. Namun, selagi bisa dia pasti berusaha
untuk menahannya mati matian.
Dia menghajar Alan dengan tatapan sedingin es. Jadi
menurutmu, aku ini tidak pantas menjadi seorang guru, Mia
berkata dengan suara datar.
Alan mengangguk tanpa keraguan. Helen sampai gemas
melihatnya. Menjadi guru itu tidak gampang. Dibutuhkan
kesabaran dan kepintaran. Dan sejauh ini, aku tidak melihat itu
padamu, kata Alan sungguh sungguh.
Gigi Mia gemerutuk karena menahan amarah. Berani
sekali dia menilaiku sedemikian jelek. Kau baru dua hari
mengenalku, jadi tahu apa kau tentang diriku? cetusnya
dingin.
Jangan menilai orang sembarangan gitu dong, Lan.
Kau kan belum lama mengenal Mia, timpal Helen.
Alan menyadari kedua perempuan cantik yang ada di
depannya itu mulai kesal. Hei, aku hanya mencoba bersikap
jujur, Alan berusaha membela diri.
Jujur kepalamu, gerutu Helen dalam hati. Dia melirik
Mia yang masih terdiam. Helen khawatir, temannya itu jadi
naik darah gara gara ulah adiknya. Untuk urusan merusak
suasana hati orang, Alan memang jagonya.
Mia mendehem pelan. Dia melipat tangannya. Dia
menoleh ke Alan. Terima kasih atas kejujuranmu. Aku sangat
menghargainya.
Kuanggap
itu
sebagai
kritik
yang
membangun.
Helen dan Alan sama herannya. Rupanya mereka
berdua mengira Mia akan mengamuk.
Kau tidak marah? Alan bertanya dengan hati hati.
Tadinya aku memang marah. Tetapi sekarang tidak,
tandas Mia. Lagipula kau hanya bersikap jujur dalam
mengutarakan pendapat. Walau menyakitkan buatku tetapi

108

tidak apa apa. Toh aku tidak bisa melarang semua orang
mengkritikku bukan?
Wow, Helen takjub dengan kesabaran Mia. Kau hebat
sekali Mia. Kalau aku mendengar ada yang ngomong seperti
itu tentangku pasti kuberi pelajaran. Apalagi kalau dia adikku,
Helen melirik Alan yang salah tingkah.
Ah, sudahlah, Alan mengibaskan tangannya. Kita
sudahi saja perbincangan ini, cetus Alan lugas. Kalau

diteruskan bisa bisa terjadi baku hantam, Alan menggerutu.

Alan benar. Kita sudahi saja obrolan ini. Daripada kita


ribut mendingan kita jalan jalan. Apa rencanamu hari ini,
Mia? Apa kau berencana untuk pergi ke suatu tempat?
Tidak. Hari ini aku tidak ke mana mana. Lagipula aku
kan belum tahu banyak tentang Jakarta.
Oh iya, ya. Maaf, aku lupa. Ikutlah denganku. Kita
jalan jalan sekalian makan di luar. Kau ikut, Lan?
Mia sempat menunjukkan raut wajah tidak senang saat
Helen mengajak Alan. Tapi dia tidak melakukan apa apa
untuk mencegahnya. Dia hanya diam membisu.
Menarik juga. Oke, aku ikut dengan kalian.
Kita mau ke mana? tanya Mia.
Ke Mal Taman Anggrek saja yah? Alan meminta
persetujuan kakaknya.
Helen mengangguk.
Mendengar Alan yang menjawab, Mia malas bertanya
lebih lanjut.
***
Mia asyik melihat deretan gedung gedung bertingkat
yang terletak di sisi kiri dan kanan jalan tol dalam kota yang
mereka lalui.
Hal yang paling kubenci dari mal pada hari Minggu
adalah tempat parkir, Alan bersungut sungut. Susah sekali
mendapat parkir yang kosong. Pantasan saja semakin banyak
mal yang dibangun. Lha wong kegemaran orang Jakarta paling
utama, pergi ke mal, gumamnya lagi.
Akhirnya mereka sampai di Mal Taman Anggrek yang
terletak di Grogol, Jakarta Barat. Ternyata benar dugaan Alan,
tempat parkir penuh dengan mobil pengunjung. Setelah
berputar putar sekian lama akhirnya mereka menemukan
tempat parkir dekat pintu masuk.

109

Saat memasuki bagian dalam Mal Taman Anggrek, Mia


tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Berbeda sekali

dengan Medan Mal. Ini jauh lebih luas dan megah.

Alan tidak bisa menahan tawanya saat melihat wajah


Mia yang tercengang. Dasar orang udik. Seperti orang baru
keluar dari hutan saja, gumamnya. Tentu saja dia tidak berani
bilang terus terang pada Mia. Bisa bisa aku babak belur

dibuatnya.

Ayo, kita cuci mata, Helen menggandeng tangan Mia.


Mereka mengelilingi setiap jengkal dari Mal Taman Anggrek.
Sementara Alan mengekor di belakang mereka sambil sesekali
menggoda gadis gadis yang lewat.
Kakiku pegal sekali, keluh Mia.
Bagaimana kalau kita makan? Helen mengajukan usul.
Mau makan di mana? tanya Alan.
Kita ke Hartz Chicken Buffet saja yah? Sudah lama
sekali aku tidak makan di sana. Kangen juga makan
sepuasnya,celoteh Helen.
Tempat apa itu?
Kau tidak pernah mendengar nama Hartz Chicken
Buffet? Alan malah balik bertanya.
Mia menggeleng dengan wajah polos. Alan hampir
tergelak melihatnya. Wow, kemana saja kau selama ini? Itu
nama restoran, Non.
Mia tersipu malu. Alan sampai gemas melihatnya. Dia
jadi ingin mencubit pipi Mia tapi tentu saja dia mati matian
menahannya. Bisa dihajar aku, pikirnya.
Di sana kau bisa makan sepuasnya. Bagaimana? Kau
senang tidak mendengarnya?
Kenapa aku harus senang? Mia kelihatan bingung.
Karena dari wajahmu, aku bisa menebak kau itu suka
makan. Apa aku salah? terka Alan.
Seketika wajah Mia yang putih berubah menjadi merah
padam. Aku tidak suka makan, tandasnya.
Mata Alan bersinar jenaka. Dia tersenyum nakal.
Nggak papa kok. Memang jarang ada cewek yang mengaku
suka makan, sahutnya enteng tanpa memperdulikan wajah
Mia yang semakin merah.
Alan!
Helen
berteriak
galak.
Berhentilah
menggodanya!

110

Alan pura pura takut dengan omelan Helen padahal


dia ingin tertawa.
Mia menatap punggung Alan yang berada di depannya
dengan wajah sewot. Dia mengepalkan tangannya dan
mengacungkannya ke arah Alan. Dengan wajah yang masih
kesal dia berjalan menunduk mengikuti pasangan kakak
beradik itu.
Semoga saja kita dapat tempat duduk, Helen berharap
harap cemas. Dia tersenyum lega saat diberitahu ada meja
kosong. Ayo, setelah membayar dia menarik tangan Mia.
Sementara Alan mengekor di belakang mereka.
Kalau jam makan siang, susah sekali dapat tempat
duduk, Helen memberitahu Mia.
Ayo, apa lagi yang kau tunggu? Ambil saja makanan
yang ada sepuasnya, kata Alan.
Semuanya? Mia menatap tidak percaya.
Helen dan Alan mengangguk berbarengan. Alan
mengambil makanan sebanyak banyaknya. Mia sampai
melongo dibuatnya. Tadi dia menuduhku suka makan,

sementara dia? Seperti orang yang tidak pernah dikasih makan


saja. Mia hanya mengambil makan dan minum secukupnya.
Lalu dia kembali ke meja di mana Helen dan Alan sedang asyik
menikmati makanan yang mereka ambil.
Helen memperhatikan adik dan temannya yang sedang
asyik menyantap makanannya. Kurasa ini waktu yang tepat

untuk memberitahu mereka. Kuharap mereka tidak tersedak


karena terkejut. Helen menggeser minuman Mia dan Alan lebih

dekat dengan posisi mereka. Setelah mengumpulkan


keberaniannya, Helen mengingat ingat apa yang hendak
dikatakannya.
Dua minggu lagi, aku akan ke Jepang, kata Helen
mengejutkan Alan dan Mia. Dugaan Helen benar. Mereka
hampir tersedak. Untungnya Alan dan Mia langsung
menjangkau gelas berisi minuman yang ada di dekat mereka.
Sudah kuduga, Helen tersenyum.
Apa apaan ini, Kak? Kalau bercanda jangan pas
makan dong. Hampir saja aku tersedak, Alan menggerutu
karena saking kesalnya. Hampir saja tulang ayam tersangkut di
lehernya.

111

Iya, Len. Bercandanya nanti saja, Mia mengelus


ngelus lehernya. Kalau kami tersedak tadi, bagaimana? Kan
kau sendiri juga yang repot.
Maaf deh, kata Helen. Tapi aku tidak bercanda,
katanya sungguh sungguh.
Apa? seru Alan dan Mia berbarengan. Mereka sudah
tidak tertarik lagi menyantap makanannya. Ucapan Helen
barusan, telah membuat nafsu makan mereka terbang entah
ke mana. Mia dan Alan melongo.
Aku tahu ini kedengarannya mendadak. Tetapi
sebenarnya bosku sudah lama merencanakan ini. Aku kira
batal tetapi akhirnya jadi juga.
Ngapain di Jepang? Alan bertanya ketus. Dia masih
kesal dengan ulah kakaknya yang merusak selera makannya.
Mereka menugaskanku di sana.
Kenapa harus Kakak? Memangnya tidak ada orang lain
lagi? tanya Alan sewot.
Helen menggeleng pelan.
Berapa lama? tanya Mia.
Belum tahu. Ada kemungkinan untuk waktu yang lama.
Mungkin setahun, dua tahun atau mungkin lebih.
Apa tidak bisa lebih lama lagi? cetus Alan sebal.
Aku baru dua hari di sini, Len. Kalau kau pergi, aku
tinggal dengan siapa dong? protes Mia.
Kau tetap tinggal di rumahku tetapi sendirian. Aku
akan melapor ke Pak RT kalau kau temanku dan tinggal di
rumahku. Kau tenang saja, aku sudah mempersiapkan segala
sesuatunya supaya kau merasa nyaman tinggal di rumahku.
Tidak, Len. Aku nggak bisa. Itukan rumahmu.
Bagaimana mungkin aku bisa tinggal di rumah orang sendirian
sementara pemiliknya berada di luar negeri?
Mia, Helen menggenggam tangan sahabatnya. Itu
memang rumahku dan aku sama sekali tidak keberatan kau
tinggal di sana.
Tetap saja aku tidak merasa nyaman. Begini saja, aku
tetap tinggal di sana tetapi aku membayar setiap bulan, usul
Mia.
Helen menggelengkan kepala. Tidak! Aku nggak mau
menerima uang darimu, tegasnya.
Tetapi aku memaksa, Mia bersikeras.

112

Helen menarik napas. Bagaimana caranya supaya Mia


melunak yah? Helen berpikir. Aha. Sekarang, aku tahu

bagaimana caranya supaya Mia mau tinggal di rumahku.

Begini saja, biar gampang. Kau tidak perlu membayar dengan


uang. Kau cukup merawat rumahku. Bagaimana?
Setuju, Mia mengangguk mantap. Tapibagaimana
dengan biaya telepon, listrik dan PAM?
Aku yang membayarnya, jawab Helen.
Oke, tapi kau menanggungnya selama aku belum
bekerja saja. Begitu aku mendapatkan pekerjaan, aku yang
menanggung semuanya, usul Mia.
Apa kau yakin?
Seratus persen yakin, tandas Mia.
Alan tidak tertarik sama sekali untuk melibatkan diri
dalam perbincangan Helen dan Mia. Helen memberitahunya
akan ke Jepang sudah lebih dari cukup. Dia tidak berminat
untuk mengetahui nasib Mia setelah kepergian Helen. Saat ini
dia memilih untuk memusatkan perhatian pada makanannya.
Namun, kakaknya itu diam diam memperhatikan tingkahnya.
Kau tidak perlu takut jika berada sendirian di rumah,
Mia, kata Helen tetapi matanya melirik Alan. Aku akan
meminta Alan untuk sering sering melihatmu atau
menemanimu. Kalau kau bersama Alan, aku akan tenang. Biar
punya watak jelek begini, dia bisa diandalkan.
Perhatian mereka terpecah karena Alan terbatuk
batuk. Kali ini dia benar benar tersedak. Matanya sampai
melotot. Air, bisiknya dengan suara tercekat. Dengan
sigap Mia mengambil gelas berisi fanta menyodorkannya ke
Alan. Lalu ia menepuk nepuk punggung pria itu.
Bagaimana? Kau sudah merasa lebih baik, Helen
bertanya dengan nada khawatir.
Aku sudah baikan, sahut Alan dengan suara berbisik.
Setelah memastikan keadaan Alan sudah membaik,
mereka kembali ke kursi masing masing.
Melihat reaksi Alan, Mia tahu kalau pria itu sangat tidak
setuju. Aku rasa, kau tidak perlu menyuruh Alan untuk
menemaniku. Aku bisa jaga diri kok.
Alan hanya terdiam. Rahangnya mengeras. Mata dan
hidungnya masih merah, akibat tersedak. Dia menatap tajam
kakaknya yang duduk di sebelah Mia.

113

Helen sama sekali tidak takut dipandangi seperti itu.


Jangan memandangku seperti itu, Lan. Bisa bisa matamu
meloncat keluar, kata Helen dengan memasang wajah tanpa
dosa.
Kau sudah melihatnya dengan jelas, Len. Sepertinya
Alan tidak menyukai idemu itu. Demikian pula aku.
Helen tidak menggubris ucapan Mia. Keputusanku
sudah bulat. Suka atau tidak Alan akan menjengukmu
sesekali, tegasnya.
Kakak, aku ingin berbicara berdua saja denganmu.
Tapi nanti di rumah! Alan melemparkan pandangan
mengancam.
Bicara saja di sini, sahut Helen dengan enteng.
Alan menoleh ke Mia. Mia, apa aku bisa minta tolong?
Apa?
Tolong ambilkan aku es krim dan kue kue kecil. Kau
tahu letaknya kan?
Iya. Tentu saja.
Terima kasih. Oh ya, ambilnya yang banyak yah.
Soalnya sekarang tenggorokanku agak kering.
Mia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju tempat
es krim. Bilang saja kalau pembicaraannya tidak mau didengar.

Pakai acara minta tolong diambilkan es krim segala lagi, gerutu


Mia.

Alan mencondongkan wajahnya. Aku tidak mau


menjaganya! Aku tidak tahan berada di dekatnya. Kakak, lihat
sendiri kan kalau kami tidak akur! Alan mengutarakan
keberatannya.
Kenapa kau tidak tahan berada di dekatnya? Apa
karena dia galak dan kasar atau karena dia tidak secantik gadis
gadis yang kau kenal? selidik Helen.
Itu benar! Aku tidak tahan karena dia kasar. Tentang
wajahnya, bagiku itu bukan masalah. Kuakui dia gadis yang
sangat menarik. Yang tidak kusuka adalah sifatnya, ujar Alan.
Helen tersenyum simpul. Mia, itu gadis yang baik, Lan.
Juga manis. Walaupun kami jarang bertemu, tetapi aku bisa
mengetahui dengan jelas kalau dia itu bukan gadis kasar yang
seperti kau bayangkan. Mungkin ada yang membuatnya
bertingkah seperti itu. Kalau pun sikapnya begitu terhadapmu,
aku bisa mengerti. Pertama kali bertemu, kau sudah

114

menggodanya. Dia tidak suka digoda, Lan. Apalagi oleh


seorang pria tidak dikenal.
Apa itu karena kejadian tidak mengenakkan yang
menimpanya?
Helen tidak menggeleng ataupun mengangguk.
Mungkin saja. Tetapi, aku tidak berani memastikan. Namun,
siapapun wanita yang mengalami peristiwa yang menimpa Mia
mungkin akan sikapnya akan berubah.
Alan tidak menanggapi penjelasan Helen. Pikirannya
melayang pada perjumpaan pertamanya dengan Mia. Waktu
itu Mia bersikap galak tetapi sorot matanya menampakkan
kesedihan. Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Mia? Kakak
tidak akan memberitahuku apa yang terjadi pada Mia?
Tidak! tegas Helen.
Sudah kuduga, Alan manggut manggut.
Bagaimana,
Lan?
Apa
kau
bisa
memenuhi
permintaanku? Helen meminta persetujuan Alan.
Yang ditanyai hanya diam membisu. Kalau
menjenguknya saja aku tidak keberatan, cetusnya. Tetapi
kalau sampai menginap rasanya tidak mungkin.
Kenapa?
Apa kata tetangga nanti? Mereka bisa mengira kami
kumpul kebo! Alan mengungkapkan kecemasannya.
Rupanya kau masih bermoral juga yah? Helen
terkekeh.
Alan cemberut. Begini begini, aku masih memegang
teguh budaya timur.
Helen tersenyum tipis. Tenang saja Alan. Masalah itu
kau tidak perlu khawatir. Aku akan memberitahukan kepada
Ketua RT, Mia itu temanku dan kalau kau menginap di rumah,
itu karena aku yang memintanya. Aku juga bilang kalau kau
datang ke sana untuk menjaga Mia.
Jadi Kakak sudah mempersiapkan segala sesuatunya.
Tapi Kak, kalau Kakak berencana ke Jepang, kenapa Kakak
mengundang Mia ke Jakarta?
Ada alasan yang tidak bisa kuungkapkan padamu,
kata Helen berahasia.
Rahasia lagi, Alan mengeluh. Mia itu cocok sekali
mendapat julukan mysterious girl, cetus Alan kesal. Jadi
berapa lama si mysterious girl ini akan tinggal di rumahmu?

115

Itu terserah dia. Sampai dia menikah juga tidak apa,


sahut Helen kalem.
Dengan sifat seperti ituaku ragu dia akan menikah
Alan mendengus. Hebat sekali ada kalau ada pria yang tahan
dengannya.
Ucapanmu itu mengingatkanku pada seseorang,
celutuk Helen. Dia melirik ke arah Alan. Aku juga meragukan
orang itu menikah karena sifatnya yang tidak tahan melihat
perempuan cantik berdiri di depannya.
Alan cemberut. Dia tahu betul, dirinyalah yang
dimaksud Helen. Dia baru mau mengeluarkan protes tetapi dia
mengurungkan niatnya saat melihat Mia berjalan menuju meja
mereka.
Ini pesananmu, Mia menyodorkan mangkuk kecil
berisi es krim dan kue ke Alan.
Terima kasih, cetus Alan.
Mia, Alan sudah setuju untuk menjagamu. Tenang
saja dia tidak akan tinggal di sana kecuali dia membuat ulah di
rumah orangtuaku atau di kantor. Tidak ada pilihan lain kecuali
membiarkan dia menginap di rumahku.
Mia melongo.
Wajahmu benar benar kelihatan tolol sekali, Alan
tertawa geli.
Kalau begitu aku tidak mau, sahut Mia. Aku tidak mau
menginap dengan pria yang baru kukenal, sekalipun dia
adikmu. Aku tidak mau tinggal di bawah atap yang sama
dengan pria yang bukan suamiku. Jadi, lebih baik aku pindah
saja. Lagipula, Mia melirik Alan, dia selalu membuatku kesal.
Bahkan hanya dengan melihat wajahnya saja aku sudah ingin
marah.
Alan tercengang. Dia tersinggung dengan ucapan Mia
barusan. Seenaknya saja bicara. Hei, jadi, aku harus
menikahimu dulu, baru aku bisa tinggal denganmu? Enak saja.
Tak sudi yah! kata Alan dengan nada mengejek. Asal kau
tahu saja yah, aku juga selalu kesal setiap melihat wajah
sombongmu itu. Memangnya kau pikir aku juga mau
menjagamu. Karena kakakku yang meminta makanya aku
mau, lanjutnya lagi.
Alan, Helen menegur adiknya itu dengan suara yang
keras. Alan terdiam. Mia, kau tidak perlu khawatir begitu. Asal

116

kita melapor ke Pak RT, tidak akan ada masalah. Tetapi, kalau
kau merasa khawatir tinggal berdua saja dengan Alan di sini,
dia tidak usah menginap. Sebenarnya sih kau tidak perlu
mencemaskan kelakuan Alan. Dia anak yang baik. Dia memang
agak genit tetapi dia tidak pernah berbuat melebihi batas. Aku
berani menjamin Lagipula, kau kan bisa ilmu bela diri. Kalau
dia berulah, hajar saja. Aku tidak keberatan.
Kakak ini bagaimana sih? Bisa bisanya memberi ijin
pada si galak ini untuk menghajarku. Aku kan adikmu.
Seharusnya kau membelaku. Dia menoleh ke Mia. Apa sih yang
kau takutkan kalau aku menginap? Kau takut dengan
anggapan tetangga? Helen kan sudah bilang, kalau dia akan
melapor ke Pak RT. Kalau yang jadi masalah, aku, kau tidak
perlu cemas. Aku sama sekali tidak tertarik padamu. Kau
bukan tipeku. Aku tahu bagaimana cara menghormati wanita.
Apalagi kalau dia teman kakakku, jelas Alan panjang lebar.
Bilang iya saja, kok susah betul, gerutunya.
Wajah Mia menjadi seperti orang linglung. Dia benar
benar kebingungan sekarang. Tidak ada sepatah katapun yang
keluar dari mulutnya.
Alan menggeleng gelengkan kepalanya karena
keheranan. Aku sudah bicara sepanjang itu, dia masih tidak

mau mengerti juga. Ataujangan jangan dia memang tidak


mengerti karena jangkauan otaknya pendek. Alan tertawa
dalam hati. Bisa jadi. Kakak lihat kan. Dia tidak mau

kutemani.
Mia, kumohon biarkan Alan menjagamu, Helen
setengah memohon.
Mia menggelengkan kepalanya kuat kuat. Aku bisa
jaga diri kok, Len, Mia bersikeras.
Mia, ini demi kebaikanmu. Biarkan Alan menjagamu,
bujuk Helen.
Mia tidak menyahuti Helen. Dia berpikir keras tentang
keputusan yang akan diambilnya. Bagaimana kalau Mama dan

Papa, tahu kalau aku pernah tinggal berdua saja dengan pria
yang bukan suamiku. Mereka bisa terkena serangan jantung.
Tetapi, dia kan adik Helen. Jadi tidak ada yang perlu
dicemaskan. Kalau dia bersikap kurang ajar, aku tinggal
menghajarnya saja. Lalu, aku menyeretnya keluar dari rumah
ini dan menyuruhnya pergi dan jangan pernah menampakkan
117

wajah di hadapanku. Oh, pasti seru sekali dan menyenangkan.

Tanpa sadar, Mia tersenyum senyum sendiri saat


membayangkan dia sedang menghajar Alan.
Alan mengamati tingkah Mia. Kau sudah gila yah?
suaranya mengejutkan Mia. Dari tadi senyum senyum
sendiri.
Mia tersipu malu. Maaf.
Jadi, apa kau bersedia menerima usulku, Mi? tanya
Helen.
Baiklah,
Mia
mengangguk.
Setelah
mempertimbangkan masak masak, akhirnya dia memutuskan
untuk menyetujui tawaran Helen.
Helen menarik napas lega.
Dasar. Merepotkan saja. Sudah sebesar ini apa masih
perlu dijaga? gumamnya dengan suara pelan. Maksud hati
supaya tidak ada mendengar ternyata ucapan Alan itu
kedengaran ke telinga Helen.
Tahu tidak Alan? Aku justru berpikir Mia yang akan
menjagamu. Dia itu jago karate dan taekwondo loh.
Memangnya kenapa kalau bisa beladiri? Aku juga bisa
kok.
Lan, kau hanya bisa berkelahi tidak jelas. Sudahlah,
jangan membantah lagi. Kalian harus saling menjaga selama
kepergianku, Helen mengingatkan. Jauh di lubuk hatinya,
Helen menyimpan kekhawatiran luar biasa meninggalkan Mia
dengan Alan. Kadang kadang, adikku ini sering bertindak

gegabah. Aku takut dia tidak bisa mengontrol perasaannya.


Sekarang dia bilang sama sekali tidak tertarik dengan Mia.
Tetapi, semuanya bisa berubah. Siapa yang tahu, sewaktu aku
di Jepang, salah satu dari mereka, entah itu Mia atau Alan,
jatuh cinta. Atau bisa jadi, keduanya saling jatuh cinta. Kalau
sampai itu terjadi, semoga Tuhan menolong mereka dan aku.
***
Waktu berjalan dengan cepat. Tidak terasa dua minggu
sudah berlalu. Tibalah hari keberangkatan Helen. Helen
menuju bandara dengan hanya ditemani Mia, Alan dan
orangtuanya. Sebelum check in, Helen menyempatkan diri
untuk mengobrol dengan mereka.
Kak, carikan aku cewek Harajuku yang cantik dan seksi
yah, Alan mengerling genit.

118

Astaga, apa yang ada di otakmu itu perempuan cantik


dan seksi saja.
Alan hanya cengengesan.
Helen menoleh ke Mama dan papanya. Ma, Pa, nanti
selama aku di sana, kalian harus sering menjenguk Mia,
sekedar untuk melihat keadaannya, pinta Helen.
Papa dan mamanya mengangguk. Kami akan
menjenguknya sesering mungkin, kata Tuan Harsono.
Terima kasih.
Helen melihat jam tangannya. Sudah waktunya aku
check in.
Nyonya Harsono mulai terisak. Dia merasa berat
melepas kepergian putrinya ke Jepang.
Jangan nangis dong, Ma. Aku kan nggak selamanya di
Jepang. Aku pasti pulang kok, Helen menghibur mamanya.
Mama sedih sekali jika membayangkan kau jauh dari
Mama, kata Nyonya Harsono. Helen memeluk mamanya
dengan penuh sayang. Aku juga merasakan hal yang sama,
Ma. Tetapi, ini kan hanya untuk sementara. Kalau mama
menangis terus, aku akan merasa berat pergi ke Jepang. Jadi
berhentilah menangis yah, pinta Helen.
Nyonya Harsono menyeka airmatanya. Sekarang Helen
memeluk papanya. Berbeda dengan istrinya, Tuan Harsono
sama sekali tidak menangis. Dia justru tersenyum. Jaga
dirimu baik baik di sana, Nak. Jangan lupa makan dan begitu
kau sampai di sana, hubungi kami. Satu lagi, jangan lupa
untuk selalu memberi kabar.
Helen mengangguk. Sekarang ia berpaling pada adik
dan sahabatnya. Tidak ada lagi yang bisa kukatakan pada
kalian, selain jaga diri kalian baik baik. Dan khusus untukmu,
dia menoleh ke Alan, jangan membuat Mama dan Papa
kesusahan. Dan jangan lupa juga dengan perbincangan kita
kemarin kemarin. Kau masih ingat kan?
Mia tersenyum simpul sementara Alan memasang
tampang cemberut. Tentu saja aku ingat. Pergi sana!
usirnya. Mau pergi saja kok lama betul.
Helen tertawa ngakak. Sampaikan salam sayangku
pada Andi, Ari dan kakak ipar. Juga untuk keponakan
keponakanku tersayang. Oh ya, kalian tidak perlu menunggu

119

sampai pesawatku berangkat. Langsung saja pulang, kata


Helen.
Ia melambai untuk terakhir kalinya sebelum memasuki
ruang check in. Orangtuanya, Alan dan Mia berdiri
berdampingan dan membalas lambaiannya.
Alan, orangtuanya dan Mia berjalan beriringan menuju
lapangan parkir. Alan memutar badannya dan menghadap
orangtuanya. Mama dan Papa, pulang duluan saja. Aku
mengantar Mia dulu, ucapnya.
Baiklah. Hati hati kalau menyetir, kata Tuan
Harsono. Dia menoleh ke Mia yang sedang berdiri menunduk.
Mia, panggilnya.
Mia mengangkat wajahnya dan menatap Tuan Harsono.
Kalau kau membutuhkan sesuatu, jangan ragu untuk
menghubungi kami. Dan, yang paling utama, kalau anak ini
membuatmu kesal, bilang saja, tambahnya lagi.
Mia tersenyum manis sekali. Ia mengangguk pelan.
Mobil yang ditumpangi pasangan suami istri itu perlahan
meninggalkan tempat itu dengan diiringi pandangan Mia dan
Alan.
Alan melirik Mia yang masih berdiri termangu. Dia
mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku celana jeansnya.
Lalu, ia membuka mobil.
Aku duduk di belakang saja, celutuk Mia.
Kenapa kau tidak duduk di depan saja? Kalau kau
duduk di belakang, aku akan kelihatan seperti supir dan kau
seperti majikan, protes Alan.
Aku lebih suka duduk di belakang, sahut Mia datar.
Dari nada suaranya dia sama sekali tidak peduli dengan
keberatan Alan.
Ya sudah. Terserah kau mau duduk di mana. Mau di
depan, belakang atau di atas mobil sekalian. Aku tidak mau
bertengkar denganmu hanya gara gara tempat duduk, kata
Alan sewot.
Mobil Mitsubishi Estrada itu bergerak perlahan menuju
loket parkir sebelum akhirnya melesat di antara kendaraan
yang lalu lalang.
Dari kursi belakang, Mia memperhatikan Alan yang asyik
menyetir. Huh, siapa yang mau duduk di samping pria genit
sepertinya. Mia mencibir. Tepat saat itu, Alan melihatnya

120

melalui kaca spion. Dia mendengus sebal. Aku tahu apa yang
ada di pikiranmu. Kau pikir kalau kau duduk di depan, aku
akan melakukan perbuatan yang tidak senonoh padamu?
Mia tidak menjawab. Dia malah membuang muka dan
memandangi rawa rawa yang terletak di pinggir jalan tol itu.
Asal kau tahu saja yah, aku ini bukan pria seperti itu.
Kau boleh bilang aku pria genit, playboy atau apalah. Terserah
kau. Tetapi satu hal aku ingin kau camkan dalam kepalamu itu,
aku bukan tipe pria yang suka menyentuh wanita tanpa ijin.
Mia masih tidak bereaksi.
Alan menarik napas dalam dalam. Dia selalu begitu
kalau sedang gusar. Mia, selama Helen berada di Jepang kita
akan sering bertemu. Jadi, alangkah baiknya kalau kita mulai
saling memahami. Berhentilah mencurigaiku, karena aku tidak
seburuk yang kau kira, pinta Alan.
Baiklah, cetus Mia pelan. Aku minta maaf karena
telah mencurigaimu. Apa kau sudah puas?
Alan tersenyum. Walaupun nada bicara Mia terdengar
tidak ramah tetapi Alan tahu betul kalau permintaan maaf itu
benar benar tulus. Bukan awal yang jelek, pikirnya.
Kata Kak Helen ini pertama kalinya kau ke Jakarta.
Iya.
Berarti kau tidak tahu apa apa tentang jalanan di
Jakarta dong?
Mia menggeleng. Yang kutahu, jalanan di Jakarta itu
selalu macet.
Semua orang juga tahu kalau jalanan di Jakarta itu
selalu macet. Makanya aku tua di jalan, gerutu Alan. Dia
memang selalu gampang kesal jika mengingat kemacetan di
Jakarta yang semakin hari bertambah parah. Oh ya, kalau
misalnya, kau dapat panggilan dari tempat kau melamar
pekerjaan, beritahu aku. Aku akan mengantarmu, katanya
tiba tiba.
Mia terpana. Dia mencondongkan badannya ke depan
sehingga lebih dekat dengan Alan. Dia menyentuh kening Alan.
Spontan Alan yang sedang menyetir terkaget kaget. Hei,
apa apaan ini? Kenapa kau tiba tiba menyentuhku? Apa
kau tidak melihat aku sedang menyetir? Berbahaya tahu!
Aku hanya ingin tahu keningmu panas atau tidak,
cetus Mia enteng. Kenapa kau mendadak begitu baik

121

padaku? tanya Mia curiga. Apa kau sedang merencanakan


sesuatu?
Alan dongkol sekali niat baiknya dicurigai. Kau ini
masih muda kok sudah pikun? Apa kau sudah lupa
kesepakatan yang baru kita buat? Supaya hubungan kita
membaik, kita harus berhenti saling mencurigai, kata Alan
sewot.
Mia menyandarkan punggungnya ke kursi. Maaf deh,
cetusnya singkat. Kalau kau mengantarku, apa itu tidak
mengganggu pekerjaanmu?
Nggak, sahut Alan pendek. Kalau aku berhalangan,
aku bisa menyuruh supir keluargaku mengantarmu. Yang
penting kau jangan sampai tersesat di Jakarta.
Terima kasih, ucap Mia tulus. Dia memberikan
senyumnya yang paling manis. Alan terpana melihat senyuman
Mia. Cantik sekali, gumamnya dalam hati.
Sebelum sampai di rumah, Alan membawa Mia
berkeliling keliling komplek perumahan itu. Dia menunjukkan
letak kantor pos dan supermarket terdekat tanpa diminta Mia.
Dia juga menunjukkan tempat yang biasa digunakan para
penghuni komplek itu untuk naik bus.
Akhirnya mereka sampai di rumah. Mia sempat
menawarkan Alan untuk mampir tetapi yang bersangkutan
menolak dengan alasan ada urusan yang tidak bisa ditunda.
Sebelum pergi, Alan meninggalkan kartu nama yang memuat
nomor telepon rumah dan kantor serta ponsel. Mia menunggui
sampai mobil Alan menghilang dari pandangannya.

Sebenarnya dia lumayan baik dan bertanggungjawab, tetapi


mendengar sepak terjangnya selama ini, aku sedikit takut
kalau berada di dekatnya. Yah, mudah mudahan saja dia
tidak sejelek yang aku kira.
***
Setelah kepergian Helen ke Jepang,
Mia mengisi
waktunya dengan giat mencari lowongan pekerjaan sebagai
guru. Dia mencarinya melalui internet, majalah dan tabloid
yang khusus memuat lowongan pekerjaan dan surat kabar.
Alan tidak setiap hari mampir. Dia datang tiga hari
sekali. Kalau dia tidak datang, biasanya dia menelepon untuk
memastikan Mia dalam keadaan baik baik saja. Demikian
pula Mama dan papanya. Mereka sering datang dan

122

mengantar makanan. Mia jadi tidak enak karena menerima


makanan gratis. Dia mengungkapkan perasaaannya dan
ditanggapi mereka dengan senyum. Mereka selalu menjawab,
melakukan itu dengan senang hati. Lagipula mereka sudah
menganggapku seperti anak sendiri. Ajaib bukan? Padahal aku

jarang bertemu dengan mereka. Tetapi mereka pernah bilang,


kalau Helen sering bercerita tentangku. Helen bilang aku ini
gadis yang baik dan pintar. Kalau Helen yang bicara, maka
mereka percaya.
Tentang Alan, aku tidak pernah menyangka dia akan
sangat perhatian padaku. Setiap datang, Alan selalu membawa
makanan dan info tentang lowongan pekerjaan. Aku sangat
berterimakasih atas perhatiannya yang sangat besar itu.
Walaupun demikian, Dia masih saja suka membuatku kesal
dengan tingkahnya yang sering menggodaku.

***
Pagi itu, ponsel Mia berdering. Itu adalah panggilannya
yang pertama. Dia diminta datang untuk interview keesokan
harinya di bilangan Pulo Mas. Seharian Mia berpikir bagaimana
cara untuk meminta bantuan Alan. Mia hampir putus asa,
sebelum akhirnya dia memberanikan diri menekan nomor Alan.
Halo, terdengar suara Alan yang ringan.
Alan, ini aku, Mia, katanya hati hati.
Ada apa, Mi?
Aku dapat panggilan interview di Pulo Mas. Kalau kau
tidak keberatan
Jam berapa? Alan memotong ucapan Mia.
Jam delapan pagi.
Besok pagi kau tunggu saja sampai aku datang. Aku
datang sebelum jam tujuh. Aku mau begitu sampai kau sudah
rapi, jadi kita tinggal berangkat saja. Sudah ya, Alan menutup
teleponnya.
Sementara Mia, masih berdiri termangu sambil
memegangi ponselnya. Wajahnya diliputi rasa tidak percaya.

Baik sekali, dia.

Keesokan pagi, sekitar jam enam tiga puluh, Mia sudah


berdiri di depan rumah. Ternyata Alan menepati janjinya. Dia
datang sebelum jam tujuh. Yang mengagetkan Mia, Alan tidak
sendirian. Dia datang bersama seorang pria yang berumur
sekitar empat puluhan dan mengenakan baju safari.

123

Dia supir keluargaku,Alan menjawab rasa ingin tahu


Mia. Dia akan mengantarmu.
Kau mau ke mana? tanya Mia terheran heran saat
melihat Alan tidak masuk ke dalam mobil.
Aku mau pergi kerja.
Kau naik apa?
Aku akan membawa mobil Helen. Jangan khawatir, aku
punya kunci mobil dan garasinya. Sana pergi, nanti kau
terlambat.
Ehohya, terima kasih ya, Mia melambaikan tangan
dari dalam mobil.
Ini alamatnya, Pak, Mia memberikan secarik kertas
pada supir yang mengantarnya.
Mia menjalani interviewnya dengan penuh semangat.
Dia bisa menjawab pertanyaan dengan penuh percaya diri.
Namun, jawaban yang diperoleh membuat hatinya kecewa.
Ternyata sekolah itu membutuhkan orang yang lebih
berpengalaman. Begitu untuk seterusnya. Mia terus menerus
didera kekecewaan karena ditolak tempat dia melamar
pekerjaan.
Berbagai tes untuk mendapatkan pekerjaan sudah
dijalani Mia, tetapi satupun tidak ada yang membuahkan hasil.
Ada satu tes yang membuat Mia kesal, yakni diskusi panel.
Sudah empat kali dia menjalani tes semacam itu dan selalu
gagal. Mia sampai merasa trauma dibuatnya. Dia sempat
berpikir kalau dirinya tidak pandai dalam hal diskusi atau
berdebat. Melihat keadaan Mia, mau tidak mau Alan merasa
kasihan juga. Dia menghibur Mia pada saat mengunjunginya.
Kau tidak perlu merasa takut kalau menghadapi diskusi
panel. Hadapi saja dengan santai. Anggap seperti tes yang
lain. Kalau kau gagal, anggap saja bukan rejeki. Kalau bukan
rejeki, sampai berbusa pun mulutmu atau pita suaramu putus,
kau tidak akan mendapatkannya, kata Alan. Kalau kau
mengalami kegagalan, jangan habiskan waktumu untuk
menangisinya.
Kau
harus
melupakannya.
Pusatkan
perhatianmu pada kesempatan lain. Ingat kata kataku ini
baik baik. Ada banyak kesempatan untukmu di luar sana.
Tuhan pasti sudah menyiapkan satu pekerjaan untukmu,
hanya saja kau belum mendapatkannya. Ini cuma masalah

124

waktu saja. Cepat atau lambat, kau akan mendapatkan


pekerjaan, tambahnya lagi.
Mendengar ucapan Alan, itu semangat Mia kembali
muncul. Gairahnya untuk mendapatkan pekerjaan semakin
menggelora seiring dukungan yang datang dari keluarganya
yang berada di Medan, Alan dan Helen. Mia berjanji pada
dirinya sendiri untuk tidak mudah menyerah.
Sejak menghiburnya, hubungan Mia dengan Alan
semakin membaik walaupun masih diselingi pertengkaran kecil
karena Alan sering menggodanya. Namun, sampai sekarang
Alan belum pernah sekalipun menginap di rumah Helen.
Tapi Mia tidak ambil pusing karena dia justru senang
Alan tidak pernah menginap. Soalnya dia ketar ketir juga
setiap membayangkan kalau Alan bakalan menginap di rumah
tempat ia sekarang tinggal.
Selain itu, perhatian Mia lebih terpusat pada bagaimana
mendapat pekerjaan. Semakin sering dia ditolak, semakin
bertambah besar semangatnya untuk melamar. Kadang ia
sampai tertidur di sofa tanpa mandi dan ganti baju karena
saking lelahnya. Seperti yang terjadi saat ini. Mia tidur pulas
dalam keadaan terlentang di sofa. Dia tidak menyalakan lampu
sehingga rumah itu berada dalam keadaan gelap gulita.

125

BAB 7
Alan memandang gedung gedung bertingkat dari
jendela kantornya. Dia menaruh kedua tangannya ke dalam
saku celananya. Sesekali dia menghela napas panjang. Dia
menggigit bibirnya. Wajahnya terlihat muram dan tidak
bersemangat. Keningnya berkerut kerut. Tatapannya kosong.
Alan membuka kacamatanya dan menggosok gosok
matanya. Dia mengangkat wajahnya dan kembali menatap ke
depan. Pikirannya benar benar kalut saat ini. Dia tidak bisa
berpikir dengan jernih setiap
mengingat kejadian yang
dialaminya.
Dia baru saja selesai rapat dengan seluruh manajer
dari setiap bagian di kantornya. Suasana hatinya benar
benar buruk saat ini. Alan merasa kesal. Bagaimana tidak,
papanya menyalahkan dia habis habisan atas kesalahan
laporan penjualan produk yang baru diedarkan. Tuan Harsono
memarahinya di depan orang banyak yang ada di ruang rapat
itu. Alan gondok sekali diperlakukan seperti itu. Dia malu
sekali. Saking kesalnya dia langsung ngeloyor pergi dari ruang
rapat. Papanya berteriak teriak kesetanan memanggilnya
tetapi dia tidak peduli.
Kau taruh di mana otakmu? Laporan ini benar benar
kacau balau, sembur papanya.
Emosi Alan jadi naik setiap mengingat ucapan papanya
itu. Dia malu sekali dimaki di depan pegawai yang lain. Sudah

tahu keahlianku bukan di bagian laporan penjualan malah


ditempatkan di sini. Salahnya sendiri kalau laporan jadi kacau
balau begitu. Ahbekerja di sini hanya akan membuatku tua
sebelum waktunya.
Alan melihat jam tangannya lalu
mengambil tas kantor dan laptopnya.
Pas dia buka pintu, sekretarisnya yang genit, Sarah,
sudah berdiri di depannya. Pak, anda diminta datang ke
ruangan papa anda.
Bilang saja kalau aku mau pulang.
Tapi Pak
Alan hanya melambaikan tangan kanannya dan
langsung pergi. Dia mengambil mobil dari tempat parkir dan
langsung melesat ke jalan raya. Kalau sudah begini aku tidak

126

bisa tidur di rumah. Alan mengecek apakah kunci rumah Helen


ada di tasnya. Sepertinya hari ini aku tidur di rumah Helen.

Masalahnya apa si galak itu mau menerimaku atau tidak yah.

Pulang dari kantor, Alan menyempatkan diri belanja di


supermarket langganannya. Dia membeli daging rendang, mie
instan, sayur sayuran, buah buahan, biskuit, lima kotak es
krim dan masih banyak lagi.
Sesampainya di rumah Helen, Alan langsung mengambil
kunci dan membuka pintu. Dia memanggil Mia, namun tidak
terdengar jawaban. Dia tidak menemukan Mia disetiap sudut
rumah. Ke mana dia? Alan menaruh tasnya di kamar Helen.
Kamar itu masih dalam keadaan rapi dan bersih. Kelihatan
sekali Mia selalu membersihkan kamar itu. Setelah ganti baju,
dia mulai menyusun belanjaannya ke kulkas dan lemari dapur.
***
Mia bernyanyi nyanyi kecil dalam perjalanan menuju
tempat tinggalnya sekarang. Perasaannya Mia saat ini sedang
bagus. Dia serasa terbang melayang sampai langit ketujuh.
Setelah beberapa bulan, usaha Mia dalam mencari pekerjaan
akhirnya membuahkan hasil. Dia diterima bekerja sebagai guru
di sekolah swasta. Sepanjang perjalanan menuju rumah, wajah
Mia selalu ceria. Tidak jarang, ia tersenyum senyum sendiri
setiap mengingat keberhasilannya. Bagaimana tidak? Ia sudah
menjalani lima kali tes untuk mendapatkan pekerjaan itu. Mulai
dari psikotest, diskusi panel sampai praktek mengajar. Mia
menjerit kecil. Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Aduh
senangnya.
Sampai di depan rumah Helen, Mia terpaku. Senyum di
wajahnya lenyap seketika. Dia heran melihat rumahnya dalam
keadaan terang benderang. Ada orang di rumah. Mia mulai
berpikir yang tidak tidak. Aku harus waspada. Mia berjingkat
jingkat menuju teras rumah. Dia melepas sepatu tumit
tingginya dan berjalan tanpa suara. Dia memutar handel
pintu. Wajahnya memucat saat pintu itu terbuka. Tidak
dikunci. Mia menarik napas dan mempersiapkan diri untuk
kemungkinan yang terburuk. Dia mendorong pintu itu pelan
pelan. Ketika pintu itu terbuka lebar, Mia berdiri terbengong
bengong. Dia sangat terkejut melihat Alan dengan santainya
sedang menonton televisi. Kakinya diangkat ke atas meja. Ia
memakai celana pendek berwarna hitam dan kaus oblong.

127

Dia tersenyum lebar melihat kedatangan Mia. Selamat


datang, katanya santai.
Kau! Mia menunjuk Alan dengan jarinya. Bagaimana
kau bisa masuk?
Aku punya kuncinya, sahut Alan cuek.
Untuk sesaat Mia sempat kehilangan kata kata.
Wajahnya menegang. Rasa kesalnya memuncak, melihat
tingkah Alan yang merasa tidak bersalah karena masuk ke
rumah yang ditempati Mia tanpa ijin. Sabar, Mi. Dia sudah

bersikap baik padamu selama ini. Lagipula ini kan rumah


kakaknya.

Ini pertama dan terakhir kalinya, aku melihatmu masuk


seenaknya. Ini memang rumah kakakmu tetapi bukan berarti
kau bisa main masuk saja seenak perutmu, tegas Mia.
Tadi, sebelum aku masuk, aku memencet bel sampai
jariku sakit dan berteriak memanggilmu sampai suaraku serak,
tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Berhubung, aku punya
kunci, jadi aku masuk saja, jelas Alan membela diri.
Lagipula, aku khawatir, jangan jangan ada yang
menyanderamu di dalam rumah, makanya kau tidak bisa
menjawab, tandasnya. Alan sempat mengerutkan kening
mendengar ucapannya sendiri. Jawaban yang aneh, pikirnya.

Kok kata kata itu yang keluar dari mulutku yah? Yah, mau
gimana lagi? Itu yang pertama muncul di kepalaku.

Mia merengut sebal. Kau ini suka sekali mendramatisir


suasana. Kalau aku tidak menyahut, itu berarti aku tidak di
rumah, tukasnya.
Ini, tiba tiba Alan berdiri dan menyodorkan
kuncinya.
Mia menoleh dengan enggan. Untuk apa itu?
Kau kan tidak mau aku masuk seenaknya, jadi aku
mengembalikan kunci ini.
Tidak usah. Kau simpan saja. Siapa tahu kau
memerlukannya kalau ada keadaan darurat. Aku hanya ingin,
lain kali kalau mau datang bilang dulu, tegasnya. Tadi aku
kira ada maling, cetus Mia kesal.
Alan hanya terkekeh.
Apa yang kau lakukan di sini?
Aku mau menginap di sini, sahut Alan enteng.

128

Apa? Mia melotot. Dia menggelengkan kepalanya


kuat kuat. Tidak bisa. Apa kata tetangga nantinya?
Tenang saja. Apa kau lupa kalau Helen sudah melapor
ke ketua RT? Tadi aku juga melapor lagi. Mereka tahu kalau
aku ini adiknya Helen dan kau itu temannya. Jangan khawatir,
aku tidak akan lama. Mungkin tiga atau dua hari. Sampai
masalahku selesai.
Tapi, aku gak mau kau nginap di sini. Gak sudi! kata
Mia blak blakan.
Dasar bawel! Ini rumah kakakku. Aku bebas datang
dan pergi sesuka hatiku bentak Alan galak.
Nyali Mia menjadi ciut. Mia mengerti sekarang. Helen
pernah bilang, Alan sering menginap di rumahnya kalau
sedang terlibat masalah. Kau buat onar di mana? Kantor atau
rumah?
Itu bukan urusanmu, kata Alan masih dengan nada
tinggi.
Mia cemberut.
Kau sendiri dari mana? Jam segini baru datang.
Mentang mentang sudah tahu jalan, kau sudah keluyuran.
Hati hati. Ini Jakarta bukan Medan. Bagaimana kalau terjadi
sesuatu? Bisa bisa Helen mencekikku nanti.
Kau ini jangan sembarangan bicara. Aku ada
wawancara kerja.
Wawancara apa yang sampai malam begini?
Apa aku harus menjelaskan semuanya padamu? Tapi
akan kuberitahu supaya kau diam. Pertama, mereka
memintaku datang jam tiga sore. Kedua seperti yang kau
bilang, ini Jakarta. Di mana mana yang ada cuma kemacetan
makanya aku pulang jam segini. Apa kau puas sekarang?
Ternyata Alan tidak memperhatikan. Matanya malah
asyik mempelototi layar televisi. Mia mengangkat kedua
tangannya. Sia sia saja aku bicara banyak dengannya. Mia
mengempaskan tubuhnya di sofa.
Alan bicara tanpa menoleh, Lain kali kalau ada
panggilan untuk tes, kau harus memberitahuku. Jadi
setidaknya aku tahu kau ada di mana.
Bukannya selama ini aku selalu memberitahumu?
Kebetulan saja hari ini aku lupa, Mia membela diri.

129

Alan tidak mengacuhkan pembelaan Mia. Dia malah


bertanya hal yang lain. Ngomong ngomong bagaimana
hasil interviewnya?
Mia tersenyum cerah, Coba kau tebak. Aku diterima!
Mia berteriak kegirangan. Aku akan mulai bekerja bulan
September nanti.
Untuk posisi apa?
Guru bahasa Inggris.
Lumayan, Alan mengangguk angguk. Selamat ya.
Terima kasih. Aku benar benar senang. Rasanya
jantungku mau meledak karena saking gembiranya.
Berlebihan sekali reaksimu ini, Alan keheranan.
Aku bukannya berlebihan, Lan. Kau tahu kan kalau ini
mimpi yang jadi kenyataan?
Iya, iya, aku tahu. Apa orangtuamu sudah
kauberitahu?
Tentu saja. Mereka yang pertama kali tahu. Sesudah
itu Helen. Dan yang terakhir Mia menunjuk Alan dengan
jarinya.
Alan tersenyum geli melihat tingkah Mia yang seperti
anak kecil mendapat hadiah permen. Bisa juga sigalak ini
gembira. Aku kira dia bisanya marah marah saja. Kita harus
merayakannya. Aku baru belanja tadi. Kau bisa masak atau
tidak?
Nggak bisa, sahut Mia dengan polosnya.
Alan melotot. Kau ini bagaimana? Kau kan perempuan,
kenapa tidak bisa memasak? Memangnya mamamu tidak
pernah mengajarkanmu memasak?
Aku tidak bakat memasak. Aku bisanya masak mie
instan, buat nasi goreng, masak nasi, merebus air dan
memanaskan makanan.
Huh, kalau cuma itu, orang paling bego juga bisa.
Kau saja yang masak. Kau bisa masak kan?
Hei, jangan meremehkan aku yah. Genit genit begini,
aku bisa masak.
Jadi kau mengakui kalau kau itu genit? tembak Mia.
Alan cemberut. Sudah jangan membahas itu. Lebih
baik kita masak saja.
Kau mau masak apa?

130

Aku mau menggoreng telor mata sapi, otak otak dan


cap cay.
Otak otak, makanan apa itu?
Kau tidak pernah makan?
Aku baru dengar ada makanan namanya otak otak.
Itu terbuat dari otak sapi, ayam, ikan?
Sembarangan! Otak otak itu terbuat dari ikan
tenggiri.
Otak ikan tenggiri?
Bukan, tetapi dagingnya.
Kenapa dinamakan otak otak?
Kau ini cerewet sekali yah. Mana aku tahu. Bukan aku
yang kasih nama. Sudahlah sekarang kita goreng telur dulu.
Mia melihat bagaimana repotnya Alan pada saat
memecahkan telur. Diam diam dia menertawakan Alan.
Sebenarnya dia bisa memasak tetapi enggan memberitahu
Alan. Dia tidak mau Alan mengetahui kalau dia paling takut
minyak. Kalau sudah mulai menggoreng ayam, telur atau ikan,
Mia selalu menutupi tangannya agar tidak terkena minyak.
Lagipula dia ingin mengerjai Alan.
Auw! Alan menjerit sambil meniup tangannya. Dia
meringis kesakitan.
Kenapa? Mia berlari mendekat karena cemas.
Sepertinya tanganku terkena minyak. Tolong kau balik
telurnya.
Huh, kau ini. Kena minyak saja, jeritannya sudah
sampai ke ujung dunia, Mia mengejek Alan. Tunggu
sebentar. Tidak berapa lama Mia kembali dengan tangan
kanan tertutup dengan handuk. Ketahuan deh rahasiaku,

sungut Mia.

Alan terbengong bengong melihatnya. Untuk apa

itu?

Supaya tanganku tidak terkena minyak.


Alan tercengang. Yang membuat Alan lebih heran lagi,
pada saat membalikkan telur Mia berada sangat jauh dari kuali
dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
Mia, kau tidak melihat ke kuali. Bagaimana kau bisa
tahu kalau telurnya sudah matang atau tidak? Alan
keheranan.
Kau saja yang lihat, kata Mia.

131

Astaga, telurnya sudah gosong. Bagaimana ini? Ini


sudah tidak layak untuk dimakan. Kau sih pakai acara ngambil
handuk segala, Alan menyalahkan Mia. Itu saja sudah
memakan waktu banyak. Makanya telurnya gosong.
Mia mengibaskan tangannya. Mau bagaimana lagi?
Salahmu sendiri tidak mengecilkan apinya. Kita masak yang
lain saja. Kau mau masak apa?
Sekarang kita akan menggoreng otak otak.
Apa kau pernah masak otak otak sebelumnya, Alan?
Tidak, tetapi aku sering makan.
Yang aku tanya, apa kau tahu bagaimana cara
memasaknya?
Tentu saja. Cara masaknya mudah kok. Tinggal
digoreng atau dibakar. Kau perhatikan saja bagaimana aku
melakukannya, kata Alan dengan gaya yang terkesan sok
tahu.
Awalnya semua berjalan lancar sampai otak otak itu
terbelah dua dan minyaknya muncrat ke mana mana.
Auw! kali ini giliran Mia yang menjerit kesakitan.
Bagaimana ini? Minyaknya terus meletup letup.
Lantai dapur yang tadinya putih jadi licin dan kotor
karena warna kuning bekas tumpahan minyak goreng.
Kita harus mematikan kompornya, seru Mia.
Tetapi bagaimana caranya? Kalau kita mendekat, kita
bisa terkena minyak.
Aku tahu, kata Mia. Kita gunakan handuk saja.
Mia menutup kepalanya dengan handuk dan berjalan
pelan pelan ke kompor dan dengan refleks yang cepat, dia
memutar tombolnya.
Kompornya sudah mati. Keduanya bernapas lega.
Sepasang muda mudi itu berdiri sembari menatap dapur yang
berantakan. Alan menggaruk kepalanya karena merasa suntuk
dengan suasana semrawut di sekitarnya. Gagal sudah rencana

makan malam kami, pikirnya.

Sekarang kita mau makan apa? Telurnya gosong, otak


otaknya kebanyakan minyak dan cap caynya belum
dimasak, celutuk Mia.
Alan mengambil kain lap dan mulai membersihkan
kompor kotor karena minyak. Kita beli makanan dari luar

132

saja, usul Alan. Tetapi, kita bersihkan dapur dulu, baru kita
cari makanan. Bagaimana? Alan menoleh ke Mia.
Memangnya kita mau makan apa?
Kita makan seafood saja.
Aku tidak bisa makan seafood. Aku alergi. Aku pernah
mencobanya,dan setelah itu, kulitku gatal gatal dan
memerah, tukasnya.
Apa? Kau ini payah sekali. Padahal seafood itu
makanan enak loh.
Aku tidak peduli rasanya. Pokoknya aku tidak mau
makan seafood. Kita makan mie instan saja. Pakai sayur, telur
dan baso.
Hmm. Kedengarannya enak. Tapi memangnya kau
bisa?
Dengar ya baik baik. Aku ini sebenarnya bisa masak.
Tadi aku hanya mengerjai kau saja.
Alan melotot. Dasar tukang bohong, umpatnya.
Mia tidak menggubris pelototan Alan. Daripada marah
marah lebih baik kau ambil mienya dan aku menyiapkan
bahan bahannya.
Alan menuruti perintah Mia sambil ngedumel. Berapa
bungkus?
Empat.
Banyak sekali.
Sudah. Jangan banyak cingcong. Ambil saja empat
bungkus. Aku lagi pingin makan sepuasnya.
Wah, wah, baru kali ini aku melihat perempuan dengan
selera makan luar biasa sepertimu, Mia. TetapiAlan melihat
Mia dari atas sampai bawah, kok kau tidak terlihat gemuk?
Jangan mulai deh.
Aku tidak bermaksud mengejekmu jika itu yang ada di
pikiranmu. Kebanyakan teman wanitaku makannya sedikit
sekali. Alasan mereka karena takut gemuk. Mana mungkin
makan satu piring saja, beratnya langsung tambah sepuluh
kilogram. Iya nggak Mia? tanyanya dengan senyum
menggoda. Kau tahu tidak? Aku paling suka dengan
perempuan yang selera makannya besar., Alan mengedipkan
sebelah matanya.
Mia tidak menjawab. Dia mendengus sebal.

133

Alan menunggui Mia di dapur sampai dia selesai


memasak. Tidak berapa lama, mie instan buatan Mia sudah
jadi. Mereka berdua untuk pertama kalinya makan bersama.
Selama ini mereka selalu makan bareng Helen.
Namun, makan malam itu tidak berlangsung tenang.
Alan terus mengoceh tentang masakan Mia. Tidak ada yang
luput dari komentar Alan. Mulai jatah mie yang diterimanya,
rasanya dan cara Mia memasak.
Kau ini dari tadi bicara terus. Kau tidak mau makan?
Kenapa Mia? Kau masih lapar yah? Apa jatahmu masih
kurang? Aku tidak keberatan kalau kau mengambil jatahku.
Ambil saja, Alan menyodorkan piringnya.
Aku tidak serakus itu.
Jangan malu malu gitu ah.
Sudah diam! sembur Mia. Bisa keselek aku kalau
makan sambil ngomong.
Kau benar benar gadis yang lucu Mia.
Mia menaruh sendoknya dan melotot. Aku gadis yang
lucu katamu? Memangnya wajahku ini terlihat seperti tokoh
kartun? bentaknya galak. Memangnya wajahku ini seperti
anak anjing?
Senyum Alan langsung lenyap. Dia langsung tahu kalau
Mia marah. Dia berhenti menggoda Mia dan memilih
menghabiskan makanannya.
Selesai makan keduanya bekerja sama. Mia mencuci
piring sementara Alan membersihkan meja makan.
Kemudian mereka berdua duduk di depan televisi. Alan
yang memegang kendali remote dengan seenaknya mengganti
ganti saluran. Mia sampai sewot melihatnya.
Sebenarnya kau mau nonton apa? tanya Mia senewen.
Alan mengangkat bahu. Nggak tahu nih. Sepertinya
acaranya gak ada yang enak.
Berikan remotenya padaku. Bisa bisa rusak kalau kau
yang pegang.
Alan memberikan benda berbentuk persegi dan
berwarna hitam itu kepada Mia.
Dasar! Stasiun teve jaman sekarang. Makin lama makin
gak jelas acaranya. Masa dari pagi sampai malam isinya
sinetron sama infotainment melulu, Alan menggerutu.
Untung acara tengah malam, bukan sinetron. Kalau sampai

134

jam segitu, masih disuguhi sinetron, lebih baik aku buang


televisinya!
Memangnya kau suka menonton semalaman yah?
Sebenarnya sih tidak. Hanya saja, kalau susah tidur
atau terbangun tiba tiba, aku sering menonton televisi.
Nonton VCD atau DVD saja.
Koleksi kak Helen aku sudah nonton semuanya.
Sedangkan koleksiku yang terbaru, ketinggalan di rumah.
Apa kau mau baca buku? Aku punya buku buku
bagus, kata Mia menawarkan.
Tidak. Terima kasih. Aku tidak suka buku. Aku lebih
suka majalah. Aku sudah membawa beberapa. Tunggu
sebentar, aku ambil dulu.
Mia menunggu dengan wajah antusias. Lumayanlah,

daripada tidak ada bacaan.

Tidak berapa lama, Alan kembali dengan setumpuk


majalah. Betapa kagetnya Mia saat melihat nama nama
majalah itu. Ada Matra, Popular, Male Emporium, FHM dan
masih banyak lagi. Mia hanya bisa terbengong - bengong saat
Alan menyodorkan majalah yang dibawanya. Semangat
membacanya langsung lenyap ditelan bumi. Yang benar saja?

Aku kan perempuan. Masa aku disuruh baca majalah khusus


laki laki.
Kau saja yang baca. Lebih baik aku tidur saja. Selamat
malam, Mia bangkit dari sofa dan menepuk pundak Alan.
Kenapa? Kau tidak suka majalah ini? Kalau kau mau
aku masih punya yang lain.
Mia menggeleng gelengkan kepalanya. Aku tidak
tertarik. Lebih baik aku tidur.
Alan mengangkat bahunya. Terserah kau saja. Selamat
tidur. Mimpi yang buruk yah.
Mia mendelik sebal.
Tetapi Alan tidak peduli. Alih alih membaca majalah
yang dibawanya, dia malah sibuk memencet tombol remote.
Payah, tidak ada acara yang enak, gerutunya.
Mau tidak mau Mia tersenyum geli melihat kelakuan
Alan. Mia pun masuk ke dalam kamar dan langsung berbaring
di atas tempat tidur. Dia mencoba memejamkan mata tetapi
tidak bisa.

135

Mia memandang ke langit langit kamarnya. Dia tidak


bisa tidur setiap memikirkan keberadaannya yang hanya
berdua dengan Alan. Apa kata Mama dan Papa kalau tahu ada

pria yang menginap di tempatku. Mereka pasti mencak


mencak.

Mia bangkit dari tempat tidurnya. Untuk kesekian


kalinya dia memeriksa apakah dia sudah mengunci pintu atau
tidak. Dia mengambil novel Sidney Sheldon, Are You Afraid of
The Dark. Dia membaca di atas tempat tidur. Tanpa sadar dia
mulai tertidur. Buku yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai.
***
Mia menggosok gosok matanya. Dia melihat ke jam
yang tergantung di dinding. Jarum pendek berada di posisi
angka tujuh. Astaga aku kesiangan. Dia membuka pintu
kamarnya.
Ah, kau sudah bangun rupanya. Bagaimana tidurmu?
Nyenyak atau justru merasa tidak nyaman? Jangan dibiasakan
bangun kesiangan. Kau ini sudah menjadi seorang guru loh.
Seorang guru harus selalu bangun pagi. Kan malu kalau setiap
hari bangunnya kesiangan, celoteh Alan.
Mia tidak menanggapi ocehan Alan. Dia agak terkejut
melihat penampilan Alan yang terlihat sangat rapi. Dia
mengenakan celana berwarna hitam dan kemeja biru lengan
panjang, lengkap dengan dasi. Tidak ketinggalan kacamata
minusnya yang membuat dia terlihat semakin menawan.
Mata Mia tidak berkedip melihatnya. Dia melihat Alan
dari atas sampai bawah.
Jangan melihatku seperti itu ah. Aku jadi malu, Alan
mengibaskan tangannya. Gayanya seperti seorang perempuan
yang tersipu malu. Aku kelihatan tampan yah? godanya.
Mia melengos. Biasa saja tuh tapi kau rapi sekali, puji
Mia.
Aku harus ke kantor. Jadi, wajarkan kalau aku tampil
rapi? Kau sendiri, mau ke mana hari ini?
Mia menggosok gosok matanya, Nggak kemana
mana. Di rumah saja. Aku mau menyiapkan materi yang akan
kuajarkan nantinya.
Baguslah kalau begitu. Memang persiapan yang
matang sebelum memasuki tempat kerja yang baru itu perlu.
Oh ya, hari Sabtu ini kau kuajak jalan jalan. Sekalian

136

merayakan keberhasilanmu menjadi guru. Bagaimana, kau


mau tidak?
Kita lihat saja nanti, sahut Mia.
Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu yah. Anggap saja
rumah sendiri.
Mia mencibir mendengar ucapan Alan. Mia melihat meja
makan yang masih dalam keadaan bersih. Alan!
Ya, ada apa?
Kau sudah sarapan belum?
Belum. Jangan khawatir, aku biasanya sarapan di
kantor. Dia menatap Mia dengan senyum menggoda. Kenapa?
Kau khawatir yah kalau aku tidak sarapan, aku bisa pingsan di
kantor?
Mia mencibir. Siapa yang mengkhawatirkanmu. Aku
hanya bertanya.
Oh ya, kalau kau ingin sarapan, di lemari di atas kulkas
ada indomie. Kau masak sendiri saja. Kemarin aku baru
belanja. Kau tidak perlu khawatir kekurangan makanan.
Iya, iya. Aku tahu, Mia mendengus sebal.
Tiba tiba Alan membalikkan badan dan menatapnya
dengan sorot mata nakal.
Kenapa kau memandangku seperti itu? tanya Mia
heran.
Begini, kau kan tinggal di rumah Kak Helen. Daripada
melakukan sesuatu yang tidak berguna lebih baik kau
membereskan rumah ini. Aku biasanya kalau menginap di sini
selalu membersihkannya. Lagipula kau pernah bilang tidak
mau tinggal gratis. Jadi kau harus menepati ucapanmu.
Mumpung kau ada di sini. Sampai nanti, Alan melambaikan
tangan. Dia langsung pergi meninggalkan Mia yang
terbengong bengong.
Sialan. Tanpa dia bilang aku juga tahu. Mia menghela
napas. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana
trainingnya. Mia melihat ke sekeliling ruangan. Majalah
berserakan di atas meja. Handuk tergantung di kursi baju
kotor Alan tergeletak di lantai. Baru menginap sehari saja

sudah berantakan begini. Dasar laki laki.

Mia membuka kulkas. Dia memeriksa barang barang


yang dibeli Alan. Wah, ternyata dia belanja besar rupanya. Di
dalam kulkas terdapat lima botol sirup Tropicana Slim rasa

137

anggur, susu kaleng rasa coklat, buah buahan, minuman


ringan, yakult dan sayur sayuran. Lumayan, pikir Mia.
Kemudian dia membuka freezernya. Ada es batu, makanan
beku, daging dan lima kotak es krim Walls Selection rasa
coklat dan strawberry. Wow, stok eskrimnya banyak sekali.
Mia melihat ke lemari yang berada tepat di atas kulkas.
Astaga, orang ini pasti penggemar berat indomie. Mia geleng
geleng kepala melihat isi dari lemari gantung itu. Di dalamnya
terdapat indomie berbagai rasa. Ada kari ayam, ayam bawang,
kaldu ayam spesial, soto mie, baso dan indomie goreng. Mia
mengambil satu bungkus indomie rasa kari ayam. Kemudian
dia memotong motong sayur dan menaruhnya di dalam
panci yang berisi air mendidih.
Dia mengambil koran Kompas yang terletak di atas
meja. Dia membaca koran sambil menyantap sarapannya. Dia
membayangkan sambil tersenyum geli. Mama dan Papa pasti

marah kalau mereka melihatku makan sambil membaca.

Setelah
menghabiskan
indomienya,
Mia
mulai
membereskan rumah. Dia melihat ke arah kamar Helen yang
ditempati Alan.
Dia membuka pintunya dan mulai membersihkan. Dia
tertegun melihat ransel dan travel bag milik Alan yang
teronggok dengan manisnya di atas tempat tidur. Tangan Mia
sempat gatal ingin membuka tas tas itu tapi dia
mengurungkan niatnya. Dia merasa lancang kalau sampai
membuka tas milik Alan.
Selesai beres beres, Mia duduk di teras sambil
mengipas - ngipas. Dia merasa lelah sekaligus kegerahan.
Tiba tiba telepon berdering. Mia berlari ke dalam
rumah dan mengangkatnya.
Halo Mia, ini aku Alan. Bagaimana, kau sudah
sarapan?
Sudah.
Baguslah kalau begitu, kata Alan. Oh ya, Mia es krim
yang di kulkas jangan dimakan. Itu aku beli bukan untukmu.
Itu stok buatku kalau kalau aku datang ke situ.
Siapa yang tertarik dengan es krimmu? Kalau aku mau,
aku bisa beli sendiri. Dasar pelit kata, Mia dalam hati.

138

Kau ini tidak bisa diajak bercanda. Cepat sekali


marahnya seperti bensin disulut api saja. Kalau kau mau ambil
saja.
Kau di mana? Apa sudah sampai di kantor?
Belum aku masih di jalan, biasa terjebak macet. Sudah
ya, sampai ketemu lagi nanti malam.
Selamat bekerja. Mia menaruh gagang telepon
dengan wajah terheran - heran. Sebenarnya maksud dia

menelepon ke sini apa sih?

***
Sesampainya di kantor, Alan langsung disambut
sekretarisnya yang genit, Sarah. Ada apa?
Papa dan Mama anda sekarang sedang menunggu di
kantor. Mereka pesan agar anda begitu datang langsung
menemui mereka.
Ada apa lagi ini? gumam Alan.
Mungkin karena kemarin anda langsung pulang dan
tidak menemui Papa anda.
Jangan sok tahu kau, Alan menjawil pipi Sarah yang
menjerit kesenangan.
Setelah menaruh tas kantornya, Alan langsung keluar
ruangan. Dia bergegas masuk lift dan menekan angka
limabelas. Itu adalah lantai di mana ruangan papanya berada.
Begitu sampai, dia dipersilakan sekretaris papanya untuk
segera masuk.
Alan sempat mengintip dari balik pintu. Dia melihat
Mama dan papanya sedang asyik mengobrol. Alan mendehem
sehingga menarik perhatian orangtuanya. Mereka menoleh
berbarengan. Tanpa disuruh, Alan langsung masuk ke dalam
ruangan itu.
Dari mana saja kau? Kemarin disuruh datang ke kantor
kau malah main pergi begitu saja. Tidak pulang ke rumah lagi.
Tinggal di mana kau? Tuan Harsono memberondong putra
termudanya itu dengan sejumlah pertanyaan.
Alan menghempaskan pantatnya di atas kursi tamu
berwarna merah marun yang empuk. Di rumah teman, Alan
berbohong. Tangannya mengusap usap kursi yang
didudukinya.
Siapa namanya?
Arya, jawab Alan sekenanya.

139

Kau bohong!
Kalau sudah tahu kenapa masih tanya tanya, cetus
Alan.

Mata papanya melotot. Nyonya Harsono sendiri memilih


diam. Dia enggan mencampuri perdebatan suami dan putranya
itu.
Apa kau sudah memperbaiki laporan penjualan?
Alan menaruh map yang berisi laporan penjualan di atas
meja.
Sebaiknya laporan yang kau buat ini benar. Masa
laporan mudah saja tidak bisa kau buat. Anak SMU saja bisa
buat laporan seperti ini. Coba kau ambil jurusan manajemen
bukannya arsitektur. Jadi kau bisa buat laporan penjualan
tanpa kesalahan. Dengan demikian bawahanmu tidak merasa
dipermalukan olehmu.
Alan benar benar tersinggung mendengar ucapan
papanya. Jangan menyalahkanku, Pa. Papa tahu kan kalau ini
bukan keahlianku. Lagipula aku kan baru kali ini melakukan
kesalahan! Alan berteriak sampai urat di lehernya menonjol.
Alan meninggalkan kantor papanya dalam keadaan
marah besar. Dia berjalan tergesa gesa menuju kantornya di
lantai sepuluh. Dia membanting pintu dan menghempaskan
tubuhnya ke atas kursi.
Brengsek, teriaknya. Dia membuang semua kertas yang
ada di meja. Dia memukul meja dengan kedua tangannya.
Anak buahnya yang berada di luar terkejut mendengar suara
gaduh dari dalam ruangan bos mereka. Tetapi Alan tidak
peduli. Dia mulai berpikir tentang hubungannya dengan
papanya. Sejak dia memilih jurusan arsitektur, hubungannya
dengan papanya mulai sering tegang.
Sifat Alan yang pemberontak dan seenaknya,
berbenturan dengan sifat papanya yang cenderung
konservatif. Yang membuat Alan kesal, papanya berhasil
menekan sehingga dia terpaksa tinggal di rumah dan menuruti
semua keinginan papanya. Lagipula, Alan punya alasan lain
menerima tawaran bekerja di perusahaan papanya. Yang
menjadi pertimbangannya, dengan bekerja di perusahaan
keluarga, kemungkinan dia dipecat akan sangat kecil. Lagipula
dia tidak perlu bersusah payah mencari pekerjaan. Selain itu
dia juga bisa menjadi atasan tanpa membutuhkan waktu yang

140

lama. Tetapi dia tidak menyangka kalau pekerjaan yang ia


tekuni sekarang akan membuatnya sering didera kesulitan.
Ketukan di pintu menyadarkan Alan dari lamunannya.
Masuk! Dia mulai memeriksa laporan laporan yang terletak
di atas mejanya. Si genit Sarah masuk sambil membawa
tumpukan kertas dan segelas kopi kesukaan Alan.
Anda harus menandatangani ini, Pak, Sarah
melemparkan senyum genitnya saat menyerahkan berkas
berkas yang dibawanya, namun Alan hanya melihat sekilas dan
kelihatan tidak tertarik.
Sarah memasang muka merajuk. Biasanya trik ini
berhasil, pikirnya. Namun, ekspresi Alan tidak berubah. Dia
asyik membaca berkas berkas yang baru dibawakan Sarah.
Nih, Alan menyodorkan berkas berkas yang sudah
ditandanganinya.
Sarah menerimanya tetapi dia belum beranjak dari
hadapan atasannya itu. Alan menatapnya heran. Dia membuka
kacamatanya. Kenapa kau masih berada di sini?
Habis dari tadi saya senyum, Bapak tidak menanggapi,
sahut Sarah setengah merajuk.
Alan terperangah. Memangnya aku harus bagaimana?
tanya Alan tidak mengerti.
Anda biasanya membalas senyum saya. Anda juga
selalu menggoda saya, Sarah kembali mengerling genit.
Alan bangkit dari kursinya. Dia berdiri sambil
meletakkan kedua tangannya di atas meja. Dengarkan aku
baik baik, Sarah. Aku tidak ingin bersikap kasar karena itu
bukan gayaku. Tetapi saat ini, aku sedang tidak mood untuk
melakukan apa yang kau bilang barusan. Jadi kumohon, kalau
tidak ada yang penting, tolong tinggalkan aku sendirian. Aku
harus bekerja kalau tidak mau dimarahi papaku. Kau mengerti
kan? tegas Alan.
Sarah tersenyum kecut. Iya, saya mengerti, katanya
sambil bergegas meninggalkan ruangan Alan.
Alan hanya geleng geleng kepala. Tidak berapa lama,
dia tenggelam dalam pekerjaannya.
***
Sepulang dari kantor, Alan mampir di rumah temannya
yang sedang berulang tahun. Namun, tidak biasanya Alan
merasa bosan berada di antara teman temannya. Dia sama

141

sekali tidak tergerak untuk menari mengikuti alunan musik


yang dimainkan. Dia melihat ke sekelilingnya. Teman
temannya asyik bercengkrama. Biasanya aku bisa menikmati

suasana ini tapi kenapa sekarang tidak ya, pikir Alan.

Pikiran Alan melayang saat bersama dengan Mia.

Kenapa aku malah teringat pada sijudes itu. Dia lagi ngapain
yah? Apa aku ke rumahnya saja? Yah, lebih baik aku ke sana.

Alan bergegas pergi begitu saja meninggalkan pesta yang


diadakan.
Hei Alan! Kau mau ke mana? Acaranya belum selesai,
temannya berteriak memanggil.
Alan tidak menggubris. Dia terus saja berjalan ke
tempat mobilnya diparkir. Dia memacu mobilnya menuju
rumah Mia. Mudah mudahan sijudes itu di rumah. Tapi

kalaupun enggak, aku punya kuncinya kok.

Akhirnya dia sampai di rumah Mia. Dia memencet bel


tetapi tidak ada jawaban. Kemudian dia mengetuk pintu tetapi
tidak ada jawaban juga. Ke mana sih anak itu, pikirnya gemas
sekali. Alan ingin menggunakan kunci yang dipegangnya tetapi
dia membatalkannya. Alan memasukkan kembali kunci itu ke
dalam sakunya.
Alan mencoba mengetuk lagi tetapi pintu tidak kunjung
dibuka. Alan mengintip lewat jendela tetapi dia tidak melihat
tanda tanda ada orang di rumah. Putus asa, Alan
memutuskan untuk pergi. Pas dia berada di mobil, pintu rumah
terbuka. Mia celingak celinguk melihat keadaan sekitar.

Sepertinya tadi ada yang mengetuk tetapi kenapa orangnya


tidak kelihatan yah, gumamnya.

Mia! Alan berteriak memanggilnya. Spontan Mia


menoleh. Matanya mencari sumber suara. Dia melihat Alan
keluar dari dalam mobil dan berjalan ke arahnya. Ternyata
kau!
Kenapa pintunya lama sekali dibuka? Apa kau tahu
tanganku sampai sakit gara gara mengetuk pintu dan
memencet bel? Hampir saja aku tadi menggunakan kunci
Helen.
Mia merengut. Seperti biasanya, selalu berlebihan. Aku
sedang membersihkan kamar mandi. Ada apa? tanya Mia.
Wajahnya menyiratkan kecurigaan.

142

Alan tidak menjawab. Dia langsung saja nyelonong


masuk rumah seperti kebiasaannya selama ini. Dia menyetel
televisi dan langsung duduk santai di sofa.
Mia sebal sekali melihatnya. Alan, kau jangan datang
dan pulang seenaknya saja dong. Coba kau pikir bagaimana
tanggapan tetangga melihatnya. Mereka akan berpikir yang
tidak tidak.
Biarkan saja. Toh kenyataannya kita tidak melakukan
apa apa.
Tapi mereka kan tidak tahu itu. Mereka hanya melihat
dari luar. Apalagi kau punya kunci rumah ini. Bagaimana kalau
mereka menyatroni kita seperti di koran koran. Mereka bisa
menyeret kita keluar dan mengarak kita di jalanan, kata Mia.
Dia bergidik ngeri jika membayangkan hal itu.
Biarkan saja. Kalau mereka datang, kita bilang saja
yang sebenarnya pada mereka kalau di antara kita tidak ada
hubungan apa apa, sahut Alan cuek.
Mia mau mencubit tangan Alan tetapi yang
bersangkutan sudah menghindar duluan. Kau ini. Aku bicara
serius kau malah menanggapinya seperti itu! Mana mau
mereka percaya.
Memangnya mereka tidak bisa narik kesimpulan apa?
Mana mungkin aku mau sama cewek macho sepertimu. Bisa
bisa sebelum menghajarku mereka bisa tertawa ngakak.
Mereka pasti bilang: apa nggak salah nih? Masa iya, pria
setampan kau bisa menyukai wanita yang punya tampang
sangar kayak begini!
Mia menendang lutut Alan sampai pria itu terjatuh.
Wajahnya merah padam karena kesal. Sudah diam! Jangan
menghinaku lagi. Kalau tidak aku akan pindah dari rumah ini
jadi aku tidak perlu melihat mukamu yang jelek itu,
semburnya.
Alan mengelus elus lututnya yang baru ditendang Mia.
Sialan, tendangannya kuat sekali. Alan sama sekali tidak
membalas tendangan Mia, karena pantang baginya menyentuh
wanita dengan kasar. Tetapi, Alan bisa memahami kenapa Mia
menendangnya. Rupanya ucapan dia barusan sangat
menyinggung perasaan Mia. Dia memasang tampang
menyesal. Iya, maaf. Aku kan sudah berkali kali bilang
padamu, kalau aku dan Kak Helen sudah melapor ke pak RT.

143

Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Selesai bicara, Alan


kembali menonton seolah olah tidak terjadi apa. Mia sampai
mengelus dada melihatnya.
Berikan kunci Helen padaku, Mia mengulurkan
tangannya.
Alan mendongak heran. Bukannya kau menyuruhku
menyimpannya?
Aku berubah pikiran.
Aku tidak mau, tolak Alan. Helen memberikan kunci
ini padaku pasti karena ada maksudnya.
Berikan padaku! kata Mia setengah memaksa.
Nggak mau! Alan bersikeras. Memangnya buat apamu
kunci ini? Kau kan sudah punya.
Aku khawatir kau akan menyalahgunakan kunci ini.
Tidak menggunakan kunci pun kau sudah masuk seenaknya
saja. Apalagi kalau memakai kunci.
Aku bukan orang seperti itu. Sudahlah. Jadi orang
paranoid banget. Aku nggak bakalan macam macam deh.
Tadi bisa saja, aku menggunakan kunci ini tetapi nyatanya
tidak kan? Mia, percayalah. Aku tidak akan menyalahgunakan
kunci ini, tegas Alan sungguh sungguh.
Mia mengamati wajah Alan untuk melihat apakah si
ganteng itu bisa dipercaya atau tidak. Tetapi dia tidak melihat
ada keganjilan. Dia menarik napas. Awas kalau kau sampai
berani menyalahgunakannya. Aku akan menghajarmu, ancam
Mia.
Alan mengangkat sebelah tangannya seperti orang yang
sedang bersumpah. Tetapi dalam hati, Alan bersungut
sungut. Dia kembali memusatkan perhatiannya pada layar
televisi.
Hei, ini memang rumah kakakmu tetapi bukan berarti
kau bisa seenaknya saja di sini. Daripada malas malasan
begitu ayo bantu aku membersihkan kamar mandi, Mia
menarik tangan Alan.
Malam malam begini? Alan menatap tidak percaya.
Yang benar saja. Aku nggak mau. Masak eksekutif muda
sepertiku disuruh membersihkan kamar mandi?
Mia tidak mau mendengar penolakan Alan. Dia terus
saja menarik tangan Alan. Alan tidak bisa menarik tangannya

144

karena pegangan Mia sangat kuat berkat latihan taek wondo


dan karate sekaligus.
Aku tidak mau mendengar penolakan. Setiap datang ke
sini, kau tidak pernah membantuku. Yang bisa kau lakukan
hanya menghina dan mengganggu saja. Sekarang aku tidak
mau tahu. Bersihkan atau pergi sekarang juga, Mia
mengultimatum Alan.
Sambil menggerutu akhirnya Alan membantu Mia
membersihkan kamar mandi.
Dasar perempuan mengerikan.
Apa katamu?
Tidak ada. Bagian mana saja yang harus kubersihkan?
Mia menunjuk kakus. Alan melotot. Nggak mau. Kan
jorok, Mi?
Kau pakai ini, Mia menyodorkan masker dan sarung
tangan. Alan menerimanya sambil menggerutu. Dia
menggulung lengan kemeja dan celananya. Dia masuk ke
dalam kamar mandi.
Kedua orang itu jongkok dalam posisi saling
membelakangi. Alan menggosok kakus sedangkan Mia
menggosok dinding kamar mandi.
Ah, bukankah ini bagus? Pekerjaan apapun lebih enak
diselesaikan bersama sama. Iya kan? Mia melirik Alan.
Namun, yang dilirik hanya pasang muka cemberut. Mau tidak
mau, Mia tersenyum geli melihat tingkah Alan. Rasain kau,

ejeknya dalam hati.

***
Selesai membersihkan kamar mandi, keduanya makan
malam bersama. Kali ini Mia yang memasak.
Apa kau tahu dari mana namaku diambil, Mia?
Mia menggeleng.
Nama Alain itu diambil dari nama aktor Perancis yang
sangat terkenal, Alain Delon. Kau pernah dengar kan? Dia itu
tampan sekali. Mungkin karena waktu lahir, wajahku sudah
terlihat tampan makanya orangtua memberiku nama itu.
Mia mendengus. Aku pernah dengar nama Alain Delon.
Tetapi ketampanan kalian berbeda sekali. Bagaikan langit dan
bumi. Jadi jangan coba coba membandingkan kau dengan
dia!

145

Raut wajah Alan berubah masam. Selagi keduanya


bersitegang tiba tiba listrik padam.
Ah, keduanya menjerit penuh kekecewaan. Dalam
keadaan gelap gulita keduanya memilih untuk tetap berada di
kursi masing masing.
Kau punya senter kan? tanya Alan.
Seingatku sih punya. Helen menyimpan banyak senter.
Tapi aku lupa ditaruh di mana.
Biasanya Helen menyimpan senter di dapur, Alan
bangkit dari kursinya. Dia berjalan sambil meraba raba dalam
kegelapan. Aduh, dia menjerit kesakitan.
Kenapa? Ada apa? tanya Mia panik.
Sepertinya aku menabrak sesuatu, Alan meringis.
Makanya hati hati, Mia mengingatkan.
Kau mengkhawatirkan aku yah? goda Alan.
Aku tarik kata kataku kembali, kata Mia ketus.
Alan tersenyum geli sementara tangannya membuka
laci lemari di dapur. Dia meraba raba mencari senter.
Aku menemukannya, Alan berseru. Dia menyalakan
senter itu dan mengarahkannya ke Mia yang spontan menutup
wajahnya karena silau.
Wah, senter Helen banyak sekali.
Bawa ke sini semuanya, kata Mia.
Untuk apa? Dua saja kan cukup, sahut Alan heran.
Daripada pasang lilin mendingan menggunakan senter.
Iya kan?
Terserah kau saja, Alan enggan berdebat dengan Mia.
Mereka berdua duduk di sofa.
Aku paling benci kalau mati lampu, kata Mia.
Kenapa?
Karena aku tidak suka berada dalam kegelapan! Kalau
sudah begini, aku tidak bisa tidur.
Alan duduk di samping Mia. Mia bisa merasakan tangan
Alan di dekatnya. Dengan gerakan refleks, Mia mengarahkan
lampu senter ke Alan.
Hei! Alan berteriak sambil menutup mata dengan
kedua tangannya. Kenapa kau mengarahkannya padaku?
Silau tahu!
Itu untuk memastikan kalau tanganmu tidak macam
macam!

146

Alan menggerutu. Aku memang genit dan playboy


tetapi aku tidak akan melakukannya sembunyi sembunyi.
Lagipula aku sama sekali tidak tertarik sama cewek galak
sepertimu. Daripada mengelusmu, lebih baik mengelus kucing.
Setidaknya kucing tidak bisa menendang, gumamnya.
Alan menjerit dalam kegelapan. Cubitan Mia mendarat
tepat di bagian pinggangnya. Kalau saja ada tali, sudah kuikat
kaki dan tanganmu, supaya tidak bisa melukaiku, cetus Alan.
Mia terkikik geli. Hei Alan, kalau benar kau tidak
tertarik padaku, kenapa kau mati matian mengajakku
kenalan di bandara pada saat pertama kali kita bertemu?
Itu karena wajahmu sangat polos. Melihatnya saja, aku
langsung tahu kalau kau baru pertama kali menginjakkan kaki
di Jakarta.
Ah, masa sih? Mia memegang wajahnya. Seingatku,
tidak pernah ada orang yang bilang kalau wajahku ini polos.
Tadinya aku berpikir seperti itu. Ternyata setelah
bicara, kau lebih ganas daripada harimau Sumatera.
Sialan. Kau menyamakan aku dengan harimau
Sumatera? Kau benar benar keterlaluan. Tapi aku tidak akan
membalasmu. Bertengkar denganmu membuatku terlihat tidak
berpendidikan.
Mia dan Alan saling menjulurkan lidah di dalam
kegelapan.
Tiba tiba gantian senter Alan yang mengarah
kepadanya. Mia spontan menutup matanya. Kau membalasku
yah?
Aku juga perlu memastikan kau tidak akan berbuat
macam macam padaku, kata Alan dengan cueknya.
Aku tidak tertarik menyentuhmu, Mia berkata sengit.
Iya, iya aku percaya. Sudah jangan marah, Alan
menenangkan Mia. Huh, bukannya dari tadi dia sudah

menyentuhku dua kali. Tetapisebenarnya bukan sentuhan


sih. Lebih pantas tendangan dan cubitan. Ah, nasibnasib.
Bisa bisanya aku berteman dengan seorang wanita yang
segalak herder.
Sebenarnya amarah Mia belum reda tapi dia memilih
untuk menuruti Alan. Lagipula dia merasa lelah bertengkar
dengan Alan.
Mia, Sabtu ini kita ke Dunia Fantasi yuk, ajak Alan.

147

Ngapain? sahut Mia ketus. Dia masih kesal pada Alan.


Kan waktu itu pernah kubilang. Kita harus merayakan
keberhasilanmu diterima bekerja. Bagaimana? Kau mau kan?
Mau ya? Ya? Ya? Ya? rayu Alan.
Mia terdiam. Dia menimbang nimbang tawaran Alan.
Sejak berada di sini, aku memang belum pernah ke Dufan.

Tapi aku dengar harga tiket dan makanan di sana sangat


mahal. Aku mau asal kau yang bayar. Mulai dari tiket sampai
dengan makanan.
Siapa yang diterima kerja, siapa yang bayar? Alan
menggerutu.
Kan kau yang ngajak, sahut Mia kalem. Kalau nggak
mau, ya sudah.
Iya! Aku yang bayar semuanya, bentak Alan kesal.
Jadi cewek pelit banget sih.
Aku bukannya pelit. Kalau aku yang ngajak, aku nggak
keberatan bayar tiket dan makanan. Masalahnya kau yang
mengajakku. Jadi bisa dibilang semua urusan finansial, kau
yang nanggung, kilah Mia. Lagipula gajimu lebih besar dari
aku. Jadi sudah sepatutnya kau yang menanggung semuanya.
Alan cemberut. Iya, aku tahu! semburnya. Dia benar

benar bukan tipe cewek idaman. Sama sekali tidak ada


kelebihannya. Sudah keras kepala, gampang naik darah, agak
bodoh, pelit pula. Alan menggeleng gelengkan kepalanya.
Apa cewek seperti ini bisa menikah? Apa mungkin ada pria
yang tahan dengan sifatnya itu?
Mia tersenyum. Ya sudah. Sabtu ini, kita ke Dufan,
cetusnya.

148

BAB 8
Alan dan Mia berangkat dari rumah jam setengah
sepuluh pagi. Keduanya kompakan mengenakan celana
pendek dan kemeja lengan pendek berwarna biru. Untuk alas
kaki mereka mengenakan sepatu sandal. Keduanya
mengenakan topi kupluk berwarna abu abu. Mia dan Alan
sama sama membawa tas ransel untuk menaruh barang
barang mereka. Mereka membawa makanan kecil, minuman
dan baju ganti sebagai persediaan kalau kalau baju mereka
basah.
Sesampainya di Dunia Fantasi, Mia dan Alan terkejut
melihat banyaknya pengunjung. Cuaca panas rupanya tidak
menghalangi orang untuk mendatangi Dufan, salah satu daya
tarik kota Jakarta. Kebanyakan yang datang adalah keluarga,
pasangan kekasih, teman teman.
Ramai sekali, kata Mia.
Wajar saja, inikan hari Sabtu. Hari yang cocok untuk
bersenang senang.
Wah, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di
sini.
Tunggu di sini, aku beli tiket dulu, kata Alan.
Begitu mendapatkan tiket, Alan dan Mia mengantri di
pintu masuk. Begitu pintu dibuka, para pengunjung
menunjukkan tiket supaya diijinkan masuk. Tangan mereka
dicap.
Mia melihat cap di tangannya. Seperti sapi saja, pakai

cap segala, pikirnya.

Ayo, Mia kufoto kau! Biar keluargamu tahu, kalau kau


sudah mengunjungi Dufan seru Alan. Mia pun bergaya bak
foto model sedangkan Alan beraksi bak fotografer profesional.
Kau ingin naik apa, Mia?
Entahlah aku bingung, bagaimana menurutmu? Kau
pasti sudah sering datang ke sini.
Alan menarik napas sambil melemparkan pandangannya
ke sekeliling mereka.
Kita naik itu saja, Alan menunjuk wahana Niagara
gara.
Mia terbengong bengong. Tapi kita bisa basah nanti.

149

Makanya aku menyuruhmu membawa baju ganti dan


jaket hujan yang anti basah.
Sebelum naik wahana itu, Mia dan Alan sempat
berdebat siapa yang duduk di depan. Masalahnya yang tersisa
hanya bangku nomor satu dan dua dari depan. Mia ngotot mau
duduk di tempat nomor dua, demikian juga Alan. Akhirnya
mereka memutuskan untuk suit. Orang orang di sekitar
sampai tertawa geli melihat tingkah mereka. Ternyata Alan
yang menang suit. Mia mengambil jaket anti basahnya dan
memakainya sambil menggerutu.
Saat wahana itu mulai turun, Mia menunduk sampai ke
bawah agar tidak terkena air. Dia menutup kepalanya.
Walhasil, Alan dan pengunjung yang duduk di belakang yang
terkena air. Sedangkan Mia, hanya kakinya saja yang basah.
Mia tertawa geli melihat penampilan Alan.
Menyenangkan sekali yah. Nanti kita coba lagi yuk?
Mia menggoda Alan yang basah kuyup.
Kau saja yang coba, Alan meninggalkan Mia menuju
toilet untuk mengganti bajunya. Tidak berapa lama dia kembali
dengan mengenakan T shirt dan celana pendek. Mia
tertegun melihatnya. Keren juga si genit ini, pikirnya.
Ayo, kita coba wahana yang lain, Alan menarik tangan
Mia. Mereka berdua menaiki wahana yang ada satu per satu.
Kalau ada wahana yang penuh dengan antrian, Alan dan Mia
memilih untuk tidak mencobanya. Mereka memilih wahana
yang sepi antrian.
Bagaimana kalau kita naik itu? tangan Mia menunjuk
ke arah halilintar.
Mia, apa kau yakin mau naik itu?
Iya, karena kelihatannya sangat menyenangkan. Ayo
kita ke sana, Mia menarik tangan Alan.
Alan mengibas ngibaskan tangannya. Kau saja Mia.
Aku tidak bisa. Aku terlalu tua untuk menaikinya.
Alan, kau baru dua puluh enam tahun, ujar Mia
keheranan.
Mia, aku tidak mau berdebat. Aku sudah lama tidak
naik halilintar. Terakhir kali menaikinya, aku pusing dan
muntah.
Kau payah, kata Mia.

150

Kau sendiri bagaimana? Apa kau tahan berada di


sana? tantang Alan.
Alan, aku ini gadis yang tangguh. Kau lihat saja nanti,
Mia berlari meninggalkan Alan menuju tempat mengantri.
Aku akan menunggumu di sini, teriak Alan.
Selama menunggu Mia, Alan menghabiskan waktunya
dengan menikmati keripik kentang sembari melihat gadis
gadis yang berseliweran di depannya. Setengah jam kemudian,
Mia datang. Gadis itu kembali dengan wajah seputih kapas.
Bagaimana rasanya Mia? Apa yang kaurasakan, karena
yang kulihat wajahmu sangat pucat, Alan memandang Mia
dengan raut wajah geli. Jangan katakan kalau aku tidak
memperingatkanmu. Dasar keras kepala. Katanya tangguh,
tetapi ternyata kau mengalami persis seperti yang aku alami
pada saat menaikinya.
Setidaknya aku mencobanya walaupun aku menyadari
efek yang kurasakan nantinya. Sekarang siapa yang lebih
tangguh, kau atau aku? sahut Mia tidak mau kalah.
Sekarang kita ke mana? Alan melihat lihat wahana
yang terlihat sepi.
Alan, Mia memegang tangannya. Aku ingin ke toilet.
Aku mau buang air kecil.
Ya, sudah pergi sana.
Alan menunggu di depan toilet wanita. Dia mondar
mandir dengan wajah tidak sabar.
Mia keluar dari toilet dengan wajah lega.
Bagaimana, sudah lega?
Yup. Aku sudah siap untuk bersenang senang lagi,
kata Mia mantap.
Alan tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada
daya tahan tubuh Mia. Ini pertama kalinya aku melihat gadis

sepertimu, Mia. Kau benar benar tangguh seperti yang kau


bilang.

Mia menoleh. Mau sampai kapan kau berada di sana?

Ayo!

Alan tersenyum kemudian menyusul Mia. Mereka


berdua berlari - lari sambil tertawa riang seperti anak kecil.
Bianglala adalah wahana yang paling akhir mereka
naiki. Mereka ingin menikmatinya tanpa berdesak desakkan.
Mereka duduk berdua sambil seluruh areal Dunia Fantasi yang

151

dipenuhi nyala lampu yang berkelap kelip. Dari kejauhan


terlihat laut yang dihiasi gelapnya malam.
Aku punya ide, bagaimana kalau kita meludah dari
sini? usul Alan.
Kau ini jahat sekali. Bagaimana kalau ada yang kena?
Mia menatap Alan dengan pandangan jijik.
Salah sendiri kenapa mereka berada di bawah.
Mia mendengus. Tetapi dia tertawa melihat keisengan
Alan.
Mia, ada yang ingin kubicarakan.
Bicara saja, kata Mia tanpa memalingkan wajah.
Aku tahu kita sering bertengkar. Tapiapa kita bisa

Kenapa bicaraku jadi setengah setengah begini, kata Alan


dalam hati. Dia melirik Mia yang sekarang memandangnya

dengan tatapan curiga.


Bisa apa? jantung Mia berdetak kencang.
Maksudkuapa kita bisa berteman? tanya Alan. Diam
diam dia menarik napas lega karena berhasil menyatakan
maksudnya.
Aaaah, Mia mendesah. Ya, ampun. Kukira kau mau
bilang apa. Ternyata itu toh maksudmu. Tentu saja.
Tapimemangnya selama ini kau menganggapku apa?
Temannya Helen, sahut Alan kalem. Tadinya
tujuanku ke rumah hanya untuk menengokmu sebagaimana
yang diperintahkan Helen. Tetapi siapa sangka aku justru
merasa senang bersama denganmu walaupun kita lebih sering
bertengkar.
Alan menoleh ke Mia yang sedang memandanginya.
Apa kau tahu Mia. Kau adalah wanita pertama yang ingin
kujadikan teman?
Mia menatap tidak mengerti.
Selama ini aku hanya menjadikan wanita sebagai
kekasih. Itu terus terjadi sampai aku bertemu denganmu.
Bersamamu aku tidak perlu pura pura menjadi orang lain.
Aku bisa menjadi diriku yang sesungguhnya. Ketika bertengkar
denganmu, aku tidak pernah merasa marah. Memang wajahku
cemberut, tetapi dalam hati aku merasa senang. Kau enak
diajak bertengkar.
Apa? cetus Mia tersinggung. Apa wajahku terlihat
seperti orang yang suka ngajak ribut? tanyanya sebal.

152

Bukan begitu maksudku, buru buru Alan meralat.


Kau gadis yang menyenangkan Mia. Ketika melihatmu marah,
aku merasa terhibur. Kau tidak pernah berpura pura di
depanku. Kau bersikap apa adanya dan tidak pernah berusaha
menarik perhatianku. Berbeda sekali dengan gadis gadis
yang pernah kutemui.

Sialan. Dia bilang kalau aku marah, dia merasa terhibur.


Jadi itu alasannya selalu membuatku marah. Memangnya kalau
aku terkena penyakit darah tinggi, dia mau bertanggung
jawab. Ingin rasanya Mia memprotes ucapan Alan tetapi dia

mengurungkan niatnya. Ucapanmu itu seperti dalam film


saja, celutuknya. Sudah ah, jangan bicara lagi. Bisa bisa
kepalaku meledak mendengarnya. Kalau kau mau berteman ya
sudah kita berteman. Tapi jangan pernah menuntut lebih ya,
tegas Mia.
Apa maksudmu jangan menuntut lebih?
Jangan berlagak tidak mengerti deh. Kau tahu persis
apa maksudku, tegas Mia.
Benaran, aku nggak ngerti, kata Alan sungguh
sungguh.
Mia menghela napas. Bianglala itu berhenti. Orang
orang mulai turun. Jangan pernah jatuh cinta padaku, Lan!
kata Mia pelan. Kemudian dia turun dari bianglala dan berjalan
dengan cepat.
Suara pengunjung di sekitar mereka membuat Alan
tidak bisa mendengar ucapan Mia. Dia memandang Mia yang
berjalan di depannya. Dia menarik napas pelan dan kemudian
berlari menyusul Mia.
Kau bilang apa tadi?
Aku tidak mau mengulangnya, sahut Mia.
Alan memonyongkan mulutnya. Ya sudah, kalau tidak
mau bilang. Aku anggap kau tidak mengatakan apa apa,
tukasnya.
Mia tidak mengacuhkan ucapan Alan. Dia berjalan cepat
sehingga Alan lumayan jauh tertinggal di belakangnya.
***
Bagaimana Mia? Apa kau senang? tanya Alan saat
mereka berada di mobil.
Aku senang sekali. Sudah lama aku tidak bersenang
senang seperti ini. Terima kasih kau sudah mengajakku.

153

Bagaimana kalau kita mampir ke tempat lain?


Tidak ah. Aku capek sekali.
Hei, ini kan hari terakhirmu yang kosong sebelum kau
mulai bekerja Senin nanti. Kau harus memanfaatkannya baik
baik.
Mia mulai mempertimbangkan usul Alan. Memangnya
kau mau mengajakku ke mana?
Bagaimana kalau ke diskotik. Kau pernah ke diskotik?
Kita berdisko ria di sana. Aku ingin melihatmu bergoyang
Mia keheranan melihat tenaga Alan yang tidak ada
habisnya. Aku tidak mau. Kakiku sudah tidak kuat jalan
apalagi berdisko. Lagipula aku tidak suka diskotik.
Apa kau memandang negatif diskotik?
Aku tidak memandang negatif. Hanya saja aku tidak
betah berada di tempat hingar bingar seperti itu. Aku suka
ketenangan. Kalau kau ingin berdisko, lakukan saja di rumah.
Mana asyik disko di rumah.
Apa kau tidak lelah?
Tidak, sahut Alan kalem. Aku sudah terbiasa dengan
cara hidup seperti ini. Dulu sebelum bertemu dengan kau,
pulang dari kantor aku sering pergi ke diskotik dan tempat
karaoke. Sekedar mengusir rasa penat karena bekerja. Ayo
dong Mia. Setidaknya temani aku, bujuk Alan.
Mia menyetop Alan dengan tangannya. Aku kan sudah
bilang tidak mau. Tetapi kau masih nyerocos aja. Aku lelah
sekali, Lan. Kakiku sudah tidak kuat lagi jalan, nada suara Mia
sangat memelas.
Ya sudah kalau tidak mau. Aku akan mengantarmu
pulang.
Alan mengantarkan Mia sampai di depan rumahnya.
Selamat malam Alan. Terima kasih banyak yah, kau
sudah mengajakku bersenang senang. Ternyata di balik sifat
genitmu itu ternyata kau ini teman yang baik.
Alan cemberut. Kau ini tidak pernah memuji tanpa
menyebutkan kejelekanku yah.
Aku bukannya bermaksud begitu..
Ah sudahlah, lebih baik kau masuk saja ke dalam. Aku
mau pulang. Alan langsung ngebut meninggalkan Mia yang
mencibirnya.

154

Sepanjang perjalanan pulang Alan terus menggerutu.

Katanya capek tapi masih punya tenaga untuk meledek orang


lain. Benar benar menyebalkan.

***
Mia berdebar debar sepanjang perjalanan menuju
sekolah tempat ia mengajar. Sebentar sebentar dia
mengambil cermin untuk melihat penampilannya. Alan yang
mengantarnya sampai geleng geleng kepala melihat teman
barunya itu.
Lama lama cerminnya pecah deh dilihatin terus,
gumam Alan.
Mia mendelik sebal.
Kau sudah cantik kok, Mi. Aku yakin murid muridmu
pasti terpesona melihat penampilanmu, kata Alan
menenangkan.
Mia tidak menanggapi ucapannya. Wajahnya masih
terlihat cemas. Ketika mereka sampai di sekolah, Mia makin
terlihat gugup. Alan tidak henti hentinya menenangkan dia.
Dia menggenggam tangan sahabatnya itu. Aku sudah
bisa pergi kan? tanya Alan.
Mia kelihatan berat melepas kepergian Alan. Dia takut
menghadapi ini sendirian. Pergilah. Nanti kau terlambat. Hati
hati di jalan yah.
Alan meremas tangan Mia. Kau pasti bisa, bisiknya
lembut. Aku pergi dulu.
Mia melambaikan tangan. Dia menunggu sampai Alan
menghilang dari pandangannya. Kemudian dia masuk ke
ruangan kepala sekolah. Ibu Farida, bertubuh gemuk tetapi dia
memiliki wajah yang ramah dan cerdas. Dia sedang membaca
koran pada saat Mia mengetuk pintunya.
Ah, Ibu Hendrawan, anda sudah datang. Ayo masuk,
ajaknya ramah. Apa kau sudah siap?
Mia mengangguk. Dia berusaha menampakkan wajah
tenang padahal jantungnya berdebar sangat kencang. Mia
sampai berpikir kalau jantungnya bisa meloncat keluar karena
saking kencangnya berdebar.
Ibu Farida mengajaknya ke ruangan guru. Begitu
sampai di sana, Mia memandang ruangan itu dengan takjub.
Ruangan itu sangat luas dan dilengkapi dengan pendingin,

155

kulkas empat pintu, dan meja yang berukuran panjang. Mia


bisa menebak kalau meja itu digunakan untuk rapat.
Meja meja yang ada di ruangan itu tertata dengan
rapi dan dilengkapi dengan komputer. Di bagian kiri kanan
pintu masuk terdapat lemari yang berukuran besar. Tingginya
sampai mencapai langit langit. Sementara panjangnya
sampai mentok ke tembok. Lemari itu semacam loker untuk
para guru. Di setiap loker terdapat nama nama
penggunanya.
Ibu Farida seperti mengetahui apa yang ada di benak
Mia. Anda juga mendapatkan loker, Ibu Hendrawan, katanya
sambil menyodorkan kunci.
Mia menerima kunci itu dengan senyum cerah. Terima
kasih, Bu.
Bapak dan ibu guru, saya mohon perhatiannya, Ibu
Farida mengetuk ngetuk meja dengan tangannya.
Seluruh guru yang ada di ruangan menoleh. Perhatian
mereka sekarang terpusat pada kepala sekolah dan seorang
gadis menawan yang berdiri di sampingnya. Mia merasa
jengah dipandangi seperti itu.
Hari ini kita kedatangan guru baru. Ayo, perkenalkan
dirimu, Ibu Farida mempersilakan Mia.
Mia mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Nama saya Miana Hendrawan. Saya lulusan Universitas
Sumatra Utara fakultas ekonomi. Tapi di sekolah ini, saya akan
mengajar pelajaran bahasa Inggris. Karena saya orang baru,
maka dari itu saya mohon bantuan dan petunjuknya.
Kenapa kau memilih bekerja sebagai guru? celutuk
pak Riyanto, guru bahasa Indonesia.
Karena menjadi guru, adalah keinginan saya sejak
lama, jawab Mia tegas.
Bagaimana dengan kemampuanmu dalam berbahasa
Inggris? kali ini pak Anton, guru sejarah yang bertanya.
Saya sudah belajar bahasa Inggris sejak kecil, kata
Mia tanpa bermaksud menyombongkan diri. Saya juga sempat
mengajar kursus bahasa Inggris.
Seluruh guru yang ada di ruangan itu manggut
manggut. Satu per satu dari mereka mulai menyalami Mia dan
mengucapkan selamat datang. Hampir semuanya menyambut

156

Mia dengan ramah. Kalaupun ada yang bersikap kaku, itu lebih
dikarenakan mereka adalah guru guru senior.
Mia menarik napas lega. Setidaknya tes pertama

berjalan dengan mulus, pikirnya. Sekarang tinggal tes


berikutnya. Aku pasti bisa, tekad Mia.

Bel berbunyi dengan nyaring. Para guru mulai bersiap


siap untuk mengajar. Tidak terkecuali dengan Mia. Dia akan
mengajar di kelas 1A.
Mia berjalan dengan langkah penuh percaya diri.
Akhirnya dia sampai di pintu kelas 1A. Begitu dia masuk,
suasana kelas berubah menjadi hening. Sesekali terdengar
suara bisik bisik. Ada yang memuji penampilannya dan ada
juga yang mengkritiknya.
Dia menaruh buku bukunya di atas meja. Good

morning, class. Im your new English teacher. My name is


Miana Hendrawan. Please, just call me ms. Hendrawan. I came
from North Sumatra. Im bachelor degree holder from
University of North Sumatra. Thats it for now.
Mia mengamati wajah muridnya satu per satu. Apa ada
pertanyaan?
Apa Ibu sudah punya pacar? celutuk salah satu
muridnya yang bernama Petrus.
Ah, pertanyaan standar, batin Mia. I dont have boy
friend. Im still single, sahut Mia kalem.
Masa sih? Ibu kan nggak jelek jelek amat. Kok belum
punya pacar, tanya Andrew, salah satu murid paling bandel di
kelas 1A, terus terang.

Because, at this moment, Im not ready for a


relationship. Now, is there another question, before we starting
the lesson?

Seluruh murid yang ada di ruangan menggeleng


berbarengan.
Baiklah. Kita mulai pelajarannya, tegas Mia. Walaupun
baru pertama kali mengajar di sekolah menengah ke atas, Mia
sama sekali tidak merasa kagok. Dia justru sangat
menikmatinya. Hari pertama dia mengajar dijalaninya dengan
penuh sukacita.
Selesai mengajar, Mia sempat mengobrol dengan
beberapa guru. Ketika jam menunjukkan angka tiga, dia
bergegas pulang. Sesampainya di rumah, dia menelepon Alan,

157

hanya sekedar mengatakan kalau dia sangat menyukai


pekerjaannya.
Besok kau selesai jam berapa?
Tunggu sebentar aku lihat jadwalku dulu, Mia berlari
ke kamar dan mengambil agendanya. Besok aku hanya
mengajar dua kelas saja. Jadi jam sebelas sudah selesai.
Memangnya kenapa? tanya Mia penasaran.
Kalau sudah selesai, kau datang ke kantorku yah. Kita
makan siang bersama.
Mia terkekeh mendengar ajakan Alan untuk makan
siang bersama. Dalam rangka apa nih, kita makan siang
bersama?
Alan menjawab sekenanya. Nggak ada apa apa.
Memangnya salah kalau teman makan siang bersama?
Nggak salah sih, cetus Mia. Tapi aku nggak bisa.
Kenapa? Kalau sudah selesai mengajar jam sebelas,
ngapain lagi kau di sana?
Aku nggak bisa main pergi seenaknya dong, Lan. Aku
baru pulang kalau jam sekolah sudah selesai.
Begitu yah, di seberang sana Alan manggut
manggut. Ya, sudah. Lain kali saja, kita makan siang
bersama. Tapi, ngomong ngomong, sekolahmu biasanya
selesai jam berapa?
Jam dua.
Lama sekali, Alan keheranan. Ngapain aja sampai
selama itu?
Ya belajarlah. Memangnya kau pikir ngapain, Mia
tersenyum geli.
Ya sudahlah, sahut Alan datar. Kalau kau punya
waktu, kasih tahu aku yah, cetusnya sebelum mengakhiri
pembicaraan.
***
Tidak terasa sudah empat bulan, Mia mengajar. Dia
sudah bisa menyesuaikan diri. Dia benar benar merasa
nyaman dengan pekerjaannya.
Namun, dia mulai jarang bertemu dengan Alan.
Keduanya merasa sulit untuk bertemu karena kesibukan
masing masing. Alan sibuk di kantornya, sementara Mia
sibuk mengajar. Kalau tidak bertemu, paling mereka
berkomunikasi lewat sms dan telepon.

158

Mia tidak menyadari kalau sebetulnya Alan menderita


karena jarang bertemu dengannya. Diam diam Alan
menyimpan rasa rindu terhadap Mia. Tapi dia tidak pernah
menunjukkan perasaannya itu secara gamblang. Setiap kali
ada kesempatan bertemu dengan Mia, dia tidak pernah menyia
nyiakannya. Pada saat bertemu, dia selalu berusaha
menahan perasaan senangnya.
Alan mengira perasaan rindunya pada Mia, tidak lebih
dari perasaan kangen biasa terhadap seorang sahabat. Dia
tidak menyadari, perasaan lain telah tumbuh di sudut hatinya.
Alan memegang ponselnya. Dia menimbang nimbang
apakah akan menelepon Mia atau tidak. Setelah lama berpikir,
akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi temannya itu.
Ketika mendengar suara Mia, tubuh Alan mendadak
terasa hangat. Kenapa yah, setiap kali mendengar suaranya

aku merasa senang, tanyanya dalam hati.

Ada apa, Lan? suara Mia menyadarkan Alan dari


lamunannya.
Hari ini kau mengajar sampai jam sebelas kan?
Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Alan pasrah saja
menunggu jawaban dari Mia. Selama ini, Mia selalu menolak
ajakan makan siang bersama dengan dalih pekerjaan. Namun,
kali ini jawaban Mia benar benar di luar dugaan Alan.
Oke. Kita makan siang bersama. Aku akan ke
kantormu. Tunggu aku sampai datang yah.
Alan hampir menjerit kesenangan. Akhirnya kami bisa

makan siang bersama, serunya dalam hati.

Dia mengangkat gagang telepon. Sarah, nanti jam dua


belas siang, aku ada janji makan siang dengan seorang teman.
Tolong diingatkan yah.
Di luar ruangan, Sarah, sekretaris Alan mengiyakan
permintaan bosnya dengan raut wajah sebal. Pasti dengan

seorang wanita. Aku yakin, dia wanita yang membuat Pak Alan
tidak tertarik lagi padaku. Lihat saja nanti, akan kubuat
runyam hubungan kalian, tekad Sarah.

Setelah membereskan mejanya, Mia bergegas pergi


menuju kantor Alan. Dia pergi dengan menggunakan taksi.
Karena jalanan tidak macet, Mia sampai di kantor Alan dalam
waktu tiga puluh menit.

159

Begitu sampai, Mia langsung memasuki lobby. Dia


meminta resepsionis untuk menyampaikan pesan kepada Alan
kalau dia menunggu di lobby. Mia pun mondar mandir di
ruang tunggu. Sebentar sebentar ia melihat jam tangannya.
Tanpa terasa, empat puluh menit sudah, Mia dibiarkan
menunggu. Dia mencoba menghubungi Alan, tetapi ponselnya
tidak aktif.
Mia mencoba bersabar. Namun, waktu terus berjalan.
Genap sudah satu jam, dia menunggu. Habis sudah
kesabarannya. Mia menghampiri resepsionis dan menanyakan
ruangan Alan. Lihat saja nanti. Seenaknya saja membiarkanku
menunggu lama. Mia masuk ke dalam lift sambil menggerutu.
Begitu sampai di lantai di mana ruangan Alan berada,
Mia langsung berjalan cepat cepat. Karyawan yang ada di
lantai itu, sempat merasa heran dengan kehadirannya. Tapi
Mia tidak ambil pusing. Dia malah sempat menanyakan letak
ruangan Alan. Melihat wajah Mia yang merah padam, salah
seorang karyawan memberitahu tanpa bertanya maksud
kedatangannya.
Sebelum memasuki ruangan Alan, Mia mendengar ada
suara orang cekikikan di dalam. Itukan suara Alan, batinnya.
Terdengar juga suara perempuan yang tertawa genit.
Di dalam ruangan, Alan sedang bergenit genit ria
dengan sekretarisnya, Sarah. Dia seperti tidak ingat dengan
janji makan siangnya dengan Mia. Terang saja begitu karena
Sarah sama sekali tidak memberitahunya. Kulihat kau semakin
cantik saja, Alan memuji sekretarisnya itu.
Tentu saja, sebagai sekretaris, saya kan harus selalu
tampil cantik, kata Sarah sambil mengerling genit.
Begitu dong. Aku kan jadi semakin semangat bekerja,
sahut Alan tak kalah genitnya.
Di balik pintu, Mia berdiri mematung. Emosinya
memuncak sampai ke ubun ubun. Dia gondok sekali karena
merasa dibohongi. Katanya rapat, tak tahunya sedang merayu
perempuan. Tangan Mia memutar handel pintu dan
membukanya lebar lebar.
Brak, pintu terbuka lebar. Alan dan Sarah sangat
terkejut melihat Mia yang berdiri dengan wajah penuh amarah.
Sementara, bawahan Alan yang lain berkerumun menonton
adegan yang berlangsung di hadapan mereka.

160

Kau benar benar keterlaluan Alan Harsono! Jauh


jauh aku datang ke sini untuk makan siang denganmu, kau
malah asyik asyikan dengan sekretarismu. Apa kau tahu
berapa lama, aku menunggu di bawah? sembur Mia dengan
suara keras.
Astaga! Alan menepuk keningnya. Dia baru ingat akan
janjinya dengan Mia. Kok aku bisa lupa yah? Aku kan sudah
titip pesan supaya diingatkandia menoleh ke Sarah, namun
sekretarisnya itu malah memasang wajah tanpa dosa.
Maafkan aku, Mia. Aku benar benar tidak ingat, Alan
membela diri.
Aku tidak percaya, bentak Mia. Kau mengajakku baru
tadi pagi bukannya kemarin. Masa secepat itu kau lupa? Bilang
saja kalau itu cuma basa basi.
Aku benar benar lupa, Mia, kata Alan dengan nada
setengah memohon. Dia sempat mendelik sebal ke
sekretarisnya.
Mia merenggut berkas - berkas yang dipegang Sarah
lalu melemparnya ke Alan. Kertas kertas pun berhamburan.
Aku benci padamu! teriaknya sebelum meninggalkan
ruangan.
Mia! Tunggu! Aku minta maaf. Alan mengejar Mia
diiringi dengan pandangan sebal Sarah.
Mia berada di depan lift. Dia memencet tombol turun.
Wajahnya masih terlihat emosi.
Mia, Alan tiba tiba berdiri di sampingnya. Aku
minta maaf. Aku benar benar lupa, sesal Alan.
Mia tidak menggubris permintaan maaf Alan. Dia hanya
diam membisu.
Mia, demi persahabatan kita, kumohon maafkan aku.
Aku berjanji ini tidak akan terulang lagi, tegas Alan sungguh
sungguh.
Mia tertegun mendengar ucapan Alan barusan. Dia
melirik Alan sekilas. Dia bisa melihat kalau Alan benar benar
menyesal. Pintu lift terbuka. Mia melangkah masuk.
Alan hanya bisa pasrah saat melihat pintu lift mulai
tertutup. Dia tertunduk lesu. Tiba tiba pintu lift terbuka lagi.
Katanya mau makan siang bareng, kata Mia ketus.

161

Mendadak wajah Alan berubah cerah. Dia bergegas


masuk ke dalam lift. Walaupun wajahnya masih terlihat marah,
Alan tahu kalau Mia sudah memaafkannya.
Perempuan yang berada di ruanganku itu namanya
Sarah. Dia sekretarisku. Tadi aku hanya bersikap ramah.
Semua bawahanku juga mendapat perlakuan sama, jelas Alan
panjang lebar. Dia melirik untuk melihat reaksi Mia.
Namun, ekspresi yang dilirik datar saja. Kau tidak perlu
menjelaskan apa apa padaku, Lan. Kau bebas melakukan
apapun yang kau inginkan. Kita kan hanya teman. Tadi aku
marah, karena kau membiarkanku menunggu lama. Kau tahu
kan kalau aku paling benci menunggu, kata Mia tanpa
menoleh.
Pintu lift terbuka. Mereka sudah sampai di lantai satu.
Kita makan di kantin saja, Alan menarik tangan Mia.
Mereka berdua duduk di sudut kantin itu. Mia hanya
memesan mie ayam dan air jeruk. Sementara Alan memesan
nasi goreng seafood dan coca cola.
Apa kau memang selalu bersikap seramah itu kepada
sekretarismu? tanya Mia dengan nada tajam. Kalau punya
bos sepertimu, pasti banyak perempuan yang ingin jadi
sekretarismu, lanjutnya lagi.
Alan sadar kalau dirinya sedang disindir.
Nggak juga sih. Kalau aku sedang bad mood, aku
bersikap dingin, sahut Alan jujur.
Mia hanya mendengus dingin.
Apa kau keberatan dengan sikapku ini Mia?
Tidak. Aku sama sekali tidak keberatan, tegasnya.
Seramah apapun sikapmu terhadap bawahanmu, aku sama
sekali tidak peduli. Itu hakmu. Aku hanya tidak mau dibiarkan
menunggu seperti tadi.
Alan mendehem pelan. Aku mengerti, sahutnya
pendek.
***
Mia sedang mengoreksi pekerjaan rumah murid
muridnya ketika bel di pintu meraung raung. Dengan malas,
Mia menyeret kakinya dan membuka pintu.
Kau, cetus Mia.

162

Seperti kebiasaannya selama ini, Alan langsung


nyelonong masuk. Lagi ngapain, Mi?
Lagi ngoreksi pekerjaan rumah muridku? Ngapain
datang ke sini? Bukannya kalau Sabtu, kau biasanya pesta
semalam suntuk?
Lagi nggak mood pesta, jawab Alan sekenanya. Dia
membuka kulkas dan mengambil es krim Wall Selection.
Kemudian dengan santainya, dia menikmati es krimnya sambil
menonton televisi.
Alan tertarik melihat acara salah satu stasiun televisi
yang sedang menyoroti kota Medan. Alan seperti teringat
sesuatu. Dia melirik Mia yang asyik berkutat dengan
pekerjaannya. Sebaiknya, tanya atau tidak yah, gumam Alan.

Nanti, kalau ditanya, dianya marah lagi.

Katakan padaku Mia. Apa yang terjadi di Medan


sehingga kau datang ke Jakarta? tanya Alan mengagetkan
Mia.
Pulpen
yang
dipegangnya
terjatuh.
Wajahnya
menegang. Kau bicara apa, Lan? Aku tidak mengerti, sahut
Mia gugup. Dia pura pura kembali menyibukkan diri dengan
pekerjaannya tetapi tingkahnya itu malah membuat dia
semakin terlihat gugup.
Helen, pernah bilang kalau kau mengalami kejadian
tidak mengenakkan di Medan, makanya kau ke Jakarta. Tapi
dia tidak bilang kejadian seperti apa. Dia menyuruhku bertanya
langsung padamu. Saat itu tidak mungkin, karena kita selalu
bertengkar, tetapi sekarang keadaannya berbeda. Kita berdua
sudah berteman, jelas Alan panjang lebar.
Mia masih terdiam membisu. Dia menarik napas pelan
dan mengangkat wajahnya. Dia menatap Alan dengan
pandangan sendu. Tidak terjadi apa apa, cetusnya pelan.
Ayolah Mia. Kita kan teman. Jadi sudah sepatutnya
kita saling membagi perasaan suka dan duka. Aku berjanji
tidak akan mengatakan pada siapapun, Alan mengangkat
tangan kanannya layaknya orang yang sedang bersumpah.
Mia bangkit dari kursinya. Kalau kau pulang, tolong
kunci pintunya dari luar. Aku mau tidur, cetus Mia
meninggalkan Alan yang duduk termangu.

163

Mia duduk di tepi ranjangnya. Air matanya mulai


menetes ketika ingatannya melayang kembali pada hari
pernikahannya.
Sementara itu, Alan masih duduk membisu di ruang
tamu. Sesekali dia menghela napas. Dia melirik pintu kamar
Mia, yang tertutup. Dia berdiri dan berjalan menuju kamar Mia.
Dia menempelkan telinganya di pintu. Walaupun pelan,
dia bisa mendengar suara tangisan. Tangan Alan bergerak,
hendak mengetuk pintu, tetapi diurungkan niatnya itu.
Dia mengambil tasnya, dan berjalan keluar. Sebelum
keluar, dia sempat memandang ke kamar Mia. Apa yang kau

sembunyikan, Mia? Kenapa kau tidak mau memberitahuku?


Apakah kejadian itu sangat menyakitkanmu sampai sampai
kau datang ke Jakarta untuk melupakannya? Alan melangkah

dengan gontai. Dia menutup pintu dan menguncinya dari luar.


Dia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah
temannya. Dalam sekejap Alan memutuskan tidak mau
terbebani dengan masalah Mia. Dia sendiri yang tidak mau

memberitahuku. Jadi kenapa aku harus pusing? Lebih baik aku


bersenang senang.

164

BAB 9
Alan memandang fotonya bersama Mia waktu
berkunjung ke Dufan yang dia simpan di dompetnya. Mereka
berdua sedang berada di depan istana boneka dan bergaya
gila gilaan. Alan tersenyum setiap mengingat kelakuannya
dengan Mia. Untuk pertama kalinya Alan merasa nyaman
berada bersama wanita yang bukan kekasihnya.
Buat Alan, sifat Mia yang pemarah justru membuat
gadis itu terlihat sangat menarik. Dia merasa senang jika
bertengkar dengan Mia. Gaya bicaranya yang ceplas ceplos
selalu membuat Alan tertawa.

Perasaan apa yang ada pada diriku ini? Setiap bertemu


dengan Mia, aku selalu merasa senang. Aku bisa bicara
dengan bebas tanpa takut menyinggungnya. Hatiku juga selalu
berdebar debar bila berada di dekatnya.

Kau ini kenapa, Lan. Dari tadi melamun terus. Nanti


kesambet loh, Erik, salah seorang temannya menggodanya.
Alan tidak menanggapi ucapan temannya itu. Dia terus
saja terhanyut dalam ingatannya saat bersama dengan Mia.
Siapa cewek yang kejatuhan cintamu, Lan? celutuk
Toni, temannya satu kuliah, yang pernah terpilih sebagai finalis
cover boy.
Wajah Alan memerah. Jangan sembarangan bicara.
Darimana kau tahu aku sedang jatuh cinta?
Toni tertawa geli. Orang paling bego juga tahu, kalau
kau sedang jatuh cinta. Lha wong dari tadi, kau senyum
senyum sendiri.
Alan mendengus dingin. Padahal dalam hati, dia merasa
malu karena tertangkap basah sedang melamun. Aku
bukannya sedang jatuh cinta. Aku hanya sedang teringat pada
teman baikku. Dia itu seorang wanita, kilahnya.
Teman temannya bersuit suit. Mereka
mengungkapkan keraguan kalau Alan bisa berteman dengan
seorang wanita.
Jadi kalian tidak percaya, kalau aku punya teman baik
seorang wanita?
Kami bukannya tidak percaya. Yang kami tahu selama
ini, kau tidak pernah menjadikan seorang wanita sebagai
teman. Kau menjadikan mereka sebagai pacar, celutuk Erik.

165

Ya sudah kalau tidak percaya, kata Alan sewot. Dia


gondok sekali, teman temannya tidak mau mempercayai
ucapannya.
Iya, kami percaya. Sudah jangan marah gitu dong,
Toni berusaha menenangkan Alan. Ngomong ngomong,
siapa dia? Apa kami kenal dengannya?
Namanya Mia. Dia temannya Helen. Dia seorang guru,
Alan mengusap usap kepalanya.
Guru? Nggak salah nih? Apa seleramu sudah berubah
sekarang? celutuk Erik heran.
Memangnya kenapa kalau aku suka sama guru?
Bukankah itu profesi yang mulia? tanya Alan tersinggung.
Alan, tenanglah. Yang kami maksud bukan itu. Tetapi
ini pertama kalinya, kau menyukai gadis di luar kriteria yang
biasa kau tetapkan.
Aku tahu itu, sahut Alan lemah. Kalian tidak tahu
bagaimana perasaanku. Pertama kali bertemu, sikapnya
padaku sangat ketus. Demikian pula pertemuan berikutnya.
Kami selalu saja bertengkar. Sampai akhirnya, Helen
memintaku untuk menjaganya selama kepergiannya ke
Jepang. Sejak itu, kami sepakat untuk berteman walaupun
kami masih sering bertengkar, urai Alan panjang lebar.
Teman temannya memperhatikan dengan seksama
ungkapan perasaan Alan.
Aku tidak tahu persisnya bagaimana perasaanku
padanya. Yang aku tahu hanya setiap bertemu dengannya, aku
selalu merasa senang. Aku selalu diliputi perasaan rindu jika
tidak bertemu dengannya. Ketika dia marah, hatiku rasanya
sakit sekali.
Toni tersenyum tipis. Itu namanya jatuh cinta, teman,
cetusnya.
Darimana kau tahu?
Aku juga pernah mengalami seperti yang kau bilang
barusan. Pada awalnya aku juga tidak tahu kalau itu cinta.
Habis, tidak ada yang memberitahukanku sih, Toni terkekeh.
Jadi, darimana kau tahu kalau itu cinta?
Toni tersenyum. Pandangannya menerawang. Saat itu,
yang ada di kepalaku hanya bagaimana caranya supaya gadis
yang membuat perasaanku tidak karu karuan, tetap di sisiku.
Aku belum sadar juga kalau aku sedang jatuh cinta sampai

166

akhirnya gadis yang kusuka mengatakannya sendiri padaku.


Dia mendatangiku dan menanyakan terus terang, apakah aku
jatuh cinta padanya.
Yang benar? Alan menatap tidak percaya.
Toni
mengangguk.
Aku
tidak
menjawab
pertanyaannya. Aku malah balik bertanya, darimana dia
mengambil kesimpulan seperti itu. Pertama tama, dia
memintaku untuk mengatakan secara jujur perasaanku saat
sedang bersamanya. Terus, aku bilang saja semuanya. Dan dia
pun mengatakan, kalau apa yang kurasakan itu adalah cinta.
Dia juga bilang, tanpa perlu memberitahuku pun, dia sudah
tahu kalau aku jatuh cinta padanya. Katanya, tergambar jelas
di wajahku dan tingkah lakuku, ungkap Toni. Tetapi, sekedar
informasi, dia tidak bisa menerima cintaku. Dia sudah ada
yang punya, kata Toni terus terang. Kalian tidak perlu
bersimpati padaku. Aku saja sudah lupa padanya. Tetapi,
kuakui, dia itu cinta pertamaku.
Teman teman Toni, termasuk Alan hanya tertawa
kecil mendengar penuturannya.
Tidak disangka yah, ternyata mengenali perasaan cinta
lebih sulit daripada mengucapkan kata cinta itu sendiri,
celutuk Erik.
Alan mendesah pelan di tengah tengah suara tawa
teman temannya. Jadi, apa yang kurasakan ini cinta, bisik
Alan lirih. Kalian pasti ingin mentertawakan aku kan?
Namun, teman teman Alan sama sekali tidak
mentertawakannya. Mereka bisa memahami perasaan Alan.
Sekian lama bergonta ganti pasangan, akhirnya playboy kelas
kakap itu jatuh cinta juga.
Apa dia sudah tahu perasaanmu? tanya Andri, yang
memiliki wajah oriental, pelan.
Alan menggeleng lemah.
Kau harus mengatakannya, Lan. Sebelum ada yang
merebutnya darimu, saran Erik.
Siapa yang mau dengan gadis galak seperti Mia? Aku
rasa nggak bakalan ada pria yang tahan dengannya. Aku
sendiri heran kok bisa jatuh cinta padanya, gumam Alan
tanpa sadar.
Teman teman Alan keheranan. Kau bilang dia galak?
tanya Andri.

167

Iya. Dia galak sekali dan sangat pemarah. Bukan hanya


itu, dia juga bisa ilmu bela diri. Hebat kan? Dan parahnya lagi
aku pernah berkata pada diriku sendiri, akan memberi hormat
kepada pria yang tahan berada di dekatnya. Ternyata pria itu
adalah aku. Aku juga pernah bilang apa mungkin ada pria yang
jatuh cinta padanya. Ah, aku benar benar termakan
omonganku sendiri, desahnya.
Temannya hanya geleng geleng kepala.
Seleramu benar benar telah berubah, gumam Erik.
Dengarkan saranku ini, Lan, ucap Toni. Kau harus
mengatakan yang sejujurnya tentang perasaanmu padanya.
Sebelum ada yang mengambilnya darimu. Tetapi, kalau kau
ditolak, jangan terlalu kecewa. Siapa tahu memang dia tidak
ditakdirkan jadi pasanganmu. Yang terpenting, kau sudah
merasakan bagaimana jatuh cinta. Hitung hitung, buat
belajar. Supaya lain kali kau bisa mengenali perasaan itu.
Alan hanya tertawa kecil. Aku akan mengungkapkan
perasaanku padanya. Bagaimana menurut kalian? Alan
meminta pendapat teman temannya.
Lakukan saja, Lan. Kami mendukungmu, ujar Toni.
Kalau begitu, aku akan melakukannya sekarang. Aku
akan ke rumahnya, tekad Alan. Dia mohon diri dan bergegas
meninggalkan rumah temannya itu.
Sepanjang perjalanan ke rumah Mia, Alan tidak henti
hentinya berpikir, kata kata apa yang diucapkannya kepada
Mia.

Begini toh rasanya jatuh cinta. Dunia terasa indah


sekali, gumamnya.

***
Mereka berdua duduk di sofa sambil menonton film
Band of Brothers. Kali ini mereka menonton episode pada saat
Kapten Winters dan anak buahnya sedang berada di hutan
Bastogne.
Untuk mengungkapkan perasaannya, malam itu Alan
terpaksa menginap di rumah Mia. Supaya Mia mau
menerimanya tanpa banyak bicara, dia berdalih dengan
mengatakan sedang bertengkar dengan orangtuanya. Mia
berusaha
untuk
menasehatinya,
tetapi
Alan
tidak
menggubrisnya. Dia malah mengajak Mia, menonton film
perang, Band of Brothers.

168

Saat sedang menonton, Alan mulai menimbang


nimbang untuk mengungkapkan isi hatinya pada Mia. Benar

benar situasi yang tidak sesuai untuk mengungkapkan cinta,


kata Alan dalam hati. Masa aku menyatakan cinta saat nonton
film perang bukannya film romantis, gerutunya.

Dia melirik Mia yang duduk di sampingnya. Wajahnya


terlihat sangat serius, bahkan bisa dibilang tegang karena film
yang ditonton. Alan jadi merasa ragu ragu untuk
menyampaikan perasaannya.
Namun, tekad Alan sudah bulat. Dia harus memberitahu
Mia tentang perasaannya. Ketika hendak membuka mulut, Alan
mendadak teringat dengan peringatan Mia, agar dia tidak jatuh
cinta padanya. Alan jadi kehilangan semangat. Dia melipat
tangannya dan kembali memusatkan perhatian pada Band of
Brothers.
Tetapi, entah apa yang di benak Alan saat itu. Mia, aku
suka padamu, tiba tiba saja, kalimat itu meluncur tanpa bisa
ditahannya.
Aku juga suka padamu, Lan, balas Mia sekenanya
tanpa memalingkan wajah dari televisi. Dia mengira Alan
sedang bercanda.
Alan keheranan melihat reaksi Mia. Aku serius Mia. Aku
jatuh cinta padamu, kali ini suara Alan terdengar tegas.
Raut wajah Mia berubah menjadi tegang. Dia menoleh
ke Alan. Kau jatuh cinta padaku?
Alan mengangguk mantap. Mia mengamati wajah Alan,
untuk melihat apakah temannya itu sedang bercanda atau
tidak. Namun, dia tidak menemukan sesuatu yang ganjil.
Aku kan sudah bilang, jangan jatuh cinta padaku,
cetusnya dingin.
Alan terbengong bengong. Kapan kau bilang? Kok
aku tidak pernah mendengar, kata Alan keheranan.
Aku mengatakannya setelah kita turun dari bianglala.
Alan manggut manggut. Jadi itu toh yang dia bilang.
Maaf, aku tidak mematuhinya. Aku tidak bisa mengendalikan
perasaanku, sesal Alan.
Mia bungkam mendengar penyesalan Alan. Dia tidak
tahu harus berbuat apa, menerima atau menolaknya.
Masalahnya dia tidak memiliki perasaan apa apa terhadap
Alan. Mia hanya menganggapnya sebagai teman.

169

Kenapa kau jatuh cinta padaku? Setahuku, aku ini


bukan tipemu. Kau sendiri pernah bilang, sama sekali tidak
tertarik denganku.
Karena kau sangat berbeda dengan gadis gadis yang
pernah kukenal. Aku tahu jawaban ini terkesan standar tapi
itulah kenyataannya. Sifatmu yang membuatku jatuh cinta.
Lagipula, kau kan tahu tidak ada yang bisa menentukan kapan,
di mana dan dengan siapa kita jatuh cinta, ujarnya panjang
lebar.
Mia termangu untuk sesaat. Dia merenungkan setiap
ucapan yang keluar dari mulut Alan. Dia mengangkat
kepalanya dan menatap Alan. Kedua orang itu sekarang berdiri
berhadap hadapan. Aku tidak bisa menerima cintamu,
cetus Mia mengejutkan. Saat ini, aku sama sekali tidak punya
waktu untuk berpikir tentang cinta.
Tunggu, mungkin bukan hanya saat ini saja, Mia
meralat ucapannya. Bisa jadi untuk seterusnya karena aku
sama sekali tidak tertarik dengan apa yang namanya cinta,
tegasnya. Itu sebabnya, aku memintamu agar tidak jatuh
cinta padaku karena aku tidak akan bisa membalasnya,
lanjutnya lagi. Lagipula, aku hanya menganggapmu sebagai
teman. Apa kau sadar, Lan kalau tindakanmu ini bisa merusak
persahabatan kita? Mia bangkit dari kursinya. Seperti yang
sudah sudah, Mia masuk ke kamar tidurnya meninggalkan
Alan sendirian di ruang tamu. Selalu saja begitu, setiap
pembicaraan mereka berakhir dengan tidak mengenakkan.
Alan duduk membisu. Dia tidak menyangka, temannya
itu menolak cintanya. Terlebih lagi, saat Mia mengatakan kalau
dia tidak tertarik sama sekali dengan cinta dan hanya
menganggapnya sebagai teman. Tragis sekali nasibku,

keluhnya. Pertama kali jatuh cinta langsung ditolak mentah


mentah. Kenapa dia langsung menolakku tanpa berpikir
panjang? Apa ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi
padanya di Medan ya? Alan bertanya tanya.

Alan menatap kamar Mia yang tertutup dengan raut


wajah putus asa. Dasar bodoh kau Alan. Seharusnya aku tidak

bertindak gegabah. Bagaimana ini? Aku telah merusak


hubungan pertemanan yang sudah kujalin dengan susah
payah.

170

Alan terus menatap ke televisi tetapi dia tidak bisa


konsentrasi. Masih terngiang ngiang dalam benaknya,
ungkapan perasaannya terhadap Mia. Sialan, dia mengepalkan

tangannya.

Sementara itu di kamarnya, Mia tidak bisa tidur karena


dia memikirkan ucapan Alan. Mia berbaring di atas tempat
tidur sambil melamun. Dasar Alan bodoh, makinya.

Dia bilang hanya ingin berteman sekarang malah bilang


jatuh cinta. Apa sih maunya? Kenapa dia gampang sekali jatuh
cinta? Kalau sudah begini, bagaimana kami bisa menjalani
persahabatan kami? Semakin dipikirkan, kepala Mia justru

semakin pusing. Dia terhanyut dalam lamunannya.


***
Keesokan pagi saat Mia sedang bersiap siap mau
pergi mengajar, Alan keluar dari kamarnya.
Mia, aku ingin bicara tentang kejadian semalam.
Tidak ada yang perlu dibicarakan. Kau pernah bilang
padaku, kalau aku wanita pertama yang bisa kau jadikan
sebagai sahabat. Ujung ujungnya kau ingin menjadikanku
sebagai kekasihmu. Kau tidak bisa dipercaya.
Dia menoleh ke Alan. Tangannya bertumpu pada meja
makan. Akui saja, Lan. Kau berteman denganku karena ingin
mendekatiku kan? Kau sadar tidak bisa menaklukkanku dengan
cara biasa. Jadi kau mencoba cara lain yakni dengan mencoba
berteman denganku, tuduhnya.
Tiba tiba Alan tertawa terbahak - bahak. Mia jadi
kebingungan dibuatnya.
Aku tidak bersungguh sungguh dengan ucapanku
kemarin malam, Mia, cetusnya masih sambil tertawa.
Mia tambah keheranan. Wajahnya terlihat penasaran.
Maksudmu apa?
Itu hanya lelucon. Aku ingin melihat reaksimu. Kau
tahu kan, banyak wanita yang mengagumiku dan ingin jadi
kekasihku. Saat kita memutuskan untuk bersahabat, aku
khawatir kau akan seperti teman wanitaku yang lain. Jadi
kuputuskan untuk mengujimu. Ternyata reaksimu seperti yang
kuharapkan. Itu berarti kau benar benar menganggapku
sebagai teman, ujarnya panjang lebar. Sekarang aku benar
benar lega, lanjutnya lagi dengan nada riang.
Jadi itu hanya semacam tes? tanya Mia heran.

171

Iya, temanku sayang, sahut Alan sambil menepuk


pundak Mia.
Kau ini! tangan Mia bergerak hendak mencubit Alan.
Tetapi temannya itu dengan lihainya berkelit.
Kupikir
sungguhan. Aku sampai tidak bisa tidur karena memikirkan
ucapanmu, cetusnya terus terang. Wajah Mia terlihat sangat
lega. Beban yang menghimpitnya sejak tadi malam, hilang
sudah.
Reaksimu selalu berlebihan seperti biasanya, kata Alan
dengan nada mengejek.
Siapa yang berlebihan? bantah Mia sembari melihat
jam tangannya. Astaga! serunya. Sebaiknya aku pergi. Aku
tidak mau terlambat. Sebelum pergi dia sempat melambaikan
tangannya.
Alan berdiri lunglai. Dia tertunduk lesu. Tidak ada jalan

lain kecuali menarik kembali kata kataku. Kalau aku tidak


melakukannya, aku bisa kehilangannya. Kalau itu sampai
terjadi, aku tidak akan sanggup mengatasinya. Alan melirik
foto Mia
yang sedang berpose dengan Helen. Aku
mencintaimu Mia, bisiknya lirih.

***
Selamat pagi, bosku yang tampan, Sarah menyapa
Alan dengan senyum genitnya seperti biasa.
Alan tidak menyahut. Sejak pertengkarannya dengan
Mia yang disebabkan kelalaian Sarah, dia tidak pernah lagi
bergenit genit ria dengan sekretarisnya itu. Dia menjaga
jarak dengannya.
Sarah memasang wajah cemberut. Bos, saya kan
sudah minta maaf. Kok sikap anda masih dingin sama saya,
protesnya.
Alan menoleh dengan enggan. Aku bersikap begini
juga karena ulahmu sendiri. Gara gara kau, aku dan Mia jadi
bertengkar, kata Alan tanpa emosi. Dia menggaruk
keningnya.
Iya, saya tahu kalau saya salah. Tapi kan saya sudah
minta maaf, katanya setengah merajuk.
Namun, kali ini rajukannya sama sekali tidak mempan.
Alan terlanjur sebal padanya. Aku sudah memaafkanmu.
Tetapi sikapku padamu tidak akan pernah sama lagi. Kau
sendiri yang membuatnya, tegas Alan.

172

Bos, Sarah mulai merengek. Tapi rengekannya


berhenti ketika dia melihat mata Alan yang melotot.
Bersikaplah layaknya sekretaris yang profesional kalau
kau masih ingin kerja di sini, Alan menegurnya.
Sarah mendadak bungkam. Dengan lesu, dia
mengiyakan. Kemudian, dia membuka agendanya. Dia mulai
menyebutkan jadwal Alan satu per satu untuk hari itu. Alan
mendengarkannya dengan seksama.
Sebelum meninggalkan ruangan, Sarah mendadak
teringat sesuatu. Hampir saja lupa, gumamnya. Bos!
panggilnya.
Alan mendongak. Ada apa?
Papa anda meminta anda untuk pulang ke rumah
malam ini.
Tumben dia menyuruhku pulang, Alan keheranan.
Apa dia bilang ada urusan apa?
Sarah menggeleng. Saya rasa itu saja, Bos. Sarah
meninggalkan ruangannya.
Alan manggut manggut. Kenapa dia menyuruhku
pulang, padahal belum empat hari sejak kejadian itu. Alan
teringat dengan pertengkaran hebatnya dengan sang Papa.
Mereka bertengkar karena papanya ingin dia mulai serius
untuk memikirkan masa depannya. Apa lagi kalau bukan
menikah.
Papanya beralasan, dia sudah merasa lelah melihat Alan
yang selalu gonta ganti pasangan. Dia ingin Alan serius
dengan satu wanita saja. Kontan Alan menolak usulan
papanya. Dia bilang, dia belum mempunyai rencana untuk
menikah. Dia masih ingin menikmati hidup sebagai bujangan
tulen.
Terang saja ucapannya itu memancing amarah
papanya. Dia disemprot habis habisan. Namun, bukan Alan
namanya kalau dia menerima omelan papanya begitu saja. Dia
menanggapi dingin semua ucapan papanya. Walhasil, malam
itu dia mengungsi ke rumah Helen yang kini ditempati Mia.
Temannya itu hanya bisa geleng geleng kepala
melihat Alan. Sia sia saja dia menasehati Alan agar tidak
bertengkar dengan papanya. Menasehati Alan, ibarat bicara
dengan patung. Semua omongannya mentah begitu saja.

173

Alih alih dinasehati, Alan malah mengungkapkan


perasaan cintanya saat menginap di rumahnya, untuk sekedar
menguji apakah Mia tulus berteman dengannya. Karuan saja
Mia tambah dongkol. Tapi kali itu, dia berhasil menahan diri
untuk tidak mengumpat Alan.
Alan jadi tidak bisa berkonsentrasi penuh dengan
pekerjaannya setiap mengingat rencana pertemuan dengan
papanya. Jantungnya berdebar debar memikirkan apa yang
akan dibicarakan papanya. Begitu jam menunjukkan angka
lima, tanda jam kantor telah usai, Alan langsung ngeloyor
pergi.
Dia langsung melesat menuju rumah orangtuanya.
Sepanjang perjalanan, dia memacu mobilnya dengan
kecepatan tinggi. Karena jalanan agak macet, Alan baru
sampai di rumah orangtuanya jam setengah tujuh malam.
Setelah memarkir mobil di halaman, dia bergegas
masuk. Betapa herannya dia saat melihat seluruh anggota
keluarganya berada di sana. Ada Andi, Ari dengan istri masing
masing dan Hana beserta suaminya. Hanya Helen yang
tidak ada di antara mereka karena dia masih di Tokyo.
Rupanya kau sudah datang, mamanya menyambut.
Masuklah, mamanya menarik tangannya.
Ada apa ini? Kok semuanya berkumpul. Apa mau ada
rapat keluarga? Alan memasukkan kedua tangannya ke dalam
saku celananya.
Mendadak Alan merasa curiga. Apalagi setelah melihat
seringai licik di wajah Hana. Dia paling benci kalau ekspresi
wajah Hana seperti itu. Kalau sudah begitu pasti akan terjadi
sesuatu dan itu menyangkut dirinya.
Ada apa sebenarnya? tanya Alan penasaran.
Kita bicara setelah makan malam, kata mamanya.
Ayo, semuanya. Kita makan bersama.
Dengan enggan, Alan memenuhi ajakan mamanya.
Namun, dia tidak bisa menikmati hidangan yang disuguhkan.
Tenggorokannya seperti susah menelan masakan buatan
mamanya. Makan malam itu terasa membosankan buat Alan.
Berbeda sekali, saat dia makan bersama dengan Mia.
Biasanya kalau makan bareng, mereka selalu
meributkan sesuatu. Mulai dari rasa, siapa yang mencuci piring

174

atau siapa yang membersihkan meja makan. Bahkan, tidak


jarang mereka saling mencela pada saat makan bersama.
Akhirnya makan malam yang menjemukan itu selesai
juga. Seluruh keluarga Harsono minus Helen, berkumpul di
ruang keluarga.
Ada yang ingin, Papa tanyakan dari dulu. Di mana
sebenarnya kau menginap kalau habis bertengkar dengan
Papa?
Aku menginap di rumah Helen, sahut Alan jujur.
Keluarga Alan menunjukkan ekspresi terkejut.
Tapi, Lan Mia kan tinggal di sana sendirian, kata
mamanya.
Memangnya kenapa kalau Mia tinggal di sana? Mama
dan Papa kan sudah tahu tentang masalah itu dan kalian sama
sekali tidak keberatan. Kalian justru sering mengunjungi dan
memberinya makanan.
Orangtuanya saling berpandangan cemas.
Berarti, kalau kau menginap di situ, hanya kalian
berdua saja yang berada di rumah itu? Andi menunjukkan
rasa ingin tahunya. Wajahnya yang biasanya terlihat ramah
dan menyenangkan berubah serius. Dan itu membuatnya
terlihat lucu.
Dan itu sudah berlangsung lebih dari satu kali? Ari ikut
ikutan bertanya. Abang Alan yang satu ini sering dipanggil si
gembul, karena tubuhnya yang besar dan gemuk. Wajahnya
lucu dan menggemaskan. Karena wajahnya itu pula, Kristin
yang sekarang jadi istrinya, jatuh cinta padanya.
Lagi lagi Alan mengiyakan.
Seluruh anggota keluarganya menarik napas. Hana
melemparkan senyum sinis. Andi dan Ari diam membisu.
Bagaimana ini Pa? keluh Nyonya Harsono pada
suaminya.
Alan, kami tahu kau sudah dewasa. Tapi tetap saja kau
tidak bisa bersikap seperti ini. Apa kata orang, kalau mereka
melihatmu tinggal berdua saja dengan seorang perempuan?
tegur Andi.
Alan sebetulnya bingung dengan maksud keluarganya,
tetapi untungnya, dia cepat sadar. Sekarang dia mengerti.
Kalian sedang membicarakan aku dengan Mia?
cetusnya lugas. Ini tidak seperti yang kalian kira. Aku

175

memang sering menginap di sana, tetapi kami pisah kamar


kok. Lagipula kami tidak melakukan perbuatan yang melanggar
norma sosial, jelas Alan panjang lebar.
Tapi kan, tetangga di dekat rumah Helen tidak tahu
menahu tentang itu. Mereka hanya bisa melihat, kau sering
menginap di rumahnya, Tina istri Ari ikut bereaksi.
Apalagi dengan reputasimu itu, cetus Hana sinis.
Siapa yang tahu, kalau kau sudah merayunya atau tidak?
Alan melotot dan hendak membalas ucapan Hana tetapi
dia mengurungkan niatnya. Dia menarik napas lalu menggaruk
garuk kepalanya. Dia kelihatan mulai gusar karena Hana
mulai ikut campur. Kalau sudah begitu, Alan bisa kerepotan.
Hubungan antara Alan dan Hana memang tidak terlalu
akrab. Dari dulu mereka selalu berseteru dan bersaing dalam
segala termasuk dalam memperebutkan
jabatan di
perusahaan. Bedanya Hana selalu menggunakan cara apapun
termasuk yang licik sekalipun.
Karena persaingan itu pula Alan memutuskan untuk
menerima posisi yang ditawarkan papanya, yakni manajer
penjualan. Hana gondok sekali ketika Alan mengalahkannya
tetapi dia tidak bisa berbuat apa apa karena itu keputusan
papanya. Dia sendiri mendapat jabatan di bawah Alan atau
dengan kata lain, dia adalah bawahannya Alan.
Hana adalah anggota keluarga Harsono yang termuda.
Hana adalah seorang gadis yang cantik dan pintar. Dari dulu
dia sangat tertarik dengan dunia bisnis. Dia bercita cita ingin
menjadi wanita karir.
Sebagai anak yang paling bungsu Hana selalu
dimanjakan. Tidak heran dia tumbuh menjadi anak yang egois.
Hana juga terbiasa mendapatkan apa yang diinginkan tetapi
itu tidak berlaku di perusahaan milik keluarganya.
Jabatan yang paling diinginkannya, manajer penjualan
diserahkan kepada Alan. Sedangkan dia menjadi bawahannya.
Itu membuatnya kesal.
Karena itu Hana berusaha melakukan berbagai cara
untuk mendapatkan jabatan Alan tetapi tidak pernah berhasil.
Walau kerap dikritik oleh papanya karena pekerjaannya yang
kadang - kadang tidak becus, Alan tidak pernah dicopot dari
jabatannya.

176

Sekarang, Hana punya kesempatan untuk menjatuhkan


Alan. Berdasarkan informasi dari Sarah, dia memulai
penyelidikannya. Dia mencari tahu tentang hubungan Alan dan
Mia. Setelah mendapat informasi yang cukup, dia memberitahu
orangtuanya.
Reaksi mereka seperti yang diharapkannya. Dia
tersenyum puas melihat nasib Alan di ujung tanduk. Padahal,

aku belum mengeluarkan kartu as, katanya dalam hati.

Aku akan menjelaskan pada kalian detailnya. Begini,


sebelum Helen pergi ke Jepang, dia sudah memperkenalkan
kami berdua. Aku yakin, dia sudah cerita pada kalian. Iya
kan?
Seluruh anggota keluarga Harsono mengangguk kecuali
Hana. Namun, Alan tidak peduli dengan reaksi Hana. Toh dia
tahu betul, apapun yang akan dikatakannya, Hana tidak akan
pernah mempercayainya.
Kemudian Alan melanjutkan. Helen memintaku untuk
menjaganya. Dia juga memintaku agar sering sering
menengoknya dan kalau perlu menginap di rumahnya. Hanya
sekedar menemaninya saja. Aku bersumpah, tidak terjadi apa
apa. Lagipula, sebelum pergi, Helen sudah mengatakan pada
Ketua RT tentang Mia dan kemungkinan aku akan menginap di
sana.
Jadi benar tidak terjadi apa apa? papanya menatap
Alan tajam.
Aku berani bersumpah, tegas Alan. Ada yang perlu
kalian ketahui, katanya lagi.
Spontan keluarga Alan yang tadinya bernapas lega
setelah mendengar penjelasannya kembali diliputi perasaan
was was.
Mia, gadis yang sangat baik, dewasa, mandiri dan bisa
menjaga diri. Dia tidak pernah bersikap seperti gadis gadis
yang kukenal. Kami berdua hanya teman.
Tapi, aku dengar, kau sudah menyatakan cinta pada
Mia? celutuk Hana dengan wajah polos yang menyebalkan.
Perut Alan serasa ditinju. Wajahnya merah padam. Dari

mana nenek sihir ini tahu? Alan bertanya tanya dalam hati.
Dia berusaha menenangkan debar jantungnya.
Apa itu benar, Lan? tanya Ari penasaran.
Itu benar, sahutnya pendek.

177

Seluruh keluarga Harsono yang berada di ruangan itu,


untuk kesekian kalinya terperangah.
Tapiitu juga tidak sepenuhnya benar, cetusnya.
Ari, Andi, kedua orangtuanya menatap tidak mengerti.
Tak terkecuali istri abang abangnya yang cantik dan anggun.
Sementara Hana bersikap acuh tak acuh.
Apa maksud dari ucapanmu? Ari menuntut penjelasan.
Selama ini, setiap wanita yang dekat denganku selalu
kujadikan kekasih. Aku tidak ingin itu terjadi pada Mia. Kami ini
belum terlalu lama menjalin persahabatan. Karena itu
kuputuskan untuk mengetesnya. Ternyata hasilnya berjalan
lancar. Dia hanya menganggapku sebagai teman. Tidak lebih.
Kok, tidak seperti yang aku dengar. Kata temanmu,
kau benar benar jatuh cinta, celutuk Hana tanpa sadar.
Papanya menarik napas dan dengan tenang berkata,
Jadi, Mia hanya menganggapmu sebagai teman?
Alan mengangguk.
Tuan Harsono mengamati wajah putranya yang sering
bertengkar dengannya. Walaupun lebih sering bertengkar, dia
mengenal dengan baik sifat putranya itu. Dari apa yang dia
lihat, dia bisa mengetahui dengan jelas bagaimana perasaan
Alan yang sesungguhnya terhadap Mia. Papa percaya
padamu. Lagipula, setelah Papa bertemu beberapa kali dengan
Mia, Papa bisa melihat kalau dia benar benar gadis yang
baik.
Hana dongkol sekali melihat reaksi papanya yang
dengan mudah mempercayai Alan. Kali ini kau menang, Lan.

Tapi kau tidak akan lolos dari yang satu ini.

Sekarang kita lanjutkan kepembicaraan berikutnya,


cetus papanya.
Alan menatap papanya heran. Pembicaraan apa lagi?
Bukannya kita sudah selesai?
Ari, Andi pura pura tidak tahu. Mereka tidak berani
memandang Alan yang diliputi kebingungan. Sementara Hana
justru menikmati kebingungan Alan.
Beberapa hari yang lalu, perbincangan kita berakhir
dengan tidak menyenangkan. Papa harap itu tidak terjadi lagi.
Kepala Alan mendadak pusing karena dia benar benar
tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Katakan saja
langsung, apa maksud Papa sebenarnya?

178

Papa kan sudah pernah bilang, kalau Papa sudah lelah


melihatmu yang selalu bergonta ganti pasangan. Karena itu
Papa memutuskan untuk menjodohkanmu dengan Dewi, putri
dari keluarga Kurniawan. Papa yakin kau sudah mengenalnya
dengan baik, tegas Tuan Harsono tanpa bertele tele.
Alan terperanjat, Apa?
Hana tersenyum melihat reaksi Alan. Sudah kuduga

reaksinya akan seperti itu. Rasain kau Alan, gumamnya.

Sementara Andi dan Ari kelihatannya tidak tertarik


berkomentar. Mereka sebenarnya tahu cepat atau lambat hal
ini akan terjadi mengingat kelakuan Alan yang selalu
membangkang. Alan memang orang yang paling sulit diatur
dalam keluarganya. Karena itu Andi dan Ari tidak pernah mau
ikut campur dalam setiap masalah Alan. Mereka berpikir akan
lebih nyaman jika begitu.
Aku tidak mau dijodohkan! tegas Alan.
Sebelum menikah, kalian akan melangsungkan
pertunangan lebih dahulu, sahut papanya tidak peduli. Dia
tidak menggubris keberatan Alan. Papa sudah membuat
kesepakatan dengan keluarganya, lanjutnya lagi.
Sudah kubilang aku tidak mau dijodohkan, Alan
bersikeras. Aku akan menikah kapan pun aku mau. Aku
sendiri yang akan memilih calon istriku. Bukan Papa!
Kau tidak punya pilihan. Suka atau tidak kau akan
menuruti perintahku. Kecuali kau mau tidak dianggap sebagai
anak. Mengerti kau?
Alan memukul meja dengan tangannya. Semua orang
yang ada di ruangan terkejut. Papa tidak bisa memaksaku
menikah! tegasnya.
Mama! Alan menggenggam tangan mamanya. Mama
tidak akan membiarkan itu terjadi padaku kan?
Maafkan Mama, Alan. Sebenarnya kau bisa mencegah
perjodohan ini dengan mencoba untuk serius menjalani
kehidupan ini. Mama sering berharap kau akan berubah.
Tetapi harapan tinggal harapan. Kau tidak pernah berubah.
Lidah Alan terasa kelu mendengar ucapan wanita yang
membesarkannya itu. Apa aku telah membuat Mama kecewa,
pikirnya. Alan berdiri dan menatap kedua orang tuanya.
Pokoknya aku tidak mau menikah! Alan bergegas
pergi meninggalkan rumah.

179

Alan! Kemari kau! teriak papanya. Tetapi Alan terus


saja berjalan tanpa menoleh.
Papa, biarkan dia pergi. Mungkin dia butuh waktu
untuk menerima keputusan Papa, Andi angkat suara.
***
Mia membuka pintu rumahnya. Dia melihat Alan sedang
duduk di kursi teras rumahnya sambil mengisap rokok.
Wajahnya benar benar kusut. Dari penampilannya Mia bisa
menebak, kalau Alan habis bertengkar dengan orangtuanya.
Sudah berapa lama kau duduk di sini? Kenapa nggak
ngetuk pintu? tanya Mia.
Alan tidak menyahut. Dia hanya diam membisu.
Mia duduk di kursi yang terletak disebelah Alan. Dia
melirik Alan yang mengisap rokoknya dalam dalam. Ini
pertama kalinya, Mia melihat Alan merokok. Pasti

pertengkarannya hebat sekali.

Merokok itu tidak bagus untuk kesehatan. Resikonya


bisa terkena kanker paru paru, mandul dan jantung, celutuk
Mia.
Alan tidak memberikan respons. Dia hanya mematikan
rokok lalu membuangnya ke halaman.
Kau ingin membicarakannya denganku? tanya Mia hati
hati.
Alan tidak menjawab. Dia hanya tertawa kecut.
Mukanya masam sekali.
Mia memandangi wajah Alan yang kelihatan gusar. Ah

dia benar benar punya masalah rupanya, batin Mia. Tetapi


aku tidak bisa berbuat apa apa. Dia juga tidak mau
memberitahuku. Mereka berdua duduk dalam keheningan.

Sebenarnya kita ini hidup di jaman apa sih? Katanya


sudah memasuki era globalisasi. Tapi kok masih saja ada
perjodohan? celutuk Alan sebal.
Mia menatap Alan heran. Sekarang dia mengerti kenapa
wajah temannya itu kusut seperti baju yang belum disetrika.
Kau dijodohkan ya? tanya Mia pelan.
Alan mengangguk lesu. Wajahnya kelihatan semakin
kusut saja.
Kenapa bisa begitu?
Kau tanya saja pada papaku, sahut Alan ketus.
Aku turut prihatin, kata Mia tulus.

180

Simpan saja rasa prihatinmu itu. Aku tidak


membutuhkannya!
Hei, aku tahu kau kesal. Tapi jangan lampiaskan ke
aku dong. Aku kan nggak salah apa apa, protes Mia.
Maaf. Aku tidak bermaksud begitu. Aku benar benar
kesal.
Aku bisa mengerti kok, Mia menghibur Alan.
Kau nggak mungkin mengerti. Kau kan nggak pernah
dijodohkan.
Mia mendadak bungkam. Dia membuang muka. Alan
keheranan melihat sikap Mia.
Kenapa kau jadi diam begitu?
Nggak kenapa kenapa, sahut Mia cepat. Apa kau
mau dengar saranku?
Apa itu?
Berbaik baiklah dengan papamu. Jangan bertengkar
lagi dengannya. Kau juga harus merubah sifatmu. Siapa tahu
dia akan berubah pikiran.
Apa itu bisa berhasil?
Mia mengangkat bahunya. Aku tidak tahu tapi semoga
saja. Kita tidak tahu kalau belum mencobanya kan?
Yeah, kau benar. Aku akan mencobanya! tekad Alan.
Mia menggenggam tangan Alan. Aku tidak tahu harus
berbuat apa untuk meringankan bebanmu, Lan. Tapi kalau kau
membutuhkan pertolonganku, aku dengan senang hati akan
memberikannya. Pokoknya kau bisa mengandalkanku.
Yang benar nih?
Mia mengangguk mantap.
Jadi, kalau sewaktu waktu aku butuh, kau akan
membantuku?
Lagi lagi Mia mengiyakan. Aku janji! Mia
mengangkat tangan kanannya.
Kalau begitu, Miana Hendrawan, suatu hari kau harus
menepati janjimu itu! Suatu saat nanti aku akan menuntut
janjimu itu, kata Alan dengan suara dan sorot mata yang
tegas.
Mia sampai bergidik melihatnya. Tiba tiba sebuah
firasat muncul di kepalanya. Dia menatap Alan. Sepertinya

janjiku padanya akan membawa kami berdua pada masalah

181

yang besar. Ya Tuhan ,semoga saja itu hanya perasaanku saja.


Mudah mudahan itu tidak terjadi.

182

BAB 10
Alan berjalan dengan lesu. Dia sebenarnya malas masuk
kantor tapi apa daya, dia tidak punya pilihan. Dia sudah
memutuskan untuk mencoba saran Mia untuk merubah
sikapnya. Siapa tahu dia bisa merubah keputusan papanya.
Karena saking asyiknya melamun, Alan tidak mendengar
ucapan selamat pagi dari bawahannya. Ketika dia tersadar, dia
membalas dengan gaya yang kikuk.
Selamat pagi, Bos. Anda kedatangan tamu, Sarah
sekretarisnya menyambut dia dengan senyum genit seperti
biasa.
Siapa?
Sebaiknya anda lihat saja sendiri.
Ketika Alan membuka pintu, dia melihat Hana sudah
ada di ruangannya dan duduk di kursi tamu. Alan terbelalak.
Dia menggosok gosok matanya. Mimpi apa aku semalam,

pagi pagi sudah bertemu dengan nenek sihir ini. .

Halo! Selamat pagi, Hana menyapanya dengan


senyum menyebalkan seperti biasa.
Alan tidak membalas sapaan Hana.
Apa kau tidak punya kegiatan lain, Hana? Alan
menaruh tasnya di meja. Daripada mengganggu orang yang
mau bekerja, lebih baik kau melakukan sesuatu yang
berguna.
Justru saat ini, aku sedang melakukan hal yang sangat
berguna untukku, ujarnya. Dia berjalan mendekati Alan.
Katakan padaku, abangku sayang, bagaimana rasanya
dijodohkan? Hana tersenyum licik.
Menyenangkan. Sangat menyenangkan. Belum pernah
aku sesenang ini, kata Alan dengan tenang. Puas?
Nggak! sahutnya santai. Hana mencondongkan
wajahnya. Aku tidak percaya. Kasihan sekali kau Alan. Ada
banyak sekali wanita yang menyukaimu tetapi tidak ada
satupun yang bisa kau jadikan istri. Bahkan harus papa yang
mencarikan satu untukmu.
Tutup mulutmu Hana! Apa kau tidak bisa
membiarkanku
tenang
barang
sedikitpun?
Daripada

183

menggangguku lebih baik kau pikirkan cara untuk


mempertahankan suamimu. Karena kalau melihat sifatmu ini,
aku ragu pernikahan kalian akan bertahan lama.
Hana marah mendengar
ucapan Alan. Sebelum
meninggalkan ruangan, dia berbalik dan berkata, Setidaknya
aku menikah dengan pria yang kucintai bukan dijodohkan.
Alan membanting kertas kertas yang digenggamnya
ke atas meja. Brengsek. Aku benar benar terjepit sekarang.

Nenek sihir itu benar. Begitu banyak wanita yang menyukaiku,


tetapi tidak ada satupun yang bisa kujadikan istri. Bahkan aku
harus dijodohkan. Apa kata mereka kalau mendengar ini?

***
Begitu jam kantor selesai, Alan langsung menuju tempat
parkir. Di sana ia bertemu dengan papanya. Ini untuk pertama
kalinya dia bertemu sejak pertengkaran hebat mereka. Alan
tidak menegur papanya. Dia langsung menuju mobilnya yang
diparkir paling pinggir. Tuan Harsono menghela napas melihat
tingkah anaknya itu. Dia menghampiri Alan. Mau sampai
kapan kau akan menghindari Papa?
Sampai Papa menarik ucapan Papa tentang perjodohan
konyol itu, cetus Alan terus terang.
Tuan Harsono menatap putranya yang sering
membuatnya pusing. Papa minta maaf jika perjodohan ini
membuatmu kesal. Tetapi, kau yang membuat ini semua
terjadi. Papa benar benar lelah melihat sepak terjangmu
selama ini. Papa selalu menunggu kau akan berubah, namun
itu tidak kunjung terjadi. Kau tetap saja asyik dengan
duniamu.
Alan berdiri termangu.
Hari Sabtu ini ajaklah Mia ke rumah. Sudah lama Papa
dan Mama tidak bertemu dengannya. Kau juga. Pulanglah ke
rumah, kata Tuan Harsono sebelum pergi.
Alan memandangi mobil papanya yang bergerak
perlahan meninggalkan tempat parkir. Dia bersandar pada
mobilnya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku
celananya. Papa benar. Aku memang selalu menyusahkan

mereka dengan perilakuku selama ini. Jadi, wajar saja mereka


menjodohkanku. Mereka melakukannya dengan maksud baik,
agar hidupku teratur. Apa aku terima saja perjodohan ini?
Mungkin sebaiknya begitu, daripada hubunganku dengan papa
184

dan mama menjadi lebih runyam. Ah, Alan mendesah. Tidak


bisa begitu. Aku tidak mungkin menghabiskan sisa hidupku
dengan wanita yang tidak kucintai. Mungkin satu satunya
cara adalah dengan memperbaiki hubunganku dengan Papa
dan Mama. Aku harus bisa mengambil hati mereka dengan
merubah semua sifat burukku dengan demikian, mereka akan
membatalkan perjodohan ini. Yah, hanya itu cara terbaik.

***
Kau tegang sekali, cetus Alan. Tingkahmu seperti
orang yang mau ketemu mertua saja, ledeknya.
Apa? Ah nggak. Itu cuma perasaanmu saja. Aku nggak
tegang kok, bantah Mia.
Nanti, pada saat berada di rumah orangtuaku, aku
ingin kau menjaga sikapmu. Jangan tunjukkan sifat ceplas
ceplosmu.
Mia menolak dengan tegas, Aku nggak mau! Di mana
pun aku berada, aku akan bersikap apa adanya.
Ya sudah kalau tidak mau. Jangan salahkan aku, kalau
keluargaku ketakutan melihatmu.
Kenapa mereka harus takut? Tampangku tidak
menyeramkan kok, kata Mia polos.
Dengan sifatmu itu, siapa sih yang gak ketakutan.
Sudah tidak cantik pemarah pula. Sama galaknya dengan
doberman.
Mia menatap Alan dengan raut wajah cemberut. Dia
menarik telinga Alan sekuat tenaga.
Adauuw! Kau ini! Sakit tahu! Aku kan sedang
menyetir. Kalau terjadi kecelakaan bagaimana?
Mia tidak menyahut. Dia hanya meleletkan lidahnya.
Nah, lihat. Kita sudah sampai. Cepat kan?
Mia melihat rumah megah bercat serba putih. Rumah
itu memiliki pekarangan yang sangat luas. Pagarnya terbuka
otomatis. Alan mengemudikan mobilnya dengan pelan dan
memarkirnya tepat di depan garasi. Di pekarangan itu sudah
berjejer mobil dari berbagai merek.
Banyak sekali mobilnya, gumamnya kagum.
Alan seperti mengetahui apa yang ada di pikiran Mia.
Mobil itu bukan punya papaku. Mereka punya abang dan
adikku. Supaya kau tahu mobil kami cuma tiga. Papa, Mama
dan aku punya mobil sendiri sendiri.

185

Jadi abang dan adikmu di sini?


Alan mengangguk. Istri dan suaminya juga ikut,
tambahnya lagi.
Kok nggak bilang dari tadi? Aku pulang saja, Mia
berbalik arah.
Kau nggak bakalan ke mana mana. Ayo masuk, Alan
menarik tangan Mia. Mereka sudah menunggu kita.
Mia memasuki rumah itu dengan perasaan campur
aduk. Setelah sekian bulan berada di Jakarta, ini pertama
kalinya dia datang ke rumah orangtua Helen. Dia sudah sering
bertemu dengan orangtuanya tetapi tidak dengan abang dan
adiknya.
Dia cemas membayangkan bagaimana reaksi
keluarga Helen dengan kedatangannya. Apakah mereka akan
menerimanya dengan tangan terbuka atau justru sebaliknya?
Perasaan tegang dalam diri Mia mencapai puncaknya saat ia
melihat
seluruh anggota keluarga Harsono minus Helen
berada di ruangan itu.
Selamat malam, dia menyampaikan salamnya dengan
hormat.
Tuan Harsono menghampirinya. Selamat malam Mia
balasnya ramah.
Jadi kau yang namanya Mia? tanya Ari.
Mia mengangguk.
Nama lengkapnya sih Miana Hendrawan, celutuk Alan.
Aku biasa memanggilnya Mia. Helen yang memperkenalkan
kami.
Jadi kau yang menempati rumah Helen saat ini. Helen
pernah cerita tentangmu pada kami. Katanya kau gadis yang
baik dan cantik. Dan ternyata kau benar benar cantik.
Tentang kebaikan hatimu, kalau Helen yang bicara kami
percaya, urai Andi.
Mia tersipu malu. Anda terlalu berlebihan.
Iya, benar. Kau berlebihan. Mia tidak sebaik yang kau
kira. Dia itu cerewet dan pemarah sekali, celutuk Alan cuek.
Mia melotot tapi Alan malah bersikap acuh tak acuh.
Tapi itu tidak berpengaruh banyak buat Mia. Seluruh keluarga
Alan menyambutnya dengan tangan terbuka kecuali Hana.
Sikapnya sangat dingin. Mia bertanya tanya apa gerangan
yang membuatnya seperti itu.

186

Sebelum pulang, Mia dibekali dengan berbagai masakan


buatan mamanya Alan.
Ini untuk persediaan makananmu di rumah. Kau kan
tinggal sendiri. Memang tidak banyak tapi kurasa cukup untuk
beberapa hari.
Anda tidak perlu repot repot. Saya jadi merasa tidak
enak, kata Mia malu malu.
Kau pantas menerimanya karena kau teman Helen.
Kami memang belum mengenalmu tapi kami bisa melihat kalau
kau gadis yang baik. Kami juga senang kau bisa berteman
dengan Alan, kata Andi.
Jangan memuji dia terus, celutuk Alan. Bisa bisa
kepalanya meledak.
Jangan bicara seperti itu tentang Mia. Dia kan
temanmu, tegur Andi. Mia, kalau Alan bersikap kurang ajar,
jangan ragu ragu untuk memberinya pelajaran. Kau bisa ilmu
beladiri kan?
Aku hanya tahu sedikit saja.
Tidak perlu merendah begitu, cetus Nyonya Harsono.
Mia, kau pulangnya besok saja, celutuk Alan.
Kontan semuanya keheranan. Kenapa besok? tanya
Mia.
Dari tadi kalian ngobrol terus. Apa kalian nggak tahu
sekarang jam berapa? Sudah jam sebelas malam. Kau sendiri
tadi bilang, besok harus mengajar.
Astaga Mia. Kami tidak tahu. Sebaiknya kau pulang,
kata Tuan Harsono.
Pak Harun, Alan memanggil supir keluarga mereka.
Tolong kau antarkan Mia sampai ke rumahnya. Kau tunggui
dia sampai benar benar masuk rumah.
Baik, Tuan.
Semua orang yang ada di dekat Alan terbengong
bengong.
Kenapa bukan kau yang mengantarnya pulang? tanya
Ari.
Aku ngantuk berat nih, Bang. Tadi dari kantor
menjemput sicerewet ini dulu. Jadi sekarang aku ingin istirahat
dulu. Selamat malam semuanya. Sampai ketemu besok, Mi,
kata Alan lugas.
Mia hanya bisa terpana.

187

Mia, Nyonya Harsono memanggilnya lembut. Kau


mau pulang atau menginap saja di sini?
Tidak, terima kasih. Sebaiknya saya pulang. Terima
kasih untuk semuanya. Saya mohon diri, kata Mia dengan
sopan.
Pasangan Harsono, Andi dan Ari beserta istri mereka
melepas kepergian Mia.
***
Kelihatannya papamu sangat menyayangi Helen, kata
Mia saat ia sedang berjalan jalan dengan Alan.
Tentu saja. Siapapun akan menyayangi Helen karena
kebaikan hatinya. Berbeda sekali dengan adik perempuanku
yang lain, Hana.
Kau tidak pernah bercerita tentang Hana.
Aku malas membicarakannya. Mendengar namanya
disebut saja sudah membuatku kesal.
Mia melihat perubahan di wajah Alan. Ya sudah, kalau
tidak mau. Tetapi bagaimanapun kelakuan Hana, dia tetap
adikmu Alan. Kau harus ingat itu.
Alan tidak menanggapi. Wajahnya seperti orang yang
sedang memikirkan sesuatu. Sebenarnya yang ada di
benaknya saat itu adalah cara untuk membuat agar papanya
mau
merubah
keputusannya
agar
membatalkan
perjodohannya dengan Dewi.
Mia bisa menebak apa yang sedang ada di kepala Alan.
Bagaimana usaha mengambil hati papamu?
Masih jalan di tempat. Papa sepertinya tahu siasatku.
Jadi keputusannya menjodohkanku belum berubah.
Terus gimana dong?
Alan mengangkat bahu. Mana kutahu. Kalau ada cara
lain sudah kucoba dari dulu.
Entah apa yang ada di pikiran Alan saat itu. Dia seperti
mendapat ide cemerlang. Aku punya ide!
Mia bertepuk tangan. Hore! Akhirnya Alan punya ide.
Ternyata otakmu bisa jalan juga.
Jangan meremehkanku. Begini begini, aku ini
orangnya pintar dan banyak akal loh.
Langsung saja ke pokok permasalahan. Apa idemu?
Kau pernah bilang akan membantuku jika diperlukan.
Sekarang aku meminta kau menepati janjimu.

188

Senyum Mia langsung hilang. Jantungnya berdebar


debar. Apa yang ia takutkan akhirnya terjadi juga. Alan
menuntut janjinya. Dia berusaha menenangkan detak
jantungnya.
Selama masih dalam batas kewajaran, akan kupenuhi,
kata Mia dengan suara setenang mungkin.
Aku ingin kau bicara dengan Papaku.
Sejurus kemudian Mia terdiam.
Bagaimana? Kau mau tidak?
Tidak mau, sahut Mia pendek.
Sudah kuduga. Janjimu itu hanya dimulut saja, sindir
Alan.
Aku bukannya tidak mau menepati tapi permintaanmu
itu kelewat sulit untuk dipenuhi. Apa yang membuatmu
berpikir kalau papamu akan mendengar omonganku.
Karena dia sangat menyukaimu. Dia dan mamaku tidak
henti hentinya membicarakanmu.
Kalau aku bersedia bicara dengannya, aku harus bilang
apa? Kan nggak mungkin aku bilang, Om, batalkan saja
perjodohan Alan. Bisa bisa dia menyumpahiku.
Mia, kau ini kan Guru. Seharusnya kau pintar bicara?
Aku tidak terbiasa membujuk orang. Apalagi orangtua.
Pokoknya kau harus meyakinkan papaku, supaya dia
tidak menjodohkanku dengan mak lampir di luar sana.
Mak lampir? Aku kira kau mau dijodohkan dengan
nenek sihir?
Alan melotot. Aku bicara serius, kau malah bercanda.
Pokoknya, aku gak mau tahu. Kau lakukan saja apa yang
kuminta. Kalau kau berhasil aku bakalan melakukan apapun
yang kau minta.
Mia mencibir. Dasar gombal. Apa jaminannya, kalau
kau tidak ingkar janji?
Kau boleh ambil notebook Appleku.
Benarkah? mata Mia berbinar binar.
Ya enggaklah.
Mia mencibir.
Kalau aku tidak menepati janjiku, kau boleh mengambil
notebookku. Apa itu sudah cukup
Mia tertegun. Kalau sampai, Alan menggunakan
notebooknya sebagai jaminan, dia pasti bersungguh

189

sungguh. Mia tahu benar kalau Alan sangat menyayangi


notebooknya itu. Oke. Aku percaya padamu. Tapi, awas kalau
kau tidak menepati janji. Tidak ada ampun bagimu! ancam
Mia.
Alan tersenyum simpul.
Tapi, aku masih bingung. Bagaimana cara meyakinkan
papamu?
Ah, dasar payah. Begini saja. Kau bilang ke papaku,
sejak dijodohkan, aku jadi seperti bukan diriku. Aku jadi
kehilangan semangat. Atau kau juga bisa bilang, kau itu
pernah merasakan betapa tidak enaknya perjodohan itu. Beres
kan?
Mia terhenyak. Mukanya memucat. Omongan Alan
barusan sangat mengganggu pikirannya. Apa dia tahu kalau

aku pernah dijodohkan. Tidak. Itu tidak mungkin. Yang tahu


rahasia itu hanya Helen dan dia sudah berjanji untuk tidak
mengatakan pada siapapun.

Kenapa diam? Hei, mukamu pucat sekali? cetus Alan


heran. Kalau kau tidak mau ya sudah. Aku tidak akan
memaksamu, kata Alan. Dia jadi merasa tidak enak.
Tidak apa apa. Aku akan melakukannya. Aku akan
membujuk papamu.
Kau yakin? Aku nggak memaksa loh.
Aku akan mencobanya. Tapi aku nggak janji, usahaku
ini akan berhasil atau tidak.
Yang pentingkan kita sudah mencoba, Alan tersenyum
lebar.
***
Mia memasuki ruangan itu dengan wajah takut takut.
Sebenarnya dia merasa ragu untuk bicara dengan Tuan
Harsono tetapi apa dayaAlan meminta bantuannya dengan
wajah memelas. Kalau sudah begitu dia tidak tega
menolaknya. Pertemuan Mia dengan Tuan Harsono juga atas
prakarsa Alan.
Silakan duduk, kata Tuan Harsono ramah.
Mia mengangguk sopan. Dia duduk di kursi tamu yang
terletak di tengah tengah ruangan. Ini pertama kalinya Mia
masuk ke ruangan Tuan Harsono. Dia takjub melihat betapa
luas dan lengkapnya ruangan itu. Di dalamnya terdapat satu
set kursi untuk tamu, kulkas, perangkat audio visual dan

190

sejumlah barang pajangan. Kalau kantorku seperti ini, aku juga

nggak bakalan mau keluar dari sini atau pulang ke rumah. .

Alan bilang kau ingin bicara denganku tentang sesuatu


yang sangat penting.
Mia menoleh terkejut. Iya, Om. Jantung Mia berdetak
sangat keras. Mia bahkan bisa mendengarnya. Sebelum bicara,
Mia mengumpulkan keberanian sebanyak banyaknya.
Sebelumnya saya minta maaf, akhirnya dia buka
suara.
Tuan Harsono terkekeh. Kau belum bilang apa apa
kok sudah minta maaf.
Karena apa yang akan saya katakan ini, bisa jadi
sangat tidak enak untuk didengar.
Wajah Tuan Harsono berubah menjadi serius.
Sebenarnya kau mau bicara apa, Miana? Terus terang saja,
tingkahmu ini membuatku berpikir yang tidak tidak.
Saya ingin membicarakan masalah perjodohan Alan.
Tuan Harsono sekarang mengerti maksud kedatangan
Mia. Apa dia yang menyuruhmu kemari? Dia memintamu
untuk membujukku?
Dia memang meminta saya untuk bicara dengan Om.
Sebenarnya saya berhak menolak memenuhi keinginannya itu.
Lagipula dia tidak memaksa saya. Tapi sebagai teman, saya
merasa punya kewajiban untuk menolongnya, ujarnya
panjang lebar.
Om, Alan memang anak yang susah diatur. Saya tahu
bagaimana rumitnya hubungan Om dengannya. Kalian sering
bertengkar dan sebagian besar karena sifatnya yang agak
memberontak. Tapi dia sudah besar, Om. Dia bebas untuk
menentukan apa yang terbaik untuknya. Entah itu masalah
pekerjaan ataupun pasangan hidup, Mia menatap Tuan
Harsono untuk melihat apakah dia mendengar atau tidak.
Teruskan saja. Om mendengar kok, Tuan Harsono
seolah tahu apa yang ada di dalam pikiran Mia.
Dia memang sering bergonta ganti pasangan.
Jangankan Om, saya pun tidak suka melihat sifatnya itu.
Tetapi, menjodohkannya bukanlah cara terbaik untuk
menghentikan kebiasaan buruknya itu. Menjodohkan Alan
hanya akan membuat ia semakin tertekan dan pada akhirnya

191

dia akan berontak. Kalau sudah begitu, sia sia saja, apa
yang Om lakukan.
Tuan Harsono manggut manggut. Jadi menurutmu
bagaimana? Apa cara yang paling baik untuk menghentikan
kebiasaannya itu?
Jujur saja, saya tidak tahu. Tetapi, kalau boleh, saya
ingin memberi saran.
Apa itu?
Kenapa Om tidak mencoba memberikan kesempatan
buat Alan untuk mencari sendiri calon istrinya?
Om sih mau saja. Tapimelihat kelakuan Alan saat ini,
Om pesimis dia bisa menikahi salah satu gadis yang
disukainya. Alan itu tidak pernah tahan terhadap satu wanita
saja. Paling lama bertahan juga hanya sebulan atau dua bulan.
Setelah itu, dia mulai mencari lagi.
Jadimenurut Om
Satu satunya cara terbaik adalah dengan
menjodohkannya. Dengan demikian, dia bisa berhenti
bertualang.
Sorot mata Mia meredup saat mendengar perkataan
Tuan Harsono. Dia menghela napas dalam dalam. Untuk
sesaat, dia sempat merasa ragu dengan apa yang akan
dikatakannya. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Hanya ini
satu satunya cara untuk menyadarkannya bahwa dijodohkan
itu sangat tidak enak. Mia membulatkan tekad untuk
mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Saya pernah
merasakan tidak enaknya dijodohkan, kata Mia dengan suara
lirih.
Tuan Harsono termangu keheranan. Matanya tidak
berkedip saat memandangi Mia.
Ada senyum getir di wajah Mia. Walaupun tidak sesuai
dengan kata hati, saya tidak punya pilihan. Saya menuruti
keinginan orang tua saya karena tidak mau disebut anak yang
tidak berbakti. Saya pikir cinta bisa tumbuh seiring dengan
waktu. Siapa sangka saya tidak jadi menikah.
Kenapa? Apa yang terjadi? tanya Tuan Harsono
penasaran.
Calon pengantin pria tidak datang. Dia meninggalkan
saya di gereja.

192

Tuan Harsono terkejut. Keterlaluan sekali! Apa dia


bilang alasannya?
Dia hanya mengatakan kalau dia jatuh cinta pada
orang lain. Dan gadis yang kejatuhan cintanya itu adalah
sahabat saya sendiri.
Tuan Harsono menatap Mia dengan pandangan penuh
keprihatinan. Kau pasti sedih sekali.
Awalnya saya memang sedih karena saya mulai
menyukainya. Tapi kemudian saya mulai sadar, lelaki seperti
dia tidak pantas mendapatkan air mata saya. Jadi saya
putuskan untuk melupakan kejadian itu dan memulai hidup
yang baru.
Pertama kali bertemu dengan Mia, Tuan Harsono sudah
mengaguminya. Dia sangat tertarik dengan wajah, sifat dan
kepribadian Mia. Hari ini kekagumannya semakin bertambah
setelah melihat ketegaran yang ditunjukkan Mia.
Tindakanmu itu benar. Lelaki pengecut itu sama sekali
tidak layak ditangisi.
Mia hanya tersenyum tipis. Saya tidak mau
mencampuri masalah Om dengan Alan. Saya melihat dia
sangat terbebani dengan rencana pernikahannya. Sebaiknya
Om memikirkan baik baik sebelum menyuruh Alan
melangsungkan
pernikahan.
Om
harus
memikirkan
kebahagiaannya. Bagaimanapun juga yang akan menjalani
pernikahan itu adalah Alan. Dia yang akan merasakan suka
dan dukanya, bukan kita. Kalau dia tidak bahagia, apa yang
akan Om lakukan?
Tuan Harsono tidak menjawab. Dia hanya terdiam.
Dalam hati dia mengakui kebenaran ucapan Mia. Kalau sampai

Alan tidak bahagia dengan pernikahannya, aku akan didera


perasaan bersalah seumur hidupku. Sebagai orangtua
seharusnya aku mengutamakan kebahagiaan anakku.

Mama saya tadinya ingin menjodohkan saya lagi tetapi


akhirnya dia menyadari kalau saya memiliki hak sepenuhnya
atas jalan hidup saya, cetus Mia.
Tuan Harsono manggut manggut mendengar
penjelasan Mia.
Mia melanjutkan, Butuh waktu lama untuk mengobati
luka di hati saya. Sampai akhirnya saya sadar, kalau Arman
tetap menikahi saya maka kehidupan saya akan berantakan.

193

Apa yang saya alami, saya anggap sebagai proses


pendewasaan diri. Sekarang saya tidak menyesali apa yang
terjadi. Mungkin itu sudah digariskan oleh Tuhan. Mungkin
kalau itu tidak terjadi saya tidak akan pernah bertemu dengan
Helen dan Alan, sahabat sahabat terbaik saya.
Apa Alan tahu tentang kejadian yang menimpamu?
Hanya Helen dan Om yang mengetahuinya. Kalau tidak
keberatan, saya harap Om tidak mengatakan apapun pada
Alan.
Kenapa? Sebagai sahabatmu, dia berhak tahu kan?
Saya hanya tidak ingin dia mengasihani saya.
Om mengerti. Kau bisa mempercayai Om.
Mendadak
suasana
menjadi
hening.
Untuk
menghilangkan ketegangan yang sudah menyiksanya dari tadi,
Mia menjangkau cangkir berisi teh manis. Dia meneguknya
sedikit demi sedikit.
Ngomong ngomong, apa kau pernah bertemu
dengan Dewi, calon istri Alan?
Mia menggeleng. Alan juga tidak pernah bercerita
tentang dia. Jadi saya sama sekali tidak tahu apa apa
tentang dia.
Apa kau menyukai Alan, Mia?
Saya menyukainya tetapi hanya sebagai teman.
Apa yang kau sukai darinya?
Alan itu orang yang sangat perhatian. Walaupun dia
suka bicara dan berbuat seenaknya, tapi sebenarnya dia
orang yang baik.
Aku dengar dia pernah menyatakan cinta kepadamu.
Apa itu benar?
Dia memang pernah menyatakan cinta. Tapi itu hanya
salah satu keisengannya saja. Dia tidak bersungguh sungguh
dengan ucapannya itu, kata Mia sambil tersipu malu.
Sayang sekali kalau begitu, gumam Tuan Harsono.
Maksud Om tanya Mia heran
Tidak ada maksud apa apa. Apa kau pernah berpikir
untuk menjalin hubungan lebih dari persahabatan dengan
putraku?
Mia bingung harus menjawab apa. Saya tidak tahu,
Om. Kalau saya bilang tidak, ternyata di masa depan justru

194

sebaliknya maka saya akan malu sendiri. Apa pun bisa terjadi
antara saya dengan Alan.
Tuan Harsono manggut manggut. Begitu yah. Apapun

bisa terjadi di antara kalian berdua.

Baiklah
Mia.
Aku
akan
mempertimbangkan
keputusanku.
Terima kasih banyak, Om. Sekali lagi saya minta maaf
atas sikap lancang saya ini.
Kau tidak perlu minta maaf. Aku senang bisa bicara
banyak denganmu. Hari ini, aku mendapat pelajaran berharga
darimu. Sudah selayaknya Helen dan Alan bersyukur karena
memiliki teman sepertimu.
***
Alan mondar mandir di kamarnya. Papa bilang ingin

bertemu denganku. Ada masalah apa yah? Mia bilang sudah


bicara dengan Papa tapi hasil pembicaraan mereka cuma
membuahkan pertimbangan saja.
Jangan jangan dia mau mempercepat pertunanganku
dengan Dewi. Menyeramkan sekali. Usaha Mia sia sia dong.
Otak Alan jadi dipenuhi pikiran yang aneh aneh. Dasar
bodoh, kalau begini terus, kau nggak bakalan tahu. Alan
memaki dirinya sendiri. Dia membuka pintu kamarnya lalu

menuruni tangga. Dia berjalan menuju ruang kerja papanya


yang terletak di depan ruang tamu.
Dia mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati itu
pelan. Dari dalam terdengar suara papanya yang menyuruh ia
masuk. Alan mengintip dari balik pintu ruang kerja papanya.
Papa ingin bertemu denganku?
Iya duduklah, ada yang ingin Papa katakan.
Alan menuruti keinginan papanya tanpa banyak bicara.
Dia duduk di kursi yang berada di depan meja kerja papanya.
Ini tentang perjodohanmu dengan Dewi.
Oh itu. Alan menggaruk garuk kepalanya. Masalah
itu lagi. Ada apa dengan perjodohan kami?
Tidak akan ada perjodohan.
Mulut Alan terbuka karena kaget. Perlahan lahan
senyum mengembang di wajahnya. Apa? Papa serius? mata
Alan berbinar.
Iya. Tetapi apa yang Papa lakukan tidak gratis. Ada
syaratnya.

195

Tanpa berpikir panjang Alan mengiyakan. Sebelum Papa


berubah pikiran, pikirnya. Apapun syaratnya akan kupenuhi,
tapi jangan yang aneh aneh yah, Alan terlihat sangat
antusias.
Kau harus bisa menemukan wanita baik baik yang
bisa dijadikan istri. Dan yang terutama, seluruh keluarga kita
bisa menerimanya.
Apa Papa bersungguh sungguh?
Tuan Harsono mengangguk.
Alan tersenyum lebar. Rasa lega menyelimuti dadanya
yang selama ini terasa sesak karena masalah perjodohan.
Terima kasih, Pa. Aku akan membawa wanita paling baik
untuk dijadikan istri, Alan sangat bersemangat.
Selain itu, kau juga harus mengubah kebiasaan
burukmu. Papa tidak perlu menyebutkan satu per satu. Papa
rasa kau lebih mengetahuinya. Pokoknya ubah semuanya
tanpa terkecuali.
Alan mengangkat tangan kanannya. Aku berjanji, Pa.
Akan mengubah semua kebiasaan burukku.
Ada lagi. Apa kau menyukai Mia?
Senyum yang menghiasi wajah Alan, lenyap seketika.
Yang ada hanya raut wajah heran. Kenapa Papa bertanya
seperti itu?
Hanya sekedar ingin tahu saja. Dia gadis yang baik dan
sopan. Apalagi terhadap orang tua.
Tentu saja aku menyukainya, Pa. Memang sih, dia itu
cerewet, kolot dan pemarah tapi secara keseluruhan, dia gadis
yang menyenangkan. Berada bersamanya selalu membuatku
nyaman. Dia itu teman yang sangat baik, Alan menatap
papanya dengan pandangan curiga. Sebenarnya apa maksud
Papa menanyakan itu?
Tidak ada apa apa. Papa kan sudah bilang hanya
ingin tahu saja.
Alan terlihat tidak puas dengan jawaban papanya itu.
Hatinya masih diliputi dengan rasa penasaran. Pasti ada
maksud Papa, makanya menanyakan itu. Alan menatap
papanya dengan penuh rasa curiga.
Tuan Harsono mendelik ke arah putranya. Ngapain lagi
kau duduk di situ? Sebaiknya kau memulai usahamu untuk
mencari wanita yang bisa dijadikan istri.

196

Wajah Alan mendadak cerah. Beres, Pa. Mulai


sekarang aku akan mencari istri.
***
Mia merasa takjub dengan usaha Alan dalam mencari
istri. Dia sibuk pergi ke sana ke mari, sekedar untuk mencari
wanita yang cocok untuk dijadikan istri. Mia jadi terkena getah
untuk membantu Alan. Dia memberi informasi tentang wanita
wanita lajang yang sering ditemui di sekolahnya. Karena
itulah, setiap hari, Alan selalu mengantarnya ke sekolah
dengan maksud mencari kalau kalau ada wanita yang bisa
dijadikan istri.
Ada kalanya juga, Alan mengunjungi mal mal yang
ada di Jakarta dengan tujuan yang sama. Namun, lama
kelamaan, Alan merasa lelah juga. Dari sekian banyak wanita
yang ia temui, tidak ada satupun yang sesuai dengan
kriterianya. Dia mulai dilanda perasaan putus asa.
Yang membuatnya lebih dongkol lagi adalah, Dewi,
gadis yang dulu hendak dijodohkan dengannya. Dia tidak
pernah berhenti mendekati Alan. Setiap tempat yang biasa
didatangi Alan bersama dengan teman temannya disatroni
Dewi. Alan jengkel sekali dibuatnya.
Sementara itu Papa dan mamanya juga selalu
menanyakan kemajuannya dalam mencari istri. Alan sering
kesal setiap mendengar pertanyaan yang sama. Sempat
terbersit dalam pikiran Alan untuk menyerah saja. Tapi Mia
mengingatkannya untuk tidak putus asa.
Jangan menyerah dong, Lan. Ada jutaan wanita di
dunia ini. Masa nyari satu aja susah betul. Ayo, bersemangat.
Aku mendukungmu, kata Mia suatu ketika. Mendengar
dorongan dari Mia, semangat Alan kembali timbul.
Namun, ada sedikit kekhawatiran dalam diri Alan.
Pasalnya, niatnya untuk mencari istri, sudah menjadi rahasia
umum di kantornya. Bahkan, sekretarisnya yang genit, Sarah
nekat mengajukan kesediaanya untuk dijadikan istri. Karuan
saja Alan ketakutan dibuatnya.
Alan berusaha bersikap tenang menanggapi isu isu
yang mulai merebak. Dia menunjukkan sikap dingin pada
setiap wanita yang menggodanya. Dia tahu tindakannya itu
bisa merusak rencananya, tapi tidak ada pilihan lain. Daripada

mereka mengejar ngejarku, pikirnya.


197

BAB 11
Tidak terasa, dua tahun sudah Alan berusaha mencari
pendamping hidupnya. Namun, sia sia saja usahanya.
Untungnya, orangtuanya sudah tidak lagi mendesak.
Perubahan sifat Alan, menjadi penyebabnya. Dia sudah tidak
pernah lagi bertengkar dengan orangtuanya. Dia juga selalu
pergi dan pulang tepat waktu. Dia tidak pernah lagi keluyuran
dan pulang pagi. Bahkan, dia pergi ke rumah Mia kalau ada
yang penting.
Perubahan sifatnya itu disambut baik orang orang
terdekatnya.
Alan berbaring di atas tempat tidurnya dengan mata
terbuka. Semua sudah kulakukan tetapi tidak ada hasil. Apa

yang harus kulakukan? Apa aku terima saja dijodohkan dengan


Dewi. Setelah kupikir pikir dia lumayan juga. Tapi sayang,
sifatnya buruk sekali. Kerjanya hanya belanja saja dan
bergosip.. Kalau menikahinya bisa bisa uangku habis untuk
membiayai kebiasaan buruknya itu.
Alan bangun dan duduk bersila. Dia menopang dagunya
dengan tangan kanannya. Apa aku tanya Mia saja? Alan melirik
jam. Sudah jam setengah dua belas. Ini sudah kelewat malam.

Kalau aku datang, bukannya disuruh masuk, bisa bisa dia


menyiramku dengan air. Tapi, aku benar benar
membutuhkan sarannya sekarang. Apa kutelepon saja? Alan
menimbang nimbang.
Alan termangu di atas tempat tidurnya. Entah apa yang
menggerakkannya. Dia mengambil album foto yang tersusun
rapi bersama dengan buku bukunya. Dia membuka halaman
demi halaman.
Album itu berisikan fotonya bersama dengan Mia. Alan
mengelus foto Mia yang sedang bergaya di depan istana
boneka di Dufan. Kau cantik sekali, Mia bisiknya lirih. Aku

benar benar membutuhkan saranmu saat ini. Seandainya


saja kau ada di sampingku.

Wajah Alan yang tadinya lesu berubah cerah. Dia


menjentikkan jarinya. Alan sekarang tahu apa yang harus
dilakukan untuk membawanya keluar dari situasinya saat ini.
***

198

Sekolah Mia sedang libur. Karena itu Alan mengambil


cuti selama satu hari untuk menemani Mia ke puncak. Di sana,
Alan berniat untuk mengatakan sesuatu yang sudah ada
dipikirannya selama dua minggu ini.
Kita mau ke mana? Mia melirik Alan yang sedang
menyetir.
Kita ke Cibodas. Selama di Jakarta, kau belum pernah
ke sana kan?
Mia menggeleng.
Nah, kita sudah sampai. Tapi untuk sampai ke dalam,
kita harus jalan sedikit.
Mereka menyusuri jalan menanjak dengan penuh
semangat. Sesekali Mia berhenti untuk menghirup udara
dalam dalam. Dia sangat menikmat suara suara yang
terdengar dari balik pepohonan yang berada di kiri kanan
Cibodas.
Alan dan Mia duduk di atas rerumputan sambil
menikmati makanan dan minuman ringan yang mereka bawa
dari Jakarta.
Alan melirik Mia yang sedang mengunyah coklat
Cadburynya. Aku rasa ini saat yang tepat untuk
mengatakannya. Alan menarik napas.
Mi, tujuanku ke sini, selain mengajakmu jalan jalan,
juga karena ingin membicarakan sesuatu.
Mia terlalu menikmati suasana di sekitarnya sehingga
dia tidak terlalu serius menanggapi ucapan Alan. Memangnya
kau mau bicara apa, cetusnya santai.
Mia, aku tahu kau sudah menolongku dengan
membujuk Papa agar mempertimbangkan keputusannya untuk
menjodohkanku dengan Dewi dan aku sangat berterima kasih
untuk itu. Yang ingin kutanyakan sekarang, apa kau bisa
menolongku sekali lagi?
Mulut Mia mendadak berhenti mengunyah. Dia menatap
tajam temannya itu. Aku paling ngeri kalau dia meminta tolong

padaku. Bukannya aku tidak mau menolongnya, tetapi


permintaannya itu loh. Pasti selalu yang susah susah. Alan,

aku sudah sangat bersyukur, keluargamu tidak membenciku


karena berani ikut campur mengenai masalahmu. Jadi, aku
tidak mau mengambil resiko lagi. Maaf, kali ini aku tidak bisa
menolongmu, tolak Mia halus.

199

Alan tidak menghiraukan penolakan Mia. Mi, kau


adalah satu satunya wanita yang bisa kujadikan sahabat.
Sebagai sahabat sudah sepatutnya kita tolong menolong.
Kumohon Mia. Aku berjanji, ini yang terakhir. Selanjutnya aku
tidak akan menyusahkanmu lagi, kata Alan bersungguh
sungguh. Supaya lebih meyakinkan, Alan memasang tampang
memelas.
Mia jadi tidak tega melihatnya. Walaupun hatinya terasa
berat, Mia merasa harus membantu temannya itu. Dia
menggigit bibirnya sebelum berkata, Baiklah, aku akan
menolongmu semampuku. Katakan saja, apa yang harus
kulakukan.
Apa kau mau menyelamatkanku dari perjodohan ini,
Mia?
Mia tertegun mendengar permintaan Alan. Matanya
mengisyaratkan
kebingungan.
Menyelamatkanmu
dari
perjodohan? cetusnya heran. Aku tidak mengerti, katanya
terus terang.
Maksudku, hanya kau yang bisa membantuku lepas
dari perjodohan ini, tegas Alan.
Aku? Mia menunjuk dirinya dengan tangannya.
Dengan cara apa? tanyanya heran.
Alan termangu ragu ragu. Dengan menikahiku.
Mendadak Mia tertawa geli. Alan, bercandanya jangan
kelewatan ah, cetusnya sambil terkikik. Dia mengibas
ngibaskan tangannya.
Aku tidak bercanda, Miana, cetusnya kalem.
Mia terhenyak. Dia paling ngeri kalau Alan
memanggilnya Miana. Itu berarti dia serius. Apa kau sudah
gila? semburnya dengan suara ekstra keras. Tidak! Aku tidak
mau! tolaknya mentah mentah.
Alan mengusap keringat di keningnya dengan
saputangan. Untung aku membawanya ke sini. Jadi dia bisa

berteriak sepuasnya.

Ayolah Mi. Hanya kau yang paling cocok untuk


kujadikan istri. Keluargaku kecuali Hana menyukaimu. Kita
berteman akrab. Jadi apa lagi yang ditunggu?
Tapi kita tidak saling mencintai, Lan. Kita ini teman
bukan sepasang kekasih. Apa kau mau menghabiskan sisa
hidupmu dengan wanita yang tidak kau cintai?

200

Aku tidak keberatan, sahutnya santai. Alan


menampakkan wajah tenang padahal hatinya bergejolak. Aku

tidak keberatan Mia karena aku sangat mencintaimu, kata Alan


dalam hati. Seandainya saja, kau menerima cintaku waktu itu,
maka aku akan menjadi pria paling bahagia di dunia ini. Aku
juga tidak akan disusahkan masalah perjodohan konyol ini.

Mia terlihat uring uringan. Dia benar benar


meradang mendengar permintaan Alan.
Kita menikah untuk sementara waktu saja. Setelah itu
kita bisa berpisah dengan alasan tidak ada kecocokan lagi.
Beres kan.
Mia melotot. Kau bicara seolah olah pernikahan itu
seperti permainan. Pernikahan adalah suatu yang sakral, Lan.
Setiap orang di dunia menginginkan pernikahan yang dibangun
atas dasar cinta dan kita tidak memiliki itu, Lan.
Memangnya aku dan Dewi saling mencintai?
Kuberitahu ya, Dewi sama sekali tidak mencintaiku. Dia itu
sama sepertiku. Selalu bergonta ganti pasangan. Hanya di
depan orangtua saja dia bersikap manis. Tapi di belakang? Dia
liar seperti banteng. Dia menganggapku tidak lebih dari sebuah
piala yang harus dimenangkan. Dia akan berusaha
mendapatkanku dengan cara apapun termasuk menikahiku!
Sekarang aku tanya padamu, apa aku harus
menghabiskan sisa hidupku dengan wanita seperti itu? tanya
Alan emosi. Wajahnya merah padam. Urat di lehernya
menonjol.
Mia bungkam. Dia tidak berani menjawab. Ini pertama
kalinya dia melihat Alan mengamuk. Dia menundukkan
wajahnya.
Aku tahu kalau aku ini bukan pria yang baik. Seorang
playboy, sering bertengkar dengan orangtua dan suka
membuat onar. Tapi aku tidak bodoh, Mi. Aku tahu wanita
seperti apa yang cocok menjadi pasangan hidupku. Bagaimana
aku bisa merubah kebiasaan burukku kalau aku menikah
dengan wanita seperti Dewi?
Mia tidak menjawab. Mulutnya terkunci rapat. Dia
meremas remas tangannya. Dia selalu begitu kalau sedang
memikirkan sesuatu.
Kau tenang saja, Mi. Kalau kita menikah nanti, kita
tidak tidur dalam satu kamar. Kau dan aku akan punya kamar

201

sendiri sendiri. Dengan begitu, kita bisa menjaga privasi


masing masing walaupun tinggal dalam satu atap.
Mia mendelik. Apa katamu? Kalau kita jadi menikah,
kita akan tidur terpisah?
Kau mau tidur denganku? Nggak papa sih. Aku nggak
keberatan, goda Alan.
Mia menggeleng kuat kuat. Aku nggak mau tidur
denganmu! katanya dengan nada sewot.
Kalau begitu, kenapa protes kita tidur terpisah? tanya
Alan sebal.
Alan, apa kau sadar, rencanamu ini sama saja dengan
membohongi orangtuamu?
Alan membuang muka. Hanya itu satu satunya cara.
Mia tidak tahu harus berkata apa. Dia seperti
mengalami dilema. Disatu sisi, dia ingin menolong Alan. Tetapi
disisi lain jika dia memenuhi permintaan Alan untuk menikah
maka dia akan merasa sangat berdosa. Itu sama saja

membohongi orangtua kami masing masing.

Dari bahasa tubuh Mia, Alan bisa menangkap


kegelisahan hatinya. Dia menghela napas. Matanya
menerawang. Kalau sudah begini, aku jadi merasa tidak enak.

Aku sudah banyak menyusahkan dia. Kalau aku memaksanya


untuk menikah denganku, aku akan menyusahkannya seumur
hidupnya. Kalau itu terjadi, sahabat macam apa aku ini? Alan
melirik Mia yang masih diam membisu. Kegundahan terpancar
jelas di wajah Mia. Melihat rupa temannya, Alan jadi merasa
tidak enak. Teman macam apa aku? Bisa bisanya aku

membawa temanku sendiri jatuh bersamaku ke dalam lubang


penuh masalah.

Lupakan saja kata kataku barusan. Anggap aku tidak


pernah mengatakannya.
Aku
akan
mempertimbangkannya,
kata
Mia
mengejutkan Alan.
Kau tidak perlu melakukannya. Aku tidak mau kau
merasa terpaksa. Aku akan mencoba cara lain.
Aku bilang, aku akan mempertimbangkannya! kata
Mia ngotot.
Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau merasa punya
kewajiban untuk menolongku? Kalau begitu adanya, maaf saja,
aku tidak bisa menerimanya.

202

Jangan jual - jual mahal, Lan. Akui saja kalau kau


senang mendengarnya.
Bagaimana aku bisa senang kalau kau tidak tulus?
Ekspresimu itu mengisyaratkan kau seperti dipaksa. Dan aku
paling tidak suka orang yang melakukan segala sesuatu
dengan terpaksa.
Aku hanya bilang akan mempertimbangkan bukannya
mengiyakan. Jadi jangan berteriak padaku! balas Mia tak mau
kalah.
Mia dan Alan bagaikan menjalani perang urat syarat.
Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Masing masing
berusaha mempertahankan pendirian.
Mereka juga melemparkan tatapan tajam satu sama
lain. Bahkan, tidak jarang terdengar suara teriakan yang
mengundang perhatian orang yang berada disekitar mereka.
Situasi itu baru berakhir setelah mereka sama sama
kelelahan. Keduanya terlentang di atas rumput.
Ini pertama kalinya kita bertengkar hebat, kata Alan.
Ya, kau benar.
Tidak kusangka, bertengkar denganmu itu akan sangat
melelahkan.
Memangnya kau saja yang lelah? Aku juga capek,
tahu.
Apa yang akan kita lakukan untuk mengatasi ini, Mi?
tanya Alan lirih.
Berikan aku waktu. Aku akan mempertimbangkan
permintaanmu itu. Dan ingat, aku melakukannya bukan karena
terpaksa.
Terserah kau saja.
***
Mia tidak bisa konsentrasi mengajar. Tawaran Alan agar
mau menikah dengannya sangat mengganggu pikirannya. Dia
terhanyut dalam lamunannya. Dia sibuk menimbang
nimbang tawaran Alan. Dia tidak menyadari suasana kelas
yang diajarnya mulai ramai seperti pasar.
Mia baru tersadar dari lamunannya saat gumpalan
kertas mendarat dengan manis di keningnya. Seluruh penghuni
kelas itu mendadak diam. Wajah mereka diliputi kecemasan,
kalau kalau Mia bakal mengamuk. Namun, reaksi Mia justru
di luar dugaan.

203

Oh, kalian sudah selesai mengerjakan soal yang Ibu


berikan rupanya. Zita! Mia memanggil muridnya yang duduk
di deret paling kanan. Kau yang pertama. Maju dan tulis di
papan tulis. Setelah itu, kau Roy, kata Mia menyebut nama
muridnya yang duduk di sebelah Zita.
Tanpa banyak bicara, Zita menuruti perintah gurunya
itu. Alih alih memperhatikan pekerjaan muridnya, dia malah
kembali tenggelam dalam lamunan.
Tingkah Mia itu tidak luput dari perhatian murid
muridnya. Mereka mulai berbisik bisik.
Di sekolah tempatnya mengajar, Mia merupakan salah
satu guru yang diidolakan. Wajahnya yang menarik ditambah
sifatnya yang baik hati dan ramah membuat dia sangat
disukai murid murid dari berbagai kelas. Memang, ada
beberapa murid yang sering menggodanya, tapi Mia selalu
berhasil mengatasinya.
Ibu sedang jatuh cinta yah? celutuk salah satu
muridnya iseng.
Mia tersadar dari lamunannya. Apa? Tidak, Ibu tidak
sedang jatuh cinta, bantahnya. Jangan sok tahu kalian.
Murid muridnya tergelak. Habis dari tadi Ibu
melamun terus.
Mia tersipu malu karena tertangkap basah oleh murid
muridnya. Ibu sedang punya masalah. Makanya Ibu
melamun.
Apa ada hubungannya dengan pria yang sering
mengantar Ibu? goda Andrew, salah satu muridnya yang
paling kritis. Dia pacar Ibu yah?
Wajah Mia memerah. Dengan tegas ia membantah. Dia
bukan pacar Ibu. Dia hanya teman.
Teman tapi mesra, sahut murid muridnya
berbarengan. Suasana kelas menjadi riuh. Zita dan Roy yang
sudah menunaikan tugas mereka ikut tergelak senang karena
mereka berhasil menggoda Mia.
Mia berusaha menenangkan kelas. Sudah hentikan.
Jangan goda Ibu lagi. Kalau kalian tidak menghentikannya, Ibu
akan memberikan tugas yang banyak sampai sampai kalian
membutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk
menyelesaikannya, ancam Mia.

204

Suasana kelas yang tadinya seperti taman burung di


Taman Mini Indonesia Indah mendadak sepi seperti kuburan.
Mia tersenyum puas, taktiknya berhasil. Sekarang kita
lanjutkan pelajaran.
***
Alan memarkir mobilnya tepat di depan pintu gerbang
sekolah tempat Mia mengajar. Sepi sekali. Kenapa Mia memilih
bicara di tempat seperti ini? Alan berjalan masuk ke dalam
sekolah. Dia sempat bertanya kepada petugas kebersihan, di
mana Mia berada.
Ternyata Mia masih berada di ruangan guru. Dia sedang
mengoreksi pekerjaan rumah murid muridnya. Dia
mendongak, ketika Alan memanggilnya.
Ini sudah jam enam. Kau tidak takut berada di sini
sendirian?
Apa yang ditakutkan? sahut Mia enteng.
Alan mendelik sebal. Cepetan. Aku sudah lapar nih.
Kalau mau bicara, kita cari tempat lain saja. Jangan di sini.
Kenapa? Takut yah?
Aku bukannya takut tapi pas masuk ke sini, aku
melihat masih ada murid murid di lapangan. Bagaimana
kalau mereka mendengarkan pembicaraan kita?
Biarkan saja, sahut Mia cuek. Selama kita tidak
berbuat jahat, kau tidak perlu mencemaskan apapun.
Alan menyerah. Dia terlalu lelah untuk berdebat dengan
Mia.
Aku
sudah
memikirkan
matang

matang
permintaanmu itu, cetus Mia. Namun, matanya tidak lepas
dari pekerjaannya.
Apa keputusanmu? Alan bertanya dengan hati
berdebar debar.
Aku bersedia menikah denganmu.
Alan hampir meloncat kegirangan. Tetapi ada
syaratnya, kata Mia, membuat binar di mata Alan meredup.
Selama masih dalam batas kewajaran, aku akan
memenuhinya.
Pertama, kau dan aku tidur di kamar yang terpisah.
Kedua, tidak boleh ada kontak fisik. Kau mengerti kan
maksudnya? tanya Mia.
Alan mengangguk.

205

Ketiga, kita saling berganti gantian melakukan


pekerjaan rumah mulai dari memasak, membersihkan rumah,
belanja, menyetrika dan mencuci pakaian. Khusus untuk
pakaian dalam, kita mencucinya sendiri sendiri, tutur Mia.
Keempat! lanjutnya lagi. Walaupun kita menikah
karena kesepakatan, kita tetap harus saling menghormati
perasaan. Kau atau aku bisa berdekatan dengan teman lawan
jenis, tetapi tidak boleh dibawa ke rumah. Kelima, kalau salah
satu di antara kita terlibat masalah, maka kita harus saling
menolong. Keenam, kita harus tetap saling memperhatikan
karena bagaimanapun juga kita adalah sahabat. Tetapi kita
tetap saling menghormati privasi masing masing. Terakhir ,
tetapi ini yang terpenting loh, kita tidak boleh saling jatuh cinta
satu sama lain. Kalau salah satu melanggarnya, maka dia
harus keluar dari rumah ini dan tidak ada jalan lain kecuali
bercerai.
Alan manggut manggut mendengar syarat nomor satu
sampai dengan enam. Tapi tidak nomor tujuh. Dia terhenyak
ketika mendengar persyaratan yang paling akhir. Aku tidak

bisa menerimanya. Kalau sampai dia tahu, aku sudah


mencintainya sejak lama, bisa bisa pernikahan kami hanya
seumur jagung. Aku harus mencari akal.

Mia menoleh ke Alan yang sedang berpikir keras.


Bagaimana? Kau setuju atau tidak?
Aku bisa menerima syarat nomor satu sampai enam
tetapi tidak nomor tujuh.
Kenapa?
Karena persyaratan itu terlalu mengada ada. Kita
berdua tidak mungkin saling jatuh cinta. Kau bukan tipeku dan
aku juga bukan tipemu. Jadi kupikir persyaratan itu tidak
terlalu penting.
Jadi
Kau harus mencoret syarat nomor tujuh.
Aku akan mencoretnya tetapi persyaratan itu tetap
berlaku namun secara lisan.
Setuju.
Mereka menandatangani kertas yang berisi berbagai
persyaratan. Ini punyamu, Mia menyodorkan selembar kertas
berisi persyaratan yang sudah mereka tandatangani.
Kau saja yang menyimpannya.

206

Apa kau yakin.


Iya, sahut Alan sekenanya. Sebenarnya dia tidak
peduli, mau diapakan Mia kertas itu. Dia justru senang kalau
kertas itu tidak ada. Sekarang, kita akan memberitahu
orangtua kita masing masing.
Tunggu sebentar, kata Mia.
Apa lagi? Alan keheranan.
Sepertinya aku lupa menaruh syarat lain di surat
perjanjian ini? kata Mia sambil berusaha mengingat ingat
apa yang tertinggal.
Syarat apa?
Itu dia aku tidak tahu. Aku benar benar lupa. Apa
yah?
Ah, sudah lupakanlah. Seingatku persyaratannya sudah
lengkap kok, kata Alan sekenanya.
Mia
melihat
surat
perjanjian
yang
sudah
ditandatanganinya bersama dengan Alan. Tetapi, tetap saja dia
tidak bisa mengingat apa yang tertinggal. Ah, peduli amat.
Mungkin ini hanya perasaanku saja kalau ada yang kelupaan.
Mia tersenyum tipis. Kau benar. Persyaratannya sudah
lengkap. Ayo, kita temui orangtuamu, ajak Mia.
Mia
Ada apa lagi?
Selain untuk menolongku, apakah kau punya alasan
lain bersedia menikah denganku?
Kau tanya kenapa? Huhbukannya kau sendiri yang
memintaku untuk menolongmu? Aku bersedia melakukannya,
kau malah bertanya kenapa.
Mia sempat terdiam sejenak.
Jujur saja, aku
melakukannya bukan hanya untukmu, tetapi juga untukku.
Kenapa bisa begitu? Aku belum bisa menjawabnya. Untuk saat
ini, aku tidak punya jawaban yang tepat. Mungkin suatu hari
nanti, aku baru bisa menjawabnya. Apa kau puas sekarang?
Alan manggut manggut pertanda mengerti. Baiklah.
Aku tidak akan bertanya lagi. Ayo, kita pergi.
Kedua orang itu berjalan beriringan melintasi lorong
sekolah menuju tempat parkir. Keduanya diam membisu.
Namun, hati mereka bergemuruh mengingat peristiwa yang
sedang menunggu mereka.
BAB 11

207

Mia dan Alan diliputi perasaan cemas yang amat sangat.


Bagaimana tidak? Mereka sudah memberitahukan rencana
pernikahan mereka pada orangtua Alan dan reaksi mereka
sangat mengkhawatirkan. Mereka menatap Alan dan Mia
dengan tidak berkedip sedikit pun. Alan sampai berpikir untuk
memanggil dokter. Jangan jangan mereka terkena stroke
bisiknya ke Mia dan untuk celutukannya itu dia mendapat
cubitan di pinggang dari calon istrinya.
Tuan Harsono seperti bisa membaca apa yang ada
dalam pikiran Mia dan Alan. Kami baik baik saja, cetusnya.
Hanya saja, kabar yang kalian bawa ini kelewat mendadak
dan cepat. Rasanya masih segar dalam ingatanku, beberapa
bulan yang lalu, kalian mengaku tidak memiliki perasaan
apapun terhadap satu sama lain.
Kalian tidak sedang berencana menipu kami kan?
tanya Nyonya Harsono dengan nada curiga. Karena yang
Mama tahu, kalian ini sahabat. Jangan jangan, waktu kau
menginap di rumahnya kalian berbuat sesuatu dan kau
menikahinya karena tanggung jawab.
Ya ampun, Ma. Darimana Mama mendapat pikiran
seperti itu? Aku menikah dengan Mia karena dari sekian
banyak wanita yang kukenal, dialah yang terbaik. Aku merasa
nyaman berada di dekatnya. Dia sangat mengerti diriku, Ma.
Kalau ada gadis yang ingin kuajak untuk menghabiskan sisa
hidupku bersama sama, maka gadis itu adalah Mia, tegas
Alan sungguh sungguh.
Mia melirik Alan heran. Kenapa dia mendadak jadi pintar
bicara? Sementara itu, pasangan suami istri Harsono tertegun
mendengar ucapan Alan barusan. Hati mereka tersentuh akan
keseriusan Alan.
Mungkin Mama dan Papa berpikir ini terlalu cepat. Tapi
cinta bisa datang kapan saja, di mana saja dan dengan siapa
saja. Dan itu sudah terjadi pada kami. Jadi kumohon agar
kalian mau merestui kami, lanjut Alan lagi. Wajahnya terlihat
sangat serius dan penuh kesungguhan. Mau tidak mau, kedua
orangtuanya menjadi terpengaruh.
Tuan Harsono menatap Mia yang duduk di samping
Alan. Mia, kami ingin bicara dengan putra kami.Kau boleh

208

pulang sekarang. Om janji akan memberitahukan hasil dari


pembicaraan ini secepatnya.
Walaupun bingung, Mia menuruti permintaan Tuan
Harsono. Dia mengangguk angguk. Baik, Om, dia beranjak
dari kursinya dan meninggalkan Alan bersama dengan
orangtuanya.
Tuan Harsono memandang anak laki lakinya yang
paling muda itu. Dalam hati dia mengakui, Alan sebenarnya
anak yang baik dan pintar. Tetapi kepintarannya itu tertutupi
oleh sifat playboynya dan tingkahnya yang kerap membuat
onar.
Namun, sejak kehadiran Mia, walaupun tidak drastis,
sifat Alan mulai berubah. Dia lebih banyak menghabiskan
waktu bersama dengan Mia.
Mia itu gadis yang baik, cetus Tuan Harsono pelan.
Saat mengetahui kau bersahabat dengannya, terus terang
saja, Papa sangat terkejut. Papa tidak pernah melihat kau
berteman dengan seorang wanita. Semua wanita yang Papa
lihat bersama denganmu adalah kekasihmu.
Alan hanya bisa terdiam mendengar penjelasan
Papanya. Dalam hati dia merasa sangat malu setiap mengingat
kebiasaan buruknya itu.
Papanya melanjutkan, Dari yang Papa lihat, kelihatan
sekali dia sangat memahami perilakumu yang aneh itu.
Sebenarnya kau tidak pantas untuknya mengingat dia terlalu
baik. Tapi mungkin saja dengan menikahinya, sifatmu bisa
berubah.
Papa ini sebenarnya mau menasehatiku atau
mengejekku? Dari tadi terus terusan mengatakan hal jelek
tentangku saja, protes Alan.
Kau ini! Selalu saja memotong pembicaraan orang
tua! sembur Tuan Harsono.
Nyali Alan jadi ciut. Sabar, Lan. Selangkah lagi, kau bisa

mendapatkan wanita yang kau cintai. Jadi jangan membuatnya


marah. Bisa bisa kau batal menikah. Kenapa sih Mama dan

Papa menyukai Mia?


Karena dia tahu bagaimana bersikap baik di depan
orangtua, sementara kau tidak! Dari dulu tahunya membuat
orangtua kesal. Kami jadi cepat tua begini gara gara ulahmu
yang selalu membangkang! mamanya ikut angkat suara.

209

Pembicaraan kita sampai di sini, Tuan Harsono bangkit


dari kursinya.
Alan menatap orangtuanya tidak mengerti. Tapi,
PaKalian belum bicara dengan Mia.
Kami akan bicara dengannya, tapi tidak di sini. Kami
tidak mau kau mendengarkannya.
Kenapa nggak sekarang saja? Mumpung dia ada di
sini.
Kalau Papa bilang besok, ya besok!
Alan tersenyum kecut. Dengan hati gondok setengah
mati, dia menuruti keinginan papanya. Apa boleh buat, untuk

saat ini aku tidak bisa berbuat apa apa. Sebaiknya


pengorbananku ini ada hasilnya, gumam Alan dalam hati.

***
Alan menunggu Mia di depan gerbang sekolah. Dia
menunggu di dalam mobil sambil mendengarkan ipod.
Matanya lirik sana sini mencari sosok Mia di antara orang
orang yang keluar dari sekolah. Begitu jam kantor usai, Alan
langsung memacu mobilnya ke sekolah Mia.
Dia menyalakan mesin mobil setelah melihat sosok Mia.
Sudah lama nunggu yah?
Kau tidak lihat aku mulai brewokan? sahut Alan
seenaknya.
Mia hanya mencibir. Dia masuk ke dalam mobil.
Tumben menjemputku. Ada apa?
Papaku ingin bertemu denganmu.
Kau datang ke sini hanya untuk memberitahu itu.
Kenapa nggak lewat sms aja sih?
Apa aku tidak boleh menemui calon istriku.
Jangan panggil aku seperti itu ah. Kita kan belum
mendapat restu. Lagipula aku risih mendengarnya.
Alan tersenyum geli melihat Mia yang mendadak salah
tingkah.
Kapan papamu ingin bertemu denganku? Mia bicara
tanpa menoleh. Dia sibuk memasang sabuk pengaman.
Besok di kantornya jam tiga sore. Apa kau bisa?
Kurasa aku bisa. Sebelum jam tiga, aku sudah selesai
mengajar.
***

210

Keesokan harinya, sepulang dari sekolah, Mia mampir


ke kantor papanya Alan. Sepanjang perjalanan, Mia tidak henti
hentinya menebak apa kira kira yang akan dikatakan Tuan
Harsono.
Selamat sore, Om, Mia menyapa papanya Alan
dengan ramah.
Tuan Harsono tersenyum cerah. Dia menghampiri calon
menantunya itu. Dia menggenggam tangan Mia. Ah, rupanya
kau sudah datang. Bagaimana kabarmu?
Sangat baik, Mia tersenyum.
Duduklah. Kau mau minum sesuatu? Bagaimana
dengan air jeruk? Alan bilang kau suka sekali dengan minuman
itu, Tuan Harsono duduk di depannya.
Terima kasih. Alan bilang Om ingin bertemu dengan
saya? kata kata itu meluncur deras dari mulut Mia tanpa
bisa ditahan.
Aku ingin membicarakan rencana pernikahan kalian.
Jantung Mia berdetak dengan keras. Dia mulai dihantui
pikiran yang tidak tidak. Jangan - jangan, dia sudah tahu

kesepakatan yang kami buat.

Sudah berapa lama kau mengenal putraku?


Satu tahun lebih. Kenapa Om menanyakan itu? Mia
malah balik bertanya.
Apa menurutmu satu tahun sudah cukup untuk
mengenalnya?
Mia mengangguk. Mungkin Om berpikir itu belum
terlalu lama. Tapi percayalah Om. Kami sudah saling
memahami satu sama lain, tegas Mia. Dia berusaha
menunjukkan kalau dia sudah siap untuk menikah dengan
Alan.
Tuan Harsono manggut manggut pertanda mengerti.
Om paham itu, katanya. Tetapi sebelum Om memberikan
jawaban, Om ingin bercerita sedikit tentang Alan. Tuan
Harsono diam sejenak. Dia menatap langit langit kantornya.
Anak itu dari dulu selalu mengejutkan. Kami sebagai orangtua
mengharapkan agar anak anak kami bekerja di perusahaan
yang sudah dibangun keluargaku sejak dulu. Karena itu aku
meminta anak anakku untuk mengambil jurusan yang
sesuai. Semua menuruti keinginan kami kecuali Alan. Dia
nekad mengambil jurusan arsitektur. Kami sangat marah

211

dibuatnya. Kami meminta dia membatalkan niatnya, tetapi dia


menolak.
Mia mendengarkan ucapan demi ucapan yang keluar
dari mulut Tuan Harsono dengan penuh perhatian.
Kami lalu mengancam tidak akan membiayai kuliahnya.
Tetapi Alan tetap bersikeras. Terpaksa kami menyetop
tunjangan finansial untuknya. Tapi rupanya, Alan tidak
menyerah begitu saja. Alih alih memohon agar kami kembali
membiayai hidupnya, dia malah mencari pekerjaan agar dia
bisa kuliah. Putri kami, Helen diam diam ikut membantu
kuliahnya.
Tapi yang saya lihat, sekarang dia tinggal bersama Om
dan Tante. Dia juga bekerja di kantor ini. Bagaimana
sejarahnya?
Itu karena mamanya. Karena terlalu mengkhawatirkan
keadaan Alan, istriku sakit jantung. Walaupun Alan suka
membangkang, rasa sayangnya terhadap mamanya ternyata
jauh lebih besar. Dia menuruti permintaan mamanya tinggal di
rumah dan bekerja di sini. Pertimbangan lainnya, mungkin dia
tidak mau bersusah payah mencari pekerjaan. Terlebih lagi di
saat saat sulit seperti ini.
Apa yang terjadi setelah dia kembali ke rumah?
Kami jadi sering bertengkar. Kalau sudah begitu, dia
sering meninggalkan rumah. Tapi paling lama, hanya sampai
empat hari. Yang menjadi pertimbangan dia pulang ke rumah
adalah mamanya. Dia khawatir penyakit mamanya kambuh
karena ulahnya.
Mia manggut manggut mendengar penjelasan
panjang lebar dari Tuan Harsono. Selama ini, Alan tidak
pernah menceritakan pengalaman hidupnya yang satu ini. Mia
juga tidak pernah menanyakannya.
Ada kebiasaan Alan yang membuat kami khawatir.
Kegemarannya pada kehidupan malam sangat mencemaskan
kami.
Kehidupan malam?
Apa Alan tidak pernah cerita sebelumnya?
Tidak.
Alan itu gemar sekali ke diskotik. Rata rata teman
wanitanya dia kenal di tempat itu.

212

Saya ingat sekarang. Dia pernah mengajak saya ke


diskotik tapi saya menolaknya. Saya tidak suka tempat seperti
itu. Saya bukannya anti, hanya saja saya tidak tahan dengan
suasana hingar bingar. Tapi saya benar benar tidak tahu
kalau dia sering menghabiskan waktu di diskotik. Saya tidak
tahu apa ini akan membuat hati Om lebih baik, tetapi setiap
pulang kantor, Alan selalu menyempatkan diri mengunjungi
saya.
Benarkah?
Iya. Biasanya kami ngobrol atau pergi jalan jalan.
Wah, tidak kusangka. Dia benar benar berubah sejak
bertemu denganmu. Itu suatu kemajuan, Tuan Harsono
menarik napas lega. Kalau sudah begitu, tidak ada alasan
bagiku untuk tidak menghalangi pernikahan kalian. Kau adalah
calon yang terbaik untuk menjadi istri Alan.
Mia tersipu malu. Ah, Om bisa saja.
Om rasa, Alan sudah menemukan wanita yang tepat
untuk dijadikan pendamping hidupnya. Tuan Harsono
tersenyum arif. Kalian mendapatkan restu kami.
Mia tersenyum cerah. Benarkah? tanyanya dengan
raut wajah tidak percaya.
Tuan Harsono mengangguk tanpa ada keraguan. Tapi
sebelumnya, aku ingin bertanya. Apa Alan sudah tahu
peristiwa yang menimpamu setahun silam?
Mia terhenyak. Jantungnya berdetak dengan sangat
cepat. Astaga, tidak kusangka dia akan menanyakan ini. Aku

benar benar lupa kalau dia tahu masa laluku. Ya Tuhan,


jawaban apa yang harus kuberikan kepadanya? Kebohongan
atau kejujuran.

Aku menunggu jawabanmu Mia, cetus Tuan Harsono.


Saya belum memberitahukannya, jawab Mia jujur.
Dan saya juga tidak berencana untuk memberitahunya, tegas
Mia.
Tuan Harsono keheranan.
Peristiwa itu sudah saya kubur dalam dalam. Saya
tidak mau mengingatnya lagi. Kalau saya melakukan itu, sama
saja saya membuka luka lama, kata Mia lirih.
Tuan Harsono jadi salah tingkah. Dia merasa tidak enak
karena telah membangkitkan kenangan Mia yang menyakitkan.
Maaf, Om tidak bermaksud

213

Tidak apa apa kok Om, potong Mia.


Baiklah. Terserah padamu, apakah akan mengatakan
kepada Alan atau tidak. Tetapi, saran Om, kau dan Alan harus
jujur satu sama lain. Kau mengerti kan?
Mia mengangguk. Baik Om.
Om harap kalian berdua bahagia sampai selamanya.
Terima kasih, Om, ucap Mia tulus.
***
Setelah pamitan dengan calon mertuanya, Mia langsung
bergegas keluar dari ruangan itu. Dia berjalan tergesa gesa
ke arah lift. Wajahnya terlihat tegang. Ketika Mia keluar dari
lift, ternyata Alan sudah menunggu di lobby dengan raut wajah
cemas.
Bagaimana? Papaku bilang apa? dia memberondong
Mia dengan berbagai pertanyaan.
Dia merestui kita, kata Mia singkat.
Cihui, Alan menjerit kesenangan. Tapi tidak demikian
Mia. Ekspresinya justru datar saja. Jauh di dalam lubuk
hatinya ada rasa penyesalan.
Bisa bisanya kau senang setelah apa yang kita
lakukan terhadap orangtuamu. Aku jadi merasa tidak enak.
Papamu percaya kalau kita saling mencintai.
Kita memang saling mencintai tetapi sebagai sahabat,
cetus Alan santai.
Dasar manusia tidak berperasaan! Bisa bisanya kau
bersikap santai. Apa kau sudah lupa kalau kita belum
memberitahu orangtuaku? kata Mia ketus. Dia benar benar
sebal sekali melihat tingkah Alan. Sampai sampai dia ingin
sekali menjewer telinganya.
Lan, Mia memegang tangan pria itu. Kalau
orangtuaku tidak merestui maka tidak akan ada pernikahan.
Kau harus tahu itu.
Tenang saja. Kalau mereka tidak merestui, aku akan
meminta bantuan Mama dan Papa untuk meyakinkan
orangtuamu.
Lan, ini tidak hanya menyangkut orangtuaku tetapi
juga abang abangku!
Terus, memangnya kenapa? Sudahlah, Mia. Kau tidak
perlu khawatir. Aku pasti bisa meyakinkan mereka.
Kau? Mia terperangah.

214

Ya! Kita akan menemui mereka bersama sama. Aku


akan memesan tiket dan kita akan berangkat secepatnya.
***
Begitu Alan mendapatkan tiket ke Medan, Mia segera
meminta cuti dari sekolahnya selama seminggu. Dia dan Alan
akan meminta doa restu dari orangtuanya. Sebelum berangkat,
Mia menelepon orangtuanya dan memberitahukan mengenai
rencana dan maksud kedatangan mereka.
Seperti yang Mia duga, kedua orangtuanya terkejut
mendengar rencananya untuk menikah. Mereka menanyakan
macam macam. Mulai dari siapa pria yang akan menikah
dengannya, pekerjaan, usia, paras dan masih banyak lagi. Mia
sampai
kelelahan karena menjelaskan sedetail mungkin
tentang kehidupan dan kepribadian Alan.
Untuk menenangkan orangtuanya, Mia memberitahukan
perihal kedatangannya dengan Alan. Dan orangtuanya
langsung menyatakan persetujuan. Rupanya penjelasan Mia
saja tidak cukup. Mereka ingin bertemu Alan secara langsung.
Selama dalam penerbangannya, Mia mengira ngira
bagaimana reaksi orangtua dan abang abangnya setelah
bertemu dengan Alan. Apa mereka akan menyukainya atau

justru sebaliknya? Semoga saja si genit ini tidak bertingkah


sebagaimana biasanya. Karena yang kuingat dia kadang tidak
tahu bagaimana harus bersikap di hadapan orangtua.
Begitu menginjakkan kaki di bandara Polonia, Mia
tersenyum bahagia. Akhirnya aku kembali juga ke tanah

kelahiranku. Aku sangat mencintai kota ini.

Kau sudah memberitahu orangtuamu kalau kita mau


datang? celutuk Alan.
Ini kesekian kalinya kau bertanya tentang itu. Aku
sudah memberitahukan mereka, kalau kita akan datang.
Tetapi, aku tidak memberitahu tanggal keberangkatan kita
karena aku ingin memberi kejutan.
Mia memanggil taksi dan menawarnya. Di Medan, taksi
tidak menggunakan argo sebagaimana di Jakarta, calon
penumpang harus menawar terlebih dahulu. Taksi yang Mia
dan Alan tumpangi berhenti tepat di depan rumah. Mia
membuka pintu gerbang dengan pelan. Mia memasuki
halaman rumahnya dengan jantung berdebar debar. Dia

215

tersenyum cerah saat melihat Papa dan mamanya yang


sedang duduk di teras.
Papa! Mama! Mia berteriak sekencang kencangnya.
Alan yang berjalan di sampingnya sampai mendelik kaget.
Orangtuanya menoleh kaget. Namun, tidak berapa
lama wajah mereka dihiasi senyum kebahagiaan melihat
kedatangan putri mereka. Setahun sudah mereka tidak
bertemu.
Miana, kau sudah pulang, Nak? Tuan Hendrawan
bergantian dengan istrinya merangkul putrinya itu.
Mama, Papa aku sangat rindu pada kalian, Mia terisak.
Kami juga Nak.
Dari dalam rumah, Hendra dan Robert tergopoh
gopoh menyambut adik yang sangat mereka sayangi itu.
Mereka bertiga sama sama menjerit kegirangan. Mereka
melepas kangen tidak hanya dengan memeluk Mia, tapi juga
mencubit pipinya sampai merah.
Kami tidak hanya rindu padamu, tetapi juga sama
pipimu, ujar Hendra dengan cueknya.
Mia merajuk manja. Sementara itu, Alan merasa
tersisihkan oleh keluarga yang saling melepas rindu itu.
Selamat sore, saya Alan, calon suami Mia, Alan
berinisiatif memperkenalkan dirinya sendiri.
Astaga. Aku lupa kalau aku datang bersamanya. Maaf,
Lan.
Jadi ini calon suamimu, cetus pasangan Hendrawan
berbarengan. Mereka mengamati Alan dari atas sampai ke
bawah.
Sikap Hendra dan Robert lain lagi. Mereka mengamati
wajah Alan dengan pandangan sedingin es.
Alan jadi merasa risih. Dia seolah olah sedang
ditelanjangi. Tapi dia berusaha bersikap tenang seperti tidak
terjadi apa apa.
Berapa lama pun kalian mengamati Alan, wajahnya
tidak akan berubah. Jadi berhentilah memandanginya, pinta
Mia serius.
Tuan Hendrawan tersenyum ramah. Maaf kami
memandangimu seperti itu. Kami hanya ingin melihat dengan
jelas wajah pria yang ingin menikahi putri kami.
Tidak apa apa kok, Om, sahut Alan sopan.

216

Kau jangan salah sangka. Kami bukannya tidak


menyukaimu. Hanya saja, kami ingin melihat sejelas jelasnya
pria yang sudah menaklukkan hati adik kami ini, tukas
Hendra.
Itu benar. Kami terkejut dengan rencana kalian ini.
Kami tidak menyangka, setelah setahun lebih berada di
Jakarta, adik kami pulang dengan membawa calon suami.
Padahal masih belum terlalu lama sejak kejadian
Bang! teriakan Mia menghentikan celotehan Robert.
Robert seperti tersadar. Dia sempat menoleh heran ke
arah Mia. Yang dilihat hanya menggeleng gelengkan kepala.
Robert bisa menangkap dengan jelas kalau itu adalah isyarat
supaya dia tidak mengatakan apa pun.
Alan termangu heran melihat adegan di depannya.

Kenapa mereka jadi kaku begini? Apakah ada yang mereka


rahasiakan? Apakah rahasia itu menyangkut masa lalu Mia?

Sebaiknya kita masuk saja. Rasanya janggal kalau


mengobrol di luar, Tuan Hendrawan mencoba mencairkan
suasana.
Ehiya. Kita masuk saja, Mia salah tingkah.
Ayo masuk, Nyonya Hendrawan menarik tangan Alan
ke dalam rumah.
Mia menghampiri kedua abangnya. Kenapa sih kalian
memandanginya seperti itu? Apa kalian tahu, kalau tingkah
kalian itu bisa membuatnya takut?
Kami tidak bermaksud menakutinya. Kami hanya ingin
menguji mentalnya, kata Robert.
Terus, apa yang kalian dapatkan dari mengamatinya?
Sepertinya dia tipe pria yang tidak bisa digertak, cetus
Hendra.
Mia, apa kau belum memberitahu dia tentang kejadian
satu setengah tahun yang lalu? tanya Hendra.
Belum. Lagipula aku tidak berniat memberitahunya.
Ini sekedar saran saja. Kami rasa kau harus
memberitahunya, celutuk Robert.
Mia menatap tajam kedua abangnya. Aku bilang, aku
tidak berniat memberitahunya. Itu bukan masalah penting. Itu
bagian dari masa lalu dan aku paling tidak suka membuka
lembaran masa lalu, tegasnya.

217

Terserah kau saja, tukas Hendra. Maksud kami


memberi saran seperti itu, supaya peristiwa itu tidak menjadi
momok buat kalian berdua.
Mia tersenyum tipis. Abang tidak perlu khawatir. Apa
yang kalian takutkan tidak akan pernah terjadi. Alan itu sangat
pengertian. Dia tidak akan peduli dengan masa laluku karena
dia menerimaku apa adanya.
Dari bicaramu, sepertinya dia pria yang lumayan,
tukas Robert dengan disertai anggukan Hendra.
Itu belum seberapa. Abang akan mengetahui lebih
banyak tentang dia selama dia menginap di sini.
***
Acara makan malam berlangsung menyenangkan. Di
luar dugaan Mia, Alan bisa mengambil hati keluarganya
dengan sikapnya. Mia sampai terheran heran melihatnya.
Seusai makan malam, Mia memutuskan untuk langsung
tidur. Dia merasa kelelahan. Alan sempat mengajaknya
ngobrol, tapi Mia sama sekali tidak tertarik. Dia ngeloyor
masuk ke kamarnya.
Di kamar yang lain, pasangan suami istri Hendrawan
sedang mengobrol. Nyonya Hendrawan mengungkapkan isi
hatinya tentang rencana pernikahan Mia dengan Alan.
Bagaimana ini, Pa? Apa kita harus merestuinya? Kita
baru bertemu dengan pria itu hari ini. Kita belum mengenal dia
dengan baik. Lagipula Mia tidak pernah bercerita kalau ia
sudah mempunyai kekasih. Nggak ada angin nggak ada hujan,
tiba tiba saja menelepon memberitahukan kalau ia ingin
menikah. Ini benar benar sulit dipercaya, Nyonya
Hendrawan mengutarakan kekhawatirannya.
Sepertinya dia anak yang baik.
Ya, Mama tahu itu. Tapi, aku merasa ada yang aneh.
Dari pengamatanku, kelakuan mereka tidak mencerminkan
sepasang kekasih. Sikap mereka seperti pria dan wanita yang
sedang bersahabat.
Jadi kau lebih suka melihat mereka mesra mesraan?
Bukan begitu, Pa. Masalahnya.bagaimana cara
mengatakannya yah., Nyonya Hendrawan kebingungan.
Sudahlah, Ma. Biarkan saja begitu. Apa yang terlihat
dari luar itu tidak penting. Yang terutama adalah perasaan.
Kalau mereka saling mencintai itu sudah cukup. Mia sudah

218

memilih Alan sebagai pendampingnya, dan kita sebagai


orangtua harus mendukung
keputusannya selama itu
membuatnya bahagia, ujar Tuan Hendrawan panjang lebar.
Tapi Pa
Ma, bukannya ini yang kau inginkan? Melihat Mia
menikah?
Iya sih. Jadi, bagaimana? Apa Papa merestuinya?
Tuan Hendrawan mengangguk.
Nyonya Hendrawan menggaruk garuk pipinya. Hatinya
diliputi keraguan. Dia menatap suaminya yang bersikap tenang
menanggapi rencana pernikahan anaknya. Yah, apa boleh

buat. Kelihatannya Papa sama sekali tidak keberatan dengan


rencana Mia. Baiklah. Kalau Papa setuju, Mama juga setuju,

kata istrinya dengan suara mantap.


Tidak bisa begitu dong, Ma. Mama harus memutuskan
sendiri. Jangan terpengaruh Papa. Begini saja, Alan dan Mia
masih akan tinggal beberapa hari, kau cobalah untuk
mendekatkan diri dengan Alan. Mungkin dari situ, kau bisa
menilainya keseluruhan.
Benar juga yah, istrinya manggut manggut. Nyonya
Hendrawan mendengarkan nasihat dari suaminya dengan
sungguh sungguh. Aku akan mencoba mengenal Alan lebih

dekat, tekadnya.

Sementara itu, Alan mondar mandir di dalam kamar


tamu yang ditempatinya. Dia tidak bisa tidur. Dia sudah
mencoba berbagai cara mulai dari menghitung domba,
melamun, dan membaca, tapi tetap saja matanya tidak mau
terpejam.
Alan menghempaskan tubuhnya ke atas pembaringan.
Dia memejamkan matanya dan berusaha sekuat tenaga untuk
tidur. Namun, usahanya itu tidak kunjung membawa hasil.
Dalam satu menit, sudah enam kali Alan merubah posisi
tidurnya. Walhasil, sampai jam satu lewat dia tidak kunjung
tidur.
Alan membuka pintu kamarnya. Dia tidak bisa melihat
karena rumah itu dalam keadaan gelap. Semua lampu yang
ada di dalam rumah dipadamkan.
Alan melihat setiap pintu kamar. Ketika dia menemukan
pintu bertuliskan nama Mias Room, dia mengetuknya. Dia
memanggil Mia dengan suara berbisik.

219

Senyenyak apapun Mia tidur, kalau ada orang yang


memanggil namanya, maka dia akan langsung bangun.
Sepertinya ada yang memanggilku. Mia mencoba menajamkan
pendengarannya. Dia mendengar suara ketukan halus.
Dengan enggan dia bangkit dari tempat tidur. Dia
menyeret kakinya dan membuka pintu. Kau rupanya. Ada
apa? Apa kau tidak tahu jam berapa sekarang? Mengganggu
orang saja, Mia menggosok gosok matanya dan sesekali
menguap lebar lebar.
Aku tidak bisa tidur, Alan membela diri.
Kenapa? Setahuku kau itu gampang sekali tidur. Kalau
ada lomba siapa paling cepat tidur, aku yakin kau akan jadi
pemenang pertama. Atau jangan jangankau takut yah?
Jangan sembarangan bicara. Aku ini punya kebiasaan
sulit tidur saat baru pertama kali tidur di rumah orang.
Mia mencibir. Pembohong, umpatnya.
Alan mendorong Mia. Minggir. Aku mau lihat
kamarmu.
Jangan, Lan. Kalau keluargaku tahu, bagaimana. Nanti
mereka mengira kita berbuat yang aneh aneh, kata Mia
dengan nada khawatir.
Kita tidak akan ketahuan kalau kau berhenti mengoceh.
Lagipula, memangnya keluargamu tidak bisa lihat kalau kita
berpakaian lengkap?
Mia pasang tampang cemberut. Dasar keras kepala.

Kalau sampai kita batal menikah gara gara ulahmu, aku tidak
mau tahu. Dengan gaya yang terkesan malas malasan, Mia

membuka pintu kamarnya.


Jadi ini kamar Mia yang terkenal itu? Alan memandang
kesekeliling ruangan yang berukuran tiga kali empat meter itu.
Alan melihat lihat isi kamar Mia. Kamar Mia cukup
besar tapi penuh sesak dengan berbagai furnitur mulai dari
lemari pakaian, lemari buku, meja rias, meja belajar dan
ranjang berukuran kecil. Cukup untuk ditempati satu orang
saja.
Alan mendekati rak buku Mia yang berukuran besar.
Tingginya sampai mencapai langit langit kamar. Rak itu
dipenuhi berbagai macam buku bacaan. Ada novel novel
karangan Sidney Sheldon, Danielle Steel, Mary Higgins Clark

220

dan juga novel kontroversial Da Vinci Code karangan Dan


Brown bahkan komik komik dari negeri Sakura.
Wow, seru Alan takjub. Kau suka sekali membaca
rupanya.
Membaca itu bukan sekedar hobby buatku tetapi suatu
keharusan, sahut Mia bangga.
Apa kau akan membawa buku bukumu ini ke
Jakarta?
Tentu saja tidak. Aku hanya membawa beberapa saja.
Paling cuma karya favoritku saja. Aku akan membiarkan buku
buku ini. Toh aku sudah meminta mama untuk menjaganya.
Pandangan Alan terhenti pada boneka Donald bebek
yang berderet rapi di atas lemari. Kau suka Donald bebek?
tanya Alan heran.
Mia mengangguk.
Apa kau tidak malu, diusia segini masih suka boneka?
Apalagi aku lihat di rak bukumu juga ada komik. Itu kan
bacaan untuk anak kecil.
Kenapa harus malu? Tidak melanggar hukum kan? Aku
menyukai Donald karena dia sangat lucu. Dan aku suka komik
karena sangat menghiburku. Komik bisa membantuku
menghilangkan stres. Lagipula tidak ada larangan tertulis yang
menyatakan orang dewasa tidak boleh baca komik.
Mia melirik Alan yang manggut manggut. Aku baru
tahu kalau komik bisa membantu menghilangkan stres,
cetusnya. Selama ini aku menghilangkan stres dengan pergi
ke diskotik kalau nggak menghadiri pesta yang diadakan
teman semalam suntuk, lanjutnya lagi.
Mia tidak menanggapi. Dia melirik jam berbentuk
Donald yang tergantung di dinding kamarnya. Sudah jam
setengah dua pagi.
Lan, sebaiknya kau kembali ke kamarmu. Aku mau
tidur nih.
Mi, nggak usah tidur deh. Kita ngobrol aja, bujuk Alan.
Masalahnya aku ngantuk berat. Lagipula aku tidak mau
orangtuaku melihat kau ada di sini. Jadi, aku minta kau
kembali ke kamarmu, tegas Mia dengan wajah serius.
Alan menuruti perintah Mia sambil menggerutu. Dia
kembali ke kamarnya dengan tampang sebal. Sebelum ke
kamarnya, dia pergi ke dapur untuk mengambil minuman.

221

Hampir saja dia menjerit ketika Robert tiba tiba sudah berdiri
di depannya. Robert menatapnya dengan pandangan tajam.
Kenapa belum tidur? tanya Robert curiga.
Aku sudah tidur dari tadi. Aku ke dapur karena haus,
dusta Alan.
Robert manggut manggut. Oh, ya sudah. Aku juga
haus.
Kalau begitu, aku kembali ke kamarku dulu, cetus
Alan. Begitu sampai di kamarnya, dia menarik napas lega.

Hampir saja ketahuan.

***
Alan benar benar menikmati kunjungannya di Medan.
Dia mengunjungi Istana Maimun, Kesawan Square dan tempat
tempat wisata lainnya yang ada di kota Medan. Mia dengan
senang hati menjadi pemandu Alan selama berada di Medan.
Alan juga sempat mencicipi kue yang menjadi ciri khas
kota Medan, bika Ambon. Dia mengajukan pertanyaan sama
yang sudah dilontarkan ribuan kali oleh orang yang pernah
mencicipi kue itu.
Kenapa dinamakan bika Ambon? tanya Alan.
Mana aku tahu, sahut Mia mengangkat bahu.
Kau kan orang Medan, masa tidak tahu? Alan
bersikeras.
Aku memang tidak tahu. Nggak pernah keluar di
ujian, kata Mia sekenanya.
Alan menggigit kue itu. Benar benar enak dan
empuk, dia mengacungkan ibu jarinya.
Mia tersenyum geli. Jangan makan banyak banyak.
Lihat badanmu, baru beberapa hari di sini sudah seperti
karung beras, ejek Mia.
Alan mendelik sebal tapi dia tidak membantah.
Beberapa hari ini Alan memang banyak makan. Terlebih lagi
pada saat mengunjungi Kesawan Square. Dia memesan
banyak makanan dan menghabiskannya. Mia sampai geleng
geleng kepala melihatnya. Walhasil, sesampainya di rumah,
Alan mengeluh karena sakit perut.
Aku memang tambah gemuk tetapi aku tetap tampan
kan?
Tampan kepalamu. Gemuk atau kurus tetap sama saja.
Kau tidak ada menarik menariknya sama sekali. Aku heran

222

bisa bisanya banyak wanita kepincut denganmu. Apa mereka


tidak bisa.aduh! Mia meringis kesakitan. Alan baru saja
menjitak kepalanya. Mia hendak membalasnya tapi Alan
keburu lari. Mau tidak mau Mia terpaksa mengejarnya.
Dari dalam rumah, Nyonya Hendrawan mengamati Mia
dan Alan yang sedang kejar - kejaran. Dia tersenyum melihat
tingkah sepasang anak muda itu.
Pa, Nyonya Hendrawan memasuki ruang kerja
suaminya.
Tuan Hendrawan mendongak. Ada apa?
Aku sudah memutuskan. Aku merestui Mia dan Alan.
Aku tidak perlu mendekati dia untuk mengenalnya. Melihat
putriku senang saat bersama dengannya, sudah cukup
buatku, tegas Nyonya Hendrawan sungguh sungguh.
Malam harinya, seusai makan malam, seluruh anggota
keluarga Hendrawan dan Alan berkumpul di ruang keluarga.
Kalian boleh lega sekarang, ujar Tuan Hendrawan.
Mia dan Alan menatap tidak mengerti. Apa maksud
Papa? tanya Mia tidak mengerti.
Kami merestui kalian berdua, sahut papanya lagi.
Apa? seru Hendra dan Robert berbarengan.
Perasaan, kami belum bilang persetujuan deh, bisik Hendra
ketelinga papanya.
Tuan Hendrawan menunjukkan tatapan tajam. Hendra
dan Robert bisa menangkap maksud dari pandangan papanya.
Itu tandanya beliau enggan ucapannya dibantah.
Terserah kalian sajalah, cetus Hendra dan Robert.
Alan tersenyum lebar dan tidak henti hentinya
mengucapkan terima kasih. Sebaliknya dengan Mia. Dia
memang tersenyum, tetapi hati kecilnya seperti berteriak
menuduhnya penipu. Jauh di dalam hatinya, Mia merasa
bersalah karena telah berdusta terhadap orangtuanya. Kini,
keluarganya dan Alan, percaya kalau mereka berdua saling
mencintai.

Maafkan aku Mama, Papa, Bang Robert dan Bang


Hendra. Maafkan aku Om Harsono, Tante, Helen, Andi, Ari dan
juga Hana. Walaupun sikapnya terhadapku sama sekali tidak
ada ramah ramahnya. Semoga Tuhan mengampuniku.
***

223

Keesokan harinya, Mia dan Alan terbang kembali ke


Jakarta. Selama dalam penerbangan, Alan terus tersenyum
puas. Mia sampai sebal melihatnya.
Apa kau tidak merasa bersalah sedikit pun atas apa
yang kita lakukan terhadap keluarga kita masing masing?
Kenapa harus merasa bersalah? Alan bertanya balik
dengan cueknya.
Mia dongkol sekali melihatnya. Ingin rasanya dia
menarik telinga Alan dan menyeretnya sepanjang lorong
pesawat. Kau benar benar tidak punya hati nurani, kata
Mia ketus.
Alan tidak menyahut. Dia tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Tetapi dia sempat mendengar ucapan yang keluar dari
mulut Mia. Terserah kau mau bilang apa Mia, aku tidak akan

ambil pusing. Seandainya saja kau tahu kalau aku benar


benar serius menikahimu karena aku mencintaimu. Alan melirik
Mia yang mulai terlelap. Sebentar lagi kau akan menjadi
milikku. Cepat atau lambat, aku akan membuatmu jatuh cinta
padaku.

***
Mia sedang menyiapkan bahan bahan untuk mengajar
ketika pintu rumahnya diketuk. Mia membuka dan dia merasa
surprise melihat orang yang mengetuk pintunya. Ternyata
Helen!
Helen, kau sudah pulang! Mia menjerit kesenangan.
Helen main lempar saja tas yang dibawanya. Dia dan
Mia meloncat loncat kegirangan seperti anak kecil. Lalu,
mereka pun melepas rindu dengan cara berpelukan erat.
Tugasku sudah selesai di Tokyo. Kebetulan sekali masa
tugasku selesai di saat aku mendengar kabar kalau kau dan
Alan akan menikah, kata Helen. Ia menghempaskan
pantatnya di atas sofa kesayangannya itu. Ah, aku rindu
sekali dengan sofaku ini, celutuknya.
Rupanya kabar cepat sekali menyebar, gumam Mia
manggut manggut. Siapa yang memberitahumu?
Calon mempelai pria sendiri.
Dasar si mulut ember, kata Mia sewot. Jangan
jangan, dia sudah berkoar ke mana mana!
Helen hanya tersenyum tipis melihat kekesalan yang
tampak di wajah Mia.

224

Aku sudah menduga hal ini akan terjadi cepat atau


lambat, ujarnya.
Apa?
Aku sudah menduga kalau kalian bakalan saling jatuh
cinta, cetusnya santai.
Mia terperangah. Wajahnya mendadak muram. Maaf

Helen, kali ini kau salah tentang perasaanku, kata Mia dalam
hati.

Ketika aku melihat kalian bertengkar, aku berpikir pasti


kalian akan saling jatuh cinta. Karena antara benci dan cinta
itu, jaraknya tipis sekali, tandasnya penuh keyakinan.
Dia menggenggam kedua tangan calon adik iparnya itu.
Terlepas dari itu semua, sejujurnya aku sangat senang kalian
menikah. Adikku akan menikah dengan sahabat baikku.
Bukankah itu sangat menyenangkan? cetusnya bangga.
He.eh, sahut Mia salah tingkah. Dia benar benar
tidak tahu harus berkata apa. Helen sempat heran melihat
reaksi sahabatnya itu. Mia yang cepat tanggap atas keheranan
Helen, dengan tenang merubah alur pembicaraan.
Ah, sudahlah. Lupakan sejenak tentang aku dan Alan.
Bagaimana kabarmu? wajah Mia yang tadinya gugup dengan
cepat berubah menjadi ceria.
Aku baik baik saja. Jepang sangat menakjubkan.
Negara yang hebat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
tetapi hal yang paling mengesankan adalah rakyatnya tidak
melupakan kebudayaan dan tradisi. Aku benar benar salut
pada mereka, tutur Helen. Wajahnya dipenuhi rasa
kekaguman saat menceritakan pengalamannya selama berada
di negeri Sakura itu.
Aku sebenarnya tinggal di Tokyo. Tetapi, aku sering
juga ke kota kota lain, seperti Sapporo, Osaka, Kobe dan
Yokohama. Biasalah, tugas kantor. Pokoknya aku sangat
menikmati, saat tinggal di Jepang, tandas Helen.
Apa kau bawa oleh oleh untukku? tanya Mia.
Maksud Mia sebenar nya hanya bercanda, namun ternyata
Helen benar benar membawakan ia buah tangan dari
Jepang.
Helen memberikannya kotak kecil yang sangat indah.
Mia sampai terkagum kagum melihatnya.

225

Kau tidak perlu heran melihatnya. Orang Jepang


memang senang melihat keindahan. Sampai sampai kotak
untuk membungkus oleh oleh pun dibuat sangat bagus. Kita
yang membelinya jadi tidak tega membuangnya.
Apa isinya?
Kau buka saja dulu, cetus Helen berahasia.
Wah, cetus Mia penuh kekaguman. Dia mengambil
benda yang berada di dalam kotak itu dan menimangnya. Ini
bagus sekali. Kotak kecil itu berisi patung wanita Jepang
memakai kimono putih dengan corak warna warni, yang
terbuat dari kayu.
Terima kasih banyak, Helen, kata Mia tulus.
Eh, tunggu dulu. Masih ada lagi. Helen menyodorkan
sepasang sumpit berwarna biru tua dan kotak bertutupkan
plastik yang berisi bingkai foto. Dia juga memberi Mia, tiga
buah kaus putih bergambar bunga sakura.
Ini terlalu banyak, Len, cetus Mia tidak enak.
Kau pantas menerimanya, karena kau telah menjaga
rumah ini dengan baik, sahut Helen sambil mengedipkan
mata.
Mia tidak henti hentinya mengucapkan terima kasih
sampai sampai Helen harus menyetopnya.
Ahhh, Helen meregangkan tangan dan kakinya. Aku
lelah sekali. Badanku rasanya lengket. Aku mau mandi dulu.
Tadi sebelum ke sini, aku ke rumah orangtuaku dulu untuk
menyapa mereka dan mengantarkan oleh oleh. Kau tidak
marah kan, aku ke sana dulu?
Kenapa aku harus marah? Mereka kan orangtuamu,
wajar dong kalau kau ketemu dengan mereka dulu. Aku justru
akan sangat marah kalau kau langsung kemari, tegas Mia.
Ngomong ngomong, hampir saja lupa. Apa kau sudah tahu
kalau Alan sedang ke Surabaya?
Aku tahu. Mama yang memberitahuku.
Dia bilang, akan pulang dalam dua hari ini.
Helen hanya manggut manggut. Tapi dalam hati, dia
tidak sabar untuk bertemu dengan adik laki lakinya itu. Alan

berutang
banyak
penjelasan
padaku.
Dia
harus
memberitahuku bagaimana perihal terjadinya pernikahan dia
dengan Mia. Aku tidak mungkin bertanya pada Mia karena aku
mungkin tidak akan mendapatkan jawaban yang kuinginkan.
226

***
Alan sedang mengutak atik laptopnya ketika pintu
kantornya terbuka lebar. Dia hendak mengamuk karena
pintunya dibuka tanpa diketuk lebih dahulu. Tapi dia
mengurungkan niatnya ketika melihat Helen berdiri di sana.
Kakak! serunya. Dia menghambur ke pelukan Kakak
yang disayanginya itu.
Kau benar benar jahat, Lan. Begitu pulang dari
Surabaya, bukannya menemuiku! protes Helen sambil pura
pura memasang tampang sebal.
Maafkan aku, Kak. Aku tidak bisa langsung
menemuimu karena ada banyak sekali pekerjaan yang harus
kuselesaikan. Aku juga belum menemui Mia. Oh ya, aku juga
tidak sempat membeli oleh - oleh. Aku sama sekali tidak
punya waktu.
Kau kan bisa suruh orang untuk membelinya.
Waktu itu, aku sama sekali tidak kepikiran. Ngomong
ngomong tentang oleh oleh, bukannya kau yang seharusnya
membawakan untukku? Mana oleh oleh untukku? tuntut
Alan.
Ini, Helen menyodorkan kotak coklat persegi panjang.
Apa ini?
Itu makanan asli dari Jepang, tukas Helen pendek.
Makanan apa? Alan menggoyang goyang kotak itu.
Dodol rumput laut.
Makanan apaan tuh? tanya Alan heran.
Kau cicipi saja dulu.
Tanpa banyak tanya lagi, Alan membuka kotak itu. Di
dalam kotak itu terdapat enam dodol yang dibungkus rapi
dengan kotak berukuran seperti kartu domino. Kotaknya
bagus, celutuknya.
Kemudian, dia menggigit dodol yang berwarna hijau itu
sedikit demi sedikit. Makanan apa ini? Rasanya aneh,
gumamnya.
Enak begitu kok malah dibilang aneh? kata Helen.
Kau bilang begitu karena kau lumayan lama di Jepang
tetapi aku? Ini pertama kalinya aku makan dodol yang terbuat
dari rumput laut, cetus Alan. Ini, dia menyodorkan makanan
itu ke Helen. Kau berikan saja pada orang lain.
Kau tidak mau lagi?

227

Alan menggeleng. Tapi, terima kasih atas oleh


olehnya. Kuhargai niat baikmu.
Helen mencibir. Ini, dia melemparkan kotak kecil lain.
Alan membukanya. Di dalam kotak itu terdapat satu
lusin saputangan bergambar bunga sakura dalam berbagai
warna.
Terima kasih banyak, kata Alan pendek.
Sama sama. Tapi Lan, kau tahu kan kalau
kedatanganku ke sini bukan hanya untuk mengantarkan oleh
oleh? tanya Helen sembari mencondongkan badannya ke
dekat Alan.
Kakak ingin tahu awal mula aku berencana menikahi
Mia?
Tepat sekali!
Kenapa tidak menanyakannya pada Mia?
Karena aku hanya ingin mendengarnya dari mulutmu,
tegas Helen. Karena aku bisa merasakan ada yang kalian
berdua sembunyikan.
Alan sama sekali tidak bereaksi mendengar ucapan
kakaknya barusan. Sikapnya tetap tenang. Dia melirik jam
tangannya. Sudah jam dua belas siang.
Kita bicarakan sambil makan siang.
***
Alan dan Helen sedang menikmati makan siang di
kantin yang ada di gedung itu. Mereka memilih meja yang
terletak di pojok kantin itu. Mereka hanya memesan dua porsi
nasi goreng seafood dan dua gelas air jeruk.
Langsung saja ke pokok permasalahan. Sampai
sekarang aku tidak bisa lepas dari rasa terkejutku mendengar
kau akan menikah dengan Mia. Aku bahkan tidak menyangka,
kau akan memilih dia sebagai istrimu mengingat dia sama
sekali bukan tipikal cewek idamanmu. Bahkan dia sangat
berbeda dengan gadis gadis yang kau kencani, Helen
memaparkan dengan jelas, sampai Alan tidak berani
memotongnya.
Aku menunggu penjelasanmu, Lan tuntut Helen.
Mia dan aku sepakat menikah untuk membantuku
lepas dari perjodohan dengan Dewi, tandas Alan tanpa basa
basi.

228

Helen nyaris tersedak nasi goreng. Matanya melotot.


Apa katamu barusan? Apa kau sedang bercanda? tanya
Helen dengan mata menyipit.
Tidak, Kak.
Helen terlonjak dari kursinya. Apa kalian sudah gila?
Psssst. Pelankan suara Kakak. Nanti ada yang
mendengar, tegur Alan.
Helen duduk dengan tenang. Dia menarik napas pelan pelan. Kenapa kalian bisa senekat itu? tanyanya dengan
suara datar.
Ceritanya panjang, cetus Alan menerawang.
Alan mulai bercerita apa sebenarnya yang terjadi dan
Helen mendengarkan dengan seksama.
Semua berawal ketika Papa menjodohkanku dengan
Dewi. Aku menolak mentah mentah tapi Papa tidak peduli.
Mia mengutarakan keinginannya untuk selalu membantuku.
Dia juga yang menyarankan agar aku berbaik baik dengan
Papa dengan harapan dia akan merubah keputusannya. Tetapi
cara itu tidak berhasil, keluh Alan.
Lalu? Apa yang terjadi?
Suatu hari, aku diminta Papa untuk mengajak Mia ke
rumah. Ternyata semua anggota keluarga kita sangat
menyukainya, kecuali Hana.
Ah, dia memang tidak menyukai siapapun, celutuk
Helen.
Alan hanya tersenyum tipis mendengar celutukan Helen.
Karena kulihat Papa dan Mama sangat menyukainya, aku
menuntut Mia untuk menepati janjinya menolongku. Aku
menyuruhnya
bicara
dengan
Papa
agar
merubah
keputusannya.
Mata Helen mulai melotot. Perlahan lahan dia mulai
bisa menebak apa selanjutnya yang terjadi. Namun, tidak
sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Alan tidak
memperhatikan reaksi kakaknya itu.
Ternyata usaha Mia bicara dengan Papa, berhasil. Papa
mempertimbangkan rencananya menjodohkanku dengan Dewi.
Dia bilang akan merubah keputusannya, kalau aku bisa
membawa calon istri yang disukai seluruh anggota keluarga ke
rumah.
Dan kau membawa Mia? tanya Helen tajam.

229

Tentu saja tidak. Terlebih dahulu, aku mencoba


mencari cari wanita yang kira - kira cocok untuk kujadikan
istri. Mia bahkan membantuku. Tetapi usaha kami tidak
berhasil, keluh Alan.
Dan akhirnya kau mengarahkan perhatian kepada Mia,
kata Helen.
Alan mengangguk. Ya, Kakak benar. Aku mengarahkan
perhatian ke Mia. Akhirnya aku sadar, sia sia saja aku
mencari kesana kemari padahal di dekatku ada seorang wanita
yang sangat disukai keluargaku. Seorang wanita yang
mengenalku dengan baik. Tetapi masalahnya dia adalah
temanku dan aku tidak tahu bagaimana mengutarakan
keinginanku padanya.
Lalu, apa yang kaulakukan?
Aku kembali menuntut janjinya untuk selalu
membantuku. Aku meminta dia membantuku lepas dari
perjodohan ini dengan cara menikahiku.
Helen terbelalak. Dia geleng geleng kepala. Kau
memintanya mengorbankan statusnya demi kebebasan dirimu,
Lan. Kau benar benar tega.
Tetapi aku tidak memaksanya. Dia sendiri yang
mengiyakan, Alan berusaha membela diri.
Helen tidak menanggapi pembelaan Alan. Ada banyak
wanita, Lan. Kenapa harus Mia?
Karena hanya dia satu satunya wanita yang bisa
memahamiku.
Apa kalian sadar resiko yang akan kalian tanggung
dikemudian hari? Aku benar benar tidak habis pikir.
Bagaimana kalau keluarga kita dan keluarga Mia tahu? Apa kau
pernah memikirkannya? tanya Helen.
Alan tidak menjawab. Dia malah asyik memperhatikan
bawahan bawahannya yang juga sedang makan siang. Dia
melirik Helen. Terus, apa yang akan kaulakukan, Kak? Apa
kau akan mencegah pernikahan kami?
Tentu saja. Apa kau pikir aku akan membiarkan kalian
menipu seluruh anggota keluarga? sahut Helen dengan wajah
gusar. Dia meraih gelas berisi jus jeruk dan meneguknya
sampai habis kemudian menaruhnya di atas meja dengan
kasar.

230

Kalau aku bilang, aku jatuh cinta pada Mia, apa kau
akan mengurungkan niatmu mencegah pernikahan kami?
Tenggorokan Helen yang baru disiram air jeruk
mendadak terasa kering. Matanya tidak berkedip. Buru buru
dia melambaikan tangan pada pelayan yang lewat dan segera
meminta agar dibawakan dua gelas air jeruk lagi. Tenangkan

dirimu, Len. Pasti ini salah satu taktik Alan agar aku tidak
mencegah pernikahannya. Helen menarik napas dalam

dalam agar dirinya lebih tenang dalam menghadapi sikap Alan.


Dia lama menatap Alan. Yang ditatap jadi merasa risih.
Kau belum menjawab pertanyaanku, Kak? suara Alan
memecahkan kebisuan yang sempat tercipta di antara mereka.
Kau jatuh cinta padanya?
Iya. Dan aku sama sekali tidak bohong.
Jantung Helen hampir copot mendengarnya. Setahun

lebih aku tidak bertemu dengannya, dia sudah sanggup


membuatku hampir pingsan karena kejutan yang dia berikan.
Benar benar deh. Sejak kapan kau jatuh cinta padanya?

tanya Helen dengan suara setenang mungkin.


Alan mengangkat bahunya. Aku tidak tahu kapan
persisnya jatuh cinta terhadap Mia. Yang kutahu adalah aku
selalu merindukannya. Aku selalu ingin bertemu dengannya.
Ketika dia senang, aku turut senang. Ketika dia sedih, hatiku
terasa sakit sekali. Aku juga selalu terbayang bayang akan
wajahnya. Selain itu, aku selalu merasa nyaman dan bahagia
bila berada di dekatnya.
Alan menatap Helen dengan pandangan sendu.
Katakan padaku, Kak. Bukankah ini yang dinamakan jatuh
cinta?
Helen tidak tahu harus menjawab apa. Dia menatap
mata Alan untuk melihat apakah dia sedang berbohong atau
tidak. Orang bilang mata adalah jendela hati. Karena itu mata
tidak akan berdusta. Helen mendesah pelan. Dia tidak perlu
membutuhkan waktu lama untuk mengamati mata Alan. Sudah
jelas terlihat kalau itu adalah mata orang yang sedang jatuh
cinta.
Lalu Mia sendiri bagaimana, apa dia juga
mencintaimu?
Aku tidak tahu pasti tentang perasaannya padaku.
Tetapi aku pernah mengungkapkan perasaanku.

231

Oh ya? Seperti apa reaksinya? tanya Helen penasaran.


Reaksinya sangat mengerikan.
Kau bilang reaksinya mengerikan. Memangnya apa
yang dia lakukan? Apa dia berteriak histeris?
Pertama dia mengira aku bercanda. Ketika dia tahu aku
serius, dia menolak cintaku dan meninggalkanku sendirian,
kata Alan dengan raut wajah penuh kekecewaan.
Kau ini. Itu saja kok dibilang mengerikan.
Buatku itu menakutkan, Kak. Lebih baik aku melihatnya
histeris dan daripada melihat sikap dinginnya itu. Karena aku
tidak mau kehilangan dia, keesokan harinya aku meralat
ucapanku. Aku bilang, aku hanya mengujinya apakah dia benar
benar serius berteman denganku atau tidak. Mulanya dia
ragu tetapi akhirnya dia percaya saja dengan ucapanku, tutur
Alan.
Malang sekali nasibku. Pertama kali jatuh cinta langsung
ditolak mentah mentah, keluhnya lagi.
Helen menunjukkan keprihatinannya dengan menepuk
nepuk pundak Alan.
Karena itu Kak, aku menikahinya tidak hanya untuk
membantuku lepas dari perjodohan dengan Dewi. Asal Kakak
tahu, aku tidak akan membiarkan pernikahan ini berakhir
dengan perceraian. Aku akan mempertahankannya dengan
semampuku, tekad Alan.
Bagaimana caranya? tanya Helen dengan gaya
terkesan tidak peduli. Dia bersikap begitu karena sudah tidak
tahu lagi harus bagaimana menghadapi tindak tanduk adik
lelakinya itu.
Dengan cara membuat dia jatuh cinta padaku, tegas
Alan berapi api. Kak, dia menggenggam tangan Helen
dengan tatapan memelas. Kau akan membantuku kan?
Helen menarik napas dan tidak mengatakan apa apa.
Tetapi dalam hatinya terjadi badai. Dia mengalami dilema. Dia
senang Alan akhirnya berniat serius pada satu wanita. Apalagi
wanita itu adalah Mia, sahabat baiknya. Tetapi dilain pihak
kebohongan yang dilakukan Alan dan Mia pada keluarga
keduanya sangat menyiksa hatinya. Apa yang terjadi kalau ini

sampai terungkap? Bagaimana reaksi mama, papa, Andi, Ari,


keluarga Mia dan Hana? Kalau Hana sih, aku yakin, dia akan
bersukacita di atas penderitaan Alan. Mereka memang tidak
232

pernah akur. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus
mendukung mereka? Atau? Helen menatap Alan dengan
pandangan cemas. Kalau aku menyetujui rencana Alan, aku
tidak hanya membohongi seluruh anggota keluargaku tetapi
juga Mia. Aku akan merasa sangat berdosa karena
merahasiakan rencana Alan darinya. Kalau sampai dia tahu,
persahabatan kami akan putus. Hati Helen dicekam rasa takut

ketika membayangkan persahabatannya dengan Mia putus


karena kebohongan yang membelit mereka.
Kak, kau akan menolongku kan untuk mendapatkan
Mia? ucapan Alan menyadarkan Helen dari lamunannya.
Helen menarik napas dalam dalam. Dia menatap Alan
dengan lembut. Apapun yang dilakukan Alan selama ini, tetap
saja rasa sayang Helen padanya tidak pernah berkurang sedikit
pun. Apa kau yakin bisa membuatnya jatuh cinta padamu,
Lan?
Aku tidak tahu. Tetapi satu hal yang kupastikan
padamu, aku akan berusaha membuatnya jatuh cinta padaku!
Dan aku tidak akan pernah menyerah! tegas Alan dengan
penuh percaya diri.
Helen tersenyum lalu
menggenggam erat tangan
adiknya yang tampan itu. Sebenarnya aku tidak suka dengan
tindakan kalian ini tetapi sebagai Kakak yang baik aku akan
mendukung niatmu. Aku akan membantumu. Aku ingin pada
saat orang lain tahu yang sebenarnya saat itu kalian benar
benar sedang jatuh cinta.
Terima kasih, Kak. Kau benar benar Kakak yang
terbaik, puji Alan tulus.
Ngomong ngomong, Lanbagaimana jika Mia
mengetahui perasaanmu padanya di saat kalian masih
menjalani bahtera rumah tangga.
Terus terang saja, aku tidak tahu karena itu aku tidak
bisa menjawab pertanyaan Kakak barusan. Kalau bisa sih, Mia
jangan sampai tahu. Kalau itu sampai terjadi, bisa berabe. Dia
itu kalau marah sangat mengerikan. Jadi, selama aku mampu,
aku akan menyimpan rahasia itu serapat mungkin. Aku baru
membukanya kalau dia sudah jatuh cinta padaku.
Apa kau bisa?
Tentu saja. Kakak jangan meragukan aku sedikit pun.

233

Misalnyakalau rahasiamu terbongkar. Apa kau siap


dengan risiko yang kau terima?
Alan sempat tertegun. Kalau itu terjadi, aku akan
mengerahkan
segenap
kekuatanku
untuk
tidak
membiarkannya pergi. Memang sih, kedengarannya klise,
tetapi untuk saat ini, yang kutahu, hanya itu cara yang
terbaik, tandas Alan.
Helen tersenyum tipis. Semoga saja kau bisa
melakukannya.

BAB 12

234

Segala persiapan untuk menyambut pernikahan Mia dan


Alan mulai dipersiapkan. Berdasarkan pertemuan antar kedua
keluarga, diputuskan resepsi pernikahan diadakan di Jakarta.
Sebenarnya calon mertua dan orangtuanya menawarkan pada
Mia agar diadakan resepsi di Medan. Namun, dengan halus Mia
menolaknya dengan alasan tidak praktis dan terlalu boros.
Tentu saja dia tidak menyatakan alasan yang
sebenarnya. Peristiwa yang menimpanya setahun yang lalu,
menjadi pertimbangan Mia menolak tawaran mengadakan
resepsi di Medan. Seluruh temannya mengetahui apa yang
terjadi padanya. Dia tidak mau menikahi sambil mendengarkan
ucapan: akhirnya dia menikah juga, padahal dulu dia sempat
tidak jadi menikah karena pengantin prianya tidak datang. Mia
tidak mau orang memandanginya dengan perasaan iba.
Namun, di atas semua itu, Mia tidak mau Alan mengetahui
kejadian yang pernah menimpanya. Mia memutuskan untuk
merahasiakan kejadian itu semampunya. Dia juga meminta
orangtua, abang dan seluruh kerabatnya untuk merahasiakan
kejadian itu.
Mertua dan orangtuanya saling membagi tugas untuk
menyiapkan segala sesuatu yang menyangkut upacara dan
resepsi pernikahan.
Mia sendiri tidak kebagian pekerjaan berat. Dia hanya
diminta untuk memilih baju pengantinnya. Berhubung Mia
menyukai hal hal yang sederhana, maka untuk urusan baju
pengantin pun dia memilih yang simpel. Atas persetujuan
Alan, dia memilih baju pengantin berwarna putih dengan
model yang konservatif dan serba tertutup.
Alan sempat protes. Dia sempat menanyakan kenapa
Mia tidak memilih gaun yang terbuka di bagian bahu. Namun,
Mia memberikan alasan yang tidak bisa dibantah Alan. Dia
mengatakan kepada Alan, kalau dia tidak menyukai gaun yang
serba terbuka.
Setelah gaun pengantinnya selesai, walhasil Mia tidak
memiliki kegiatan yang menyita waktu. Supaya tidak bosan,
dia
mengisi
waktu
luangnya
dengan
menambah
pengetahuannya dengan memasak. Alan sering dijadikan
kelinci percobaan untuk mencicipi masakan yang dibuatnya.

235

Tidak seperti calon pengantin umumnya, yang selalu


tegang menanti hari pernikahannya, Mia justru sebaliknya. Dia
tenang tenang saja menunggu hari jadinya. Tidak ada
sedikitpun ketegangan tercermin di wajahnya. Dia terus
melaksanakan pekerjaannya sebagai pengajar seperti
biasanya.
Selesai mengajar, Mia langsung pulang ke rumah. Dia
tidak menemukan Helen, karena temannya itu sudah mulai
bekerja secara rutin setelah sempat istirahat selama sebulan
pasca kepulangannya dari Jepang.
Setelah mengganti baju, Mia termenung di atas tempat
tidurnya. Hatinya mendadak diliputi perasaan menyesal. Apa

yang kulakukan? Aku akan menikah dengan temanku sendiri.


Parahnya lagi, kami menikah tanpa cinta. Tetapi seluruh
anggota keluarga percaya kalau kami saling mencintai.
Tiba tiba Mia teringat pada Helen. Aku juga sudah
membohonginya. Sahabat macam apa aku ini? Dulu aku
memutuskan persahabatanku dengan Eva karena dia
membohongiku. Sekarang aku justru bersikap sama
sepertinya. Lamunan Mia terhenti ketika terdengar ketukan di
pintu. Dengan gaya malas malasan, dia berjalan menuju
pintu dan membukanya.
Oh, kau, ujarnya lesu pada Alan yang tersenyum
ceria. Dia melirik jam tangannya. Baru jam lima sore. Biasanya
jam segitu, Alan baru keluar kantor. Dasar tukang bolos.

Mentang mentang anak bos bisa datang dan pulang


seenaknya, gerutu Mia dalam hati.
Hei! Begini caramu menyambut calon suami? Apa kau
tidak bisa bermanis manis sedikit saja padaku? tegur Alan.

Manis manis? Memangnya dia pikir aku gula? Mia


ngedumel dalam hati. Dia memberi Alan senyuman yang

terkesan dipaksakan. Alan hanya menggaruk garuk kepala


melihatnya.
Ada apa ke sini?
Memangnya tidak boleh calon suami mengunjungi
calon istrinya? goda Alan dengan senyuman nakal yang
menjadi ciri khasnya.
Mia sempat tertegun melihat senyuman itu. Senyuman
nakal Alan memang selalu membuatnya terpukau walaupun
tidak sampai membuatnya jatuh cinta. Aku serius, Lan.

236

Kenapa kau ke sini? tanya Mia sambil menggaruk garuk


tangannya yang gatal.
Kau mau bulan madu ke mana?
Mia terperangah. Dengan cueknya dia menjawab,
Tidak perlu bulan madu segala. Memangnya kita mau
ngapain?
Mia, di mana mana, pasangan pengantin baru harus
berbulan madu. Apa kata orang orang kalau kita tidak bulan
madu? Memang kita tidak akan melakukan apa apa tapi kan
lumayan liburan sebentar.
Baik kita bulan madu, tetapi kita ke puncak.
Puncak?
Iya. Lebih dekat dan murah. Ngapain pergi jauh
jauh? Buang buang uang saja.
Alan cemberut mendengar jawaban Mia. Dasar cewek

keras kepala. Aku harus sabar menghadapinya, tekad Alan.

Kalau soal biaya, kau tidak perlu khawatir. Papa yang


akan membiayainya. Hitung hitung sebagai hadiah
pernikahan. Kita bebas menentukan ke mana pun kita pergi.
Bagaimana kalau kita bulan madu keliling Eropa saja? tanya
Alan dengan mata berbinar.
Mia menampakkan wajah tidak berminat. Ke puncak
atau tidak ada bulan madu? Mia mengultimatum Alan.
Alan tidak berkutik dibuat ultimatum Mia. Baiklah kau
menang, Alan mengangkat kedua tangannya pertanda
menyerah. Alan mengiyakan dengan wajah dongkol. Dia benar
benar sebal setengah mati melihat tingkah Mia. Tapi dari
puncak, kita langsung ke Jogjakarta.
Ngapain ke Jogja? tanya Mia heran.
Udah deh, jangan banyak nanya! Memangnya
keinginanmu saja yang harus dituruti. Aku juga punya
keinginan. Aku mau ke Jogja! tegas Alan.
Ya sudah, kata Mia cuek. Dari puncak kita ke Jogja.
Aku nggak keberatan, cetusnya santai. Oh ya, Mia menepuk
pundak Alan. Setelah menikah, kita akan tinggal di mana?
Tidak mungkin kan kita tinggal di rumah orang tuamu atau
Helen?
Kau tidak perlu khawatir. Masalah itu serahkan saja
padaku.

237

Mia mendengus. Ya sudah. Terserah kau saja.


Pokoknya sepulang dari bulan madu, aku tidak mau kau buat
kelimpungan karena kita belum mempunyai tempat tinggal.
Dasar cewek matre, gumam Alan pelan.
Apa kau bilang? bentak Mia.
Alan memasang tampang polos. Aku tidak bilang apa
apa.
***
Keluarga Harsono sedang menikmati makan malam.
Seluruh anggota keluarga di situ. Demikian juga Hana dan
suaminya. Sebenarnya dia kecewa berat karena Alan bisa lolos
dari rencana perjodohan yang diatur orangtuanya. Namun, dia
tidak bisa berbuat apa apa karena tidak ada satupun yang
bisa menentang keputusan orangtuanya.
Mia tidak ikut makan malam bersama keluarga Harsono.
Dia memilih untuk menghabiskan waktu bersama dengan
keluarganya yang baru datang dari Medan.
Apa kalian sudah menentukan tempat untuk bulan
madu? tanya tuan Harsono.
Sudah. Kami putuskan untuk berbulan madu di
puncak, jawab Alan dengan suara mantap.
Ke puncak? Andi dan Ari bertanya serempak.
Bulan madu apa yang ke puncak? tanya nyonya
Harsono heran.
Kami senang dengan udaranya yang dingin. Kalian
tahu kan dampak udara dingin bagi orang yang sedang
dimabuk cinta, canda Alan. Lagipula biayanya murah
meriah.
Seluruh keluarganya terbengong bengong. Kau dan
calon istrimu sama payahnya. Bulan madu ke puncak? Yang
benar saja, Hana mendengus dingin.
Alan tidak menggubris cibiran Hana. Dari puncak, kami
akan berangkat ke Yogyakarta, Alan menambahkan.
Untuk apa kalian pergi ke sana? tanya tuan Harsono
ingin tahu.
Tentu saja untuk melanjutkan bulan madu kami, Alan
tersenyum lebar.
Pasangan Harsono hanya manggut manggut.
Baguslah kalau begitu, cetus keduanya nyaris serempak.

238

Papa tetap akan membiayai bulan madu kami kan?


Alan mengingatkan papanya akan janjinya.
Tentu saja. Kau jangan khawatir, angguk tuan
Harsono.
Helen tidak berkomentar apa apa mengenai rencana
bulan madu Alan dan Mia. Tetapi dari apa yang tersirat di
wajah Alan, Helen bisa menebak kalau Alan merencanakan
sesuatu untuk mengerjai Mia.
Ketika hanya mereka berdua di ruang makan, Helen
mendekati Alan untuk meminta penjelasan.
Aku penasaran dengan rencana kepergianmu dan Mia
ke Yogyakarta. Aku curiga kau merencanakan sesuatu, tebak
Helen.
Aku
memang
merencanakan
sesuatu.
Tetapi
percayalah, Kak. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang
buruk pada Mia.
Helen menatap Alan dengan mata menyipit. Apa aku
bisa mempercayaimu?
Aku mencintainya, Kak. Dan aku tidak akan pernah
menyakiti wanita yang kucintai. Apa itu sudah cukup jelas?
Helen tersenyum tipis. Dia menepuk pundak Alan
dengan lembut. Aku percaya padamu.
***
Akhirnya tiba hari yang sangat dinantikan Mia dan Alan.
Keduanya melangsungkan upacara pernikahan disalah satu
gereja di Jakarta. Setelah itu bersama dengan tamu yang lain,
mereka menuju ke hotel berbintang lima, tempat
dilangsungkannya resepsi pernikahan.
Resepsi pernikahan Mia dan Alan berlangsung meriah.
Tamu tamu yang datang sangat banyak. Rekan rekan
seprofesi Mia dan murid - muridnya turut menghadiri acara itu.
Teman teman Alan juga banyak yang berdatangan.
Demikian pula sanak saudara, kerabat dan rekan bisnis
keluarga Harsono. Namun, tidak ada seorangpun teman Mia
yang datang dari Medan. Mia tidak mau ambil pusing dengan
hal itu. Dia memilih untuk memusatkan perhatian untuk
melayani tamu tamu yang datang.
Nyonya Harsono sudah memperkirakan kalau tamu yang
datang akan sangat banyak. Karena itu menyiapkan makanan
dalam jumlah yang sangat banyak. Nyonya Harsono meminta

239

katering untuk menyiapkan menu makanan barat dan timur


mengingat selera tamu yang beragam.
Banyak sekali yang datang. Tangan dan kakiku sudah
pegal banget nih, keluh Mia. Keringatnya bercucuran karena
udara yang panas dan gaun yang dipakainya. Namun, karena
penata rias selalu siap sedia, Mia tidak perlu khawatir
keringatnya itu akan merusak riasannya. Penata rias itu setiap
saat selalu memperbaikinya.
Sabar. Sebentar lagi juga selesai, kata Alan
menenangkan.
Resepsi itu selesai jam delapan malam. Setelah pamit
pada orang orang yang masih ada di ruangan itu, Mia dan
Alan langsung naik ke kamar yang sudah dipesan untuk
mereka. Mia dan Alan melalui malam pertama mereka dengan
mengobrol di teras kamarnya sambil menikmati sampanye
yang disiapkan khusus untuk mereka berdua.
Aku lelah sekali, keluh Alan.
Memangnya kau saja. Aku juga sama lelahnya, kata
Mia dengan wajah terkantuk kantuk.
Tiba tiba Alan tertawa kecil.
Mia menoleh heran. Kenapa kau tertawa?
Pasti keluarga kita mengira kita sedang melalui malam
pertama.
Iya..ya, kata Mia sambil manggut manggut.
Keduanya saling berpandangan. Tiba tiba tawa
mereka berdua meledak. Malam itu mereka lewati dengan
bercanda sampai kelelahan. Alan tertidur di sofa, sementara
Mia di atas tempat tidur. Keduanya terlelap dengan masih
mengenakan pakaian lengkap.
***
Alan dan Mia duduk di teras villa, sembari minum
minuman kesukaan masing - masing. Alan minum green sands
sementara Mia tetap setia dengan jus jeruknya. Keduanya
membungkus tubuh mereka dengan jaket tebal.
Udaranya dingin sekali, cetus Mia. Dia menggosok
gosok tangannya supaya tetap hangat.
Sini kupeluk, kata Alan, membuat mata Mia melotot.
Pelukan itu manjur untuk menghalau rasa dingin, kilahnya
santai.

240

Manjur kepalamu. Bilang saja kalau kau mau


mengambil kesempatan dalam kesempitan, sembur Mia.
Alan hanya terkekeh. Dia meneguk green sandsnya.
Kemudian menarik napas. Kalau ada daftar bulan madu paling
buruk, kita pasti berada di peringkat pertama.
Kenapa? tanya Mia heran.
Karena kita tidak melakukan apa apa. Hanya duduk
begini saja sambil ngobrol. Di mana mana, pasangan yang
sedang berbulan madu, pasti bermesraan.
Mia mendengus dingin. Siapa bilang? Lan, bulan madu
itu tidak selalu identik dengan kemesraan. Menurutku,
mengobrol seperti ini sama sekali tidak buruk. Asyik lagi.
Alan hanya ngedumel mendengar jawaban Mia yang
terkesan tidak peduli. Tiba tiba dia menggeser pantatnya dan
duduk rapat dekat Mia. Dia menaruh kepalanya di bahu
istrinya itu. Mia sampai berjengit melihatnya. Dia langsung
bangkit dari kursi itu. Alan sampai terjatuh dibuatnya.
Ngapain sih duduk dekat dekat? Pakai taruh kepala di
pundak segala lagi! bentak Mia.
Alan tidak menggubris bentakan Mia. Dia malah berjalan
ngeloyor masuk ke dalam villa, meninggalkan Mia yang
terbengong bengong. Malang benar nasibku, jatuh cinta

sama wanita
keluhnya.

yang

sama

galaknya

dengan

doberman,

Hei, Lan! Mau ke mana kau? Mia berteriak memanggil


suaminya itu.
Mau tidur! Alan balas berteriak.
Kau tidak mau mengobrol lagi?
Nggak. Aku ngantuk, sahut Alan sebelum menghilang
di dalam villa.
Mia hanya mencibir. Dasar payah, gerutunya.
Keesokan harinya, pasangan pengantin baru itu
mengunjungi kebun binatang Safari. Mia terlihat sangat
menikmati kunjungannya ke Taman Safari. Sementara, sikap
Alan berbanding terbalik dengan istrinya. Wajahnya terlihat
bosan.
Setelah melihat berbagai satwa, mereka berdua
mengunjungi taman hiburan yang ada di kebun binatang itu.
Kali ini Alan sangat antusias. Dia berdiri di depan rumah hantu.

241

Mia memandanginya keheranan. Ngapain berdiri di


sini? Seperti orang kurang kerjaan saja. Lebih baik kita lihat
atraksi monyet saja.
Aku nggak mau. Kita mencoba rumah hantu ini saja,
yuk.
Mia terdiam. Wajahnya diliputi keraguan.
Kenapa? Takut yah? goda Alan.
Digoda seperti itu, emosi Mia terpancing. Ayo! Siapa
takut? katanya.
Saat memasuki rumah hantu itu, jantung Mia berdebar
debar. Suasana di dalam rumah hantu itu sangat gelap. Mia
tidak bisa melihat apa apa. Mia dan Alan duduk di kursi yang
digerakkan secara otomatis. Kursi itu bergerak mengelilingi
rumah hantu itu.
Selama berada di kursi itu, Mia benar benar tidak bisa
melihat apa apa. Dia hanya mendengar berbagai suara yang
menyeramkan. Dia juga bisa merasakan ada benda yang
tergantung di atasnya dan menyentuh wajahnya. Karena
saking kagetnya, Mia menjerit sekencang kencangnya. Pada
saat menjerit dia bisa merasakan, tangan Alan menyentuh
wajahnya. Refleks dia mencubit Alan dengan sekuat tenaga.
Jangan coba coba cari kesempatan! bentaknya.
Sialan! Aku kirain dia gak tahu, gerutu Alan.
Sepulang dari taman Safari, mereka mampir di restoran
Rindu Alam. Mereka memesan berbagai makanan, mulai dari
sate ayam, soto, ikan goreng dan masih banyak lagi. Mereka
makan sepuasnya sampai perut mereka seperti mau meledak.
Dari Rindu Alam, mereka langsung pulang ke rumah.
Malam itu mereka lalu dengan cara yang sama dengan
malam malam sebelumnya, yakni duduk di taman villa sambil
mengobrol dan menikmati minuman favorit mereka.
Kapan kita ke Yogyakarta? Mia melirik suaminya.
Dua hari lagi.
Memangnya kau sudah memesan tiket.
Aku sudah memesannya.
Kalau kita terlambat, bagaimana dong?
Makanya kita berangkat dari puncak pass pagi pagi
buta. Jadi kita bisa sampai di bandara tepat waktu.
Aduh, capek sekali, keluh Mia.

242

Yang nyetir kan aku. Sedangkan kau hanya tinggal


taruh pantat saja. Seharusnya yang capek itu aku, bukan kau,
cetus Alan sebal.
Mia mencibir. Baru digituin sudah marah. Dasar
payah.
Daripada ngomong gak karuan begini, mendingan kau
siapin barang barang yang mau dibawa ke Yogya.
Ah, nanti juga bisa. Ngapain buru buru? sahut Mia
santai.
Bawanya jangan banyak banyak.Kau bawa satu tas
saja.
Satu tas? Kenapa begitu?
Supaya lebih praktis. Aku juga cuma bawa satu ransel
saja.
Tapi Mia terlihat ragu ragu.
Nggak ada tapi tapian. Untuk sekali ini saja, Mia. Kau
bisa tidak mendengarkan permintaanku.
Iya, aku dengar. Aku akan membawa satu tas saja,
Mia mengiyakan dengan tampang cemberut.
Alan tersenyum lebar. Jangan pasang muka cemberut
gitu dong. Bisa bisa mukamu yang sudah tua ini semakin
bertambah tua, Alan menowel pipi Mia yang disambut dengan
teriakan.
Jangan sentuh pipiku!
Alan hanya berlari sambil tergelak.
***
Alan dan Mia berangkat dari villanya menuju bandara
pada saat matahari belum menampakkan wajahnya di arah
timur. Alan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan
sedang karena jalanan masih sangat sepi. Sementara itu, Mia
tertidur di sampingnya. Karena bangun pagi pagi sekali, Mia
jadi mengantuk.
Alan melirik istrinya yang tertidur pulas. Enak betul jadi

penumpang. Kalau ngantuk, tinggal tidur. Tapi supir? Kalau


ngantuk, bukannya istirahat, malah harus menahannya mati
matian. Alan tidak henti hentinya menggerutu.
Akhirnya mereka sampai di bandara. Setelah
memarkirkan mobil di tempat penitipan yang disediakan
pengelola bandara, mereka berdua langsung check in di konter

243

penerbangan Garuda Indonesia. Selama dalam perjalanan


menuju Yogya, pasangan suami istri itu terlelap.
Mereka bangun pada saat roda roda pesawat berdecit
mencium landasan pacu. Keduanya menggosok gosok mata
berbarengan.
Mia menguap lebar. Akhirnya kita sampai juga di
Yogya, celutuknya penuh kelegaan.
Alan tidak bersuara. Dia terlihat masih sangat
mengantuk. Dia mengambil ransel, lalu memanggulnya. Mia
mengekor di belakangnya.
Barang bawaan mereka hanya dua ransel itu saja.
Karena itu, begitu turun dari pesawat, mereka langsung keluar
dari bandara. Alan memandang jalan di depannya sambil
berkacak pinggang.
Mia celingak celinguk di balik punggung Alan. Dia
menepuk pundak suaminya itu. Kita menginap di hotel
mana?
Tidak tahu, kata Alan dengan memasang tampang
polos.
Mata Mia terbelalak. Apa katamu barusan?
Aku belum memesan hotel, jawab Alan dengan gaya
cuek.
Sebuah cubitan mendarat di lengan Alan. Dia meringis
kesakitan sambil mengelus elus lengannya itu. Sakit tahu,
bentaknya galak pada Mia.
Namun istrinya itu menjawab dengan tidak kalah
galaknya. Biarin! Salah sendiri nggak mesan hotel.
Aku belum memesan hotel karena aku lupa, Alan
membela diri.
Jangan jangan, besok kau lupa di mana menaruh
kepalamu, ledek Mia.
Alan mau marah tetapi dia berusaha mengendalikan
diri. Bagaimanapun juga, semua ini adalah bagian dari
rencananya. Dia sengaja tidak memesan hotel karena ingin
memberi pelajaran pada Mia karena telah mengajaknya
berbulan madu di puncak.
Keduanya duduk di kursi yang ada di dekat mereka
tanpa bicara sepatah katapun. Mia melirik suaminya yang
menggaruk garuk kepala. Dia jadi merasa bersalah karena

244

telah bersikap kasar. Tapi dia terlalu gengsi untuk meminta


maaf.
Sekarang kita mau ke mana? tanyanya pelan.
Bagaimana kalau kita berjalan jalan keliling kota
Yogya. Nanti kalau ketemu hotel yang bagus, kita menginap di
sana. Bagaimana? Mau tidak?
Terserah kau saja. Aku sih tinggal ikut. Soalnya ini baru
pertama kali aku menginjakkan kaki di Yogya.
Ayo! Alan menarik tangan Mia.
Kita naik apa?
Jalan kaki, sahut Alan santai.
Mata Mia melotot. Sebelum mengeluarkan protes, Alan
sudah melesat di depannya. Mau tidak mau, Mia mengikutinya
sambil tidak henti hentinya mengomeli Alan.
Mia baru berhenti mengomel setelah Alan mengajaknya
naik becak mengelilingi jalan Malioboro. Mereka menginap di
hotel yang dilihat pada saat naik becak. Alan memesan kamar
dengan dua tempat tidur. Begitu sampai di kamar, keduanya
langsung terlelap tanpa mandi dan ganti baju.
Selama seminggu berada di Yogyakarta, Alan mengajak
Mia mengunjungi Candi Prambanan, Sendang Sono, air terjun
Tawang Mangu, Parang Tritis dan Candi Borobudur.
Bagaimana perasaanmu? Senang tidak? tanya Alan
pada Mia pada saat mereka sedang duduk di tepi kolam
renang.
Lumayanlah. Setidaknya lebih baik daripada di puncak.
Kecuali bagian kau kelupaan memesan hotel. Itu bagian yang
paling tidak mengenakkan.
Alan memutuskan ini saatnya untuk mengakui
perbuatannya. Aku memang sengaja tidak memesan hotel.
Habis gara gara kau lebih memilih puncak jadi tempat bulan
madu, aku jadi kehilangan kesempatan pergi berlibur ke luar
negeri gratis.
Wajah Mia merah padam seperti kepiting rebus. Dia bisa
merasakan darahnya bagaikan naik sampai ke ubun - ubun.
Matanya melotot. Alan Harsono! teriaknya kuat kuat
sehingga mengagetkan orang orang yang berada disekitar
mereka.
Dia hanya menggaruk garuk kepala saat Mia berdiri
sambil berkacak pinggang dan terus menyerocos. Sesekali Alan

245

menatap penuh kekaguman ke arah istrinya itu. Luar biasa.

Kecepatannya berbicara hampir sama dengan kecepatan mobil.

Alan menggeleng geleng.


Mia mendelik sebal melihat reaksi suaminya. Bagaimana
tidak, bukannya merasa bersalah tetapi Alan justru tersenyum
senyum sendiri. Dia mencubit Alan sekuat kuatnya. Alan
sampai menjerit karena kesakitan dan kaget.
Apa kau tidak bisa menghargaiku sedikit saja? Ha?
Kalau orang sedang bicara tolong didengarkan.
Apa? Ha? Kau bilang apa barusan? Alan gelagapan.
Mia menghembuskan napas dalam dalam. Dia
menggigit bibirnya. Dia menatap Alan dengan penuh
kemarahan. Tanpa perlu menunggu lama, serentetan kata
kata yang mengekspresikan kekesalan hati Mia meluncur
keluar. Walhasil, siang itu Alan menghabiskan waktunya di tepi
kolam renang sambil mendengarkan omelan Mia.

246

BAB 13
Alan menghentikan mobil tepat di depan sebuah rumah
yang kecil mungil. Bentuk rumah itu memanjang dan hanya
terdiri dari satu lantai.
Alan menoleh ke arah Mia. Bagaimana menurutmu?
Kau suka tempat tinggal kita yang baru?
Mia memperhatikan bangunan mungil di depannya.
Aku tidak bisa menilainya kalau hanya melihat dari luar. Aku
harus melihat bagian dalamnya.
Alan tersenyum simpul. Dia mematikan mesin mobil dan
segera membuka pintu. Demikian juga perempuan yang baru
dinikahinya itu.
Alan lalu menggandeng tangan Mia memasuki rumah
yang dicat dengan warna putih itu.
Bagaimana? Kau suka tidak?
Mia manggut manggut. Lumayan. Aku suka
desainnya, kata Mia jujur.
Alan tersenyum puas. Dia mendekati telinga Mia. Aku
yang merancangnya, bisik Alan di telinga Mia.
Mata Mia terbelalak. Aku tidak percaya!

247

Aku tidak bohong, Mia sayang. Aku yang


merancangnya. Aku ini kan lulusan arsitektur. Memang kecil
sih, tetapi kita kan tidak membutuhkan rumah yang besar.
Alan mengeluarkan kunci dari dalam kantong bajunya.
Ia membuka pintu dan masuk ke dalam rumah bersama
sama dengan istrinya. Mia memandang ke sekeliling ruangan.
Rumah itu sudah diisi dengan berbagai perabot mulai dari
televisi, kulkas, mesin cuci, alat alat rumah tangga dan
furnitur. Sepertinya Alan sudah mempersiapkan ini dari jauh
jauh hari, pikir Mia.
Alan mengetahui apa yang ada di dalam pikiran Mia
dengan hanya melihat ekspresi wajahnya saja. Aku
mengisinya dengan cara mencicil. Sekarang kau tahu kan kalau
aku tidak seburuk yang kau kira. Begini begini, aku masih
bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk masa depan.
Oh, Mia manggut manggut mendengar ucapan Alan.
Iya, iya, aku percaya, Mia mencibir.
Di mana kamarmu?
Yang di dekat ruang tamu dan pintu masuk itu adalah
kamarku, Alan memberitahu Mia.
Terus kamarku di mana?
Kamarmu letaknya di seberang kamarku. Dekat ruang
menonton dan dapur.
Mia memperhatikan ruangan ruangan yang ada di
rumah itu dengan seksama. Ternyata benar kata Alan. Kamar
mereka saling berseberangan dan dipisahkan oleh ruangan
ruangan yang ada di rumah itu.
Ruang menonton terletak persis di depan kamar Mia.
Sementara, dapur berada di sebelah kanan kamarnya. Dapur,
kamar mandi dan ruang tamu saling berhadapan dengan
gudang kecil dan ruang kerja.
Lumayan, jawab Mia dengan suara pelan.
Dari nada suaramu, kedengarannya kau kurang suka?
Aku suka kok, sahut Mia cepat cepat. Dia tidak mau
Alan mengetahui perasaan tidak nyaman yang menyergapnya
karena ia akan tinggal berdua saja dengannya di rumah itu
untuk waktu yang lama.
Mia menghela napas.
Di rumah ini kami hanya
dipisahkan dapur, kamar mandi, ruang kerja, ruang tamu.

248

Aku merasa tidak nyaman, karena kita hanya akan


tinggal berdua saja di sini, akhirnya ia berkata jujur.
Alan tertawa geli. Kau takut aku berbuat macam
macam kan? Alan menggodanya.
Coba saja kalau berani, tantang Mia.
Ck..ckckAlan menggelengkan kepalanya keheranan.
Baru dibegitukan saja, sudah marah. Kau harus bisa
mengendalikan emosimu itu, Alan menasihati Mia.
Namun, istrinya itu tidak menggubris petuahnya.
Kapan kita akan memindahkan barang barangku ke dalam
rumah ini?
Sebelum kita pergi berbulan madu, aku sudah menitip
pesan pada Helen agar memindahkan barang barangmu ke
sini. Semuanya ditaruh di kamar yang akan kau tempati itu.
Mia membuka pintu kamarnya. Ternyata benar kata
Alan, seluruh barang barangnya sudah ada di situ.
Kalau begitu aku mau langsung membereskan barang
barangku, celutuk Mia.
Silakan nona. Lebih cepat, lebih baik. Supaya rumah ini
jadi lebih cepat rapi.
Mia memonyongkan bibirnya. Tanpa banyak bicara dia
mulai menyusun barang barangnya satu per satu. Setelah itu
dia menyiapkan makan malam.
Itu adalah pertama kalinya dia makan malam bersama
dengan Alan setelah menjadi suami istri. Suasananya jadi
terasa agak kaku karena mereka tidak mengucapkan sepatah
kata pun.
Mia, Alan buka suara.
Hmm. Ada apa?
Karena kita sudah menikah, aku ingin kau
menggunakan nama Harsono di belakang namamu, kata Alan
tanpa basa basi.
Mia sangat terkejut sampai sampai dia hampir
tersedak sayur cap cay buatannya sendiri. Setelah
menghabiskan segelas air, dia cepat cepat menjawab,
Kenapa aku harus menggunakan nama belakangmu? tanya
Mia heran.
Karena kau adalah istriku. Setiap wanita yang sudah
menikah harus mengikuti nama belakang suaminya.

249

Itu tidak termasuk dalam kesepakatan yang kita buat,


ujar Mia.
Aku tahu. Tetapi tidak ada salahnya kan? Ayolah Mia.
Buat suamimu ini bangga, bujuk Alan.
Aku bisa membuatmu bangga tanpa harus
menyandang nama belakangmu.
Ya ampun, Mi. Tinggal pakai nama itu saja di belakang
namamu kok susah betul sih? kata Alan gemas. Perlahan
lahan kesabarannya mulai habis melihat sikap keras kepala
istrinya.
Baik, baik! teriak Mia sewot. Aku menyerah, Mia
mengangkat kedua tangannya. Kau harus bersyukur karena
hari ini aku lagi tidak ingin berdebat ataupun bertengkar. Aku
akan menggunakan nama Harsono. Kau bisa lega sekarang.
Puas?
Bukannya dari tadi bilang setuju. Orang sudah keburu
kesal duluan deh, gumam Alan sebal.
Mia tidak menjawab. Dia hanya merengutkan bibirnya.
***
Mia dan Alan kembali menjalani rutinitasnya sehari
hari. Hari pertama Mia mengajar setelah menikah, dia
mendapat ucapan selamat dari rekan rekan seprofesi dan
murid muridnya. Demikian pula Alan.
Walaupun Mia dan Alan bekerja di tempat yang
terpisah, keduanya menunjukkan reaksi yang sama. Mereka
tersipu sipu malu di hadapan orang orang yang
memberikan ucapan selamat.
Bu Mia, bagaimana malam pertamanya. Asyik tidak?
celutuk salah satu muridnya ketika Mia sedang mengajar.
Semburat merah tampak di pipi Mia. Sebelum sempat
menjawab, pertanyaan lain sudah meluncur dari muridnya
yang lain. Ceritain dong Bu, gimana malam pertamanya,
celutuk muridnya yang lain.
Alih alih mengajar, Mia malah mendapat serbuan
berupa tuntutan untuk menceritakan pengalamannya sebagai
pengantin baru.
Diam, Mia berteriak. Kalian ini! Pertanyaannya selalu
saja tidak jauh jauh dari malam pertama, tegurnya.

250

Seluruh anak anak yang berpakaian putih abu abu


itu hanya menunjukkan senyum nakal. Mia sampai gemas
melihatnya.
Alan juga mengalami hal yang sama dengan Mia di
kantornya. Bahkan, para pegawainya mengadakan syukuran
kecil kecilan untuk merayakan pernikahannya.
Sayang sekali istri bos tidak di sini, celutuk Sarah,
sekretarisnya yang genit.
Kalian harus memakluminya. Dia itu kan juga punya
pekerjaan. Nanti, aku sampaikan salam dari kalian, kata Alan.
Jadi bapak membiarkan istri bapak bekerja? tanya
Ridwan salah satu pegawainya yang paling kritis.
Memangnya kenapa kalau aku membiarkan istriku
bekerja? Daripada dia di rumah terus dan menjadi bosan, kan
lebih baik dia memiliki kesibukan. Lagipula profesi yang
dijalaninya tidak terlalu menyita banyak waktu. Pas aku pulang
kerja, dia sudah ada di rumah, Alan membela istrinya.
Wah, bapak benar benar suami yang baik. Membela
istri sampai sebegitunya, kata Fari, pegawainya yang memiliki
badan tambun.
Seluruh orang yang ada di ruangan itu, tidak terkecuali
Alan tertawa lebar mendengar celutukan Fari.
***
Mia sedang mengoreksi pekerjaan rumah murid
muridnya di ruang kerja. Alan keluar dari kamarnya dan
melihat kesibukan istrinya itu.
Perlu bantuan?
Tidak. Terima kasih. Sebentar lagi juga sudah selesai,
tolak Mia halus.
Alan duduk di depan Mia. Dia menopang dagu dengan
tangan kanannya.
Tadi aku bertemu dengan Pak RT, cetus Alan pelan.
Mia mendongak. Apa yang kalian bicarakan?
Biasalah. Kami membicarakan peraturan peraturan
yang diterapkan di lingkungan ini.
Oh, Mia mengangguk tanpa menoleh. Wajahnya tetap
terpaku di depan pekerjaan rumah murid muridnya.
Dia juga mengajak kita ikut arisan RT, sambung Alan
lagi.

251

Mia mengangkat wajahnya. Kau bilang saja kita tidak


bisa, kata Mia sekenanya.
Tapi aku sudah menyetujuinya.
Kalau begitu, kau saja yang pergi. Kan kau yang
ditanya, bukan aku. Kalau aku yang ditanya, aku akan
menolaknya.
Mia, jangan begitu dong. Kau harus datang. Arisan itu
kan salah satu alat buat kita untuk lebih mengakrabkan diri
dengan tetangga. Dengan arisan, kita bisa memperluas lingkup
pergaulan kita, kata Alan berpromosi.
Paling itu cuma diisi dengan gosip gosip saja.
Kata siapa arisan itu diisi dengan gosip? Ayo dong, Mi.
Ikut ya, rayu Alan.
Tidak mau! Mia bersikeras. Aku paling tidak suka
dengan arisan. Bukannya tidak mau bergaul tetapi karena
tidak ada untungnya. Tiap bulan aku harus menyetor uang,
tetapi aku mendapatkannya hanya sekali. Kan rugi itu
namanya.
Sekali ini saja kok, Mi. Setelah itu kau mau ikut atau
tidak, itu terserah denganmu.
Untuk kesekian kalinya Mia terpaksa menuruti keinginan
Alan. Dia memang paling tidak suka mendengar orang
menghabiskan waktu untuk membujuknya. Baiklah, aku akan
ikut. Memangnya arisannya diadakan di rumah siapa?
Di rumah kita, sahut Alan kalem.
Mia terlonjak dari kursinya. Kau bilang di rumah kita.
Siapa yang mengusulkannya? Kau atau Pak RT?
Dia yang mengusulkan dan aku mengiyakan.
Kau menyetujui usulnya tanpa bertanya padaku
terlebih dahulu? sembur Mia. Ia membanting pulpennya. Ia
benar benar tidak tahu harus berkata apa. Mia bertingkah
seperti orang linglung. Dia menatap suaminya tajam.
Dengarkan aku baik baik. Kita ini suami istri. Sebelum
memutuskan sesuatu, entah apapun itu, kau harus
menanyakannya terlebih dahulu padaku. Apa kau mengerti?
Alan hanya tersenyum tipis. Dia sudah terbiasa
mendengar teriakan penuh amarah dari Mia. Aku mengerti
dengan sangat jelas, ucapnya.
Kembali ke pembicaraan kita sebelumnya, acara
syukuran memasuki rumah baru aku gabungkan dengan

252

arisan. Dengan begitu, kita tidak perlu kerja dua kali. Beres
kan? dia melirik istrinya yang masih melotot. Alan bersikap
seolah olah tidak terjadi apa apa.
Mia jadi merasa lelah sendiri. Percuma saja aku marah
marah nggak karuan. Si genit ini rupanya sudah kebal dengan
teriakanku. Kapan acaranya? tanyanya dengan ketus.
Hari Sabtu depan. jam setengah tujuh malam.
Kita menggunakan jasa katering saja. Lebih mudah dan
cepat.
Oke! Alan mengacungkan ibu jarinya. Mia hanya
tersenyum kecut melihatnya.
***
Acara yang digelar Mia dan Alan di rumah mereka
berlangsung lancar. Hampir seluruh tetangganya berdatangan.
Pada kesempatan yang sama, Mia dan Alan mengutarakan
keinginan mereka untuk tidak mengikuti arisan.
Sia sia saja, Pak RT membujuk mereka membatalkan
niatnya. Keduanya bersikeras mengatakan tidak bisa.
Keduanya sama sama mengutarakan ketidaksukaan terhadap
acara seperti arisan.
Tapi dengan arisan, kalian bisa lebih akrab dengan
tetangga, kata Pak RT. Dia berusaha keras untuk merubah
pendirian pasangan itu.
Kami akan mengakrabkan diri dengan tetangga yang
lain, Pak. Tetapi dengan cara kami sendiri, kata Alan.
Pak RT menarik napas panjang. Dia menyerah. Kalau
kalian bersikeras, aku tidak bisa memaksa. Itu adalah
keputusan kalian dan aku menghargainya, cetusnya.
Terima kasih atas pengertian Bapak, kata Alan dan
Mia berbarengan.
Seusai acara, para tamu yang hadir mulai berpulangan.
Mia dan Alan bahu membahu membereskan rumah mereka
yang berantakan.
Aku tidak suka dengan pasangan Suryadi, kata Mia
sambil mencuci piring.
Kenapa? Memangnya apa yang telah mereka perbuat
makanya kau tidak suka?
Yang istri senang sekali bergosip sedangkan suaminya
genit sekali. Setiap berbicara dia selalu mencari kesempatan
untuk memegang tanganku.

253

Mungkin dia tidak sengaja. Kan ada orang yang


seperti itu tetapi maksudnya supaya kelihatan lebih akrab.
Tetapi aku tidak suka tanganku dipegang pegang.
Kalau bagian lain gimana? Apa kau suka?
Mia melempar Alan dengan kain lap yang tergeletak di
atas meja. Suaminya itu spontan menghindar dan hanya
tersenyum nakal.
Keduanya baru selesai beres beres jam sepuluh
malam. Aku mau ke kamar. Aku mau istirahat. Aku benar
benar capek, gumam Mia.
Kau tidak mau menonton teve bersamaku?
Nggak! Mia langsung ngeloyor ke kamarnya.
Alan
memandangi
punggung
istrinya
sampai
menghilang di balik pintu kamar. Aku sudah tinggal

bersamanya lebih dari dua minggu. Tapi hubungan kami tidak


ubahnya seperti sebelum menikah. Alan menarik napas pelan.
Sikapnya pun terhadapku tidak berubah. Tetap galak
dan seenaknya. Aku juga jadi ikut terbawa. Aku bahkan lupa,
kalau aku memiliki misi dalam pernikahan ini, yakni
membuatnya jatuh cinta padaku.

Ingin rasanya Alan berteriak, tetapi mulutnya bagaikan


terkunci rapat. Kalau sudah begini, apa yang harus aku

lakukan untuk membuatnya jatuh cinta padaku?

***
Aku sudah siap. Ayo kita pergi, kata Mia.
Alan memandang Mia dari atas ke bawah.
Setiap hari kuperhatikan pakaianmu selalu tertutup.
Kalau bukan kemeja dengan celana, pasti kemeja dengan rok.
Atau blazer. Apa kau sadar penampilanmu itu tidak modis?
Alan, aku mau mengajar bukannya mau ikut peragaan
busana. Lagipula apa kata murid muridku kalau aku
berdandan bak seorang model? Bisa bisa mereka pikir aku
bukan guru bahasa Inggris tapi guru sekolah keperibadian.
Apa salahnya kalau guru tampil modis? Siapa tahu ada
majalah atau stasiun teve yang tertarik untuk membuat artikel
tentang guru guru modis? Mungkin saja kau bisa masuk di
dalamnya.
Kau ini mengada ada saja. Modis atau tidak aku tidak
peduli. Yang penting aku tampil rapi.

254

Alan tersenyum simpul. Aku memang suka dirimu yang


seperti itu Mia. Aku tidak peduli kau modis. Kerapianmu dalam
berbusana adalah salah satu daya pikatmu.
Apa maksudmu bicara seperti itu? Tadi kau
mengkritikku kok sekarang malah memuji? Mia menatap Alan
dengan pandangan curiga.
Pandangan orang kan bisa berubah dalam hitungan
menit, sahut Alan cuek. Dia membuka pintu mobil dan
menstarter mesin. Ayo, masuk. Nanti kau terlambat, ajak
Alan.
Mia menuruti ajakan Alan sambil menggerutu.
Ah, lihat wajahmu di cermin. Gara gara marah
melulu, wajahmu jadi kelihatan lebih tua, kata Alan serius.
Mia tahu Alan sedang menggodanya. Dia ingin
meluapkan amarahnya, tetapi sejurus kemudian dia
membatalkannya. Mungkin Alan benar. Aku kelewat pemarah.

Aku harus lebih pandai mengendalikan diri.

Mia tersenyum manis. Ayo berangkat, katanya lembut.


Alan sampai termangu heran melihat perubahan drastis pada
Mia. Tanpa banyak bicara dan dengan ekspresi heran, ia mulai
menjalankan mobil.
***
Helen sedang mengaduk ngaduk es krimnya saat Alan
membuka mulut. Aku sudah menyiapkan rencana untuk
membuat Mia jatuh cinta padaku, kata Alan dengan percaya
diri.
Ia mengangkat wajahnya. Apa itu? tanya Helen
penasaran.
Pertama tama aku akan mulai dari hobbynya. Aku
akan mengikuti semua hobbynya.
Itu rencana yang bagus. Apa kau sudah tahu apa saja
hobbynya?
Mia sangat suka baca novel, komik Jepang dan Walt
Disney, dan mengkoleksi boneka donald bebek. Dia suka
mendengarkan musik apa saja entah rock, pop atau R & B.
Apalagi kalau musik itu dari tahun delapan puluhan.
Wow, setelah kudengar, aku baru sadar ternyata
hobby kalian sangat berbeda. Aku tidak bisa bayangkan kau
akan baca novel, Lan. Setahuku kegemaranmu sejak masih
remaja adalah membaca majalah untuk orang dewasa.

255

Alan nyengir, Ah, Kakak jangan sembarangan bicara.


Aku kan tidak pernah baca majalah seperti itu waktu remaja.
Sambil tersenyum, Alan melepas kacamatanya dan
menaruhnya di atas meja. Helen tertegun saat melihat wajah
adiknya itu. Dengan atau tanpa kacamata, adikku ini memang
terlihat tampan. Helen tersenyum tipis.
Aku ingat betul kau bacanya sembunyi sembunyi.
Alan tersenyum malu sambil menggaruk garuk
kepalanya yang tidak gatal.
Apa lagi rencanamu yang lain untuk menaklukkannya?
Aku belum memikirkannya. Aku berkonsentrasi pada
rencana yang pertama ini dulu.
Kalau begitu, kudoakan semoga kau berhasil, kata
Helen sungguh sungguh.
***
Alan memasuki kamar Mia yang kosong karena ditinggal
penghuninya yang sedang menghadiri suatu acara. Alan
terkagum kagum melihat kamar Mia yang tertata rapi. Dia
berjalan mendekati rak buku milik istrinya. Rak itu penuh
dengan berbagai jenis buku mulai dari novel, komik, biografi
dan buku buku panduan mengajar.
Wah, banyak sekali koleksinya, gumamnya. Alan
mengambil salah satu koleksi novel Mia. Alan mencomot novel
karangan Sidney Sheldon berjudul Master of The Game. Tebal
sekali, pikirnya. Bisa setahun aku selesai bacanya. Alan
membawa buku itu keluar dari kamar.
Dia membaca sambil tiduran di sofa depan televisi.
Halaman pertama, Alan masih tahan. Halaman kedua,dia mulai
merasa bosan. Pada halaman ketiga matanya
mulai
berkunang kunang. Lembar berikutnya dia sudah tidak
sanggup meneruskan. Alan berhenti membaca dan
melemparkan novel itu ke atas meja.

Bisa bisanya Mia tahan membaca buku setebal kamus


bahasa Inggris. Alan mengacak acak rambutnya sendiri. Dia

bangun dari sofa dan berjalan menuju kamarnya.


Dia mengambil majalah Popular edisi terbaru yang
terletak di atas meja belajarnya. Alan menghempaskan
tubuhnya ke atas ranjang dan mulai asyik membaca. Saking
asyiknya, dia tidak mendengar kedatangan Mia.

256

Mia hendak membuka pintu kamarnya ketika matanya


tertumbuk pada salah satu novelnya terletak di atas meja. Dia
meraihnya. Kenapa bisa ada di sini? Setahuku, aku selalu
menyimpannya di rak. Mia melihat kamar Alan. Pintunya
terbuka sedikit dan nyala lampu terlihat dari dalam. Apa

mungkin Alan yang mengambilnya? Tapianak itu kan tidak


suka membaca novel. Lebih baik aku tanya langsung saja
padanya.
Hei, kau yang mengambil novelku dan meletakkannya
di atas meja yah? tanya Mia sambil berkacak pinggang.
Alan terkejut. Tangannya langsung menutupi majalah
yang sedang dibacanya dengan bantal. Untungnya Mia tidak
melihat gerakannya itu. Kau sudah pulang rupanya. Iya, tadi
aku membacanya.
Sejak kapan kau suka baca novel? Setahuku bacaan
favoritmu itukan majalah dewasa?
Rupanya kau belum mengenalku dengan seutuhnya.
Aku ini juga sangat suka baca novel, kilah Alan santai.
Novel apa?
Apa saja. Misalnya novel Robert Luudlum, kata Alan.
Sebenarnya ia asal comot saja. Kebetulan, kemarin malam dia
baru saja membaca majalah film yang membahas tentang
Trilogi The Bourne. Kau tahu kan karangannya. The Bourne
Identity, Bourne Supremacy dan Bourne Ultimatum.
Iya, aku tahu. Tapi kenapa aku tidak pernah melihat
kau membaca novel.
Apa aku harus membaca di depanmu?
Mia mencibir. Lain kali kalau sudah selesai dibaca,
langsung dikembalikan ke tempat semula dong.
Aku belum selesai membacanya. Aku pinjam dulu ya.
Nih, Mia menyodorkan novel yang ada di tangannya.
Jaga baik baik. Jangan sampai rusak.
Iya Bu, kata Alan sambil nyengir. Setelah Mia
menutup pintu kamarnya, Alan menarik napas lega. Untung dia

tidak melihat majalah yang kubaca tadi. Kalau sampai dia


memergokiku, bisa bisa telingaku tuli karena mendengar
omelannya.
Alan melirik novel Sidney Sheldon yang diambilnya dari
kamar Mia. Setelah menimbang nimbang, akhirnya Alan
membulatkan tekad untuk membaca novel itu dengan sungguh

257

sungguh. Tetapi tekadnya itu tidak berlangsung lama. Baru


beberapa halaman, dia sudah jatuh tertidur.
***
Mia sedang membaca novel yang baru dibelinya ketika
dia mendengar suara aneh. Dia berjalan pelan menyusuri
lorong. Ternyata suara itu datang dari kamar Alan. Mia melihat
pintu kamar Alan dalam keadaan terbuka. Dia mengintip dari
balik pintu. Mia melihat Alan sedang olah raga push up.
Alan, kau sedang ngapain?
Alan menoleh lalu berhenti dan melap keringatnya.
Kemudian dia melanjutkan olahraganya dengan mengangkat
barbel kecil yang beratnya masing masing dua kilogram.
Memangnya kau tidak bisa lihat yah?
Ya, ya aku tahu kau sedang olahraga. Tetapi kenapa
malam malam begini. Mendadak Mia terdiam dan
menutup mulut dengan kedua tangannya.
Tidak mungkin! Masak sih? Mia mulai berpikiran tidak
tidak. Dia memandang Alan dengan curiga. Matanya menyipit.
Dengan hati hati ia bertanya, Alan apa kau sedang
Mia tidak melanjutkan karena dia melihat Alan tidak peduli dan
terus saja berolahraga.
Kau ini kenapa sih? Bertanya kok setengah
setengah? Alan termangu heran.
Mia tidak bereaksi. Sebaiknya aku ke kamar. Mia
langsung berjalan tergesa gesa menuju kamarnya.
Alan benar benar kebingungan melihat sikap Mia. Dia
menyusul istrinya. Mia tunggu! Kau ini kenapa? Apa kau
terganggu kalau aku berolahraga malam - malam?
Reaksi Mia sangat mengejutkan. Dia berhenti dan
mempelototi Alan. Alan Harsono! Kau menjijikkan!
Sekarang Alan mengerti maksud Mia. Dia tertawa
terbahak bahak. Wajah Mia merah padam melihat reaksi
Alan. Suaminya itu berusaha mengendalikan tawanya. Dia
menarik napas dalam dalam. Astaga Mia! Kau berpikir aku
sedang bergairah yah? tanya Alan terus terang. Napasnya
masih tersengal sengal.
Alan! Mia merasa jengah dengan pertanyaan Alan.
Aku tidak mau membahasnya. Aku mengantuk.

258

Mia, katakan saja apa yang ada di kepalamu saat ini.


Walaupun kita menikah bukan karena cinta, kan tidak ada
salahnya bersikap jujur satu sama lain?
Baiklah kalau kau ingin tahu. Alan, kegiatanmu malam
ini sangat menggangguku. Kau tahu kan apa yang kumaksud?
Karena setahuku pria menggunakan olah raga untuk menekan
keinginan biologisnya. Kau mengerti sekarang? tanya Mia
takut takut.
Tawa Alan kembali meledak. Alan tertawa keras. Ia
memukul mukul tembok. Aku tahu itu Mia. Tetapi tidak
semua pria berolah raga untuk menekan.., apa yang kau
bilang barusan? Aku berolah raga karena aku sedang ingin.
Asal kau tahu saja. Ini adalah salah satu kebiasaan lamaku,
kata Alan sambil tergelak.
Alan tersenyum geli melihat raut wajah Mia yang tersipu
malu. Kau tenang saja. Tidak akan terjadi apa apa. Aku kan
sudah pernah bilang. Aku memang playboy dan genit. Tetapi
aku tahu bagaimana cara mengendalikan diri.
Mia tersenyum malu. Maaf. Aku tidak tahu.
Tidak apa apa. Kau sendiri kenapa belum tidur?
Aku tidak bisa tidur.
Perlu kutemani? goda Alan.
Seketika Mia merasa pipinya panas. Nggak perlu,
tolaknya. Dia bergegas masuk ke dalam kamarnya. Alan hanya
tersenyum melihat tingkah istrinya. Sepertinya dia mulai

menyukaiku. Tidak biasanya dia salah tingkah di depanku.


Rupanya usahaku mulai membawa hasil. Aku harus lebih giat
lagi berusaha untuk meluluhkan hatinya.
***
Mia dan Alan sedang duduk di teras sambil mengobrol.
Hanya itu kegiatan yang bisa mereka lakukan kalau sedang
berdua di rumah. Alan melirik Mia yang asyik memandangi
bintang bintang yang berkelap kelip di langit.
Mi, Alan memanggil istrinya.
Hmm. Apa?
Pria idamanmu itu seperti apa?
Mia menoleh heran. Kenapa kau tiba tiba
menanyakan itu?
Memangnya tidak boleh? Aku hanya ingin tahu saja.
Sejak kita berkenalan, kau sama sekali tidak pernah bercerita

259

tentang teman priamu apalagi kisah cintamu. Padahal sebagai


sahabat, alangkah baiknya kalau kita saling membagi rahasia.
Kau tidak harus memberitahukan semuanya, cukup sebagian
saja, kata Alan hati hati. Dia tidak mau menyinggung
perasaan istrinya. Atas pertimbangan itupula, Alan tidak
pernah bertanya pada Mia.
Mia termangu. Selama ini dia memang tidak pernah
sedikitpun menceritakan pengalaman cintanya pada Alan.
Lagipula suaminya itu tidak pernah bertanya. Wajah Mia
diliputi keraguan dan Alan bisa menangkap itu. Tapi dia tidak
berkomentar apa apa. Dengan sabar, dia menunggu jawaban
keluar dari Mia.
Aku tidak punya tipe pria idaman, jawab Mia
sekenanya.
Masa sih? Kalau begitu, kau paling suka dengan pria
seperti apa?
Mia mengernyitkan keningnya. Pertanyaanmu sama
saja dengan yang tadi, cetusnya.
Kayaknya beda deh. Tadi kan aku nanya tipe pria
idamanmu. Sekarang aku ingin tahu, kau paling suka pria
seperti apa? kilah Alan.
Mia manggut manggut. Aku paling suka dengan pria
yang dewasa dan penyabar.
Hanya itu saja? Bagaimana dengan wajah, postur
tubuh, pekerjaan atau usia?
Bagiku itu tidak terlalu penting. Percuma saja kan dia
memiliki wajah dan tubuh seperti model tetapi kelakuannya
sangat buruk. Contohnya kau. Setelah dilihat lihat, wajahmu
memang tampan, pekerjaanmu bagus, usiamu juga terbilang
dewasa dan postur tubuhmu tinggi tegap. Tetapi dilihat dari
sifat, kau sama sekali tidak menarik, kata Mia terus terang.
Alan memasang tampang cemberut. Pertama dia
mengira Mia bercanda, namun setelah mengamati wajahnya,
tahulah dia kalau istrinya itu serius. Kau ini. Kenapa harus aku
yang dijadikan contoh? Aku tidak seburuk yang kau kira,
protes Alan.
Mia tersenyum tipis. Iya, aku minta maaf. Tetapi kan
kenyataannya memang begitu. Pertama kali, kita bertemu, kau
sudah tebar pesona. Kau merayuku di tempat umum.

260

Aku tidak merayumu. Aku hanya mengajakmu


berkenalan, Alan berusaha membela diri.
Sama saja. Setelah itu, pertemuan demi pertemuan
yang kita lalui selalu dihiasi pertengkaran. Dan rata rata
pemicunya adalah sifatmu yang seenaknya. Kau selalu saja
mengkritik apapun yang aku lakukan.
Aku hanya mencoba bersikap jujur, Alan bersikeras.
Mia mendengus sebal. Sudah tahu salah, masih saja
berkelit. Lan, kapan terakhir kalinya kau introspeksi diri?
Tidak ingat tuh, jawab Alan sekenanya.
Aku sarankan agar kau melakukannya. Dengan begitu
kau bisa merubah sifat burukmu.
Alan hanya terkekeh. Memangnya apa saja sifatku
yang buruk? Karena yang kutahu, kelebihanku adalah tidak
punya kekurangan dan kekuranganku adalah aku terlalu
memiliki banyak kelebihan, kata Alan penuh percaya diri.
Mia mendongak heran. Dia menatap Alan tidak percaya.

Dasar pria tidak tahu diri. Tebal muka, gerutunya dalam hati.

Dengar yah, kau ini seorang playboy, suka bertengkar


dengan orangtua, datang dan pergi ke kantor dengan
seenaknya, suka keluyuran tidak jelas dan paling ahli membuat
orang kesal! urai Mia panjang lebar.
Tawa di wajah Alan langsung lenyap. Wajahnya
mendadak berubah menjadi serius. Seburuk itukah sifatku?
Mia mengangguk. Menyakitkan bukan mendengarnya?
Kalau aku ingin punya pacar dan kau adalah pria terakhir di
bumi ini, aku tidak akan memilihmu, kata Mia terus terang.
Alan nyaris terlonjak dari kursinya. Dia tidak menyangka
akan mendengar ucapan seperti itu dari perempuan yang
sangat dicintainya. Tubuhnya mendadak lemas.
Mia melirik Alan yang diam membisu. Wajahnya
tertunduk menatap ke lantai. Mia bisa menangkap kegundahan
hati Alan karena kata katanya barusan. Dirangkulnya pundak
Alan. Maaf deh, kalau perkataanku itu terdengar
menyakitkan.
Jantung Alan serasa berpindah tempat ketika Mia
merangkulnya. Ini pertama kalinya Mia bersikap seperti itu.
Karena saking kagetnya, Alan tidak mendengar pernyataan
maaf dari Mia.

261

Mia tidak memperhatikan ekspresi Alan karena


rangkulannya itu. Dia malah terus mengoceh. Sebenarnya kau
punya sifat yang baik kok. Kau patuh pada kakakmu dan
sayang sama mamamu. Kau juga orang yang perhatian
terutama pada teman, celutuknya.
Kau bicara seperti itu untuk menghiburku kan?
Enggak. Lan, setiap orang punya kelebihan dan
kekurangan masing masing. Kau punya kekurangan tetapi
kau juga memiliki kelebihan yang tidak bisa dipandang enteng.
Ketika Helen memintamu
untuk menjagaku, kau
melakukannya dengan baik. Dari situ kan ketahuan kalau kau
itu orang yang bertanggung jawab. Walaupun cuma sedikit.
Alan membuang muka. Dia tidak mengacuhkan
sedikitpun ucapan Mia. Biasanya dia tidak pernah terpengaruh
apabila ada orang yang mengkritiknya. Dia menganggap
kritikan itu seperti angin lalu saja.
Tetapi kali ini, perasaannya benar benar terluka
karena yang mengkritiknya adalah wanita yang sangat ia
cintai. Alan bangkit dari kursinya dan berdiri menghadap ke
jalan. Dia bersandar pada pilar yang ada di terasnya sambil
melipat tangan.
Gerak gerik Alan itu tidak luput dari perhatian Mia. Dia
menghela napas. Sepertinya ucapanku kelewatan. Aku telah
menyinggung perasaannya. Mia berjalan mendekati suaminya.
Dia memeluk Alan dari belakang. Dia menaruh kepalanya di
punggung Alan yang tegap.
Alan merasa surprais mendapat pelukan dari Mia.
Tubuhnya dialiri perasaan hangat. Maaf, bisik Mia. Aku tidak
bermaksud menyinggung perasaanmu.
Alan terlalu kaget untuk bicara. Jantungnya berdetak
tidak karuan. Biasanya dia tidak pernah bersikap seperti ini di
depan wanita wanita yang pernah dipacarinya. Alan
berusaha mati matian untuk menenangkan perasaannya.
Walaupun terlihat ragu ragu, digenggamnya juga
tangan Mia. Dia baru bisa bicara setelah perasaannya lebih
tenang. Aku tidak tersinggung, Mi. Aku hanya kaget karena ini
pertama kalinya teman baikku bicara blak blakan tentang
sifatku. Aku tidak semudah itu tersinggung. Begini begini,
aku termasuk orang yang penyabar loh dan juga dewasa,
katanya serius.

262

Mia mendengus. Maling mana ada yang mau ngaku,


gumamnya tanpa sadar dia masih berada dalam posisi
memeluk Alan.
Mendengar ucapan Mia barusan, muncul ide di kepala
Alan untuk menggodanya. Kita jadi terlihat seperti sepasang
suami istri sungguhan yah, celutuk Alan nakal.
Mendadak terdengar jeritan Alan memecah keheningan
malam. Mia mencubitnya tepat di bagian pinggang dengan
sangat kuat.
Rasakan! Makanya kalau bicara jangan sembarangan,
ujarnya. Dia masuk ke dalam rumah meninggalkan Alan yang
masih meringis kesakitan.
***
Mia merasa ada yang berubah dari sikap Alan sejak
pembicaraan mereka malam itu. Awalnya Mia tidak ambil
pusing, namun lama kelamaan dia merasa risih juga. Mia
menerka nerka apa yang terjadi dengan suaminya itu.
Dia mondar mandir di kamarnya sambil mengingat
perubahan apa saja yang terjadi dengan suaminya itu.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan si genit itu? Pertama, tiba


tiba saja dia suka membaca novel. Padahal, setahuku hasrat
membacanya baru timbul kalau melihat majalah untuk pria.
Dia juga tiba tiba suka mendengar lagu dari tahun delapan
puluhan. Padahal dia pernah bilang kalau lagu itu hanya untuk
orang yang ketinggalan jaman. Dia pernah mengejekku karena
suka membaca komik dan menonton film kartun. Dia bilang
aku seperti anak kecil saja. Sekarang, dia malah keranjingan
film kartun dan komik. Ah, kepalaku jadi pusing.
Mia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
Matanya memandangi langit langit kamarnya yang dicat
berwarna biru muda. Mia tersentak. Dia seperti teringat
sesuatu. Aku baru sadar kalau Alan mengikuti hobbyku. Apa

maksudnya bersikap seperti itu? Kenapa dia tertarik untuk


mengikuti hobbyku? Mia bertanya tanya dalam hati tetapi dia

tidak kunjung mendapatkan jawaban. Dia tidak menyadari


kalau itu adalah bagian dari usaha Alan untuk mendapatkan
cintanya. Rasa penasarannya semakin memuncak, sehingga
dia memutuskan untuk mencari tahu dari mulut suaminya.
Mia berjalan menuju kamar Alan. Dia melihat kalau
pintunya dalam keadaan terbuka. Dia mengintip dari balik

263

pintu. Dia termangu saat melihat Alan sedang berada di depan


laptopnya sambil mendengarkan ipod. Mia mengetuk pintunya
keras keras. Alan menoleh.
Kau ini kenapa, Lan? Aku lihat akhir akhir ini sifatmu
agak berubah. Kau sakit yah? Mia duduk di atas tempat tidur
Alan.
Alan melepas headphonenya. Tidak ada apa apa.
Sejauh ini aku baik baik saja, sahut Alan heran.
Mia merasa tidak puas dengan jawaban Alan. Kenapa
kau mengikuti hobbyku, Lan? tanyanya terus terang.
Alan mendongak heran. Apa maksudmu?
Aku lihat kau suka mendengar musik delapan puluhan,
membaca novel, komik dan menonton film kartun. Padahal
sebelumnya kau tidak pernah begitu, Mia menuntut
penjelasan
Tawa Alan meledak. Memangnya kenapa kalau aku
begitu? Tidak boleh yah?
Bukannya tidak boleh. Hanya sajaitukan hobbyku.
Alan tersenyum tipis. Terus kenapa? Setelah kupikir
pikir ternyata membaca novel, komik dan menonton film
kartun sangat menyenangkan. Seperti yang kau bilang dulu.
Bisa membantuku lepas dari stres karena pekerjaan, kata Alan
sambil melirik Mia. Musik delapan puluhan setelah didengar
ternyata asyik juga. Tidak kalah dengan musik yang sekarang.
Apa kau sudah puas mendengar penjelasanku?
Mia termangu ragu ragu. Di dalam hatinya masih
terbersit rasa tidak percaya dengan penjelasan Alan. Tetapi dia
memutuskan untuk tidak memperpanjang urusan. Bukannya

bagus kalau hobby kami sama?

Ya, aku puas dengan penjelasanmu, kata Mia.


Makanya jangan suka meledek hobby orang. Sekarang kau
kualat, ledek Mia.
Alan ingin membalas tetapi dia teringat dengan ucapan
Mia, kalau dia menyukai pria yang penyabar dan dewasa.

Kalau aku membalas ucapannya, maka sikapku akan terlihat


tidak dewasa. Sesukamu sajalah. Alan kembali memasang
headphonenya dan kembali berkutat di depan ng diliputi rasa
heran.

Tumben, dia tidak membalas, cetusnya heran. Aku rasa


dia benar benar sakit. Ataujangan jangan kepalanya
264

terbentur dan dia kehilangan sebagian ingatannya. Tetapi,


memang kenapa kalau dia mengikuti hobbyku? Itu kan bukan
perbuatan dosa. Ah, Mia mengacak acak rambutnya. Masa
bodoh. Mau sama kek, mau beda kek, aku nggak mau tahu.
Itu hak Alan kalau mau berganti hobby.
Mia berjalan pelan pelan dengan diiringi pandangan
mata Alan. Setelah istrinya keluar dari kamar, Alan baru bisa
bernapas lega. Perasaan tegang yang menghimpitnya saat Mia
menanyainya perlahan lahan mulai menghilang. Hampir saja

ketahuan. Aku harus lebih berhati hati supaya tidak


ketahuan. Kalau sampai terjadi bisa gagal semua rencanaku.
Alan mendesah. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya. Dia
melipat kedua tangannya dan bersandar pada kursi. Haaah,
lagi lagi Alan mendesah. Dia menatap ke arah kamar istrinya.
Semoga saja semuanya bisa berjalan lancar, harapnya.

265

BAB 14
Alan sedang makan siang saat ponselnya menjerit
jerit minta diangkat. Dengan gerakan setengah enggan, dia
mengangkat ponselnya. Dia sempat melihat layar ponselnya.
Keningnya berkerut. Ini kan nomor sekolah Mia. Halo?
Tuan Harsono, saya ibu Farida, kepala sekolah tempat
Mia mengajar. Saya ingin memberitahukan kalau istri anda
masuk rumah sakit.
Apa? Alan nyaris tersedak. Jantungnya berdegup
keras. Dia terserang panik. Rumah sakit mana? tanyanya
kalap.
Rumah sakit Cempaka.
Kenapa? Dia sakit apa? Alan bertanya dengan
membabi buta.
Kami tidak yakin. Dia tadi pingsan. Sepertinya perutnya
sakit. Karena yang kami lihat dia terus memegangi perutnya.
Dia dirawat di mana? Alan bertanya dengan suara
yang dibuat setenang mungkin.
Kamar 2E.
Aku segera ke sana.
Alan langsung lupa dengan rasa laparnya. Dia
meninggalkan kantin seperti orang gila karena saking
khawatirnya memikirkan Mia. Setelah menitip pesan pada
Sarah, dia langsung memacu mobilnya seperti orang
kesetanan.
Begitu sampai di rumah sakit, dia langsung menuju
ruang gawat darurat. Setelah mencari informasi ke sana
kemari, akhirnya dia menemukan Mia yang sedang terbaring
lemah. Istrinya itu sedang didampingi seorang dokter dan Ibu
Farida. Dia mengangguk dan memberi salam kepada bos
istrinya itu.
Dokter, istri saya sakit apa? tanya Alan cemas.
Mia menoleh saat mendengar suara Alan. Dia tidak
menyadari hatinya diliputi perasaan senang saat melihat

266

kedatangan Alan. Tetapi dia terlalu lemah untuk bicara. Dia


hanya melemparkan senyum yang terlihat letih.
Perutnya terkena radang. Dia harus menginap di
rumah sakit untuk beberapa hari, kata dokter yang
mendampingi Mia.
Penyakitnya tidak serius kan, Dok? tanya Alan cemas.
Tidak ada yang serius. Untung dia segera dibawa ke
sini. Dia akan baik baik saja. Dia hanya perlu beristirahat.
Istrimu akan baik baik saja, Ibu Farida menepuk
nepuk bahu Alan.
Alan tersenyum tipis dan mengangguk. Terima kasih
banyak, Bu.
Sama sama. Itu sudah kewajiban saya sebagai
atasannya.
Setelah mengantar Ibu Farida sampai ke tempat parkir,
Alan menemani Mia di kamar seharian. Dia sudah memberitahu
keluarganya dan Mia. Perlu waktu yang cukup lama untuk
meyakinkan keluarga Mia kalau dia dalam keadaan baik baik
saja jadi mereka tidak perlu sampai datang ke Jakarta. Alan
menjanjikan begitu Mia bangun, dia akan menyuruhnya
menelepon ke Medan.
Alan mondar mandir di dalam kamar. Ia berhenti dan
memandangi Mia yang tergolek lemah tidak berdaya.
Walaupun pucat Mia masih tetap terlihat menawan. Alan ingin
mengelus pipi Mia yang halus tetapi dia mengurungkan niatnya
karena istrinya itu sudah keburu membuka matanya.
Mia melirik Alan. Kau masih di sini? Kenapa tidak
pulang?
Kalau aku pulang, siapa yang menjagamu?
Kan ada suster.
Tapi aku kan suamimu. Jadi sudah sepantasnya aku
berada di sini menjagamu. Apa kata mereka nanti kalau aku
tidak di sini? Bisa bisa aku dianggap suami yang tidak
bertanggungjawab.
Suasana berubah menjadi hening. Baik Mia atau Alan
kehabisan bahan pembicaraan. Alan menggaruk garuk
kepalanya. Dia paling tidak suka situasi seperti ini.
Alan membolak balik majalah yang baru dibelinya.
Sesekali dia melirik Mia yang sedang melamun. Dasar payah.

267

Baru terkena radang perut saja sudah begini. Membuat orang


khawatir saja, gumamnya pelan.
Ternyata ucapan Alan kedengaran di telinga Mia. Dia
mendelik sebal ke Alan. Apa kau bilang barusan? Kau mau
membuat sakitku bertambah parah yah? Bisa bisanya kau
bicara seperti itu di depan orang sakit. Daripada memancing
emosiku lebih baik kau pulang saja. Sakitku bisa bertambah
parah kalau kau di sini, kata Mia ketus.
Alan jadi merasa tidak enak. Maaf deh, kata Alan
dengan nada menyesal. Aku memang selalu begitu kalau
mengkhawatirkan sesuatu.
Mia melengos. Aku maafkan. Sebenarnya aku baik
baik saja. Teman temanku saja yang bereaksi berlebihan,
pakai acara bawa ke rumah sakit segala. Sebenarnya ke dokter
saja sudah cukup.
Alan baru mau membuka mulut ketika pintu kamar
terbuka lebar. Papa dan mamanya beserta Helen berhamburan
masuk ke dalam kamar dengan ekspresi cemas.
Ah, menantuku. Apa kau baik baik saja? tanya
nyonya Harsono cemas.
Mama. Jangan berlebihan begitu. Dia itu cuma terkena
radang perut dan tidak serius, kata Alan menenangkan.
Kalau sudah dirawat inap itu berarti cukup serius. Kau
ini, tegur Tuan Harsono.
Dokternya sendiri kok yang bilang, Alan membela diri.
Bagaimana keadaanmu, Mi? Helen bertanya dengan
lembut. Dia menggenggam tangan sahabatnya itu.
Agak sakit di bagian perut, tetapi aku baik baik saja.
Syukurlah kalau begitu, ujar Helen sambil melirik Alan.
Mia bangkit dari tempat tidurnya dan bersiap siap
untuk berdiri. Kontan, semua orang yang ada disekitarnya
memandangnya heran.
Kau mau ke mana, Nak? tanya mertuanya.
Ke kamar mandi. Aku mau buang air kecil, kata Mia
polos.
Pasangan Harsono dan Helen menatap Alan yang
sedang duduk di kursi. Dia terlihat asyik dengan bacaannya.
Dia sama sekali tidak menyadari kalau semua mata terarah
padanya.

268

Alan, istrimu mau ke kamar mandi, kata Helen


memberitahu. Dia gemas melihat sikap Alan yang acuh tidak
acuh.
Hmm. Ya sudah. Biarkan saja, sahut Alan cuek.
Pasangan Harsono dan Helen saling berpandangan.
Sementara Mia tidak ambil pusing dengan keadaan sekitarnya.
Ketika dia mulai berdiri, tangan Nyonya Harsono menahannya.
Mia mengangkat wajahnya. Dia menatap mertuanya heran.
Alan, istrimu mau ke kamar mandi, kata Tuan
Harsono.
Alan mendongak. Terus kenapa? Biarkan saja dia ke
kamar mandi.
Kau tidak menemaninya?
Wajah Mia berubah tegang. Tidak perlu, kata Mia
cepat. Aku bisa melakukannya sendiri.
Tidak
sayang.
Sebagai
suami,
Alan
harus
membantumu. Bagaimana caramu memegang infus itu?
Biarkan Alan membantumu, kata Nyonya Harsono.
Mia mau membantah tetapi dia tidak berani. Bisa bisa
mertuanya dan Helen curiga kenapa dia ngotot tidak mau
ditemani Alan ke kamar mandi.
Tidak apa apa Mia, aku senang kok membantumu,
cetus Alan. Seringai nakal terlihat di wajahnya.
Sementara itu, Helen hanya bisa menahan tawa melihat
adegan di depannya. Alan sudah memberitahunya tentang
rahasia pernikahan dia dan Mia, jadi Helen sama sekali tidak
merasa aneh dengan tindak tanduk pasangan suami istri yang
sama sama nyentrik itu.
Mia merengut sebal. Tetapi dia melakukannya sembunyi
sembunyi. Dia tidak mau mertuanya melihat ekspresi
wajahnya. Dia berjalan menuju ke kamar mandi dengan
ditemani Alan.
Di dalam kamar mandi, Mia melempar Alan dengan
handuk. Bisa bisanya kau mengambil kesempatan dalam
kesempitan. Seharusnya kau menolak, cetusnya dongkol.
Pssst. Pelankan suaramu. Nanti mereka semua dengar.
Begini saja, aku akan balik badan pada saat kau buang air
kecil. Bagaimana?
Mia menatap Alan dengan wajah sebal. Aku tidak mau
tahu! Pokoknya aku mau sendiri.

269

Alan, kalian sedang ngapain? Kenapa berisik sekali?


nyonya Harsono mengetuk pintu kamar mandi.
Tidak apa apa Ma, sahut Alan. Kau lihat kan?
Mereka mendengar suara kita. Mereka bisa tahu tentang
hubungan kita. Jadi pelankan suaramu.
Mia kesal setengah mati tetapi dia tidak bisa apa apa.
Alan benar, mereka bisa ketahuan. Ya sudah. Kau menghadap
ke sana. Jangan coba coba mengintip. Lihat saja kalau
sampai berani, kata Mia dengan nada mengancam.
Alan menghadap ke tembok sambil menggerutu.
Tangan kanannya memegang kantong infus Mia. Tiba tiba
ponselnya yang terletak di saku celananya sebelah kanan
berbunyi.
Alan mengalami kesulitan mengambilnya dengan tangan
kiri. Ketika dia berhasil meraihnya, ponsel itu tiba tiba
terjatuh
persis
di
bawah
kakinya.
Spontan
Alan
membungkukkan badan untuk mengambil ponselnya. Pada
saat membungkuk itulah, dia bisa melihat Mia yang sedang
buang air kecil.
Mia menjerit. Tangannya meraih gayung dan
melemparkannya ke Alan. Gayung itu tepat mengenai wajah
Alan. Gantian Alan yang menjerit karena kesakitan.
Di luar kamar mandi, pasangan Harsono saling
berpandangan. Sementara itu, Helen berlagak tidak
mendengar apa apa.
Akhirnya Alan dan Mia keluar dari kamar mandi.
Pasangan Harsono menatap mereka berdua dari atas sampai
ke bawah.
Alan mengangkat kedua tangannya. Jangan tanya apa
apa, katanya pelan.
Mia berjalan menuju tempat tidurnya dengan diiringi
pandangan heran mertuanya dan Helen. Sementara itu, Alan
duduk di kursi dan pura pura membaca.
Baiklah. Karena kalian yang meminta, kami tidak akan
bertanya apa apa. Lan, besok kau tidak perlu masuk kantor,
kata papanya.
Kenapa? tanya Alan heran.
Lebih baik kau menjaga Mia. Kau kan suaminya.
Tidak perlu, Pa, tolak Mia cepat. Aku bisa sendiri kok.
Lagipula kan ada perawat yang menemaniku.

270

Tidak bisa begitu, Mi. Kalau yang menemani keluarga


sendiri, lebih leluasa, mertuanya yang perempuan ikut angkat
suara.
Helen tersenyum simpul melihat bagaimana repotnya
Mia meyakinkan mertuanya kalau dia lebih baik sendirian.
Malam ini kau menginap saja di rumah sakit.
Pakaianmu, biar mamamu yang mengantarkannya.
Tidak perlu, Pa. Biar Kakak saja yang mengambil dan
membawanya ke sini. Kakak bisa kan? Alan memberi isyarat
pada Helen dengan mengedipkan mata.
Helen mengerti maksud Alan. Kalau mamanya yang
mengambil, bisa ketahuan rahasia mereka. Aku yang akan
mengambil baju Alan, Ma.
Tetapikau bukannya kerja?
Hari ini aku ijin. Nanti sepulang dari rumah sakit aku
akan ke rumah Alan mengambil bajunya, terus kembali lagi ke
sini.
Orangtuanya manggut manggut. Ya sudah, kalau
maunya Alan begitu, kata papanya.
***
Ini hari pertama Mia mengajar setelah keluar dari
rumah sakit. Namun, tidak seperti biasa, kali ini Mia bangun
kesiangan. Matanya melotot saat melihat jam. Mia kelabakan.
Cepat cepat dia bangkit dari tempat tidurnya.
Mia tidak menyadari kalau dia dan Alan berjalan menuju
tempat yang sama yakni kamar mandi. Ketika dia tersadar
sudah terlambat. Alan sudah masuk ke dalam kamar mandi.
Mia bisa mendengar suara siulannya.
Mia dicekam rasa panik karena Alan sudah berada di
dalam kamar mandi. Membiarkan Alan mandi duluan ibarat
memasak rendang. Sangat lama.
Alan, Mia mengetuk pintu. Aku mandi duluan dong,
rayunya.
Enggak mau, sahut Alan dari dalam kamar mandi.
Mia merengut sebal. Lan, kalau aku tidak mandi
sekarang, aku bisa terlambat. Kau kan tahu sekolahku masuk
jam tujuh, kata Mia setengah merajuk.
Terus kenapa? Salah sendiri kau bangun kesiangan.
Karena itu aku harus buru buru. Ayo dong, Lan. Aku
mandi duluan, Mia mulai merengek.

271

Enak saja. Aku yang pertama kali masuk, jadi aku yang
mandi duluan. Memangnya kau saja yang bisa terlambat? Aku
juga. Apa kata bawahanku kalau aku datang terlambat? Aku
bisa dianggap memberikan contoh yang buruk. Kalau sudah
begitu bagaimana bawahanku bisa menghormatiku? Sudah,
kau tunggu saja sampai aku selesai mandi. Kau tidak akan
terlambat. Sekolahmu dari rumah kita kan enggak jauh jauh
amat.
Memang tidak jauh. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu
mandi duluan. Karena kalau kau sudah mandi, lamanya minta
ampun. Hanya Tuhan yang tahu apa yang kau lakukan di
kamar mandi.
Tiba tiba pintu kamar mandi terbuka. Saking
terkejutnya, Mia sampai mundur beberapa langkah ke
belakang. Alan menepuk kening istrinya. Jangan ngomong
sembarangan yah. Aku mandinya lama karena aku ini orang
yang bersih. Kau sendiri bagaimana? Berbeda sekali dengan
perempuan lainnya. Masa mandi cuma sepuluh menit, Alan
mencibir.
Itu karena aku tidak suka lama lama berada di kamar
mandi. Biar mandi cuma sebentar tetapi aku lebih bersih
darimu. Ayolah Alan, aku mandi duluan yah. Kau baik deh,
rayu Mia sambil mengedipkan matanya.
Memang, tetapi tetap saja aku tidak mau! Alan
membanting pintu kamar mandi tepat di depan hidung Mia.
Mia
melotot.
Dia
berkacak
pinggang
dan
menghentakkan kakinya. Dia memang begitu kalau sedang
kesal. Cepat cepat digedornya pintu kamar mandi. Alan
kumohon sekali ini saja. Kau kan bos. Kalau terlambat sedikit
kan tidak apa apa. Tapi kalau aku? Bisa malu aku di depan
murid muridku. Lagipula setahuku dulu kau sering datang
terlambat.
Namun, sia sia saja usaha Mia karena tidak ada
jawaban dari dalam kamar mandi.
Alaaaan, rengek Mia sambil mengetuk ngetuk pintu
kamar mandi.
Pintu kamar mandi terbuka lagi. Alan menatap Mia
sebal.

272

Mia hanya tersipu dipelototin suaminya. Dia bergaya


seperti anak kecil yang sedang merajuk. Kalau sudah begitu,
mau tidak mau Alan mengalah.
Sudah diam! Bagaimana kalau didengar orang kalau
kita bertengkar memperebutkan kamar mandi? Malu tahu!
Sudah mandi sana.
Cihui. Terima kasih suamiku sayang. Tanpa pikir
panjang, Mia langsung menghambur ke dalam kamar mandi.
Sementara Alan menggerutu dalam hati. Dulu aku

sering terlambat ke kantor dan dia yang menasehatiku untuk


merubah kebiasaanku. Sekarang malah dia menyuruhku
kembali kekebiasaan lama. Dasar! Alan menatap pintu kamar

mandi. Mandinya yang cepat! teriak Alan. Namun, yang


terdengar dari kamar mandi hanya suara nyanyian Mia.
Alan duduk di ruang makan. Dia menunggu Mia selesai
mandi sambil sarapan. Lumayan, buat efisiensi waktu, pikirnya.
Sambil mengunyah makanan, Alan hanyut dalam
lamunannya sendiri. Sejak menikah dengan Mia, banyak hal
hal baru yang diketahui Alan tentang istrinya itu.
Misalnya yang terjadi kemarin. Alan sedang menikmati
tidur siangnya ketika mendengar suara jeritan Mia.
Alan tersentak dari ranjangnya. Sepertinya aku
mendengar suara jeritan dari kamar mandi. Alan langsung
berlari ke sumber suara. Ternyata Mia yang menjerit. Ada
apa? Kenapa kau menjerit seperti monyet dicekik begitu?
Mia cemberut sambil mengarahkan jari telunjuknya ke
kamar mandi. Ada kecoa di kamar mandi.
Apa? Kecoa katamu! Alan terbahak. Kukira ada
maling, rampok atau apa, tidak tahunya cuma kecoa.
Aku takut sekali sama kecoa, kata Mia malu malu.
Kalau ada orang yang takut kelabang, kalajengking
atau hewan hewan melata lainnya, aku rasa wajar. Tetapi
kalau ada yang takut kecoa sungguh mengherankan. Karena
yang kutahu, kecoa sama sekali tidak berbisa dan menggigit
dan ya ampun, dia bahkan hanya sebesar jempol kita,
cetusnya heran.
Mia tersipu malu. Wajahnya memerah.
Kenapa kau takut sama kecoa?

273

Karena bentuk tubuhnya sangat menjijikkan. Udah gitu


bau lagi. Bukan hanya itu, aku geli kalau melihat kumisnya,
kata Mia jujur.
Alan melongo. Kau bilang geli melihat kumisnya?
Iya. Mana ada binatang yang cuma memiliki kumis dua
helai begitu.
Alan
menggeleng

gelengkan
kepalanya.
Ckckckkau ini kekanak kanakkan sekali. Bukan
salahnya kalau dia diciptakan dengan kumis dua helai.
Iya, iya aku tahu. Daripada menceramahiku tentang
kecoa sepertinya lebih baik kau usir kecoanya yah?
Untuk apa diusir? Nanti datang lagi. Lebih baik
dimatikan saja.
Ya, terserah kau saja deh, mau diapakan. Yang
penting, aku tidak melihat kecoa itu lagi.
Saat mematikan kecoa yang sangat ditakuti Mia, Alan
tersenyum senyum sendiri. Dasar aneh, sama kecoa saja
takut.
***
Alan mempunyai kebiasaan yang sudah dijalaninya
sejak kecil. Setiap bangun tidur, Alan selalu bercermin. Pagi
itu, dia kembali menjalani ritualnya. Betapa terkejutnya dia
saat melihat cermin. Matanya yang sebelah kanan bengkak
dan ada benjolan kecil berwarna merah di kelopak matanya.
Alan ternganga. Dia menyentuh matanya yang bengkak itu.

Kenapa mataku bisa bintitan begini? Apa kata orang kalau


melihatnya. Bisa bisa pamorku turun. Apalagi kalau Mia yang
melihat. Hm, Alan melihat ke sekeliling kamarnya.

Pandangannya terhenti pada kacamata hitam yang terletak di


atas meja. Aku pakai ini saja deh. Alan bercermin. Senyumnya
terkembang saat melihat penampilannya itu. Seperti biasa. Aku
memang selalu terlihat keren, cetusnya penuh percaya diri.
Alan keluar dari kamarnya sambil mengenakan
kacamata hitam. Mia yang sedang menyiapkan sarapan dibuat
terheran heran. Dia menatap Alan tanpa berkedip.
Mau tidak mau, dia tersenyum geli melihat tingkah Alan.
Ternyata kau. Aku kira tadi ada tukang obat nyasar,
ledeknya. Kenapa kau memakai kacamata hitam di dalam
rumah?

274

Haaaaah, Alan mendesah. Lebih baik aku pasrah saja.


Alan membuka kacamatanya dan berdiri menghadap Mia. Kau
bisa lihat kan kenapa aku memakai kacamata?
Mia mengamati wajah Alan. Cuma bintitan biasa,
katanya cuek. Bukan masalah yang besar. Jadi kau lepas saja
kacamatamu itu sebelum menarik perhatian orang banyak.
Nanti mereka kira ada penjahat nyasar lagi.
Tidak bisakah untuk sehari saja kau tidak meledekku?
kata Alan sebal. Dia memonyongkan bibirnya karena kesal.
Jangan sembarangan bicara yah. Kapan aku
mengejekmu? Setahuku, yang paling sering melontarkan
ejekan itu kau, Mia menunjuk Alan.
Dituding seperti itu, Alan tidak berkutik. Dia
cengengesan. Maaf deh.
Simpan saja maafmu itu. Lebih baik kau mengantarku
ke sekolah.
Tapi aku tidak bisa pergi mengantarmu seperti ini. Bisa
bisa aku ditertawakan teman temanmu.
Mia menatap Alan dengan mata menyipit.
Jangan lihat aku seperti itu. Kau membuatku takut.
Orang bilang, mata bintitan karena mengintip. Kau
mengintip siapa, Lan? Jangan jangan kau sering mengintip
aku yah? tuduh Mia.
Siapa mengintipmu? bantah Alan. Rugi sekali aku
mengintipmu. Itu kan cuma kata orang. Tidak mungkin gara
gara ngintip mataku bisa begini. Apalagi mengintipmu. Ada
ada saja.
Jadi kau tidak bisa mengantarku?
Alan mengiyakan. Kan enggak mungkin aku beredar
dengan mata seperti ini. Bisa bisa, reputasi yang sudah
kubangun selama ini runtuh hanya gara gara ini, dia
menunjuk matanya.
Ya sudah, kalau kau tidak bisa mengantarku. Aku pergi
dulu.
Alan mengekor di belakang Mia.
Oh ya, Mia memutar badannya menghadap Alan yang
berdiri di belakangnya.
Ada apa?
Jangan lupa memasak dan membersihkan rumah!

275

Alan merengut sebal. Tanpa kau bilang, aku sudah


tahu. Sudah pergi sana, Alan mendorong Mia keluar dari
rumah.
Aku pergi dulu, kata Mia sambil melambaikan tangan.
Alan menunggu sampai Mia benar benar menghilang
dari pandangannya baru dia masuk ke dalam rumah. Untung
ini hari Sabtu, jadi aku tidak perlu bolos kerja segala. Alan
memandangi cermin lagi. Benar benar menyebalkan. Kalau

sudah begini, aku terpaksa tinggal di rumah seharian.

***
Alan baru saja selesai membersihkan rumah, ketika
pintunya diketuk. Siapa?
Ini aku, Helen.
Alan berjalan tergopoh gopoh menuju pintu. Dia
membukanya dengan wajah tersenyum lebar. Alan menyambut
kedatangan kakaknya itu dengan sukacita.
Mana Mia?
Mengajar, sahut Alan pendek.
Kau tidak mengantarnya?
Enggak. Aku lagi sakit mata.
Helen mendekatkan wajahnya dan mengamati mata
Alan.
Dia mengibaskan tangannya, Ah cuma bintitan biasa
saja. Kau kan bisa menggunakan kacamata hitam.
Alan tidak menyahut. Dia duduk di sofa dan menyalakan
televisi. Helen duduk di sampingnya.
Bagaimana dengan pernikahanmu?
Baik baik saja, jawab Alan singkat.
Ceritakan padaku, apa saja yang terjadi setelah kalian
menikah. Apa ada yang istimewa? tanya Helen penasaran.
Alan menggeleng. Tidak ada kejadian yang istimewa.
Helen menatap tidak percaya. Masa sih tidak ada?
Padahal kan kalian sudah menikah selama enam bulan.
Alan mendengus pelan. Dia tidak peduli dengan
keheranan Helen.
Berarti usahamu kurang berhasil dong? tanya Helen
lagi.
Mungkin iya, mungkin juga tidak, sahut Alan
sekenanya.

276

Helen terpana melihat sikap Alan yang masa bodoh.

Bagaimana sih anak ini. Dulu dia bilang akan berusaha untuk
mendapatkan cinta Mia. Sekarang dia malah bersikap seolah
tidak terjadi apa apa.

Dari nada bicaramu, kau seperti tidak tertarik lagi


pada Mia, tebak Helen.
Aku tidak bilang kalau aku tidak tertarik lagi dengan
Mia. Bahkan semakin hari aku semakin mencintainya.
Lalu kenapa kau bersikap seperti ini? Kau seperti tidak
melakukan usaha apapun untuk mendapatkannya.
Entahlah. Aku tidak tahu. Alan terlihat seperti orang
linglung.
Sebenarnya bagaimana perasaanmu setelah menikah
dengan Mia?
Sangat bahagia, kata Alan sungguh sungguh.
Rasanya seperti mimpi menikah dengannya dan aku tidak
ingin terbangun, mata Alan berbinar binar saat
membicarakan pernikahannya itu.
Helen termangu. Dia bisa melihat kebahagiaan yang
terpancar dengan jelas di wajah Alan. Kebahagiaanmu akan
semakin lengkap kalau kau memenangkan cintanya, Lan. Apa
kau mau hidup dengan cara seperti ini sampai tua?
Binar di mata Alan sedikit meredup. Alan tidak
menjawab. Itu adalah pertanyaan yang paling ditakutinya.

Kakak benar, katanya dalam hati. Mau sampai kapan aku dan
Mia hidup seperti ini?

Helen sebenarnya tidak ingin menekan Alan tetapi dia


tidak punya pilihan. Dia harus meyakinkan Alan agar
meneruskan usahanya untuk mendapatkan cinta Mia.
Aku tidak mau menakut nakutimu tetapi cepat atau
lambat rahasia pernikahan kalian bisa terungkap. Ketika saat
itu tiba, tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian.
Alan tidak tertarik untuk menanggapi ucapan Helen.
Kepalanya serasa ditimpa berton ton masalah yang tidak bisa
dipecahkan. Akibatnya, malam itu dia tidak bisa tidur. Ucapan
Helen terus terngiang ngiang di kepalanya.
Dia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju
dapur. Dia mengambil satu kaleng minuman ringan dari dalam
kulkas dan menghabiskannya dalam satu kali tegukan.

277

Dia melirik pintu kamar Mia yang tertutup rapat. Alan


mendesah. Lalu dia duduk di meja makan tanpa ditemani
cahaya lampu. Dia merenungi ucapan Helen tadi siang.
Alan menaruh kepalanya di atas meja sambil memain mainkan vas bunga yang ada di situ. Dulu aku dijuluki

penakluk wanita. Sekarang aku seperti macan ompong saja.


Menaklukkan wanita yang dicintai saja tidak bisa.
Menyebalkan, gumam Alan.

Alan bangkit dari kursinya. Hampir saja dia terjatuh


karena saking kagetnya melihat Mia berdiri memandanginya
dalam kegelapan. Dia mundur beberapa langkah. Wajahnya
merah padam.
Ngapain sih berdiri di situ? Bikin kaget saja! Kalau aku
pingsan karena terkena serangan jantung, bagaimana? Kan
kau sendiri yang repot! bentaknya. Wajah Alan terlihat masih
syok.
Aku haus, jawab Mia cuek. Dia tidak peduli dengan
mata Alan yang melotot. Kau sendiri ngapain duduk di sini?
Pakai acara gelap gelapan segala lagi. Ngelamun jorok yah?
Itu bukan urusanmu, sergah Alan. Dia kembali ke
kamarnya sambil menggerutu.
Baru begitu saja sudah kaget. Dasar payah, ejek Mia.
Alan tidak menghiraukan ejekan Mia. Dia membanting
pintu kamarnya. Dia membenamkan wajahnya di atas bantal.
Merasa sulit bernapas, dia merubah posisinya. Sekarang dia
tidur terlentang di atas tempat tidur. Posisinya sama persis
dengan Vitruvian Man nya Leonardo da Vinci.
Kejadian yang baru saja dialaminya masih membekas di
ingatannya. Alan berkata pada dirinya sendiri. Peristiwa yang

sama sekali tidak patut dikenang. Biasanya dalam film, kalau


ada pria dan wanita yang bertemu dalam situasi seperti itu,
pasti ada hal romantis yang terjadi. Tetapi apa yang baru
kualami sama sekali tidak romantis. Aku malah hampir pingsan
karena kaget. Benar benar menyebalkan.

Alan bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju


meja belajarnya. Dia membuka buka buku agendanya.
Pandangannya terhenti saat melihat kalender. Ada tanggal
yang dilingkari dengan tinta berwarna merah. Astaga, hampir
saja aku lupa. Lusa, Mia berulangtahun. Untung, aku ingat

sekarang. Kalau aku sampai lupa, gak tahu deh gimana


278

nasibku nanti. Enaknya, dia dikasih apaan. Alan memutar


otaknya. Oh iya, dia kan suka banget membaca. Jadi, kukasih

buku saja. Pasti dia senang.

Keesokan harinya, sepulang dari kantor, Alan tidak


langsung pulang. Dia menyempatkan diri, mampir ke toko
buku. Alan menghabiskan waktu hampir dua jam untuk
mencari buku yang akan dihadiahkan ke istrinya. Ia mencoba
mengingat ingat, buku apa yang belum dikoleksi Mia.
Akhirnya dia menentukan pilihannya. Dia memutuskan untuk
membeli buku seri Harlequin untuk istrinya. Pasti dia suka.
Biasanya kan wanita suka cerita romantis. Alan tersenyum
senyum sendiri. Dia membeli 15 novel Harlequin dan langsung
membungkusnya.
***
Malam itu, Alan tidak henti hentinya memandangi jam
di dinding. Dia tidak sabar menunggu jam 12 malam. Alan
ingin menjadi orang yang paling pertama mengucapkan
selamat ulang tahun kepada Mia.
Ketika jam 12 tiba, tanpa berpikir panjang, dia langsung
bangkit dari ranjangnya dan keluar dari kamar. Dia
menyiapkan kado dan mengeluarkan kue tart kecil yang sudah
disembunyikannya dari tadi malam. Dia memasang lilin
berbentuk angka 2 dan 5 yang melambangkan usia Mia.
Dia mengetuk ngetuk pintu kamar Mia. Ketukan
pertama tidak mendapat jawaban. Ketukan kedua, suara yang
terdengar tidak lebih seperti sapi yang melenguh.
Alan menarik napas kesal. Ya ampun, sudah hampir

lima menit aku mengetuk pintunya, tapi dia tidak kunjung


bangun. Apa perlu aku pakai pengeras suara supaya dia
bangun? Alan menggeleng gelengkan kepalanya karena

keheranan.
Alan memantapkan hatinya. Dia mengepalkan
tangannya dan mulai menggedor pintu kamar Mia dengan
suara yang sangat keras. Kontan saja, Mia terbangun dari
tidurnya dan langsung. Dia melihat ke kanan dan kiri seperti
orang yang ketakutan.
Mia! suara Alan mengejutkannya.
Haaaah, Mia mengacak acak rambutnya sendiri.
Ternyata dia yang mengganggu tidurku. Ada apa? Mia
berteriak.

279

Buka pintunya dong, sahut Alan.


Mau ngapain? Mia bertanya dengan curiga.
Sementara itu di balik pintu, Alan dongkol luar biasa.
Dia bisa menerka kalau saat ini Mia sedang mencurigainya.
Jangan khawatir. Aku tidak punya maksud buruk. Buka
saja pintunya. Sebentar saja.
Mia mendelik sebal. Dengan enggan, ia bangkit dari
tempat tidur dan menyeret kakinya ke arah pintu. Lihat saja

kalau dia macam macam. Ngak bakalan ada ampun.

Mia membuka pintunya. Dia hanya membuka sedikit


dan mengintip dari balik pintu. Dia terheran heran saat
melihat sosok Alan. Didorong oleh rasa penasaran yang kuat,
dia membuka pintunya lebar lebar.
Tiba tiba, Alan melompat tepat di hadapannya.
Kejutan! teriaknya. Dia membawa kue tart kecil ditangannya
dan mulai menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Mia
menahan tawa melihat mimik wajah Alan saat bernyanyi.
Setelah selesai, Alan menyodorkan tart mungil itu ke
hadapan Mia. Ayo tiup lilinnya dan jangan lupa menyebutkan
permohonanmu.
Mia berpikir sejenak. Enaknya minta apa yah?
gumamnya tanpa sadar.
Minta supaya kita diberikan anak, sahut Alan cuek.
Mia mendengus sebal.
Tanpa pikir panjang, Mia langsung meniup lilin.
Kau minta apa?
Aku minta supaya kau tidak bawel dan pingin tahu
rahasia orang lagi, kata Mia asal asalan.
Alan langsung menjitak kepala istrinya. Biar bawel
begini, aku ini tetap suamimu tahu.
Mia hanya mencibir. Kalau aku bilang apa
permohonanku sama juga bohong dong. Bagaimana mau
dikabulkan?
Sudah ah, apapun permohonanmu, selama itu tidak
membuatku menderita, itu tidak akan jadi masalah. Sekarang,
lebih baik kau pilih, mau motong kuenya atau buka kado
dariku?
Mia tersenyum cerah. Rasa kantuk yang dari tadi
menyergapnya, hilang sudah. Kau ngasih apa? mata Mia
berbinar binar.

280

Alan mengernyitkan keningnya. Dia senang sekali

mendapat hadiah dariku. Jangan jangan dia kira aku kasih


perhiasan lagi. Tidak kusangka, ternyata dia materialistis juga.

Aku ngak ngasih perhiasan loh, Alan mewanti wanti.


Siapa bilang aku suka perhiasan? Aku bukan cewe
matre tahu, cetus Mia. Dia merobek kertas yang membungkus
kado yang diberikan Alan kepadanya.
Reaksi Mia benar benar di luar dugaan Alan. Tadinya
dia mengira Mia akan menjerit kesenangan karena menerima
kado. Tidak disangka, Mia hanya terdiam dan menatap
kadonya dengan wajah tanpa ekspresi.
Kenapa? Kau diam karena saking senangnya atau
karena tidak menyukai kadoku? tanya Alan dengan hati hati.
Mia tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya terdiam.
Sebenarnya dia sangat menyukai kado yang diberikan Alan.
Hanya saja dia tidak suka cerita cerita romantis. Dia lebih
condong pada buku yang bertema thriller dan petualangan.
Dia tertegun.
Aha, kau tidak suka cerita cerita romantis yah?
Kata siapa aku tidak suka. Aku justru paling suka cerita
romantis, Mia sengaja berbohong. Dia tidak mau
menyinggung perasaan Alan.
Gak usah pakai acara berbohong segala. Aku bukan
orang bodoh. Dengar baik baik yah. Aku sudah bersusah
payah memberikanmu kado. Tolong hargai sedikit. Kau harus
menyimpan pemberianku itu. Aku tidak akan merubahnya.
Kalau jadi orang tuh, harus bisa menghargai pemberian orang
lain, celoteh Alan cuek.
Mia terbengong bengong. Tadinya Mia mengira Alan
akan meminta maaf dan bilang akan mengganti hadiahnya,
tetapi reaksinya justru berlawanan.
Jangan sembarangan bicara yah. Aku tidak seburuk itu.
Aku selalu menyimpan pemberian orang lain, tegas Mia.
Aku tidak bilang kau tidak pernah menyimpan
pemberian orang lain, kata Alan cuek.
Huh. Aku tidak percaya. Hari di mana seharusnya aku
bahagia, suamiku sendiri malah membuatku kesal, keluh Mia.
Alan tersentak. Sejurus kemudian, ia merasa menyesal.
Maaf deh. Aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Maaf
yah, Alan memasang tampang memelas.

281

Lupakan saja. Aku juga tidak serius, Mia tersenyum.


Daripada bicara gak karuan, lebih baik kita potong kue ini dan
nonton. Besok kan hari libur. Bagaimana, mau tidak?
Alan mengangguk. Walhasil, sepasang suami istri itu
menghabiskan malam dengan menonton dvd sambil mengemil.
Keduanya sama sama tertidur di depan televisi.
Keesokan paginya, Alan yang terbangun duluan. Dia
menggosok gosok matanya sembari melihat jam. Dia
menguap kemudian melirik ke sosok yang masih tidur pulas.
Alan tersenyum simpul melihat gaya Mia saat tidur.
Mulutnya terbuka lebar dan kakinya membentuk
segitiga. Sempat terbersit dalam pikiran Alan untuk menaruh
sesuatu dalam mulut istrinya. Dia mengambil sebatang coklat
dari kulkas. Dia berjalan berjingkat jingkat mendekati Mia.
Dia merobek bungkus coklat dan mematahkannya. Kemudian,
tangannya bergerak menuju mulut Mia untuk menaruh coklat
itu ke dalam mulutnya.
Tepat saat tangan Alan berada di atas mulut Mia,
telepon meraung raung. Kontan, Mia terbangun dari
tidurnya. Mulut Mia yang tadinya terbuka lebar mendadak
mengatup. Walhasil jari Alan yang menggenggam coklat ikut
masuk ke dalam mulut Mia. Alan dan Mia menjerit
berbarengan. Yang satu karena kesakitan, sementara yang
lain karena kaget.
Mia langsung membuka mulutnya dan mempelototi
Alan. Tadi mau apa kau? bentaknya dengan wajah galak.
Aku tadi mau membangunkanmu?
Kenapa tanganmu ada di mulutku? Kau mau
mengerjaiku yah? Mia bertanya masih dengan wajah galak.
Idih. Geeran banget sih jadi orang. Daripada
menuduhku yang bukan bukan, lebih baik kau angkat
telepon itu. Aku yakin itu dari keluargamu yang ingin
mengucapkan selamat ulang tahun, kilah Alan.
Mia menyipitkan matanya. Aku tidak percaya,
desisnya.
Terserah, Alan mengangkat bahunya.
Sambil menggerutu, Mia beranjak dari kursi dan
mengangkat telepon. Ternyata dugaan Alan benar. Itu adalah
keluarganya. Tidak berapa lama, Mia tenggelam dalam
pembicaraan dengan orangtuanya.

282

Alan hanya mengelus dada dan pelan pelan berjalan


meninggalkan Mia. Sebaiknya aku menyelamatkan diri sebelum
dia memanggilku. Baru beberapa langkah, terdengar teriakan
dari belakang.
Kau tidak boleh ke mana mana sebelum urusan kita
yang tadi selesai, teriak Mia. Sementara itu, tangan kanannya
menutup gagang telepon.
Alan menundukkan kepalanya. Iya aku tahu, sahutnya
pelan. Dengan setengah hati dia memutar tubuhnya dan
kembali ke tempat semula. Dia duduk di kursi dengan wajah
pasrah seperti orang yang sedang menunggu hukuman.

Sepertinya, aku akan menghabiskan pagi ini mendengarkan


ceramahnya. Alan melirik Mia yang berbincang dengan
papanya. Nasib nasib, gumamnya dalam hati.

BAB 15
Sabtu sore Mia sedang berjalan jalan di Mal Kelapa
Gading. Alan tidak bersamanya karena dia ada pekerjaan
mendadak. Tetapi Alan berjanji akan menyusulnya.
Mia berjalan santai sembari melihat etalase etalase
toko tetapi tidak ada satupun yang menarik perhatiannya.
Karena itu, dia memilih masuk ke toko buku. Kalau ditanya
benda apa yang paling disukainya, baju atau buku, maka Mia
memilih buku. Mia sudah suka membaca sejak umur tujuh
tahun. Membaca lebih dari sekedar hobby buatnya. Itu sudah
seperti keharusan buat Mia. Karena kegemarannya membaca

283

pula, Mia tumbuh menjadi gadis yang memiliki wawasan yang


luas.
Mia mengamati koleksi buku buku terbaru yang ada di
toko itu. Dia menyukai berbagai jenis buku. Terlebih lagi novel.
Dia sangat tergila gila pada buku berjenis fiksi itu. Dia
mengambil dan membaca buku yang menarik perhatiannya.
Kalau tidak tertarik, dia menaruhnya ke tempat semula. Saking
asyiknya, dia sampai bertubrukan dengan seorang pemuda.
Maafkan Mia tidak bisa melanjutkan kata katanya.
Ternyata sosok yang bertubrukan dengannya adalah Arman.
Mia terperangah. Saking kagetnya, Mia hanya berdiri diam
bagaikan patung. Untuk sejenak, Mia seperti kehilangan
jiwanya. Namun, dengan cepat, kesadarannya pulih kembali.

Ini pasti hari sial buatku. Di dunia seluas ini, bagaimana


mungkin aku bertemu dengan orang yang pernah sangat
kubenci.

Reaksi berlawanan justru ditunjukkan Arman. Senyum


gembira mengembang di wajahnya yang semakin tampan itu.
Mia! seru Arman gembira. Ini kebetulan sekali. Apa
kabarmu? tanya Arman. Perasaan bersalah yang pernah Mia
lihat di wajahnya sama sekali tidak tampak.
Mia seperti kehilangan suara. Mulutnya terkunci rapat.
Dia tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan bekas
tunangannya itu. Mereka bertemu terakhir kali di Medan Mal.
Baik baik saja, kata Mia dengan suara tercekat. Mia
mencari kata kata yang tepat untuk menyapa Arman. Aku
tidak boleh bersikap kaku. Peristiwa itu sudah lama sekali.
Rasanya, tidak pantas kalau aku masih membencinya. Mia
mengangkat wajahnya dan mengarahkan pandangannya
langsung ke mata Alan. Apa yang kau lakukan di Jakarta?
tanya Mia basa basi. Dia berusaha bersikap setenang mungkin
menghadapi mantan tunangannya itu. .
Aku bekerja di kota ini. Arman mengamati Mia dengan
seksama. Aku benar benar pangling melihatmu. Kau
semakin cantik saja, katanya terus terang.
Terima kasih atas pujiannya, balas Mia pendek.
Sebenarnya dia ingin segera pergi dari tempat itu. Dia merasa
tidak nyaman bertemu dengan Arman. Tetapi dia tidak bisa
pergi karena dia sudah berjanji akan menonton bareng Alan.

284

Sebaiknya aku pergi. Aku ada janji, kata Mia pelan.


Dia baru mau berjalan ketika Arman memegang tangannya.
Spontan Mia menepisnya dan menunjukkan ekspresi tidak
suka.
Maaf, Arman mengangkat kedua tangannya.
Wajahnya terlihat sangat menyesal. Aku tidak bermaksud
menyentuhmu.
Untuk sesaat Mia merasa bersalah. Tidak apa apa.
Aku benar benar harus pergi, katanya setengah berbisik.
Apa janjimu itu sangat mendesak?
Mia tidak menjawab. Alan belum meneleponku. Itu

berarti dia belum sampai. Kalau sudah begini, aku tidak bisa
menghindar dari Arman.
Bagaimana kalau kita makan bersama? Aku yang
traktir.
Mia bungkam. Berani sekali dia mengajakku makan

bersama. Apa dia sudah lupa dengan perbuatannya padaku?


Apa tidak ada yang memberitahunya kalau aku sudah
menikah? Mia merutuk sebal. Tetapi, tunggu dulu. Bukankah
tadi aku sudah memutuskan untuk mencoba menghilangkan
rasa benci padanya.

Arman bisa menangkap kesan tidak suka di wajah Mia.


Tidak apa apa kalau kau tidak mau. Mungkin kau masih
marah dan membenciku.
Mia memutar otaknya. Dia tidak mau terlihat seperti
takut berada di dekat Arman. Bisa bisa dia berpikir aku masih

menyimpan perasaan terhadapnya. Jangan sampai dia berpikir


aku masih membencinya. Mia mengangkat wajahnya dan

tersenyum tipis. Tidak. Aku sudah tidak marah lagi. Peristiwa


itu sudah lama aku lupakan. Kita mau makan di mana?
Sementara itu, jauh di lubuk hatinya, Mia berharap dia tidak
melakukan kesalahan.
Arman tersenyum cerah mendengar jawaban Mia. Kau
yang tentukan kita makan di mana.
Mia teringat janjinya dengan Alan. Mereka sepakat
bertemu di food court. Kita makan di food court saja yah.
Ayo.
Mia memilih meja yang letaknya mudah dilihat dari jalan
masuk ke food court itu.

285

Kau mau pesan apa? Aku ambilkan, kata Arman


menawarkan.
Jus jeruk saja. Aku masih kenyang.
Tanpa banyak komentar, Arman pergi memesan
minuman dan langsung membayarnya. Tidak berapa lama, dia
sudah duduk di depan Mia.
Keduanya menikmati minuman tanpa bicara sepatah
katapun. Sesekali Arman mencuri pandang pada Mia yang
sedang asyik mengaduk aduk isi gelasnya. Apakah dia masih
marah padaku? Arman ragu ragu untuk buka suara tetapi
akhirnya dia memberanikan diri. Aku harus memperbaiki

hubunganku dengannya.

Mia, aku tahu kalau aku telah berbuat salah padamu.


Aku telah melukai hatimu sedemikian dalamnya. Aku ingin kau
tahu, kalau selama ini aku tidak pernah lepas dari perasaan
bersalah. Aku benar benar menyesali perbuatanku. Karena
itu, untuk kesekian kalinya, aku ingin meminta maaf padamu,
Arman menatap Mia dengan pandangan memelas.
Mia tersenyum tipis. Kau tahu Man, aku sempat sangat
membencimu. Aku sampai memiliki niat buruk terhadapmu.
Tetapi, akhirnya aku menyadari, kalau aku tidak bisa bersikap
seperti itu seumur hidupku. Aku hanya akan menjerumuskan
diriku sendiri dalam rasa benci yang tiada ujungnya. Karena itu
kuputuskan untuk berdamai dengan perasaanku. Dan,
hasilnya, aku bisa bangkit dari keterpurukan. Aku bisa menata
hidupku yang tadinya berantakan gara gara ulahmu, ujar
Mia panjang lebar.
Mia melirik Arman yang duduk tepat di depannya. Man,
aku sudah memaafkanmu dari dulu. Aku sudah tidak benci lagi
padamu, ucapnya tulus.
Arman tersenyum cerah. Benarkah?
Mia mengangguk. Aku mengambil hikmah dari
kegagalan pernikahanku denganmu. Mungkin kita berdua tidak
ditakdirkan untuk menjadi pasangan atau bisa jadi kalau
seandainya kita menikah, mungkin aku tidak akan bisa hidup
seperti ini. Jadi, aku rasa, aku perlu berterima kasih padamu.
Berkat ulahmu, aku tumbuh menjadi orang yang lebih
dewasa.

286

Mia, aku senang mendengarnya, ucap Arman tulus.


Aku ingin menanyakan sesuatu, tetapi ini terserah padamu,
apakah kau mau atau tidak. Apakah kita bisa berteman?
Untuk sesaat Mia terlihat ragu. Namun, cepat cepat
ditepisnya perasaan itu. Aku harus melupakan masa lalu. Kalau

diingat ingat, hanya akan menimbulkan sakit hati saja. Tidak


ada salahnya kami berteman. Mungkin dari awal, memang
hubungan pertemananlah yang pantas buat kami, bukan
pernikahan. Setelah berpikir lama akhirnya Mia mengiyakan.
Tentu saja. Teman? Mia mengulurkan tangannya dan Arman
menyambutnya dengan tersenyum senang. Kemudian, mereka
tertawa lebar.
Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan Eva? Apa
berjalan lancar? pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa
bisa dicegah Mia. Dia jadi merasa malu sendiri.
Arman menarik napas. Setelah kau pergi, hubungan
kami mulai berjalan tidak mulus. Sama halnya denganku, Eva
didera perasaan bersalah yang amat sangat. Demikian pula
aku. Karena itu kami sepakat putus. Kabar terakhir yang
kudengar, dia sudah punya kekasih lagi.
Aku turut prihatin mendengarnya, kata Mia sungguh
sungguh.
Terima kasih. Tetapi saat ini, aku tidak mau lagi
mengingat apa saja yang menyangkut hubunganku
dengannya. Hubungan kami benar benar berakhir dengan
buruk. Saking buruknya, kami tidak pernah berkomunikasi
lagi, ujar Arman panjang lebar.
Dia melirik Mia yang duduk di depannya. Dalam hati,
Arman mengagumi daya tarik yang terpancar dengan jelas di
wajah Mia. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya
dan dia semakin menawan saja. Lupakan tentang aku. Kau
sendiri bagaimana? Ceritakan tentang kehidupanmu
Aku baik baik saja. Aku bekerja sebagai guru bahasa
Inggris di sebuah SMU.
Bagus sekali itu, Alan manggut manggut. Dia
memperbaiki posisi duduknya. Di dalam kepala Arman,
berkecamuk berbagai pertanyaan. Tanya atau tidak yah?

Tanya saja deh. Masa iya langsung mencak mencak kalau


aku menanyakan itu. Tidak apa apa. Supaya aku bisa lega
kalau dia sudah bahagia. Oh iya, aku tidak bermaksud
287

lancang. Apa kau sudah punya kekasih? tanya Arman hati


hati. Oh Tuhan, semoga dia tidak menghajarku untuk

pertanyaan bodoh itu.

Mia terpana. Namun, dengan cepat dia menguasai diri.


Aku sudah menikah, sahut Mia singkat.
Arman terkejut. Aku tidak tahu. Tidak ada yang
memberitahuku. Kuucapkan selamat Mia, kata Arman dengan
tulus. Kau patut bahagia.
Terima kasih.
Apa kau tahu? Beberapa bulan setelah pertemuan kita
yang terakhir, aku pindah ke Surabaya. Aku di Jakarta baru
dua bulan.
Mia manggut manggut. Tiba tiba ponsel Mia
berdering nyaring. Ternyata dari Alan.
Halo?
Mia, aku sudah di Mal Kelapa Gading. Kau ada di
mana?
Di food court.
Aku segera ke sana.
Mia menaruh kembali ponselnya ke dalam tas.
Dari suamimu yah? tanya Arman.
Iya. Kami sepakat untuk bertemu di sini.
Siapa nama suamimu?
Alan Harsono.
Wah, tidak disangka inisialku sama dengan suamimu.
Kebetulan sekali, kata Arman terkekeh.
Sementara itu, dari kejauhan Alan melihat Mia sedang
ngobrol dengan seorang pria. Mia ngobrol dengan siapa? Aku

tidak pernah melihat pria itu sebelumnya. Oh tidak, jangan


jangan itu lelaki hidung belang, terka Alan. Tapi rasanya tidak
mungkin. Mia itu kan galak sekali. Apalagi sama orang yang
tidak dikenalnya. Lebih baik aku ke sana. Kalau berdiri saja di
sini, aku tidak akan mendapatkan apa apa.. Alan mengambil
langkah seribu dan bergegas menghampiri istrinya.
Arman mendongak kaget melihat ada pria bertubuh
tegap berdiri di hadapannya. Siapa pria ini? Kenapa dia berdiri

di sini?

Mia mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. Alan!


Mia berseru. Kau sudah datang.

288

Tahulah Arman sekarang, siapa pria yang ada di


depannya. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya. Alan
menyambut uluran tangan itu dengan ragu ragu. Dia melirik
Mia dengan tatapan yang menuntut penjelasan.
Dia Arman. Dia ini temanku waktu di Medan.
Arman heran mendengar kebohongan Mia. Tetapi dia
tidak berani mengatakan yang sejujurnya. Kalau dia

berbohong pasti ada alasannya.

Hai, namaku Alan. Mia pasti sudah memberitahumu


tentang hubungan kami kan?
Arman mengangguk. Ya dia sudah memberitahuku.
Namaku Arman Rayadi.
Wah, ini pertama kalinya aku bertemu dengan teman
istriku di Jakarta. Maaf jika aku tidak terlalu mengenalmu,
habis istriku ini jarang sekali bercerita tentang teman
temannya apalagi yang pria, kata Alan sembari melirik
istrinya.
Aku ke toilet dulu, celutuk Mia salah tingkah. Dia
memundurkan kursinya, berdiri dan langsung berjalan gontai
menuju toilet.
Kedua pria yang berwajah rupawan itu mengamati Mia
dari belakang.
Jadi, apa yang dilakukan pasangan Harsono, Sabtu
sore ini di Mal Kelapa Gading? tanya Arman dengan nada
bercanda.
Alan menoleh. Apa lagi kalau bukan menikmati
kebersamaan sebagai suami istri, jawab Alan tertawa renyah.
Kalau begitu aku akan meninggalkan kalian berdua.
Aku tidak mau mengganggu kebersamaan kalian.
Tidak. Justru sebaliknya. Aku senang bertemu
denganmu. Waktu kami menikah, Mia tidak mengundang
satupun temannya dari Medan. Aku tidak tahu kenapa. Karena
itu aku senang bertemu dengan temannya. Aku ingin sekali
mengetahui banyak hal tentang masa gadis Mia.
Arman tertegun mendengar ucapan Alan barusan.

Pantas saja aku tidak tahu. Ternyata Mia tidak mengundang


satupun temannya ke acara pernikahannya.
Apa aku boleh tahu nomor teleponmu? Sesekali kita
bisa ketemuan dan ngobrol.

289

Tentu saja. Dengan senang hati, Arman mengambil


kartu namanya dari dompet dan memberikannya kepada Alan.
Sekembalinya dari toilet Mia melihat Arman dan Alan
mengobrol dengan serunya.
Asyik sekali, celutuknya ringan.
Ah kau sudah datang. Temanmu ini sangat
menyenangkan diajak bicara.
Oh ya? Mia melirik tajam. Yang dilirik jadi salah
tingkah.
Baiklah. Aku pulang dulu. Aku tidak mau mengganggu
acara kalian, Arman mohon diri.
Oke deh, kata Alan. Selamat jalan. Kalau sempat,
hubungi aku. Kita jalan bersama, ajak Alan.
Arman tersenyum. Aku benar benar senang sekali
bertemu dengan kalian. Sampai ketemu lagi, dia melambaikan
tangan sebelum benar benar menghilang di antara orang
orang yang lalu lalang.
Mia menghempaskan pantatnya ke kursi. Apa saja
yang kalian bicarakan selama aku di toilet? tanya Mia
penasaran.
Alan mengangkat bahu. Dia meraih gelas Mia dan
menghabiskan isinya dengan sekali tegukan. Tidak ada. Kami
hanya mengobrol biasa saja, jawab Alan santai.
Sebenarnya Mia merasa tidak puas dengan jawaban
Alan. Tetapi dia tidak berani bertanya karena dia khawatir itu
justru mengundang kecurigaan Alan. Semoga saja Arman tidak

mengatakan yang sebenarnya pada Alan. Semoga saja, harap


Mia.

***
Nyonya Harsono melamun sambil memandang bunga
bunga anggreknya yang tertata rapi. Sesekali dia menghela
napas pelan.
Hana yang sedang duduk di kursi taman memperhatikan
gerak gerik mamanya. Dia menangkap kalau ada yang
sedang dipikirkan mamanya. Ada apa, Ma? tanya Hana.
Kelihatannya mama memikirkan sesuatu.
Tidak ada apa apa, Nak. Mama baik baik saja.
Jangan bohong, Ma. Aku tahu benar kalau Mama
sedang memikirkan sesuatu. Katakan padaku, Ma. Mungkin
bisa aku bantu.

290

Nyonya Harsono sebenarnya merasa ragu untuk


menceritakan apa yang sedang dipikirkannya mengingat
hubungan antara Hana dan Alan yang tidak akur. Tetapi, saat
ini dia sangat membutuhkan seseorang untuk mendengarkan
isi hatinya. Nyonya Harsono menatap wajah Hana yang
dipenuhi rasa ingin tahu. Dalam hitungan detik, dia
memutuskan untuk mengeluarkan unek uneknya kepada
anak bungsunya itu.
Ini tentang abangmu, Alan. Mereka sudah menikah
lebih dari enam bulan tetapi Mama belum melihat adanya
tanda tanda kehamilan pada kakak iparmu. Lagipula Mama
heran melihat hubungan mereka. Seperti bukan suami istri
saja, ujar Nyonya Harsono.
Nyonya Harsono memperbaiki posisi duduknya supaya
lebih dekat dengan Hana. Mereka bersikap seperti sepasang
sahabat. Mama bisa melihat dari tindak tanduk mereka. Setiap
Mama bertemu dengan mereka, Mama sama sekali tidak
pernah melihat mereka berdua bersikap mesra satu sama lain.
Hal hal kecil seperti ciuman di kening atau di pipi maupun
pegangan tangan tidak pernah mereka lakukan.
Hana mengernyitkan kening mendengar ungkapan
keheranan mamanya. Sebenarnya dia tidak peduli dengan
pernikahan Alan sampai dia mendengar keluh kesah mamanya.
Dia mendadak tertarik untuk mengetahui lebih jauh.
Berbagai spekulasi berputar putar di kepala Hana. Aku

tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan pernikahan


Alan. Dia mencoba menghubungkan kejadian demi kejadian
sebelum Alan menikah.
Hana tersenyum dingin. Sepertinya aku bisa menebak

apa yang terjadi dengan pernikahan Alan. Tetapi, aku harus


menyelidikinya untuk membuktikan apakah kecurigaanku ini
benar atau tidak. Mudah mudahan saja, dugaanku ini benar
adanya. Karena, jika memang begitu, maka Alan akan jatuh
dan aku akan sangat menikmati kejatuhannya itu. Tetapi aku
tidak bisa melakukannya sendiri. Aku butuh bantuan. Hana
melirik mamanya yang masih terlihat kebingungan. Aku tahu
siapa yang akan membantuku.
Kenapa Mama tidak mencoba menyelidikinya?
Nyonya Harsono terbelalak. Tidak perlu waktu lama
buat Hana menunggu jawaban mamanya. Nyonya Harsono

291

menolak mentah mentah usulnya. Hana! Mama tidak


mungkin menyelidiki abangmu sendiri!
Hana terlihat santai menerima penolakan mamanya.
Tangannya sibuk memain mainkan rambutnya. Kalau tidak
begitu, Mama tidak akan pernah mengetahui apa yang terjadi
dalam pernikahan Mia dan Alan.
Mama tidak pernah bilang kalau Mama ingin
mengetahui masalah rumah tangga Alan karena itu bukan
urusan kita. Mama hanya mengungkapkan keheranan atas
sikap mereka. Itu saja.
Hana menatap tajam mamanya. Ma, dengan
menyelidiki Alan, kita bisa membuktikan apakah keheranan
Mama itu berdasar atau tidak.
Sekarang Nyonya Harsono termangu ragu. Dia meremas
remas tangannya.
Hana tahu dia mulai berhasil meyakinkan mamanya
untuk menyelidiki Alan. Selain itu, dengan menyelidiki Alan,
kita juga bisa membuktikan apakah dugaanku ini benar atau
tidak?
Nyonya Harsono menatap Hana dengan pandangan
tidak mengerti. Dugaan apa?
Mama, apa yang kukatakan ini mungkin akan sangat
mengejutkan. Tetapi, sebelumnya aku ingin bilang, ini baru
dugaanku saja. Nanti, Mama sendiri yang akan memutuskan,
apakah ingin membuktikan kebenarannya atau tidak?
Tidak usah bertele tele begitu. Katakan saja apa
yang ingin kau katakan.
Mama harus melupakan keinginan untuk mendapatkan
cucu dari mereka karena menurutku Mia dan Alan tidak akan
pernah punya anak.
Nyonya Harsono melotot. Hana Harsono! Apa
maksudmu bicara seperti itu? Apa kau mau menyumpahi
abangmu sendiri? bentaknya.
Jangan salah sangka, Ma. Maksudku bukan begitu. Aku
tidak menyumpahi mereka, Hana buru buru menenangkan
mamanya. Maksudku, bagaimana mereka mau punya anak,
kalau mereka tidak pernah berhubungan layaknya pasangan
suami istri. Pernikahan mereka itu hanya sandiwara Ma, Hana
berusaha meyakinkan mamanya.

292

Nyonya Harsono tercengang. Dia tahu benar kalau


selama ini, Hana selalu membuat orang orang disekitarnya
terkejut dengan perkataannya yang terus terang. Namun, buat
Nyonya Harsono, ini adalah perkataan Hana yang paling
mengejutkan. Bahkan bisa dibilang mengguncang.
Nyonya Harsono bangkit berdiri. Dia mondar mandir di
depan Hana sambil berpikir. Aku tidak boleh percaya begitu

saja. Hana tidak akur dengan Alan. Jadi bisa saja, dia
berbohong untuk menjatuhkan abangnya. Tetapi itu tidak
mungkin. Masa dia tega melakukan itu pada abang
kandungnya sendiri. Aku harus bersikap tenang.
Nyonya Harsono menarik napas dalam dalam. Dia
menoleh ke Hana yang duduk santai sambil melipat tangan.
Mama tidak percaya ucapanmu barusan. Alan dan Mia tidak
mungkin melakukan itu pada keluarga mereka sendiri.
Darimana kau punya teori seperti itu?
Aku menyimpulkan begitu setelah mendengar cerita
Mama.
Kau tidak bisa mengambil kesimpulan sendiri hanya
dengan mendengar cerita Mama.
Aku tahu itu. Karena itu, untuk membuktikannya, aku
mengajak Mama untuk menyelidikinya. Bagaimana? Mama
mau atau tidak? Hana menatap mamanya.
Nyonya Harsono termangu ragu. Aku tidak mungkin

menyelidiki putraku sendiri. Apa kata Alan kalau dia sampai


tahu? Bisa bisa dia kecewa padaku. Tetapi kalau diam saja
dan tidak melakukan apa apa, aku hanya akan menumpuk
rasa penasaran saja.

Semua terserah Mama, mau menyelidiki atau tidak.


Aku mengusulkan begini supaya Mama tidak dihantui rasa
penasaran.
Nyonya Harsono manggut manggut. Dia menimbang
nimbang usul Hana. Dia berpikir lama sekali sebelum akhirnya
memutuskan. Semoga keputusanku ini tidak salah, harapnya.
Baiklah, kita akan mencobanya. Kalau kecurigaanmu tidak
terbukti, kita tidak akan pernah mengusik pernikahan Alan dan
Mia, tegasnya.
Setuju, kata Hana sambil tersenyum puas.
***

293

Alan melihat Mia sedang mengoreksi kertas ulangan


murid muridnya di ruang kerja. Bagaimana ini? Bagaimana
cara mengatakannya kepada Mia, yah? Alan mondar mandir di
kamarnya. Aku harus berani. Masa untuk mengatakan hal
seperti ini saja takut. Alan memasuki ruang kerja tanpa suara.
Mia, panggilnya.
Mia mendongak. Kau memanggilku?

Dasar bodoh, memangnya di sini ada orang selain aku,


gumam Alan dalam hati. Iya, ada yang ingin kukatakan, Alan

menggaruk garuk kepalanya.


Apa lagi yang kau tunggu? Katakan saja, Mia
merapikan kertas kertas yang bertebaran di atas meja.
Sabtu ini Mama akan datang, suara Alan terdengar
hati hati.
Mia menoleh heran. Kukira kau mau bilang apa.
Ternyata hanya soal itu. Ya sudah, kalau mamamu mau
datang biarkan saja. Sudah sepatutnya kan seorang mertua
mengunjungi rumah menantunya.
Masalahnya dia akan datang dengan Hana dan mereka
akan menginap.
Senyum di wajah Mia lenyap seketika. Dia menatap Alan
dengan tajam sehingga suaminya itu jadi salah tingkah.
Menginap, katamu?
Iya, benar.
Kenapa kau tidak menolaknya? semburnya.
Aku sudah menolak tetapi ketika mereka menanyakan
alasannya, aku tidak bisa menjawab. Aku kan tidak mungkin
bilang kalau kita tidak punya kamar karena mereka tahu kalau
kamar di rumah kita ada dua.
Memangnya kau tidak bisa cari alasan lain. Bilang kek
kalau kita sedang kedatangan tamu. Atau kamar tamu sedang
diperbaiki, gerutu Mia sambil mondar mandir.
Mi, aku sudah mencegah mereka untuk datang ke sini.
Tetapi mereka tidak mau tahu. Mereka bilang tidak mau
mendengar penolakan. Mereka juga bersedia kok tidur di mana
saja.
Mia mendelik sebal ke Alan. Lan, kalau mereka
menginap di sini, itu berarti mamamu dan Hana akan tidur di
kamarmu dan aku akan tidur bersamamu!

294

Aku sudah menduga reaksinya akan


begini, batin Alan. Mama juga sih, ngapain sih pakai acara
nginap segala. Sama sama tinggal di Jakarta kok. Setiap hari
ketemu juga bisa. Pakai acara bawa Hana segala lagi, Alan
tidak henti - hentinya menggerutu dalam hati.
Alan bungkam.

Lan, kau dengar atau tidak?


Apa, tanya Alan bingung.
Mia tambah senewen melihat tingkah Alan. Aku tidak
mau sekamar denganmu, teriaknya sewot.
Melihat Mia yang uring uringan, Alan jadi ikutan
senewen. Memangnya kau saja? Aku juga tidak mau sekamar
denganmu! bentaknya kesal.
Mia terpana melihat Alan mengamuk. Dia memandang
Alan dengan tatapan sengit. Ya udah! Jangan marah marah
gitu dong! sergahnya.
Alan menghembuskan napas. Dia memegang kepalanya
dengan kedua tangannya. Kita harus mencari cara agar
Mama tidak menginap di sini.
Mia berpikir keras sampai keningnya berkerut kerut.
Mendadak, matanya bersinar cerah. Dia menjentikkan jarinya.
Aku tahu solusinya, suara Mia penuh semangat. Kau tinggal
di hotel saja. Lalu, aku bilang ke Mama kalau kau sedang
tugas di luar kota. Dengan begitu, Mama bisa menginap di
rumah dan kita juga tidak perlu tidur sekamar. Bagaimana?
nada suara Mia terdengar antusias.
Alan tidak bersemangat menanggapi usul istrinya. Mia,
kau lupa yah aku kerja di mana? Aku bekerja di perusahaan
milik keluarga. Kalau aku ke luar kota, keluargaku pasti tahu.
Kita bisa bilang kalau kau menghadiri pesta ulang
tahun temanmu di luar kota. Beres kan?
Ini tidak akan berhasil, gumam Alan. Dia menatap tajam
istrinya. Cukup Mia! Aku tidak mau membohongi mamaku!
tegas Alan.
Mia gusar sekali mendengar jawaban Alan. Dia menatap
Alan dengan mata berapi api. Kita memang sudah
membohonginya dengan pernikahan ini, Alan! kata Mia
dengan tidak kalah tegasnya.
Alan terdiam. Dalam hati, dia membenarkan ucapan
Mia. Pikirannya benar benar mumet sekarang. Dia berkata
dengan pelan, Aku tidak keberatan Mama menginap di sini.

295

Yang tidak kumengerti adalah kenapa Hana ikut bersamanya.


Dia kan sudah menikah dan punya rumah sendiri. Tetapi,
kenapa dia mau ikut Mama, menginap di rumah kita? Itu kan
aneh.
Aku sama sekali tidak melihat ada yang aneh, kata
Mia sambil mengangkat bahu.
Alan bungkam. Dia sibuk memutar otaknya untuk
menebak maksud kedatangan Hana ke rumahnya. Aku benar
benar cemas dengan menginapnya Hana di rumah kita.
Memangnya kenapa? Mia keheranan.
Anak itu selalu ingin tahu urusan orang. Aku curiga,
dia memiliki maksud tertentu. Aku juga yakin pasti dia yang
mempengaruhi Mama agar menginap di rumah kita.
Darimana kau punya pikiran seperti itu?
Aku tidak bisa menjelaskan padamu karena ini baru
hanya dugaan saja. Tetapi yang pasti, aku mengenal Hana
dengan sangat baik. Mungkin ini sulit dipercaya, tetapi aku
bisa menebak jalan pikirannya.
Mia tertawa geli. Dari nada suaramu, kau terdengar
yakin sekali.
Alan mendengus dingin. Terserah kau mau bilang apa.
Kalau kau tidak percaya, kau bisa membuktikannya dengan
memperhatikan tindak tanduknya selama menginap di sini.
Mia terdiam. Lalu, apa yang kita lakukan?
Alan menarik napas panjang. Dia duduk di atas sofa dan
meremas remas bantal kursi. Tidak ada yang bisa kita
lakukan. Dia menatap Mia. Sebaiknya kita bersiap siap
menghadapinya. Akhir pekan ini akan menjadi saat yang
sangat melelahkan buat kita, kata Alan dengan suara berbisik
dan hanya ditanggapi dengan wajah Mia yang tanpa ekspresi.
***
Nyonya Harsono dan Hana datang sekitar jam lima sore.
Sebelumnya, Mia dan Alan sudah sepakat untuk senantiasa
bersikap tenang di depan mamanya dan Hana. Karena itu,
nyonya Harsono dan Hana terpana ketika pasangan suami istri
itu menyambut kedatangan mereka dengan semangat empat
lima.
Sebelum mamanya dan Hana datang, Alan sudah
memindahkan barang barang pentingnya ke kamar Mia.
Mereka membuat jejak seolah olah selama ini mereka tidur

296

bersama. Karena itu, begitu memasuki kamar yang disiapkan,


nyonya Harsono dan Hana sama sekali tidak menemukan yang
mencurigakan.
Ketika sedang berdua saja dengan mamanya di kamar,
Hana kembali menguraikan rencananya untuk menyelidiki Alan
dan Mia. Nyonya Harsono terlihat agak ragu menjalankan
rencana Hana.
Han, bagaimana kalau kita mencari tahu waktu
mengobrol dengan mereka? Kita bisa mengajukan pertanyaan
pertanyaan yang sifatnya menginterogasi, usul nyonya
Harsono.
Hana mengernyitkan kening. Dia cepat cepat
menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Tidak bisa begitu
Ma. Kalau kita melakukannya, mereka akan curiga. Kalau
sudah curiga, maka mereka akan memberikan jawaban yang
penuh dengan kebohongan, sahut Hana.
Jadi kita tetap dengan rencana semula? Mengintip
mereka?
Hana mengangguk tegas. Hanya itu satu satunya
cara yang paling bagus. Kalau kita bertanya, mereka pasti
akan berbohong. Tetapi kalau kita melihat, maka mereka tidak
bisa menghindar lagi. Bagaimana, Ma? Analisaku bagus kan?
Ya, sudah. Terserah kau saja mau bagaimana. Selama
itu tidak kelewatan, mamanya buru buru mengiyakan.
Mereka melalui sore itu dengan mengobrol sambil
meminum teh manis. Setelah itu dilanjutkan dengan acara
makan malam. Mia menyajikan hidangan sayur cap cay, ayam
gulai, perkedel, udang goreng tepung dan bakwan udang.
Untuk penutupnya, dia menyajikan puding coklat.
Usai makan malam, mereka ngobrol lagi. Mia dan Alan
sangat menikmati perbincangan dengan Nyonya Harsono.
Hanya Hana yang terlihat bosan. Dia menunjukkan
ketidaktertarikkannya dengan terang terangan. Dia
memasang tampang jenuh dan sesekali menguap lebar. Alan
ingin menegurnya tetapi dia mengurungkan niatnya karena dia
sedang tidak ingin berdebat dengan Hana. Tidak ada gunanya,

pikir Alan. Seperti bicara dengan keledai.

Hana tidak tertarik dengan obrolan mamanya dengan


abangnya karena dia tidak sabar menunggu waktu tidur. Dia
ingin mengetahui bagaimana sikap Alan dan Mia selama

297

berada dalam satu kamar. Dia ingin membuktikan apakah


kecurigaannya benar atau tidak. Namun, itu tidak berlangsung
lama sampai mamanya melontarkan pertanyaan yang
mengagetkan Mia dan Alan.
Bagaimana kehidupan pernikahan kalian. Apa
semuanya berjalan dengan baik?
Apa, Ma. Ah, eh..oh.baik baik saja. Semuanya
lancar, jawab Alan terbata bata. Iya kan, Mi? Alan melirik
istrinya.
Iya, Ma. Semuanya berjalan dengan lancar, Mia
cengengesan.
Termasuk kehidupan seksual?
Mia dan Alan terbengong bengong. Pertanyaan itu
benar benar di luar dugaan mereka. Karena itu mereka tidak
siap.

Bagaimana ini? Aku tidak tahu cara menjawabnya.


Bagaimana tidak bisa, kami saja tidak pernah melakukannya.

Pikiran Mia kalut.


Ah Mama ini bagaimana sih. Masa menanyakan hal
yang sangat pribadi, Alan mengibaskan tangannya dengan
wajah memerah.
Iya nih, Ma. Kami jadi malu.
Sementara itu Hana hanya tersenyum dingin.Kenapa
kalian jadi tegang begitu? desis Hana tajam.
Kami tidak tegang. Hanya saja pertanyaan yang Mama
ajukan itu kelewat pribadi, cetus Alan dingin.
Maaf, Nak. Mama tidak bermaksud mengusik
kehidupan pribadi kalian, Nyonya Harsono mengungkapkan
penyesalannya. Dia merasa tidak enak.
Tidak apa apa kok Ma. Sekedar informasi, aku dan
Mia sangat bahagia dengan pernikahan kami. Tidak ada yang
perlu Mama khawatirkan.
Syukurlah.
Sekarang, kita membicarakan hal lain saja.
Semangat Hana untuk mengetahui rahasia Alan yang
tadinya berkobar kobar sekarang meredup. Dia kehilangan
minat dengan pembicaraan Alan, Mia dan Nyonya Harsono
yang membahas tentang hal lain.
Akhirnya saat saat yang ditunggu Hana datang juga.
Setelah lama didera rasa bosan, semangatnya bangkit kembali.

298

Ketika jam sudah menunjukkan angka sepuluh, Mia dan Alan


pamit untuk tidur. Setelah memastikan Alan dan Mia masuk ke
kamar, Hana melirik mamanya untuk meminta persetujuan
apakah mereka akan mengintip atau tidak. Mamanya terlihat
ragu untuk memberikan persetujuan. Hana gemas sekali
melihat sikap mamanya yang plin plan.
Ma, kita sudah di sini! Di rumah Alan! Masa kita
mundur? bisiknya.
Mama merasa berdosa kalau sampai memata matai
abangmu. Apa tidak ada cara lain untuk membuktikan
kecurigaanmu?
Ma, kalau ada cara lain, percayalah, kita tidak mungkin
melakukan ini! Hana berusaha meyakinkan mamanya.
Bagaimana kalau kita menanyakannya langsung pada
Alan? Mungkin dia mau berkata jujur pada kita, usul nyonya
Harsono.
Memangnya semudah itu? Ma, maling mana ada yang
mau ngaku. Mana mungkin Alan akan berkata jujur. Dia pasti
membantahnya, ujar Hana kesal. Kalau Mama tidak mau
melakukannya, aku yang akan bertindak sendiri, tegas Hana.
Dia meninggalkan mamanya di kamar.
Tiba tiba, mamanya memanggilnya. Mama ikut.
Tetapi ingat, kalau dugaan kita salah, kita tidak akan pernah
melakukan hal seperti ini lagi.
Aku janji Ma, kata Hana singkat.
Mereka berjalan tanpa suara melintasi lorong rumah itu
menuju kamar Mia. Mereka berjingkat jingkat di depan pintu
kamar. Hana membungkuk dan mengintip melalui lobang
kunci.
Dari lubang itu, Hana hanya bisa melihat Mia yang
sedang duduk di atas tempat tidur. Aku tidak melihat Alan.

Padahal tadi mereka masuk bersama. Ke mana dia?

Apa yang kau lihat? tanya mamanya dengan nada


tidak sabar.
Aku tidak melihat Alan, cetus Hana.
Hana tidak melihat Alan karena dia sedang duduk di
kursi belajar Mia. Dia sedang melihat internet dengan
menggunakan komputer istrinya. Mia sendiri sedang sibuk
dengan kertas kertas ulangan murid muridnya. Mereka

299

tidak menyadari ada sepasang mata yang sedang mengintai


dari lubang kunci.
Selama lima menit, Hana mengintip namun tidak ada
hal yang mencurigakan. Hana sedang mengintip di lobang
kunci ketika pintu kamar dibuka oleh Alan. Hana mundur ke
belakang karena saking kagetnya. Begitu juga Nyonya
Harsono. Mulutnya sampai ternganga.
Alan juga tidak kalah terkejutnya. Cepat cepat dia
keluar dan langsung menutup pintu. Dia tidak mau kalau Mia
sampai mengetahui ulah Hana. Bukannya takut Mia marah.
Hanya saja, Alan merasa malu kalau Mia mengetahui kalau
adik dan mamanya sedang mengintip mereka.
Ke kamar! Sekarang! desisnya tajam sambil berkacak
pinggang. Tanpa banyak bicara mamanya dan Hana menuruti
perintah Alan.
Alan menatap mamanya dan Hana tajam secara
bergantian. Nyonya Harsono tidak berani mengangkat wajah.
Dia merasa sangat malu dengan ulahnya barusan. Namun,
tidak demikian Hana. Dia menantang Alan dengan tatapannya
yang dingin.
Apa kalian sedang memata matai aku dan Mia?
suara Alan sedingin es.
Nyonya Harsono memberikan isyarat pada Hana untuk
diam. Dia memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini
sendirian dan Hana tidak perlu ikut campur. Nyonya Harsono
menatap putranya yang tampan itu dengan sorot penuh
penyesalan. Kenapa kau mempunyai pikiran seperti itu, Nak?
Jangan menanyakan kenapa aku mempunyai pikiran
seperti itu. Apa bukti yang baru kulihat belum cukup? cetus
Alan. Ma, aku memergoki Hana sedang mengintip dari lubang
kunci pintu kamarku. Mama ada di sana dan melihatnya.
Tetapi Mama tidak melakukan apapun untuk mencegah Hana.
Itu berarti Mama terlibat, papar Alan.
Alan menarik napas dalam dalam. Dia duduk di tepi
ranjang. Kalian sudah cukup mengagetkanku dan Mia dengan
datang dan menginap di sini. Aku juga baru menyadari, selama
kita berbicara tadi, Mama seperti menginterogasi kami. Dan
puncaknya, kalian mengintip kamar kami. Alan melirik
mamanya dengan sorot mata kecewa. Apalagi namanya itu
kalau bukan memata matai?

300

Lan, kami tahu kau marah. Tetapi jangan bicara seperti


itu pada Mama. Kasihan Mama, lontar Hana marah.
Maafkan aku Ma, jika omonganku menyakiti hati
Mama. Aku kelewat emosi, sesal Alan.
Tidak Nak. Kau tidak perlu meminta maaf. Mama yang
salah. Mama tidak tahu kenapa Mama melakukan perbuatan
itu. Seharusnya Mama yang meminta maaf karena telah
bersikap tidak sopan di rumahmu.
Hana mendelik sebal. Sudah kuduga akan seperti ini.

Mama kelewat lembek. Baru begitu saja sudah merasa


bersalah. Aku harus bertindak.

Kami memang memata mataimu, celutuk Hana

dingin.

Spontan Alan dan mamanya menoleh heran.


Aku yang mengusulkan pada mama agar memata
mataimu, lanjut Hana lagi tanpa mempedulikan reaksi Alan
dan mamanya.
Hana! bentak mamanya marah.
Hana tidak menggubris teriakan mamanya. Dengan
nada dingin, dia melanjutkan, Kami memata mataimu
karena banyak yang ingin kami ketahui tentang pernikahan
kalian. Kami ingin tahu apakah kalian benar benar saling
mencintai? Kenapa sikap kalian seperti bukan pasangan suami
istri? Dan kenapa kalian belum memiliki anak?
Wajah Alan memerah. Napasnya tersengal sengal
karena menahan emosi. Belum pernah ia merasa semarah ini.
Aku tidak boleh terpancing. Aku harus bersikap tenang.
Lan, seru mamanya cemas.
Mati matian Alan meredam emosinya. Mama tidak
perlu khawatir. Aku bisa mengatasi ini, sahut Alan tenang.
Dia berjalan mendekati Hana sampai jarak mereka
hanya sekitar sepuluh senti. Aku tahu hubungan kita tidak
akur. Aku juga tahu kalau kau membenciku. Tetapi itu bukan
semacam pembenaran kau berhak bersikap seperti ini padaku
dan Mia. Apapun dugaanmu tentang pernikahanku dan Mia,
aku tidak peduli. Tetapi satu hal yang kupinta darimu, selama
kau berada di rumahku, aku ingin kau menghormati privasiku
dan Mia. Bersikaplah sebagai tamu yang baik, ujar Alan tajam.
Hana ingin membantah, tetapi dia mengurungkan
niatnya setelah melihat isyarat dari mamanya. Mamanya

301

menggelengkan kepala tanda meminta Hana untuk tidak


memperpanjang masalah lagi.
Oh iya, aku akan memberitahukan sesuatu padamu.
Kuakui, aku dan Mia memang jarang bersikap mesra layaknya
pasangan suami istri di depan orang lain. Kami bukan tipe
pasangan yang senang mengumbar kemesraan di depan
umum. Kami menyimpannya untuk kami sendiri. Karena itu
aku ingin kau camkan ini baik baik di kepalamu. Aku sangat
bahagia dengan pernikahanku, tegas Alan. Mengenai
masalah anak. Ada orang yang sudah menikah sepuluh tahun
tetapi belum memiliki anak. Apalagi kami yang baru menikah
enam bulan. Apa kau mengerti maksudku?
Mendengar ucapan Alan barusan, Hana tidak sanggup
berkata kata lagi. Mulutnya bungkam. Belum pernah ia
melihat Alan semarah ini. Diam diam, dia merasa takut juga
melihat sikap Alan.
Ada apa ini? tiba tiba saja Mia sudah berada di
pintu kamar. Apa kalian sedang membicarakan sesuatu dan
aku tidak boleh mengetahuinya?
Tidak sayang, Alan tersenyum. Aku hanya ingin
memastikan kalau Mama dan Hana merasa betah, ujar Alan.
Bagaimana Ma? Apa Mama betah?
Mertua Mia tersenyum lembut dan mengangguk. Tidak
ada satupun hal yang membuat kami merasa tidak betah di
rumahmu, Nak. Mama dan Hana merasa sangat nyaman
berada di rumah kalian, kata mertuanya sungguh sungguh.
Mia menoleh ke Hana untuk meminta pendapatnya.
Dengan gaya yang salah tingkah Hana mengangguk. Iya Mi.
Rumahmu ini sangat nyaman.
Mia tersenyum lega. Syukurlah kalau begitu. Tetapi
kalau kalian membutuhkan sesuatu, jangan sungkan. Bilang
saja. Dengan senang hati aku akan membantu sebisaku.
Hana tersenyum, Terima kasih kakak ipar.
Ayo kita tidur Mia, Alan menarik tangan istrinya.
Mia tersenyum malu. Kami tidur dulu. Selamat malam.
Selamat malam, balas Hana dan mamanya
berbarengan.
Nyonya Harsono melirik Hana yang duduk termangu.
Dia menghela napas. Mama tidak akan menyelidiki Alan lagi.
Mama merasa malu setiap mengingat kejadian tadi. Bukan

302

hanya itu, Mama juga merasa malu karena telah mencurigai


anak Mama sendiri. Apa yang kita lihat sudah lebih dari cukup.
Mereka pasangan yang bahagia. Kalau mereka belum punya
anak, mungkin belum saatnya.
Hana tidak menanggapi perkataan mamanya. Dia sibuk
sendiri dengan piikirannya. Untuk saat ini aku tidak bisa

berbuat apa apa. Kali ini pasangan suami istri konyol itu bisa
berkelit. Tetapi lihat saja nanti. Aku pasti bisa mengungkap
rahasia pernikahan mereka.

303

BAB 16
Hari Sabtu itu cuaca sangat panas. Mia paling benci
cuaca seperti ini. Emosinya biasanya mudah sekali terpancing
karena cuaca panas. Karena itu Mia malas keluar dan memilih
menghabiskan waktu seharian dengan berada di rumah.
Dia mengisi waktu dengan duduk menonton dvd serial
korea.
Mi, kita main golf yuk, ajak Alan.
Mia melotot. Panas panas begini, mau main golf?
Memangnya kenapa?
Apa kau tidak tahu kalau kelamaan berada di bawah
cuaca panas, kita bisa sakit.
Kita kan bisa pakai topi atau payung, sahut Alan
santai.
Nggak mau ah. Kau saja yang pergi.
Aku enggak mau pergi sendiri. Ayo dong, Mi. Temani
aku. Nanti aku traktir deh, rayu Alan.
Mia bersikukuh menolak ajakan Alan. Tetapi suaminya
itu tidak mudah putus asa. Dia terus merayu Mia, sampai
istrinya itu bosan mendengar ocehannya.
Ya sudah, aku temani, bentak Mia kesal.
Karena pergi dengan terpaksa walhasil sepanjang
perjalanan Mia memasang muka cemberut.
Alan hanya tersenyum geli melihat tingkah istrinya itu.
Jangan cemberut gitu dong Mia, mukamu bisa cepat tua,
goda Alan.
Apa pedulimu kalau mukaku tua?
Ya, terang aja aku peduli. Kau kan istriku, goda Alan.
Itukan katamu, balas Mia sambil meleletkan lidahnya.

304

Sepanjang perjalanan sepasang suami istri itu saling


mengejek. Tanpa terasa, akhirnya mereka sampai di padang
golf Rawamangun. Alan langsung mengeluarkan peralatan
golfnya dan menuju ke lapangan. Mia hanya mengekor di
belakangnya.
Mia tidak pernah bermain golf. Tetapi dia sama sekali
tidak tertarik ketika Alan menawarkan untuk mencobanya.
Olahraga macam apa itu? Memukul sekali, jalan
ratusan meter. Begitu saja terus sampai bolanya masuk.
Membosankan dan buang buang waktu saja, katanya ketus.
Alan hanya tertawa geli mendengar ucapan bernada sewot
yang dilontarkan istrinya itu.
Jangan berkata seperti itu tentang golf. Ini olahraga
elite loh.
Mau elite kek, mau enggak kek. Aku tidak peduli. Aku
tidak melihat ada manfaat dari bermain golf. Mendingan juga
main catur. Otak kita jadi terasah, gumamnya cuek.
Alan mendelik sebal mendengar salah satu olahraga
favoritnya dibilang tidak bermanfaat. Kata siapa golf tidak
bermanfaat? Saat kita bermain golf, kita bisa menghilangkan
stres. Kita juga sehat karena banyak berjalan. Daripada catur.
Olahraga apa yang cuma duduk doang, kata Alan setengah
mengejek.
Mia melotot. Jangan menghina catur yah! tegas Mia.
Kuberitahu kau, catur itu adalah permainan untuk orang yang
cerdas. Dengan bermain catur kita bisa mengasah otak kita,
Mia membela olahraga kesayangannya itu. Sejak kecil, dia
memang suka sekali bermain catur.
Kalau pingin sehat, kau bisa lari keliling komplek rumah
kita. Lebih murah. Daripada datang jauh jauh ke sini. Buang
buang uang dan bensin saja, tambahnya lagi.
Ah sudahlah. Aku malas berdebat denganmu. Tidak
ada habisnya. Lebih baik kau berdiri dengan manis dan lihat
bagaimana aku bermain.
Mia menuruti ucapan Alan sambil menggerutu. Dia
mengamati Alan yang sedang bermain golf sambil mengipas
ngipas. Karena matahari bersinar dengan teriknya, sebentar
sebentar Mia melap keningnya dengan saputangan. Dia juga
bisa merasakan kalau bajunya mulai basah. Seperti yang
terjadi selama ini, emosi Mia mulai meninggi karena suhu

305

panas. Dia mulai menghentak hentakkan kakinya di atas


tanah. Itu pertanda kalau dia sudah mulai kesal.
Namun, Mia tidak mau menuruti emosinya. Dia
berusaha mengendalikan diri sebisa mungkin. Dia memilih
duduk di atas rumput sambil memperhatikan Alan bermain
golf.
Dari kejauhan, Alan melihat tindak tanduk istrinya. Dia
tersenyum tipis melihat Mia yang duduk santai di atas rumput.
Semakin tinggi matahari, udara semakin panas.
Demikian pula emosi Mia. Ibarat pengukur suhu ruangan,
sudah melewati batas normal. Sebenarnya Alan mau main

sampai jam berapa sih? Apa dia tidak tahu kalau kulitku mulai
gosong gara gara menunggu dia. Mia mengamati Alan dari

jarak jauh. Habis sudah kesabarannya setelah tidak melihat


tanda tanda Alan akan berhenti main golf. Dia bangkit berdiri
dan berjalan seperti prajurit yang hendak maju ke medan
perang.
Alan baru mau mengayunkankan stik golfnya ketika dia
mendengar suara teriakan. Dia menoleh. Betapa kagetnya dia
ketika melihat Mia sedang berjalan ke arahnya dengan wajah
merah padam.
Ada apa, Mi? tanya Alan heran. Apa ada yang
mengganggumu? tanyanya cemas.
Sebenarnya kau main sampai jam berapa sih? Aku
sudah kepanasan banget nih, protes Mia.
Sabar ya, Mi. Sebentar lagi juga selesai kok. Tinggal
sembilan lubang lagi yang harus kuselesaikan, sahut Alan.
Mia melotot. Apa? Sembilan lubang katamu? Lebih baik
kau main golf saja sendiri! Aku mau pulang! Mia memutar
badannya dan berjalan seperti orang kesetanan. Alan
mengejar dan memanggil namanya. Tetapi, Mia tidak
menghiraukannya. Dia terus saja berjalan melintasi padang
golf itu.
Mia baru berhenti, setelah Alan berhasil menyusulnya.
Alan berdiri di depannya sambil ngos ngosan.
Cepat sekali jalanmu, kata Alan sambil terengah
engah.
Apa maumu?
Jangan pulang dulu, Mi. Setidaknya tunggu aku sampai
selesai, Alan memohon.

306

Lan, apa kau tidak bisa melihat cuaca saat ini? Aku
sudah tidak kuat lagi. Panas sekali, Lan.
Aku tahu. Bagaimana kalau kau tunggu di cafetaria
saja sementara aku bermain? Dengan begitu, kau tidak
kepanasan saat menungguku, usul Alan.
Mia baru mau membuka mulut saat dia mendengar
suara yang tidak asing lagi.
Apa kalian tidak menyadari kalau sedang jadi pusat
perhatian?
Alan dan Mia berbarengan menoleh ke arah sumber
suara. Ternyata itu Helen. Dia berdiri sambil tersenyum geli.
Helen! Apa yang kau lakukan di sini? cetus Mia dan
Alan berbarengan. Mereka sangat terkejut melihat kehadiran
Helen.
Tadinya aku ke sini mau bermain golf bersama dengan
teman temnanku. Apa daya, mereka jadi lebih tertarik
mendengar pertengkaran pasangan suami istri daripada
bermain golf, celoteh Helen.
Alan dan Mia melihat kesekelilingnya. Mereka baru
mengetahui kalau orang banyak sedang melihat ke arah
mereka. Pasangan suami istri itu jadi salah tingkah. Mereka
melemparkan senyum kecil tanda permintaan maaf.
Perasaan kami tidak melakukan sesuatu yang menarik
perhatian, celutuk Mia heran.
Itukan katamu, Mi. Yang pasti suara kalian saat
bertengkar kedengaran sampai ke mana mana. Sejak
kedatangan ke tempat ini, kalian adalah pasangan yang paling
menarik perhatian, ujar Helen.
Wajah Mia dan Alan merah padam karena saking
malunya. Helen bisa melihat itu. Tetapi dia tidak mau berhenti
bicara. Dia ingin memberi pelajaran pada pasangan muda itu,
supaya lain kali hal memalukan seperti ini tidak terulang lagi.
Aku tahu apa saja yang kalian perdebatkan dari tadi.
Kalian berdebat tentang golf, catur dan cuaca panas. Kalian
sudah menikah, tetapi tingkah kalian seperti anak kecil,
kecam Helen.
Mia dan Alan tidak berani menatap Helen. Kepala
mereka menunduk seperti orang yang sedang duduk di
pengadilan sebagai tertuduh. Helen jadi tidak tega melihatnya.

307

Aku minta maaf jika ucapanku barusan menyinggung


perasaan kalian, kata Helen.
Mia mendongak. Tidak perlu minta maaf. Aku tahu
maksudmu baik. Aku juga sadar kalau tingkah kami ini
kelewatan. Tidak seharusnya kami bersikap seperti itu di
tempat umum, Mia mengakui kesalahannya.
Mia benar, Alan ikut angkat bicara. Kami berdua
bersikap keterlaluan. Ini tidak akan terulang lagi, janjinya.
Helen tersenyum. Aku lega mendengarnya.
Kalau begitu, kami pulang dulu, cetus Alan.
Kenapa? tanya Helen heran.
Iya. Kenapa? Bukankah kau masih ingin bermain? Mia
ikut ikutan bertanya. Kalau kau mau main, ya main saja.
Aku akan menunggumu sampai selesai, tambahnya lagi.
Kalau keadaannya sudah begini, aku sudah tidak betah
lagi bermain, aku Alan.
Ngapain mesti malu? Cuek aja lagi. Anggap saja tidak
ada siapapun di sini, kata Helen.
Aku tidak bisa bersikap seperti itu, Kak. Lagipula Mia
sudah sangat kepanasan. Kakak tidak bisa melihat wajahnya
sampai merah merah begitu. Tubuhnya juga banjir keringat,
Alan menganggukkan kepalanya ke arah Mia.
Helen menoleh ke Mia. Dia baru sadar apa yang
dikatakan Alan. Mia berdiri di sampingnya dengan wajah
merah merah dan kening berkeringaht. Bajunya juga basah.
Kalian tidak usah menghiraukan aku. Aku bisa tahan
kok. Aku akan menunggumu di cafetaria, kata Mia sungguh
sungguh.
Apa kau yakin? Alan keheranan.
Mia mengangguk kuat kuat.
Ayo, aku antar kau ke cafetaria, Alan menarik tangan
istrinya.
Dari belakang, Helen mengamati pasangan suami istri
itu dengan tersenyum geli. Sungguh aneh. Mereka adalah

sepasang sahabat yang menikah karena rasa solidaritas. Tetapi


kadang kadang sikap mereka satu sama lain jauh lebih tulus
daripada pasangan yang menikah karena cinta. Dan mereka
melakukannya tanpa sadar. Benar benar pasangan yang
nyentrik.
***

308

Keesokan harinya Alan merasa ada yang aneh dengan


tubuhnya. Badannya pegal, tenggorokannya sakit dan
kepalanya pusing. Dia memutuskan untuk berobat dengan
ditemani Mia. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan kalau dia
terserang gejala flu. Dia diminta untuk beristirahat barang
sehari atau dua hari.
Sesampainya di rumah, Alan mendadak kedinginan. Mia
membantu Alan berbaring di ranjangnya. Seharusnya kau
dengar apa kataku, Sabtu kemarin.
Memangnya kau bilang apa?
Kalau cuaca panas, sebaiknya jangan bermain golf. Kita
bisa sakit.
Mi, yang namanya penyakit, kapan saja bisa datang.
Tapikita kan bisa mencegahnya, sahut Mia saat
menutupi Alan dengan selimut. Kau berbaring saja dulu,
sementara aku menyiapkan makan siangmu supaya kau bisa
minum obat.
Terima kasih, kata Alan singkat.
Keesokan pagi, sebelum pergi, Mia menyiapkan segala
sesuatu yang diperlukan Alan. Dia ingin memastikan suaminya
itu tidak kekurangan apa apa selama kepergiannya. Tadinya
Mia ingin ijin dari tempat kerjanya karena dia khawatir
meninggalkan Alan sendirian. Pikirannya berubah setelah Alan
menggodanya.
Aku tidak tahu kalau kau sangat peduli padaku.
Memangnya siapa yang peduli padamu? tanya Mia
dengan nada sewot. Kalau aku mau, aku bisa
meninggalkanmu sendirian tanpa menyiapkan makanan dan
obatmu. Tetapi kalau keluargamu tahu aku bersikap seperti
itu, aku bisa bisa diceramahi. Aku tidak mau itu terjadi,
tegas Mia. Lagipula, aku tidak mau menjadi satu satunya
orang yang mencari nafkah di rumah ini, cetusnya galak.
Alan hanya tersenyum geli mendengar ucapan Mia.
Iya, aku tahu. Lebih baik kau pergi. Aku tidak mau kau
terlambat gara gara aku.
Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik baik. Ingat, kalau
terjadi sesuatu, kau langsung telepon aku, pesan Mia sebelum
meninggalkan rumah.
Setelah Mia pergi bekerja, Alan memutuskan untuk
berbaring di atas tempat tidur karena sakit kepalanya semakin

309

menjadi jadi. Dia juga merasakan tubuhnya menggigil. Dia


menutupi tubuhnya dengan selimut tebal.
Alan tidak tahu tertidur berapa lama. Dia melirik jam
yang terletak di samping tempat tidurnya. Baru jam sepuluh
pagi. Alan tidak bangkit dari tempat tidur walaupun kepalanya
tidak sesakit tadi. Dia memilih untuk tidur tiduran saja di atas
ranjang. Namun, lama kelamaan Alan merasa bosan juga.
Dia bangkit dari tempat tidurnya dan mencoba untuk
menonton televisi. Dia langsung mematikan benda itu, begitu
melihat tidak ada acara yang menarik. Dia menggerutu sendiri
karena merasa bosan.
Dia membongkar koleksi majalahnya. Semua sudah
kubaca. Alan melihat pintu kamar Mia yang tertutup. Aku
membaca novel Mia saja. Mungkin ada yang menarik. Alan
membuka pintu kamar itu. Rapi seperti biasa, gumamnya. Dia
melihat buku buku yang berjejer rapi di rak. Alan melihatnya
satu persatu. Pilihan Alan jatuh pada novel Sidney Sheldon
yang berjudul Sands of Time.
Dia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang Mia.
Alan meringis kesakitan karena merasa tubuhnya menimpa
benda keras yang terletak di bawah selimut Mia. Dia membuka
selimut itu untuk melihat benda apa yang telah menyakitinya.
Ternyata itu buku harian Mia. Alan tertegun.
Alan mengambil buku itu. Dia menimang nimang buku
itu. Tebal sekali, gumam Alan saat memegang buku itu. Dia
sedang berpikir apa yang akan dilakukan terhadap buku itu.
Menyimpannya atau membacanya. Aku tidak boleh

membacanya. Ini adalah milik pribadi Mia dan aku harus


menghormatinya.

Namun, rasa penasaran dalam diri Alan terlalu kuat.


Alan tidak sanggup melawannya. Sedikit saja, tidak ada

salahnya. Toh, Mia tidak tahu kalau aku membacanya.


Lagipula salahnya sendiri kalau aku sampai membaca buku
hariannya. Lha wong, dia tidak pernah terbuka padaku tentang
masa lalunya.

Alan membuka lembar demi lembar buku harian yang


berisi catatan perjalanan hidup istrinya dengan hati berdebar
debar. Berbagai ekspresi tergambar jelas di wajah Alan saat
membaca buku harian itu. Kadang dia tersenyum, tertawa,

310

cemberut dan terkejut. Tanpa sadar dia terhanyut dibuat


bacaan yang terlarang itu.
Semua tulisan yang ada di buku harian itu selalu diberi
tanggal dan hari. Namun, ada lembar tertentu yang sangat
menarik perhatian Alan. Lembar itu tidak dibubuhi hari, tanggal
dan tahun sebagaimana lembar yang lain.
Alan membacanya dengan rasa ingin tahu yang
memuncak. Mendadak wajahnya berubah menjadi pucat dan
tegang saat membaca kalimat demi kalimat yang terdapat di
lembar itu. Rahangnya mengeras. Mulutnya terkatup rapat. Dia
membuka lembar berikutnya dengan tangan yang gemetaran.
Ternyata lembar yang tidak diberi hari, tanggal dan
tahun itu adalah bagian paling akhir dari buku harian itu.
Tadinya Alan mengira dia bisa mengetahui ungkapan isi hati
Mia tentang pernikahannya di buku harian itu tetapi dia tidak
mendapatkannya. Alan tidak tahu kalau Mia mempunyai dua
buku harian. Istrinya itu menyimpan buku hariannya di tempat
yang sangat tersembunyi.
Alan menutup buku harian itu dengan perasaan kalut.
Dia duduk dengan pandangan menerawang di atas tempat
tidur Mia. Dia jadi tidak ingat dengan sakit yang dideritanya.
Dia menaruh buku itu sama dengan letaknya semula,
yakni di bawah tempat tidur. Pelan pelan, Alan merapikan
tempat tidur itu seperti tidak pernah ditiduri. Dia juga menaruh
novel yang diambilnya dari rak buku ke posisinya semula.
Setelah memastikan semua isi kamar itu sama persis waktu
ditinggalkan Mia, Alan keluar dari kamar itu. Dia berjalan ke
kamarnya sendiri dengan lesu.
Alan duduk di kursi kerjanya. Dia menyandarkan
kepalanya dan sesekali menghela napas panjang. Masih segar
dalam ingatannya setiap tulisan yang ada di buku harian Mia.
Dia melihat ke arah laci mejanya. Dengan setengah enggan dia
menarik laci itu. Di dalamnya tersusun rapi kartu nama. Alan
sempat tertegun. Dengan sigap diraihnya tumpukan kartu
nama itu dan mulai melihatnya satu per satu. Dia baru
berhenti pada kartu nama yang kesepuluh.
Dia melihat nama dan alamat yang tertera di kartu itu.
Selesai membaca, Alan memutar mutar kartu itu dengan
jarinya. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, dia
langsung bangkit dari kursi. Dia menarik handuknya dari

311

hapstok dan pergi ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri,


dia berpakaian dengan rapi. Dia juga mengenakan jaket yang
agak tebal. Setelah mematut diri di kaca, Alan mengambil
kunci mobil dan bergegas pergi. Dia memacu mobilnya dalam
kecepatan seratus kilometer per jam.
Sementara itu, di sekolah, Mia menutup ponselnya
dengan kecewa. Dia bertanya tanya kenapa Alan tidak
kunjung mengangkat telepon. Ponselnya juga tidak aktif.
Mungkin dia sedang tidur. Mia menghibur dirinya sendiri. Tapi,

setahuku, senyenyak nyenyaknya Alan tidur, dia selalu bisa


bangun dengan cepat kalau mendengar suara. Terlebih lagi
suara telepon. Jangan jangan terjadi sesuatu, Mia mulai

berpikir yang tidak tidak. Mia dikejutkan dengan suara bel


yang berdering nyaring. Itu tandanya waktu istirahat sudah
selesai. Mia harus mengajar. Sebelum dia pergi mengajar, Mia
menyempatkan diri mengirimkan pesan singkat ke Alan yang
isinya menanyakan keadaan Alan.
***
Alan akhirnya sampai di tempat yang ditujunya. Setelah
memarkirkan mobil, dia berjalan menuju lobby. Alan celingak
celinguk sebentar sebelum akhirnya menuju meja resepsionis.
Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu? tanya
resepsionis yang bertugas dengan ramah.
Siang. Saya ingin bertemu dengan Arman Rayadi.
Apa sudah ada janji?
Belum.
Kalau begitu, maaf Pak. Anda tidak bisa bertemu
dengannya. Anda harus membuat janji terlebih dahulu.
Tidak bisakah kamu meneleponnya. Katakan saja
suami temannya sewaktu di Medan ingin bertemu. Namanya
Alan Harsono. Tolonglah, soalnya ada urusan yang sangat
penting yang ingin saya bicarakan dengan Arman, bujuk Alan.
Ia tidak lupa memberikan senyumnya yang paling menawan.
Senyum itu sudah terbukti ampuh meluluhkan hati banyak
wanita kecuali istrinya sendiri.
Resepsionis itu luluh setelah melihat senyuman Alan.
Mana tega aku menolak permintaan dari pria setampan ini.
Tunggu sebentar. Akan saya tanya sekretarisnya terlebih
dahulu. Alan mengucapkan terima kasih. Dalam hati dia
berdoa agar Arman mau menemuinya.

312

Anda boleh naik, Pak. Langsung saja naik ke lantai


tiga. Sekretarisnya menunggu anda di sana.
Terima kasih banyak. Anda baik sekali, puji Alan.
Sebelum dia berlalu, dia memberikan hadiah senyuman untuk
resepsionis itu.
Resepsionis itu benar. Begitu sampai di lantai tiga, Alan
langsung disambut sekretarisnya Arman. Alan sampai terheran
heran sendiri.
Darimana anda tahu kalau saya Alan?
Sebelumnya resepsionis itu sudah memberitahu ciri
ciri anda, kata sekretaris Arman yang bernama Rani dengan
ramah.
Alan manggut manggut mendengarnya. Rani
mempersilakan Alan menunggu di ruangan Arman. Alan duduk
di kursi di depan meja kerja Arman. Dia melipat tangannya
sambil melihat seisi ruangan itu.
Tidak berapa lama, Arman memasuki ruangan. Alan,
senang bertemu denganmu. Ini benar benar kejutan. Aku
kira kau sudah lupa padaku karena kau sama sekali tidak
pernah menghubungiku, celoteh Arman. Dia bersalaman
dengan Alan. Arman duduk di kursi kerjanya.
Aku tidak menghubungimu karena aku sibuk sekali.
Pekerjaanku banyak, kilah Alan.
Sekarang kau berada di kantorku. Apa kau sedang
cuti?
Aku terkena flu. Kau bisa lihat sendiri. Wajahku agak
kuyu dan suaraku agak mindeng. Jadi hari ini aku ijin dari
tempat kerjaku.
Kau sedang sakit. Bukannya beristirahat tetapi malah
datang ke sini. Pasti kau ingin membicarakan sesuatu yang
penting. Apa dugaanku benar?
Alan mengangguk. Kau benar. Aku datang ke sini
karena ada yang ingin kutanyakan padamu.
Kau kan bisa menanyakan lewat telepon atau
setidaknya kau cukup memintaku datang ke rumahmu. Kita
juga bisa bertemu setelah kau sembuh dari sakitmu. Dari yang
kulihat, sepertinya kau butuh istirahat.
Aku tahu itu. Tetapi ini tidak bisa ditunda. Kalau
dibiarkan, aku akan tersiksa dengan rasa penasaran selama
berhari hari.

313

Arman keheranan. Baiklah. Apa sebenarnya yang ingin


kau tanyakan?
Apa sebenarnya hubunganmu dengan Mia?
Jantung Arman nyaris copot mendengar pertanyaan
dari Alan. Dia sempat tertegun mendengar pertanyaan Alan.
Dia ragu ragu untuk menjawab. Kau kan sudah dengar
sendiri waktu itu dari mulut Mia dan aku kalau kami ini
berteman, jawab Arman sekenanya.
Alan menatap dingin. Kau tidak mengatakan yang
sebenarnya karena dilarang Mia kan?
Mengatakan apa?
Tidak perlu berpura pura begitu, Man. Katakan saja
yang sebenarnya.
Lan, aku benar benar tidak mengerti apa
maksudmu.
Alan jadi kesal melihat tingkah Arman. Sebenarnya dia
ini benar benar tidak tahu atau berpura pura sih, pikir Alan.
Kau dan Mia bukanlah teman seperti yang kalian katakan
waktu itu. Kalian berdua pernah bertunangan dan hampir
menikah. Kalian tidak jadi menikah karena kau meninggalkan
Mia demi perempuan lain. Apa ucapanku ini benar? tanya Alan
dengan nada tajam.
Arman pucat. Wajahnya berubah menjadi seputih
kapas. Jantungnya berdetak dengan sangat kuat sampai
sampai Arman mengira jantungnya akan meloncat keluar. Dia
berusaha menenangkan dirinya. Jadi, Mia sudah mengatakan
yang sebenarnya padamu? tanya Arman dengan suara yang
dibuat setenang mungkin.
Mia tidak mengatakan apa apa, sahut Alan ketus.
Siapa yang memberitahumu? Jangan katakan kalau
kau menebaknya karena aku tidak akan percaya.
Itu tidak penting. Katakan saja padaku, kenapa kau
merahasiakan ini dariku? Apa Mia yang melarangmu?
Arman menghela napas. Dia tahu kalau dia tidak bisa
menghindar. Sebenarnya aku ingin memberitahumu di
pertemuan pertama kita. Tetapi Mia memberi isyarat agar aku
tidak mengatakan apa apa. Jujur saja, aku tidak tahu kenapa
dia merahasiakan ini darimu.
Alan tidak bersuara. Dia sibuk menata pikirannya yang
kalut.

314

Aku benar benar heran. Bagaimana mungkin kau


menikah dengan Mia tanpa mengetahui hal ini? Bukankah di
antara pasangan yang menikah tidak ada rahasia? cetus
Arman.
Alan memandang Arman dengan tatapan dingin. Apa
kau sedang mengejekku?
Aku sama sekali tidak bermaksud mengejekmu. Aku
hanya mengungkapkan keherananku, sahut Arman cepat.
Alan dongkol setengah mati mendengar ucapan Arman.
Namun, jauh di lubuk hatinya, dia membenarkan ucapan
mantan tunangan istrinya itu. Alan bangkit dari kursi dan
mencondongkan tubuhnya hingga berdekatan dengan Arman
yang duduk di depannya. Aku sudah mengetahui semua yang
kau lakukan pada Mia di masa lalu. Kalau aku jadi kau, aku
tidak akan berani menampakkan diri di hadapannya. Bisa
bisanya kau berbincang akrab setelah apa yang kau lakukan
padanya. Apa kau tidak punya rasa malu sedikitpun? Mungkin
dia sudah memaafkanmu, tetapi kau tidak bisa menghapus
peristiwa itu dari ingatannya. Luka yang kau buat akan
membekas selamanya. Tidak akan pernah hilang.
Apa kau cemburu padaku, Lan? Karena ucapanmu
barusan lebih cocok dibilang ungkapan kecemburuan.
Aku tidak cemburu padamu. Pria sepertimu tidak
pantas kucemburui. Alan bangkit dari kursinya. Sebaiknya
aku pergi dari sini. Berada di ruangan ini bersama denganmu
hanya akan membuat sakitku tambah parah.
Sebelum meraih handel pintu, Alan berkata, Kau tahu
sesuatu, Arman? Mia itu wanita yang sangat menakjubkan. Dia
benar benar tipe istri yang ideal. Aku seharusnya berterima
kasih padamu karena telah meninggalkannya di gereja. Berkat
ulahmu itu, aku jadi bertemu dan menikah dengan Mia. Alan
tersenyum lebar dan meninggalkan Arman yang termangu di
ruangannya.
Alan tidak langsung pulang ke rumah. Dia memilih pergi
ke pantai Ancol untuk menenangkan diri. Dia tidak
menghiraukan suhu tubuhnya yang mulai meninggi. Kepalanya
juga mulai terasa berat. Tapi dia tidak peduli. Dia malah duduk
di bebatuan yang ada di pinggir pantai. Matanya menerawang
jauh. Dia memandangi kapal kapal yang berada di kejauhan.
Ingin rasanya Alan berteriak sekuat tenaga, namun mulutnya

315

serasa terkunci rapat. Alan duduk diam membisu di tempat itu


sampai sore dengan ditemani angin dan deburan ombak.
***
Mia mondar mandir di ruang tamu. Sebentar
sebentar dia sudah melirik jam tangannya. Dia kelimpungan
sekali ketika pulang dari sekolah tidak menemukan Alan di
rumah. Dia sudah menghubungi teman teman Alan, namun
tidak ada seorang pun yang tahu keberadaannya. Tadinya ia
ingin menanyakan mertuanya apakah Alan berada di sana atau
tidak, tetapi dia memutuskan untuk menunggu beberapa saat
lagi.
Mia terhenyak ketika mendengar suara mobil yang
sudah dikenalnya memasuki halaman. Dia bergegas membuka
pintu rumah. Mia merasa lega melihat Alan keluar dari dalam
mobil.
Lan, darimana saja kau? Sudah tahu sakit bukannya
beristirahat di rumah. Malah pergi entah ke mana. Membuat
orang cemas saja, celoteh Mia.
Mia melongo saat Alan berlalu di hadapannya tanpa
menoleh sedikitpun. Lan, kau dengar tidak ucapanku
barusan?
Alan tidak menjawab. Dia terus saja berjalan menuju
kamarnya. Dia melemparkan kunci mobil dengan seenaknya.
Mia terheran heran melihat tingkah suaminya.
Lan, kau ini kenapa sih? Pergi tanpa memberitahu,
pulang pulang, muka ditekuk seperti itu. Apa kau punya
masalah? Kalau iya, katakan padaku, mungkin aku bisa
membantumu.
Kau ingin membantuku? tanya Alan dingin.
Walaupun heran dengan nada suara Alan, Mia
mengangguk.
Baiklah. Aku akan memberitahumu. Masalahku adalah
kau, Alan menunjuk Mia.
Mia menatap tidak mengerti. Aku?
Ya. Kau! Sekarang katakan padaku, bagaimana caramu
membantuku?
Habis sudah kesabaran Mia melihat tingkah suaminya
yang tidak seperti biasanya. Sebelum aku membantumu, kau
harus membantuku terlebih dahulu. Kenapa kau bilang aku
adalah masalahmu? tuntut Mia.

316

Karena kau membohongiku! bentak Alan. Mia sampai


terperangah melihatnya.
Kapan aku membohongimu, Lan? tanyanya hati hati.
Kenapa kau tidak bilang padaku, kalau Arman itu
adalah mantan tunanganmu dan kau pernah hampir menikah
dengannya?
Mia terhenyak. Kau tahu darimana?
Aku baca dari buku harianmu, desis Alan.
Mia melotot. Apa? Berani sekali kau membaca buku
harian orang! Apa kau tidak pernah diajari untuk tidak
menyentuh barang pribadi orang lain? sembur Mia kesal.
Apa kau tidak pernah diajari untuk tidak berbohong
pada orang lain? Terlebih lagi suamimu sendiri? Alan malah
balik bertanya.
Wajah Mia merah padam.
Kau tega sekali Mia, menyembunyikan hal sepenting ini
dariku. Kau membuatku terlihat seperti orang bodoh di
hadapan mantan tunanganmu. Sejak kita bersahabat, aku
tidak pernah menyembunyikan rahasia apapun darimu, tetapi
kau justru sebaliknya. Aku bisa menerima waktu kau menolak
untuk memberitahukan rahasiamu padaku. Yang tidak bisa
kuterima adalah kebohonganmu. Pantas saja, kau tidak
mengundang satupun temanmu dari Medan. Kau takut mereka
memberitahukan apa yang terjadi padamu sewaktu di Medan,
tuding Alan.
Mia tidak bereaksi. Dia berdiri diam seperti patung.
Sekarang aku mengerti kenapa kau membohongiku. Itu
karena kau masih mencintai mantan tunanganmu yang
pengecut itu.
Aku tidak pernah mencintainya! tegas Mia.
Bohong! bentak Alan. Aku sama sepertimu Mia. Tidak
bisa menerima kebohongan.
Ya sudah kalau tidak percaya. Sudahlah, Lan. Jangan
bersikap kekanak kanakkan seperti ini.
Keluar kau dari kamarku!
Alan
Aku bilang keluar! bentak Alan.
Mia terperangah. Cepat cepat dia keluar dari kamar
itu sambil membanting pintu. Alan berbaring. Diam diam dia
menyesali sikapnya terhadap Mia tetapi dia terlalu gengsi

317

untuk mengakuinya. Lelah dengan masalah yang dihadapinya


seharian, ditambah dengan sakit yang dideritanya, Alan
tertidur pulas. Saat Alan sedang dibuai mimpi, tiba tiba pintu
kamarnya terbuka. Mia masuk tanpa suara. Dia menyelimuti
Alan. Setelah itu dia keluar dengan cara yang sama dia masuk.
***
Alan meneguk isi gelasnya sampai habis tidak bersisa.
Dia menaruh gelasnya dengan kasar. Helen menarik napas
pelan melihat sikap adiknya itu.
Sampai kapan kalian akan bersikap seperti ini?
Alan mengangkat bahunya. Tidak tahu. Mungkin bisa
selamanya.
Helen tersenyum kecut. Kalian berdua, sama saja.
Sama keras kepalanya. Kau ingin Mia minta maaf karena dia
yang bersalah karena telah membohongimu. Mia juga
berpikiran kau yang seharusnya minta maaf karena telah
berani membaca buku hariannya. Kalau begini caranya, sampai
kapanpun masalah di antara kalian tidak akan selesai.
Kakak juga bersalah, celutuk Alan.
Jangan menyalahkanku, Lan. Mana aku tahu kalau kau
ketemu dengan Arman. Kalau aku tahu, aku pasti menegur
Mia.
Alan mendengus dingin. Lalu bagaimana dengan
rahasia Mia? Seharusnya Kakak memberitahukannya padaku.
Aku tidak bisa, Lan. Mia memintaku untuk tidak
mengatakan pada siapapun.
Mia lagi, Mia lagi. Kakak selalu mendahulukannya. Apa
Kakak sudah lupa, kalau aku ini adikmu? Seharusnya aku yang
Kakak prioritaskan! tukas Alan kesal.
Helen terdiam seperti itu. Dia bisa memahami kenapa
Alan semarah itu. Aku minta maaf, Lan. Tapi percayalah, kau
akan selalu menjadi prioritasku. Kalau Mia tidak ingin
memberitahumu, pasti dia punya alasan.
Apa alasannya?
Maafkan aku, Lan. Aku tidak bisa. Aku sudah berjanji
padanya.
Alan tertawa dingin. Jangan pernah mengatakan kalau
Kakak lebih mengutamakan aku daripada dia karena aku sama
sekali tidak percaya, cetus Alan.
Lan..., kata Helen setengah memohon.

318

Aku mau kembali ke kantor. Pekerjaanku sangat


banyak. Sampai ketemu lagi, Kak, ujar Alan.
Helen hanya bisa memandangi kepergian Alan dengan
linangan airmata. Tidak sepatah kata pun yang keluar dari
mulutnya.

BAB 17

319

Sejak pertengkarannya dengan Mia, sikap Alan jadi


berubah. Dia jadi lebih sering menghabiskan waktu di kantor
daripada di rumah. Pulangnya pun jadi tidak menentu. Mia
berusaha bersabar dengan kelakuan suaminya. Dia selalu
menunggu Alan pulang dari kantor. Namun, reaksi Alan tidak
seperti yang diharapkan. Sikapnya sedingin es. Dia sama sekali
tidak peduli dengan keberadaan Mia di rumah itu. Mia kesal
sekali melihatnya tetapi dia tidak bisa berbuat apa apa.
Walaupun begitu, dia tetap setia menunggu kepulangan Alan.
Hanya saja, begitu mendengar suara mobil, dia langsung
masuk ke kamarnya. Mia tidak mau terlihat terus terusan
menunggunya. Biasanya sebelum masuk kamar, Mia sudah
menyiapkan makan malam untuk Alan di atas meja. Sejak
bertengkar hebat, mereka berdua memang tidak pernah lagi
makan bersama.
Lama kelamaan, Alan tahu kalau Mia selalu
menunggunya. Tetapi dia tidak mengatakan apa apa. Sampai
sekarang, Alan masih sakit hati dengan kebohongan Mia. Alan
sedang bersiap siap pulang ketika ponselnya berdering.
Ternyata itu dari temannya yang mengundangnya ke pesta
ulang tahun yang diadakan di diskotik. Sudah lama sekali Alan
tidak menginjakkan kaki di diskotik. Kebiasaannya berhenti
sejak bertemu dengan Mia.
Sekarang, dia mendapat undangan untuk datang ke
sana. Ada keraguan dalam diri Alan, apakah akan datang atau
tidak. Sudah lama aku tidak ke sama. Tidak ada salahnya

pergi. Sebentar saja. Lagipula, akhir akhir pikiranku suntuk


sekali. Aku butuh hiburan. Tanpa berpikir lebih panjang, Alan

memutuskan untuk memenuhi undangan temannya.


***
Alan memasuki diskotik itu dengan perasaan ragu
ragu. Matanya mencari cari sosok teman temannya.
Senyum di wajahnya mengembang saat menemukan orang
orang yang ia kenal. Dia bergegas menghampiri mereka.
Teman teman Alan terkejut melihat kehadirannya.
Alan! Ini benar benar kejutan. Aku kira kau tidak akan
datang, Toni menyambutnya dengan gembira.
Sudah lama sekali kau tidak menginjakkan kaki di
tempat ini. Kau seperti lenyap ditelan bumi saja. Ke mana saja
kau selama ini? tanya Erik.

320

Tidak ke mana mana. Aku tidak sempat punya waktu


bertemu dengan kalian karena pekerjaanku banyak sekali,
kilah Alan.
Pekerjaan apa nih? Pekerjaan kantor atau pekerjaan
rumah tangga? goda Erik.
Alan tersenyum simpul. Dua duanya.
Ceritakan pada kami, bagaimana kehidupanmu selama
ini, terlebih lagi setelah menikah, kata Toni.
Kehidupanku berjalan sebagaimana mestinya. Lancar
lancar saja. Demikian pula pernikahanku. Aku sangat
menikmatinya. Pokoknya aku bahagia dengan apa yang
kujalani saat ini, tutur Alan. Tidak terbersit sedikit pun dalam
pikirannya untuk memberitahu teman temannya, masalah
rumah tangganya.
Kami senang mendengarnya. Tetapi, bagaimana
keadaan istrimu? Kenapa kau tidak mengajaknya ke sini?
Istriku baik baik saja. Aku tidak mengajaknya karena
dia sedang banyak pekerjaan. Lagipula aku langsung dari
kantor. Tetapi aku sudah memberitahunya kalau aku di sini,
dusta Alan.
Sayang sekali, padahal aku ingin mengenal istrimu
lebih dekat. Soalnya, aku hanya sekali bertemu dengan
istrimu. Itupun pada saat pernikahan saja. Aku lebih sering
mendengar kau bercerita tentang dia. Cobalah sekali sekali
ajak istrimu ke sini atau setidaknya ke tempat tempat kita
biasa ngumpul.
Kalau dia punya waktu akan kuajak dia ke sini. Kalian
berdoa saja semoga dia setuju karena yang kutahu dia tidak
terlalu suka dengan tempat seperti ini. Istriku itu tipe
perempuan yang suka dengan ketenangan.
Wah, beda sekali dong denganmu, celutuk Indra,
teman Alan yang berbadan super kurus. Orang sering mengira
dia itu pecandu narkoba padahal tidak.
Iya, kami memang berbeda. Sangat berbeda, gumam
Alan menerawang.
Alan, seorang wanita menjerit histeris. Spontan Alan
dan teman temannya menoleh ke belakang. Ternyata yang
memanggilnya adalah Sonia, salah satu mantan kekasihnya
yang memiliki wajah dan postur tubuh bak model. Sonia
menghampiri Alan bersama dengan teman temannya.

321

Hai Sonia, sapa Alan.


Hai juga, Alan, balas Sonia dengan genit. Dia
mencondongkan tubuhnya dan hendak mencium pipi Alan.
Namun, dengan gerakan yang halus. Alan menolak.
Sonia tersenyum tipis. Hanya ciuman di pipi saja kok
Lan, sungutnya dengan gaya manja.
Alan mengacungkan jari manisnya yang dihiasi cincin
yang terbuat dari emas putih. Aku ini pria yang sudah
menikah. Jadi, entah itu di pipi, bibir atau bagian tubuhku yang
lain, aku tidak bisa menerimanya. Tubuhku ini hanya milik
istriku seorang.
Sejak kapan kau menjadi pria yang setia. Seingatku
kau tidak pernah tahan dengan satu wanita saja.
Aku begini sejak bertemu dengan istriku. Jadi, tolong
kau hormati prinsipku yang sekarang.
Sonia tersenyum genit. Kau benar benar sudah
berubah sekarang. Aku jadi semakin menyukaimu. Lan, kalau
misalnya pernikahanmu bermasalah, aku tidak keberatan
menemanimu, cetus Sonia terus terang.
Terima kasih atas tawaranmu. Tetapi, pernikahanku
saat ini baik baik saja. Tetapikalaupun pernikahanku
sedang bermasalah, aku tidak akan pernah memilih perceraian
sebagai solusi, tegas Alan.
Semua teman Alan yang ada di situ terperangah.
Istrimu pasti wanita yang hebat sekali. Dia bisa
merubahmu menjadi seperti ini, cetus Erik kagum.
Sonia blingsatan mendengar ucapan Alan. Tidak ada
manusia yang sempurna di dunia ini. Aku yakin istrinya pasti
mempunyai kekurangan. Lalu apa yang kau lakukan di tempat
ini? Aku juga tidak melihat istrimu.
Aku ke sini karena aku sedang ingin. Apa kau
keberatan?
Walaupun cuma berpacaran sebentar, Sonia tahu benar
ciri ciri sikap Alan kalau sedang marah. Saat ini, karena
pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkannya, dia bisa
melihat dengan jelas, kalau emosi Alan mulai tinggi. Aku tidak
keberatan kau ke sini. Hanya saja, aku benar benar tidak
menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini. Aku
kira kau tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di sini.
Apalagi, setelah mendengar kau sudah menikah. Kau tega

322

sekali tidak mengundangku, Sonia mengoceh dengan


suaranya yang serak serak basah.
Alan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Maafkan
aku. Tetapi sebenarnya, aku memang tidak mengundang
mantan mantan kekasihku ke pesta pernikahanku. Aku
khawatir mereka akan membuat onar, kata Alan.
Sonia mencibir. Dia merapatkan kursinya sampai dekat
sekali dengan Alan. Siapa nama istrimu? Apa pekerjaannya?
Apa aku mengenalnya? tanya Sonia bernada selidik.
Yang pasti kau tidak mengenalnya. Istriku itu namanya
Miana dan dia seorang guru.
Istrimu seorang guru?
Alan mengangguk.
Sonia menatap Alan dengan raut wajah tidak percaya.
Tiba tiba tawa Sonia meledak.
Alan terheran heran melihatnya. Kenapa kau
tertawa? tanya Alan. Dia tersinggung melihat reaksi Sonia.
Apa seleramu terhadap wanita sudah mengalami
penurunan, sampai sampai kau melabuhkan hatimu pada
seorang guru?
Memangnya kenapa kalau aku menikah dengan
seorang guru? Itu adalah profesi yang mulia, sahut Alan
datar.
Masalahnya, Lan, apa kau sudah lupa dengan
pekerjaan wanita wanita yang pernah kau kencani. Ada
model, humas, desainer dan editor mode. Pokoknya semua
wanita yang kau kencani adalah potret wanita masa kini.
Kenapa sekarang seleramu jadi berubah begitu?
Karena aku mencintainya, tegas Alan sehingga tawa
geli yang menghias wajah Sonia dan teman temannya lenyap
seketika. Aku sangat mencintai istriku. Melebihi apapun yang
ada di dunia ini. Dia membuatku menemukan kebahagiaan
yang sesungguhnya. Dia membuatku sadar akan arti hidup.
Apa ucapanku barusan sudah cukup untuk menjelaskan
kenapa seleraku berubah? tanya Alan dengan nada tajam.
Orang orang yang disekelilingnya terdiam. Maafkan
aku, Lan. Aku tidak bermaksud membuatmu marah, kata
Sonia hati hati.
Erik dan yang lainnya merasa tidak nyaman dengan
situasi saat itu. Perasaan senang karena kehadiran Sonia dan

323

teman temannya yang cantik menjadi berkurang. Suasana


yang tadinya menyenangkan berubah menjadi tegang. Dan itu
disebabkan ulah Sonia yang menyinggung profesi Mia.
Alan menarik napas dalam dalam. Sebenarnya dia
kesal sekali mendengar Sonia melecehkan istrinya. Walaupun
dia masih marah pada Mia, tetapi Alan merasa memiliki
kewajiban untuk membela kehormatan istrinya. Namun, Alan
memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah. Aku

datang ke sini untuk menghilangkan beban yang


menghimpitku akhir akhir ini. Tidak akan kubiarkan masalah
ini merusaknya. Maafmu diterima. Tetapi jangan pernah kau

ulangi lagi, tegas Alan.


Sonia tersenyum lalu mengangguk. Erik merangkul
mereka berdua. Lupakan apa yang baru terjadi. Malam ini kita
bersenang senang, pekiknya. Semua orang yang ada
disekitarnya ikut berteriak kesenangan. Dengan cepat, Alan
terhanyut dengan suasana. Dia sama sekali tidak ingat dengan
istrinya yang berada di rumah.
***
Mia duduk termenung di kamarnya. Pikirannya dipenuhi
berbagai pertanyaan kenapa suaminya belum pulang juga
padahal jam sudah menunjukkan angka satu. Mia ingin
menghubungi ponsel Alan, tetapi ia merasa gengsi. Mia
mencoba mengisi waktu dengan membaca novel yang baru
dibelinya, namun dia tidak bisa konsentrasi. Pikirannya selalu
tertuju ke Alan.
Mia jadi kesal sendiri. Dia membanting novel yang
sedang dibacanya ke lantai. Aku tidak bisa membiarkan

hubungan kami seperti ini. Salah seorang harus mengalah dan


orang itu adalah aku. Apa boleh buat? Daripada selamanya
begini terus. Siapa yang tahan?

Dari dalam kamarnya, Mia bisa mendengar suara mobil


di halaman rumah. Suka atau tidak, malam ini, aku dan Alan
harus menjernihkan semua permasalahan kami. Mia
memutuskan untuk menunggu sejenak di kamarnya.
Ketika Alan membuka pintu, dia bisa melihat rumah
dalam keadaan gelap karena semua lampu telah dipadamkan.
Alan berjalan menuju dapur. Dia mengambil botol berisi air
dingin. Alan meneguknya sampai habis. Dia tidak menyadari
Mia sudah berdiri di belakangnya.

324

Alan memutar badannya. Hampir saja gelas yang ada


ditangannya terjatuh karena saking terkejutnya melihat Mia
berdiri di hadapannya. Ini kesekian kalinya, Mia mengagetkan
Alan di dapur.
Apa kau tahu kalau jantungku tadi hampir copot
karena kaget? bentak Alan.
Mia tidak menggubris reaksi suaminya. Dia malah balik
bertanya. Dari mana saja kau? Apa kau tahu ini jam berapa?
Alan mendengus dingin. Memangnya apa pedulimu?
Aku dari mana dan pulang jam berapa, itu bukan urusanmu.
Tentu saja ini urusanku! Kau membuatku terlihat
seperti orang tolol karena setiap malam selalu menunggumu.
Apa kau tidak pernah memikirkan bagaimana cemasnya aku
karena kau tidak pernah memberitahuku pergi ke mana? Apa
kau tidak tahu bagaimana takutnya aku kalau kau pulang
terlambat? Apa kau tidak tahu, kalau aku tidak bisa tidur
nyenyak setiap malam, gara gara memikirkanmu yang tidak
kunjung pulang juga, sembur Mia.
Aku tidak pernah memintamu untuk menungguku,
sahut Alan cuek.
Mia geram sekali, Alan sama sekali tidak menghargai
niat baiknya. Kepalanya serasa mau meledak karena saking
marahnya. Dia mengepalkan tangannya. Jadi dia mau cari ribut
denganku. Baik. Kau akan mendapatkannya. Mia mendekat ke
Alan. Mendengar ucapanmu barusan, ingin rasanya aku
menamparmu, maki Mia.
Ya sudah, tampar saja. Nih, Alan menyodorkan pipi
kanannya
Apa yang dialami Alan berikutnya benar benar di luar
dugaan. Mia bukannya menampar tetapi meninjunya hingga
jatuh. Saking syoknya, Alan sampai tidak bisa berbicara. Dia
melotot ke Mia dengan mulut terbuka lebar. Pipinya memerah
akibat bekas pukulan kuat yang diberikan Mia kepadanya.
Bagaimana?
Enak
tidak?
Makanya
jangan
menantangku! Aku tidak pernah main main dengan
ucapanku!
Alan menelan ludahnya sendiri. Dia bangkit berdiri.
Berani sekali kau meninjuku! Ini namanya kekerasan dalam
rumah tangga! bentak Alan.

325

Makanya jangan membuatku marah! Apa tidak ada


yang pernah bilang padamu, kalau wanita yang sedang marah
bisa melakukan apa saja?
Alan tidak menjawab. Dia mendengus dingin.
Sementara itu, Mia mengambil kantung plastik kecil dan
mengisinya dengan es batu. Lalu, dia menyodorkannya ke
Alan. Taruh di pipimu. Mungkin rasa sakitnya bisa hilang.
Alan menerimanya tanpa banyak bicara. Tetapi
wajahnya masih cemberut.
Aku mau tidur. Bicara denganmu benar benar
membuatku lelah. Rasanya umurku bertambah sepuluh tahun
hanya dalam semalam gara gara tingkahmu ini. Selamat
malam, Mia meninggalkan Alan sendirian di dapur.
Alan tidak membalas ucapan selamat malam dari
istrinya. Dia duduk di meja makan sambil menaruh kantung
berisi es batu di pipinya. Sialan, pipiku sakit sekali. Untuk

ukuran perempuan, pukulannya benar benar kuat. Wajar


saja, dia kan karateka. Aku benar benar tidak percaya dia
berani meninjuku. Jangan jangan dia selalu begitu kalau
kelewat marah. Mengerikan. Bisa bisanya aku jatuh cinta
dengan perempuan yang gampang naik darah sepertinya.
Tetapikalau sedang tidak marah, dia kelihatan manis
sekali. Cumakalau sedang emosi, dia seperti banteng yang
mengamuk saja. Hmm, Alan memegang dagunya sambil
berpikir. Aku juga sih yang salah, makanya dia naik darah
dan meninjuku. Sikapku padanya benar benar keterlaluan.
Tetapi dia juga salah. Kalau dari awal dia berkata jujur,
hubungan kami tidak akan seperti ini.
Alan berjalan ke kamarnya dengan tubuh lunglai. Baik
Alan maupun Mia, malam itu tidur dengan pulas. Mereka sama
sama lelah karena tenaga mereka terkuras karena
pertengkaran barusan.
***
Mereka berdua makan tanpa suara karena keduanya
terlalu gengsi untuk memulai percakapan satu sama lain.
Sesekali, mereka saling curi curi pandang satu sama lain.
Alan merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Akhirnya
setelah membulatkan tekad dan mengumpulkan keberanian,
Alan memutuskan untuk bicara duluan. Namun, sebelum dia
buka mulut, Mia sudah bicara duluan.

326

Bagaimana pipimu? Apa masih sakit?


Masih, jawab Alan singkat. .
Tentang kejadian semalam. Mia menggantung
ucapannya.
Lupakan saja. Aku tidak ingin membahasnya.
Aku hanya ingin minta maaf karena telah meninjumu.
Aku kelewat emosi.
Ya, aku bisa mengerti kenapa kau melakukannya.
Sikapku padamu keterlaluan. Tetapi seperti yang kubilang
barusan. Lupakan saja. Anggap tidak pernah terjadi.
Terima kasih, kata Mia pelan.
Oh ya, hampir saja aku lupa. Papa meminta kita
datang ke rumahnya malam ini.
Memangnya kenapa dia menyuruh kita datang ke
sana? tanya Mia heran.
Alan mengangkat bahunya. Mana aku tahu. Sepertinya
sih ada rapat keluarga. Nanti, begitu selesai mengajar, kau
datang saja ke sini. Kita berangkat bersama.
Aku bisa, dari sekolah langsung ke sana. Jadi, kita
bertemu di sana saja. Bagaimana? usul Mia.
Alan mendelik. Aku sih mau saja. Tetapi, bagaimana
reaksi orangtuaku kalau melihat kita datang terpisah? Bisa
bisa mereka berpikir yang tidak tidak, omel Alan.
Ya sudah, kita lakukan seperti yang kau mau. Jangan
marah marah seperti itu. Telingaku sakit mendengar
suaramu yang cempreng.
Sejak merasa dibohongi Mia, emosi Alan jadi gampang
terpancing. Dia melotot kesal. Kau ini! Kalau sedang tidak
marah, pasti berbohong atau mengejek. Apa kau tidak punya
sifat yang lebih baik lagi.
Mia mendengus. Aku punya banyak sifat yang baik.
Hanya saja kau tidak pernah menyadarinya. Yang selalu kau
lihat selalu saja kejelekanku.
Itu tidak benar, Alan membantahnya.
Sudah kuduga, kau akan membantahnya. Tetapi, aku
tidak mau bertengkar denganmu pagi pagi begini. Nanti aku
tidak konsentrasi mengajar. Sekarang, lebih baik aku pergi
kerja saja. Kita bertemu nanti sore di kantormu. Aku pergi
dulu.

327

Sementara tangannya menyuapkan makanan ke dalam


mulutnya, pikiran Alan melayang ke mana mana. Dia bilang,
aku hanya melihat kejelekannya. Huh, yang benar saja. Alan
melirik jam tangannya. Astaga, sudah jam segini. Aku harus
pergi. Alan cepat cepat membereskan meja makan. Setelah
itu dia menyambar tas kantornya dan bergegas pergi menuju
kantornya.
***
Ini kesekian kalinya, Mia menyambangi Alan di
kantornya. Begitu sampai di lantai di mana ruangan Alan
berada, Mia langsung menuju toilet. Dia tidak mau terlihat
anak buah Alan dalam keadaan berantakan. Setelah merapikan
diri, baru dia menuju ke ruangan Alan. Dia sempat bertemu
dengan bawahan Alan dan semuanya selalu memberi hormat.
Berbeda sekali saat dia datang ke tempat ini pertama kalinya.
Semua orang memandangnya dengan tatapan aneh seolah
olah dia ini salah satu wanita yang dikencani Alan. Padahal
kedatangannya waktu itu karena dia punya janji dengan Alan.
Tepat di depan ruangan Alan, Mia berpapasan dengan
Sarah, sekretarisnya yang genit. Mia pertama kali bertemu
dengannya saat dia datang ke ruangan ini untuk memarahi
Alan karena melupakan janjinya. Waktu itu dia memergoki
Sarah sedang bergenit genit ria dengan Alan. Ternyata Alan
masih memperkerjakannya. Mia melemparkan senyum manis
dan Sarah membalasnya dengan sedikit kikuk.
Aku datang untuk menemui suamiku. Kami janji pergi
bersama ke rumah orangtuanya. Apa dia ada di ruangannya?
Sarah menggeleng. Dia sedang rapat.
Kalau begitu aku akan menunggu dia di ruangannya,
Mia meraih handel pintu.
Tunggu sebentar,
teriakan Sarah menghentikan
langkahnya.
Mia menoleh heran, Ada apa? Apa kau keberatan?
Bukan begitu, kata Sarah cepat. Saya hanya ingin
tahu, apakah Nyonya Harsono membutuhkan sesuatu.
Tidak terima kasih, tolak Mia halus. Aku tidak
membutuhkan apa apa. Kalaupun iya, aku akan bilang. Kau
tenang saja.
Kalau begitu saya mohon diri. Saya masih banyak
pekerjaan.

328

Silakan saja.
Sarah menuju mejanya sambil menggerutu. Apa sih

yang dilihat bos dari wanita seperti itu? Sudah penampilannya


yang kolot ditambah wajahnya yang biasa biasa saja. Aku
saja jauh lebih cantik dari dirinya. Kenapa bukan aku yang
dijadikan istri?

Mia masuk ke ruangan Alan dan duduk di sofa yang


khusus disediakan untuk tamu. Dia melirik jam tangannya.

Baru jam empat sore. Alan baru keluar jam lima. Aku
kecepatan satu jam. Apa yang harus kulakukan untuk mengisi
waktu? Mia celingak celinguk. Tidak ada barang yang bisa
dibaca. Mia menarik napas pelan. Dia mulai terkantuk

kantuk. Mia pun duduk bersandar sambil memejamkan mata


dan melipat tangannya. Tidak berapa lama dia tertidur.
Pintu terbuka dan Alan memasuki ruangan. Dia terkejut
melihat Mia yang sedang duduk di sofa. Ah, kau sudah datang
rupanya, kata Alan sambil menaruh map yang dibawanya di
atas meja.
Sepi. Tidak ada jawaban. Alan menoreh heran untuk
melihat kenapa Mia tidak menjawab pertanyaannya. Dia
mendekati istrinya yang sedang duduk. Dia tersenyum geli.
Terang saja dia tidak menjawab. Ternyata dia tidur.
Alan berjingkat jingkat mendekati istrinya. Dia
membungkuk dan mendekatkan bibirnya ke telinga Mia. Tiba
tiba Alan menjerit, Mia!!! Bangun!!!
Mia tersentak dari tidurnya. Matanya mengerjap
ngerjap. Masih dengan mata yang merah, dia melihat kiri
kanan mencari siapa yang baru membangunkannya. Matanya
terhenti pada sosok Alan yang sedang tertawa terbahak
bahak. Tahulah dia, kalau suaminya baru saja berbuat iseng.
Dia memasang muka cemberut.
Aku kan sudah bilang berapa kali. Jangan pasang muka
cemberut seperti itu. Selain wajahmu bisa cepat tua, kau juga
kelihatan jelek, kata Alan terus terang.
Mia mendengus sebal. Selalu saja, kalimat itu yang

keluar dari mulutnya kalau aku sedang marah. Apa dia tidak
punya kalimat yang lain, Mia menggerutu dalam hati.
Sudah jam lima lewat. Sebaiknya kita berangkat
sekarang.

329

Mia melirik jam tangannya. Jadi aku tertidur selama


satu jam. Tetapi tunggu dulu. Dia menatap Alan dengan
pandangan curiga.
Kenapa kau memandangku seperti itu?
Sudah berapa lama kau melihatku tidur?
Aku mengerti sekarang. Jangan khawatir, Mi. Aku tidak
menyentuhmu. Begitu aku masuk ruangan ini dan melihatmu
tidur, aku langsung membangunkanmu. Jadi aku sama sekali
tidak punya waktu untuk menyentuhmu.
Mia hanya mencibir.
Alan membuka pintunya. Sekarang, apa kita sudah bisa
pergi?
Tanpa banyak bicara, Mia berjalan keluar dengan
diiringi Alan. Mereka sempat saling pamitan dengan bawahan
Alan yang masih ada di situ. Kemudian mereka berjalan
beriringan hingga masuk ke dalam lift.
Apa kau tahu kenapa Papa mengadakan rapat
keluarga?
Mungkin dia sudah tahu rahasia kita, jawab Alan
sekenanya.
Mendadak Mia dipenuhi rasa cemas. Apa kau serius?
Alan hanya terkekeh. Tentu saja tidak. Jujur saja, Mia.
Aku tidak tahu kenapa Papa mengadakan rapat keluarga.
Bagaimana kalau ternyata rahasia kita terbongkar,
Lan? Karena kita tidak kunjung punya anak, Papa curiga dan
mencari tahu.
Alan jadi teringat peristiwa mamanya dan Hana yang
mencurigainya. Dia tidak pernah mau memberitahukan hal itu
pada Mia. Dia melakukannya karena dia tidak mau istrinya itu
cemas.
Mendadak Alan seperti mengingat sesuatu. Aku baru

sadar, kalau apa yang kulakukan ini sama dengan apa yang
dilakukan Mia. Aku merahasiakan kecurigaan Mama padanya.
Dia merahasiakan hubungannya dengan Arman dimasa lalu
dariku. Aku melakukannya dengan maksud baik. Mungkinkah
Mia juga begitu. Kalau benar begitu, tidak sepantasnya aku
marah padanya. Berbohong untuk kebaikan tidak ada
salahnya. Alan diliputi perasaan menyesal.
Lan, kau dengar atau tidak ucapanku barusan? tanya
Mia gemas.

330

Ahehtentu saja aku dengar, Alan terbata - bata.


Kalau mereka sudah tahu, kita tidak punya pilihan selain
kabur dari rumah orangtuaku dan segera meninggalkan kota
ini, jawab Alan.
Pasangan suami istri itu sama sama diliputi perasaan
tegang karena memikirkan apa yang akan dialami mereka
sebentar lagi.
***
Mia dan Alan menjalani makan malam itu dengan
perasaan tidak karuan. Jantung mereka berdetak dengan
keras. Seluruh anggota keluarga Harsono ada di situ. Adi dan
Ari beserta istri mereka, Helen dan Hana beserta suaminya,
Perry. Karena saking tegangnya, Mia dan Alan jadi tidak bisa
menikmati makanan yang dihidangkan. Lidah mereka seperti
mati rasa.
Alan melirik Mama dan Papanya yang menikmati
makanan mereka dengan sangat tenang. Aku tidak bisa terus

begini. Bisa bisa aku pingsan karena saking tegangnya dan


penasaran. Aku harus mencari tahu kenapa mama dan Papa
ingin mengadakan rapat keluarga.

Kenapa Papa mengadakan rapat keluarga? tanya Alan


nekat. Mia hampir tersedak dibuat ulah suaminya itu.
Kita akan membicarakannya seusai makan malam,
kata papanya.
Aku tidak bisa menunggu sampai makan malam
selesai, Pa. Aku harus tahu sekarang, kalau tidak, aku tidak
bisa menikmati makan malam ini, kata Alan terus terang.
Apa rapat ini ada hubungannya dengan aku dan Mia?
pertanyaan itu meluncur tanpa bisa dicegah. Memang
begitulah sifatnya. Adakalanya karena tidak kuat menanggung
rasa penasaran, Alan sering bertindak nekat.
Seluruh anggota keluarga Harsono kecuali Mia dan Alan
menatap kebingungan. Kenapa, kau bicara seperti itu? Rapat
ini sama sekali tidak ada hubungannya denganmu dan Mia,
kata papanya heran.
Alan dan Mia menarik napas lega berbarengan.
Rapat ini diadakan atas permintaanku, Lan, Perry,
suami Hana angkat suara. Perry sudah tiga tahun menikah
dengan Hana. Perry adalah teman kuliah Hana. Mereka
bertemu dan saling jatuh cinta sewaktu masih kuliah. Perry

331

memiliki wajah yang ramah. Sorot matanya teduh dan


hidungnya mancung. Karena wajahnya itu pulalah, Hana
sampai tergila gila padanya dan mengejarnya.
Hana sangat terkejut mendengar ucapan suaminya. Dia
terheran heran karena sejak berangkat dari rumah, Perry
tidak mengatakan apa apa. Kenapa kau tidak
memberitahukanku kalau kau yang meminta diadakan rapat
keluarga? Hana menuntut penjelasan.
Apa kau sedang menghadapi masalah, Perry? tanya
Helen.
Aku ingin bercerai dari Hana, ujar Perry singkat.
Suasana makan malam yang tadinya ramai dengan
suara garpu dan sendok yang beradu dengan piring, menjadi
hening. Wajah Hana merah padam karena malu. Dia tidak
menyangka Perry akan mempermalukannya di depan
keluarganya dengan cara seperti ini. Kenapa dia melakukan
ini? Setahuku pernikahanku tidak ada masalah. Hana ingin
berteriak meminta penjelasan dari Perry tetapi mulutnya
seperti terkunci. Dia diam seperti patung. Dia menelan ludah
berkali kali.
Kenapa kau ingin bercerai dariku? tanya Hana dengan
suara tercekat.
Kami ingin mendengar penjelasan darimu sekarang
juga, Perry, kata Tuan Harsono. Sebenarnya dia merasa syok
mendengar keinginan Perry, tetapi dia tidak mau bertindak
gegabah. Dia berusaha tenang menghadapi masalah ini.
Aku ingin bercerai karena aku sudah tidak tahan lagi
dengan perilakunya. Sikapnya yang sombong, angkuh, terlalu
mementingkan diri sendiri dan ingin tahu urusan orang tidak
bisa kutolerir lagi. Terlebih lagi, sikapnya yang tidak pernah
menganggapku sebagai suaminya.
Pasangan Harsono terperangah. Wajah mereka diliputi
rasa tidak percaya. Seburuk itukah sifat putriku, Tuan Harsono

bertanya tanya dalam hati.

Hana sendiri terlihat sangat syok mendengar suaminya


membeberkan keburukannya di depan keluarganya. Mukanya
yang tadi merah padam kini berubah menjadi seputih kapas.
Hana tahu betul apa yang dikatakan suaminya adalah benar.
Selama ini,dia memang menjalani pernikahannya dengan sifat
seperti itu. Dalam diri Hana ada keyakinan, Perry terlalu

332

mencintainya jadi dia tidak akan menceraikan Hana karena


sifatnya itu. Namun, sekarang kenyataan berkata lain. Perry
mengumumkan keinginannya untuk bercerai di depan keluarga
Hana.
Kau jangan terlalu emosi, Perry. Kalau memang benar
sifat putriku seperti itu, kau kan bisa memintanya untuk
merubahnya. Dengan demikian, pernikahan kalian bisa
diselamatkan, Tuan Harsono memberi nasihat.
Kalau aku bisa menasihatinya dan merubah prilakunya,
pasti akan kulakukan, Pa. Masalahnya, sifat Hana terlalu keras.
Dia tidak pernah mendengar ucapanku sedikitpun. Yang dia
mau, hanya perkataannya saja yang didengarkan. Papa,
pernikahan tidak bisa dijalani kalau hanya satu orang saja
yang berhak mengeluarkan pendapat, ujar Perry panjang
lebar.
Aku tahu ini cepat atau lambat akan terjadi, celutuk
Alan.
Semua yang ada di situ serempak menoleh ke arahnya.
Kenapa kau bicara seperti itu, Lan? tanya Ari dengan
penasaran.
Aku mendukung penuh niatmu untuk bercerai dari
Hana, Perry. Aku juga akan bertindak sama kalau berada di
posisimu. Aku bisa mengerti dengan apa yang kau alami
selama menikah dengannya. Aku sangat menyesal orang
sebaik kau mendapatkan istri seperti Hana, kata Alan sungguh
sungguh.
Alan! Hana berteriak dengan penuh kemarahan. Tega
sekali kau bicara seperti itu tentang adikmu sendiri.
Seharusnya kau mendukungku! Membelaku!
Mia terbengong bengong melihat tingkah Alan. Dia
memandang suaminya dengan tatapan meminta penjelasan.

Ya ampun, dia pasti kesambet makanya bicara tanpa berpikir


dulu.

Jangan berteriak padaku! Aku hanya mencoba bersikap


jujur. Kalau aku jadi kau, aku akan mengakui segala
keburukanku dan berusaha untuk merubahnya. Tetapi dari
yang aku lihat kau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk
melakukannya.
Kau bicara seolah olah kau ini orang suci, desis
Hana tajam. Dia memandang Alan dengan penuh kebencian.

333

Aku akui aku bukan orang yang baik. Dulu aku seorang
playboy, suka bertengkar dengan orangtua dan bersikap tidak
dewasa. Tetapi itu dulu, Alan menekan suaranya. Sekarang,
aku sudah berubah dan itu sebagian berkat istriku. Kau lihat
sendiri kan, pasangan hidup juga bisa berperan membuat kita
menjadi orang yang lebih baik. Tetapi, sepertinya kau tidak
tahu hal itu karena kau terlalu sibuk dengan dirimu sendiri.
Kau. mendadak ucapan Alan terhenti. Ternyata Mia sedang
meremas tangannya. Dia menggelengkan kepalanya sebagai
isyarat agar Alan berhenti bicara. Alan terpaksa menuruti
keinginan Mia. Terlebih lagi setelah dia menyadari seluruh
keluarganya sedang menatapnya tanpa berkedip. Tetapi itu
hanya untuk sesaat. Tidak berapa lama, Alan melanjutkan
perkataannya. Kalau aku jadi dia, mungkin aku juga akan
melakukan hal yang sama. Kau tahu Hana? Sifatmu itu buruk
sekali. Aku memang playboy dan kekanak kanakkan, tetapi
setidaknya aku bukan orang menyebalkan sepertimu.
Alan, sudah hentikan, Mia memegang tangan Alan.
Mia, kau diam saja. Mama dan Papa ingin mendengar
pendapatku dan aku sudah menyampaikannya. Mereka harus
tahu, bukan aku saja yang tidak bisa bersikap dewasa di
keluarga ini, tetapi juga anak perempuan kesayangan mereka
ini! Aku sudah selesai, Alan melap mulutnya dan
melemparkan serbet.
Maafkan dia. Mungkin dia sedang ada masalah
makanya kelewat emosi. Aku akan bicara dengannya, kata
Mia dengan suara pelan.
Mia menarik napas pelan. Dia menyesali suasana makan
malam yang tadinya berlangsung lancar berubah menjadi
ajang pertengkaran. Parahnya lagi, suaminya ikut ambil bagian
membuat makan malam ini menjadi berantakan. Atas nama
Alan, aku minta maaf. Aku tidak tahu mengapa dia bersikap
seperti itu. Aku akan bicara dengannya, kata Mia lagi lagi
dengan suara pelan.
Kau tidak perlu membujuknya Mia, Adi anak tertua
angkat suara. Apa yang dikatakan Alan, ada benarnya juga.
Karena kelewat dimanjakan, Hana tumbuh menjadi gadis yang
egois. Sebenarnya kami sudah lama mengetahui ini, hanya
saja kami memilih menutup mata dan telinga. Hanya Alan yang
tidak bersikap demikian. Jadi kami bisa memaklumi sikapnya

334

ini. Sekarang pulanglah, dia sudah menunggumu. Biar kami


mengatasi masalah ini.
Baiklah. Aku pulang dulu, Mia pamit pada seluruh
anggota keluarga termasuk Hana. Selamat malam.
Hati hati di jalan, Nak, kata Tuan Harsono. Mia
mengangguk lalu berjalan tergopoh gopoh menyusul Alan.
***
Mia melihat Alan sudah duduk di dalam mobil dengan
mata menerawang. Dia membuka pintu dan masuk ke dalam
mobil. Setelah Mia masuk, Alan langsung memacu mobilnya
dengan kecepatan sedang. Alan menyetir mobilnya dengan
perasaan campur aduk. Jauh di lubuk hatinya, dia menyesali
perkataannya tadi. Namun, dia
masih menolak untuk
mengakuinya. Hana pantas mendapatkannya. Sudah

selayaknya dia diberi pelajaran atas sifatnya yang buruk itu.

Apa amarahmu sudah reda? tanya Mia hati hati.


Aku tidak marah, bantah Alan.
Lalu, ucapanmu sewaktu di rumah tadi Mia
keheranan.
Oh itu. Tadi itu aku tidak marah. Aku hanya ingin
mengungkapkan pendapatku. Itu saja, sahut Alan santai.
Bisa bisanya kau bilang itu pendapatmu saja! Mia
berteriak tepat di telinga Alan. Apa kau tahu kalau ucapanmu
itu sangat menyakitkan siapapun yang mendengarnya?
Jangan berteriak di telingaku! bentak Alan.
Mia mendengus sebal dan membuang mukanya. Dia
benar benar jengkel melihat sikap Alan.
Kau pasti berpikir aku ini orang yang tega. Iya kan?
Alan melirik Mia.
Yang dilirik tidak menjawab.
Terserah kau mau bilang apa. Itu hakmu. Kau
bersikap seperti itu karena kau tidak mengenal Hana dengan
baik, Mi. Aku bukan tipe orang yang suka menuduh tanpa
bukti, Mi. Aku ini abangnya, Mi. Aku tinggal bersamanya
selama bertahun tahun. Karena itu aku mengenal
kepribadiannya dengan baik. Perkataanku tadi mungkin
keterlaluan tetapi percayalah maksudku baik. Aku ingin dia
merubah sikapnya, kata Alan sungguh sungguh.
Mia merenungkan penjelasan dari Alan. Benar juga

ucapannya. Aku belum mengenal Hana dengan baik. Walaupun


335

begitu adanya,
pernikahannya.

semoga

saja

dia

bisa

menyelamatkan

BAB 18
Sabtu ini, aku ingin kau ikut denganku, cetus Alan
saat makan malam bersama Mia.
Ke mana?
Ke pesta ulangtahun temanku.
Siapa namanya? Apa aku mengenalnya?
Aku bilang juga kau enggak bakalan kenal. Namanya
Albert. Dia temanku sewaktu kuliah. Itu bukan sekedar pesta
ulang tahun saja tetapi semacam ajang reuni. Rencananya
teman temanku akan hadir semua. Berhubung waktu di
pesta pernikahan, mereka tidak mempunyai kesempatan
mengenalmu lebih dekat, maka aku mengajakmu. Aku ingin
kau lebih mengakrabkan diri dengan teman temanku dan
pasangannya.
Di mana pestanya diadakan?
Jangan khawatir, Mia. Pestanya tidak diadakan di
diskotik tetapi di rumah.
Kenapa aku harus khawatir kalau pestanya diadakan di
diskotik?
Bukannya kau tidak suka diskotik?
Kalau datang sekali dua kali aku kira tidak ada
masalah.
Jadi, kalau aku mengajakmu ke sana suatu waktu, kau
tidak akan menolaknya kan? tantang Alan.
Ayo, siapa takut?
Alan tertawa geli melihat gaya Mia. Aku ingin melihat
wajahnya saat memasuki diskotik. Aku juga penasaran ingin

336

melihatnya disko, mungkin ibarat melihat robot menari kali,


Alan tersenyum senyum sendiri.
Jitakan Mia di kepalanya, menyadarkan Alan.
Kau pikir, aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu?
desisnya.
Alan cengengesan. Maaf deh. Terus, kamu atau tidak?
Iya. Aku mau, sahut Mia singkat. Oh ya, Lan,
bagaimana masalah Hana dengan Perry?
Hmm, Mama dan Papa memutuskan tidak ikut campur.
Mereka meminta Hana dan Perry untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri.
Mia manggut manggut mendengar cerita Alan. Begitu

lebih baik. Masalah dalam rumah tangga memang sebaiknya


diselesaikan tanpa campur tangan pihak ketiga.

***
Mia merasa bingung harus memakai baju apa ke pesta
ulang tahun temannya Alan. Setelah lama berpikir, akhirnya
dia memutuskan untuk memakai kemeja dengan rok berbentuk
huruf A. Dia menjepit kemejanya dan menguncir rambutnya.
Untuk wajahnya, Mia memakai riasan yang tidak terlalu tebal.
Dia memakai lipstik yang berwarna sama dengan bibirnya. Mia
berputar di depan kaca. Setelah yakin dengan penampilannya,
dia mengambil tas tangannya dan keluar dari kamar.
Sebelum berangkat, Alan sempat tertegun melihat
penampilan istrinya. Walaupun bajunya tidak terlalu modis,
harus Alan akui Mia justru terlihat manis dengan kemeja dan
rok. Dia sangat anggun dan feminim. Aku sampai lupa kalau

dia pernah meninjuku. Waktu dia melakukan itu, aku sempat


berpikir kalau dia pria yang operasi kelamin menjadi wanita.
Habis, tenaganya itu loh. Besar sekali. Aku rasa dengan tenaga
sebesar itu, dia bisa mengalahkan lebih dari dua pria.

Mau sampai kapan kau berdiri di situ? cetus Mia.


Alan mendongak. Apa? Ahiya. Hampir saja aku lupa.
Ayo, kita berangkat sekarang, ajaknya.
***
Baru saja menginjakkan kaki di rumah itu, Mia langsung
menutup hidungnya karena bau asap rokok dan alkohol
tercium di mana mana. Selain itu, udara terasa sangat panas
karena saking banyaknya orang di rumah itu. Namun, Mia

337

berusaha untuk menjaga sikap demi menghormati Alan dan


tuan rumah.
Dia mengikuti ke mana Alan pergi. Dia selalu
memperkenalkan Mia sebagai istrinya kepada setiap orang
yang dia temui. Mia sampai merasa lelah karena sebentar
sebentar harus tersenyum dan berjabat tangan.
Ayo, Alan menarik tangan Mia. Aku ingin
mengenalkan kau dengan teman temanku yang di sana,
Alan menunjuk tempat di mana sejumlah orang sedang asyik
mengobrol.
Mia mengikuti Alan dengan enggan.
Hai semuanya, sapa Alan.
Semua yang ada di situ membalas sapaan Alan.
Aku ingin memperkenalkan kalian pada istriku.
Namanya Miana Hendrawan Harsono. Dia ini seorang guru
bahasa Inggris. Bagaimana istriku? Cantik kan?
Semua teman Alan berebutan menyalami istrinya. Mia
sampai kewalahan menghadapinya.
Jadi ini gadis yang membuat Alan bertekuk lutut?
gumam Erik. Kalau guru bahasa Inggris seperti ini, aku juga
mau diajar, guraunya.
Mia tersipu malu. Pipinya merona merah.
Aduh, manis sekali, kata Albert, siempunya rumah
yang berwajah macho. Dagunya yang dihias brewok
menambah kesan jantan pada dirinya. Aku juga mau punya
istri seperti ini.
Jangan ada yang berani mendekati istriku! Awas kalau
ada yang berani melakukannya, ancam Alan.
Sontak, orang disekeliling Mia dan Alan terbahak
bahak mendengarnya.
Seorang perempuan dengan penampilan yang dan genit
datang menghampiri Mia.
Jadi ini, Nyonya Harsono yang terkenal itu, cetusnya.
Mia termangu heran. Dalam hati, dia bertanya tanya
siapa perempuan yang berdiri di hadapannya itu.
Hai, namaku Sonia, dia mengulurkan tangannya. Mia
menyambutnya dengan ragu ragu.
Hai juga. Aku Miana, balasnya.

338

Aku sudah mendengar banyak cerita tentangmu.


Ternyata Alan benar. Kau memang cantik. Tetapi sayang
Sonia tidak meneruskan ucapannya.
Hei Sonia, apa maksudmu sebenarnya? tegur Albert.
Alan, bisa bisanya kau jatuh cinta dengan wanita
yang selera busananya seperti ini, kata Sonia sambil
mengamati Mia dari atas sampai ke bawah. Berbeda sekali
dengan wanita yang pernah kau kencani selama ini, katanya
lagi terus terang.
Mia menarik napas pelan. Apa yang ditakutkannya sejak
meninggalkan rumah, akhirnya terjadi juga.
Alan melirik Mia untuk melihat reaksinya. Ternyata Mia
tetap bisa bersikap tenang. Tidak terlihat kepanikan atau
kemarahan pada wajahnya.
Terima kasih atas sikapmu yang terus terang. Aku
berpakaian seperti ini karena aku menyukainya. Aku lebih
nyaman dengan penampilan seperti ini. Lagipula Alan sama
sekali tidak keberatan, Mia melirik suaminya yang berdiri di
sampingnya.
Sonia tidak mau kalah begitu saja. Aku dengar kau
tidak suka ke diskotik?
Aku bukannya tidak suka, hanya saja aku tipe orang
yang tidak terlalu suka dengan keramaian. Membuatku tidak
nyaman.
Dari penjelasanmu, kau seperti orang yang anti
sosialisasi? kata Sonia setengah menuduh.
Sebenarnya, apa maumu Sonia? Dari tadi menghujani
Mia dengan pertanyaan pertanyaan yang tidak ada
gunanya, kecam Toni.
Aku tidak bermaksud apa apa. Aku hanya ingin
mengenal istri Alan lebih dekat. Alan dan Mia saja tidak ada
masalah, kenapa jadi kalian yang sewot? Bagaimana Mia? Kau
belum menjawab pertanyaanku, tuntut Sonia.
Tidak suka dengan keramaian bukan berarti orang
yang anti sosialisasi. Kalau aku seperti itu, aku tidak akan
datang ke sini. Aku tidak akan mengajar dan tidak pergi ke
mana mana. Aku akan mengurung diri di rumah, kata Mia
kalem.
Sonia tersenyum. Sekarang, aku mengerti kenapa Alan
memilihmu sebagai istri. Ternyata kau gadis yang lumayan

339

cerdas. Kuharap kau tidak tersinggung dengan kata kataku


barusan.
Sama sekali tidak, sahut Mia.
Hei, aku punya usul, cetus Albert. Alan, karena ini
hari ulangtahunku, aku mau meminta kado yang istimewa dari
kau dan istrimu.
Kado apa? tanya Alan terheran heran.
Aku ingin kau mencium istrimu sekarang juga, kata
Albert serius.
Apa? mata Mia terbelalak. Maaf, tetapi kami tidak
bisa melakukannya. Itu adalah hal yang sangat pribadi. Kami
tidak biasa melakukannya di depan umum, Mia menolak
dengan halus. Sementara itu, Alan belum menunjukkan
reaksinya. Dia hanya melipat tangannya dan memasang wajah
tanpa ekspresi.
Ayolah, Lan. Kami ingin sekali melihatmu mencium
wanita yang kau jadikan sebagai pasangan hidupmu. Sekali
saja, Lan, Albert membujuknya.
Cium, cium, cium, kata teman temannya.
Alan melirik Mia yang terlihat kebingungan. Entah apa
yang ada di pikiran Alan saat itu. Tanpa pikir panjang, dia
menarik Mia ke dalam pelukannya lalu mencium bibirnya
dengan mesra dan lama sekali. Mia syok berat. Walaupun
begitu, dia tidak kuasa menolak ciuman Alan. Dia takut teman
teman Alan akan curiga kalau ia menolak ciumannya.
Mia menerima ciuman itu dengan megap megap.
Matanya merem melek. Setelah Alan berhenti, napasnya
tersengal sengal karena saking marahnya. Emosinya sudah
melewati batas normal.
Matanya berkilat kilat penuh
kemarahan. Namun, dia mati matian agar tidak
menumpahkan amarahnya di situ. Dia berusaha bersikap
seolah tidak terjadi apa apa.
Wah, mesra sekali pasangan yang satu ini, celutuk
Albert.
Iya, kali ini Toni yang berkomentar. Kalian benar
benar pasangan yang hebat. Kalian tahu benar bagaimana
cara menunjukkan gairah yang kalian rasakan satu sama lain.
Aku mau ke kamar mandi, Mia langsung meninggalkan
ruangan itu tanpa menunggu persetujuan dari suaminya. Di
kamar mandi, dia mencuci mukanya. Dia berdiri dan menatap

340

cermin yang tergantung di dekat pintu kamar mandi. Itu


adalah ciumannya yang pertama dalam hidupnya. Ada
semacam perasaan hangat mengalir dalam tubuhnya.

Brengsek kau Alan, Mia memaki suaminya dalam hati. Kau


mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Keluar dari kamar mandi, Mia mendekati Alan dan


berbisik di telinganya. Aku mau pulang. Sekarang juga!
Tanpa pikir panjang, Alan menuruti keinginan istrinya.
Melihat wajah Mia yang menahan amarah, dia merasa tidak
bijaksana kalau menolaknya. Bisa bisa dia meninjuku di
depan orang banyak. Teman teman, panggil Alan. Kami
pulang dulu.
Kenapa cepat sekali? Kan baru jam sepuluh, protes
Albert.
Aku dan Mia sudah lelah dan mengantuk, Alan
berbohong.
Oh,
teman temannya mengangguk seperti
kelompok paduan suara.
Albert mengantar mereka sampai ke halaman
rumahnya.
Terima kasih atas pestanya. Sekali lagi kuucapkan
selamat ulang tahun, kata Mia.
Seharusnya aku yang berterima kasih. Berkat
kehadiran kalian, pestaku berlangsung meriah, sahut Albert
sambil terkekeh.
Kami pulang dulu yah. Sampai ketemu lagi, Alan dan
Mia melambaikan tangan dari dalam mobil.
Sepanjang perjalanan pulang, Mia tidak mengucapkan
sepatah katapun. Matanya memandang keluar jendela mobil.
Dia asyik melihat mobil yang lalu lalang. Sesekali, Alan mencuri
curi pandang ke arah Mia untuk melihat seperti apa
ekspresinya. Alan mendesah kecewa karena ekspresi Mia datar
seperti tembok. Perasaan menyesal karena ulahnya di pesta
tadi, pelan pelan menelusup ke dalam hatinya.
Begitu sampai di rumah, Mia melemparkan tasnya ke
kursi di ruang menonton. Lalu dia berdiri sambil melipat
tangannya. Ketika dilihatnya Alan hendak masuk kamar, cepat
cepat ia berteriak memanggil suaminya itu.
Alan!
Suaminya menoleh. Ada apa?

341

Aku ingin bicara denganmu!


Tentang apa?
Tidak usah berpura pura. Aku yakin, kau tahu persis
apa yang ingin kubicarakan, suara Mia sedingin es.
Alan duduk di kursi dengan gaya malas malasan. Dia
bersandar dan melipat tangannya. Sudah kuduga dia akan
begini.
Kenapa kau menciumku?
Kau dengar sendiri kan, kalau Albert yang meminta
sebagai kado ulang tahunnya, kilah Alan.
Kau kan bisa menolaknya, kata Mia ketus.
Kalau aku menolaknya, mereka akan curiga, Mi. Alan
menarik napas dalam. Dia menggosok gosok pipinya.
Lagipula, apa salahnya kalau suami mencium istrinya?
gumamnya sambil mengangkat bahu.
Tentu saja salah karena kita sudah sepakat tidak akan
ada kontak fisik selama kita menikah! kata Mia jengkel.
Oh, jadi kau bicara tentang kontak fisik. Kalau tidak
salah, sewaktu kita membuat kesepakatan, kau tidak
menjelaskan kontak fisik seperti apa yang dilarang. Itu berarti,
kalau kau bisa protes karena aku menciummu, maka aku juga
berhak mengajukan keberatan karena kau meninjuku.
Bagaimana? tuntut Alan.
Mia memasang muka cemberut. Kuperingatkan kau,
Lan. Ini pertama dan terakhir kalinya kau menciumku, tegas
Mia.
Hei! Aku tidak pernah mengambil kesempatan dalam
kesempitan. Aku bukan tipe pria seperti itu. Mia, seharusnya
kau bisa memperhitungkan, kalau kejadian seperti ini, cepat
atau lambat akan terjadi juga. Kita tidak bisa menghindar
selamanya.
Kau bicara seperti itu karena kau seorang pria. Huh,
dengusnya. Pria di mana mana, sama saja. Selalu saja
mereka yang diuntungkan dan pihak perempuan yang
menjadi korban, gumamnya kesal.
Jadi, menurutmu, aku ini tipe pria yang suka mencari
keuntungan dari para gadis? Begitu kan maksudmu?
Mia tidak menjawab.
Bisa bisanya kau berpikiran seperti itu! bentak Alan
mengagetkan. Kuberitahu kau, Miana. Jangan pernah kau

342

samakan aku dengan pria lain yang suka mencari keuntungan!


Kalau kau melakukannya, itu sama saja kau memancing
amarahku.
Jangan berteriak padaku! Seharusnya aku yang marah,
bukan kau! Yang menjadi korban di sini adalah aku, bukan
kau! tudingnya. Jari telunjuknya mengarah ke wajah Alan.
Memangnya apa yang kulakukan makanya kau merasa
seperti korban? tanya Alan heran.
Aku masih tidak bisa menerima kau menciumku di
depan teman temanmu! tegasnya.
Astaga. Masalah itu lagi. Mia, aku hanya menciummu
bukannyakau pasti tahu maksudku.
Pokoknya aku tidak bisa menerimanya, Mia bersikeras.
Alan geleng geleng kepala. Dasar keras kepala. Apa
yang harus kulakukan untuk melunakkan kepalamu itu. Mi, itu
hanya ciuman biasa saja. Tidak berarti apa apa. Anggap
saja seperti ciuman yang pernah kau alami selama ini dengan
mantan mantan pacarmu.
Suasana mendadak hening. Alan terheran heran tidak
mendengar sahutan dari Mia. Dia menatap istrinya yang duduk
tertunduk di sampingnya. Kepala Alan dipenuhi berbagai
pertanyaan. Kau pernah ciuman kan, Mi?
Mia tidak menjawab. Kepalanya semakin tertunduk.
Namun, Alan bisa melihat dengan jelas rona merah di pipinya.
Alan tercengang. Mulutnya ternganga. Masa sih dia

tidak pernah ciuman. Ini tidak mungkin. Masa gadis seperti dia
belum pernah mengalaminya. Tidak. Aku tidak percaya. Mi,

kau belum menjawab pertanyaanku, desak Alan.


Pertanyaan seperti itu tidak perlu dijawab. Tidak ada
untungnya. Aku mau tidur. Tentang kejadian hari ini, aku
akan melupakannya dan menganggap itu tidak pernah terjadi,
Mia berjalan menuju kamarnya.
Tapi Mi Sia sia saja Alan menuntut penjelasan dari
Mia karena istrinya itu sama sekali tidak menunjukkan niat
untuk memberitahu.
Di kamarnya, Mia duduk termenung di meja riasnya.

Aku tidak bisa memberitahu Alan yang sebenarnya. Kalau dia


sampai tahu, ada kemungkinan dia merasa besar kepala
karena dia pria pertama yang menciumku. Dia juga bisa
mentertawakanku. Kalau itu sampai terjadi, aku bisa muntah
343

karena kesal. Aku paling tidak tahan kalau melihat dia


mentertawakanku.
***
Keesokan paginya Alan bangun dengan mata merah.
Dia tidak tidur semalaman karena penasaran. Ini tidak bisa
dibiarkan. Aku harus mencari tahu apakah dia pernah ciuman

atau tidak. Tetapi rasanya konyol sekali kalau aku sampai


begitu. Seperti tidak ada hal lebih penting yang bisa
dikerjakan.

Alan berjalan menuju pintu kamarnya. Ketika dia


membuka pintu kamarnya, hampir saja dia menjerit karena
Mia sudah berdiri di depannya dalam keadaan rapi. Alih alih
marah karena kaget, Alan malah menunjukkan keheranannya
melihat penampilan Mia.
Karena mulai hari ini ada ujian kenaikan kelas, jadi aku
berangkat duluan. Sarapanmu sudah kusiapkan di atas meja.
Aku pergi dulu, Mia berjalan menjauh meninggalkan Alan
yang masih terbengong bengong.
Selama seminggu Mia benar benar sibuk. Setiap hari
dia mengoreksi lembar jawaban mata pelajaran bahasa Inggris
murid kelas satu dan dua. Dia harus menyelesaikannya cepat
cepat karena nilainya dibutuhkan untuk mengisi rapor. Alan
ingin membantunya tetapi Mia selalu menolak dengan alasan
takut terjadi kesalahan mengingat sifat Alan yang kadang
kadang ceroboh.
Mia baru bisa bernapas lega setelah menerima rapor.
Karena sekolah libur, dia jadi punya banyak waktu luang. Alan
iri sekali melihat Mia bisa bersenang senang, sementara dia
sendiri tidak. Alan sempat mengusulkan agar mereka berlibur
bersama. Tetapi Mia menolaknya dengan alasan tidak mau
mengganggu pekerjaan Alan. Walhasil, mereka baru bisa pergi
jalan bersama pada hari Sabtu dan Minggu saja.
Siang itu, Mia sedang berjalan jalan sendiri di Mal
Kelapa Gading. Sebenarnya dia merasa bosan harus berlibur di
Jakarta. Tadinya dia ingin ke Medan, tetapi Alan tidak
mengijinkan kalau dia pergi sendirian. Kalau kau pergi ke sana,
aku harus ikut. Begitu kata Alan.
Biasanya Mia selalu jalan bersama dengan rekan
kerjanya yang masih lajang. Tetapi kali ini, satupun tidak ada

344

yang bisa menemani dia karena berbagai alasan. Jadi, terpaksa


Mia pergi sendirian.
Dia sedang menikmati makan siangnya di food court
ketika seorang pria berdiri di depan mejanya. Dia mendongak
untuk melihat siapa pria itu. Ternyata Arman.
Sejenak Mia bingung harus berkata apa. Dia tidak
menyangka akan bertemu Arman untuk kedua kalinya di mal
ini.
Aku
tidak
tahu
kalau
kehadiranku
begitu
mengejutkanmu sampai sampai kau tidak bisa bicara,
Arman memulai pembicaraan.
Apa? Ah ehaku tidak kaget, Mia terlihat salah
tingkah. Apa yang kau lakukan di sini? tanya Mia dengan
suara yang dibuat setenang mungkin.
Arman hanya tersenyum. Apa aku tidak disuruh duduk
dulu?
Mia menepuk keningnya. Maaf. Aku benar benar
tidak ingat. Silakan duduk. Apa kau mau sesuatu?
Tidak, terima kasih. Aku baru saja selesai makan. Aku
harap aku tidak mengganggumu. Aku tadi duduk di sana.
Sebenarnya sejak kau masuk, aku sudah melihatmu. Tetapi
baru sekarang, aku menyapamu karena tadi aku makan dulu.
Mia manggut manggut. Kau tidak menggangguku.
Kalau kau makan siang di sini, berarti kantormu disekitar sini
yah?
Apa aku belum memberitahumu kalau aku bekerja di
Kawasan Industri Pulo Gadung?
Sepertinya belum, Mia menggelengkan kepalanya.
Waktu kita bertemu, aku kan sudah memberikan kartu
namaku untukmu dan suamimu.
Oh iya, aku lupa. Aku sama sekali tidak membacanya,
Mia tersenyum malu.
Bagaimana kabar suamimu? Terakhir kali aku bertemu
dengannya kelihatannya dia sangat marah padaku.
Mia berhenti menyendok gado gadonya. Dia
memandang Arman dengan tatapan heran. Kau bertemu
dengan Alan?
Arman mengiyakan.
Di mana?

345

Dia datang ke kantorku. Waktu itu, dia datang dalam


keadaan sakit flu.
Aneh. Kenapa dia tidak memberitahuku? gumam Mia.
Arman tertegun mendengar ketidaktahuan Mia perihal
kedatangan Alan ke kantornya. Ini pertama kalinya aku

bertemu dengan pasangan seperti mereka. Mia menyimpan


rahasia dari Alan, demikian pula sebaliknya. Benar benar
mengherankan.
Apa yang Alan lakukan di kantormu?
Dari yang aku lihat waktu itu, dia sepertinya baru saja
mengetahui tentang hubungan kita dan dia datang menemuiku
untuk
memastikannya.
Aku
terpaksa
membenarkan
pertanyaannya dan dia sangat marah.
Tetapi aku bisa
memahaminya. Dia marah karena cemburu. Dia kira, kita
masih saling menyukai. Ada ada saja, Arman terkekeh.
Mia terperangah. Kau bilang, Alan marah karena
cemburu?
Mia, orang paling bodoh juga bisa melihat dengan jelas
kalau suamimu itu cemburu berat, beritahu Arman.

Kenapa Alan cemburu? Kami memang menikah, tetapi


tidak ada perasaan cinta di antara kami. Aku menikah
dengannya karena ingin membantunya lepas dari perjodohan.
Lagipula, kami sudah sepakat akan menjalani pernikahan ini
sebagai sahabat bukan suami istri. Aku harus mencari tahu.
Mia, apa kau baik baik saja? Sepertinya ucapanku
barusan sangat mengganggu pikiranmu, tebak Arman.
Lamunan Mia terputus. Dia menoleh sambil tersenyum.
Aku baik baik saja, Man.
Aku ingin bicara denganmu lebih lama lagi, tetapi aku
harus kembali ke kantor. Kalau tidak, bisa bisa telingaku ini
sakit gara gara mendengar omelan bos, kata Alan.
Silakan saja. Aku tidak ingin menahanmu.
Baiklah, aku pergi dulu.
Begitu Arman meninggalkannya sendirian, Mia kembali
terhanyut dalam lamunannya. Dia bertopang dagu. Kepalanya
dipenuhi pertanyaan mengapa Alan cemburu padanya. Mia
kembali memutar ingatannya ke masa lalu, di mana Alan
pernah mengungkapkan perasaan sukanya pada Mia. Tetapi,

besoknya dia langsung meralat kok. Katanya dia cuma


mengujiku. Mungkin Arman salah lihat. Tetapi bagaimana
346

kalau benar Alan cemburu? Lebih baik aku mencari tahu


langsung dari orangnya.

***
Mia duduk sambil menatap kaca yang tergantung di
meja riasnya. Kemarin malam dia sudah bertekad bulat untuk
meminta penjelasan langsung dari mulut Alan mengenai
kecemburuannya terhadap Arman.

Aku tidak hanya akan bicara tentang itu. Kami sudah


terlalu sering menyimpan rahasia satu sama lain. Sudah
saatnya kami saling bersikap jujur. Mia menarik napas dalam
dalam. Apapun hasil pembicaraan kami malam ini, semoga
saja hubungan kami tidak mengalami perubahan. Mia berdiri

dari kursinya dan melangkah dengan penuh percaya diri


menuju pintu kamarnya. Begitu keluar dia bisa melihat Alan
sedang asyik menonton dvd Saving Private Ryan,
yang
merupakan film favoritnya. Suaminya itu memang sangat
tergila gila dengan film bertemakan perang. Koleksi filmnya
sangat lengkap mulai dari perang dunia satu dan dua, Korea,
sipil Amerika, Mia tidak ingat lagi karena saking banyaknya.
Mia sampai berpikir Alan juga mempunyai film tentang perang
mulut mengingat kebiasaan suaminya itu yang suka cekcok.
Mia kembali diterpa keraguan antara meneruskan
niatnya atau tidak. Tetapi Mia sudah membulatkan tekad. Aku
harus berani. Mia menutup pintu kamarnya tanpa suara.
Dia mendehem tetapi suaminya itu tidak menunjukkan
respons. Matanya masih terpaku pada layar televisi sementara
tangannya mengambil keripik kentang Springles.
Tanpa berpikir panjang, Mia duduk di samping
suaminya. Matanya sempat menatap ngeri melihat adegan di
film itu. Dia melirik suaminya yang masih asyik mengunyah
keripik kentang. Bisa bisanya dia makan sambil melihat

adegan penuh darah begitu. Kalau aku mungkin sudah mual.


Ah, apa sih yang kulakukan. Aku di sini karena ada yang mau
kubicarakan dengannya.

Lan, aku ingin bicara denganmu.


Hmm, sahut Alan tanpa memalingkan wajah dari dvd
yang sedang ditontonnya. Bicara saja.
Akhir akhir ini hubungan kita sering dilanda masalah.
Setelah kupikirkan, aku rasa penyebabnya adalah karena kita
tidak bersikap jujur satu sama lain.

347

Kau baru menyadarinya yah? Kalau aku sih sudah lama


tahu, cetus Alan dengan wajah yang masih mengarah ke
televisi.
Karena itu, sudah saatnya kita mengungkapkan rahasia
yang kita punya, kata Mia hati hati.
Sekarang?
Mia mengangguk.
Nggak bisa lain waktu? Aku lagi nonton nih.
Lan, masalah ini nggak bisa menunggu. Kita harus
menuntaskannya, seru Mia gemas. Menonton kan bisa kapan
saja.
Alan manggut manggut. Baiklah. Apa yang ingin kau
ketahui dariku.
Sebenarnya, bagaimana perasaanmu terhadapku?
Alan berhenti mengunyah. Pelan pelan dia menoleh ke
Mia. Kenapa kau tiba tiba menanyakan hal itu? Alan mati
matian menekan suaranya agar dia tidak terdengar gugup. Dia
tidak menyangka Mia akan bertanya tentang perasaannya.
Karena Arman bilang kau cemburu padanya.
Alan mendengus sebal. Dan kau percaya padanya?
Mia mengangguk.
Dengarkan kata kataku ini, Mia. Mantan tunanganmu
itu mengada ada. Aku tidak punya alasan untuk cemburu
padanya. Aku yakin, dia berkata begitu karena memiliki
maksud tersembunyi.
Maksud apa?
Mungkin saja dia mau kau kembali padanya, kata Alan
dengan raut wajah serius.
Apa? Yang benar saja. Walaupun dia pria terakhir di
bumi ini, aku tidak mau kembali padanya. Sekarang, hubungan
kami hanya sebatas teman, tegas Mia.
Alan terpana. Jadi, selama ini aku sudah salah duga.
Aku kira Mia masih menyukai Arman, ternyata tidak.
Bukannya kau masih menyukainya? Karena dari yang aku
lihat, saat kau bertemu dengannya, kau bersikap biasa saja,
seolah olah tidak pernah terjadi apa apa di antara kalian.
Mia tersenyum tipis. Aku tidak akan pernah melupakan
apa yang dilakukannya padaku. Tetapi, aku tidak mau hidup
dalam rasa benci, karena itu aku memutuskan untuk

348

memaafkannya dan memulai awal yang baru dengannya, yakni


sebagai teman.
Apa kau bisa berteman dengan orang yang telah
menyakitimu?
Kita tidak akan tahu kalau belum mencobanya kan?
Bagaimana kalau tidak berhasil?
Aku belum berpikir sampai ke situ. Yang penting
dijalani saja dulu. Iya kan?
Alan mengelus pipinya. Benar juga ucapan si bawel ini.
Lan, kalau seandainya aku mengatakan padamu, kalau
Arman adalah mantan tunanganku dan dia meninggalkanku
tepat dihari pernikahanku demi wanita lain, pada saat kalian
bertemu untuk pertama kalinya, apa yang akan kau lakukan?
Aku akan meninju wajahnya setelah itu mengucapkan
terima kasih, tukasnya.
Mia mengerutkan keningnya. Jawabanmu itu aneh
sekali. Untuk apa kau berterima kasih padanya?
Kalau dia tidak meninggalkanmu, aku tidak akan
pernah bertemu dan menikah denganmu.
Mata Mia tidak berkedip mendengar jawaban Alan.
Apakah aku ini sangat berarti bagimu, Lan?
Dasar gadis bodoh. Tentu saja kau sangat berarti
bagiku. Kau adalah teman terbaik yang pernah kupunya dan
kau sudah membuktikannya.
Memangnya apa yang telah kulakukan?
Kau ini polos atau bego beneran sih? Alan gemas
sekali melihat sikap Mia.
Kau berani mengambil resiko menikah denganku untuk
membantuku lepas dari perjodohan. Sesuatu yang mungkin
sulit dilakukan wanita lain. Aku tidak akan pernah melupakan
pengorbananmu ini, Mi. Aku akan selalu berterima kasih
padamu sampai kapan pun, ujar Alan tulus. Namun, jauh di
dalam lubuk hatinya, Alan tidak henti hentinya memaki
dirinya sendiri karena tidak berani mengungkapkan perasaan
cintanya pada Mia. Ya, Tuhan, sampai kapan aku akan

begini?Sampai kapan aku akan menyimpan rahasia hatiku ini.


Rasanya aku sudah tidak kuat lagi. Tersiksa sekali.

Mia hanya manggut manggut. Kau tahu tidak Lan,


mendengar Arman mengatakan kau cemburu padanya, sempat
membuatku takut. Aku kira kau mulai menyukaiku. Ternyata

349

dugaanku salah. Mia diam sejenak. Sekarang aku tahu


bagaimana perasaanmu yang sebenarnya padaku. Kau hanya
menganggap aku sebagai sahabat. Aku benar benar lega
mendengarnya.
Alan ternganga. Jadi dia sempat mengira aku

menyukainya. Dan dia lega mendengar kalau aku cuma


menganggapnya sebagai sahabat. Astaga! Untung aku tidak
mengakuinya. Kalau iya, aku tidak akan tahu apa yang akan
terjadi. Mungkin dia meninjuku seperti dulu atau langsung
meninggalkanku. Alan menyeka keringat di keningnya dengan
tangan kanannya.
Mia tiba tiba tersenyum cerah. Dia menjentikkan
jarinya. Kita sudah bersikap jujur satu sama lain, jadi kuharap
tidak ada lagi rahasia di antara kita, ujarnya.
Alan bergidik mendengarnya. Kalau saja dia tahu, aku

masih menyimpan rahasia yang sangat besar darinya, aku


tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku.

Oh ya, Lan, kenapa kau tidak pernah memberitahuku


kalau kau datang ke kantor Arman?
Oh itu. Waktu itu karena saking marahnya padamu,
aku sampai lupa memberitahumu, gumam Alan. Kali ini
matanya kembali mengarah pada layar televisi walaupun
pikirannya tidak. Dia masih memikirkan percakapannya
barusan dengan Mia.
Jadi, waktu aku pulang dan tidak menemukanmu di
rumah, kau sedang pergi ke kantor Arman yah?
Alan mengangguk. Mia memutuskan untuk tidak
berbicara lagi.
Pasangan itu kembali tenggelam dalam tontonan
mereka, yaitu film perang Saving Private Ryan. Namun, di
dalam hati Alan dan Mia, juga terjadi perang. Mia dan Alan
berperang melawan suara hati mereka sendiri.
Alan diserbu suara hatinya sendiri. Dia ditekan untuk
mengatakan perasaan cintanya pada Mia. Tetapi, dia berusaha
mati matian menolaknya. Aku tidak mungkin melakukannya.

Dia akan meninggalkanku.

Sama halnya seperti Alan, Mia juga berperang melawan


suara hatinya sendiri. Dia menolak mengakui hati kecilnya
yang mengatakan kalau dia diam diam kecewa dengan
perkataan Alan yang menganggapnya sebagai sahabat.

350

Pasangan itu duduk dalam keheningan. Film yang


mereka tonton sudah selesai, namun perang di dalam hati
mereka belum.

BAB 19
Hana termenung di ruangannya yang terletak di lantai
sembilan. Berkas berkas yang seharusnya dia periksa,
tersusun rapi di atas meja tanpa ada tanda tanda disentuh.
Saat berkas itu diantarkan, dia hanya menatapnya tanpa ada

351

semangat. Berbeda sekali dengan gayanya selama ini.


Pekerjaan sebanyak apapun akan dikerjakannya dengan
senang hati. Namun,
mengingat masalah yang sedang
dihadapinya, dia seperti kehilangan gairah. Dia jadi tidak bisa
konsentrasi dalam bekerja. Pikirannya lebih terfokus pada
masalah pernikahannya. Rumah tangga yang dibinanya selama
tiga tahun dengan Perry, kini berada di ambang perceraian.
Walaupun tidak pernah menunjukkannya secara
langsung, hati Hana sangat terguncang mendengar keinginan
Perry untuk menceraikannya. Bagaimanapun juga, dia sangat
mencintai suaminya itu. Dia ingin sekali Perry tetap
bersamanya. Namun, dia terlalu gengsi untuk mengakui
kesalahannya dan meminta maaf. Jadi, tidak ada jalan lain
buatnya kecuali memenuhi keinginan Perry.
Ada yang mengganggu pikiran Hana selain masalah
pernikahannya. Perkataan yang dikeluarkan mulut Alan saat
Perry melontarkan keinginannya untuk bercerai, membuatnya
naik darah. Emosinya menggelegar bagaikan gunung berapi
yang baru meletus. Belum pernah dia sebenci ini pada
abangnya itu.
Peristiwa itu meninggalkan luka yang sangat dalam di
hati Hana. Dia memang geram sekali mendengar Alan
mendukung keinginan Perry untuk menceraikannya, bukannya
membelanya. Yang membuat Hana tambah kesal, seluruh
anggota keluarganya sependapat dengan Alan, kalau dialah
yang bersalah. Bahkan, Helen yang dihormatinya pun memiliki
pendapat yang sama. Karena itu keluarganya memilih untuk
tidak ikut campur.
Hana jadi merasa sendirian dalam menghadapi
masalahnya dan tidak ada satu orang pun yang bisa dimintai
tolong. Setiap dia meminta saran dari keluarganya, jawaban
yang keluar dari mulut mereka selalu sama. Dia harus
merubah
perilakunya
apabila
ingin
menyelamatkan
pernikahannya. Tentu saja Hana menolak mentah mentah.
Dia tidak merasa ada yang salah dengan sifatnya. Karena
itulah, Hana jadi didera rasa frustasi. Dia seolah olah jatuh
ke dalam jurang tanpa dasar.
Hana
menuding
Alan
sebagai
biang
kerok
permasalahannya. Hatinya dipenuhi rencana untuk membalas
dendam. Hana memutar otaknya untuk mencari cara terbaik

352

untuk menjatuhkan citra abangnya itu di depan seluruh


anggota keluarga Harsono.
Ingatannya melayang saat dia mencoba menyelidiki
pernikahan Alan dan Mia. Sebelum mengetahui lebih banyak,
dia sudah keburu ketahuan Alan. Atas desakan ibunya dan
ancaman Alan, dia terpaksa mengubur dalam dalam
keinginannya untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya
kehidupan pernikahan abangnya itu. Namun, sampai sekarang
Hana masih curiga kalau Alan dan Mia menyembunyikan
rahasia besar dalam pernikahan mereka.
Hana juga teringat akan kecemasan Alan dan Mia saat
mengetahui akan diadakannya rapat keluarga. Sejak

menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, wajah mereka


terlihat sangat gugup. Dugaanku pasti tidak salah. Aku yakin,
pasti ada yang mereka sembunyikan.

Hana duduk di kursi kerjanya. Dia melipat tangan dan


memejamkan matanya. Dia berpikir keras sekali sampai
keningnya berkerut kerut. Tidak berapa lama senyuman
dingin Hana terpantul dengan jelas di kaca jendela
ruangannya. Dia sekarang sudah menemukan cara untuk
membalas dendam pada Alan. Aku akan membongkar rahasia

kalian berdua. Saat itu tiba, bahkan Tuhan pun tidak bisa
menolong kalian, cetusnya dingin.

Hana memutar kursinya hingga menghadap meja


kerjanya. Dia meraih gagang teleponnya dan memencet
sejumlah nomor. Di ujung telepon terdengar suara mamanya.
Halo.
Mama, ini aku Hana. Aku ingin mengadakan rapat
keluarga hari ini jam tujuh malam. Apa bisa?
Di seberang sana, Nyonya Harsono sempat terdiam.
Mendadak sekali. Memangnya apa yang terjadi, sampai kau
menginginkan diadakannya rapat keluarga?
Aku tidak bisa memberitahu Mama sekarang. Tapi,
percayalah, ini menyangkut sesuatu yang sangat penting.
Baiklah. Mama akan mengabari papamu, abang dan
kakakmu.
Ma, untuk Alan dan Mia, biar aku saja yang
memberitahu mereka.
Apa kau yakin?

353

Hana menelan ludah. Dengan suara setenang mungkin


dia menjawab, Iya, Ma. Akhir akhir ini hubungan kami
sangat buruk. Aku jadi merasa tidak enak. Karena itu,
kuputuskan untuk memperbaiki sedikit demi sedikit.
Mama senang sekali mendengarnya. Baiklah kalau
memang itu maumu.
Sampai ketemu nanti,
Ma, kata Hana menutup
pembicaraan. Dia menaruh telepon dengan wajah tanpa
ekspresi. Apa yang akan kulakukan benar benar beresiko.

Kalau dugaanku salah dan rencanaku gagal, aku tidak akan


mendapatkan apa apa. Mereka akan mengucilkanku.
Sebaliknya, kalau aku benar, aku akan sangat menikmati
kejadian demi kejadian yang terjadi di hadapanku. Hana
menarik napas, lalu menghembuskannya. Aku harus berani
mengambil resiko. Apapun yang terjadi, aku harus siap
menerima konsekuensinya. Ah, semoga saja dugaanku benar,
kalau Mia dan Alan telah membohongi kami sekeluarga.

***
Kau menyuruhku bolos mengajar untuk datang ke
tempat seperti ini? tanya Mia sambil mengedarkan pandangan
ke seluruh ruangan kantor itu.
Alan menarik Mia sampai ke depan pintu yang tertutup.
Lihat ini, cetusnya.
Mia menatap pintu itu. Dia termangu saat melihat papan
nama dari besi bertuliskan Perry Gunawan ditempel di pintu
itu. Dia melirik Alan. Apa yang kita lakukan di sini? tanya Mia
heran.
Kita akan meminta Perry agar mengurungkan niatnya
menceraikan Hana.
Mia tertegun. Kenapa kau tiba tiba ingin berbuat ini.
Aku kira kau setuju dengan niat Perry.
Entahlah. Rencana ini mendadak muncul di kepalaku.
Bagaimana? Kau mau membantuku tidak?
Mia tersenyum lebar. Tentu saja, katanya ceria.
***
Perry menatap tajam pasangan suami istri muda di
depannya itu. Perry menggosok gosok keningnya. Kemudian
dia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya. Jarinya
mengetuk ngetuk meja. Aku benar benar tidak habis pikir,
Lan. Dulu kau bilang, kau mendukung niatku untuk

354

menceraikan Hana, kenapa sekarang kau jadi berubah


pikiran?
Alan mengangkat bahu. Situasi jalan raya saja bisa
berubah dalam hitungan menit apalagi pikiran orang.
Hitungannya bukan menit lagi, tetapi bisa detik. Waktu itu aku
kelewat emosi, jadi aku tidak tahu apa yang kubicarakan,
jawab Alan sekenanya.
Mia dan Perry mendelik heran ke Alan. Memangnya
apa yang telah membuatmu emosi? tanya Mia dengan nada
selidik.
Alan menggaruk garuk kepala. Dia mencari cari
jawaban yang tepat untuk pertanyaan Mia. Kalau tidak, Mia
dan Perry akan mengetahui alasan sebenarnya kenapa dia
meminta Perry mengurungkan niatnya untuk bercerai.
Lan, Mia menyentuh lengannya. Kau belum
menjawab pertanyaanku.

Apa boleh buat. Aku harus mengatakan yang sejujurnya


pada mereka. Perry, aku telah melakukan kesalahan. Kau

tahu kan bagaimana hubunganku dengan Hana? Bisa dibilang


hubungan kami tidak terlalu baik. Kami selalu saling menyakiti,
entah itu dengan tindakan atau ucapan. Jadi, perkataanku
waktu itu, Alan berhenti sejenak, aku berkata seperti itu
bertujuan untuk menyakiti hatinya.
Mia dan Perry melotot. Lan, bisa bisanya kau berbuat
setega itu pada adikmu sendiri, desis Mia tajam.
Aku tahu. Aku minta maaf. Waktu itu aku
melakukannya tanpa pikir panjang. Kalian tahu kan kalau aku
ini orang yang suka ceplas ceplos.
Justru itu! Gara gara sifat ceplas ceplosmu itu,
adikmu jadi menderita! tuding Mia.
Hei, aku tidak melihat kalau dia menderita. Lagipula,
dari yang aku lihat selama ini, sepertinya dia baik baik saja,
Alan membela diri. Tapi Alan menggantung ucapannya.
Apa lagi? bentak Mia. Apa kau mau berkelit lagi?
Siapa yang mau berkelit? bibir Alan manyun. Aku
cuma mau bilang, kalau perkataanku tentang sifat Hana itu,
benar adanya. Itu saja. Tetapi, Perry, nada suara Alan
berubah serius, setiap orang patut mendapatkan kesempatan
kedua. Kau menceraikan Hana tanpa memberikannya
kesempatan itu. Kau juga bersalah di sini, karena tidak berani

355

bersikap tegas. Kalau aku jadi kau, aku akan menunjukkan


kedudukanku sebagai suami dan kepala rumah tangga, tegas
Alan. Masalahnya kau bukan aku, lanjutnya lagi.
Perry duduk terpekur. Dia merenungi setiap ucapan
Alan.
Mia menggenggam tangan Perry. Kami tidak ingin
memaksamu. Keputusan sepenuhnya ada di tanganmu. Yang
kami inginkan, kau mempertimbangkan baik baik sebelum
mengambil keputusan. Jangan sampai kau menyesali langkah
yang sudah kau ambil. Lakukan demi apa yang sudah kau
jalani bersama dengan Hana.
Perry menatap kakak iparnya itu dengan mata sendu.
Aku tidak bisa memenuhi permintaan kalian, katanya dengan
suara yang tidak lebih dari bisikan.
Kenapa nggak? tanya Mia dan Alan serempak dengan
nada keheranan.
Lan, kau tahu kan bagaimana sifat Hana?
Alan mengangguk.
Dia tidak akan berubah, Lan.
Kau kan belum mencobanya Perry, Mia ikut angkat
suara. Siapa tahu demi cintanya padamu, Hana mau merubah
sifatnya. Mungkin tidak drastis, tetapi kalau dia mau berubah
sedikit demi sedikit, aku rasa itu sudah sangat baik.
Perry terdiam. Tangannya memutar mutar pulpennya.
Ucapan Mia ada benarnya juga, pikir Perry. Aku ingin berpir
dulu, Perry memutar kursinya membelakangi Mia dan Alan.
Alan dan Mia menunggu dengan raut wajah tegang.
Ternyata, Perry berpikir lama sekali. Suasana yang hening,
udara yang dingin, kursi yang empuk membuat waktu terasa
berjalan lambat. Alan dan Mia jadi terkantuk - kantuk.
Ketika Perry memutar kembali kursinya menghadap
abang dan kakak iparnya. Senyum geli mengembang di
wajahnya saat melihat Mia dan Alan tertidur dengan kepala
menunduk ke bawah.
Dia mendehem sangat keras, sampai Alan dan Mia
mengangkat kepalanya. Mereka tersipu malu dan salah
tingkah.
Maaf membuat kalian menunggu lama.

356

Ah tidak apa apa, sahut Mia cepat. Kami yang


seharusnya minta maaf karena ketiduran. Entah kenapa kami
jadi sangat mengantuk.
Lupakan saja, Perry mengibaskan tangannya. Aku
hanya mau bilang kalau aku sudah mengambil keputusan. Aku
akan memberikan Hana kesempatan kedua.
Mia dan Alan tersenyum lega. Terima kasih, Perry. Kau
benar benar
pria yang baik. Aku
harap kau bisa
menyelamatkan pernikahanmu, dengan demikian kau bisa
hidup bahagia, ujar Alan tulus.
Aku melakukannya bukan saja karena ucapan kalian.
Aku baru menyadari kalau aku masih mencintai Hana.
Aku senang mendengarnya. Aku doakan, semuanya
berjalan lancar dan pernikahanmu bisa diselamatkan, harap
Mia.
Terima kasih banyak. Kalian benar benar abang dan
kakak ipar yang sangat baik, puji Perry tulus.
Baru tahu yah kalau kami ini baik? cetus Alan.
Perry tertawa mendengarnya.
Kami pulang dulu, Perry, kata Mia.
Perry mengangguk. Dia mengantarkan Mia dan Alan
sampai ke lobby.
Saat sedang menyetir, ponsel Alan berdering. Dia
memperlambat laju mobil, lalu melihat nama yang tertera di
ponselnya. Sejenak dia merasa heran saat melihat nama Hana.
Ada angin apa, sampai dia meneleponku? Ada apa Hana?
Aku ingin memberitahumu, besok malam ada rapat
keluarga, kata Hana di ujung telepon.
Jam berapa?
Jam delapan malam.
Siapa yang mengusulkan?
Aku. Sampai ketemu besok, Lan.
Alan menutup ponselnya dengan raut wajah heran.
Ada apa, Lan? tanya Mia.
Besok ada rapat keluarga di rumah orangtuaku jam
delapan malam.
Terus, kenapa raut wajahmu begitu?
Hana yang mengusulkannya.
Mia tersenyum cerah. Mungkin, begitu kita pulang,
Perry langsung menghubungi dia.

357

Bisa jadi, gumam Alan. Namun, jauh di lubuk hatinya,


perasaan Alan mendadak tidak enak. Sepertinya sesuatu akan
terjadi. Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Alan memacu
mobilnya lebih cepat lagi.

BAB 20
Hana tiba di rumah orangtuanya jam tujuh kurang
sepuluh menit. Seperti yang ia duga kedua orangtuanya,
abangnya Adi dan Ari beserta istri mereka sudah berada di
sana. Demikian juga Helen.
Kita belum bisa memulai rapat ini. Mia dan Alan belum
datang, kata Helen. Dia datang dari arah dapur sambil
membawa nampan yang dipenuhi cangkir berisi teh manis.
Hana langsung memutar otak untuk mencari jawaban
yang bisa memuaskan Helen. Barusan aku menghubungi Alan.
Dia bilang akan datang terlambat. Sepertinya jalanan agak
macet, sahutnya. Bagaimana kalau kita menunggu mereka di
ruang keluarga? usul Hana.
Aku rasa itu saran yang baik. Lagipula ada yang ingin
kubicarakan dengan papa. Ini masalah pekerjaan, cetus Adi.
Seluruh anggota keluarga berjalan menuju ruang
keluarga. Tidak berapa lama, mereka terhanyut dalam obrolan.
Helen asyik bicara dengan mama dan kakak iparnya. Mau tidak
mau, Hana ikut bergabung dengan mereka.
Helen
menegakkan
kepalanya
dan
memasang
telinganya baik baik. Dia mendengar suara mobil memasuki
pekarangan.
Sepertinya mereka sudah datang, ucapan Helen
membuat suasana yang tadinya ramai berubah menjadi sepi.

358

Dia baru saja mau bangkit dari kursi ketika Hana


mencegahnya. Hana menyentuh lengannya.
Aku saja yang menyambut mereka, cetus Hana. Dia
bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu masuk.
Aneh. Sejak kapan Hana bersikap seperti itu pada Alan
dan Mia? Jangankan menyambut, bertatap muka dengan
mereka saja dia enggan. Setahuku dia tidak pernah peduli
dengan kedatangan mereka disetiap rapat keluarga, gumam
Helen.
Orang kan bisa berubah, Len, cetus Ari.
Sementara itu, Hana menunggu Alan dan Mia di pintu
masuk. Dia tersenyum dingin pada saat melihat pasangan
suami istri itu berjalan tergopoh gopoh ke arahnya.
Apa yang lain sudah datang? tanya Alan.
Belum. Hanya Papa dan Mama yang ada di sini. Mereka
sedang menunggu di halaman belakang, dusta Hana. Dia
sengaja berbohong, supaya rencananya untuk membongkar
rahasia Alan berjalan dengan lancar. Dia memutar badannya
dan berjalan menuju ruang keluarga yang berada tepat di
depan ruang kerja papanya. Mia dan Alan mengekor di
belakangnya.
Sebenarnya untuk apa rapat keluarga ini diadakan?
celutuk Mia sembari merapikan rambut dan bajunya.
Ini saatnya aku beraksi, kata Hana dalam hati. Apa
tidak ada seorangpun yang memberitahu kalian? tanya Hana.
Dia memasang tampang pura pura keheranan.
Memberitahu apa? tanya Alan curiga.
Hana memalingkan wajahnya hingga berhadapan
dengan Alan. Aku yang mengusulkan rapat ini diadakan. Aku
akan memberitahukan seluruh anggota keluarga kita tentang
rahasia pernikahan kalian. Hana sengaja membesarkan
volume suaranya agar anggota keluarganya yang berada di
ruang kerja mendengar.
Alan dan Mia melongo. Apa katamu? Alan bertanya
dengan suara tercekat.
Huh, rupanya kau tidak mendengar, padahal aku sudah
bicara dengan jelas. Dengar baik baik yah karena aku tidak
mau mengulangi lagi perkataanku. Aku akan memberitahukan
semua rahasia yang kalian simpan selama ini, tegas Hana.

359

Mendadak, wajah Mia dan Alan menjadi pucat pasi.


Tangan Mia yang tadinya hangat berubah menjadi dingin.
Jantungnya berdetak keras. Dia melirik Alan. Saat itu juga
suaminya memberi isyarat supaya tenang.
Aku tidak tahu apa maksudmu. Kami tidak memiliki
rahasia apapun dalam pernikahan kami. Bicaramu hanya
sekedar omong kosong saja, kata Alan dengan suara yang
dibuat setenang mungkin.
Hana bisa menangkap kecemasan di wajah Alan dan
Mia. Rupanya tebakanku benar. Aku harus bisa memancing
dia. Hana mengingat ingat skenario yang sudah disusunnya
selama berhari hari. Ayolah Alan. Jangan menyangkal.
Memangnya kaupikir aku tidak tahu kalau selama ini kau dan
Mia tidur di kamar terpisah? kata Hana, lagi lagi dengan
suara keras.
Huh, dengus Alan dingin. Bicaramu ngelantur. Kau
kebanyakan nonton opera sabun.
Aku tidak ngelantur, Lan. Hana tersenyum sinis. Kau
bisa menghilangkan kecurigaan Mama tetapi tidak denganku.
Aku tidak bodoh, Alan.
Waktu kau dan Mama menginap, kalian kan bisa lihat
sendiri kalau aku dan Mia tidur sekamar! tegas Alan dengan
suara keras.
Alan, pelankan suaramu. Bagaimana kalau Papa dan
Mama mendengar? tegur Mia cemas.
Tenang saja, Mia. Mama dan Papa sedang di halaman
belakang. Mereka tidak mungkin mendengar, Alan
menenangkan Mia yang mulai diterpa rasa panik.
Hana tersenyum puas. Alan, Alan, seperti biasanya, kau
sangat ceroboh. Kalian memang tidur sekamar, tetapi tidak
tidur seranjang!
Alan dan Mia terhenyak karena kaget. Mereka diam
seribu bahasa. Pikiran Alan kalut sekali. Sia sia saja dia
mencoba berpikir jernih. Dia tidak bisa menemukan jawaban
yang tepat untuk membantah perkataan Hana. Kami sudah
tidak bisa berkelit lagi. Alan melihat ke bawah. Rupanya Mia
meremas tangannya dengan sangat kuat. Dia menoleh ke
wajah istrinya itu. Hatinya terluka saat melihat ketakutan yang
terpancar di wajah Mia. Alan menepuk nepuk tangan Mia
untuk menenangkannya.

360

Sementara itu Hana terus melancarkan serangannya.


Huh, sudah kuduga, sia sia saja, Mama dan Papa
menantikan cucu dari kalian, desis Hana tajam. Bagaimana
mau punya anak, kalau kalian saja tidak pernah berhubungan
layaknya suami istri, lanjutnya lagi dengan nada mengejek.
Wajah Alan merah padam diejek seperti itu. Dia
menatap adiknya dengan penuh kemarahan.
Terus, apa yang akan kau lakukan? tanya Mia dengan
suara tercekat.
Aku akan memberitahu Papa dan Mama.
Kau tidak bisa melakukan itu! seru Alan. Kalau kau
masih sayang dengan Papa dan Mama, jangan lakukan itu,
pintanya.

Aha,
jadi secara tidak langsung mereka sudah
mengakuinya. Tetapi ini tidak cukup. Aku harus mengorek
rahasia mereka lebih dalam lagi. Kenapa? tanya Hana

dengan pongah.
Papa dan Mama bisa terkena serangan jantung, kata
Alan.
Seharusnya kau memikirkan itu sebelum melakukan
pernikahan tipuan ini, kata Hana. Alan, kalaupun kau bisa
mencegahku mengatakan yang sebenarnya, cepat atau
lambat, mereka akan mengetahui yang sebenarnya. Kalau
tidak dari aku, mungkin dari Helen atau dari orang lain,
katanya santai.
Helen? Mia keheranan. Helen tidak tahu apa apa
tentang hal ini. Jadi jangan bawa bawa namanya! tegas
Mia.
Astaga, Hana berlagak kaget. Kakak iparku sayang,
kau polos sekali. Ternyata kau belum mengenal suamimu itu
dengan baik. Sejak kecil, dia tidak pernah menyembunyikan
rahasia apapun dari kakak perempuanku itu, kata Hana pura
pura prihatin.
Mia menoleh ke Alan. Apa itu benar?
Alan tidak mengangguk ataupun menggeleng. Dia
hanya menatap Mia dengan wajah tanpa ekspresi dan mulut
terkunci rapat.
Itu saja sudah cukup memberi jawaban buat Mia. Sudah
jelas Alan telah memberi tahu Helen tentang rahasia mereka.

361

Mia tidak tahu harus berbuat apa. Dia terombang ambing di


antara perasaan marah dan bingung.
Braaktiba tiba, pintu ruang kerja terbuka lebar. Dari
dalam keluar orangtua Alan, Adi dan Ari beserta istri mereka
dan Helen. Seketika, Mia dan Alan dicekam rasa ketakutan.
Mereka menoleh ke Hana yang tersenyum puas. Saat itu juga,
sadarlah Alan dan Mia kalau mereka sudah dijebak. Helen
hanya bisa menatap dua orang yang dikasihinya itu dengan
mata penuh kesedihan.
Tuan Harsono berjalan menuju mereka. Matanya
berkilat kilat. Bibirnya gemetar. Urat urat di lehernya
menonjol dan ia mengepalkan tangannya.
Jadi, selama ini kalian sudah membohongi kami?
tanya Tuan Harsono dengan suara menggelegar.
Alan dan Mia hanya tertunduk. Mereka tidak berani
menatap orangtua itu.
Jawab aku! serunya.
Alan mengangkat wajahnya. Itu benar, katanya
dengan tenang.
Semua yang ada di ruangan itu terhenyak kaget.
Walaupun sudah menduga hal ini, tetap saja Hana terkejut.
Dia tidak menyangka Alan akan langsung mengakui
rahasianya.
Plak, suara tamparan yang sangat keras menggema
keseluruh ruangan. Tuan Harsono menampar Alan sedemikian
keras sampai membekas di wajahnya. Mia menutup mulut
karena saking kagetnya.
Dasar anak durhaka! Tega teganya kau membohongi
kami selama ini! semburnya.
Maafkan kami, Pa, kata Mia pelan. Kami tidak
bermaksud
Tutup mulutmu! Kau dan dia sama saja! tuding Tuan
Harsono. Aku begitu mempercayaimu, tetapi sekarang, lihat
apa yang kau lakukan padaku. Kau membohongi kami semua.
Aku kira kau anak yang baik. Ternyata anggapanku salah,
lanjutnya lagi.
Papa, kalau mau marah, lampiaskan saja padaku.
Akulah yang bersalah di sini. Mia adalah korban dari
perbuatanku.
Apa maksudmu, Lan? tanya Adi ingin tahu.

362

Alan memutuskan untuk membuka semuanya. Reputasi


Mia dipertaruhkan di sini. Aku memintanya untuk
menyelamatkanku dari perjodohan dengan cara menikahiku.
Semula dia tidak mau, tetapi aku memaksanya atas nama
persahabatan. Karena itu dia bersedia menikahiku tetapi
dengan sejumlah kesepakatan. Salah satunya adalah kami
tidur dengan kamar terpisah, urai Alan panjang lebar.
Jadi, selama ini kalian telah membohongi kami semua?
Kalian benar benar keterlaluan. Bisa bisanya kalian
melakukan perbuatan seperti itu pada kami! Nyonya Harsono
terisak.
Maafkan aku, Ma, kata Alan dengan suara datar.
Kau pikir dengan kata maaf saja, bisa menyelesaikan
semua kekacauan yang kalian buat? tanya Ari kesal.
Kalian pasti merasa senang karena membuat kami
terlihat seperti orang bodoh, kata Tuan Harsono.
Tidak, Pa. Itu tidak benar, bantah Alan.
Sia sia saja Alan membantah karena papanya sama
sekali tidak menggubris ucapannya. Tuan Harsono berusaha
mengendalikan emosinya. Dia mengatur napasnya yang
sempat tersengal sengal. Setelah tenang, dia duduk di sofa
yang ada di ruang tamu. Dengan nada datar dia berkata,
Kalian berdua sudah mengecewakan kami semua.
Kami benar benar menyesal, Pa. Maafkan kami, Pa,
kata Alan dengan suara pelan.
Tuan Harsono menghela napas. Kalau kalian ingin
dimaafkan, kalian berdua harus bercerai, tegasnya.
Alan dan Mia tersentak kaget.
Pa, jangan berlebihan begitu dong, akhirnya Helen
buka suara.
Kau jangan ikut campur! bentak Tuan Harsono.
Selama ini kau mengetahui rahasia mereka, tetapi kau
memilih tutup mulut. Kau sama saja dengan mereka.
Helen baru mau membuka mulut untuk membantah
ucapan papanya. Namun, dia mengurungkan niatnya setelah
melihat isyarat dari Alan.
Aku tidak akan menceraikan Mia, Papa! tegas Alan
mengejutkan.

363

Aku tidak mau mendengar penolakan! Suka atau tidak,


kalian akan bercerai! Kalau perlu, aku yang akan mengurus
surat suratnya, kata Tuan Harsono bersikeras.
Pokoknya aku tidak mau! Alan bersikukuh.
Semua yang ada di ruangan terheran heran melihat
keteguhan Alan untuk tidak menceraikan Mia. Demikian pula
Mia sendiri.
Untuk apa kau mempertahankan pernikahan yang
dibangun tanpa cinta? tanya Tuan Harsono heran.
Siapa bilang pernikahan kami tidak dibangun tanpa
cinta? Alan balik bertanya.
Mia yang dari tadi terdiam, menatap penuh
kebingungan. Hana memandang Alan dengan rasa ingin tahu
yang sangat besar. Sementara itu, Helen memilih untuk diam.
Dia menyadari Alan akan segera membongkar rahasia
terbesarnya.
Alan menarik napas dalam dalam. Tidak ada jalan lain.

Aku harus mengakuinya di depan Mia. Hanya ini satu


satunya cara untuk menghentikan Papa memaksaku untuk
bercerai dari Mia. Aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa

hidup tanpanya.
Semua orang yang ada disekitar Alan terperangah, tidak
terkecuali Mia. Dia syok berat.
Apa kau bilang? Tuan Harsono bertanya lagi untuk
memastikan kalau dia tidak salah dengar.
Alan mengulangi lagi kata katanya. Aku mencintai
Mia, katanya dengan penuh percaya diri. Jadi, Papa jangan
memaksaku untuk menceraikannya!
Tapi, Tuan Harsono kebingungan. Bagaimana bisa?
Bukankah tadi kau bilang, kalian menikah karena kesepakatan?
Kenapa sekarang kau bilang kau mencintainya? Papa benar
benar tidak mengerti.
Alan melirik Mia. Dia bisa melihat ekspresi di wajah
istrinya itu. Kaget, bingung dan marah bercampur jadi satu.
Matanya seolah olah meminta penjelasan.
Sulit kupercaya. Kebohongan apa lagi ini, abangku
sayang? tanya Hana dengan nada sinis.
Hana, kau bisa diam atau tidak? tegur Helen dingin.
Hana menuruti perintah Helen sambil merengut sebal.
Apa Mia mencintaimu? kali ini Adi yang buka suara.

364

Itu tidak penting. Selama dia berada di sisiku, itu


sudah cukup, tandas Alan.
Egois sekali, gumam Ari.
Mia memilih bungkam walaupun hatinya terasa sesak
mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Alan. Dia
merasa dibohongi habis habisan selama ini.
Aku tidak perlu menjelaskan apa apa lagi pada
kalian. Sekali lagi kutegaskan, Papa tidak berhak menyuruhku
bercerai! Hanya Mia yang berhak, tegasnya.
Kalau begitu, kenapa tidak kita tanyakan padanya
sekarang? Mia apa kau bersedia menceraikan Alan? Nyonya
Harsono buka suara.
Deg, jantung Alan serasa mau copot. Inilah yang paling
ia takutkan. Keputusan yang diambil Mia akan merubah
semuanya dan pada akhirnya sia sia saja usaha yang dia
lakukan untuk mempertahankan pernikahan ini.
Mia terdiam. Dia bingung menentukan sikap. Aku tidak

boleh gegabah. Masalah ini, hanya aku dan Alan yang bisa
menyelesaikannya. Tidak boleh ada orang lain yang ikut
campur. Sementara itu, Alan hanya bisa pasrah menunggu
jawaban Mia. Kalau itu yang diinginkannya, tidak ada jalan lain
kecuali mengabulkannya.

Maafkan aku, Ma. Saat ini, aku belum bisa menjawab


pertanyaan itu. Mengenai masalah ini, biar aku dan Alan saja
yang menyelesaikannya. Kami yang memulai, maka kami juga
yang harus menyelesaikannya, ujarnya dengan suara mantap.
Alan terbengong bengong mendengar jawaban Mia
yang benar benar di luar dugaannya.
Jangan jangan, kau juga jatuh cinta pada Alan,
sindir Hana.
Mia tidak menyahut. Dia hanya tersenyum tipis.
Apa kau serius dengan ucapanmu itu? tanya Helen.
Lagi lagi Mia tidak menjawab dia hanya tersenyum
datar.
Kalian benar benar pasangan yang sulit dimengerti,
cetus Tuan Harsono. Dia menggeleng gelengkan kepalanya.
Terserah kalian mau melakukan apa. Aku tidak mau tahu lagi
dengan tindak tanduk kalian. Tuan Harsono meninggalkan
ruang tamu dan langsung menaiki tangga menuju lantai dua.
Semua yang ada di ruangan itu hanya berdiri dalam

365

keheningan. Semuanya kehabisan kata kata. Tidak ada


seorang pun yang bisa memberikan jalan keluar.
Ayo, kita pulang, Alan menarik tangan Mia. Tidak ada
lagi yang perlu kita bicarakan di sini, cetusnya.
Mia menuruti Alan tanpa banyak bicara. Mereka berdua
keluar dari rumah itu dan tidak ada seorang pun yang
mencegah mereka.
***
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Mia tidak bicara
sepatah kata pun. Alan tidak berani mengusiknya. Namun,
tidak ayal lagi, kepalanya pusing tujuh keliling setelah apa
yang dialami di rumah orangtuanya. Ini kesekian kalinya aku

berada dalam situasi seperti ini dan biasanya kami selalu bisa
menyelesaikan permasalahan. Tetapi, aku tidak tahu dengan
masalah yang satu ini.

Begitu mobil memasuki halaman rumah, tanpa pikir


panjang, Mia langsung membuka pintu dan langsung keluar
dari dalam mobil. Alan sampai melongo ulah Mia itu.
Apa kau tidak bisa menunggu sampai mobilnya benar
benar berhenti? tegur Alan.
Mia tidak menghiraukan teguran Alan. Dia langsung
masuk ke dalam rumah. Ketika Alan menyusulnya, dia melihat
Mia sedang berdiri di depan jendela sambil melipat tangan.
Matanya menerawang keluar. Tanpa banyak bicara Alan duduk
di kursi rotan yang ada di ruang tamunya.
Sejak kapan? Mia bertanya dengan lirih.
Ketika aku mengatakan perasaan suka padamu, saat
itu aku bersungguh sungguh. Aku benar benar
menyukaimu, ungkap Alan.
Mia memejamkan matanya. Air mata menetes di
pipinya.
Kenapa kau meralatnya?
Karena aku merasa khawatir setelah melihat reaksimu.
Aku takut sekali kau akan memutuskan persahabatan kita. Jadi
kuputuskan
untuk
menarik
kembali
ucapanku
dan
membuatnya seolah olah sebagai lelucon.
Katakan padaku yang sejujurnya, Lan. Apakah kau
mempunyai tujuan lain saat menikah denganku?

366

Alan terdiam. Dengan berat hati, dia mengangguk. Aku


ingin membuatmu jatuh cinta padaku. Dengan demikian,
pernikahan kita bisa berlangsung selamanya.
Apa Helen tahu tentang ini?
Lagi lagi Alan mengiyakan.
Mia merasa dunianya runtuh seketika. Hancur sudah
hatinya mendengar pengakuan Alan. Ini kesekian kalinya dia
dibohongi orang yang sangat dipercayainya. Kalau sudah

begitu, siapa lagi yang bisa kupercaya dalam hidup ini selain
keluargaku?

Maafkan aku, Mia, sesal Alan. Aku.


Maaf katamu, desis Mia tajam. Aku sudah bosan
mendengar kata itu. Berapa kali orang meminta maaf padaku
dan aku memaafkan mereka, tetapi tetap saja aku selalu
disakiti. Dia mendekati suaminya itu dan mulai memukul dada
Alan dengan kedua tangannya sambil berteriak histeris, Kita
sudah sepakat tidak akan ada rahasia dalam pernikahan kita.
Aku sudah pernah menanyakan ini padamu, tetapi kau tidak
mau mengakuinya. Apa kau tidak tahu betapa sakitnya hatiku
saat ini karena orang yang sangat kupercaya telah
membohongiku selama ini? Mia menepuk nepuk dadanya
sendiri.
Alan tidak berani buka suara. Dia benar benar tidak
berkutik dalam menghadapi situasi ini. Tiba tiba, tubuh Mia
merosot di lantai. Alan bergegas membantunya berdiri, namun
Mia menepis tangannya. Kau sama saja dengan Arman,
tudingnya.
Jangan samakan aku dengan Arman. Aku tidak akan
pernah meninggalkan seorang wanita di gereja, tegasnya
membela diri.
Jangan berkilah Lan! kata Mia dengan suara sedingin
es. Kau dan Arman telah melukai hatiku. Hanya caranya yang
berbeda. Aku benci kalian berdua. Aku benci padamu, Alan
Harsono. Aku benci, bisiknya lirih.
Alan hanya berdiri diam seperti patung. Tubuh Mia
terkulai lemas bagaikan tidak mempunyai tulang untuk
menopangnya. Dia mengumpulkan segenap tenaga untuk
bangkit berdiri. Dengan langkah terseok seok dia berjalan
menuju kamarnya. Alan menatapnya dengan pandangan tidak
berdaya. Dia tersentak kaget ketika mendengar suara pintu

367

dibanting. Dalam keheningan, Alan duduk terpekur di ruang


tamu itu sendirian. Sementara itu, Mia duduk sambil memeluk
lutut dengan kedua tangannya. Dalam kegelapan, dia
menangis sesenggukan.
***
Di tempat lain, jauh dari rumah Alan, Hana duduk
dengan memasang wajah tidak berdosa di hadapan Helen dan
suaminya, Perry. Dia sama sekali tidak ambil pusing dengan
tindakannya yang membuat runyam hubungan Alan dengan
orangtuanya. Dia melipat tangan dan menggoyang
goyangkan kakinya.
Aku tidak menyangka kau tega berbuat seperti ini pada
abangmu sendiri! kata Perry sambil geleng geleng kepala.
Dia tidak habis pikir melihat ulah istrinya itu.
Siapa yang memberitahumu tentang rahasia mereka?
Tidak ada, sahut Hana santai.
Apa maksudmu tidak ada? Helen kebingungan.
Selama ini aku menduga kalau ada yang
disembunyikan Alan dan Mia. Aku bisa melihat dari tingkah
laku mereka. Aku mencoba mencari tahu tetapi tidak ada
hasil.
Tetapi tadi...kau sepertinya tahu banyak rahasia
mereka. Kau juga tahu kalau mereka tidur terpisah, cetus
Helen keheranan.
Hana tersenyum penuh kemenangan. Kuberitahu kau
satu hal, kakakku sayang. Sebenarnya aku tidak tahu, kalau
mereka tidur terpisah. Tadi aku hanya menebak saja, jawab
Hana sekenanya. Aku juga terkejut kalau ternyata tebakanku
itu benar, lanjutnya lagi sambil mengangkat bahu.
Perkataanku tadi adalah kesimpulanku setelah mengamati
perilaku Alan dan Mia. Tetapi, bukan aku yang membocorkan
rahasia Alan dan Mia. Mereka sendiri yang mengakuinya. Aku
hanya memancing dan ternyata mereka memakan umpan yang
kuberikan, ujarnya.
Kau sudah mempersiapkannya dari jauh jauh hari
bukan? tanya Perry. Kau sengaja membuat yang lain datang
lebih cepat agar kau bisa membongkar rahasia Alan di depan
mereka kan?
Hana mengangguk tanpa ada rasa bersalah sama sekali.

368

Mau tidak mau Perry dan Helen kagum akan kepintaran


dan keberanian Hana dalam mengambil resiko.
Aku akui kau gadis yang cerdas Hana, puji Perry.
Tetapi sayang kau memanfaatkan kecerdasanmu untuk
menyakiti saudaramu sendiri. Kenapa kau berbuat itu Hana?
Apa yang kau inginkan?
Saudara katamu? Seorang saudara tidak akan pernah
mempermalukan saudaranya sendiri. Alan menyakitiku dengan
ucapannya di depan keluargaku sendiri. Jadi aku
membalasnya, sahut Hana tanpa emosi.
Perry hanya bisa mengelus dada melihat tingkah istrinya
yang memasang tampang tidak bersalah. Kau benar benar
perempuan egois.
Aku sudah terbiasa mendengar sebutan itu. Jadi,
berapa kalipun kau ucapkan, aku tidak peduli, kata Hana
cuek.
Perry mendekati Hana. Dia menatap Hana lekat lekat.
Kau tahu Hana, kenapa aku datang ke sini? Helen
memberitahuku kalau ada rapat keluarga. Jadi aku datang
karena kupikir ini kesempatan yang bagus untuk mengatakan
pada seluruh keluargamu kalau aku ingin mengurungkan
niatku menceraikanmu.
Hana mendongak. Matanya berbinar binar.
Benarkah? tanyanya antusias.
Tadinya memang begitu, sampai aku mendengar
keributan yang kau timbulkan. Jadi, aku merubah
keputusanku. Aku tetap menceraikanmu.
Apa? Hana terkaget kaget. Secepat itu kau berubah
pikiran?
Memangnya kenapa? Kau sendiri yang membuatku
begitu. Asal kau tahu saja, kalau tadi aku berniat
mengurungkan niatku bercerai darimu, itu karena Alan dan Mia
yang memintaku, ujar Perry.
Apa maksudmu? suara Hana terdengar tegang.
Mereka mendatangiku di kantor. Mereka membujukku
untuk tidak menuntut cerai darimu. Mereka memintaku untuk
memberi kesempatan agar kau berubah.
Itu tidak mungkin, Hana menggelengkan kepalanya
kuat kuat. Kau bohong! tudingnya.

369

Aku tidak bohong Hana. Mereka benar benar datang


ke sini. Alan mengakui kekhilafannya waktu itu. Dia benar
benar menyesal. Jadi, dia ingin memperbaikinya.
Dan kau memenuhi keinginan mereka?
Tentu saja. Siapapun yang mendengar perkataan
mereka, pasti akan luluh hatinya, tegas Perry.
Helen yang dari tadi diam akhirnya buka suara.
Tidakkah kau mengerti Hana? Alan berbuat seperti itu karena
dia menyayangimu, tandasnya. Apa sebenarnya yang dia
lakukan sampai kau membencinya? Karena dari yang aku lihat,
kau hidup tanpa kekurangan apa pun. Kau memiliki harta dan
keluarga. Apa yang kau cari dari memusuhi Alan, Hana?
Hana terdiam. Lidahnya terasa kelu. Tenggorokannya
tercekat. Dia tidak mampu menjawab pertanyaan Perry.
Perry menatap istrinya dengan penuh keprihatinan.
Sebaiknya aku pulang. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan di
sini dan aku tidak akan melakukan apapun untuk membuatmu
lebih baik Hana. Kau yang menabur, kau juga yang menuai.
Jadi aku ucapkan selamat menikmati hasil panenmu itu,
sindirnya. Kau tunggu saja kabar dariku mengenai perceraian
kita. Aku pulang dulu, Kak Helen, Perry mohon diri.
Helen mengangguk. Hati hati di jalan, ujarnya.
Helen melirik Hana yang masih duduk termenung.
Aku tahu tujuanmu yang lain.
Apa maksud Kakak?
Kau ingin mendongkel Alan dari jabatannya yang
sekarang kan?
Kalau iya kenapa?
Helen mendengus dingin. Kau tidak mengenal Papa
dengan baik rupanya. Kau pikir, dia akan memecat Alan hanya
gara gara masalah ini dan menyerahkan jabatan Alan
kepadamu? Jangan mimpi Hana! Semarah marahnya Papa,
dia akan tetap bersikap profesional. Jadi, intinya, kau tidak
mendapatkan apa apa! tegas Helen. Dia meninggalkan
Hana dengan pandangan dingin.
Hana terpekur. Kalau memang benar apa yang

dikatakan kakak, maka sia sia saja aku berbuat seperti itu.
Aku kehilangan Perry. Aku tidak berhasil mendapatkan jabatan
Alan. Itu berarti aku tidak mendapatkan apa apa. Hana
tercenung sendirian sambil meratapi nasibnya.

370

BAB 21
Keesokan pagi, Alan tidak menemukan sosok Mia di
ruang makan seperti biasa. Dia mencari ke kamar, tetapi Mia
tidak ada di situ. Alan pergi ke ruang kerja untuk melihat
apakah tas yang biasa dibawa Mia mengajar masih ada di situ
atau tidak. Ternyata sudah tidak ada. Jadi dia sudah pergi.
Alan menyeret kakinya kembali ke dapur. Dia tertegun saat
melihat meja makan. Di atasnya tersedia nasi goreng. Alan
tersenyum kecut. Jadi, semarah marahnya dia, ternyata
masih
sempat
membuat
sarapan
untukku.
Alan
menghempaskan pantatnya di kursi makan. Dia menatap piring
berisi nasi goreng itu dengan wajah tanpa ekspresi. Bagaimana
mau makan kalau suasana hatiku buruk begini? Dia melirik
nasi goreng yang dihias timun dan telur mata sapi. Jangan
jangan sudah ditaruh racun lagi. Biasanya Alan paling suka
dengan nasi goreng buatan Mia karena rasanya yang enak.
Tetapi pagi itu, dia benar benar tidak nafsu makan. Ah

sudahlah. Nafsu gak nafsu, ditaruh racun atau enggak,


mendingan kumakan saja.

Mia sampai di sekolahnya dengan mata bengkak. Devi


terheran heran melihat keadaannya.
Kau kenapa, Mia? Kau habis menangis semalaman
yah? tanya Devi penasaran.
Mia menggeleng sambil tersenyum tipis. Kemarin
mataku terkena pasir, makanya jadi begini, kilahnya.
Hari itu Mia mengajar dengan perasaan tidak nyaman.
Bagaimana tidak? Semua orang melemparkan tatapan aneh
setiap melihat wajahnya. Mia sampai kesal dibuatnya. Namun,
dia sama sekali tidak ada keinginan untuk menjelaskan apa
yang terjadi pada matanya pada setiap orang yang ditemuinya.

371

Setiap ada yang bertanya, dia hanya memberikan senyuman


yang paling manis. Biarkan saja mereka dipenuhi rasa
penasaran. Salah sendiri kenapa ingin tahu masalah orang lain,

pikir Mia.

***
Sejak pagi itu Alan kesulitan bertemu dengan Mia di
rumah mereka sendiri. Setiap ia pulang kantor, Mia sudah
tidur. Pada pagi hari, ketika Alan keluar kamar, Mia sudah
tidak ada. Kalau sudah begitu, Alan hanya bisa mengelus dada.
Ingin rasanya Alan meminta agar Mia menghentikan
tindakannya itu namun dia tidak punya keberanian. Dia
khawatir Mia akan bertindak lebih ekstrem lagi, misalnya
dengan meninggalkan rumah. Jadi dia masih marah padaku,

makanya dia selalu menghindar dariku. Baiklah. Kalau ini yang


diinginkannya, tidak ada jalan lain kecuali memenuhinya.

Setiap hari Alan selalu sengaja pulang terlambat dari


kantor supaya tidak bertemu dengan Mia. Pagi hari, dia selalu
menunggu sampai Mia pergi baru dia keluar dari kamar. Begitu
tiba hari Sabtu dan Minggu, Alan pergi keluar dari rumah tanpa
bilang apa apa pada istrinya. Tanpa terasa, hal itu
berlangsung hampir sebulan. Lama kelamaan Alan jadi
terbiasa. Namun, tetap saja hatinya tersiksa menghadapi
semua itu.
Alan sedang memeriksa berkas berkas yang baru
diserahkan bawahannya ketika Helen mengintip dari balik
pintunya.
Apa aku mengganggu?
Tidak. Masuklah.
Bagaimana keadaanmu? tanya Helen hati hati.
Alan tersenyum tipis. Mengingat apa yang terjadi
padaku, tidak mungkin aku berada dalam keadaan baik baik
saja, ucapnya dengan nada datar.
Bagaimana hubunganmu dengan Mia?
Sangat
buruk.
Sampai
sekarang
dia
selalu
menghindariku dan tidak mau bicara denganku, beber Alan.
Aku juga, kata Helen. Sampai sekarang dia tidak mau
menerima telepon dariku ataupun membalas sms.
Aku tidak tahu harus bagaimana menyelesaikan
masalah ini, keluh Alan.

372

Cobalah bicara dengannya. Mungkin dia bisa mengerti


dan memaafkanmu, usul Helen.
Aku tidak berani, ujar Alan singkat.
Kedua kakak beradik itu sama sama menunduk dan
terdiam. Helen mengangkat wajahnya dan menatap adik laki
laki yang sangat disayanginya itu. Sejak masalah yang
menyangkut hubungannya dengan Mia mencuat, Alan tidak
pernah lagi bersikap sebagaimana biasanya. Bicaranya yang
selalu ceplas ceplos dan senyumnya yang selalu mengembang,
hilang bagaikan ditelan bumi. Tidak ada lagi candaan yang
keluar dari mulutnya.
Oh ya, aku tahu mungkin ini bukan saat yang tepat,
tetapi aku mau kau datang ke rumah.
Untuk apa? tanya Alan keheranan.
Menemui
Papa.
Bicaralah
dengannya.
Sejak
mengetahui rahasiamu dengan Mia, dia seperti kehilangan
semangat.
Alan mendadak lesu mendengarnya. Begitu banyak
masalah yang terjadi akibat ulahku. Aku tidak bisa, tolaknya.
Kenapa?
Apa kau lupa bagaimana pertemuan terakhir kami? Dia
memarahiku habis habisan. Bahkan, suatu keajaiban, dia
tidak memecatku karena masalah itu.
Wajar saja dia tidak memecatmu. Semarah marahnya
Papa, dia tetap bersikap profesional dalam hal pekerjaan.
Aku tahu itu, ceplos Alan singkat.
Aku tidak akan memaksamu. Kau mau menemui dia
atau tidak, itu terserah padamu. Sebaiknya aku pergi,
pekerjaanku masih banyak.
Terima kasih, sudah mampir.
Helen meremas tangan Alan. Bersemangatlah Alan.
Aku percaya, kau pasti bisa melalui ini semua, kata Helen.
Alan tersenyum tipis. Semoga saja kakakku sayang.
Semoga saja, sahut Alan dengan nada pesimis.
***
Alan memasuki rumah orangtuanya dengan langkah
ragu ragu. Dia disambut salah seorang pembantu. Dia
diberitahu kalau papanya sedang berada di halaman belakang.
Dia langsung menuju ke sana. Tuan Harsono dan istrinya
sedang duduk di kursi sambil membaca koran.

373

Selamat sore, cetus Alan singkat.


Pasangan suami istri itu serempak menoleh ke arahnya.
Mau apa kau ke sini? tanya papanya ketus.
Aku datang untuk menemui orangtuaku, sahut Alan.
Jadi kau masih menganggap kami sebagai orangtuamu
setelah apa yang kau lakukan pada kami? tanya mamanya.
Tentu saja. Sampai kapanpun, kalian adalah
orangtuaku, jawab Alan dengan nada serius. Ayolah, aku
tahu aku bersalah karena telah membohongi kalian selama ini.
Tetapi, aku kan sudah minta maaf. Jadi, kita lupakan saja apa
yang terjadi, bujuk Alan.
Ternyata bujukan Alan tidak mempan terhadap
orangtuanya. Papanya menghujami Alan dengan tatapan yang
dingin. Memangnya kau pikir mudah melupakan apa yang kau
lakukan pada kami? Kau sudah menyakiti hati kami terlalu
dalam. Kau sudah merusak kepercayaan kami padamu, ujar
papanya dengan suara sedingin es. Alan sampai menggigil
mendengarnya.
Alan mengusap kepalanya. Dia memasukkan kedua
tangannya ke dalam saku celananya. Dia berdiri persis di
hadapan orangtuanya. Aku sadar sepenuhnya, kalau aku
sudah melakukan kesalahan yang sangat besar pada keluarga
ini. Aku benar benar menyesal. Tetapi, aku sudah menerima
ganjarannya. Mama dan Papa marah padaku. Bang Ari dan Adi
juga. Dan yang paling parah, aku terancam kehilangan wanita
yang sangat kucintai, papar Alan.
Kedua orangtuanya terhenyak kaget. Mereka saling
berpandangan. Hati mereka yang semula sekeras batu,
mendadak luluh setelah melihat ekspresi Alan. Mereka bisa
melihat dengan jelas, betapa terpukulnya wajah Alan saat
mengatakan dia terancam kehilangan wanita yang sangat
dicintainya. Hati mereka menjadi terenyuh.
Apa yang terjadi? tanya papanya.
Dia benar benar marah padaku, karena
merahasiakan perasaan cintaku padanya selama ini. Dia
menghindariku dan tidak mau bicara denganku. Sepertinya
tinggal tunggu waktu saja, dia mengajukan tuntutan cerai,
beber Alan datar. Tetapi, mau bagaimana lagi? Ini sudah
menjadi kesepakatan kami. Kalau ada salah satu di antara
kami jatuh cinta, maka kami harus bercerai, lanjutnya lagi.

374

Kau benar benar mencintainya yah? kali ini


mamanya yang bertanya.
Alan tersenyum kecut dan menganggukkan kepalanya.
Kau pantas mendapatkannya! ujar papanya sungguh
sungguh. Kau sudah membohonginya dari awal dan kau juga
melanggar kesepakatan. Jadi wajar saja dia akan menuntut
cerai darimu, tambahnya lagi.
Wajah Alan berubah menjadi masam. Tega banget sih.
Bukannya memberikan dukungan, malah mengamini. Namun,
di dalam hati dia membenarkan ucapan papanya itu.
Sebenarnya apa isi kesepakatanmu dengan Mia? tanya
Mamanya penasaran.
Ingatan Alan kembali pada saat ia dan Mia membuat
kesepakatan bersama sebelum menikah. Seingatku,
kesepakatan tertulis berbunyi, kami tidur terpisah, bahu
membahu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tidak ada
kontak fisik, saling menghormati perasaan masing masing,
saling menolong jika salah satu terlibat masalah dan saling
memperhatikan, papar Alan. Sedangkan untuk lisan, kami
tidak boleh saling jatuh cinta satu sama lain. Kalau itu sampai
terjadi, maka kami harus bercerai, lanjutnya lagi.
Nyonya Harsono manggut manggut mendengarnya.
Tunggu dulu, ceplos papanya.
Ada apa?
Sepertinya ada yang kurang. Apa ada syarat yang
ketinggalan?
Ah, enggak. Syaratnya cuma itu, jawab Alan.
Apa kalian tidak menentukan, batas waktu pernikahan
kalian?
Apa maksud Papa? Aku tidak mengerti? tanya Alan
dengan raut wajah linglung.
Kau ini. Itu saja tidak mengerti. Maksud Papa, sampai
kapan kalian menikah? Setahun, dua tahun atau lebih?
Alan terhenyak. Aku baru sadar kalau kami tidak

menetapkan itu sebagai kesepakatan. Jangan jangan ini


yang coba diingat ingat Mia waktu itu. Alan menatap
orangtuanya dengan wajah tegang. Kami tidak menetapkan
batas waktu pernikahan kami. Kami benar benar tidak ingat
hal itu, ungkapnya sambil tersipu malu.

375

Aku tidak menyangka kalian bisa melupakan hal itu.


Apa kalian sadar, dengan tidak adanya batas waktu, kalian bisa
mengakhiri pernikahan kapan saja kalian mau?
Kami tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, aku Alan
terus terang. Walaupun pernikahan kami tidak didasari cinta,
kami sangat bahagia. Bahkan bisa dibilang hubungan kami
sangat indah. Kami menjalankan semua kesepakatan yang
kami buat.
Tetap saja, kalian tidak bisa seperti itu selamanya. Apa
saja bisa terjadi. Bagaimana kalau salah satu di antara kalian
ingin menyalurkan kebutuhan biologis?
Alan mendelik. Idih Papa. Sudah tua masih
membicarakan masalah itu, cetus Alan jengah.
Maksud Papa, bagaimana kalau itu sampai terjadi? Apa
yang akan kalian lakukan?
Papa tidak perlu khawatir. Sampai sekarang hal itu
tidak pernah terjadi. Kalaupun sampai ada di antara kami yang
mengalaminya, kami bisa mengatasinya dengan cara kami
masing masing. Kami berdua adalah sepasang orang dewasa
yang bisa mengendalikan diri dari hal semacam itu! tegasnya.
Syukurlah kalau begitu, cetus mamanya lega.
Tuan Harsono memandangi Alan dengan pandangan
kebapakan. Aku tidak menyangka kalau dulu dia sering

membuatku susah dengan tingkah lakunya itu. Mereka


memang membuatku marah, tetapi harus aku akui, Alan
banyak sekali berubah. Mia telah merubahnya menjadi pria
yang sangat baik.
Apa kau benar benar mencintai Mia? tanya papanya
Alan mengangguk mantap. Dengan sepenuh hatiku!
tegasnya.
Kalau begitu, pertahankan dia. Menangkan cintanya.
Papa dan Mama akan mendukungmu, ucap Tuan Harsono
dengan penuh ketulusan.
Apa papa serius? Bukannya Papa waktu itu marah
sekali? tanya Alan dengan raut wajah tidak percaya.
Papa memang sangat marah. Sampai sekarang pun
Papa masih marah. Tetapi berhubung kau mencintainya dan
ingin menghabiskan hidup bersama dengannya, maka Papa
memaafkanmu. Mia itu gadis yang baik dan Papa rasa dialah

376

yang cocok jadi pendampingmu. Tuan Harsono menoleh ke


istrinya. Bagaimana Ma? Kau maukan mendukung anakmu?
Istrinya tersenyum lembut. Dia mengangguk. Selama
dia bahagia, aku akan selalu mendukung apapun yang dia
lakukan.
Tapiseandainya aku tidak berhasil, bagaimana?
tanya Alan cemas.
Mungkin sudah takdir, kalau kalian tidak bisa menjadi
pasangan. Kau harus bisa menerima itu dengan lapang dada.
Tetapi kau harus mencamkan ini baik baik, Lan. Kau
memang gagal mempertahankan pernikahanmu, tetapi kau
bisa mempertahankan persahabatanmu. Bukankah itu sama
berharganya?
Wajah Alan mendadak dihiasi senyum cerah. Terima
kasih atas nasihatnya Papa. Aku berjanji, apapun yang terjadi
antara aku dan Mia, aku tidak akan berubah menjadi Alan yang
dulu. Malah sebaliknya, aku akan merubah diriku menjadi lebih
baik lagi, tegasnya.
Janji dibuat untuk ditepati bukan diingkari. Jadi, aku
tunggu realisasi ucapanmu itu, tukas Tuan Harsono.
Alan mengangguk mantap.
BAB 22
Alan keluar dari kamarnya masih dengan mengenakan
celana pendek berwarna hitam dan kaus oblong. Rambutnya
masih berantakan dan mukanya masih kusut. Dia berjalan
terhuyung huyung menuju dapur. Sebelum memasuki dapur,
langkah Alan terhenti. Dia dikejutkan dengan sosok Mia yang
sedang duduk santai di dapur sedang membaca koran dengan
masih mengenakan piyama. Alan bingung harus bersikap apa.
Dia ragu ragu apakah menegur Mia atau tidak. Karena dari
yang dia lihat, Mia seperti tidak merasakan kehadirannya.
Selamat pagi, tegur Alan dengan suara tercekat.
Pagi, sahut Mia singkat.
Alan membuka kulkas dan mengambil sebotol air. Ia lalu
menuangkan ke dalam gelas dan langsung meneguknya
sampai habis. Dia menaruh gelasnya lagi lalu mengisinya
sampai penuh sembari melirik Mia yang masih asyik dengan
bacaannya.

377

Ini benar benar suatu kejutan. Setelah sekian lama,


akhirnya kita bisa bertemu di rumah ini, suara Alan memecah
keheningan.
Tidak ada jawaban.
Apa ada berita yang seru? tanya Alan.
Mia menoleh dan mempelototi Alan. Kau bisa diam
tidak sih? Apa kau tidak bisa melihat kalau aku sedang
membaca? Mengganggu saja, desisnya tajam.
Alan terhenyak kaget mendengar ucapan Mia. Kasar
sekali. Aku kan hanya mencoba berbasa basi. Alan menarik
kursi dan duduk di depan Mia. Aku ingin bicara, cetusnya.
Mia tidak menanggapi. Dia malah meminum kopinya
dengan gaya cuek. Hati Alan jadi panas melihatnya. Aku ingin
bicara sekarang juga! teriak Alan.
Mia memalingkan wajahnya dari koran. Dia menatap
Alan dengan sorot mata dingin. Aku tidak mau! sahutnya
ketus.
Alan terbelalak. Habis sudah kesabarannya melihat
tindak tanduk Mia. Baiklah. Terserah kau mau dengar atau
tidak. Aku tahu kalau aku bersalah padamu karena tidak
bersikap jujur. Seharusnya, aku tidak meralat ungkapan
perasaanku waktu itu. Untuk itu, aku benar benar minta
maaf, sesal Alan.
Alih alih memberi tanggapan, Mia malah bangkit dari
kursinya dan berjalan meninggalkan dapur.
Walaupun aku mencintaimu, aku tidak bisa
diperlakukan seperti ini, Mi. Aku juga punya perasaan dan
harga diri. Karena itu, aku bersedia bercerai denganmu, jika itu
membuatmu lebih baik, kata Alan sungguh sungguh.
Langkah Mia terhenti. Wajahnya terhenyak. Namun, dia
tidak berani menoleh. Dia membuka pintu kamarnya dan
langsung masuk. Dia bersandar pada pintu kamarnya. Ada apa

denganku? Kenapa hatiku terasa sakit saat mendengar Alan


mengatakan akan menceraikanku?

***
Keesokan harinya, sepulang dari sekolah, Mia
menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan Alan di atas
meja kerja yang biasa mereka gunakan secara bergantian. Mia
meraih kertas itu dan membacanya. Selesai membaca, Mia
menaruh kertas itu di atas meja. Kemudian dia duduk

378

tercenung di atas kursi. Masih membekas dalam ingatannya, isi


surat yang ditinggalkan Alan. Dalam surat itu, Alan
mengatakan, dia pindah ke rumah Helen karena lelah
menghadapi sikap Mia yang tidak mengacuhkannya. Dia juga
memberitahu, akan memberi
kabar mengenai rencana
perceraian mereka. Mia menghela napas. Beginikah akhir dari
hubungan kami? Mia menyandarkan kepalanya ke kursi dan
memejamkan mata. Dia mulai mengingat ingat
kebersamaannya dengan Alan selama ini.
***
Helen melirik wajah tampan namun tidak bergairah
yang duduk di depannya.
Aku akan bercerai dengan Mia, ucapnya lesu.
Apa? Helen terperanjat.
Pernikahan kami sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Alan menatap tajam kakaknya itu. Terus terang saja Kak, aku
lelah berada dalam situasi seperti ini, ungkapnya.
Apa maksudmu? tanya Helen tidak mengerti.
Sejak mengetahui perasaanku yang sebenarnya, Mia
benar benar berubah. Dia bahkan seperti tidak peduli apakah
aku masih hidup atau tidak, tukas Alan sambil mengusap
usap kepalanya.
Helen menggenggam tangannya. Jangan berlebihan
begitu ah. Mana mungkin Mia bersikap seperti itu. Dia kan
sangat menyayangimu walaupun hanya sebagai teman,
hiburnya.
Alan hanya mendengus dingin. Saat ini dia benci sekali
dengan kata teman. Bukan itu yang kuinginkan. Aku mau Mia

menjadi istriku yang seutuhnya. Tetapi rasa rasanya itu tidak


mungkin. Masalah kami seperti benang kusut. Sampai
kapanpun akan sangat sulit terurai dan kembali seperti semula.
Ngomong ngomong, apa kau sudah mencoba
meyakinkannya tentang perasaanmu? Atau betapa inginnya
kau menghabiskan sisa hidupmu bersama dengannya?
Alan merengut sebal. Kakak ini bagaimana sih? Kakak
belum mendengar dengan jelas perkataanku barusan yah?
Saat ini Mia tidak peduli dengan keberadaanku. Dia selalu
menghindariku! Alan bangkit dari kursinya dan berjalan
mondar mandir di depan Helen. Dia menganggapku seolah

379

olah aku ini adalah penyebab alergi atau kuman penyakit


yang sangat mematikan! ucapnya dengan nada ketus.
Jadi kau belum bicara apa apa? tanya Helen hati
hati.
Alan menggeleng lemah. Bagaimana mau bicara, kalau
orang yang dicari tidak pernah kelihatan, gumamnya pelan.
Helen seperti disengat listrik mendengar jawaban Alan.
Jadi kau akan bercerai tanpa melakukan usaha apapun untuk
mempertahankannya?
Alan mengangguk.
Helen terlihat sangat gusar. Ini namanya kalah
sebelum berperang, katanya sambil mengguncang guncang
bahu Alan.
Jangan histeris begitu dong Kak, tegur Alan keras.
Kau tidak tahu betapa peliknya masalah yang kuhadapi. Kau
bicara seperti itu karena bukan kau yang menghadapinya.
Kalau kau berada di posisiku, apa yang bisa kau lakukan? Asal
Kakak tahu, Mia bahkan tidak mau menatap wajahku!
Helen terdiam. Dia menatap wajah Alan yang merah
padam karena menahan amarah. Ya, Tuhan. Apa yang telah
aku lakukan? Kenapa aku jadi histeris begini? Helen melirik
Alan yang raut wajahnya tidak semerah tadi. Namun,
rahangnya masih mengeras. Maafkan aku. Aku terlalu
emosional, ucapnya pelan.
Alan menarik napas dalam dalam untuk meredakan
amarahnya. Lupakan saja, desisnya.
Mereka berdua duduk membisu di sofa. Aku hanya
ingin tahu. Siapa yang pertama kali melontarkan ide bercerai?
tanya Helen.
Aku, sahut Alan pendek.
Helen melotot. Kau?
Aku juga yang berinisiatif meninggalkan rumah,
tukasnya tidak peduli. Alan menatap tajam Helen yang masih
duduk termangu. Aku sudah memutuskan Kak. Jadi aku
mohon dukungan kalian semua.
Helen memandangi wajah adik laki lakinya yang
sangat disayanginya itu. Apa kau sudah yakin? Apa kau tidak
ingin mencobanya terlebih dahulu?
Alan menyandarkan kepalanya di bahu Helen. Sejak
kecil hanya Helen yang menjadi tempat untuk mencurahkan

380

semua isi hatinya. Sejak peristiwa itu, kehidupanku dengan


Mia sudah tidak sama lagi. Kami seperti orang asing yang
tinggal untuk pertama kalinya. Kak, ketika aku tahu dia
menghindariku, aku mencoba berpikir positif, kalau dia sedang
butuh ruang untuk berpikir. Namun, saat dia bersikap dingin
padaku, saat itu juga aku menyadari kalau hubungan kami
sudah di ambang kehancuran. Sulit untuk diperbaiki. Kalaupun
bisa, apakah kehidupan kami akan sama seperti dulu? Karena
itu kuputuskan untuk berpisah dengannya. Memang
menyakitkan, tetapi mungkin ini yang terbaik buat kami
berdua. Aku tidak mau memaksanya untuk hidup bersama
denganku. Aku tidak mau dia tinggal bersama denganku
karena terpaksa. Dia bisa tersiksa. Dan aku tidak mau
menyiksa wanita yang sangat kucintai, jelas Alan panjang
lebar. Alan menatap kakaknya dengan pandangan memelas.
Apakah Kakak sudah mengerti kenapa aku mengambil
keputusan bercerai?
Helen tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa menatap
adiknya itu dengan mulut terkunci rapat.
***
Mia duduk terpekur di atas tempat tidur sambil melipat
kedua kakinya. Di depannya berserakan foto fotonya dengan
Alan saat mengunjungi Dufan. Dia bisa melihat dengan jelas
betapa cerianya mereka berdua di foto itu. Sekarang keceriaan
itu tinggal kenangan. Hubungan mereka sudah hancur sejak
terungkapnya perasaan Alan yang sebenarnya. Sulit bagi Mia
untuk memaafkan ketidakjujuran Alan. Selain itu Mia juga
merasa tidak bisa membalas cinta Alan, karena dia
menganggap Alan hanya sebatas sahabat. Perlahan lahan,
airmata yang sudah ditahan Mia dari tadi mulai jatuh
membasahi foto foto itu. Mia menyeka airmatanya dengan
tangannya. Aku tidak boleh menangis, tekadnya.
Dia keluar dari kamar dan mencoba untuk menonton.
Tetapi dia tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya malah
melayang saat dia menonton berdua dengan Alan. Mia
mematikan televisi dan melemparkan remotenya begitu saja.
Dalam sekejap, ruangan yang tadinya diisi suara dari televisi
berubah menjadi hening. Mia mengedarkan pandangan ke
sekeliling ruangan. Sejak kepergian Alan, rumah itu seperti
kuburan. Tidak ada suara musik, cd, vcd dan dvd yang

381

dipasang dengan suara ekstra keras. Tidak terdengar lagi


suara Alan yang kerap menggodanya. Jauh di lubuk hatinya
yang paling dalam, Mia merasa kehilangan Alan. Mia
tersenyum kecut. Sulit kupercaya. Mia menggelengkan
kepalanya kuat kuat. Kemudian dia menatap foto Alan yang
tergantung di dinding. Aku benar benar rindu padanya.
***
Sejak pindah ke rumah Helen, kehidupan Alan jadi tidak
teratur. Dia pergi pagi pagi sekali dan pulang larut malam.
Helen juga sama sekali tidak pernah melihat Alan sarapan dan
makan malam. Biasanya Alan merokok kalau sedang ada
masalah, tetapi sekarang, hampir setiap saat dia melakukan
kebiasaan itu. Helen jadi cemas melihatnya. Dia mencoba
untuk menasihati adiknya itu, tetapi Alan sama sekali tidak
peduli. Dia selalu berdalih ingin menghilangkan stres yang
dideritanya akibat masalah pernikahannya. Tingkah Alan itu
membuat Helen kelimpungan. Dia tidak mau Alan kembali
seperti dulu, akrab dengan kehidupan malam. Helen meminta
bantuan orangtuanya. Helen pikir Alan mau mendengarkan
mereka. Namun, sama halnya dengan Helen, usaha
orangtuanya juga sia sia saja. Nasihat Mama dan papanya
tidak mempan terhadap Alan. Merasa putus asa, akhirnya
Helen memutuskan untuk meminta bantuan pada Mia. Dia
tidak peduli, apakah Mia masih marah atau tidak. Suka atau

tidak, dia harus mendengarkanku. Hidup suami sekaligus


sahabatnya dipertaruhkan di sini.
Dia berdiri di depan sekolah sambil memandangi setiap
wajah yang keluar. Helen tidak henti hentinya berdoa dalam
hati, agar Mia mau berbicara dengannya. Sudah pakai acara
bolos kerja segala. Sebaiknya usahaku ini berhasil. Pandangan
Helen terbentur pada sosok wanita cantik yang berjalan gontai
sambil memegang map. Mia! panggilnya dengan sekeras
mungkin.
Mia menoleh. Dia tertegun melihat Helen yang sedang
berlari kecil ke arahnya. Dia baru mau meneruskan langkahnya
ketika Helen kembali berteriak. Jangan coba coba pergi
sebelum kita berbicara! teriaknya. Dengan terpaksa Mia
berhenti. Dia tidak mau mereka berdua menjadi pusat
perhatian orang. Dia berdiri dengan wajah dingin.
Ada apa? tanyanya pendek.

382

Aku ingin bicara denganmu. Kumohon, sekali ini saja.


Demi persahabatan yang sudah kita jalin selama ini, kata
Helen dengan nada memelas.
Mia menghela napas. Sebenarnya dia masih menyimpan
perasaan kesal terhadap Helen, namun dia tidak bisa marah
pada Helen. Karena bagaimanapun juga Helenlah yang
menghiburnya pada saat dia gagal menikah. Baiklah. Aku
bersedia bicara denganmu. Kita bicara di rumahku saja, ucap
Mia.
Terima kasih, kata Helen.
***
Mia menghabiskan seluruh isi gelasnya dengan sekali
tegukan. Helen sampai terpana melihatnya.
Setelah minum, Mia menyandarkan punggungnya pada
kursi dan melipat tangan. Dia menatap tajam Helen yang
duduk persis di depannya. Apa yang ingin kau bicarakan?
Kuharap itu penting, karena untuk saat ini, demi memenuhi
keinginanmu, aku sedang mati matian menahan perasaan
kesalku padamu, kata Mia datar.
Baiklah. Aku akan langsung bicara. Pertama tama,
aku ingin minta maaf atas apa yang telah terjadi di antara kita.
Aku ingin kau tahu, kalau aku sama sekali tidak pernah berniat
membohongimu. Walaupun kita lebih sering berkomunikasi
melalui internet, aku mengenalmu dengan sangat baik. Aku
tahu kalau kau gadis yang istimewa. Ketika Alan mengutarakan
rencananya, aku mengalami dilema. Di satu sisi kau adalah
sahabatku dan aku tidak suka menyimpan rahasia darimu.
Namun, di sisi lain, Alan adalah adikku. Keinginanku untuk
melihat kalian berdua bersanding mengalahkan segalanya.
Karena itu kuputuskan untuk membantu Alan, urai Helen. Dia
melirik Mia yang menunduk.
Apa ada yang lain? tanya Mia masih dengan nada
datar.
Helen merasa tubuhnya menabrak tembok yang
sekokoh dan setebal tembok yang mengelilingi Troy setelah
melihat Mia yang tidak memberikan reaksi apa apa. Masih
banyak yang ingin kukatakan, kata Helen pelan.
Mia mengangkat wajahnya. Kalau begitu katakan
dengan singkat. Tidak usah berbelit belit, ucapnya masih
dengan nada datar.

383

Habis sudah kesabaran Helen melihat sikap Mia yang


dingin dan kaku. Aku rasa tidak ada gunanya aku bicara
panjang lebar. Sepertinya dia tidak peduli. Helen bangkit dari
kursi dan meraih tasnya. Lebih baik aku pulang. Tidak ada
gunanya kita bicara! Aku seperti bicara dengan patung,
tegasnya. Helen berjalan menuju pintu.
Mia terperangah. Dengan cepat dia merubah sikapnya.
Tunggu. Aku minta maaf jika sikapku menyinggungmu.
Kembalilah. Kita bicara lagi, kata Mia.
Helen berhenti. Kemudian dia menoleh. Dia
mengurungkan niatnya untuk pergi. Baiklah, cetusnya. Dia
kembali ke tempat duduknya semula.
Sekali lagi aku minta maaf. Jujur saja, aku begitu
karena masih kesal padamu, aku Mia terus terang.
Sudah kuduga, kata Helen tersenyum.
Sebaiknya kita lupakan saja apa yang terjadi. Kita
mulai dari awal lagi dan kuharap kita tidak saling menyimpan
rahasia, kata Mia.
Apa itu artinya kau sudah memaafkanku? tanya Helen
hati hati.
Mia mengangguk. Dia mengulurkan tangan kanannya.
Helen
menyambutnya
tanpa
ragu.
Mereka
saling
berpandangan. Tidak berapa lama keduanya tersenyum lebar.
Karena masalah kita sudah selesai, aku akan
mengatakan maksud kedatanganku yang lain, kata Helen
serius.
Apa itu?
Aku ingin kau menasihati Alan, kata Helen hati hati.
Mia terpana. Aku? katanya sambil menunjuk dirinya
sendiri.
Iya, kau.
Memangnya apa yang terjadi pada Alan? Dan kenapa
aku harus menasihatinya? tanya Mia terheran heran.
Mia, sejak perpisahan kalian, Alan kembali pada
kebiasaannya yang lama sebelum bertemu denganmu. Aku
dan keluargaku merasa khawatir melihatnya. Kami sudah
mencoba menasihatinya, tapi tidak ada hasil. Karena itu aku
meminta bantuanmu. Bagaimanapun juga kau adalah wanita
yang dicintainya. Dia pasti mendengarkanmu. Lagipula kau kan
masih istrinya yang sah, Helen mengingatkan.

384

Aku tidak bisa, tolak Mia. Maafkan aku, tetapi aku


benar benar tidak bisa. Hubungan kami bisa dibilang sangat
buruk. Jadi, aku tidak bisa berbuat apa apa.
Helen manggut manggut. Aku tidak akan
memaksamu. Tetapi, jika kau berubah pikiran, dia sekarang
tinggal di rumahku, beritahu Helen.
Mia tidak menyahut. Mulutnya bungkam. Dalam hati,
sebenarnya dia sangat miris mendengar apa yang terjadi pada
Alan. Tetapi dia sudah memutuskan untuk tidak mencampuri
kehidupan suaminya itu lagi. Biarkan saja dia melakukan apa

yang dia mau.

***
Mia baru saja selesai mandi, ketika bel rumahnya
berbunyi nyaring. Setelah menjemur handuknya, dia berjalan
untuk membuka pintu. Dia mengintip melalui jendela untuk
melihat siapa yang datang, namun dia tidak melihat siapapun.
Aneh. Kenapa tidak ada orang? Mia meraih handel pintu dan
memutarnya. Betapa terkejutnya Mia, saat melihat Hendra dan
Robert berdiri di depannya sambil menyeringai.
Alih alih memeluk mereka, Mia hanya berdiri diam
seperti patung. Mulutnya terkunci rapat. Hendra dan Robert
jadi kebingungan melihatnya. Kenapa reaksinya begini? Aku
kira dia akan menjerit kesenangan melihat kita, tapi kenapa
reaksinya seperti melihat hantu saja? Robert mengungkapkan
keheranannya.
Hendra mengibas ngibaskan tangannya di depan Mia,
namun tidak ada reaksi. Dia pun menepuk jidat Mia dengan
sangat keras sampai adiknya itu menjerit kesakitan. Dia
mengusap usap keningnya yang memerah bekas tepukan
Hendra. Kenapa Abang memukul keningku? Sakit tahu! ringis
Mia.
Tolong diralat. Aku bukannya memukul tetapi
menepuk, sahut Hendra kalem. Lagipula aku terpaksa begitu.
Kami datang jauh jauh dari Medan, sambutan yang kami
terima hanya begini saja. Masih mending dilempari telur deh
dari pada didiamkan. Setidaknya mereka tahu kalau kami ada,
sindir Hendra.
Mia tersipu malu. Maaf deh, kata Mia sambil
merangkul kedua abangnya itu. Aku benar benar terkejut

385

karena kalian tiba tiba saja menampakkan wajah di depanku


tanpa ada pemberitahuan.
Kami sengaja begitu karena ingin memberi kejutan,
Hendra mengedipkan mata.
Mia memeluk mereka dengan erat. Dia baru menyadari
betapa kangennya dia terhadap abang abangnya itu. Aku
rindu sekali pada kalian berdua.
Kami juga sayang. Makanya kami datang kemari,
Robert mengelus kepala adiknya itu dengan penuh rasa
sayang.
Mia melepaskan rangkulannya dan memandangi Hendra
dan Robert. Tetapi, kenapa Mama dan Papa tidak ikut?
Mereka akan datang tetapi setelah kami pulang dari
sini, sahut Robert.
Oh begitu. Jadi kalian datangnya bergantian, Mia
manggut manggut. Sebenarnya dalam hati dia merasa lega
orangtuanya tidak ikut. Kalau mereka sampai datang, aku tidak

tahu apa yang akan terjadi padaku dan Alan.

Mia, mau sampai kapan kami dibiarkan di luar? tanya


Hendra.
Mia menepuk keningnya. Oalah, aku lupa menyuruh
mereka masuk. Mia membuka pintu rumahnya lebar lebar.
Ayo masuk, ajaknya.
Hendra dan Robert masuk ke dalam rumah. Mereka
memperhatikan dengan seksama keadaan rumah itu.
Lumayan, pikir Hendra. Di mana Alan? tanya Robert.
Mia nyaris tersedak mendengar pertanyaan Robert.
Tangannya mendadak dingin. Wajahnya berubah tegang.
Astaga. Aku lupa kalau Alan tidak di sini lagi. Aduh bagaimana

ini. Aku belum siap memberitahukan mereka tentang apa yang


terjadi. Mia meremas remas tangannya. Butir butir keringat

sebesar jagung mengalir deras.


Mia, di mana Alan? Hendra mengulang pertanyaan
Robert. Mereka berdua menatap Mia dan menunggu jawaban
dari adik mereka itu.
Mia mencari cari jawaban yang tepat supaya kedua
abangnya itu tidak bertanya macam macam. Dia sedang
bekerja. Sebentar lagi juga pulang, jawab Mia sekenanya.
Kedua abangnya manggut manggut pertanda
mengerti.

386

Ayo, aku tunjukkan kamar kalian. Rumahku ini hanya


mempunyai dua kamar. Satu untuk aku dan Alan, yang lain
untuk tamu, terang Mia. Dia mencoba mengalihkan perhatian
kedua abangnya itu. Dia terpaksa berbohong karena dia tidak
punya pilihan lain. Dia tidak berani membayangkan kalau
Hendra dan Robert sampai tahu kalau dia dan Alan selama ini
tidur di kamar yang terpisah.
Hendra mengamati seisi kamar. Matanya terbentur pada
barang barang yang terletak di atas meja seperti buku
buku, pulpen, disket dan map berisi kertas. Dia memilih untuk
tidak bertanya. Namun, pada saat membuka lemari dan
menemukan beberapa kemeja dan celana, dia sudah tidak
tahan lagi. Ini barang barang siapa? Apa ini kepunyaan
tamu yang tertinggal?
Itu barang barang Alan, sahut Mia cepat. Karena
tidak muat di kamar kami, maka sengaja dipindahkan ke sini,
tambahnya lagi. Dia sudah menyiapkan alasan itu dari tadi.
Apa kalian tidak takut ada tamu yang mengambilnya?
Mia menggeleng. Selama ini yang menginap di sini
baru mertuaku, adik iparku dan kalian. Jadi tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Sekarang taruh saja barang barang
kalian. Aku ke kamar dulu, Mia meninggalkan kedua
abangnya.
Biasanya Alan pulang dari kantor jam berapa? cetus
Hendra.
Mia berhenti tepat di pintu kamar. Dia menoleh. Tidak
tentu. Kadang jam tujuh, tapi bisa juga jam sepuluh malam.
Apa kau tidak takut sendirian di rumah ini? kali ini
Robert yang bertanya.
Mia menggeleng. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Oh
ya, kalian mau minum apa? tanya Mia cepat. Dia ingin
mengalihkan perhatian kedua saudara laki lakinya itu dari
Alan. Kalau mereka bertanya terus, aku khawatir tidak

sanggup berbohong lagi.

Berhubung kita sudah lama tidak bertemu, kami rindu


sekali dengan kopi buatanmu. Bisakah kau menyuguhkannya
untuk kami? pinta Hendra.
Tentu saja, angguk Mia cepat. Mia bergegas ke dapur
dan membuatkan kopi untuk kedua abangnya itu. Setelah
menyajikannya, dia pergi ke kamarnya. Di sana, Mia mondar

387

mandir. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Mereka

bisa curiga kalau sampai tidak melihat Alan. Aku memang akan
memberitahukan mereka mengenai masalahku dengan Alan,
tetapi saat ini aku belum siap. Mia menggigit bibirnya. Apa aku
menelepon Alan saja untuk meminta bantuannya? Tetapi apa
dia mau menolongku mengingat pertemuan kami yang terakhir
di mana aku memperlakukannya sangat buruk. Peduli amat,
aku akan meneleponnya. Dia pasti mau menolongku. Mia mulai
memencet nomor Alan. Tetapi, beberapa saat kemudian, Mia
membatalkannya. Di mana harga dirimu Mia? Bagaimana

pandangannya nanti terhadap dirimu? Kau mencampakkannya,


tetapi sekarang kau ingin dia menolongmu. Mia ingin menjerit
sekeras kerasnya. Dia duduk di tepi ranjang sambil
memandangi ponselnya. Dia menghela napas. Aku tidak bisa

melakukannya. Ya sudahlah, kalau memang harus terbongkar


masalahku dengan Alan, maka terjadilah. Aku lelah terus
menerus menyimpan rahasia ini. Alan saja sanggup
menghadapi keluarganya kenapa aku tidak. Mia bangkit berdiri
dengan penuh rasa percaya diri. Aku pasti bisa mengatasi ini
semua. Aku yakin itu.
***
Mia sedang menikmati makan malam bersama Hendra
dan Robert ketika terdengar suara pintu dibuka. Ketiga abang
adik itu saling berpandangan heran.
Siapa itu? tanya Hendra.
Mana aku tahu, Mia mengangkat bahu.
Mungkin itu Alan, celutuk Robert.
Tidak mungkin, sahut Mia cepat. Ya, tidak mungkin itu

Alan. Kalaupun dia datang ke sini, pasti pada saat aku sedang
tidak di rumah.

Kedua abangnya serempak menoleh heran. Kenapa


kau bilang tidak mungkin Alan yang datang? tanya Hendra
dengan nada selidik. Mia baru menyadari kalau dia keceplosan
bicara.
Karena dia tadi meneleponku bilang, kalau dia
pulangnya jam sebelas malam. Ada pekerjaan yang harus
diselesaikannya hari ini, jawab Mia sekenanya.
Hendra manggut manggut. Kalau begitu siapa dong
yang datang?
Jangan jangan itu maling, celutuk Robert.

388

Hendra melihat jam tangan Casionya. Kalau bicara


jangan sembarangan. Mana ada maling yang datang jam
delapan malam? ucapnya.
Mereka bertiga duduk di ruang makan dalam keadaan
tegang. Kita tidak bisa diam saja menunggu si penyusup ini
datang ke dapur. Aku akan melihatnya, Mia bangkit dari
kursinya.
Jangan! kedua abangnya serempak mencegah.
Bagaimana kalau ternyata itu memang maling? tanya
Hendra. Biar kami saja yang melihatnya, lanjutnya lagi.
Mia mengurungkan niatnya, sementara kedua abangnya
berjalan mengendap endap menuju ruang tamu sambil
membawa sapu. Tiba tiba Mia mendengar suara teriakan.
Tanpa pikir panjang lagi, dia langsung berlari menuju ruang
tamu. Apa yang terjadi? tanyanya dengan nada panik.
Ternyata ini penyusupnya, Robert menarik Alan ke
depan Mia.
Ekspresi Mia yang tadinya penuh ketakutan sekarang
berubah menjadi terkejut. Terima kasih Tuhan, atas
pertolongan Mu, Mia mengucap syukur. Alan! serunya.
Jadi kau yang datang.
Alan mengangguk. Aku kan masih memegang kunci
rumah ini.
Apa maksudmu bilang kalau kau masih memegang
kunci rumah ini? tanya Hendra heran.
Jantung Mia nyaris copot mendengar pertanyaan
abangnya itu. Ah, Abang ini bagaimana sih. Sebenarnya Alan
mau bilang dia memegang kunci rumah ini. Oh ya, Mia
menoleh ke Alan, kenapa datangnya cepat sekali? Tadi kau
meneleponku bilang kau akan datang jam sebelas malam,
kata Mia cepat.
Alan terbengong bengong mendengar ucapan Mia.
Aku bilang begitu? Alan menunjuk dirinya sendiri. Perasaan,

aku tidak pernah bicara begitu.

Mia mengangguk kuat kuat. Bang Hendra dan Robert


datang dari Medan khusus untuk melihat keadaan kita. Jadi,
mereka akan menginap di sini. Apa kau sudah memberi
ucapan selamat datang pada mereka?
Mengertilah Alan sekarang kalau ternyata Mia belum
memberitahu keluarganya mengenai masalah pernikahan

389

mereka. Alan tersenyum pada abang iparnya. Walaupun bisa


dikatakan sangat jarang, Alan sangat senang bertemu dengan
Hendra dan Robert karena mereka berdua memiliki sifat yang
sangat menyenangkan. Mereka saling berangkulan dan
berjabat tangan.
Kau semakin tampan saja. Tetapi, tetap saja tidak bisa
melebihi aku, gurau Hendra.
Alan tertawa geli mendengarnya.
Hei, waktu kau datang, kami sedang makan malam.
Bagaimana, kalau sekarang kau bergabung dengan kami?
ajak Robert.
Oke, sahut Alan singkat.
Makan malam berlangsung dengan penuh keceriaan.
Alan beserta Hendra dan Robert tidak henti hentinya
bercanda. Mia sendiri memilih diam. Dia menyadari
sepenuhnya bagaimana hubungannya saat ini dengan Alan.
Jadi dia memilih untuk menjaga jarak.
Ada apa denganmu, Mi? tanya Robert. Dari tadi kau
diam saja.
Ah, apa? Tidak. Aku sedang mendengarkan candaan
kalian, kata Mia salah tingkah. Mia semakin gugup saat Alan
melemparkan tatapan mautnya.
Tanpa bertanya tanya lagi, Alan, Hendra dan Robert
menyantap makanan mereka yang masih tersisa.
***
Jadi kau belum mengatakan apa yang terjadi di antara
kita pada keluargamu? tanya Alan tanpa emosi saat mereka
berdua berada di kamar. Dia duduk di tepi ranjang sambil
menatap tajam Mia yang berdiri tepat di depannya.
Mia menggeleng lemah.
Alan mendengus dingin. Ternyata kau tidak seberani
yang kukira, ejeknya.
Mia menatap tajam pria yang masih berstatus suaminya
itu. Aku bukannya tidak berani, tetapi aku sedang mencari
momen yang tepat untuk mengatakannya, bantahnya.
Sama saja, cetus Alan cuek.
Ah, sudahlah, Mia mengibaskan tangannya. Percuma
saja berdebat denganmu. Tidak ada gunanya. Buang buang
tenaga saja. Sebenarnya, ada yang ingin kutanyakan dari tadi.
Kenapa kau datang ke sini?

390

Aku datang mengambil barang barangku yang masih


ada di sini, sahut Alan. Hei, aku rasa kau harus berterima
kasih padaku. Tadi, bisa saja aku mengatakan semuanya pada
abang abangmu, tetapi aku tidak melakukannya.
Mia mendengus sebal. Terima kasih banyak, katanya
ketus. Sekarang minggir! Aku mau tidur!
Enak saja. Dulu, aku bersedia tidur di lantai, tetapi
sekarang tidak. Aku sudah membantumu dan sekarang aku
menuntut balasannya. Aku mau tidur di sini, kata Alan sambil
menepuk nepuk ranjang yang dia duduki. Kau bisa tidur di
sini bersamaku. Itupun kalau kau mau, katanya santai.
Tidak, terima kasih, kata Mia dingin. Aku tidur di
lantai saja, tolaknya.
Alan bangkit dari ranjang dan berjalan mendekati
istrinya itu. Mia sampai mundur beberapa langkah sampai
akhirnya tubuhnya tertahan pada dinding kamar. Dia
membuang muka ke samping, karena tidak berani melihat
wajah Alan yang sangat dekat dengannya. Bahkan, saking
dekatnya, hidung mereka berdua saling bersentuhan. Kenapa
kau tidak mau tidur di ranjang? Apa kau takut aku akan
melakukan perbuatan yang tidak tidak padamu? tanya Alan
dengan raut wajah menggoda.
Jangan sembarangan menuduh yah! Aku tidak takut
tidur denganmu, bantahnya. Kita kan sudah berpisah, jadi
untuk apa tidur bersama?
Buatku, selama belum menandatangani surat cerai, kita
masih resmi berstatus suami istri, tegas Alan.
Tapi kau sudah meninggalkan rumah ini, kata Mia
tidak mau kalah.
Tapi aku kan sudah kembali lagi, balas Alan.
Mia ingin membuka mulut untuk membalas ucapan Alan
tetapi dia mengurungkan niatnya. Dia memilih mengunci rapat
bibirnya. Namun, tenggorokan Mia tercekat melihat gerakan
Alan yang ingin menciumnya. Mia ingin menghindar, tetapi
tubuhnya tidak bisa bergerak. Seolah olah, ada tangan
tangan kokoh tidak terlihat yang memeganginya. Mau apa
kau? tanya Mia dengan suara yang tidak lebih dari sebuah
bisikan.
Aku mau menciummu, kata Alan terus terang.
Kenapa? Kau tidak suka yah?

391

Iya! kata Mia dingin.


Ah, peduli amat kau suka atau tidak. Kau kan masih
istriku, jadi aku bebas melakukan apa saja terhadapmu, kata
Alan santai. Dia semakin mendekatkan wajahnya. Mia memilih
memejamkan matanya. Lama menunggu, Mia tidak merasakan
apa apa. Perlahan lahan, dia membuka matanya. Betapa
terkejutnya dia, melihat Alan sudah berbaring di atas tempat
tidur dengan posisi tubuh membelakanginya. Apa sih maunya
dia sebenarnya? Mia geleng geleng kepala karena tidak habis
pikir melihat tingkah Alan. Tadi dia bilang mau menciumku,

sekarang dia malah tidur.

Kenapa tidak jadi menciumku?


Jadi, kau sangat menginginkannya toh?
Mia mendengus sebal. Enak saja. Tidak
sudah pernah merasakannya. Tidak enak, kata
Alan tidak menyahut tetapi dia tersenyum geli
ucapan Mia. Sudah lama sekali aku tidak

ocehannya itu.

butuh. Aku
Mia santai.
mendengar

mendengar

Bagaimana? Kau tidur di sini atau di lantai?


Kan sudah kubilang, aku tidur di lantai!
Pengecut, ledek Alan membuat wajah Mia merah
padam. Hatinya panas dibilang pengecut. Minggir,
bentaknya. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
Tidak jadi tidur di lantai? goda Alan.
Kalau sampai, aku tahu tanganmu jalan jalan, aku
akan mematahkannya tanpa ragu sedikitpun! tegas Mia.
Kau mengancamku yah?
Diam! Aku lelah sekali, jadi biarkan aku tidur dengan
tenang, kata Mia. Dia tidak menjawab pertanyaan Alan. Tidak
berapa lama, Mia tertidur dengan pulasnya tanpa mengetahui
ada sepasang mata yang penuh rasa cinta sedang
memandanginya. Alan menatap wajah Mia yang tidur nyenyak
seperti bayi dengan penuh kelembutan. Dia membelai setiap
senti wajah Mia dengan matanya. Tangannya bergerak hendak
mengelus pipi Mia, tetapi dia menariknya kembali karena takut
istrinya itu bangun. Dia hanya mendesah pelan. Tidurlah Miaku

sayang. Aku akan menjagamu.

Sementara itu, di luar, Hendra dan Robert menatap


pintu kamar Mia dengan wajah penasaran. Sudah tidak

392

terdengar lagi. Sepertinya mereka sudah tidur, gumam


Hendra.
Robert menggaruk garuk kepalanya. Aku benar
benar ingin tahu, mereka itu sebenarnya ngapain sih?
Bertengkar atau sedang mengobrol?
Hendra
mengangkat
bahu
sebagai
pertanda
ketidaktahuannya. Kalau kau mau tahu, tanya saja langsung
pada orangnya.
Robert merengut sebal.
Menurutku ada tiga kemungkinan kenapa suara mereka
sampai terdengar keluar kamar. Pertama, mereka sedang
mengobrol. Kedua, bertengkar. Ketiga, mungkin mereka
sedang gituan. Yah, kau tahulah maksudku, kata Hendra.
Robert menatap Hendra jijik. Kau ini, pikiranmu selalu
kotor seperti biasanya. Aku jadi ingin sekali mengecek isi
kepalamu itu. Apa yang terjadi di dalam sana bukan urusan
kita. Aku mau tidur.
Hendra terkekeh geli. Dia menatap pintu kamar Mia
sebelum pergi tidur.

BAB 23
Alan memandang wajahnya lekat lekat yang terpantul
di meja rias Mia. Sialan, gara gara tidak tidur semalaman,

mataku jadi sayu begini. Dia menggosok gosok matanya.

393

Tetapi, tidak apa apa. Kapan lagi, aku bisa memandangi


wajah Mia pada saat tidur? Itu kan kesempatan yang langka
sekali.
Pecah deh tuh kaca dipandangi terus, celutuk Mia
mengejutkan Alan. Mau sampai kapan kau terus di situ?
Untung ini hari Minggu. Kalau tidak, kau bisa terlambat datang
ke kantor gara gara kelamaan menatap wajahmu yang pas
pasan itu di depan cermin.
Alan menoleh. Jadi menurutmu wajahku ini pas
pasan? Kalau memang begitu adanya kenapa yah, banyak
sekali gadis yang tertarik dengan wajah pas pasanku ini?
Mia melengos. Dia enggan menanggapi ucapan Alan.
Abangku menunggumu untuk sarapan.
Alan terkekeh geli. Dasar, masih tak mau juga mengakui
kalau wajahku ini tampan. Tanpa banyak bicara Alan
mengekor di belakang Mia menuju ruang makan.
Kau kenapa? Mukamu kusut sekali? tanya Robert
heran saat Alan duduk di depannya.
Tidak apa apa. Sepertinya aku kurang tidur, sahut
Alan sekenanya.
Selesai sarapan mereka duduk di ruang menonton.
Aku tahu kenapa wajahmu kusut begitu, celutuk
Hendra. Kemarin malam kau lembur yah? tanya Hendra
sambil tersenyum nakal.
Alan nyaris tersedak mendengar ocehan iparnya itu. Dia
terbengong bengong. Demikian pula Mia. Wajahnya merah
padam karena malu.
Robert menatap Hendra. Kau ini. Kalau bercanda lihat
lihat dulu dong situasinya, desisnya.
Tidak apa apa kok. Kau benar, Hendra. Semalam aku
memang lembur. Habis mau bagaimana, kalau istri sudah
meminta, tidak ada yang bisa dilakukan suami selain
menurutinya, kata Alan sambil melirik Mia.
Tawa Hendra dan Robert pecah. Sudah kuduga.
Soalnya, kemarin malam, suara kalian sampai kedengaran
keluar sih, celoteh Robert. Dra, sepertinya, tidak lama lagi,
kita akan punya keponakan, lanjutnya lagi.
Mia terpana saat mendengar ucapan Robert. Aku tidak

bisa menyimpan rahasia ini lagi. Aku tidak sanggup jika harus
berbohong lagi. Aku harus mengatakan yang sebenarnya
394

kepada mereka. Tidak ada pilihan lain. Daripada mereka


berharap terus. Mia menarik napas dalam dalam. Dia merasa

inilah waktu yang tepat untuk mengatakan yang sebenarnya


pada Hendra dan Robert. Itu tidak akan terjadi, gumamnya
pelan tetapi cukup untuk membuat Hendra, Robert dan Alan
terdiam.
Apa maksudmu? tanya Hendra heran.
Kalian tidak akan pernah memiliki keponakan karena
aku dan Alan tidak berhubungan layaknya suami istri.
Pernikahan kami ini tidak sungguhan. Aku menikah dengan
Alan karena ingin menolongnya lepas dari perjodohan.
Sebelum melangsungkan pernikahan, kami sudah membuat
jumlah kesepakatan. Tetapi ini bukan menikah kontrak, karena
kami tidak pernah menargetkan sampai kapan kami menikah,
kata Mia terus terang.
Hendra dan Robert terpana kaget. Apa kau sedang
bercanda, Miana? Hendra menatap tajam adiknya itu.
Mia menggeleng kuat kuat. Hendra dan Robert
serempak menoleh pada adik iparnya yang memasang wajah
tanpa ekspresi. Itu benar, cetus Alan singkat.
Hendra mengetuk ngetuk meja dengan jarinya. Dia
menoleh ke arah pasangan suami istri itu. Tatapannya sedingin
es dan penuh amarah. Jadi selama ini kalian membohongi
kami? suara Hendra terdengar kaku.
Mia dan Alan diam membisu.
Apa kalian sudah gila? semburnya sambil menggebrak
meja. Kalian ini punya otak atau tidak sih? Apa kalian pernah
memikirkan
bagaimana
seandainya
keluarga
kita
mengetahuinya? Kalian bisa membuat orangtua kita terkena
serangan jantung!
Keluargaku sudah mengetahuinya, gumam Alan.
Apa? Jadi yang belum mengetahuinya cuma kami, Papa
dan Mama? Hendra menoleh ke Mia.
Mia mengangguk lemah.
Kalian benar benar keterlaluan. Memangnya kalian
pikir kami ini siapa? Tega teganya kalian membodohi kami
selama ini! Hendra mengungkapkan kekesalannya.
Maafkan kami, Bang. Kami sama sekali
Jangan bilang kalian tidak bermaksud membohongi
kami, Hendra memutus ucapan Mia. Alasan itu klise!

395

Mia tertunduk lesu. Dia meremas remas tangannya


sebagaimana biasa jika dia kebingungan.
Robert yang dari tadi diam akhirnya angkat suara. Apa
boleh buat, ini sudah terjadi, celutuknya dengan wajah tanpa
ekspresi. Jangan beritahu Mama dan Papa.
Kenapa? tanya Mia polos.
Dasar bodoh! Itu sama saja kau membunuh mereka
tahu! bentak Hendra.
Bohongan
atau
sungguhan,
kalian
harus
mempertahankan pernikahan ini, tegas Robert.
Tidak bisa, gumam Mia. Kami akan bercerai.
Mata Hendra dan Robert terbelalak. Apa? seru
keduanya serempak.
Mia dan Alan mengangguk.
Apa alasannya? tanya Hendra dengan suara setenang
mungkin.
Karena Alan jatuh cinta padaku, tandas Mia terus
terang.
Hendra dan Robert melongo. Kalian akan bercerai
hanya karena salah satu di antara kalian jatuh cinta terhadap
pasangannya? lontar Hendra.
Pasangan yang masih berstatus suami istri itu
mengangguk.
Hendra menggeleng gelengkan kepalanya. Itu adalah
salah satu alasan perceraian paling konyol yang pernah
kudengar, katanya. Orang paling bodoh saja bisa
menemukan alasan yang tepat untuk bercerai. Sedangkan
kalian..., sulit kupercaya.
Daripada bercerai, alasan itu bisa kalian gunakan untuk
mempertahankan pernikahan, seru Robert.
Maaf, tetapi kami tidak bisa. Pernikahan kami ini
adalah suatu kesalahan, karena itu harus diperbaiki, ucap Mia.
Yang bersalah di sini bukan Mia, tetapi aku, akhirnya
Alan buka suara setelah dari tadi lebih banyak diam. Aku yang
memaksanya
untuk
menikah
denganku.
Aku
yang
merencanakan ini semua, jadi kalau kalian mau marah
lampiaskan saja padaku.
Hendra tertawa dingin. Kalian ini benar benar
pasangan yang hebat dalam hal menyakiti orang. Terserah
kalian mau melakukan apa, kami tidak mau tahu. Ayo Robert,

396

malam ini kita menginap saja di hotel. Aku tidak tahan berada
di sini. Hawa kebohongannya membuat aku sulit bernapas.
Jangan begitu dong, Bang, Mia memelas.
Jangan bicara lagi, bentak Robert. Mia dan Alan
sampai terperangah dibuatnya. Bagaimana tidak, selama ini
Robert dikenal sebagai orang yang sangat tenang dalam
menghadapi berbagai masalah dan sama sekali tidak pernah
marah. Namun, perbuatan Mia dan Alan rupanya kali ini benar
benar keterlaluan sehingga Robert tidak bisa mentolerir lagi.
Sebelum kalian memperbaiki kesalahan yang kalian buat,
jangan coba coba menemui kami! tegasnya dengan wajah
dingin.
Hendra dan Robert masuk ke kamar mereka dan mulai
membereskan barang barang mereka. Mia tidak kuasa
mencegahnya. Dia dan Alan hanya berdiri diam sambil
memperhatikan gerak gerik Hendra dan Robert. Setelah
selesai, mereka meninggalkan Mia dan Alan tanpa bicara
sepatah katapun. Mia hanya bisa memandangi kepergian
mereka dengan wajah bersimbah air mata.
***
Sejak kepergian Hendra dan Robert, Mia terus menerus
mengurung diri di dalam kamar. Alan jadi cemas dibuatnya.
Dia berdiri di depan kamar Mia. Aku bisa mengerti kenapa dia
sampai begini. Reaksi keluarganya lebih parah dari keluargaku.
Alan menggerakkan tangannya untuk mengetuk pintu. Namun,
entah apa yang ada di pikirannya, dia mengurungkan niatnya.
Tangannya menggantung di udara. Dia memutar handel pintu
dan mendorongnya. Hatinya terenyuh saat melihat Mia duduk
terpekur di atas ranjang sambil menekuk lututnya dengan
wajah penuh linangan air mata. Dia mengangkat wajahnya.
Kenapa kau masih di sini? tanyanya pada Alan.
Dengan keadaanmu seperti ini, tidak mungkin aku
meninggalkan kau sendirian.
Kau tidak perlu cemas. Aku akan baik baik saja.
Jangan bersikap sok tegar deh. Alan duduk di tepi
ranjang. Kau membutuhkan seorang teman, Mi. Apa pun yang
terjadi di antara kita, aku tetap temanmu, karena kita sudah
memutuskan itu dari awal, ucapnya lembut. Dia mengelus
kepala Mia dengan penuh rasa sayang. Aku yang
membawamu ke dalam jurang penuh masalah ini, karena itu

397

aku bertanggung jawab untuk menarikmu keluar. Aku akan


meyakinkan Hendra dan Robert untuk memaafkanmu.
Mia tersenyum kecut. Bagaimana cara kau meyakinkan
mereka?
Aku belum tahu. Mungkin dengan berlutut dan
memohon, jawab Alan sekenanya. Pokoknya aku akan
menyelesaikan masalah ini secepatnya, cetus Alan penuh
percaya diri.
Mia menyeka air matanya. Kau tidak usah
melakukannya. Kedua abangku itu orangnya sangat keras.
Sampai saat ini, hanya aku yang bisa meluluhkan hati mereka.
Jadi, kau tidak perlu melakukan usaha yang sia sia. Lebih
baik, kita selesaikan saja permasalahan kita. Bagaimana
dengan urusan perceraian?
Alan terkesiap. Aku belum mengurusnya. Aku sibuk
sekali.
Mia manggut manggut. Diam diam, perasaan
senang menelusup dalam hatinya. Aneh, kok aku senang dia

belum mengurus surat perceraian kami.

Kalau kau mau, aku akan menyuruh orang untuk


mengurusnya.
Mia tersenyum tipis. Dengan wajah sembab dan mata
yang bengkak, senyum Mia terlihat lucu. Alan terkekeh
melihatnya. Tidak usah buru buru. Terserah kau saja, kapan
kau mau mengurusnya.
Ya sudah kalau begitu.
Mia melirik Alan. Kenapa kau jatuh cinta padaku, Lan?
akhirnya Mia melontarkan pertanyaan yang sudah sekian lama
ia simpan.
Kenapa kau tiba tiba menanyakan itu?
Karena aku ingin tahu.
Alan menghela napas. Aku jatuh cinta padamu karena
kau sangat berbeda. Kau membuatku tertawa dengan gaya
bicaramu yang ceplas ceplos. Biasanya wanita yang bertemu
denganku selalu berusaha mencari perhatianku, tetapi kau
tidak. Kau selalu bersikap apa adanya. Aku menyukai semua
yang ada pada dirimu. Caramu berbicara, tersenyum, tertawa,
berpakaian. Pokoknya semuanya deh. Di atas semua itu,
kaulah satu satunya wanita yang bisa memahamiku. Mata
Alan menerawang. Aku tidak tahu kapan persisnya jatuh cinta

398

padamu. Yang pasti, setiap melihatmu, jantungku selalu


berdebar debar. Yang ada di benakku hanya wajahmu.
Setiap saat, aku selalu ingin bertemu denganmu. Melihatmu
tertawa dan tersenyum. Selain itu, aku ingin sekali menghajar
setiap pria yang berbicara denganmu. Alan menatap Mia
dengan lembut. Mulanya aku tidak menyadari kalau aku sudah
jatuh cinta padamu sampai ada yang memberitahuku. Setelah
lama berpikir, akhirnya kuputuskan untuk mengatakan
perasaanku padamu. Tetapi reaksimu benar benar
menakutkanku. Rasa takut kehilanganmu mengalahkan
perasaan cintaku, jadi aku memutuskan untuk meralatnya,
urainya panjang lebar.
Jadi sebelum menikah denganku, kau sudah mulai
mencintaiku?
Alan mengangguk pelan. Aku kira dengan menikahimu,
aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku. Ternyata dugaanku
meleset, Alan tersenyum masam. Tetapi tidak apa apa,
setidaknya aku bisa hidup bersama dengan wanita yang
kucintai, walaupun kita tidur di kamar terpisah, Alan
menghibur dirinya sendiri.
Kenapa kau menyembunyikan kenyataan itu dariku,
Lan?
Bukannya kau sudah mengetahuinya pada saat rahasia
kita terbongkar. Aku melakukannya karena aku takut
kehilanganmu. Berpisah denganmu, adalah salah satu hal yang
paling kutakuti dalam hidup ini. Tetapi, kau tidak perlu
khawatir. Aku sudah bisa mengatasinya kok. Akhirnya aku
sadar kalau cinta tidak bisa dipaksakan, jadi perasaan takut itu
sudah kubuang jauh jauh, kata Alan menenangkan.
Mia tertegun setelah mendengar penjelasan panjang
yang keluar dari mulut Alan. Tanpa dia sadari, air matanya
jatuh membasahi pipinya. Cepat cepat dia membuang muka
dan menyekanya supaya Alan tidak melihatnya.
Aku belum pernah mengatakannya secara langsung di
depanmu. Karena itu aku akan mengatakannya untuk yang
pertama dan terakhir kalinya, cetus Alan. Dia memegang
wajah Mia dengan kedua tangannya.
Aku mencintaimu Miana Hendrawan. Lebih dari
apapun, dia menarik wajah Mia dan mencium bibirnya dengan

399

sangat lembut. Mia memejamkan matanya dan menangis. Dia


sama sekali tidak menolak ciuman dari Alan.
Dari bibir Mia, Alan berpindah ke telinga Mia. Aku akan
mengurus surat perceraian kita secepatnya, bisiknya lirih. Mia
terpana. Hatinya seperti ditusuk pisau mendengar ucapan
Alan. Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Sebenarnya

bagaimana perasaanku terhadap Alan selama ini? Apakah aku


menyayanginya sebagai teman atau tidak? Berbagai

pertanyaan berputar putar di benak Mia.


Beristirahatlah. Kalau kau membutuhkanku, aku ada di
kamar, Alan mengusap lembut kepala Mia.
Mia tertegun memandang punggung Alan yang bergerak
menjauh meninggalkannya. Dia menyentuh bibirnya yang
dicium Alan. Masih hangat. Sebenarnya apa yang terjadi

padaku? Kenapa aku tidak bisa merasakan sesuatu terhadap


Alan? Padahal, aku senang sekali bersama dengannya. Aku
juga rindu padanya jika kami lama tidak bertemu. Mia bertanya

tanya. Mia mencoba mengingat ingat peristiwa demi


peristiwa baik dan buruk yang pernah menimpanya.
Bagaimana dia melalui itu semua. Dia menganalisa semua
kejadian yang pernah dialaminya.
Entah peristiwa apa yang terlintas di pikiran Mia saat
itu. Dia langsung melompat dari atas tempat tidurnya dan
bergegas mandi. Dia menyambar tasnya dan pergi
meninggalkan rumah begitu saja tanpa bicara sepatah katapun
pada Alan. Walhasil, suaminya itu terbengong bengong saat
tidak menemukan Mia disetiap ruangan rumah mereka. Alan
menggaruk garuk kepalanya. Kemana perginya Mia? Kok dia

main pergi saja tanpa memberitahuku. Apa dia marah karena


aku menciumnya. Tetapi, tadi dia sama sekali tidak menolak
ciumanku. Alan mencoba menghubungi ponselnya namun yang
terdengar justru mailbox. Alan menghempaskan pantatnya ke
kursi. Semoga saja, dia tidak melakukan tindakan bodoh.
***
Arman meneguk tehnya. Aku terkejut sekali
mendengarmu ingin bertemu denganku. Di rumahku pula,
cetusnya sambil tersenyum. Kalau sampai begini, pasti ada
masalah penting yang ingin kau bicarakan denganku,
terkanya.

400

Mia tidak menjawab. Dia memandang Arman dengan


wajah tanpa ekspresi. Aku ke sini untuk memutuskan
hubungan pertemanan kita, cetusnya dingin.
Arman terbelalak. Kenapa?
Aku ingin menarik ucapanku pada saat kita bertemu.
Aku ingin meralat ucapanku kalau aku sudah tidak
membencimu lagi. Ternyata, rasa benciku padamu jauh lebih
besar dari yang aku kira, jawabnya datar.
Arman menelan ludah. Apa yang membuatmu berubah
pikiran secepat itu? Apa Alan yang memintanya?
Alan tidak pernah memintaku untuk menjauhimu
walaupun sebenarnya dia tidak menyukaimu setelah
mengetahui apa yang kau lakukan padaku. Ini inisiatifku
sendiri. Gara gara kau, aku jadi begini, tuding Mia.
Aku? Arman menunjuk dirinya sendiri.
Sejak kau meninggalkanku di gereja, aku jadi tidak
mempercayai cinta. Aku jadi takut untuk mencintai! Aku takut
jatuh cinta! teriak Mia histeris.
Arman terpana. Mia. Aku tidak
Gara gara kau, aku jadi tidak bisa membalas cinta
suamiku sendiri. Kau telah membuat hatiku membeku, suara
teriakan Mia bercampur dengan isak tangis.
Arman bungkam. Dia benar benar tidak tahu harus
berkata apa. Dia memandang Mia yang sedang menangis
dengan tatapan penuh kepedihan. Aku tidak menyangka

dampak perbuatanku akan sehebat ini.

Mia, maafkan aku, cetusnya.


Mia melap airmatanya dengan saputangan. Maaf,
katamu? Kau pikir dengan kata maaf, kau bisa menghapus
lembaran hitam dalam hidupku akibat perbuatanmu? Kalau
cuma masalah maaf, aku sudah memaafkanmu sejak lama.
Aku membencimu karena kau membuat perasaan cintaku
padamu layu sebelum berkembang.
Arman menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Jika ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki kesalahan
yang sudah kubuat, katakan saja, katanya dengan suara
memelas.
Memangnya apa yang bisa kau lakukan? tanya Mia
dingin.
Apa saja, selama itu bisa membantumu.

401

Mia mendengus. Tidak usah repot repot. Aku tidak


butuh bantuanmu. Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku datang
ke sini hanya untuk mengeluarkan unek unekku dan
membuatmu tidak lepas dari perasaan bersalah entah untuk
berapa lama, Mia berdiri dan meraih tasnya. Aku mau
pulang, cetusnya singkat. Berada di sini membuatku ingin
marah.
Mia berjalan menuju pintu dan meninggalkan Arman
yang duduk termangu.
Di dalam taksi, sepanjang perjalanan menuju rumah,
Mia terhanyut dalam lamunan. Sekarang aku tahu kenapa aku

tidak bisa membalas cinta Alan. Sejak gagalnya pernikahanku


dengan Arman, aku jadi takut jatuh cinta. Setiap bertemu
dengan pria yang menarik perhatianku, aku selalu berusaha
untuk membuang jauh jauh perasaan suka. Aku takut
dikecewakan untuk kedua kalinya. Itu pula yang menjadi
alasanku menikah dengan Alan. Karena kami menikah tanpa
cinta, maka kecil kemungkinan kami saling menyakiti. Tidak
kusangka, akhirnya akan begini. Mata Mia menerawang melalui
kaca jendela mobil. Dia tersenyum kecut. Aku benar benar
wanita yang sangat menyedihkan.

***
Begitu menginjakkan kakinya di teras, Mia langsung
disambut Alan. Dari mana saja kau? Kenapa pergi tidak bilang
bilang? tanya Alan dengan nada cemas.
Aku pergi untuk bertemu dengan Arman, kata Mia
terus terang. Dia memilih tidak masuk ke dalam rumah. Dia
berjalan ke halaman dan duduk di atas rumput.
Alan terdiam. Dia mengikuti Mia ke halaman. Dia hanya
berdiri sambil memandangi jalanan yang berada tepat di
depan rumahnya.
Mia mendongak dan menatap Alan. Kau tidak ingin
tahu kenapa aku mencarinya?
Alan menggeleng dan tersenyum tipis. Aku rasa itu
bukan urusanku, Alan menghempaskan pantatnya di atas
rumput.
Mia tersenyum kecut. Tentu saja itu urusanmu karena
kau masih suamiku.
Baiklah. Kenapa kau menemuinya?

402

Ada yang ingin kukatakan padanya. Tetapi kau benar,


aku tidak ingin membicarakannya lagi. Semua itu sudah
berlalu, gumam Mia.
Alan tersenyum masam. Kau ini bagaimana sih. Giliran
gak ditanya, kau keheranan. Giliran ditanya, kau malah tidak
memberitahu, protes Alan.
Maaf, cetus Mia singkat.
Tidak apa apa. Lupakan saja, Alan menghempaskan
tubuhnya di atas kursi tepat di samping Mia.
Lan, aku sudah menemukan jalan keluar dari
permasalahan kita.
Alan terkesiap. Pelan pelan, dia menoleh ke Mia. Apa
jalan keluarnya? tanya Alan dengan suara yang dibuat
setenang mungkin.
Kita harus berpisah untuk sementara waktu.
Kau ingin aku meninggalkan rumah ini?
Bukan kau saja. Tetapi aku juga. Aku akan
meninggalkan rumah ini dan pindah ke kota lain. Aku perlu
waktu untuk menenangkan diri dan memastikan bagaimana
perasaanku padamu. Begitu juga denganmu. Kau juga harus
pergi ke tempat yang kau suka untuk melakukan hal yang
sama denganku. Kita tidak perlu memberitahukan keberadaan
kita satu sama lain. Kalau kita bertemu lagi dan perasaan kita
sudah yakin, aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.
Tetapi sebaliknya, jika kita bertemu dan tidak ada perasaan
apa apa, mungkin kita harus berpisah. Bagaimana? Apa kau
setuju?
Jadi kita berpisah tanpa menandatangani surat
perceraian?
Mia mengangguk mantap.
Alan manggut manggut. Sepertinya usulmu itu
sangat menarik. Jujur saja, aku paling tidak suka kalau harus
berpisah denganmu. Rasanya berat sekali. Tetapi apa boleh
buat, alasan kita melakukannya kan untuk kebaikan kita juga.
Alan sempat terdiam. Baiklah. Aku setuju. Tetapi apa perlu
kita memberitahu keluarga kita masing masing?
Tentu saja. Aku yakin mereka pasti akan mengerti
alasan kita melakukannya. Lagipula, aku tidak sanggup
menyimpan kebohongan ini dari orangtuaku. Jadi, aku sudah
memutuskan untuk memberitahu mereka.

403

Apa kau yakin? Abangmu pernah bilang, kalau kau


memberitahu mereka, itu sama saja kau.kau tahu maksudku
kan?
Mia tersenyum tipis. Kau tenang saja. Aku tidak akan
gegabah, melakukannya tanpa persiapan yang matang.
Lagipula, kedua abangku itu suka berlebihan. Kau tenang
saja.
Alan melipat tangannya dan mendesah pelan. Aku
tidak tahu apa aku sanggup berpisah denganmu untuk waktu
yang tidak bisa ditentukan? cetusnya.
Aku juga berpikiran yang sama. Aku mungkin akan
kehilangan mulutmu yang bawel itu. Tetapi mau bagaimana
lagi, hanya ini cara yang bisa kita tempuh. Kita tidak bisa
bersama kalau belum yakin dengan perasaan kita masing
masing.
Apa kau meragukan perasaanku, Mi?
Mia tersenyum malu. Aku belum percaya kalau kau itu
benar benar mencintaiku mengingat sifatmu yang playboy.
Bagaimana mungkin seorang playboy berubah secepat itu.
Alan tersenyum masam. Aku paling benci kalau ada
yang meragukanku. Oh ya, kapan dan di mana kita bertemu
setelah sekian lama berpisah?
Untuk membuktikan kalau kita memang ditakdirkan
hidup bersama, kita tidak perlu merencanakan untuk
menentukan waktu dan tempat bertemu?
Alan terlihat bingung. Apa kau tidak bisa bicara dengan
bahasa yang lebih sederhana lagi?
Kita tidak usah menentukan tempat dan waktu untuk
bertemu.
Jadi, bagaimana caranya kita bisa bertemu setelah
sekian lama berpisah?
Kita serahkan saja semuanya pada Tuhan. Kalau
memang jodoh, kita pasti bertemu lagi.
Apa kau sudah gila? Bagaimana kalau misalnya kita
tidak pernah bertemu lagi?
Mungkin itu sudah sudah nasib kita berdua, kata Mia
pasrah.
Mana boleh begitu, protes Alan. Aku tidak mau
selamanya berpisah denganmu. Kalau memang kita tidak

404

ditakdirkan sebagai pasangan hidup, tetapi kita kan bisa


bersahabat.
Dengan adanya perasaan cinta dalam dirimu, kau pikir
mudah untuk bersahabat?
Yah, kita kan bisa mencoba dengan sekuat tenaga.
Lagipula, ada yang membuatku khawatir. Kita berpisah tanpa
menandatangani surat cerai. Bagaiamana kalau salah satu di
antara kita ada yang ingin menikah? Kan bisa terhalang
jadinya, celotehnya.
Memangnya kau mau menikah lagi?
Tentu saja tidak. Istriku yang sekarang saja belum
pernah kusentuh, masa aku sudah mencari yang lain,
gumamnya.
Mia cemberut. Belum pernah disentuh katamu? Lalu
ciuman itu apa?
Alan tertawa kecil. Itu kan hanya ciuman. Tidak berarti
apa apa. Orang yang belum menikah sudah biasa
melakukannya. Masalahnya, kita sudah menikah. Seharusnya
kita bisa melakukan lebih dari ciuman, cetusnya setengah
menggoda.
Mia menggeleng gelengkan kepalanya. Ckckck,
jadi selama ini, hanya itu saja yang ada di kepalamu?
Jangan salahkan aku dong. Aku kan hanya manusia
biasa yang kadang kadang tidak bisa mengendalikan
pikiranku, Alan membela diri.
Mia tidak menjawab. Dia mengangkat kepalanya dan
menatap ke langit . Sepertinya cuaca mendung malam ini.

Tidak ada satu pun bintang yang terlihat. Hanya ada awan.
Apakah ini akan menjadi pertanda buruk buat kami? Dia

melirik suaminya yang asyik menatap ke depan.


Mia memegang erat tangan Alan. Lan, bisiknya
lembut. Apa kau pesimis kita tidak akan bertemu lagi?
Alan terdiam.
Aku ingin memberitahumu rahasiaku. Jauh di dalam
lubuk hatiku, aku percaya suatu saat kita akan bertemu.
Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu? tanya
Alan setengah ragu.
Cintamu padaku, perasaanku padamu dan campur
tangan Tuhan, jawab Mia sembari tersenyum manis.

405

Alan balas tersenyum. Aku tahu kalau pilihanku tidak

salah. Petualangan cintaku selama ini berakhir pada gadis yang


sangat spesial. Dia membuat hidupku indah dan berwarna. Dia
memberiku kebahagiaan yang tidak pernah kudapatkan dari
gadis mana pun. Tetapi, apakah aku siap untuk melepasnya
kalau kami memang tidak berjodoh? Aku tidak bisa
menjawabnya untuk saat ini. Biarlah waktu yang
menjawabnya. Mia saja percaya kalau suatu saat kami pasti
bertemu. Kenapa aku tidak memiliki kepercayaan yang sama.
Alan meremas jemarinya. Aku percaya suatu saat kita
pasti bertemu lagi.
Keduanya saling melempar senyum. Kemudian, mereka
berbaring di atas rumput dan memandang ke atas. Awan yang
tadinya menyelubungi langit sudah bergeser. Langit malam
kembali cerah karena dihiasi bintang dan sinar bulan.
Mia tersenyum sendiri. Aku tahu kau pasti mendukung
kami, bisiknya. Dia mengedipkan matanya.

406

BAB 24
Mia berdiri di tangga pesawat dan melihat ke
sekelilingnya. Empat tahun berlalu, akhirnya Mia kembali lagi
ke Jakarta. Dia kembali di hari di mana ia dan Alan seharusnya
merayakan ulang tahun pernikahan. Dia berjalan dengan
penuh percaya diri menuju tempat pengambilan bagasi.
Sepanjang perjalanan dia terus menerus berpikir. Aku tidak

tahu kenapa aku datang ke sini. Konyol sekali rasanya aku


memutuskan untuk datang ke sini hanya karena suara hatiku
yang menyuruh demikian. Mungkinkah aku akan bertemu
dengannya? Aku tidak pernah menyangka berpisah dengannya
akan membuat hidupku tersiksa. Aku benar benar rindu
sekali padanya. Aku selalu teringat dengan senyum, tawa dan
suara Alan. Rupanya berpisah dengan Alan, telah
menyadarkanku betapa berartinya dia buatku. Aku tidak bisa
menjalani hidup ini tanpanya. Sekarang yang ingin kulakukan
adalah mengatakan padanya kalau aku mencintainya. Tetapi,
aku tidak tahu di mana ia sekarang. Mungkinkah kami bisa
bertemu lagi? Setelah mengambil tasnya, Mia menuju ke
tempat para penjemput. Begitu berada di luar, dia duduk
disalah satu kursi.
Tidak jauh dari tempat Mia duduk, Alan berdiri sambil
memanggul ranselnya. Dia baru saja pulang berlibur dari Bali.
Sebelum ke Bali, dia berada di Berlin untuk mengambil
program S 2 dan S 3. Begitu dia lulus dan diwisuda, dia
langsung pulang ke Indonesia. Untuk menghilangkan
kepenatan, dia mengambil liburan ke Bali. Dia pergi ke pulau
Dewata itu sendirian
Alan berdiri celingak celinguk. Masa dari sekian banyak

orang yang mondar mandir tidak ada satupun yang kukenal,


pikirnya. Alan menaruh tasnya di atas bangku panjang dan
duduk. Di sampingnya duduk seorang gadis yang mengenakan
celana hitam dan kemeja putih. Dia melirik sekilas untuk
melihat rupa gadis di sebelahnya. Jantungnya serasa mau
copot saat melihat wajah gadis itu.
Berbagai perasaan
berkecamuk di dalam dirinya. Dia tidak tahu apakah harus
tersenyum, tertawa atau menangis saat melihat Mia duduk di

407

sebelahnya. Ingin rasanya dia langsung memeluk dan


menciumi Mia, namun dia berusaha menahan diri. Dia
memutar otak untuk mencari kalimat yang cocok untuk
menarik perhatian Mia yang sedang asyik membaca majalah.
Dia menggeser pantatnya supaya lebih dekat dengan Mia.
Hai cantik, sendirian saja? Perlu ditemani tidak?
lontarnya.
Mia menegakkan kepalanya dan tertegun. Dia mengenal
dengan baik suara itu. Perlahan lahan dia menoleh ke
sampingnya.
Wajah Mia berubah judes. Apa begini caramu menyapa
istrimu setelah sekian lama tidak bertemu? tanyanya dengan
nada galak.
Jadi, kau mau aku menciummu, memelukmu dan
mengucapkan kata kata cinta?
Mia memasang tampang cemberut.
Mereka saling berpandangan. Tidak berapa lama
meledaklah tawa mereka berdua.
Sulit kupercaya kita akan bertemu lagi di sini. Sama
seperti pertemuan kita yang pertama, celutuk Alan di sela
sela tawanya.
Iya, kata Mia singkat.
Bagaimana kabarmu?
Aku baik baik saja.
Ya, aku bisa melihat itu. Lama tidak bertemu, badanmu
semakin subur saja.
Masa sih? Setahuku tidak ada bagian tubuhku yang
berubah. Dari dulu berat badanku sama saja, kata Mia panik.
Aku kan hanya bercanda. Tidak usah ditanggapi serius
gitu dong. Lagipula, memangnya kenapa kalau kau gemuk?
Kau justru kelihatan lebih seksi kalau berat badanmu
bertambah.
Mia bergidik. Aku paling tidak suka dengan kata itu.
Alan terbahak. Dia benar benar tidak berubah sama
sekali. Masih kolot seperti dulu. Habis ini mau ke mana?
Bagaimana kalau kita ke hotel dan bersenang senang
layaknya pasangan suami istri yang sesungguhnya? tanya
Alan dengan raut wajah serius.
Mia mendelik. Jangan jangan sejak tadi, yang ada di
pikiranmu hanya itu saja? tebak Mia.

408

Alan terkekeh geli. Habis bagaimana dong? Soalnya


aku rindu sekali denganmu, dia memeluk Mia erat erat
sampai sampai yang bersangkutan susah bernapas. Dia
menendang lutut Alan tetapi suaminya itu bukannya melepas
pelukannya tetapi malah mempererat. Dia berbisik lembut di
telinga Mia, Bukan dari tadi saja aku ingin memelukmu, tetapi
sejak aku jatuh cinta padamu. Mia berhenti meronta. Pipinya
bersemu merah.
Alan tersenyum geli melihat tingkah Mia. Sekarang, dia
bergerak hendak mencium bibir Mia. Melihat gelagat Alan,
terang saja Mia panik. Terlebih lagi, mereka sekarang jadi
pusat perhatian orang orang yang lalu lalang karena
berpelukkan.
Mia memiringkan kepalanya. Kau ini tidak bisa
menahan diri yah? Apa kau tidak bisa melihat kalau sekarang
orang orang memperhatikan kita? bentaknya.
Biar seluruh dunia melihat kita, aku tidak peduli, bibir
Alan semakin mendekat.
Mia melihat sekelilingnya. Sekarang mereka benar
benar menarik perhatian orang. Dia mencari akal untuk
menghentikan Alan. Lihat! Ada Mariana Renata! dia
menunjuk ke belakang Alan.
Spontan Alan menoleh ke belakang. Mana?
Begitu Alan lengah, Mia langsung berjalan cepat
meninggalkannya.

Aneh, tadi dia bilang ada Mariana Renata, tetapi aku


tidak melihatnya. Mi, kau yakin itu, Alan kaget saat tidak

menemukan Mia di belakangnya. Matanya jelalatan mencari


sosok istrinya. Dia melihat Mia sudah berada jauh di depannya
sambil tertawa tawa dan menjulurkan lidahnya. Sialan, si

galak itu mengerjaiku.

Alan mengepalkan tangannya dan berjalan ke arah Mia.


Melihat Alan mendekat, Mia berlari dan di luar dugaannya Alan
mengejar. Miana Harsono, awas kalau aku sampai
menangkapmu, teriak Alan.
Coba saja kalau bisa, Mia balas berteriak. Lagi lagi
dia meleletkan lidahnya.
Pemandangan yang terjadi selanjutnya, Mia dan Alan
kejar kejaran di sepanjang pelataran bandara. Alan berhenti
sebentar untuk mengambil napas. tepat di depan sekumpulan

409

orang yang sedang duduk. Mereka semua memandang Alan


dengan tatapan keheranan.
Alan berusaha santai. Dia berdiri berkacak pinggang dan
mulai menenangkan napasnya. Beginilah rasanya kalau
menikah dengan seorang juara lomba lari. Mau dicium saja,
harus pakai acara kejar kejaran segala, katanya masih
dengan napas yang tersengal sengal. Sekarang, saya
permisi dulu. Saya harus mengejar istri saya dulu sebelum dia
benar benar jauh meninggalkan saya.
Sementara itu Mia juga berhenti untuk beristirahat. Dia
menoleh ke belakang dan mencari cari sosok suaminya. Ke

mana dia? Kok aku belum melihatnya. Masa dia tidak bisa
mengejarku. Mia mulai didera perasaan khawatir karena

setelah menunggu beberapa lama, suaminya tidak kunjung


menunjukkan batang hidungnya. Tiba tiba, wajah Mia yang
tadinya cemas berubah senang saat melihat Alan berlari ke
arahnya
sambil
berteriak,
Miana Hendrawan,
aku
mencintaimu. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Tidak
akan pernah! Mia melihat ke kiri kanan. Semua mata orang
orang yang ada di situ terarah padanya. Ketika melihat Alan
mulai mendekat, Mia menggerakkan kakinya dan mulai berlari
lagi.
Mia tunggu! seru Alan. Dia yang tadinya mulai
memperlambat larinya mulai mempercepat. Sialan, kenapa dia
lari lagi? gerutu Alan. Baiklah kalau begitu. Kau yang
meminta. Alan berlari sekencang kencangnya bak atlet
profesional. Mia tidak menyadari kalau suaminya itu sudah
berada di belakangnya. Dia baru tahu setelah tangannya
dicengkeram dengan sangat kuat.
Ketangkap kau, kata Alan sambil ngos ngosan.
Perutnya serasa mau meledak. Mukanya merah dan dipenuhi
keringat. Demikian juga Mia. Mereka berdua berusaha
menenangkan napas. Mereka duduk di kursi.
Sudah lama sekali aku tidak berlari sekencang ini.
Sialan kau, Mi. Ngapain sih pakai acara lari segala.
Habis tadi tingkahmu membuatku takut. Lagipula, apa
kau pikir aku akan membiarkanmu menciumku secara cuma
cuma. Tidak ada yang gratis di dunia ini, Bung, kata Mia
terbata bata karena napasnya belum teratur.

410

Kalau memang begitu maumu, kan banyak cara lain.


Kenapa mesti lari? Aku terlalu tua untuk hal seperti tadi.
Mia tersenyum geli. Dia merangkul suaminya itu. Ini
yang kaubutuhkan suamiku sayang. Olahraga manjur untuk
menekan nafsumu, ledeknya.
Alan merengut sebal. Kau minta dicium yah?
Mia menjitak kepala Alan. Dari tadi yang ada di
kepalamu itu saja. Kita bisa melakukannya kapan saja karena
kita kan suami istri yang sah, Mia mengedipkan matanya.
Alan tertawa sambil menggeleng gelengkan
kepalanya. Kau benar. Kita bisa melakukan itu kapan pun kita
mau, dia bangkit berdiri.
Sekarang, bagaimana kalau kita pergi ke Dufan? Hal
pertama yang ingin kulakukan denganmu adalah bersenang
senang dan melakukan sedikit kegilaan.
Ayo! Siapa takut?
Mia dan Alan berjalan beriringan.
Ngomong ngomong, tadi kau bilang, kau terlalu tua
untuk berlari, cetus Mia.
Hmm.
Jadi kau mengakui kalau kau itu sudah tua?
Sialan kau, gumam Alan.
Tawa mereka pun meledak.
Ah, tiba tiba dunia terasa lebih indah yah, tanya
Alan.
Hmm
Mia..
Ya
Selamat hari ulang tahun pernikahan.
Selamat ulang tahun juga untukmu.
TAMAT

411

Anda mungkin juga menyukai