Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Genetika merupakan ilmu yang mempelajari tentang materi genetik. Hukum
yang dikenal pada ilmu genetika, yaitu adanya Hukum Mendel, baik Hukum
Mendel I maupun Hukum Mendel II. Hukum Mendel I (Hukum pemisahan
Mendel) menyatakan bahwa kedua faktor untuk tiap ciri itu tidak bergabung (tidak
bercampur) dengan cara apapun. Kedua faktor itu tetap berdiri sendiri selama
hidup individu dan memisah waktu pembentukan gamet - gamet. Hukum ini
berlaku pada persilangan monohibrid (Corebima, 2013). Hukum II Mendel
(Hukum pilihan bebas) menyatakan bahwa gen-gen untuk karakter yang berbeda
diwariskan secara bebas satu sama lainnya (Corebima, 2013). Hukum ini berlaku
untuk dua sifat beda (dihibrid). Namun hukum II Mendel tersebut bersyarat
bahwa gen gen tersebut terletak pada kromosom yang berbeda (Mettler, 1998).
Sedangkan ada kasus lain yang terjadi jika gen gen terletak pada kromosom
yang sama.
Pindah silang (crossing over) merupakan suatu peristiwa bertukarnya gen
gen pada kromatid dengan kromatid homolognya. Peristiwa pindah silang dapat
terjadi jika gen gennya terletak dalam kromosom yang sama, baik terletak pada
kromosom kelamin maupun kromosom kromosom tubuh. Pertukaran bagian
antara kromosom kromosom homolog menyebabkan perubahan posisi faktor
gen tertentu dari suatu kromosom ke pasangan homolognya, sehingga berakibat
munculnya tipe turunan yang bukan tipe parental disamping tipe parental
(Corebima, 2003). Crossing over terjadi ketika proses gametogenesis

yang

melibatkan pembelahan meiosis.


Gametogenesis adalah proses pembentukan gamet. Pada proses gametogenesis
terjadi pembelahan meiosis yang terdiri atas 2 tahapan, yaitu meiosis I dan
meiosis II. Peristiwa pindah silang terjadi selama sinapsis dari kromosomkromosom homolog pada zygoten dan pachyten dari profase I meiosis (Corebima,
2013). Peristiwa ini dapat diketahui dengan cara melakukan testcross pada
keturunan pertamanya (F1). Gardner (1984) menyatakan bahwa pindah silang
mencakup kromatid-kromatid sesaudara (dua kromatid dari satu kromosom) tetapi
1

pindah silang tersebut secara genetik jarang dapat dideteksi karena kromatid
kromatid sesaudara biasanya identik. Peristiwa pindah silang umumnya terjadi
selama meiosis pada semua makhluk hidup berkelamin betina maupun jantan dan
antara semua pasangan kromosom. Campbell (2002) menjelaskan bahwa pindah
silang terjadi selama profase meiosis I. Ketika kromosom homolog pertama kali
muncul bersama sebagai pasangan selama tahap zygoten dan pachyten profase I,
suatu

perlengkapan

protein

yang

dinamakan

kompleks

sinaptonemal

(synaptonemal complex) menggabungkan kromosom sehingga terikat kuat satu


dengan yang lainnya.
Proyek ini menggunakan Drosophila melanogaster. Alasan
digunakannya

Drosophila

melanogaster

yaitu

Drosophila

melanogaster memiliki jenis yang bervariasi sekitar 1500 spesies


(Parvathi et al, 2009), ukurannya kecil, mempunyai siklus hidup
pendek, dapat memproduksi banyak keturunan, generasi yang
baru

dapat

dikembangbiakan

setiap

dua

minggu,

murah

biayanya, dan mudah perawatannya (Stine, 1991 dalam Wahyuni


2012). Penggunaan D. melanogaster mempermudah kerja karena
memiliki jumlah kromosom yang kecil, yaitu 8 kromosom atau 4
pasang

kromosom

(Corebima,

2013).

D.

melanogaster

merupakan organisme yang sering digunakan sebagai model


penelitian

genetika

karena

penampilan,

perilaku

dan

pembiakannya (Parvathi et al., 2009).


Perbedaan fenotip yang nampak pada lalat disebabkan
karena telah terjadi perubahan pada genotip (terjadi variasi
genotip) dengan keadaan normalnya, yang oleh King (1985)
dalam Karmana 2010 disebut sebagai perbedaan ciri intraspesifik
yang dikenal dengan sebutan strain. Pada praktikum proyek ini,
digunakan 2 macam

strain D. melanogaster yaitu N dan bcl.

Kedua strain memiliki ciri fenotip yang berbeda dalam hal warna
mata dan warna tubuh, sehingga persilangan yang dilakukan
adalah

persilangan

dihibrid.

Persilangan

dihibrid

persilangan dengan 2 sifat beda (Corebima, 2013).

adalah
Strain N

merupakan strain yang normal. Strain bcl memiliki gen b (black)


2

pada lokus 48,5 dan cl (clot) pada lokus 16,5 terletak pada satu
kromosom yaitu kromosom nomor 2 (autosom) (Bruce et al.,
2002).
Peristiwa pindah silang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur
betina, temperatur, penyinaran sinar X, jarak antar gen, dan zat kimia (Suryo,
2008). Dari kelima tersebut salah satunya adalah umur betina. Suryo (2008)
menjelaskan bahwa makin tua umur suatu individu, makin kurang mengalami
pindah silang. Manfaat penelitian ini adalah mengetahui fenomena yang terjadi
pada persilangan Drosophila

melanogaster

stain

N >< bcl,

mengetahui fenotip F2 yang muncul pada persilangan Drosophila


melanogaster strain N >< bcl, dan mengetahui pengaruh umur betina
terhadap frekuensi pindah silang (crossing over) pada Drosophila
melanogaster strain N >< bcl. Pindah silang membantu untuk
membawa

secara

acak

materi

genetik

selama

proses

pembentukan gamet. Hal ini, menyebabkan pembentukan gamet


yang akan menimbulkan individu yang secara genetik berbeda
dari

orang

tua

dan

saudara

mereka.

Pada

kenyataannya

peristiwa pindah silang ini merupakan suatu mekanisme sumber


variasi genetik pada makhluk hidup, termasuk pada manusia.
Variasi genetik ini merupakan inti dari evolusi. Tanpa perbedaan
genetik antara individu, survival of the fittest tidak akan
mungkin terjadi. Semua orang akan persis sama, sehingga hal itu
tidak akan dapat digunakan untuk menentukan siapa yang dapat
atau akan bertahan (Sumarlan, 2009).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui dan
membuktikan pengaruh umur betina terhadap frekuensi pindah silang pada
persilangan Drosophila melanogaster strain N >< bcl dengan melakukan
penelitian yang berjudul Pengaruh Umur Betina terhadap Frekuensi Pindah
Silang (Crossing Over) pada Drosophila melanogaster Persilangan Strain N ><
bcl.
B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat digunakan


rumusan masalah yaitu apakah perbedaan umur betina juga
dapat menyebabkan perbedaan frekuensi pindah silang pada
persilangan Drosophila melanogaster stain N >< bcl?

C. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi Peneliti
1.1 Mengetahui

fenomena

yang

terjadi

pada

persilangan

Drosophila melanogaster stain N >< bcl.


1.2 Memberikan informasi mengenai fenotip F2 yang muncul pada
persilangan Drosophila melanogaster strain N >< bcl.
1.3 Memberikan informasi dan bukti bahwa umur betina
berpengaruh terhadap frekuensi pindah silang (crossing
over) pada Drosophila melanogaster strain N >< bcl.
2. Bagi Pembaca
2.1 Meningkatkan pemahaman mengenai fenomena yang terjadi
pada persilangan Drosophila melanogaster stain N >< bcl.
2.2 Meningkatkan pemahaman mengenai fenotip F2 yang muncul
pada persilangan Drosophila melanogaster strain N >< bcl.
2.3

Meningkatkan

pemahaman

mengenai

pengaruh

umur

betina

terhadap frekuensi pindah silang (crossing over) pada


Drosophila melanogaster strain N >< bcl.
D.

Batasan Masalah

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagi berikut.


1. Penelitian ini menggunakan strain bcl (black body-clot eyes), dan N
(normal).
2. Penelitian ini menggunakan persilangan P1 dari strain N >< bcl
3. Penelitian ini menggunakan persilangan P2 dari F1 N dominan (dari hasil
persilangan N >< bcl) >< bcl parental resesif dari stok awal.
4. Pemindahan betina dilakukan setiap hari selama 20 hari (sampai betina
mati) ke medium baru

5. Setelah betina mati, umur betina direntang menjadi 3, yaitu muda, sedang,
dan tua
6. Pengamatan dan penghitungan fenotip F2 dilakukan selama 14 hari atau
sampai lalat habis pada masing masing botol
7. Pengamatan fenotip yang dilakukan yaitu warna tubuh, bentuk sayap, warna
mata, faset mata
E. Asumsi penelitian
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Seluruh strain Drosophila melanogaster dianggap memiliki produktivitas
yang sama.
2. Jumlah medium dalam tiap botol dianggap sama
3. kondisi lingkungan yang meliputi suhu, pH, kelembaban dan temperatur
dianggap sama
F. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Strain adalah sekelompok intraspesifik yang memiliki hanya satu atau
sejumlah kecil ciri yang berbeda, biasanya dalam keadaan homozigot untuk
ciri-ciri tersebut atau galur murni (Corebima, 2003). Pada penelitian ini
strain yang digunakan adalah strain N dan bcl.
2. Pindah silang adalah proses penukaran segmen dari kromatid-kromatid
bukan kakak beradik dari sepasang kromosom homolog (Suryo, 2008).
3. Fenotip adalah karakter yang dapat diamati dalam suatu individu yang
merupakan hasil suatu interaksi genotip dengan lingkungan tempat hidup
dan berkembang (Corebima, 2013). Pada penelitian ini, fenotip dari
Drosophila melanogaster strain N adalah warna tubuh kuning kecoklatan,
warna mata merah, faset mata halus, dan sayap menutupi tubuh dengan
sempurna sedangkan fenotip Drosophila melanogaster strain bcl adalah
warna tubuh hitam, warna mata coklat, faset mata halus, dan sayap
menutupi tubuh dengan sempurna.
4. Chiasma adalah interpretasi dari tiap silangan pada pindah silang (Rothwell,
1983 dalam Corebima, 2013). Chiasma mempunyai makna bahwa telah
terjadi pertukaran resiprok antara kedua kromatid di dalam bentukan bivalen

(satu kromatid bersifat paternal, sedangkan yang lain bersifat maternal)


(Corebima, 2013).
5. Dominan adalah suatu sifat yang dapat mengalahkan sifat yang lain
(Corebima, 2013)
6. Resesif adalah suatu sifat yang dikalahkan oleh sifat yang lain (Coerbima,
2013).
7. Filial 1 (F1) merupakan keturunan generasi pertama yang didapat dari hasil
persilangan parental strain N >< bcl
8. Filial 2 (F2) merupakan keturunan generasi kedua yang didapat dari hasil
persilangan sesama filial 1.
9. Rekombinan adalah turunan yang bukan tipe parental (Corebima,2013).
Pada penelitian ini rekombinan yang dihasilkan adalah b dan cl.
10. Lokus adalah letak suatu gen dalam kromosom (Gardner, 1991). Dalam
penelitian ini menggunakan beberapa lokus yang berada dalam kromosom
2, yaitu lokus ke 48,5 (b) dan lokus 16,5 (cl) (Bruce et al., 2002).

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Drosophila melanogaster
Drosophila melanogaster (lalat buah) adalah serangga kecil dengan
panjang dua sampai lima milimeter dan komunitasnya sering ditemukan di
sekitar buah yang rusak/busuk (Iskandar, 1987). D. melanogaster

merupakan jenis serangga bersayap yang masuk ke dalam ordo Diptera.


Drosophila memiliki jenis yang bervariasi sekitar 1500 spesies (Parvathi et
al, 2009). D. melanogaster seringkali digunakan dalam penelitian biologi
terutama dalam perkembangan ilmu genetika (Manning, 2006). Spesies ini
merupakan organisme yang sering digunakan sebagai model penelitian
genetika karena penampilan, perilaku dan pembiakannya (Parvathi et al.,
2009).
Adapun klassifikasi Drosophila yaitu sebagai berikut.
Kingdom
:Animalia
Phylum
:Arthropoda
Kelas
:Insecta
Ordo
:Diptera
Sub Ordo
:Cyclorrhapha
Familia
:Drosophilidae
Genus
:Drosophila
Spesies
:Drosophila melanogaster (Strickberger dalam Aini, 2008).
D. melanogaster memiliki kromosom sebanyak 8 buah atau 4 pasang kromosom
homolog. Kromosom-kromosom ini dibedakan atas 3 pasang kromosom tubuh
(autosom) dan

sepasang

kromosom kelamin (genosom). Karmana (2010)

menyebutkan bahwa pada D. melanogaster selain dari keadaan normal (N)


ditemukan ada beberapa strain yang merupakan hasil mutasi dan menghasilkan
mutan-mutan yang berbeda dari keadaan normalnya. Perbedaan tersebut terutama
terkait dengan warna mata, bentuk mata, dan bentuk sayap. Hal ini sesuai yang
dikatakan Karmana (2010) yang menyatakan beberapa jenis mutasi pada D.
melanogaster yang dapat terlihat dari fenotipnya warna mata, bentuk mata, bentuk
sayap dan warna tubuh. Berdasarkan hal tersebut, maka dikenal berbagai strain
(mutan) dari D. melanogaster antara lain: w (white), cl (clot), ca (claret), se
(sepia), eym (eyemissing), cu (curled), tx (taxi), m (miniature), dp (dumpy), dan
vg (vestigial). Perbedaan fenotip yang nampak tersebut tentunya disebabkan
karena telah terjadi perubahan pada genotip (terjadi variasi genotip) dengan
keadaan normalnya, yang oleh Karmana (2010) disebut sebagai perbedaan ciri
instraspesifik yang selanjutnya dikenal dengan sebutan strain. Secara rasional,
perbedaan genotip selain memberikan dampak perbedaan pada fenotip juga
menyebabkan beberapa perbedaan dalam hal fisiologik. Seperti dikatakan oleh
Karmana (2010) bahwa mekanisme penggunaan sperma untuk pembuahan sel

telur (fertilisasi) tidak selalu sama pada semua jenis atau strain D. melanogaster.
Demikian juga Fowler (1973) melaporkan bahwa jumlah sperma yang ditrasfer D.
melanogaster jantan berkaitan dengan perbedaan strain. Dengan demikian macam
strain akan terkait dengan jumlah keturunan.
Beberapa tanda yang dapat digunakan untuk membedakan lalat jantan dan
betina D. melanogaster, yaitu bentuk abdomen pada lalat betina kecil dan runcing,
sedangkan pada jantan agak membulat (Gambar 2.1). Tanda hitam pada ujung
abdomen juga bisa menjadi ciri dalam menentukan jenis kelamin lalat tanpa
bantuan mikroskop. Ujung abdomen lalat jantan berwarna gelap, sedang pada
betina tidak. Jumlah segmen pada lalat jantan hanya 5, sedangkan pada betina ada
7. Lalat jantan memiliki sex comb berjumlah 10, terdapat pada sisi paling atas kaki
depan, berupa bulu rambut kaku dan pendek (Demerec dan Kaufmann, 1961
dalam Aini 2008). Lalat betina memiliki 5 garis hitam pada permukaan atas
abdomen, sedangkan pada lalat jantan hanya 3 garis hitam (Wiyono, 1986 dalam
Aini 2008).

Gambar 2.1

D. melanogaster betina (kiri), jantan (kanan) strain N

(Sumber : Chyb and gompel, 2012)

D. Siklus Hidup Drosophila melanogaster


D melanogaster tergolong Holometabola, memiliki periode istirahat
yaitu dalam fase pupa. Dalam perkembangannya D. melanogaster
mengalami metamorfosis sempurna yaitu melalui fase telur, larva, pupa
dan

D. Melanogaster dewasa (Frost, 1959). Lalat betina setelah

perkawinan menyimpan sperma di dalam organ yang disebut spermatheca


(kantong sperma). Lalat jantan dan betina bersifat diploid. Setiap satu kali
pembelahan meiosis dihasilkan 4 sperma haploid di dalam testis lalat
jantan dewasa sedangkan pada lalat betina dewasa hanya dihasilkan 1 sel
telur (Wiyono, 1986). Lamanya siklus hidup D. melanogaster bervariasi
sesuai suhu. Rata-rata lama periode telur-larva pada suhu 20 oC adalah 8

hari, pada suhu 25oC lama siklus menurun yaitu 5 hari. Siklus hidup pupa
pada suhu 20oC adalah sekitar 6,3 hari, sedangkan pada suhu 25oC sekitar
4,2 hari. Pada suhu 25oC siklus hidup D. melanogaster dapat sempurna
sekitar 10 hari, tetapi pada suhu 20oC dibutuhkan sekitar 15 hari.
Pemeliharaan D. melanogaster sebaiknya berada dalam suhu ruang
dimana temperatur tidak dibawah 20oC atau diatas 25oC. Suhu tinggi
(diatas 30oC) dapat mengakibatkan sterilisasi atau kematian Pada
temperatur rendah keberlangsungan hidup dari D. melanogaster terganggu
dan siklus hidupnya menjadi lebih panjang (contoh pada suhu 10 oC untuk
mencapai tingkat larva dibutuhkan sekitar 57 hari dan pada suhu 15 oC
sekitar 18 hari). Hal yang perlu diingat adalah suhu di dalam biakan botol
dapat lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungan sekitar di luar botol,
karena adanya peningkatan panas akibat fermentasi ragi (Demerec dan
Kaufmann, 1961). Siklus hidup D. melanogaster dapat dilihat pada gambar
2.2

Gambar 2.2

Siklus hidup D. melanogaster mulai dari telur hingga imago


(Sumber: Jacob, 2010)

Siklus hidup Drosophila memiliki tahapan sebagai berikut.


1. Telur
Telur Drosophila memiliki panjang kira-kira setengah millimeter.
Bagian struktur punggung telur ini lebih datar dibandingkan dengan
bagian perut. Telur lalat akan nampak di permukaan media makanan
setelah 24 jam dari perkawinan. Setelah fertilisasi, telur berkembang
kurang lebih satu hari, kemudian menetas menjadi larva (Wiyono, 1986).
Drosophila melanogaster betina memiliki dua tipe organ untuk
penyimpanan sperma yaitu reseptakulum seminalis yang mengandung
sebagian besar sperma (65-80%), dan pasangan spermateka sebagai tempat

penyimpanan sperma jangka panjang. Sperma disimpan di dalam lumen


spermateka dimana sperma menerima protein-protein yang masih belum
diketahui fungsinya dari sel epitelial sekretori yang mengelilingi lumen
spermateka (Adrianne, et al, 2008). Sperma yang tersimpan dalam
reseptakulum seminalis digunakan untuk fertilisasi terlebih dahulu
daripada yang tersimpan di spermateka.
Mekanisme ini terjadi karena posisi dari organ penyimpanan sperma
pada traktus genetalis individu betina yang mana bagian proksimal
reseptakulum seminalis terbuka langsung ke oviduk di atas uterus. Jumlah
sperma yang tersimpan di dalam organ penyimpanan sekitar 500-700,
sehingga diperkirakan adanya pembuangan sperma dari Drosophila dan
hanya 10%-20% yang disimpan. Penyimpanan sperma berada dalam
keadaan berputar secara kontinyu. Adanya tingkat penggunaan sperma
yang tinggi disebabkan oleh kontraksi otot reseptakulum seminalis yang
membantu pergerakan sperma untuk keluar masuk dari reseptakulum
seminalis (Muliati, 2000). Lalat buah Drosophila pada suhu 25C, setelah
keluar dari pupa dan melakukan perkawinan mulai dapat bertelur kurang
lebih 50 sampai 75 butir per hari sampai jumlah maksimum kurang lebih
400-500 dalam 10 hari (Iskandar, 1987).
2. Larva
Sekitar satu hari setelah fertilisasi, embrio berkembang dan menetas
menjadi larva (Manning, 2006). Larva yang baru menetas disebut sebagai
larva fase pertama (instar) dan hanya nampak jelas bila diamati dengan
menggunakan alat pembesar. Larva akan makan dan tumbuh dengan cepat
kemudian berganti kulit mejadi larva fase kedua dan ketiga (Demerec dan
Kaufmann, 1961). Larva fase ketiga, dua sampai tiga hari kemudian
berubah menjadi pupa (Wiyono, 1986). Setelah penetasan dari telur, larva
mengalami dua kali molting (ganti kulit) (Demerec dan Kaufmann, 1961).
Hal ini membutuhkan waktu kurang lebih empat hari untuk selanjutnya
menjadi pupa (Wiyono, 1986). Fase terakhir dapat mencapai panjang
sekitar 4,5 milimeter. Larva sangat aktif dan termasuk rakus dalam makan,
sehingga larva tersebut bergerak pelan pada medium biakan. Saat larva

10

siap menjadi pupa, mereka berjalan perlahan dan menempel di permukaan


relatif kering, seperti sisi botol atau di bagian kertas kering yang
diselipkan ke pakannya (Demerec dan Kaufmann, 1961).
3. Pupa
Pupa yang baru terbentuk awalnya bertekstur lembut dan putih seperti
kulit larva tahap akhir, tetapi secara perlahan akan mengeras dan warnanya
gelap (Demerec dan Kaufmann, 1961). Diatas dari empat hari, tubuh pupa
tersebut sudah siap berubah bentuk menjadi dewasa, dan akan tumbuh
menjadi individu baru setelah 12 jam (waktu perubahan fase diatas berlaku
untuk suhu 25C) (Manning, 2006). Tahap akhir fase ini ditunjukkan
dengan perkembangan dalam pupa seperti mulai terlihatnya bentuk tubuh
dan organ dewasa (imago). Ketika perkembangan tubuh sudah mencapai
sempurna maka D. melanogaster dewasa akan muncul melalui anterior
end dari pembungkus pupa. Lalat dewasa yang baru muncul ini berukuran
sangat panjang dengan sayap yang belum berkembang. Kemudian dalam
waktu yang singkat, sayap mulai berkembang dan tubuhnya berangsur
menjadi bulat (Demerec dan Kaufmann, 1961). Hari kelima pupa
terbentuk dan pada hari kesembilan keluarlah imago dari selubung pupa
(puparium) (Wiyono, 1986 dalam Aini 2008).
4. Imago (Lalat Dewasa)
Perkawinan biasanya terjadi setelah imago berumur 10 jam, tetapi
meskipun demikian lalat betina biasanya tidak segera meletakkan telur
sampai hari kedua. Lalat buah Drosophila pada suhu 25C, dua hari
setelah keluar dari pupa mulai dapat bertelur kurang lebih 50 sampai 75
butir per hari sampai jumlah maksimum kurang lebih 400-500 dalam 10
hari, tetapi pada suhu 20C kira-kira dalam waktu 15 hari (Iskandar,
1987). Jumlah telur tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, temperatur
lingkungan dan volume tabung yang digunakan (Mulyati,1985).Siklus
hidup total terhitung dari telur sampai telur kembali berkisar antara 10-14
hari.
C. Pindah Silang (Crossing Over)

11

Menurut Pai (1992) pindah silang atau crossing over merupakan


pertukaran material genetik antara kromatid homolog. T.H Morgan
pertama kali mengajukan kejadian pindah silang untuk menjelaskan
terjadinya kombinasi rekombinan dari faktor-faktor yang disimpulkan
saling terpaut berdasarkan data genetik (Gardner et al., dalam Corebima,
2013). Hipotesis yang diajukannya yaitu pautan merupakan akibat dari
kenyataaan tentang letak faktor-faktor tersebut yang memang berada pada
kromosom yang sama; kejadian pindah silang dapat diamati secara
sitologis (Corebima, 2013).
F. Jannsens (Rothwell dalam Corebima, 2013) menyatakan bahwa
kromosom-kromosom yang berpasangan di saat profase meiosis sering
memperlihatkan konfigurasi yang terlihat memyilang. Konfigurasi
menyilang itu dikemukakan pada Amphibia (Gardner et al., dalam
Corebima, 2013). Tiap silangan itu diinterpretasikan sebagai suatu
chiasma

(Rothwell, 1983 dalam Corebima, 2013).

Dalam hal ini,

chiasma mempunyai arti bahwa telah terjadi suatu pemutusan dan


penyambungan kembali, yang diikuti oleh suatu pertukaran resiprok antara
kedua kromatid di dalam bentukan bivalen (satu kromatid bersifat
paternal, sedangkan yang lain bersifat maternal). Campbell (2002)
menjelaskan bahwa pindah silang terjadi selama profase meiosis I. Ketika
kromosom homolog pertama kali muncul bersama sebagai pasangan
selama profase I, suatu perlengkapan protein yang dinamakan kompleks
sinaptonemal

(synaptonemal

complex)

menggabungkan

kromosom

sehingga terikat kuat satu dengan yang lainnya, fungsinya mirip sebuah
resleting. Pemasangan berlangsung secara cermat, penataan yang homolog
satu sama lain gen demi gen. Peristiwa pindah silang mengakibatkan gen
sealel bertukar tempat.
Peristiwa pindah silang ini terjadi ketika meiosis I yaitu pada saat
kromosom itu mengganda menjadi 2 kromatid dan yang homolog
bergandeng pada bidang ekuator. Ketika sudah terjadi persilangan antara
kromatid kromosom homolog, maka pada anafase I bagian kromosom
yang bersilang tidak kembali ke induk melainkan melekat pada kromosom
satunya (Yatim, 1983). Gardner (1984) menyatakan bahwa peristiwa

12

pindah silang terjadi selama sinapsis dari kromosom-kromosom homolog


pada zygoten dan pachyten dari profase meiosis I. Gardner (1984) juga
menyatakan bahwa karena replikasi kromosom berlangsung selama
interfase, maka pindah silang itu terjadi pada tahap tetrad pascareplikasi
pada saat tiap kromosom telah mengganda, sehingga telah terbentuk empat
kromatid untuk tiap pasang kromosom homolog. Pindah silang terjadi
antara keempat kromatid itu tetapi yang terjadi antara kedua kromosom
sesaudara (dari satu kromosom) jarang dapat dideteksi. Pindah silang
juga mencakup kromatid-kromatid sesaudara (dua kromatid dari satu
kromsosm), tetapi pindah silang tersebut seacara genetik jarang dapat
dideteksi

karena

kromatid-kromatid

sesaudara

biasanya

identik.

Peristiwa pindah silang yang secara genetik mudah dideteksi adalah yang
berlangsung antara dua kromatid bukan sesaudara (non-sister chromatids).
Pada fase meiosis I terjadi tahapan antara lain Interfase I, Profase I,
Metafase I, Anafase I dan Telofase I. Menurut Rondonuwu (1989), Profase
I merupakan fase meiosis yang paling penting yang terdiri dari beberapa
langkah, yaitu.
a. Leptoten. Tahap ini ditandai oleh kromosom yang berbentuk benang-benang
panjang mulai menebal dan ada yang lebih tebal yang disebut kromomer yang
kelihatan seperti manik-manik pada seutas benang.
b. Zigoten. Pada tahap ini terjadi peristiwa dimana kromosom yang homolog
berpasang-pasangan. Kedua kromosom yang homolog terletak paralel, saling
merapat satu dengan yang lain membentuk bivalen. Proses bergandengnya
disebut sinapsis.
c. Pakiten. Pakiten adalah fase utama penebalan kromosom dan mengganda
menjadi dua kromatid, empat kromosom dalam satu bivalen disebut tetrad.
d. Diploten. Keempat kromatid dalam satu bivalen bergerak memisah seolah-olah
menolak, menghasilkan pasangan-pasangan kromatid menjadi jelas. Keempat
kromosom masih tetap terikat oleh sentromer masing-masing anggota bivalen.
Waktu terjadi pemisahan longitudinal dari kromosom anggota bivalen, dapat
terjadi pertautan pada beberapa tempat yang disebut kiasma sehingga dapat
terjadi pertukaran segmen-segmen dari kromatid-kromatid yang homolog dan
kejadian ini disebut pindah silang (crossing over).

13

e. Diakinesis. Fase terakhir dari profase dimana kromosom memendek dan


menebal secara maksimal dan pertautan nampak dengan jelas.
Ayala et.al., 1984 menyatakan bahwa Pindah silang umumnya
terjadi selama meiosis pada semua makhluk hidup berkelamin betina
maupun jantan dan antara semua pasangan kromosom homolog.
Fenomena pindah silang pada prakteknya akan memunculkan tipe turunan
yang bukan tipe parental di samping tipe parental. Tipe turunan yang
bukan tipe parental disebut tipe rekombinan. Frekuensi frekuensi tipe
rekombinan ini sangat jauh dari frekuensi sebesar 50%. Frekuensi
rekombinan sebesar 50% merupakan suatu batas besar frekuensi tipe-tipe
rekombinan yang menjamin berlangsungnya proses pilihan bebas,
andaikan faktor-faktor gen tersebut terletak pada kromosom berbeda (tidak
terpaut). Dari situ dapat diartikan bahwa sulit sekali frekuensi rekombinan
dapat sama dengan individu parental, bila ada itupun akan sangat jarang
(Corebima, 2013). Perbandingan jumlah turunan keduanya dapat dilihat
dengan cara menghitung nilai (persentase) pada turunan rekombinan.
Besarnya nilai pindah silang dapat kita tentukan dari perbandingan jumlah
individu rekombinan dengan semua individu turunan dikali 100%.
Biasanya jumlah perbandingan antara individu tipe parental dengan
individu rekombinan terdapat perbedaan yang cukup jauh. Bagan peristiwa
pindah silang antara kromatid-kromatid bukan sesaudara dari suatu pasang
kromosom homolog ditunjukkan pada gambar 2.3.

14

Gambar 2.3

Perisiwa Crossing over (Tamarin,2001)

Terjadinya pindah silang ditandai dengan adanya synaptonemal


complex dan terbentuknya chiasma. Individu betina dapat terjadi pindah
silang karena terbentuk synaptonemal kompleks yang merupakan prasyarat
terjadinya pindah silang. Menurut Campbell (2002) synaptonemal
complex adalah sebuah apparatus protein yang mempunyai fungsi untuk
membawa kromosom pada ikatan yang kuat. Struktur apparatus protein
tersebut merupakan struktur gabungan dari RNA dan protein untuk
memperkuat chiasma. Struktur synaptemal complex dapat dilihat pada
gambar 2.4

15

Gambar 2.4

Tahapan profase I (kiri) dan gambar a (kanan) synaptonemal


complex dalam electron micrograph b (kanan) struktuir

synaptonemal complex (Tamarin, 2001)


Protein synaptonemal complex (SC) merupakan struktur yang rumit yang
terbentuk diantara kromosom homolog selama pembelahan mieosis tahap profase
I, dimana SC memediasi interaksi pasangan kromosom homolog (Homolog
pairing) dan memulai pertukaran genetik. Pada Drosophila melanogaster, protein
c(3)G membentuk filamen transfer (FTs) dari sinaptonemal complex. Terminal N
dari c(3)G homodimer terletak pada element sentral dari SC, dimana terminal c
dari c(3)G menghubungkan TFs dengan kromosom melalui asosiasi dengan
elemen aksial/elemen lateral (Aes/Les) dari SC. Protein yang disebut Corona juga
dibutuhkan untuk pembentukan dari SC. Corona dibutuhkan untuk peletakkan
yang tepat dari protein c(3)G SC. Tidak adanya Corona menyebabkan kegagalan
polimerasi c(3)G dan pembentukan wilayah central dari SC (Page, et al. 2008).
Gen c(2)M juga

mengkode SC, adanya mutasi pada gen c(2)M akan

menghasilkan pembentukan SC yang tidak sempurna (Page and Hawley, 2015).

16

Gambar 2.5

Pemetaan kromosom (Bruce et al., 2002)

E. Faktor yang mempengaruhi Pindah Silang


Menurut Suryo (2004), kemungkinan terjadinya pindah silang
ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
1

Temperatur yang melebihi atau kurang dari temperatur biasa dapat

2
3
4
5

memperbesar kemungkinan terjadinya pindah silang.


Makin tua umur suatu individu, makin kurang mengalami pindah silang.
Zat kimia tertentu dapat memperbesar kemungkinan pindah silang.
Penyinaran dengan sinar-X dapat memperbesar kemungkinan pindah silang.
Jarak antara gen-gen yang terangkai. Makin jauh letak satu gen dengan gen
lainnya, makin besar kemungkinan terjadinya pindah silang.
Berdasarkan faktor diatas, umur betina berpengaruh terhadap
frekuensi pindah silang. Semakin tua umur suatu individu, maka sekmakin
berkurang mengalami pindah silang. Pindah silang banyak terjadi pada
individu muda dan frekuensi pindah silang menurun sejalan dengan
17

peningkatan umur betina (Kidwell, 1997 dalam Corebima, 2013). Sinnot


(1958) menyatakan bahwa seiring bertambahnya umur D.melanogaster
frekuensi pindah silang pada telurnya akan berkurang. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Bridges pada D. melanogaster,
membuktikan bahwa ada pengaruh umur terhadap frekuensi pindah silang.
Pindah silang lebih banyak terjadi pada lalat betina muda dan cenderung
menurun dengan meningkatnya umur lalat (Apriani, 1996).
Proses menua adalah proses alami yang disertai adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama
lain. Proses metabolisme dalam sel-sel akan berkurang sesuai dengan
pertambahan usia (Hurlock, 1999). Dengan bertambahnya usia maka
akumulasi

kerusakan sel

semakin mengambil peranan, sehingga

mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya


membawa pada penyakit dan kematian (Goldman and Klatz, 2007).
Menurut Alshbly (2011), pada D. melanogaster betina umur 1-3 hari
termasuk umur muda, 4-12 hari termasuk umur sedang/remaja, dan 13-26
hari termasuk tua.
Menurut Parson (1961) seiring meningkatnya umur betina, maka enzim
yang terlibat dalam metabolisme DNA akan berkurang. Pindah silang merupakan
salah satu mekanisme rekombinasi yang menghasilkan anakan yang bersifat
rekombinan. Dan mekanisme rekombinasi ini dengan terbentuknya jembatan
silang (struktur Holliday).

F. Kerangka konseptual dan Hipotesis


1. Kerangka Konseptual
Pindah silang adalah proses penukaran segmen
dari kromatid-kromatid bukan kakak beradik dari
sepasang kromosom homolog

18

Peristiwa pindah silang terjadi selama sinapsis


dari kromososm kromososm homolog pada
zygoten dan pakiten dari profase I miosis

Peristiwa pindah silang


dapat terjadi pada
individu jantan dan
betina tetapi peristiwa
pindah silang lebih
banyak terjadi pada
individu betina

Peristiwa pindah silang


dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor

internal

eksternal

Umur

Persilangan P1 D. melanogaster N >< bcl untuk mengetahui


keturunan F1

Ada perbedaan frekuensi turunan tipe rekombinan umur muda, sedang,


dan tua

Melakukan pengamatan dan perhitungan terhadap F2

Gambar 2.6 Kerangka konseptual

G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
H1 = variasi umur betina menyebabkan perbedaan frekuensi pindah silang pada
D. melanogaster persilangan N >< bcl

19

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan dan Jenis Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah RAK
(Rancangan Acak Kelompok) karena menggunakan lalat dari pupa yang
diampul secara acak dari botol peremajaan sedangkan teknik analisa data
yang digunakan adalah Analisis Varian Tunggal (Anava Tunggal) karena
dalam penelitian ini hanya menggunakan satu variabel bebas yaitu umur
betin.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kuantitafif eksperimental karena pada persilangan ini terdapat
satu variabel bebas yaitu umur betina yang divariasi muda, sedang dan tua.
Data yang diperoleh diambil langsung dari perhitungan hasil pengamatan
F2 persilangan (F1(N) >< bcl). Persilangan ini diulang sebanyak 9 kali.
B. Waktu dan Tempat Penelitian

20

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika gedung O5 lantai


3 ruang 310 jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang pada
bulan Agustus November 2015.
C. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah populasi D.
melanogaster yang diperoleh dari Laboratorium Genetika ruang 310
jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.
b. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. D. melanogaster jantan dan betina strain N
2. D. melanogaster jantan dan betina strain bcl

a.

D. Variabel Penelitian
Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur betina
b. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah frekuensi pindah silang (hasil
anakan F2)
c. Variabel Kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah jumlah jenis makanan yang
diberikan, suhu dan kondisi lingkungan sekitar
E. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol selai, selang
ampul, selang plastik, kuas kecil, kompor gas, pisau dapur, blender,
mikroskop stereo, kain kasa, timbangan, panci, pengaduk, gunting, dan
cutter.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah D.melanogaster
strain N, bcl, pisang rajamala, tape singkong, gula merah, air ,yeast, busa
penutup, kertas pulpasi, cotton bud, kantong plastik dan kertas label
F. Prosedur Pengumpulan Data
1. Pengamatan fenotip
1.1 Meletakkan strain (N, bcl) yang didapatkan dari laboratorium dibawah
mikroskop stereo
1.2 Mengamati fenotipnya mulai dari warna tubuh, warna mata, keadaan sayap,
dan faset mata
1.3 Membedakan antara strain jantan dan strain betina
1.4 Mencatat hasil pengamatan di dalam buku jurnal
2. Pembuatan Medium

21

2.1 Menimbang pisang, tape singkong dan gula merah dengan perbandingan
7:2:1 untuk satu resep (700 gram : 200 gram :100 gram)
2.2 Menyisir gula merah dan direbus dengan air hingga larut, kemudian disaring
2.3 Memotong potong kecil kecil pisang dan tape singkong dan dimasukkan
ke dalam ember
2.4 Mengahaluskan pisang dan tape menggunakan blender serta ditambahkan
air secukupnya
2.5 Memasukkan pisang dan tape singkong yang sudah di blender ke dalam
panci yang berisi gula merah (sambil api dinyalakan)
2.6 Memanaskan selama 45 menit dengan api sedang
2.7 Mengaduk medium yang dipanaskan selama 45 menit
2.8 (Setelah 45 menit) Mengangkat medium dari kompor kemudian diisikan ke
dalam botol selai yang telah difiksasi
2.9 Menutup botol selai yang sudah diisi medium dengan gabus penutup dengan
busa penutup yang telah difiksasi.
2.10 Mendinginkan medium dalam botol selai yang masih panas dengan cara
memasukkan botol pada bak atau baskom yang berisi air secukupnya.
3. Menyiapkan Stok Induk
3.1 Menambahkan 3-5 butir yeast ke dalam botol yang berisi medium sudah
dingin
3.2 Melipat kertas pulpasi dan dimasukkan ke dalam botol yang sudah diberi
yeast
3.3 Memasukkan beberapa pasang D. melanogaster sesuai dengan strain pada
setiap botol selai yang berisi medium yang telah disiapkan tadi dengan cara
menyedot D. melanogaster dari botol stock
3.4 Melabeli botol tersebut dengan nama srain dan tanggal perlakuan
3.5 Menunggu beberapa hari hingga ada pupa yang menghitam
4. Pengampulan
4.1 Menyiapkan selang ampulan, gabus kecil dan pisang
4.2 Memasukkan pisang kecil ke dalam selang ampulan bagian tengah hingga
membagi selang menjadi 2 bagian
4.3 Mengambil pupa yang sudah hitam dari stock yang telah diremajakan dan
dimasukkan ke dalam selang (1 selang berisi 2 pupa yang dibatasi oleh
pisang kecil ditengah tadi)
4.4 Menutup kedua ujung selang ampulan dengan gabus kecil
4.5 Menunggu hingga pupa menetas sehingga siap untuk dikawinkan atau siap
untuk dilakukan persilangan dengan batas maksimal tiga hari setelah pupa
menetas.
5. Persilangan 1 (P1)

22

5.1 Memasukkan satu ekor D. melanogaster strain N dan bcl dari selang
ampulan ke dalam botol selai yang berisi medium, kemudian diberi label
yang berisi nama persilangan dan tanggal persilangan pada luar botol
5.2 Mengulang masing-masing persilangan sebanyak 9 kali ulangan
5.3 Melepas jantan setelah dua hari persilangan
5.4 Mernunggu hingga dalam botol terdapat larva
5.5 (Setelah terdapat larva) Memindahkan (betina) ke botol baru yang berisi
medium
5.6 Menunggu beberapa hari hingga terdapat pupa hitam
5.7 (Setelah terdapat pupa yang menghitam) mengampul pupa hitam F1 dan
melabeli selang ampul
5.8 Mengamati fenotip yang muncul ketika pupa menetas
6. Persilangan 2 (P2)
6.1 Memasukkan satu ekor D. melanogaster strain N betina hasil persilangan
(F1) dengan bcl jantan resesif dari stok kemudian diberi label pada botol
yang berisi

nama persilangan dan tanggal persilangan pada luar botol

besera resiproknya sebanyak 9 ulangan


6.2 Memindahkan setiap hari tiap tiap persilangan ke botol baru sampai
betina mati
6.3 Melepaskan jantan setelah 2 hari persilangan
6.4 Mengamati fenotip yang muncul pada persilangan dan menghitung jumlah
anakan F2 (jumlah jantan dan jumlah betina) yang dihasilkan selama 14
hari
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara
pengamatan fenotip yang muncul dan jumlah anak yang dihasilkan dari
persilangan P2 secara langsung. Data diambil mulai hari pertama menetas
sampai hari ke empat belas untuk setiap ulangan. Data disajikan dalam
bentuk tabel data pengamatan.
H. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu
menggunakan rekonstruksi persilangan P1 dan P2
Setelah data sudah lengkap, kami menggunakan analisis statistik
RAK (menggunakan Rancangan Acak Kelompok) dan perhitungan
frekuensi pindah silang. RAK digunakan karena penelitian ini termasuk
jenis penelitian eksperimen. Perlakuan diberikan pada variabel bebas
(umur betina) untuk menentukan pengaruhnya terhadap variabel terikat
(jumlah turunan F2), kemudian diadakan uji lanjut anava tunggal.

23

Frekuensi pindah silang dapat di hitung sengan cara :


1. Frekuensi turunan tipe rekombinan
rekombinan

100
parental+ rekombinan

24

BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA

A. Data
1. Pengamatan Fenotip D. Melanogaster
Strain awal pada praktikum ada 2, yaitu strain N dan strain bcl. Berdasarkan
hasil pengamatan fenotip, ciri ciri dari strain tersebut adalah sebagai berikut.
1. Strain N
Warna mata

: Merah

Faset mata

: Halus

Warna tubuh : Kuning kecoklatan


Bentuk sayap : Menutupi seluruh tubuh dengan sempurna

Gambar 5.1

D. melanogaster dari strain N betina


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2. Strain bcl
Warna mata

: Coklat

Faset mata

: Halus

Warna tubuh : Hitam


Bentuk sayap : Menutupi seluruh permukaan tubuh dengan sempurna

25

Gambar 5.1 D. melanogaster dari strain bcl (Sumber : Dokumentasi Pribadi)


Strain baru yang muncul hasil persilangan F2, yaitu
1. Strain b
Warna mata

: Merah

Faset mata

: Halus

Warna tubuh : Hitam


Bentuk sayap : Menutupi seluruh tubuh dengan sempurna

Gambar 5.1 D. melanogaster dari strain b (Sumber : Dokumentasi


Pribadi)
2. Strain cl
Warna mata
Faset mata
Warna tubuh
Bentuk sayap

: Coklat
: Halus
: Kuning kecoklatan
: Menutupi seluruh permukaan tubuh dengan sempurna

26

Gambar 5.1

D. melanogaster dari strain cl jantan


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2. Data Hasil Perhitungan F2


Tabel 4.1 Pengamatan persilangan F2 : F1N >< bclstok (F1(N><bcl)) umur
muda
P

Fe Sex

not

ml

ip

ah

si

Ulangan ke

10

12

15

12

13

Ju

l
a
n
g
a
n
F

bcl

N
>
<

cl

11

19

15

67

22

34

92

11

46

18

23

69

33

14

11

17

58

13

27

27

12

78

60

12

39

10

12

43

ls
to
k

U
m
u
r
m
u
d
a
J

69

m
l
a
h

Tabel 4.2 Pengamatan persilangan F2 : F1N >< bclstok (F1(N><bcl)) umur


sedang
P

si

ot

ip

Sex

Ulangan ke

Ju
ml
ah

a
n
g
a
28

n
F

b
c

12
13

14

21

15

60

18

25

17

87

13

11

16

57

13

19

15

69

cl

24

36

24

11

36

>
<

cl

10

12

ls
to
k

U
m
u
r
s
e
d
a
n
g
J

60

69

78

103

83

39
3

m
l
a
h

29

Tabel 4.3 Pengamatan persilangan F2 : F1N >< bclstok (F1(N><bcl)) umur


tua
P

er

Sex

Ulangan ke

To

en

tal

si

ot

la

ip

la
h

n
g
a
n
F

<
b

cl
sto

cl

>

cl

U
m
ur
tu
a

B. Analisis Data
1. Rekonstruksi Kromosom
30

1.1 Rekonstruksi kromosom pada persilangan N >< bcl jika tidak terjadi
pindah silang
P1
Genotip 1

: N >< bcl
: b+ cl + >< bcl
b+cl+
bcl
+ +
: b cl ; bcl

Gamet
F1 :

bcl

b+cl+
bcl
b+cl+

(N
heterozig
ot)

F1 : b+cl+
bcl

(N heterozigot)

P2 : F1N >< bclstok


G2 : b+cl+ >< bcl
bcl

bcl

Gamet : b+cl+, bcl ; bcl


F2 :

b+cl +

bcl

bcl

b+cl+

bcl

bcl

31

bcl

(N
heterozigo
t)

(bcl homozigot)

Perbandingan F2 = N : bcl
1: 1
1.2 Rekonsrtuksi kromosom pada persilangan N >< bcl, jika terjadi pindah
silang
P1

: N >< bcl

Genotip 1 : b+ cl+ ><


b+cl+
Gamet

bcl

bcl

: b+cl+ ;

bcl

F1 :

Bcl

b+cl+
bcl
b+cl+

(N
heterozig
ot)

F1 :
bcl

b+cl+

(N heterozigot)

32

P2 : F1N >< bcl resesif


G2 : b+cl+ >< bcl
bcl
bcl

b+

b+ b +

b+

b+

cl+

cl

b
duplikasi
cl+
+

cl

cl+

cl

cl +

cl

cl

cl

b+

b+

cl+

cl

cl+

cl

Gamet : b+cl+, b+cl, bcl+, bcl ; bcl


F2 :
b+cl+

b+cl

33

bcl+

Bcl


b+cl+
bcl
bcl

b+cl

bcl+

bcl

bcl

bcl

bcl

(cl)

(b)

(bcl)

(N
heterozigot
)

Perbandingan F2 = N : cl : b : bcl
1: 1: 1 : 1
2. Frekuensi Turunan Tipe Rekombinan
2.1 Frekuensi turunan tipe rekombinan persilangan P2 : F1N><bclstok
(F1(N><bcl)) umur muda

Frekuensi turunan tipe rekombinan =

rekombinan
parental rekombinan

X 100 %
Ulangan 1

31
47+31 X 100 % = 39,74359%

Ulangan 2

25
35+ 25 X 100 % = 41,66666%

Ulangan 3

28
41+28 X 100 % = 40,5797101%

32
68+ 32 X 100 % = 32,00%

41
83+41 X 100 % = 33,064516%

Ulangan 4

Ulangan 5

2.2 Frekuensi turunan tipe rekombinan Persilangan P2 : F1N><bclstok


(F1(N><bcl)) umur sedang

34

rekombinan
parental rekombinan

Frekuensi turunan tipe rekombinan =


X 100 %
Ulangan 1

23
37 +23

Ulangan 2

22
47+22

X 100 % = 31,884058%

Ulangan 3

28
50+ 28

X 100 % = 35,897436%

Ulangan 4

27
76+ 27

X 100 % = 26,213592%

Ulangan 5

20
63+ 20

X 100 % = 24,0963855%

X 100 % = 38,3333333%

3. Uji anava tunggal


Perlaku

Ulangan

Total

an

Ratarata

Umur

1
2
3
4
5
6 7 8 9
39,7 41,6 40,5 32,0 33,0

187,

37,40

muda
Umur

4
7
7
0
6
38,3 31,8 35,8 26,2 24,0

04
156,

8
31,28

sedang
Total

3
8
9
1
9
78,0 73,5 76,4 58,2 57,1

4
337,23

Menghitung JK

FK =

343,44 2
= 11795,10336
10

35

Jktotal = 39,742 +41,672 + .... + 24,092 FK


= 12119,4526-11795,10336 = 324,34924
JK ulangan = 78,072 + 73,552+ 76,462 + 58,212 +57,152 FK
2
= 24005,1856
2
= 12002,5928 - 11795,10336
= 207,48944
JK perlakuan = 187,042 + 156,42 - FK
5
= 59444,9216 - FK
5
-

= 11888,98432 11795,10336
= 93,88096

JK galat = JK total JK perlakuan -JK ulangan


= 324,34924 - 93,88096 - 207,48944
= 22,97884
Tabel Anava
SK

JK

KT

Ft

hitung

ab
el
0,
0
5

36

Ulan

gan

Perla

51,8

9,029

6,

723

58722

207,48944

93,88096

93,8

16,34

7,

809

21583

kuan

6
Gala

22,97884

324,34924

5,77471

t
Total

Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi pindah silang pada persilangan N


(F1(N><bcl) )>< bcl resesifstok umur tua dan sedang dapat dilihat bahwa
frekuensi turunan tipe rekombinan kurang dari 50% dan frekuensinya menurun
seiring dengan peningkatan umur. Setelah diuji menggunakan anova tunggal,
dapat dilihat bahwa Fhitung > Ftabel0,05 (16,3421583 > 7,71). Namun, untuk
umur tua masih belum dapat dibandingkan karena belum diperoleh data. Dari
hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara frekuensi
rekombinan umur tua dan sedang, sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Dengan
demikian, hipotesis penelitian yang berbunyi variasi umur betina menyebabkan
perbedaan frekuensi pindah silang pada D. melanogaster persilangan N ><
bcl diterima.

BAB V
PEMBAHASAN
Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh umur betina terhadap
frekuensi pindah silang, sehingga umur betina divariasikan. Umur betina setelah
menetas itu dikelompokkan menjadi 3 rentangan yaitu betina umur muda, betina
37

umur sedang, dan betina umur tua. Menurut Alshbly (2011), betina umur 1-3 hari
termasuk muda, 4-12 hari termasuk sedang, dan 13-26 hari termasuk tua. Siklus
hidup total terhitung dari telur sampai telur kembali berkisar antara 10-14 hari.
Lalat dewasa dapat hidup sampai 10 minggu (Wiyono, 1986). Dalam kondisi
menguntungkan lalat buah Drosophila dapat hidup lebih dari 40 hari.
Dari hasil analisis data yang diperoleh, frekuensi turunan tipe rekombinan
umur betina muda berbeda dengan umur betina sedang. Hal itu
ditunjukkan setelah diuji anova yang menunjukkan bahwa F fitung lebih
besar daripada F tabel 0,05. Hal itu sesuai dengan pernyataan Suryo
(2004) yang menyatakan bahwa terjadinya pindah silang dipengaruhi oleh
beberapa faktor dan salah satunya adalah umur. Semakin tua umur suatu
individu, maka semakin berkurang mengalami pindah silang. Pindah
silang banyak terjadi pada individu muda dan frekuensi pindah silang
menurun sejalan dengan peningkatan umur betina (Kidwell, 1997 dalam
Corebima, 2013). Sinnot (1958) menyatakan bahwa seiring bertambahnya
umur D.melanogaster frekuensi pindah silang pada telurnya akan
berkurang. Pindah silang lebih banyak terjadi pada lalat betina muda dan
cenderung menurun dengan meningkatnya umur lalat (Apriani, 1996).
Proses menua adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain.
Proses metabolisme dalam sel-sel akan berkurang sesuai dengan
pertambahan usia (Hurlock, 1999). Dengan bertambahnya usia maka
akumulasi

kerusakan sel

semakin mengambil peranan, sehingga

mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya


membawa pada penyakit dan kematian (Goldman and Klatz, 2007).
Apabila proses metabolisme menurun maka produksi ATP juga akan
menurun. Adenosine Three Phosphate (ATP) merupakan suatu molekul
yang memiliki ikatan berenergi tinggi yang merupakan suatu bentuk
penyimpan energi dalam sel (energy currency/ mata uang energi)
(Damayanti, 2012). ATP dibutuhkan untuk aktivitas sel termasuk dalam
proses sintesis protein

dan enzim. Dalam peristiwa pindah silang

dibutuhkan protein struktural dan juga enzim.

38

Peristiwa pindah silang terjadi ketika kromosom homolog pertama kali


muncul bersama sebagai pasangan selama tahap zygoten dan pachyten profase I.
Pada tahap itu, kromosom memperlihatkan konfigurasi menyilang yang disebut
chiasma. Pada saat itu,

perlengkapan protein yang dinamakan kompleks

sinaptonemal (synaptonemal complex) menggabungkan kromosom sehingga


terikat kuat satu dengan yang lainnya. Protein synaptonemal complex (SC)
merupakan struktur yang rumit yang terbentuk diantara kromosom homolog
selama pembelahan mieosis tahap profase I, dimana SC memediasi interaksi
pasangan kromosom homolog (Homolog pairing) dan memulai pertukaran
genetik. Pada Drosophila melanogaster, protein c(3)G membentuk filamen
transfer (FTs) dari sinaptonemal complex. Terminal N dari c(3)G homodimer
terletak pada element sentral dari SC, dimana terminal c dari c(3)G
menghubungkan TFs dengan kromosom melalui asosiasi dengan elemen
aksial/elemen lateral (Aes/Les) dari SC. Protein yang disebut Corona juga
dibutuhkan untuk pembentukan dari SC. Corona dibutuhkan untuk peletakkan
yang tepat dari protein c3G SC. Tidak adanya Corona menyebabkan kegagalan
polimerasi c(3)G dan pembentukan wilayah central dari SC (Page, et al. 2008).
Gen c(2)M juga

mengkode SC, adanya mutasi pada gen c(2)M akan

menghasilkan pembentukan SC yang tidak sempurna(Page and Hawley, 2015).


Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam proses pindah silang
dibutuhkan protein struktural yaitu synaptonemal complex yang salah satu
penyusunnya adalah protein c(3)G yang dikode oleh gen c(3)G. Semakin tua
Drosophila melanogaster, maka metabolismenya menurun. Apabila metabolisme
menurun produksi ATP juga akan menurun. Jika produksi ATP menurun, maka
sintesis protein SC yang dibutuhkan dalam rekombinasi juga akan menurun,
sehingga frekuensi pindah silangnya akan menurun.
Penurunan frekuensi pindah silang selain disebabkan protein synaptonemal
complex juga disebabkkan karena enzim

yang terlibat dalam metabolisme

berkurang (Parson, 1961). Enzim merupakan senyawa berfungsi untuk


mengakatalisis reaksi kimia dalam suatu organisme, termasuk pada Drosophila
melanogaster. Dalam peristiwa pindah silang dibutuhkan enzim enzim.
Diantaranya adalah enzim endonuklease dan enzim ligase. Endonuklease

39

berperan memotong jembatan silang pada struktur Holliday (Holliday juction)


(Santos et al,. 2003). Setelah terjadi pertukaran segmen , akhirnya segmen ditukar
dan disambung

oleh enzim ligase. Enzim tersusun atas protein, dan proses

sintesis protein membutuhkan ATP. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa
dalam pembentukan enzim membutuhkan ATP, dan semakin tua umur individu
metabolisme menurun sehingga produksi ATP juga menurun, sehingga frekuensi
pindah silang juga akan menurun.
Namun, dari data yang kami peroleh hanya variasi umur muda dan sedang
saja yang dapat dibedakan, sedangkan umur tua masih belum dapat dibedakan
karena belum diperoleh data. Pada umur tua belum diperoleh data karena
disebabkan adanya beberapa faktor yaitu adanya kutu, pemindahan betina yang
kurang dari 24 jam dan sebagainya.

40

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1. Umur betina berpengaruh terhadap frekuensi pindah silang pada persilangan
Drosophila melanogaster stain N >< bcl. Berdasarkan data yang
diperoleh setelah diuji anova, dapat diketahui bahwa ada perbedaan antara
frekuensi pindah silang antara umur betina muda dan umur sedang. Namun,
untuk data umur tua masih belum dibedakan karena data yang diperoleh
masih belum lengkap.
B. Saran
Dari penelitian ini, peneliti memiliki saran sebagai berikut.
1.
Dalam penelitian ini dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kecekatan dan
kekompakan antar individu dalam kelompok.
Dalam melakukan penelitian ini sebaiknya dalam pembuatan medium

2.

jangan terlalu encer maupun terlalu padat


3.
Dalam melakukan penelitian ini, sebaiknya praktikan selalu menjaga
kebersihan laboratorium, alat, dan bahan yang digunakan supaya tidak ada
kutu
4.

Dalam melakukan penelitian ini sebaiknya praktikan lebih teliti dan


telaten terutama dalam melakukan pengamatan fenotip dan menghitung
jumlah keturunan F2 agar data yang dihasilkan lebih akurat.
Dalam melakukan penelitian ini sebaiknya praktikan melakukan

5.

persilangan dan peremajaan lebih dari ulangan yang diminta untuk


mengantisipasi adanya hal yang tak terduga seperti lalat yang mati ditengah
proses penelitian

41

42

Anda mungkin juga menyukai