Anda di halaman 1dari 108

PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI

INDONESIA 1945-1960

Oleh :

NOOR ISHAK
NIM: 204033203130

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M/1430 H

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA


1945-1960, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22
Januari 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 26 Juni 2008
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota

Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A


NIP. 150 232 921

Drs. Rifqi Muchtar, M.A


NIP. 150 282 120
Anggota,

Penguji I,

Penguji II,

Dra. Haniah Hanafi, M. Si


NIP. 150 299 932

Dra. Hermawati, M.A


NIP. 150 227 408
Pembimbing,

Drs. Agus Nugraha, M. Si


NIP. 150 262 447

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA


1945-1960, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22
Januari 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 26 Juni 2008
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota

Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A


NIP. 150 232 921

Drs. Rifqi Muchtar, M.A


NIP. 150 282 120
Anggota,

Penguji I,

Penguji II,

Dra. Haniah Hanafi, M. Si


NIP. 150 299 932

Dra. Hermawati, M.A


NIP. 150 227 408
Pembimbing,

Drs. Agus Nugraha, M. Si


NIP. 150 262 447

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 22 Januari 2009

Noor Ishak

KATA PENGANTAR

Limpahan nikmat, barakah dan kasih sayank yang sangat besar telah
menggetarkan hati dan menggerakkan lisan penulis untuk senantiasa mengukir
rasa syukur ke hadirat Illahi Rabbi Allah SWT, atas semua yang telah kita
lewati. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan nabi besar
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya serta para
pengikutnya, yang telah memberi banyak pelajaran hidup kepada kita.
Jika air mata ini harus tertumpah, jika raga ini harus tersungkur, dan jika
jiwa ini harus berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang
paling dalam kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi
yang penulis beri judul Pergerakan Parati Masyumi 1945-1960. Sebagai
sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa, apabila di
dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya
haturkan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua
dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih
yang sebesar-besarnya atas semua dedikasi dan perhatian dalam
memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi
ini.
5. Ibu Dra. Haniah Hanafi, M.Si selaku dosen penguji I, terima kasih atas
perhatian, masukan, dan kritikan serta arahan yang beliau berikan kepada
saya. penulis haturkan banyak-banyak terima kasih.
6. Ibu Dra. Hermawati, M.A, selaku dosen penguji II, saya hanya bisa
bersyukur dan berterima kasih kepada beliau, sehingga saya mampu
menyelesaikan dan menuangkan revisi tulisan ini.
7. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik
Islam ( PPI ) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan
intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
8. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo ( Fakultas FISIP
UI ), dan Perpustakaan LIPI ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia )
yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh
literatur yang tersedia dan juga yang rela menunggu penulis hingga
larut.
9. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua
orangtua, Ayahanda Chalimi (alm) dan Ibunda tercinta Zamainah,
Kakanda Ali Asrori beserta keluarga, Kakanda Zulianti beserta keluarga,
Adinda Syamsul Arief beserta keluarga, dan Adinda Siti May Syaroh.
Serta seluruh Keluarga Besar: Mbah Ahmad (alm), yang selalu memberi

semangat bagi penulis, Paman Hamzah beserta keluarga, Soelaiman,


Salamun, Rohimin, dan Soekarwie, beserta keluarga masing-masing.
Bibik, Ruhamah, Sri Aini dan Soekandar, Zainal Anwar, Beserta keluarga,
Nufus Nitami dan Iray Agusti. Seluruh keluarga besar yang berada di
Kudus. Mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi
lebih baik, terima kasih atas bantuan moral dan financial selama penulis
menempuh study S1 di Ibu Kota. Dan mereka semua layak mendapat
balasan surga dari Allah SWT. Amien
10. Kepada Kakanda yang terhormat Ali Asrori dan seluruh keluarga besar
Istri Ali Asrori, terimakasih atas segala curahan perhatian dan
dorongannya baik moral maupun spiritual kepada penulis. Semoga Allah
senantiasa memberikan kesabaran dan kemanfaatan dalam setiap jejak
langkah yang akan ditempuhnya.
11. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Non-Reguler,
Nufus Nitami (Psikologi), Ayu Sartika, Estria (Guru Bahasa Indonesia)
Ade Nissa ( Ekonomi ), Sofyan (V.Onk), Tsani ( Kak Asep ), Yusuf Fadli
( Ucup ), Muhsin, Hudori, Zulfikar, Indra, Tya/Maulidia ( Sosiologi
Agama ), Isti, Buhari, Tohid, Sadi, Aziz, Fadil, Galo, Agus ( Awe ), Iin
Solihin, Asep Muharuddin, Lia ( SA ), Surono, Saiman, Iray Agusti (
medan ), dr. Ricardo, Mas Harris, dan lain-lain. Keyakinan dan
kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis.
12. Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMA Yayasan
Pendidikan Dharma Karya, Ibu Suparmi, Spd selaku Kepala Sekolah
SMA, Kepala Bidang Pendidikan, Pengurus OSIS, dan teman-teman lain

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semangat perjuangan dan
bantuan mereka selalu memberi inspirasi dan semangat bagi penulis.
13. Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMP N 250 Jakarta,
Kepala Sekolah SMPN 250, Pak Tumardi, Pak Tri, Pak Paryono, Bu
Kristi, Bu Suyani, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu, terima kasih atas motivasi dan dukungannya.
14. Teman-Teman yang tergabung dalam mengajar di Yayasan Kesejahteraan
BKUI Jakarta, Ibu Dra. Tutik selaku ketua Yayasan, Pak Andhi Alfian,
Pak Rahmatullah, Ibu Hetty Novianti, beserta teman-teman yang lain
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa restunya
sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi dan wisuda sarjana.
15. Heningnya suasana malam, dan terangnya gemintang, rembulan, lampulampu jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu
setia menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Program NonReguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan kita sebagai manusia
sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
Jakarta, Mei 2009

Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN .........................................................................

LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................

ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii


KATA PENGANTAR.................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..........................................................

B. Sistematika Penelitian............................................................. 13
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 13
D. Metodologi Penelitian............................................................. 14
E. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 15

BAB II

MASYUMI
A. ..........................................................................................Aw
al Berdirinya Masyumi............................................................ 16
B............................................................................................Asa
s Partai Masyumi ................................................................... 23
C............................................................................................Sus
unan Organisasi Masyumi ...................................................... 25
D. ..........................................................................................Ke
anggotaan Masyumi ............................................................... 29

BAB III

DINAMIKA

PERGERAKAN

MASYUMI

DALAM

PERPOLITIKAN DI INDONESIA
A. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan politik Islam
(1945-1947) ............................................................................ 38
B. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948)............. 44
C. Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949)................................ 52

BAB IV

MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER


A. ..........................................................................................Ma
syumi dan Kabinet Natsir (1950-1951).................................... 67
B............................................................................................Ma
syumi dan Kainet Soekiman (1951-1952 )............................... 76
C............................................................................................Ma
syumi dan Kabine Burhanuddin (1955-1956) .......................... 82
D. ..........................................................................................Ma
syumi dan Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (1956-1957) ........... 84

BAB V

PENUTUP
A. Saran ...................................................................................... 90
B. Kesimpulan............................................................................. 93

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 95

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Wacana mengenai Pergerakan Masyumi 1945-4960 dalam diskursus
perpolitikan di Indonesia sejak dahulu memang tidak pernah habis untuk di
bahas. Perdebatanya dalam kaitan ini secara umum mengacu pada gagasan dan
sentiment yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional
yang sering hadir bersamaan dengan identits yang lain, seperti: agama, suku,
bahasa, teretorial dan kelas. Oleh karena itu, pergerakan Masyumi adalah
faham yang meyakini kebenaran dan pikiran, bahwa setiap bangsa seharusnya
bersatu dalam komunitas politik yang dikelola dalam kehidupan bernegara.
Benturan ideologi peran partai Masyumi belum berahir, tidak sedikit
orang menilai bahwa peran Partai Masyumi dari beberapa Kabinet tidak
bertahan lama, kaena mosi tidak percaya dari bebrapa anggota parlemen
menjatuhkan kabinet-kabinet tersebut. Peran partai Masyumi sebagai kabinet
tidak bisa hidup secara berdampingan secara harmonis. Walaupun sebagian
umat muslim lain menganggap tidak ada sebuah pertentangan diantara
keduanya. Pro-kontar tidak hanya berhenti disini saja, belum kita bahas lebih
dalam, pertikaian ternayta bukan saja berlanjut dalam aspek politik, ekonomi,
soasial, dan budaya, akan tetapi sampai keranah sejarah. Hitam-putihnya
sejarah tidak lepas dari siapa yang berkuasa (membuat)

Meskipun partai Masyumi mendapat kesempatan memimpin kabinet,


bukan berarti Masyumi memonopoli dalam menetukan anggota-anggota
kabinetnya. Contoh kabinet Natsir merangkul berbagi partai antara lain dari:
Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parinda, Katholik, Parkindo, dan Partai
Syarekat Islam Indonesia. 1
Banyak literatur barat, mencatat sejarah kebangkitan nasionalsime
sering kali dikaitkan dengan kebangkitan para pemimpin sekuler, termasuk
Budi Utomo dan Partai Nasional Indonesia-nya Soekarno. Nasionalisme
diyakini sebagai sebuah barang Impor dari Barat, dan para pemimpin di didik
secara sekuler untuk memperkenalkan konsep tersebut di Negara Indonesia.
Disinilah letak sejarah berkemabangnya sebuah Negara, tidak heran apabila
banyak masyarakat yang menentang.
Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Idonesia
memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara
sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial
atau

aktual

bersama-sama

untuk

mencapai,

mempertahankan,

dan

mengabadikan identitas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa tersebut.


Pemahaman nasionalisme dari penulis adalah sebuah upaya untuk
memperjuangkan dan mewujudkan sebuah negara-bangsa (nation state).
Orientasi kenegaraan nasional dari konsep nasionalisme merupakan gerakan
kemerdekaan dari dominasi kolonial, kemudian sebagai gerakan demokrasi.
Oleh karena itu nasionalisme memiliki dua dimensi yang saling berkaitan,
1

. Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penelitian FUF-UIN Jakarta,


2005). H. 44

yaitu dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal merujuk pada


kemampuan domestik untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi
pembangunan nasional, terutama konsensus nasional untuk memperkecil
bahkan meniadakan konflik-konflik internal itu yang lebih penting. Kemudian
dimensi ekstrenal adalah mencerminkan kemampuan nasional suatu negarabangsa dalam menjalankan hubungan luar negerinya dengan berbagai aktor
negara-negara tetangga. Dengan demikian nasionalisme merupakan faktor
determinan dalam politik luar negeri suatu negara yang akan memepengaruhi
efektifitas perpolitikan luar negeri.2
Pemikiran dan pergerakan nasionalisme maupun Islam bisa dilihat dari
kebangkitan nasiomalisme dan Islam di Indonesia pada abad ke-20. sebagai
mana sejarah mencatat bangkitnya pergerakan di Indonesia awal abad kedua
puluh ditandai dengan perubahan kesadaran politik yang tumbuh dengan
subur, yang tepatnya pada tahun 1920-1930, terjadi pergolakan pemikiran
untuk mencari nilai dasar atau ideologi untuk memperjuangkan kemerdekaan
atau

dalam bahasa Taufik Abdullah sebagai dasawarsa ideologi dalam

sejarah pergerakan di Indonesia.3


Nasionalisme berasal dari kata Nation yang dipadankan dengan
bangsa. Dalam bahasa Indonesia, bangsa mempunyai dua pengertian yaitu
pengertian antropologis-sosiologis, dan pengertian politis. Dalam pengertian
antropologis dan sosiologis bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan

2
Ali Mahsan Musa, Nasionalisme Kiai kontruksi social berbasis agama, (Yogyakarta,
PT. Lkis Pelangi Aksara, 2007) h. 32
3
Adihiyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta, PT.Pustaka Al-kKausar. 2005),
cet- 1. h.36.

suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing angggota


merasa sebagai satu kesatuan Ras, Bahasa, Agama, Sejarah, dan Adat Istiadat.
Sedangkan yang dimaksud bangsa dalam politik adalah masyarakat dalam
suatu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai
suatu kekuasaan tertinggi, baik keluar maupun kedalam.
Gelombang nasionalisme pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang
melanda negara-negara Islam, telah memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap perpolitikan umat Islam. Dalam kaitan ini, secara umum istilah
nasionalisme mengacu kepada gagasan yang membentuk kerangka konseptual
tentang identitas nasional yang hadir bersama identitas lain seperti, Agama,
bahasa, suku, teritorial, dan kelas. Sehingga negara bangsa (nation state)
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari umat Islam4. Oleh karena itu,
nasionalisme atau kebangsaan adalah faham dan meyakini kebenaran, bahwa
kebenaran setiap bangsa harus bersatu padu dalam komunitas politik yang
dikelola secara rasional dalam kehidupan bernegara.
Memasuki abad-21, serbuan globalisasi mengguncang sendi-sendi
identitas nasional. Proses globalisasi yang berlangsung cepat, cendrung
melenyapkan batas-batas negara dan nasionalisme. Bentuk perubahan sosial
yang menyertai Era globalisasi tersebut, mempengruhi cara pandang
masyarakat terhadap kehidupan dan semesta. Tatanan globalisasi ini semakin
menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah
dipegang-teguh sebelumnya.
4

Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terj), (Jakarta: PT. Pembangunan dan
Penerbit Erlangga,1984),h. 108

Jadi benarkah nasionalisme telah telah tiada? Dalam karya klasik


Daniel Bell, The End of Ideology, nasionalisme adalah ideologi intelektual
lama abad ke-19, dan ketika ideologi marxisme telah lumpuh (exhausted)
dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi
baru semacam ini, seperti industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, warna
kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentum, kesadaran
dan pemberdayaan menurut keperluan yang dihadapi, khususnya di negaranegara yang baru bangkit di Asia Afrika seusai perang dunia II. Jadi,
nasionalisme memang surut di negara-negara maju, namun yang jelas
nasionalisme tidak mati. 5
Pada dewasa ini di Indonesia, ada isu mengenai nasionalisme yang
semakin memudar, indikasi seperti ini bisa dilihat dari fenomena yang
berkembang pada tataran masyarakat (grass root) terutama pada generasi
muda sedikit sekali dari salah satu mereka yang mengerti makna nasionalisme,
terlebih mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan keseharian
dalam bingkai kebangsaan.
Komposisi Indonesia sebagai bangsa yang sangat besar, baik dari segi
luas wilayah negara (teritorial), ragam Agama, multi kultural dan multi etnis,
yang meniscayakan terbangunnya nasionalisme secara kokoh. Kondisi yang
sangat rentan tersebut di perparah dengan adanya mekanisme globalisasi
dunia, yang membuat jarak geografis antara negara yang semakin tipis atau
mengecil. Jika hal tersebut tidak dihindari atau diwaspadai dan diambil
5

Azyumardi Azra,Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,


(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 105.

tindakan preventif sedini mungkin, maka dapat berimbas hilangnya identitas


suatu masyarakat bahkan negara.
Salah satu hal penting yang dilakukan dalam pergerakan nasional
adalah munculnya pencarian yang dilakukan oleh sekian banyak warga yang
terdidik dari berbagai daerah yang berbeda, namun dalam lingkup wilayah
yang sama yaitu Indonesia, dari Sabang sampai Meraoke. Pencarian identitas
seperti ini ditopang oleh kecerdasan serta keberanian yang kuat. Hal seperti ini
ditandai oleh berdirinya Masyumi, Karena organisasi ini berkaitan dengan
tingkah laku dan kebudayaan, serta tujuannya adalah untuk memersatukan,
dan menegakkan kedulatan republik Indonesia yang berlandaskan agama
Islam serta memberikan pendidikan kepada warga negara

dan anak-anak

bangsa.
Cara pandang terhadap sejarah sebuah pergerakan, baik bersifat sosial,
pendidikan, maupun politik, dengan melihat motif atau tujuan dan latar
belakang sosio-ideologis-politis, gerakan tersebut adalah sangat penting.
Dengan begitu, maka akan diketahui secara jelas bagaimana paradigma,
asumsi nilai, pemikiran dan ideologi untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
dengan gerakan tersebut dibangun oleh tokoh pendiri atau pengambil inisiatif,
dalam konteks ini, kata kunci nasionalisme adalah supreme loyality terhadap
bangsa. Kesetiaan itu muncul karena adanya kesadaran akan identitas yang
berbeda dengan yang lain. Signifikansi nasionalisme dewasa ini pada dasarnya
terletak pada kenyatan bahwa di dalam sebuah negara terdapat berbagai

kelompok yang berbeda. Nasionalisme dipandang sebagai kekuatan perekat


agar negara tidak bercerai berai.
Dapat kita lihat dalam organisasi yang berkaitan dengan tingkah laku
dan kebudayaan, warga yang terdidik dapat menggerakkan perpolitik dengan
tujuan untuk kemerdekaan, dan membebaskan dari penjajahan demi warga dan
negara Indonesia. Dengan adanyan nasionalisme masyarakat Indonesia pada
masa penjajahan yang perlu diperhatikan adalah politiknya, yang terpusat pada
tercapainya kemerdekaan, dan yang lebih komitmen adalah kepada ajaran
Islam.6
Sehingga ahirnya Masyumi dilahirkan, karena adanya pengumuman
pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 yang menghendaki agar rakyat mendirikan
partai. Terjadilah perbedaan pendapat, ketika akan melahirkan Masyumi,
akhirnya pada tannggal 7 dan 8 November 1945 diadakan Muktamar Islam
Indonesia di Yokyakarta yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai
organisasi Islam dari masa sebelum perang sampai masa kependudukan
Jepang. Ahirnya muktamar memutuskan mendirikan Majlis Syuro pusat bagi
umat Islam Indonesia dan Masyumi dianggap sebagi satu-satunya partai
politik bagi umat Islam.
Politik dan agama sudah meluas di Dunia muslim lainnya, kemudian
Islam menjadi salah satu kekuatan dalam peta kekuatan politik. Sehingga
perkembangan politik pun pararel dengan kebangkitan reformisme Islam, yang

Herbert Feith, Lance Caslest, Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, ( Jakarta, LP3S,
1988), h. 137.

di lahirkan dalam perputaran keanggotaan agar Peran partai Masyumi dapat


dilihat sebagai wakil uamt, tanpa ada yang merasa tidak terwakili.
Salah satu faktor yang berkaitan dengan persoalan politik umat Islam,
adalah pandangan umum seperti pendapat Oliver Roy, (political Imagination)
imaginasi politik dalam pengertian cakrawala, baik oleh sebagian besar
komunitas Islam maupun non-Islam. Imaginasi politik tersebut berujung pada
tumbuhnya suatu keyakinan akan ketidakterpisahan antara, Wilayah Agama,
Hukum, dan Politik. Yang ditegaskan oleh Oliver Roy dan para pengamat
politik Islam lainnya adalah memiliki elemen-elemen yang tidak sepenuhnya
bisa direkonsiliasikan dengan pembangunan politik modern. Politik modern
yang dimaksud adalah sebuah struktur, sistem, tatanan, atau konstruksi politik
yang berjalan diatas logikanya sendiri. Tesis berjalan diatas logikanya
sendiri antara lain ditandai oleh dianutnya ideologi negara-bangsa (nationstate) sebagai sebuah struktur, sistem, tatanan atau konstruksi politik yang
sekuler. Imajinasi politik diatas adalah kenyataan kehidupan politik yang
berjalan menurut logikanya sendiri sehingga menimbulkan gesekan yang tidak
mudah untuk disintesiskan.7
Indonesia merupakan panggung politik yang cukup baik untuk
menggambarkan tingkat sintesis antara Islam dan nasionalisme dalam politik
modern. Tiga priodisasi politik Indonesia dengan jelas mencerminkan
gesekan-gesekan yang masih belum terselesaikan secara baik, sehubungan
dengan politik umat Islam Vis a Vis kehidupan politik nasional Indonesia.
7

Abdullah Nata, Azyumardi Azra, Problematika Politik Islam di Indonesia, ( Jakarta,


P.T. Grasindo bekerja sama dengan UIN Jakarta pers 2002 ). hal. 155-158.

Upaya seperti ini hendaknya tidak dilihat sebagai pemolitikan agama yaitu
menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh
kekuasaan dan semacamnya, akan tetapi lebih pada pengamanan politik
yaitu menjadikan agama sebagai pengawas para pelaku politik, agar tidak
terjebak dalam politik Machiavelinisme, yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Hal inilah yang menjadi acuan penulis untuk membahas
tentang Pergerakan Masyumi di Indonesia 1945-1960. Masyumi merupakan
partai politik yang mempunyai Tiga lapangan perjuangan yaitu: Pertama,
memperluas pengetahuan dan percakapan umat Islam Indonesia dalam
perjuangan politik. Kedua, memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang
mempertahankan agama, dan kedaulatan negara. Dan yang Ketiga adalah
melaksanakan kehidupan masyarakat berdasarkan Iman dan Taqwa yang
berprikemanusiaan, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam.
Priode pertama mencakup pengalaman 1945-1947 yaitu gesekan
ideologis dan politis. Hal ini membawa akibat terpinggirnya peran politik
umat Islam. Yang bergilir sejak awal kemerdekaan bersifat Inimical
(bermusuhan dengan konstruksi ideologi nasional) oleh karena itu, keabsahan
nasionalisme menemukan alasan yang bersifat kualitatif dengan adanya
prinsip kewarganegaraan. Prinsip seperti ini memiliki daya reduksi yang
sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas atas persamaan. Dalam
perkembangannya, prinsip kewarganegaraan mengalami proses pertumbuhan
yang luar biasa sehingga dimaknai sebagai jantung dari konsep nasionalisme.

Priode kedua 1947-1948 adalah transformasi pemikiran dan praktek


politik umat Islam terjadi dalam situasi kehidupan politik nasional besifat
tidak kompetitif. Karena itu tranformasi hanya terjadi sebagian pemikir dan
pelaku politik. Adapun ranah struktur, adalah ketidak adanya persetujuan
perundingan tentang renvill, yang sering kali dipahami sebagai bentuk
perpolitikan, atau strategi politik. Dalam pengertian ini, Partai Masyumi
merupakan bagian dari fenomena politik. Oleh karena itu politik selalu
berkaitan dengan kekuasaan, bahwa kekuasaan selalu berkaitan dengan
persoalan pengendalian negara, maka partai Masyumi selalu berkenaan
dengan bagaimana meperoleh dan menggunakan kekuasaan tersebut.
Priode ketiga 1950-1951 yaitu dimulainya demokrasi parlementer
berdasarkan UUDS 1950, massa yang kemudian sering di asosiasiakan dengan
priode kehidupan demokrasi ini membuat kehidupan sosial-budaya, ekonomipolitik, hingga Agama, menjadi kompetitif (persaingan). Situasi seperti ini
seolah-olah apa saja dapat dilakukan. Semangat inilah yang kemudian
melahirkan reformalisasi politik Islam. Dengan itu, formalisasi pertama
mengambil bentuk menjadikan Islam sebagai simbol dan asas partai.
Islam dalam perkembangan ini tidak lagi bertahan sebagai identitas
kultural, namun bersamaan dengan munculnya rasa nasionalisme yang
membara, Islam menjadi ide politik yang terbuka untuk kemerdekaan bangsa.
Oleh karena itu hubungan Islam telah menjadi kesadaran politik yang sangat
kuat. Di Indonesia yang notabennya adalah penduduknya mayoritas Islam,
mempunyai harapan yang sangat tinggi, dalam mengisi kemerdekaan dengan

rakyat yang sejahtera, hal seperti ini masuk akal karena kaum muslim dimanamana menghadapi kemiskinan.8
Sampai sekarang pergerakan Masyumi 1945-1960 akan terus menjadi
wacana politik umat Islam di tengah-tengah modernisasi dan globaisasi yang
hampir meruntuhkan identitas-identitas negara dan budaya nasional. Atas
dasar inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengambil tema,
PERGERAKAN PARTAI MASYUMI 1945-1960 sebagai judul skripsi.
Dalam berbagai skripsi yang berjudul tentang Masyumi, baik dari
pembentukan, program kerjanya maupun yang lain sudah ada disebutkan,
maka penulis lebih mengarahkannya kepada Pergerakan. Sebagai salah satu
rujukan penulis adalah dari matarantai sejarah, keputusan politik yang
mengenai titik kebangkitan nasional yang masih dan pasti memunculkan
pendapat lain, suara-suara beda yang harus di dengar dan dipertimbangkan.
Karena kejujuran suatu sejarah akan sangat tergantung sejauhmana kita
bersedia menghiraukan dan membahas tentang

kenyataan-kenyataan lain

yang lebih mungkin.


Selama beberapa tahun silam memang perbincangan masalah
pergerakan Masyumi dalam persepektif Islam merupakan hal yang sangat
umum kita dengar maupun kita baca, akibatnya banyak para aktifis Islam
yang membuat jarak terhadap permasalahan ini. Sehingga konstribusi penulis
memahami gerakan Islam dan Masyumi masih harus ditelusuri, apa yang
menyebabkan berbeda dengan dari gerakan-gerakan tersebut.
8

Moeslim Abdurrahman, Islam yang Memihak, (Jogjakarta, P.T. LKiS Pelangi Aksara,
2005) h. 28

Dengan demikian, tidak kecil kemungkinan maknanya dalam sejarah


Indonesia, adanya Masyumi yang sebelumnya tidak dipahami seperti ini,
sekarang banyak kalangan Mahasiswa, maupun kalangan-kalangan umum,
yang mempunyai kepedulian yang sangat besar, dan rela berkorban dengan
harta, nyawa, ilmu, waktu, dan apa saja demi kemajuan bangsa. Tulisan ini
adalah salah satu bentuk yang mengingatkan, bukan berarti gangguan bagi
sifat kebangsaan dan gerakan-gerakan Masyumi.
Berangkat dari etos kebangkitan nasionalisme (kebangsaan) Indonesia,
maka penulis menyusun dengan sederhana dan keterbatasan, namun dengan
harapan semoga menjadi bahan penyumbang penyadaran bagi mahasisiwa
yang masih aktif di perkuliahan, demi menyongsong era kebangkitan nasional
yang baru. Tentu sangat sederhana, tulisan penulis ini hadir dihadapan
khalayak pembaca. Akan tetapi besar manfaatnya bila kita sama-sama
memberi respon positif atas sekripsi yang penulis uraikan, dengan judul
Pergerakan Partai Masyumi di Indonesia 1945-1960 Insya Allah
memberikan manfaat besar untuk kemajuan bersama.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
Mengingat

kompleksitas

masalah

yang

akan

diteliti

dan

keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, maka masalah yang akan dibahas
hanya akan dibatasi kepada perdebatan mengenai Pergerakan Partai
Masyumi 1945-1960, dalam lingkup Partai Masyumi pada masa awal

Kemerdekaan Indonesia 1945. Pembatasan ini akan bermaksud untuk


mempermudah dalam penulisan skripsi bagi penulis, agar skripsi ini lebih
terfokus dan terarah.

2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas maka
permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana Pergeraka Partai Masyumi 1945-1960 yang mempunyai peran
dan aktifitas perpolitikan di Indonesia serta mengatur sebuah negara yang
berkulturkan Islam yang beberapa kali berganti-ganti kabinet?

C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pergerakan Partai Masyumi
di Indonesia 1945-1960

2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan manfaat,
antara lain:
a. Secara teoritis maupun akademis, diharapkan oleh penulis agar dapat
memperkaya khazanah kepustakan perpolitikan

b. Secara praktis agar dapat memberikan masukan kepada mahasiswa


yang lain agar bisa menilai dan merespon tentang kebaikan dan
kejelekan yang menyangkut Pergerakan Partai Masyumi pada masa itu.

D. Metodologi Penelitian
Tipe Penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu teknik
pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan
yang dibahas dengan menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, dan
majalah, Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat
eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah metode
yang analitis.
Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.

E.Sistematika Penelitian
Dalam sistematika penulisan dan penelitian ini, penulis membagi
dalam Lima

bab. Yang masing-masing bab terdiri dari sub bab secara

sistematis. Hal seperti ini penulis bermaksud untuk memberikan gambaran


yang jelas mengenai uraian diatas, sehingga dapat memudahkan para pembaca
dalam memahami penulisan ini:
Bab I

Adalah pendahuluan yang berisikan tentang Latar Belakang


Masalah, Pembatasan Perumusan Masalah, Metode Penelitian dan
Sistematik Penulisan.

Bab II

Pembahasan dalam bab ini adalah mengenai Awal berdirinya


Masyumi, Asas Partai Masyumi, dan Keanggotaan Masyumi

Bab III

Pembahasan pada bab ini akan membahas tentang, Dinamika


Pergerakan Masyumi dalam Perpolitikan di Indonesia, Masyumi
Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam, Masyumi dan Kabinet
Syahrir (1945-1947), Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin
(1947-1948), serta Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949).

Bab VI

Pembahasan pada bab ini, akan membahas tentang Masyumi dan


Demokrasi Parlementer, yang isinya Peran Masyumi dalam
Kabinet Nasir (1950-1951), Masyumi dan Kabinet Soekiman
(1951-1952), Masyumi dan Kabinet Boerhanuddin (1955-1956),
Serta Masyumi dan Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (1956-1957).

BAB V

Bab ini adalah penutup atau bagian terahir dari penulisan skripsi,
yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.

BAB II
MASYUMI

A. Awal Berdirinya Masyumi


Tumbuh dan berkembangnya partai-partai politik di Indonesia sejak
proklamasi kemerdekaan adalah setelah dikeluarkannya maklumat pemerintah
tanggal 4 November 1945. Maklumat tersebut berisikan bahwa pemerintah
menyukai timbulnya partai-partai politik yang teratur dan difahami oleh
masyarakat. Sejak keluarnya maklumat, maka berdirilah partai-partai politik,
pada umumnya partai politik yang didirikan adalah kelanjutan dari organisasiorganisasi sosial dan partai politik yang sudah terbentuk pada masa kekuasaan
kolonial belanda dan kekuasaan pendudukan Jepang. Antara lain adalah partai
Masyumi, PNI, PKI, dan PSI.
Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif sejarah sebuah
gerakan, yang bersifat sosial, pendidikan, dan politik. Partai Masyumi lahir 7
November 1945 yang berdasarkan keputusan kongres Muslimin Indonesia di
Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Muhammadiyah adalah
salah satu organ yang turut mensponsori berdirinya partai Masyumi.

dalam

pembentukan partai-partai politik, tampak jelas dalam pengorganisasian


partai-partai politik, yang terpengaruh oleh ikatan primordial, seperti Agama,
suku, dan kedaerahan. Dalam hal ini sangat kentara pada waktu pemilihan
umum 1955. Pada waktu paska kemerdekaan Indonesia merupkan perwujudan
9

Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah


dari ahmad Dahlan hingga Syafii Maarif, edisi Perdana, Vol. 1, mei 2003

dari aliran pemikiran yang ada dalam masyarakat politik Indonesia. Masyumi,
Muhammadiyah dan NU merupakan perwujudan aliran pemikiran Islam, PNI
merupakan perwujudan aliran nasionalisme Radikal, PKI merupakan
perwujudan aliran Komunis, dan PSI merupakan perwujudan aliran
sosialisme-Demokrat. 10
Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan
dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (an
historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan
panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah
(an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia.
Dalam pembahasan seperti ini, penulis akan meluruskan kembali tentang
Islam, Nasionalisme, dan Masyumi. Utamanya dalam rangka untuk
mengantisipasi impact (dampak) yang sangat buruk untuk pertikaian ideologi
kebangsaan yang terus berkembang di Indonesia, Indonesia adalah sebuah
negara yang sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam, mempunyai
berbagai pembahasan hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks
Indonesia kembali akan menyita banyak perhatian bagi akademisi dan banyak
kalangan lain. Dalam persoalan aspek sosial, politik dan kemanusiaan, Islam
mengakui aspek plural sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam. Berkaitan dengan persoalan nasionalisme, Masyumi berpandangan
untuk menegaskan bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam baik
dari segi ajaran maupun sejarahnya.
10

Herbert Feith dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T.
LPES, 1988) h. 34

Inisiatif pembentukan Masyumi adalah inisiatif para tokoh partai politik


dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti Agus
Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasim, Muhammad Nasir,
Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. SoekimanWirosandjojo,
Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.
Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak
hanya sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat
Islam melalui wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila
Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah
cerminan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan
Islam tersebut. 11
Secara eksplisit sistematika politik yang disusun Masyumi, adalah
sebagai politik yang tidak terlepas dari fungsi-fungsi lain, seperti artikulasi
kepentingan, seleksi kepentingan, dan komunikasi politik. Secara implisit
upaya pendidikan politik Masyumi adalah usaha untuk mencapai tujuan, yang
dengan cara menginsafkan dan memperluas pengetahuan kecakapan umat
Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Perjuang politik Masyumi yang
sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi komunis yang
diperjuangkan oleh PKI berdasarkan teori-teori Marx, Engles Lenin, Stalin
dan Mao Tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang
bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti
buku-buku tentang Marxise.

11

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) h.9-10

Untuk

mengantisipasi

propaganda

tersebut

Partai

Masyumi

mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah


buku-buku yang bertemakan sosialisme-religius atau lebih dikenal dengan
buku-buku bacaan keluaga Masyumi.12
Pilihan Islam sebagai ideologi partai Masyumi adalah sejalan dengan
latar belakang pembentukan Masyumi. Karena cita-cita Islam sebagai ideologi
Masyumi sudah tampak jelas, dalam rumusan tujuan yang pertama kali
diputuskan dalam kongres umat Islam di Yogyakarta, pada tanggal 7-8
November 1945, pada pasal II ayat I, yang berbunyi kedaulatan Rebuklik
Indonesia dan Agama Islam, adalah melaksanakan cita-cita Islam dalam
urusan ketatanegaraan. Dengan demikian, menegakkan Islam tidak dapat
dipisahkan dari Masyarakat, Negara, dan kemerdekaan.
Apabila dihubungkan dengan situasi tahun 1945, maka pembentukan
Masyumi adalah dalam rangka menyalurkan aspirasi politik umat sebagai
cerminan dari potensi yang sangat besar dan konkret. Pada masa itu, masa
konkrit adalah masa yang tanpa pimpinan politik yang berasaskan Islam.
Dapat dipahami pula bahwa munculnya masyumi pada tahun 1945 dipandang
sebagi jawaban positif umat, terhadap manifiesto politik yang mendorong
partai-partai, dan direspon oleh pihak-pihak lain. Sehingga umat Islam-pun
merespon kesempatan tersebut dengan mendirikan partai yang berasaskan
Islam, yang diberi nama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Yang
dianggap sebagai satu-satunya partai politik yang berasaskan Islam di
Indonesia pada waktu itu.
12

h. 96-97

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004)

Pada awalnya pendukung Masyumi terdiri dari empat organisasi yaitu


Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Perserikatan Umat Islam, dan
Persatuan Umat Islam. Dalam perkembengan Masyumi hampir semua
organisasi Islam bergabung menjadi anggota. Ketua umum partai Masyumi
yang pertama adalah DR. Soekiman, dia adalah pemimpin muslim yang
terkenal dari Syarikat Islam, dan dia dibantu oleh pemikir-pemikir intelektual
muslim muda, seperti Syarifuddin Prawiranegara, Muhmmad Roem, Mr.
Kasman Singodimedja, Yusuf Wibisana, Abu Hanifah dan Mohammad Nasir.
Dalam perkembangan berikutnya terdapat tiga kelompok dalam partai
Masyumi yaitu, konserfatif, moderat, dan sosialis religius. Kelompok
Konserfatif adalah terdiri dari pemimpin agama Islam, kelompok Moderat
yang terdiri dari Mohammad Nasir, Syarifuddin dan Muhammada Roem,
sedangkan kelompok Sosialis Religius, lebih berfikir secara kebaratan, seperti
DR. Soekiman, Yusuf Wibisono, dan Abu Hanifah. Pada awal pembentukan
partai Masyumi secara formal pernah mengalami kejayaan, yang berhasil
mempersatukan umat Islam. Akan tetapi lima belas tahun kemudian nasib
partai Masyumi sangat memprihatinkan. Karna Masyumi belum berhasil
melakukan konsolidasi politik yang berkaitan dengan pengkaderan. Sehingga
konsep dan pemikiran partai Masyumi belum menjadi semangat para tokoh
yang terkait, hal seperti ini disebabkan adanya perbedaan yang mendasar
tentang pola fakir para tokoh yang telah terkotak-kotak sebagaiman kita telah
ketahui.

Dilihat dari pertumbuhan partai Masyumi yang secara sepontan dan para
tokoh idealisnya yang berfariasi dapat diprediksi bahwa partai Masyumi akan
menghadapi banyak kendala dalam mewujudkan misinya. Hal seperti ini dapat
dibuktikan ketika Masyumi dihadapkan kepada pembahasan struktur yang
tidak kunjung pernah selesai sebagaimana diungkapkan oleh M. Fahry.
Masyumi mengalami berbagi macam persoalan internal, diantara persoalan
internal tersebut, semenjak berdirinya sampai menjelang dibubarkan (1960),
ini adalah persoalan struktural organisasi partai yang tidak pernah
tertuntaskan.

Dari konggres ke

konggres

persoalan tersebut selalu

diperbincangkan, termasuk juga masalah keanggotaannya. Dari penuturan M.


Fahri tersebut dapat digambarkan bahwa partai Masyumi adalah partai Islam
yang belum berhasil membawa umat Islam dari hambatan yang dialaminya,
baik dari dalam maupun dari luar. Keberadaan para tokoh yang irasionalnya
masih belum cukup handal untuk menangkal pengaruh-pengaruh yang datang.
Mekanisme Syura yang ada belum dapat memberikan solusi dari
permasalahan yang diajukan, semua bertumpu pada integritas partai yang pada
dasarnya melambangkan eksistensi Ukhuwah Islamiyah yang belum mantap.13
Konsep dan pemikiran (Visi dan Misi) partai Masyumi, adalah
menegakkan kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Agama Islam, dan
yang kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan,
sedangkan dalam anggaran dasar anggaran rumah tangga partai Masyumi yang
tertuang dalam pasal III diungkapkan untuk:

13

Form, desertasi UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta, PPS 392, h. 90-97

1. Menginsafkan serta memperluas pengetahuan serta kecakapan umat islam


indonesia dalam perjuangan politik
2. Menyusun dan memperkokoh barisan umat islam untuk berjuang dan
mempertahankan agama dan kedaulatan negara
3. Melaksanakan kehidupan rakyat berdasarkan iman dan taqwa, pri
kemanusiaan persaudaraan, dan persamaan hak menurut agama islam
4. Bekerja sama dengan golongan lain dalam lapangan perjuangan
menegakkan kedaulatan negara.
Dilihat dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagaimana
tercantum diatas partai Masyumi adalah sangat toleran artinya, Masyumi ingin
mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, (toyyibatun
warobbun ghofur), dengan demikian Masyumi tidak meniggalkan kelompok
minoritas selain Islam di Negara Republik Indonesia. Mereka diajak bersamasama berjuang untuk kepentinagn Negara dengan tidak mencampuri urusan
peribadatan mereka sedikitpun, bahkan mereka diajak kerja sama untuk
menegakkan kedaulatan negara.
Pemimpin-pemimpin partai Masyumi menafsirkan konsep Syura dalam
Al-quran dengan demokrasi parlementer sebagaimana yang telah berkembang
di Barat, meski tidak selalu pararel dengan partai Masyumi, sikap Masyumi
seperti ini memberikan kesan bahwa Masyumi benar-benar partai Islam yang
konsisten dengan visi dan misinya benar-benar Islami. Dari uraian tentang
visi misi secara umum tampaknya Masyumi cukup idealis dan moderat dalam
konsep, namun dilihat dari perjalanan partai terdapat kondisi kemandegan, ini

berarti keempat macam tujuan usaha yang diungkapkan pada anggaran dasar
yang begitu ideal tidak terimplementasikan dengan baik. Pada kegiatan partai
selama Lima Belas tahun nampak ada kelemahan dalam pelaksanaan programprogramnya. Mungkin penyebabnya adalah lemahnya sistem menejerial
keorganisasian anggota yang banyak tidak ditangani dengan sugguh-sungguh.

B. Asas Partai Masyumi


Partai Masyumi adalah partai yang berasaskan Islam, yang tujuannya
adalah agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan negara di republik Indonesia, untuk menuju keridhaan
Ilahi. Pemilihan Islam sebagai asas Partai Masyumi adalah sejalan dengan
pembentukannya, cita-cita Islam sebagai ideologi Masyumi sudah nampak
dari rumusan yang pertama kali diputuskan oleh Konggres Umat Islam di
Jogjakart, tanggal 7-8 November 1945, yaitu pasal II, yang berbunyi (1)
menegakkan

kedaulatan

Republik

Indonesia

dan

Agam

Islam

(2)

melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan ketatanegaraan. 14


Asas tersebut mengemukakan agar semua hukum dan peraturan negara
sesuai dengan hukum dan peraturan Islam. Hal ini tidak akan merugikan bagi
yang berlainan agama karena ini tidak merugikan dan tidak ada prinsip Islam
yang berlawanan dengan ajaran-ajaran agama-agama lain. Menurut Masyumi
asas Islam, merupakan cita-cita yang bisa tumbuh dalam ketertiban dan
keamanan, kekacauan akan memboroskan tenaga, harta dan jiwa,. Kekacauan
14

1951) h. 6

Prawoto Mangkusasmito, Memperingati enam tahun Masyumi, (Jakarta, P.T. Hikmah,

akan meruntuhkan segala usaha dan ihtiar. Oleh karena itu partai menolak
setiap usaha dari pihak manapun yang mengakibatkan kekacauan dan
kelumpuhan negara serta alat-alatnya. 15
Tafsir asas yang menimbulkan pendirian partai Masyumi secara dasar
terumuskan pada tahun 1952 pada konggres ke-6 bulan Agustus. Ini
merupakan tonggak sejarah dalam pertumbuhan Masyumi sehingga pertikaian
dapat dikembalikan pada partainya. Tafsir asas ini bermula dengan uraian
entang keadaan International. Perkembangan terjadi dengan dua kekuatan dan
analogi yang dibuat dengan membandingkan cerita-cerita dalam al-Quran.
Yaitu Kapitalis dan Matrealisme yang menghasilkan falsafah perebutan hidup.
(struggle for life) dan kejayaan sikuat yang mengalahakan si lemah, sehingga
mengakibatkan permusuhan antara majikan dan bueruh. Dengan demikian
damai tidak akan muncul karena masyarakat terpecah dalam golongan yang
bermusuhan tanpa berniat untuk mengutamakan kepentingan bersama.
Komunisme

tidak

jauh

dengan

pernyataan

ini,

dalam

komunisme

kesewenangan diperbaharui, hak-hak rakyat ditindas, dan dunia juga ingin


direbut. 16

15
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965, (Jakarta, P.T. Temprint,
1987), h. 138
16
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Politik, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti,
1987), h. 138.

C. Susunan Organisasi Masyumi


Cara pandang terhadap sejarah sebuah gerakan, baik bersifat sosial,
pendidikan, maupun politik, maka harus melihat motif atau tujuan kondisi
sosio-ideologis-politis gerakan tersebut adalah sangat dianjurkan. Maka akan
mengetahui secara jelas bagaimana paradigma asumsi nilai, pemikiran, dan
ideologi untuk mencapai tujuan gerakan yang akan dijalankan.
Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif dan faktorfaktor yang melatarinya, suasana revolusi dan persaingan berbagi kelompok
ideologi di Indonesia pasca kemerdekaan, serta peran tokoh-tokoh yang
mengambil inisiatif ikut mewarnai pembentukan Masyumi. Partai Politik
Islam Indonesia Masyumi didirikan dan di ikrarkan sebagai satu-satunya
partai politik Islam pada 7 November 1945, yang berdasarkan keputusan
konggres umat Islam di Jogjakarta. Inisiatif pembentukan ini berasal dari
tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman
pergerakan, seperti: Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid
Hasyim, Mohammad Nastir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr.
Soekiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan
Dr. Abu Hanifah.
Keputusan membentuk Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam itu tidak
sekedar sebagai keputusan tokoh-tokoh tesebut, tetapi keputusan dari seluruh
umat Islam melalui utusan wakil-wakil mereka. Penilaian ini cukup beralasan
apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang mencerminkan
wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagmaan Islam
sebagai berikut:

1. Majlis Syura (Dewan Partai)


a. Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asjari (NU), Ketua Umum
b. Ki Bagus Hadikusuma (Muhammadiyah), Ketua Muda I
c. K.H. Wahid Hasjim (NU), Ketua Muda II
d. Mr. Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), Ketua Muda III
Anggota:
a. R.H.M. Adnan (Persatuan Penghulu dan Pegawainya, PPDP)
b. H. Agoes Salim (Penjadar)
c. K.H. Abdul Wahab (NU)
d. K.H. Sanusi (PUI)
e. K.H. Abdul Halim (PUI)
f. Syeh Djamil Djambek (Majlis Tinggi, MIT)
2. Pengurus Besar
a. Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Partai Islam Indonesia, PII), Ketua
Umum
b. Mr. Muhammad Roem Wakil Ketua I
c. Mr. Syamsudin Wakil Ketua II
d. Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Ketua Muda I
e. Wali Alfatah (PII) Ketua Muda II
f. Harsono Tjokroaminoto (PSII), Sekretaris I
g. Prawoto Magkusasmito (Muhammadiyah), Sekretaris II
h. Mr. R.A. Kasmat (PII), Bendahara.

3. Pimpinan Bagian Penerangan


a. Wiwoho Purbohadidjojo, (Menteri Penerangan)
b. K.H. Wahid Hasyim, (Menteri Agama)
4. Utusan Luar Negeri
a. Mr, Syamsudin, (Duta Besar Indonesia di Mesir)
b. H. Dahlan Abdullah, (Duta Besar Indonesaia di Irak)
c. Mohammad Roem, (Komisaris Tinggi Indonesia di Negeri Belanda)
5. Bagian Barisan Sabilillah dan Hizbullah:
a. K.H. Masykur (NU)
b. W. Wondoamiseno (PSII)
c. Hasyim (Muhammadiyah)
d. Sulio Hadikusumo (Jong Islamiten Bond, JIB)
6. Bagian Keuangan:
a. Mr. R.A. Kasmat (PII)
b. R. Prawiro Juwono (Muhammadiyah)
c. H. Hamid BKN (Muhammadiyah)
d. Harsono Tjokroaminoto (PSII)
7. Anggota-anggota:
a. K.H. Dahlan (NU)
b. Ki Bagus Hadikusumo
c. H.M. Farid Maruf (Muhammadiyah)
d. Junus Anis (Muhammadiyah)
e. K.H. Fathurrahman (NU)

f. Dr. Abu Hanifah


g. Mohammad Natsir (Persis)
h. S.M. Kartosuwiryo (PSII Baru)
i. Anwar Cokro Aminoto (PSII)
j. Dr. Syamsuddin (Muhammadiyah)
k. Mr. Muhammad Roem (Penjadar)
l. Mr. Syafruddin Prawiranegara
Keterwakilan tokoh-tokoh berbagai organisasi Islam dalam Masyumi
menceminkan sifat pluralisme sebagai partai tunggal Islam yang
menghimpun semua potensi kekuatan politik Islam. Motif itu, menurut Yusril
Ihza Mahendra didorong oleh pandangan-pandangan dasa modernisme yang
positif dan optimis dalam memandang pluralisme. Perbedaan pandangan
sebagai ramat Tuhan, karena perbedaan itu tidak bersifat fundamental, akan
tetapi hanya berhubungan dengan masalah furuiyah (perkara-perkara kecil).
Tidaklah mengherankan apabila pada akhirnya para tokoh tersebut mengambil
keputusan dalam pembentukan partai Masyumi guna menyatukan golongangolongan Islam kedalam satu partai politik yang kuat.
Perakara-perkara besar yang dipandang perlu dan mendesak dilakukan
menurut para tokoh pembentuk Masyumi adalah menyikapi suasana revolusi
Indonesia dan persaingan berbagai ideologi politik dalam masyarakat
Indonesia. Suasana revolusi sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Suasana
tersebut tampak mempengaruhi rumusan tujuan dan program Masyumi yang

kelihatan sangat patriotik dan nasionalistik. Inilah yang perlu di garis bawahi,
sebagai kemantapan judul sekripsi yang penulis uraikan. Tujuan Masyumi
pada kongres Umat Islam itu adalah menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia dan Agama Islam, dengan senantiasa melaksanakan cita-cita Islam
dalam urusan kenegaraan. Pencapaian tujuan itu kemudian merumuskan
program kerja sebagaimana terbaca pada paparan berikut:

D. Keanggotaan Partai Masyumi


Keanggotaan partai Masyumi dibagi menjadi dua macam:
1. Perorangan: untuk menjadi anggota perorangan harus berumur 18 tahun
atau sudah berkeluarga, tidak boleh merangkap anggota partai lain, dan
setiap anggota mempunyai hak suara.
2. Organisasi (anggota Istimewa): anggota ini berdasarkan organisasiorganisasi, mempunyai hak nasehat atau saran. 17
Adanya

dua

macam

keanggotaan

ini

dengan

alasan

untuk

memperbanyak anggota dan agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat,
tanpa tidak ada yang merasa terwaili. Pada mulanya yang menjadi anggota
istimewa Partai Masyumi adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama,
Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam, ahirnya bersatu menjadi
Persatuan Umat Islam Indonesia yang bersifat tradisional dalam bidang
agama, tetapi modern dalam bidang keduniaan, sehingga memudahkan mereka
untuk bekerja sama dengan kalangan modernis.
17

Dra. Haniah Hanafi, M.si, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penlitian FUF-UIN
Jakarta, 2005)

Selain keempat organisasi tersebut, keanggotaan Masyumi mulai


bertambah dengan masuknya Persisi (Bandung) pada tahun 1948 dan AlIrsyad Jakarta pada tahun 1950. dari Sumatra Utara ikut pula bergabung, yaitu
Al-Jamiatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah dari Aceh, serta PUSA ikut
bergabung pada tahun 1949-1953. orgaisasi-organisasi Islam didaerah
pendudukan juga ikut bergabung dengan menjadi cabang Masyumi di daerah.
Pada awalnya Masyumi kelihatan solid dan terkenal dengan integritas
pribadi yang dimiliki oleh para pengurus Masyumi, namun ketika terjadi
konflik antara Masyumi dengan Soekarno masalah Pemberontakan Pemerintah
Revolusioner RI, maka para anggota istimewa Masyumi melepaskan ikatan
dengan Masyumi.
Selain anggota perorangan dan istimewa sebagai pendudung partai ini,
Masyumi mencoba menggalang dukungan melalui anak organisasi 17 yang
didirikan, seperti Muslimat, Persatuan Dagang Islam Indonesia, Persatuan
Tani Indonesia, yang didirikan masa revolusi. Persatuan Nelayan Islam
Indonesia, Persatuan Buruh Islam Indonesia didirikan pada tahun 1950-an. 18
Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada
tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai
Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan
demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun programprogramnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama
massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan

18

Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, 32-34

mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari


pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam
didirikan di Indonesia. 19
Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan
semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun
1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak
memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I
dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi
parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan
pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang
mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak
terlaksananya program pelaksanaan pemilu.
Kabinet Hatta (Desember 1949-Agustus 1951) pada mulanya berencana
untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu
dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI,
mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun
dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi
Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu.
Kabinet Nastir (September 1950-Maret 1951) adalah menerusakan
kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar
pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU
diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman (April 1951-Februari 1952) adalah
19

Ahmad SyafiI Maarif, (DKK) lslam dan Nilai-Nilai Universal, ( Jakarta, International
Center for Islam and Plularism ICIP), cet 1, Juli 2008, h. 60

meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun


ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan
umum secara langsung.
Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di
Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan
kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila
pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya
kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam.
Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap (salah satu
ketua dari Masyumi), pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan
guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan
konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta
pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat
dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam,
Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme.

20

Namun ketiga aliran dasar itu

muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka


mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan
demokratis.
Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama
Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang
(Masyumi) yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah
total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan
20

h. 46-47

Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004),

PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang
hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan
Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante.
Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai
pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang
mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara
mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, (PKI). Hal ini memang
umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam.
Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan.
Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak
Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program
Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan
oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan
untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiaptiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang
pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan
oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem (Masyumi) menjabat sebagai
Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman
bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 21
Masyumi sebagai partai politik terbesar,

tentunya

mempunyai

karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri
khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu
merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat
21

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, h. 75.

Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil


menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi
bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu
memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam
berada dalam satu pimpinan.
Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk
memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam
konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk
memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu
dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui
musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan
dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan
sudah berlaku.
Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama
priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena
Masyumi keperpihakannya terhadap martabat Negara Republik Indonesia
begitu jelas, penuh konsisten dan penuh dengan perhitungan. Dengan rumusan
serta tujuan yang hendak diperjuangkan oleh Masyumi adalah menciptakan
Indonesia yang bercoraka Islam, namun memberikan kebebasan penuh kepada
golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik
sesuai dengan ideologinya masing-masing. 22

22

Ahmad SyafiI Maarif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpin 1959-1965, (Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988), h. 33

Masyumi melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik


demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan
sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan
pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen. Pada
awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam
pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga
Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi
lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada
mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak
setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet
parlementer.23
Masyumi dan pemerintahan pada Massa 1955-1960 adalah priode
pemilihan umum yang ditandai dengan munculnya empat partai besar, yaitu
Masyumi PNI, NU dan PKI. Pada bulan Maret 1956-1957 terbentuk kabinet
Sastroamidjojo II dan aktifnya Soekarno sebagai Presiden Konstitusional
menurut undang-undang dasar sementra 1950 kedalam persoalan politik
praktis. Pada posisi cabinet ini Masyumi mewakili kedudukan sebagai Perdana
Menteri dalam kepemerintahan.
Dalam priode 1956-1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepnya
yang terkenal dngan nama Demokrasi Terpimpin, dengan pernyataan in
Masyumi menghadapi perubahan-perubahan. Sementara wakil-wakilnya di
konstituante dengan gigih memperjuangkan terciptanya sebuah konstituante
23

Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN
Syarif Hidayatullah PRESS, 2004), h. 51-52.

yang mencerminkan aspirasi-aspirasi Islam, yang berhubungan dengan


ideologi Negara.

Dalam priode ini juga terjadinya peristiwa PRRI yang

melibatkan sejumlah tokoh penting Masyumi yang dan dikeluarkannya dekrit


Presiden serta terbentuknya Kabinet Djuanda.
Sedangkan pada tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun yang
menimbulkan ketegangan bagi kalangan Masyumi baik didalam pemerintahan
maupun didalam partainya, karena pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden (Penpres) No. 7 / 1959 yang
mengatur kehidupan partai politik dan pembubaran partai. Penetapan tersebut
memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran
dasarnya bertentangan dengan dasar Negara, atau pula pemimipinya terlibat
dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya
yang terlibat dalam pemberontakan.
Setelah penetapan tersebut, tepatnya pada tahun 1960 dikeluarkanlah
Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 / 1960 yang secara resmi
memerintahkan pembubaran partai Masyumi. Tepatnya pada jam 05.20 pada
tanggal 17 Agustus 1960, dimana pemimpin pusat Masyumi menerima surat
dari direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa dalam waktu tiga
puluh hari sesudah tanggal keputusan, pemimpin partai Masyumi harus
menyatakan partainya bubar. Dan pembubarannya harus diberitahukan oleh
Presiden, kalaupun tidak partai Masyumi akan di umumkan sebagi partai
terlarang.

Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang
dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam
membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada
setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok
lebih dekat dapur Masyumi yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan
dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi
tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling
bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.

BAB III
DINAMIKA PERGERAKAN MASYUMI
DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA

E. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam


Pendeknya usia piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme
Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat Islam di
alam kemerdekaan. Bila selama ini kesatuan gerak politik di kalang organisasi
dan partai-partai Islam yang dirasakan tidak memadai sebagai wahana
perjuangan, maka dipandang sudah sangat mendesak agar umat merapatkan
barisan dalam satu partai politik. Partai politik itu ialah Masyumi, tapi bukan
Masyumi buatan Jepang, seperti yang dibentuk pada 1943, atas kebaikan
penguasa Jepang di Indonesia. Masyumi yang berdiri pada tanggal 7-8
November 1945 sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin
umat Islam dalam sebuah konggres yang bertempat di gedung Madrasah
Muallimin Muhammadiyah Jogjakarta.
Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai Masyumi
adalah Muhammadiyah dan NU. Jadi jelas secara ideologis, Masyumi adalah
kelanjutan dari MIAMI, tapi kali ini menghususkan perjuangan dibidang
p[olitik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia
merdeka. Selain Muhammadiyah dan NU, hampir semua organisasi Islam di
Indonesia kecuali Perti, mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya

partai umat Islam di Indonesia. Kemudian Masyumi tampil sebagai pembela


demokrasi yang tangguh dalam negara demokrasi Indonesia.
Dalam konggres November itu, tercatat sebagai ketua panitia adalah
Mohammad Natsir dengan anggota-anggota: Soekiman Wirjosendjoyo,
Abikusno Tjokrodjujoso, A. Wahid Hasyim, Wali Al-fatah, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII dan A. Gaffar Ismail. Dalam
konggres diputuskan bahwa Satu, Masyumi adalah satu-satunya partai politik
Islam di Indonesia, Dua, Masyumilah yang akan memmpejuangkan nasib
(politik) uamt Islam Indonesia. Dengan ikrar ini, berati eksistensi partai Islam
yang lain tidak diakui lagi. Masyumi priode awal terdiri dari Majlis Syura
yang diketuai oleh K.H. Hasyim Asyari, dan pengurus besar (Badan
Eksekutif) yang diketuai oleh Soekiman Wirdjosenjojo.
Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif sejarah sebuah
gerakan, yang bersifat sosial, pendidikan, dan politik. Partai Masyumi lahir 7
November 1945 yang berdasarkan keputusan kongres Muslimin Indonesia di
Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Muhammadiyah adalah
salah satu organisasi yang turut mensponsori berdirinya partai Masyumi.

24

dalam pembentukan partai-partai politik, tampak jelas dalam pengorganisasian


partai-partai politik, yang terpengaruh oleh ikatan primordial, seperti Agama,
suku, dan kedaerahan. Dalam hal ini sangat kentara pada waktu pemilihan
umum 1955. Pada waktu paska kemerdekaan Indonesia merupkan perwujudan
dari aliran pemikiran yang ada dalam masyarakat politik Indonesia. Masyumi,
24

Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik


Muhammadiyah dari ahmad Dahlan hingga Syafii Maarif, edisi Perdana, Vol. 1, mei 2003

Muhammadiyah dan NU merupakan perwujudan aliran pemikiran Islam, PNI


merupakan perwujudan aliran nasionalisme Radikal, PKI merupakan
perwujudan aliran Komunis, dan PSI merupakan perwujudan aliran
sosialisme-Demokrat. 25
Kekuatan sekaligus kelemahan Masyumi menurut analisis, yaitu terletak
pada sifatnya yang federatif. Menurut A.R. Bawesdan (1909-1986) salah
seorang pemimpin penting Masyumi dan mantan pendiri PAI (Partai Arab
Indonesia). Masyumi, berhasil menarik hampir semua organisasi Islam
Indonesia, sedangkan mereka tetap mempunyai otonomi dalam kegiatan sosiokeagamaan mereka. Kelemahan Masyumi juga terletak pada semangat
golongan mereka yang selalu lebih dominan dalam partai ketimbang semangat
persatuan. Kenyataan seperti inilah yang sering menempatkan Masyumi pada
posisi yang sulit dalam menyusun badan eksekutif yang kuat dan handal.
Kegagalan dalam mengarahkan dan mengteluarkan semangat golongan yang
hedrogen telah membawa partai Masyumi berhadapan dengan masalahmasalah intern yang serius. Apalagi posisi-posisi politik formal dalam negara
yang baru merdeka tidak jarang mempunyai daya tarik tersendiri bagi
pemimpin-pemimpin partai yang berasal dari berbagai golongan umat.
Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan
dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (an
historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan

25

Herbert Feith dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T.
LPES, 1988) h. 34

panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah


(an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia.
Inisiatif pembentukan Masyumi adalah inisiatif para tokoh partai politik
dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti Agus
Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasim, Muhammad Nasir,
Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. SoekimanWirosandjojo,
Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.
Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak
hanya sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat
Islam melalui wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila
Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah
cerminan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan
Islam tersebut. 26
Secara eksplisit sistematika politik yang disusun Masyumi, adalah
sebagai politik yang tidak terlepas dari fungsi-fungsi lain, seperti artikulasi
kepentingan, seleksi kepentingan, dan komunikasi politik. Secara implisit
upaya pendidikan politik Masyumi adalah usaha untuk mencapai tujuan, yang
dengan cara menginsafkan dan memperluas pengetahuan kecakapan umat
Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Perjuang politik Masyumi yang
sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi komunis yang
diperjuangkan oleh PKI berdasarkan teori-teori Marx, Engles Lenin, Stalin
dan Mao Tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang

26

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) h.9-10

bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti
buku-buku tentang Marxise.
Untuk

mengantisipasi

propaganda

tersebut

Partai

Masyumi

mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah


buku-buku yang bertemakan sosialisme-religius atau lebih dikenal dengan
buku-buku bacaan keluaga Masyumi.27
Pada awalnya pendukung Masyumi terdiri dari empat organisasi yaitu
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Perserikatan Umat Islam, dan
Persatuan Umat Islam. Dalam perkembengan Masyumi hampir semua
organisasi Islam bergabung menjadi anggota. Ketua umum partai Masyumi
yang pertama adalah DR. Soekiman, dia adalah pemimpin muslim yang
terkenal dari Syarikat Islam, dan dia dibantu oleh pemikir-pemikir intelektual
muslim muda, seperti Syarifuddin Prawiranegara, Muhmmad Roem, Mr.
Kasman Singodimedja, Yusuf Wibisana, Abu Hanifah dan Mohammad Nasir.
Dilihat dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagaimana
tercantum diatas partai Masyumi adalah sangat toleran artinya, Masyumi ingin
mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, (toyyibatun
warobbun ghofur), dengan demikian Masyumi tidak meniggalkan kelompok
minoritas selain Islam di Negara Republik Indonesia. Mereka diajak bersamasama berjuang untuk kepentinagn Negara dengan tidak mencampuri urusan
peribadatan mereka sedikitpun, bahkan mereka diajak kerja sama untuk
menegakkan kedaulatan negara.
27

h. 96-97

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004)

Pemimpin-pemimpin partai Masyumi menafsirkan konsep Syura dalam


Al-quran dengan demokrasi parlementer sebagaimana yang telah berkembang
di Barat, meski tidak selalu pararel dengan partai Masyumi, sikap Masyumi
seperti ini memberikan kesan bahwa Masyumi benar-benar partai Islam yang
konsisten dengan visi dan misinya benar-benar Islami. Dari uraian tentang
visi misi secara umum tampaknya Masyumi cukup idealis dan moderat dalam
konsep, namun dilihat dari perjalanan partai terdapat kondisi kemandegan, ini
berarti keempat macam tujuan usaha yang diungkapkan pada anggaran dasar
yang begitu ideal tidak terimplementasikan dengan baik. Pada kegiatan partai
selama lima belas tahun nampak ada kelemahan dalam pelaksanaan programprogramnya. Mungkin penyebabnya adalah lemahnya sistem menejerial
keorganisasian anggota yang banyak tidak ditangani dengan sugguh-sungguh.
Masyumi telah merumuskan tujuan jangka panjang yang hendak
diraihnya dalam perjuangan politik. Dalam anggaran dasar tujuan itu
dirumuskan

secara

terbuka

sebagai

berikut:

tujuan

partai

adalah

terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang,


masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju Keridhaan Ilahi. Dengan
rumusan ini, Masyumi melalui cara-cara dan saluran-saluran demokratis yang
ingin menciptakan Indonesai yang bercorak Islam. Akan tetapi memberikan
kebebasan

penuh

kepada

golongan-golongan

lain

untuk

berbuat

memperjuangkan inspirasi politik sesuai dengan agama dan ideologinya


masing-masing. Hak bebas bagi golongan-golongan lain ditegaskan dalam
tafsiran anggaran dasar partai. Dalam perjalanan sejarahnya orang memang

meragukan kejujuran Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsipprinsip demokrasi dalam suatu pluralisme ideologi, sekalipun umat Islam
secara kuantitatif merupakan mayoritas mutlak dari penduduk Indonesia.
Mayoritas tidak berarti seluruhnya menjadikan Islam sebagai ideologi politik.
Secara ideologis, hanya partai-partai saja yang di kategorikan sebagai wakil
Islam pada waktu itu, karena ideologi itu telah mempersempit ruang gerak
Islam.

F. Masyumi dan Kabinet Syahrir (1945-1947)


Walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, seperti yang
sudah dikatakan diatas, kedudukan uamt Islam pada masa permulaan revolusi
itu tidak dapat disebut kuat. Hal ini tercermin dalam kabinet dan ,KNIP.
Hanya dua orang menteri yang mewwakili mereka dalam kabinet presidensiil,
yang dibentuk pada bulan Agustus 1945 dan hanya 20 dari 137 anggota KNIP.
Kedua menteri itu adalah Abikusno Tjokrosujoso (Pekerja Umum) dan K.H.
A. Wahid Hasyim (Menteri Negara) dalam badan pekerja KNIP yang
jumlahnya 15 orang dan dibentuk oktober 1945, hanya dua orang yang
mewakili umat islam duduk diparlemen yaitu Wahid Hasyim dan Syarifuddin
Prawiranegara,

namun

setelah

perombakan

bulan

berikutnya

yaitu

Syarifuddin, Jusuf Wibisono dan Muhammad Natsir, dari 17 orang ketika


keanggotaan badan pekerja diperluas menjadi 26 pada bulan Desember denagn
maksud memasukkan juga wakil-wakil daerah hanya 4 orang yang mewakili
umat (yang keempat adalah Muhammad Zein Djambek). Dengan demikian,

Masyumi yang merupakan satu-satunay partai Islam ketika itu, dan merasa
pembagian sedemikian kuarang adil, tidak mendesakkan tuntutan perubahan
apapun. Partai ini sungguh mengharapkan porsi yang lebih besar, lebih
menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada
mempersoalkan kepentingan diri. Oleh karena itu juga, partai ini tidak setuju
dengan perubahan sistem kabinet presidensiil ke kabinet parlementer.
Dalam kabinet ini hanya seorang anggota Masyumi yang duduk, yaitu
H.M. Rasyidi, yang bertugas menghadapi persoala-persoalan agama. Pada
tanggal 3 Januari 1946 Muhammad Natsir dari Masyumi diangkat sebagai
menteri penerangan, dan ketika Departemen Agama diadakan H,M. Rasyidi
sebagai Menterinya. Tetapi baik Natsir maupun Rasyidi turut serta dalam
kabinet sebagai perseorangan bukan sebagai wakil partai. 28
Kekecewaan Masyumi tentang perubahan sistem

kabinet telah

dikemukakan oleh Natsir dalam sidang KNIP dengan sebuah manifesto.


Karena partai Masyumi menekankan pendapat bahwa presidensiiilakan lebih
menjamion stabilitas pemerintahan, bahwa perubahan melanggar UndangUndang Dasar. Alasan perubahan yaitu untuk membersihkan kalangan
pemerintah dari orang-orang yang telah bekerja sama dengan jepang dalam
masa pendudukan, tidak dapat diterima. Menurut Masyumi, sebagian besar
dari anggota Kabinet Syahrir merupakan orang-orang yang bekerja sama
dengan Jepang, dimasa pendudukan, dan dengan Belanda pada masa
penjajahan. Partai Masyumi berpendapat bahwa segala perubahan, baik yang
28

Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti,
1987). H. 154

berkenaan dengan Undang-Undang Dasar maupun yang mengenai kabinet


dapat dilakukan seterlah diadakan pemilihan umum.
Tabel Kabinet Syahrir 1945-1946
Perdana Menteri

Sutan Sjahrir

Menteri Luar Negeri

Sutan Syarir

Menteri Dalam Negeri

Sutan Syahrir

Wakil Menteri Dalam Negeri

Mr. Harmani

Menteri Keamanan Rakyat

Mr. Amir Syarifuddin

Wakil Menteri Keamanan Rakyat

Abdul Murad

Menteri Kehakiman

Mr. Soewardi

Menteri Penerangan

Mr. Amir Syarifuddin

Menteri Keuangan

Mr. Sunarjo Kolopaking

Menteri Kemakmuran

Ir. Darmawan Mangunkusumo

Menteri Perhubungan

Ir. Abdul Karim

Menteri Pekerjaan Umum

Ir. Putu Hena

Menteri Sosial

Dr. Adji Darmo Tjokronegoro

Menteri Pengajaran

Mr. Dr. T.S.G. Mulia

Menteri Kesehatan

Dr. Darma Setiawan

Menteri Negara

H. Rasjidi

Cara pandang terhadap sejarah sebuah gerakan, baik bersifat sosial,


pendidikan, maupun politik, maka harus melihat motif atau tujuan kondisi
sosio-ideologis-politis gerakan tersebut adalah sangat dianjurkan. Maka akan

di ketahui secara jelas bagaimana paradigma asumsi nilai, pemikiran, dan


ideologi untuk mencapai tujuan gerakan yang akan dijalankan.
Pada tanggal 2 Oktober 1946 keadaan mulai berangsur damai, kekuasaan
pemerintah diserahkan kembali oleh presiden kepada kabinet Syahrier. Yang
terdiri dari 30 anggota ddan bersifat nasional. Yang termasuk didalamnya
enam anggota Masyumi, yaitu Muhammad Roem (Menteri Dalam Negeri),
Jusuf Wibisono (Menteri Muda Kemakmuran), Syarifuddin Prawironegoro
(Menteri Keuangan), Muhammad Natsir (Menteri Penerangan), dan Wahid
Hasyim (Menteri Agama). Seperti halnya kabinet-kabinet sebelumnya,
partisipasi mereka dalam kabinet bersifat perseorangan, bukan atas nama
partai. Partai Masyumi sendiri tidak keberatan atas hal ini. Soekiman selaku
ketua umum partai, ketika ditemui oleh Syahrir pada bulan September, telah
memberi nama-nama anggota Masyumi yang tidak ditolak oleh partai apabila
diangkat menjadi menteri. Akan tetapi pada pertemuan dengan Syahrir itu
Soekiman menekankan bahwa menurut Masyumi, suatu kabinet koalisi
merupakan kabinet yang paling dapat diterima dan dapat menyelesaikan
kesulitan yang dihadapi negara.
Kabinet Syahrir berhasil mengadakan persetujuan dengan pihak Belanda
yang dikenal dengan nama persetujuan Linggarjati. Kedua perutusan
Indonesia dan Belanda ditadatangani di Cirebon, pada tanggal 15 November
1946. tetapi persetrujaun tersebut diterima dengan permusuhan oleh partaipartai pada umumnya, termasuk Masyumi. Kebanyakan anggota Masyumi
yang beranggapan bahwa banyak bagian persetujuan itu menimbulkan

keraguan, oleh sebab itu bisa menyebabkan tafsiran yang bebeda oleh kedua
puhak. Termasuk juga Muhammad Roem, salah satu anggota inti dalam
delegasi indonesia da seorang tokoh Masyumi yang mulai menanjak karirnya
melihat persetujuan tersebut sebagai pengakuan de fakto atas Republik
Indonesia atas Belanda. Suatu sidang pleno Masyumi di Jogjakarta tanggal 2021 November, dan yang dihadiri oleh berbagai ketua departemen partai, serta
mewakili Musliat, Sabilillah, Hizbullah, Majlis Syuro, dan anggota Istimewa
Muhammadiayah, NU, dan PUI. Menolak untuk menerima persetujuan
tersebut.
Melihat kemungkinan gagalnya persetujuan linggarjati, pada tanggal 6
Juni 1947 Masyumi mengeluarkan manifesto politik, yang tam[paknya
memberi maksud penerangan kepada masyarakat serta dunia luar tentang apa
yang ia tempuh bila sekiranya dipercaya memimpin kabinet. Manifesto lebih
menekankan pada kekuatan diri dalam berhadapan dengan Belanda, bahkan
sebaliknuya Syahrir dilihat sebagai menggantungkan diri pada kemauan baik
belanda serta dunia internasional. Tekanan pada kekuatan diri itu bisa
diartikan bahwa pada ahirnya kekrasan turut berbicara. Masyumi benar-benar
menolak kebijaksanaan kabinet Syahrir, apalagi setelah lebih banyak konsesi
diberikan kepada pihak Belanda. Pendirian yang sama dari banyak partai lain
menyebabkan Syahrir menyerahkan mandatnya tanggal 27 Juni 1947.

G. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin 1947-1948

Pembentukan kabinet berikutnya menyebabkan perpecahan didalam


Masyumi, pada tanggal 30 Juni 1947 presiden memberi mandat kepada Amir
Syarifuddin (sosialis), Sukiman (Masyumi), A.K. Gani (PNI), dan Setiadjit,
untuk membentuk suatu kabinet koalisi. Usaha keempat mereka ini gagal
karena Masyumi menuntuk kursi perdana menteri dan menteri-menteri
pertahanan, luar negeri dan dalam negeri. Kemudian tanggal 2 Juli, tiga orang
formatir ditunjuk yaitu Amir Syarifudin, A.K. Gani, dan Setiadjit, berhasil
membentuk kabinet nasional. Amir yang menjadi perdana menteri,
mengumumkan kabinetnya tanggal 3 Juli, yang menyebutnya kembali
berdirinya PSII. Partai ini diusahakan kembali oleh Arudji Kartawinata serta
Wondoamiseno yang juga duduk dalam kabinet, masing-masing menjadi
menteri muda pertahanan dan menter dalam negeri, yang didampingi oleh
Syahbuddin Latif (Penerangan) dan SukosonWirjosaputro (Menteri Muda
Soial). Hal ini merupakan pukulan besar bagi Masyumi yang merasa yakin
bahwa Amir Syarifuddin akan gagal membentuk kabinet tanpa Masyumi.
Kalangan PSII dituduh oportunistis dan merugikan perjuangan Islam.
Sebaliknya, PSII merasa ingin memainkan peranan yang lebih berarti,
mungkinjuga hubungan mereka yang kurang mesra dengan berbagai tokoh
Masyumi dari masa sebelum perang mendorong perpecahan.
Tabel Kabinet Amir Syarifuddin 1947-1948
Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin
Wakil perdana Menteri I Samsuddin
Wakil Perdana Menteri II Wondoamiseno

Menteri Luar Negeri

H. Agus Salim

Menteri Muda Luar Negeri

Mr. Tamsil

Menteri Dalam Negeri

Mr. Muhammad Roem

Menteri Muda Dlam Negeri Mr. Abdul Madjid Djojohadikusumo


Menteri Peratahanan

Arudji Kartawinata

Menteri Muda pertahanan

Mr. Kasman Singodimedjo

Menteri Penerangan

Sjahbuddin Latif

Menteri Muda Penerangan

Ir. Setiadi

Menteri Keuangan

Mr. A.A. Maramis

Menteri Kemakmuran

Dr. A.A. Gani

Menteri Muda Kemakmuran II Dr. A. Tjondronegoro


Menteri Perhubungan

Ir. Juanda

Menteri Pekerjaan Umum

Ir. H. Laoh

Menteri Perburuhan

S.K. Trimurti

Menteri Agama

K.H. Masykur

Menteri Sosial

Soepardjo

Meneteri Kesehatan

Dr. J. Leimena

Menteri Pengajaran

Mr. Sastroamidjoyo

Menteri Negara

Hamengkubuwono IX

Menteri Negara Urusan Pemuda Wikana


Menteri Negara Urusan Makanan Sujas
Menteri Negara Urusan Kepolisian Mr. Hendromartono

Kabinet Amier terdiri atas 34 orang anggota, yang termasuk 5 0rang dari
sosialis yang jumlahnya sama dengan dari PSII. Masyumi mempunyai alasan
mengapa dia berposisi menolak terhadap Amir, karena dia adalah Tokoh
sosialis yang dianggap kurang dapat dipercaya, sebab Amir lahir sebagai
muslim, masuk Kristen ketika umur 24 tahun. Pada masa sebelum perang ia
memimpin partai Gerinda, sebuah partai kebangsaan yang masuk rasdikal
menentang menentang pihak Belanda walaupun ia menjalankan politik
Koprasi. Bahkan Masyumi berpendapat bahwa Amir sebagai menteri
pertahanan telah menyalahgunakan kekuasaan yang ada, untuk kepentingan
suatu kelompok, yaitu golongan sosialis dan mungkin komunis. Pada masa ia
dalam kabinet Syahrir ia menjabat menteri perthanan, biro perjuangan dalam
inspektorat biro perjuangan di kemnenterian tersebut didominasi oleh
golongan kiri. Masyumi juga menuduh Inspektorat telah mengorganisasikan
sebagai latihan untuk kelompok-kelompok perjuangan bersenjata yang juga
memperoleh senacam indoktrinasi suatu ideologi politik tertentu yaitu
sosialisme.
Pandanagn Amir lebih banyak negatifnya, ketika perundingan dengan
pihak Belanda akan dimuali, pihak Masyumi masih bersedia membentu
pemerintah. Perundingan dengan Belanda diadakan atas saran dan pengawasan
komosi Jasa-Jasa baik Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang lebih dikenal dengan
nama Komisi Tiga Negara. Masyumi bersedia masuk pada tanggal 13
November 1947 dengan memperoleh 4 kursi, yaitu Wakil Perdana Menteri I
Samsudin. Menteri Dalam Negeri Muhammad Roem, Menteri Agama K.H.

Masykur, dan Menteri Muda Kehakiman Kasman Singodimedjo. Amir


memang berhasil menandatangai perjanjian renville dengan belanda, tetapi
umumnya orang berpendapat bahwa perjanjian ini kurang menguntungkan
dibandingkan dengan persetujuan Linggarjati. Pada tanggal 16 Januari 1948
Masyumi langsung menarik menteri-menterinya dari kabinet Amir, sehari
sebelum penandatanganan persetujuan renville dengan pihak Belanda.
Penolakan Masyumi terhadap persetujuan Renville didasarkan pada dua
alasan. Pertama, isi persetujuan lebih menguntungkan pihak Belanda. Kedua
sikap ketua delegasi Indonesia yaitu Perdana Menteri Amier Syarifuddin yang
tidak menolak tuntutan Belanda dalam perundingan padahal penolakan ini
keputusan kabinet. Penolakan ini harus segera disampaikan kepihak Belanda
dan Komisi Tiga Negara hal ini tidak dilakukan oleh Amir. Kemudian
kesempatan untuk menolak lewat, karena komisi tiga negara mengemukakan
usul perubahan terhadap tuntutan Belanda. Sedangkan kabinet menerima usul
tersebut, sedangkan Masyumi tetap menolak.

H. Masyumi dan Kabinet Hatta1948-1949


Dengan ditinggalkan oleh para pendukungnya, yaitu Masyumi, PNI, dan
golongan Syahrir, Amir menyerahkan mandatnya kepada kepala negara
tanggal 23 Januari 1948. persoalannya menjadi ruwet karna kabinet berikut
harus memikul konsekwensi persetujuan renville. Dapat dipahami mengapa
Masyumi, dan partai-partai lain, kurang bersemangat untuk memimpin
kabinet. Keadaan ruwet ini diselesaikan presiden dengan menunujuk wakilnya

yaitu Mohammad Hatta sebagi formatir. Gagl membuat kompromi antara


pengikut Amir disatu pihak dan lawan mereka dipihak lain. Hattas lebih
banyak memilih para tokoh dari lawan Amir yaitu Masyumi dan PNI, masing
masing

mendapat 4

Wirjosandjojo
(Kemakmuran),

kursi.

(Menteri
K.H.

Tokoh-tokoh Masyumi

Dalam

Negeri),

Masykur

(Agama),

Sjafruddin
dan

yaitu

Soekiman

Prawiranegoro

Mohammada

Natsir

(Penerangan). Kabinet terlama dimasa revolusi ini, dengan dipimpin oleh


Muhammad Hatta, bekerja sampai pada penyerahan kedaulatan pada tanggal
27 Desember 1949- dengan resaffle bualn Agustus 1949. dal;am kabinet ini
Sukiman bersedia duduk, sikap yang berbeda dan sikap yang diperlihatkan
terhadap Syahrir dan Amir Syarifuddin. Hubungan Sukiman dengan Hatta
memang rapat, pada waktu mereka belajar di negeri Belanda.
Selama pemerintahan Hatta ada tiga persoalan yang merupakan faktor
penentu dalam perkembangan di Indonesia poada umumnya, dan Masyumi
hususnya. Yang Pertama adalah munculnya gerakan darul Islam, Kedua
adalah munculnya pemberontakan PKI pada tahun 1948, Ketiga peranan
Masyumi atau tokoh-tokohnya dalam penyelesaian revolusi.
Gerakan darul Islam merupakan akibat persetujuan Renvile, persetujuan
ini antara lain menciptakan apa yang disebut garis status quo Van Mook, yang
menetapkan bahwa semua kekuatan bersenjata Republik Indonesia termasuk
seperti laskar seperti Hizbullah, harus ditarik dari daerah-daerah kantung
dibelakang garis pertahahnan Belanda, dan dikirimkan kedaerah yang diakui
sebagai daerah Republik Indonesia.

Tabel Kabinet Hatta 1948-1949


Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta
Menteri Dalam Negeri

Dr. Soekiman

Menteri Luar Negeri

H. Agus Salim

Menteri Pertahanan

Mohammad Hatta

Menteri Penerangan

Mohammada Natir

Menteri Keuangan

Mr. A.A. Maramis

Menteru Persediaan Makanan Rakyat I.J. Kasimo


Menteri Kemakmuran

Mr. Syarifuddin Prawironegoro

Menteri Perhubungan

Ir. Juanda

Menteri Pekerjaam Umum

Ir. Juanda

Menteri Perburuhan/sosial

Kusna

Menteri Pembangunan/Pemuda

Supeno

Menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan Mr. Ali sastroamidjoyo


Menteri Agama

K.H. Masykur

Menteri Kesehatan

Dr. J. Leimena

Menteri Negara

Hamengkubuwono IX

Pada tanggal 14 Agustus 1947 Karto Soewirjo mengemukakan jihad


terhadap pihak Belanda. Hal ini dapat dilihat sebagai cerminan sikap fanatik
Kartosoewirjo, yang tidak lagi berhubungan dengan sepak terjang dengan
kalangan Islan lainnya. Pada bulan Februari 1948 ia mendirikan suatu majlis
Umat Islam di Tasikmalaya untuk koordinasi semua organissasi umat Islam di
Jawa Barat, dengan bual berikutnya ia putuskan agara kegiatan Masyumi dan

kelompok-kelompok lain di Jawa Barat semua diberhentikan. Dan ia juga


mendirikan Tantara Islam Indonesia yang sebagian terdiri dari para anggota
Hizbullah dan Sabilillah yang tidak ingin hijrah keluar dari garis Van Mook
Disini jelas sekali perbedaan pandangan Kartosoewirjo disatu pihak dan
Masyumi dipihak lain. Seperti telah diketahui, pemerintah Darurat Republik
Indonesia, yang didirikan setelah Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh lainnya
dalam pemerintah di Yogya ditangkap Belanda, diketuai oleh Syarifuddin
Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi, dan perundingan dengan pihak
Belanda kemudian dilakukan dengan dipimpin oleh ketua delegasi yaitu
Mohammad Roem, juga dari Masyumi. Kartosoewirjo malah menyebut
kegiatan Roem sebagai wakil Masyumi dan wakil umat Islam, memalukan
sekali!! .
Pandangan Kartosoewirjo tentang pemerintah Republik Indonesia seperti
diatas menyebabakan ia melihat kedatangan TNI ke Jawa Barat sebagai
kedatangan satu angkatan yang tidak dibenarkan, oleh karena itu, ia melihat
Jawa Barat sebagi daerah yang ia pertahankan. Sebaliknya para Pemimpn
Indonesia, yang telah merasa tidak teriakt lagi dengan persetujuan renville
dengan aksi militer itu, kembali mengirimkan TNI menyusup kedaerah
berbeda dalam kekuasaan Belanda, termasuk Jawa Barat ini terjadilah perang
yang dikenal dengan perang segitiga, yaitu antara TNI, Tentara DI (TII), dan
tentara Belanda.
Alasan lain bagi Kartosoewirjo dalam menentang masuknya TNI ke Jawa
Barat adalah anggapan bahwa angkatan bersenjata Republik Indonesia telah

dimasuki oleh kaum Komunis. Walaupun pemberontakan kaum komunis di


Madiun dalam bulan September telah ditumpas oleh Pemerintah Republik
Indonesia, kartosoewirjo tampak tidak melihat bahwa pemerintah serta tentara
Republik Indonesia bersih dari anasir komunis. Maka ia pun menyebut tentara
Republik Indonesia yang masuk kedaerah Jawa Barat setelah aksi militer
kedua Belanda itu sebagai angkatan dari Republik Indonesia darurat dan
komunis gadungan.
Pemberontakan PKI pada tahun 1948, salah satu perkembangan yang
sangat mempengaruhi hubungan sebangsa adalah pemberontakan PKI di
Madiun pada tanggal 18 September 1948, sepanjang tahun 1947 sebelum
Kabinet Amir Syarifuddin terbentuk, sudah nampak bahwa partai sosialis akan
pecah. Perpechan itu terbuka dengan terbentuknya Kabinrt Amir yang
menggantikan Kabinet Syahrir pada tahun 1947. ketika perdana menteri Amir
mengadakan perundigan dengan pihak Belanda, kelompok Syahrir secara
terbuka mengcamnya. Fraksi sosialis dalam badan pekerja KNIP juga
mencerminkan pertentangan dua kelompok ini, ahirnya Syahrir dan kawankawan yang sepaham menarik diri dari partai sosialis dan mendirikan partai
PSI.
Dari pihak Indonesia persetujuan ini tentu bukan pekerjaan ketua delegasi
atau delegasi saja. Tanpa mengecilakn peranan Mohammad Roem, ia harus
berkonsultasi denag Soekarno dan Hatta serta para pemimpin lainnya yang
diketahui oleh Belanda di pulau Bangka. Serta para pemimpin lain yang
ditahan Belanda. Dalam pidatonya tanggal 7 Mei Roem sengaja menyebutkan

bahwa ia mendapat mandat dari Soekarno dan Hatta untuk mengikat janji guna
bekerja sama dengan Belanda denagn mengusakan penyelesaian. Pada waktu
itu Roem tidak melihat persetujuan yang dicapainya dengan Van Royen itu
mempunyai arti besar. Ia juga sadr bahwa semua orang Indonesia menganggap
perswetujuan yang tersebut sebagai suatu hasil yang cemerlanga, malah ada
diantaranya tidak mengakui sama sekali atau menganggap persetujuan itu
sebagai suatu kegagalan , mereka dengan sendirinya menyalahkan dan
menyesali tokoh Masyumi ini. Peneilaian ini, disebabkan antara lain, Pertama,
pendapat keyakinan bahwa persetujuan Van Royen itu tercapai pada saat para
para pejuang bersenjata kita, baik TNI maupun Laskar, sudah menempati
posisi yang memungkinkan mereka mengambil prakarsa untuk menyapu
bersih kekuatan militer Belanda. Kedua, persetujuan tersebut mengandung
penerimaan bentuk federasi bagi negar Indonesia, dalam bentuk Republik
akan hanya merupakan negara bagian, yang memp[unyai kedudukan yang
sama dengan negara-negar bagian lain ciptaan Belanda. Ketiga, Roem sebagai
ketua delegasi Indonesia mendapat mandat ahnya dari Sokarno dan Hatta yang
tidak berfungsi lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
karena memang berada dalam tahanan Belanda. Ketigas pendapat ini lebih
dapat menerima persetujuan bila Roem juga memperoleh mandat dari
Syarifuddin Prawiranegara, kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Alasan ini menyebabkan M. Natsir berhenti sebagai penasehat delegasi,
kemudian sebagai menteri penerangan. Karna ia terdorong pleh simpati dan
loyalitas kepada Syarifuddin, yang telah menjalin hubungan erat dengannya

selama revolusi. Bahkan ia berpendapat bahwa hasil Roem-Royen tersebut


hendaklah dirundingkan terlebih dahulu dengan Sarifuddin. Disamping itu,
perundingan dianggap terlalu cepat diselesaikan. Menurut natsir keinginan
Soekarno lebih didorong oleh pertimbangan pribadi dan bukan pertimbangan
negara. Natsir dapat berkata demikian karena ia berturut ditahan bersama
pemimpin-pemimpin lain di Banka, oleh sebab itu mempunyai penilain
tersendiri terhadap tiap-tiap pemimpin. Sementara itu Natasir merasa tidak
sanggup mempertanggung jawabkan hasil persetujuan Roem-Royen kepada
partainya yaitu Masyumi, bahkan ia merasakan beban tantangan terlalu berat,
oleh karena itu ia berhenti sebagai penasehat delegasi, dan demikian juga
sebagai menteri.
Sedangkan

partai Masyumi

sendiri

terlebih

dahulu

memberikan

persetujuan terhadap Roem-Royen, yaitu pada tanggal 28 Mei 1948. rapat


yang dilakukan untuk mencatat suatu perdebatan antara yang pro dan kontra,
Pertama adalah dipimpin oleh Roem, yang kedua dipmpin oleh Natsir. Roem
berpendapat bahwa persetujuan yang dibuat adalah membuka pintu yang lebih
lebar bagi Indonesia kemudian untuk terus diperjuangkan demi kepentinagn
bersama. Bahkan ia menyarankan kepada rekan-rekannya untuk tidak melihat
suatu persetujuan sebagi final, karena perjuangan belu berahir, malah tiap
perjuangan tidak akan ada yang selesai.tetapi Roem yakin bahwa kembalinya
pemerintah ke Yogyakarta akan menuju kepada pengakuan dari segenap dunia
terhadap eksistensi Republik Indonesia. Ini termasuk pihak Belanda yang
selama ini ingin mengahapus negara baru dari permukaan bumi. Menurut

Roem pengakuan ini Rewpublik Indonesia dapat melanjutkan perjuangan lagi.


Secara Internasional kedudukan Republik Indonesia bertambah kuat
dibandigkan dengan sebelumnay. Kedudukan yang lebih kuat inilah yang
perlu dimanfaatkan dalam perudingan denagn p[ihak Belanda. Masyumi juga
kurang mempersoalkan kedudukannya dalam kabinet di-resaflle setelah
kedudukan pemerintah kembali ke Yogyakarta, karena kabinet tetap dipimpin
Hatta yang sangat dipercaya oleh Masyumi.
Melihat adanya pro dan kontra, dikalangan Islam berpendapat bahwa
tokoh-tokoh mereka telah memberikan saham yang besar dalam perjuangan
kemerdekaan baik dimasa sebelum revolusi. Baik dimeja perundingan maupun
di medan perang, yang ahirnya diikuti oleh ribuan dan jutaan umat. Memang
persetujuan Roem-Royen membuka jalan bagi pulihnya kekuasaan selama
masa revolusi itu uamt Islam banyak memberikan sahamnya, baik korban
harta dan jiwa tidak akan dapat dihitung. Bekal rohaniah terbesar mereka
pinjamkan kepada tiap pejuang, kumandang Allahu Akbar bergema dimanamana. Dari semula memang tampak jelas keihlasan, adakalanya dengan
kerugian mereka sendiri. Apalagi karena perjuanagan bukan semata-mata
disertai oalh segenap pihak dengan keihlasan, keihlaasn perjuanagn umat
dimas revolusi kurang membuat perhitungan, perhitunagn tersebut dikaji
dalam tahun 1950-an

I. Dinamika Masyumi Dalam Perpolitikan Indonesia

Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada
tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai
Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan
demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun programprogramnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama
massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan
mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari
pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam
didirikan di Indonesia. 29
Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan
semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun
1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak
memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I
dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi
parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan
pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang
mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak
terlaksananya program pelaksanaan pemilu.
Kabinet Hatta (Desember 1949-Agustus 1951) pada mulanya berencana
untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu
dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI,
mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun
29

Ahmad SyafiI Maarif, (DKK) lslam dan Nilai-Nilai Universal, ( Jakarta, International
Center for Islam and Plularism ICIP), cet 1, Juli 2008, h. 60

dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi
Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu.
Kabinet Nastir (September 1950-Maret 1951) adalah menerusakan
kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar
pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU
diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman (April 1951-Februari 1952) adalah
meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun
ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan
umum secara langsung.
Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di
Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan
kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila
pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya
kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam.
Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap (salah satu
ketua dari Masyumi), pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan
guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan
konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta
pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat
dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam,
Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme.

30

Namun ketiga aliran dasar itu

muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka


30

h. 46-47

Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004),

mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan
demokratis.
Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama
Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang
(Masyumi) yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah
total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan
PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang
hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan
Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante.
Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai
pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang
mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara
mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, (PKI). Hal ini memang
umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam.
Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan.
Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak
Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program
Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan
oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan
untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiaptiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang
pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan
oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem (Masyumi) menjabat sebagai

Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman


bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 31
Masyumi sebagai partai politik terbesar,

tentunya

mempunyai

karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri
khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu
merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat
Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil
menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi
bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu
memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam
berada dalam satu pimpinan.
Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk
memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam
konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk
memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu
dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui
musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan
dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan
sudah berlaku.
Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama
priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena

31

Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, h. 75.

Masyumi keperpihakannya terhadap martabat Negara Republik Indonesia


begitu jelas, penuh konsisten dan penuh dengan perhitungan. Dengan rumusan
serta tujuan yang hendak diperjuangkan oleh Masyumi adalah menciptakan
Indonesia yang bercoraka Islam, namun memberikan kebebasan penuh kepada
golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik
sesuai dengan ideologinya masing-masing. 32
Masyumi melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik
demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan
sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan
pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen. Pada
awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam
pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga
Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi
lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada
mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak
setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet
parlementer.33
Masyumi dan pemerintahan pada Massa 1955-1960 adalah priode
pemilihan umum yang ditandai dengan munculnya empat partai besar, yaitu
Masyumi PNI, NU dan PKI. Pada bulan Maret 1956-1957 terbentuk kabinet
Sastroamidjojo II dan aktifnya Soekarno sebagai Presiden Konstitusional

32
Ahmad SyafiI Maarif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpin 1959-1965, (Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988), h. 33
33
Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN
Syarif Hidayatullah PRESS, 2004), h. 51-52.

menurut undang-undang dasar sementara 1950 kedalam persoalan politik


praktis. Pada posisi kabinet ini Masyumi mewakili kedudukan sebagai
Perdana Menteri dalam kepemerintahan.
Dalam priode 1956-1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepnya
yang terkenal dengan nama Demokrasi Terpimpin, dengan pernyataan ini
Masyumi menghadapi perubahan-perubahan. Sementara wakil-wakilnya di
konstituante dengan gigih memperjuangkan terciptanya sebuah konstituante
yang mencerminkan aspirasi-aspirasi Islam, yang berhubungan dengan
ideologi Negara.

Dalam priode ini juga terjadinya peristiwa PRRI yang

melibatkan sejumlah tokoh penting Masyumi dan dikeluarkannya dekrit


Presiden serta terbentuknya Kabinet Djuanda.
Sedangkan pada tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun yang
menimbulkan ketegangan bagi kalangan Masyumi baik didalam pemerintahan
maupun didalam partainya, karena pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden (Penpres) No. 7 / 1959 yang
mengatur kehidupan partai politik dan pembubaran partai. Penetapan tersebut
memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran
dasarnya bertentangan dengan dasar Negara, atau pula pemimipinya terlibat
dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya
yang terlibat dalam pemberontakan.
Setelah penetapan tersebut, tepatnya pada tahun 1960 dikeluarkanlah
Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 / 1960 yang secara resmi
memerintahkan pembubaran partai Masyumi. Tepatnya pada jam 05.20 pada

tanggal 17 Agustus 1960, dimana pemimpin pusat Masyumi menerima surat


dari direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa dalam waktu tiga
puluh hari sesudah tanggal keputusan, pemimpin partai Masyumi harus
menyatakan partainya bubar. Dan pembubarannya harus diberitahukan oleh
Presiden, kalaupun tidak partai Masyumi akan di umumkan sebagi partai
terlarang.
Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang
dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam
membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada
setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok
lebih dekat dapur Masyumi yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan
dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi
tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling
bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.

BAB IV
MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER

A. Peran Masyumi dan Kabinet Muhammad Natsir 1950-1951


Indonesia adalah salah satu negara yang pluralis di dunia, dan mayoritas
rakyatnya adalah Muslim, Islam merupakan sumber dalam formasi nilai,
norma dan perilaku masyarakatnya, sehingga Islam memiliki peran penting
dalam kehidupan sosial, politik dan kultur di negeri ini. Dengan 17.000 Pulau
yang ada di wilayahnya, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang di huni
maupun tidak, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di Dunia dan
Negara dengan latar belakang yang beraneka ragam. Dengan sekitar 200
kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya, Indonesia juga
sebuah Negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. 34
Kabinet parlementer seperti yang dibentuk oleh UUD 1950 hanya
mungkin terbentuk dengan koalisi partai, terutama karena komposisi parlemen
tidak memungkinkan pembentukan kabinet oleh satu dua partai saja. Dalam
rangka ini pola yang ideal adalah bila Masyumi dan PSI berasama-sama duduk
dalam kabinet, sehingga lebih mendorong partai-partai lain berada dalam
posisi tambahan, dan bukan posisi yang melaga keduanya. Dalam kabinet
dimasa revolusi yang dipimpin mohammad Hatta dan juga dalam kabinet RIS,
peran Masyumi dan PNI menyebabkan hal lain yang terjadi.
34

Herdi Syahrasad, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi Terkoyak,


(Jakarta, P.T. Melibas, 2005). Cet, 1. h. 401-405.

Formatir Masyumi tidak semudah untuk mengajak PNI dalam


kabinetnya, malah PNI merasa sekali gagal dalam mengikutsertakan,
kegagalannya mengundang kritik dari banyak pihak termasuk dari kalangan
Masyumi sendiri. Diangkat sebagai formatir tanggal 20 Agustus, Natsir
bermaksud membentuk kabinet dengan dukungan yang sebanyak mungkin
agar kabinetnya mencerminkan sifat nasional serta dengan dukungan terbesar
akan dapat dipertanggung jawabkan. Namun ia mengahadapi kesulitan dengan
PNI karena soal kursi yang tidak dapat sesuai antara PNI dan Masyumi, Natsir
yang dalam pembentukan Kabinet dibantu aleh Syarifuddin Prawiranegoro
dan Wahid Hasyim, mereka berpendapat bahwa partainya lebih banyak hak
dibandingkan dengan partai lainnya. Sebaliknya PNI menuntut hak yang sama
dengan Masyumi, bukan saja dalam hal kursi, melainkan juga dalam
menentukan kursi-kursi yang hendak dibagi antara Masyumi dan PNI.
Natsir merasa kesulitan dalam usahanya, terutama mengahadapi PNI.
Dua kali ia mau mengembalikan mandatnya kepada Presiden karena
kegagalannya dalam mengajak PNI berkompromi, namun Presiden mendesak
agar berusah terus dengan instruksi baru agar mempersempit dasar dukungan
dari partai-partai. Menurut Natsir Presiden berpendapat bahwa kabinet yang
akan dibentuk hendaknya suatu kabinet parlementer yang tidak terlalu terikat
dengan keinginan dan tuntutan partai. Bahkan Natisr berpendapat pula bahwa
kegagalan pembentukan kabinet hendaknya dites dalam parlemen, dengan
umpamanya penolakan program dan keterangan pemerintah oleh Parlemen.
Masyumi sependapat pula dengan Natsir tentang hal ini.

Kabinet yang dipimpin partai Masyumi pertama kali terbentuk pada


tahun 1950 adalah dibawah pimpinan M. Natsir sampai dengan tahun 1951.
kejatuhan kabinet ini karena Mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh
Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar peraturan pemerintah No. 39 tahun
1950 tentang pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut.
Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para menteri dari PIR, ahirnya
M. Natsir mengembalikan mandat yang diembannya kepada Presiden.
Meskipun partai Masyumi mendapat kesempatan memimpin kabinet,
tetapi bukan berarti partai Masyumi memonopoli dalam menetukan anggotaanggota kabinetnya. Kabinet Natsir merangkul berbagai partai antara lain
berasal dari Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parindra, Katolik, Parkindo dan
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Dalam kabinet ini, partai Masyumi
menduduki Empat kursi yaitu Perdana Menteri yang di ketuai oleh M. Natsir,
Menteri Luar Negeri dipegang oleh Muhammad Roem, Menteri Keuangan
oleh M. Syarifuddin Prawiranegara, dan Menteri Agama oleh K.H.A. Wahid
Hasyim. Sedangkan PSII sendiri menduduki posisi Menteri Negara yang
diserahkan kepada Harsono Tjokroaminoto.
Negara keadilan, barang kali itulah harapan dan impian masyarakat
setelah proklamasi kemerdekaan diartikulasikan oleh Soekarno-Hatta pada
tanggal 17 Agustus 1945, atas nama Bangsa Indonesia bersatu.
Disini penulis meminjam wacana Soekarno, semangat nasionalisme
merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu
bangsa yang mandiri, dan dilandasi satu jiwa dengan kesetiakawanan yang

besar, mempunyai kehendak untuk bersatu secara terus menerus dan


ditingkatkan untuk bersatu, guna untuk menciptakan keadilan serta
kebersamaan. Karena hasrat hidup bersama itu merupakan solidaritas yang
agung. Nasionalisme ini membentuk persepsi dan konsepsi solidaritas sosial
kaum pergerakan Indonesia sebagai sebuah kekuatan politik yang tidak bisa
dinegasikan oleh penguasa kolonial. Tujuan nasionalsime adalah pembebasan
dari penjajahan dan menciptakan masayarakat atau negara yang adil. Agar
tidak adalagi penindasan manusia oleh manusia.35
Dengan mengikuti berbagai pendapat diatas, maka jelas bagi kita bahwa
yang dimaksud dengan bangsa adalah tidak terlepas dari pada persamaan
keturunan ras, atau

persamaan agama, akan tetapi mereka mempunyai

persamaan hidup dalam satu wilayah tertentu, seperti halnya Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat.
Namun bertekat satu seperti tercermin dalam satu kesatuan yang kokoh dan
kuat, di dalam satu naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di
proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945 telah memberikan
kesempatan kepada berbagai aliran politik di indonesia, guna untuk bebas
membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi seperti yang
dinyatakan oleh Pasal 28 UUD 1945. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Ummat Islam. Maka pada tanggal 7 November 1945, melalui sebuah kongres
umat Islam di Yogyakarta maka terbentuklah sebuah partai politik Islam
35

Herdi Syahrasad, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi Terkoyak,


(Jakarta, P.T. Melibas, 2005). Cet, 1. h. 401-405.

dengan nama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Sebagaimana


telah diperkirakan sejak awal dibentuk, partai ini mendapatkan sambutan yang
luar biasa hapir semua gerakan Islam pra-Perang Dunia II, baik nasional
maupun lokal, baik politik maupun sosio-keagamaan. 36
Masyumi pada priode pembentukan benar-benar merupakan massa
kongret, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Natsir, salah seorang
pemimpin partai baru yang sangat berpengaruh di dalam Masyumi. Ungkapan
yang disampaikan Natsir adalah menyalurkan aspirasi poitik ummat sebagai
cerminan dari potensi yang sangat besar dan kongkret. Pengamatan pada masa
itu, suatu masa kongkret tanpa pimpinan partai politik yang berasaskan Islam
akan mudah jatuh ketangan Belanda yang sudah sejak semula menentang
implementasi Syariah dalam kehidupan bernegara pada paska kemerdekaan
Indonesia. 37
Munculnya Partai Masyumi pada tahun 1945 dapat dikatakan sebagai
jawaban yang positif oleh umat Islam di Indonesia terhadap manifesto politik
Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 1 November 1945 yang
mendorong pembentukan partai-partai.sehingga para pemimpin-pemimpin
umat telah memanfaatkan kesempatan baik ini, seperti golongan-golongan lain
yang berbuat serupa.
Dalam kepengurusan Masyumi terlihat mencakup berbagai golongan
dalam umat Islam. Hal ini telah terlihat dalam susunan Majlis Syuro dan

36
Ahmad SyafiI Maarif, Islam dan Pancasila Sebagia Dasar Negara, (Jakarta, P.T.
Pustaka LP3ES 2006), cet.1 h. 112
37
Syafaat Mintorejo, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, (Jakarta, P.T. t.p.
1973) h. 24

Pengurus Besar. Dalam Majlis Syuro, yang di Ketuai oleh K.H. Hasyim
Asyari (NU) dan Wakil Ketua I adalah K.H. Wahid Hasyim (NU), Wakil
Ketua II adalah Agus Salim (PSII), dan Wakil Ketua III adalah Syekh Djamil
Djambek (Pembaharuan dari Sumatra Barat). Sedangkan dalam kepengurusan
besar terdiri dari para politisi karir, seperti Soekiman, Abikoesno, Muhammad
Natsir, M. Roem, dan S.M. Kartosoewirjo. 38
Pada masa Orde Lama, Mohammad Nasir sempat dekat dengan
Soekarno. Dan dia pula yang menuliskan naskah pidato Presiden pertama RI.
Serta Soekarno pula yang menyingkirkan Natsir, bahkan memenjarakan dan
membubarkan partainya, (Masyumi). Stigma (pandangan) sebagai tokoh garis
keras, (radikal) dilontarkan kepada Natsir. Setelah tahun 1958-1961, Natsir
terlibat dalam gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
meskipun ini merupakan ucapan ketidak-puasan terhadap kebijakan
pemerintah pusat yang menyepakati perubahan bentuk negara dari Negara
Kesatuan (NKRI) ke negara Indonesia Serikat (RIS). Tahun 1962-1964
menyingkirkan Natsir kedalam karantina politik di Batu, Jawa Timur. Pada
tahun 1964-1966 Natsir di penjarakan di Tahanan Militer di Jakarta.
Lebih dari itu Natsir bahkan terhapus dari buku-buku sejarah disekolah,
dalam dua periode yaitu Orde Lama dan Orde Baru namanya tidak tertulis
disana. Namun bagaimanapun, Natsir tetaplah orang besar, didalam negeri
yang disingkirkan, tetapi kebesarannya tetap memancar sampai keluar negeri.
Banyak pengamat Indonesia mengakui peran besar Natsir dalam sejarah

38

B.J. Boland, Pergolakan Islam di Indonesia, (Jakarta: P.T. Grafiti Pers, 1985). H. 45

perjalanan bangsa. Pengakuan yang tidak kalah besarnya adalah Yang


dikemukakan oleh mantan Perdana Meneteri Jepang, Takeo Fukuda. Ketika
cendikiawan Muslim ini wafat pada 6 Februari 1993, Fukuda mengatakan,
berita duka terasa lebih dahsat dari jatuhnya bom atom di Hirosima, karena
kita kehilangan pemimpin dunia dan pemikir besar dunia Islam. 39
Nastir mulai melibatkan diri dalam polemik tentang Islam dan
kebangsaan pada tahun 1931, ketika berusia 23 tahun. Dan Nastir juga menulis
artikel berjudul, Indonesisch Nasionalisme di majalah Pembela Islam No.
36, Oktober 1931. lebih lajut lagi Natsir menegaskan pendiriannya yaitu:
pergerakan Islam-lah yang lebih dahulu membuka jalan politik kemerdekaan
di tanah air ini, yang menyingkirkan sifat ke-Kepulauan dan ke-Provinsian,
yang pada mulanya menanam persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar
batas Indonesia, dengan tali ke-Islaman.
Merujuk kepada Bung Tomo yang selalu menggelorakan pidatonya
dengan mengucapkan Allahu Akbar, Natsir mencatat bahwa Bung Tomo
bukan saja berani tampil kemuka memimpin perjuangan, akan tetapi ia juga
mempunyai pengetahuan yang sering kali banyak orang tidak mengetahuinya,
yaitu pengetahuan dimana terletaknya kunci dari pada kekuatan bangsa kita
ini. Di bukanya hati umat yang banyak itu dengan perkatan Allahu Akbar,
tahu bahwa ia mencari teman, dan tahu pula siapa-siapa teman yang dapat
membangunkan tenaga dan menggelorakan tenaga itu.

39

Hery Sucipto, Menegakkan Indonesia: Pemikiran dan Konstribusi 50 Tokoh Bangsa


Berpengaruh, (Jakarta, P.T. Grafindo, 2004) cet.1. h. 401-402

Dengan sudut pandang demikian, Partai Masyumi tidak melihat ada


masalah antara Islam dan kebangsaan, ia mengungkapkan bahwasannya kita
dapat menjadi muslim yang taat, dan dipandang dengan riang gembira dengan
menyanyikan lagu Indonesia tanah airku.40 Baik kekuatan maupun kelemahan
Masyumi terletak pada watak federasi, yaitu perserikatan, penggabungan
beberapa kumpulan atau badan perkumpulan dengan maksud kerja sama untuk
membangun sebuah negara di Indonesia dengan alat perjuangan dan aspirasi
umat Islam Indonesia. Bagi Natsir yang menjadi persoalan adalah hendak di
isi dengan apa negara kita ini, dan bagaimana pula mengisi kemerdekaannya.
Pertanyaan-pertanyaan demikian menurut Natsir harus dijawab demi
kepentingan bagi generasi kemudian.
Setelah menguraikan dari tokoh Islam yaitu Natsir, sekarang penulis
membahas, S.M. Kartosoewirjo dalam kancah gerakan nasionalisme Indonesia
yang pada tahun 1926 ia memulai terlibat banyaknya aktifitas tentang
organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Hindia-Belanda. Untuk
melihat kiprah dan pemikiran. Kartosoewirjo yang dipengaruhi oleh berbagai
ideologi ketika itu, maka terlebih dahulu penulis memahami konteks sosialpolitik kota Surabaya tahun 1920-an, yang pada waktu itu juga Kartosoewirjo,
tinggal dirumah H.O.S. Tjokroaminoto bersama Soekarno dan Semaun 41
Surabaya pada tahun 1920 sudah banyak bermunculan gerakan-gerakan
kaum nasionalis dengan berbagai bentuk organisasi tempat mereka berkumpul
40

Evi Linda Astuti, (skripsi) Nasionalisme Dalam Pandangan Mohammad Natsir: Studi
Pemikiran Moh. Natsir Tentang Nasionalisme, (Jakarta, UIN Syahid, 2005). h. 62-65
41
Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M..
Kartosoewirjo, (Jakarta P.T. Darul Falah 2000) h. 24

dan berdebat tentang cita-cita bagaimana Indonesia di masa mendatang.


Kemudian para intelektual mulai memikirkan tentang sistem negara, ideologi
atau haluan politik, dan bentuk perjuangan, yang semuanya mengambil konsep
modern dari Barat.
Pada bulan Juni 1946, Masyumi daerah Jawa Barat tepatnya di Priangan
mengadakan konfrensi untuk memilih Pengurus yang baru. Dalam konfrensi
tersebut Kartosoewiryo menunjuk K.H. Muhtar sebagai ketua umum dan
Wakilnya adalah Kartosoewiryo sendiri. Sanusi Partowijoyo menjadi
sekretaris badan pengurus, Isa Ansori dan K.H. Toha memimpin bidang
informasi. Dalam konfensi tersebut Kartosoewiryo menyampaikan pidato
tentang haluan politik Islam yang berisi pertanyaan mengenai siapa yang
berkuasa di Indonesia, dengan memahamkan dirinya kepada ajaran Islam yang
hanif, Kartosoewiryo mengajukan persatuan dalam cita-cita perjuangan. Ia
memperingatkan para pendengarnya yang sekaligus sebagi pendukungnya,
bahwa konflik antara sesama bangsa Indonesia sendiri hanyalah akan
menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaanperbedaan ideologi. Setelah tercapainya kemerdekaan, perbedaan-perbedaan
ini dapat dicari akar penyelesaiannya secara demokratis, menurut kedaulatan
rakyat.

42

Persaingan antar ideologi politik mendapat ruang geraknya, terutama


setelah maklumat pemerintah yang di tandatangani oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia Mohammad Hatta. Melalui maklumat itu lahir partai42

Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M..


Kartosoewirjo, (Jakarta P.T. Darul Falah 2000) h. 66

partai politik yang tumbuh di masyarakat. Bahaya persaingan politik ini


dirasakan juga oleh Masyumi, sehingga dalam manifest (membuktikan) politik
1947 perlu ditegaskan menambah tersebarnya ideologi Islam dikalangan
masyarakat Indonesia, dengan tidak menghalangi pihak lain yang sejalan
memperkokoh sendi ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dan membentengi jiwa
umat Islam dari infiltrasi (pembebasan) ideologi-ideologi yang bertentangan
dengan agama Islam, dengan tekat fisabilillah.
Kemudian para pemimpin kaum pemuda baik dari perkotaan dan
pemuda-pemuda pedesaan bergabung secara resmi dengan tokoh-tokoh
Hokokai yang dipimpin oleh Soekarno. Pada bulan Desember 1945 Masyumi
juga diperbolehkan memiliki sayap Militer yang bernama Hisbullah (Pasukan
Tuhan), yang memulai latihannya pada bulan Februari 1946 dan mempunyai
50.000 orang anggota pada masa ahir perang. Kepemimpinan ini, di dominasi
oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari
masa sebelum perang yang bersifat koopratif ( secara bersama-sama) yang
dipimpin oleh Agus Salim. Kemudia para politisi penting Islam dari masa
sebelum perang yang bersifat non-koopratif dilangkahi.

B. Masyumi dan Kabinet Soekiman 1951-1952


Setelah M. Natsir mengundurkan diri, maka kabinet Sukiman tahun 19511952 menggantikan posisi Natsir. Kini terlihat Partai Masyumi masih
memainkan peranannya sebagai orang nomor satu. Namun nasib sukiman
sama dengan Natsir, karna dianggap kabinetnya tidak bertahan lama. Jatuhnya

kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya perjanjian san fransisco 21 yang


dianggap cenderung berpihak kepada luar negeri hususnya Amerika, hal ini
berarti meninggalkan politik luar negeri bebas aktif, yang telah menjadi
komitmen sejak tahun 1945.
Sebagaimana kabinet Natsir, kabinet Sukiman-pun menggandeng partaipartai lain untuk duduk didalam kabinetnya. Partai-partai tersebut berasal dari
partai Masyumi sendiri, Partai Nasional Indonesia (PNI), PIR, Katholik,
Buruh, Parkindo, Demokrat dan Parindra. Dalam kabinet Sukiman posisi
Perdana Menteri dipegang oleh Sukiman Sendiri, Menteri Luar Negeri oleh
Mr. Ahmad Soebardjo, Menteri Keuangan dipimpin oleh Mr. Jusuf Wibisono,
Menteri Sosial oleh Dr. Samsuddin dan Menteri Agama oleh K.H. Wahid
Hasyim, putra Hasyim Asyari yang kesemuanya berasal dari partai Masyumi.
Tampak posisi vital seperti Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan tetap
diduduki oleh partai dari partai Masyumi.
Pimpinan pusat Masyumi juga tampak tidak merasa selesai dengan
terbentuknya Kabinet Soekiman, bukan karena hal-hal dalam kebijakan
dikeluarkan Sukiman yang menyebabkan jatuhnya kabinet sendiri. Akan tetapi
masalahnya bersangkutan masalah dengan politik luar negeri dan merupakan
klimaks perbedaan antara Masyumi dan kabinet, terutama dalam kedua
kelompok dalam pimpinan Masyumi, yaitu Perjanjian San Fransisco dan
Persetujuan dalam rangka MSA (Mutual Scurity Act-undang-undang
Keamanan Bersama, dari Amerika Serikat), dan keduanya ditandatangani oleh
Menteri Luar Negeri Subardjo.

Pada pertengahan tahun 1951 Indonesia diundang untuk menghadiri


Konprensi San Fransisco tentang perjajian perdamaian dengan Jepang.
Kabinet Soekiman bersedia untuk memenuhi undangan itu, dan sebuah
delegasi dikirim dengan dipimpin oleh Menteri Subardjo. Tanggal 7
September kabinet memutuskan dengan sepuluh suara agar perjanjian tersebut
ditandatangani . sepuluh suara tersebut termasuk juga suara para Menteri
Masyumi.
Hal ini menimbulkan kembali pertikaian dalam kepemimpinan Masyumi.
Sukiman berhasil memperoleh persetujaun Dewan Partai tentang persetujuan
San Fransisco. Bahkan Sukiman juga berhasil memperoleh keyakianan rekanrekannya untuk meyakinkan perlunya perjanjian itu ditandatangani. Akan
tetapi mengenai hal yang kedua, yairu bantuan Amerika Serikat melalui MSA,
Sukiman tidak beruntung sehingga menyebabkan ia jatuh dalam memimpin
Kabinet. Pangkal penolakan pihak Natsir terhadap hal ini sebenarnya sejalan
dengan pandangan pihak-pihak lain yang menolak persetujuan itu, bahwa
Natsir dengan demkian telah meniggalkan politik bebas aktif dengan politik
bebas aktif yang memang semenjak 1945 diusahakan menegakkannaya. Tetapi
pandangan Sukiman dalam hal ini memang berbeda, Sukiman dalam masa
revolusi melihat Indonesia berada dalam daerah pengaruh Amerika Serikat.
Oleh karena itu, menjalankan poitik luar negeri yang bebas aktif, ia tidak
dapat melepaskan kecenderungan untuk berpihak ke-Amerika Serikat.
Dalam

hubungan

dengan

persoalan

kabinet,

Masyumi

menolak

kebijaksanaan Subardjo, tidak bermaksud menarik para menterinya dari

kabinet. Tetapi ketika partai-partai lain mulai keluar kabinet, tidak ada jalan
lain bagi Sukiman selain menyerahkan mandatnya kepada Presiden, yaitu pada
tanggal 23 Februari 1952.
Setelah kabinet Sukiman berahir, maka mandat diberikan kepada PNI
dengan Wilopo, sebagai perdana Menteri pada tahun 1952-1953. dalam
Kabinet Wilopo, partai Masyumi juga diberikan jatah empat kursi, yaitu posisi
sebagi wakil Perdana Menteri oleh Prawoto Mangkusasmita, Menteri Dalam
Negeri oleh Mr. M. Roem, Menteri Pertanian oleh M. Sardjan dan Menteri
Agama oleh K.H. fakih Usman.
Setelah Wilopo dijatuhkan, mandat tetap masih berada ditangan PNI, kali
ini PNI menampilkan Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini, Masyumi tidak
dilibatkan. Hanya NU dan Partai Syarikat Islam Indonesia yang mendapatkan
kursi, karena NU telah memisahkan diri dari partai Masyumi dengan
mendirikan partai sendiri. NU mendapat tiga kursi yaitu Wakil Perdana
Menteri II, Menteri Agama, dan Menteri Negara menangani masalah Agraria.
Sedangakan PSII mendapatkan dua kursi, yaitu Menteri Perhubungan dan
Menteri Negara yang menangani masalah Kesejahteraan Negara.
Umat Islam di Indonesia pada tahun-tahun sesudah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah mencoba merumuskan sebuah corak
masyarakat dan cita-cita politik yang hendak mereka ciptakan dalam rangka
mengisi kemerdekaan nasional. Dalam kaitan umat Islam akan selalu
dikaitkan dengan Syariat dalam kehidupan individual dan kehidupan kolektif.
Konsep umat Islam tersebut menggambarkan suatu masyarakat beriman yang

bercorak universal. Jadi setiap Muslim harus sadar bahwa ia adalah anggota
masyarakat yang keterikatan spiritualitas dengan persaudaraan. 43
Sepanjang sejarah, Selama Syariat tidak pernah diselewengkan, disalah
pahami, dan digambarkan secara keliru sedemikian parah melebihi zaman
sekarang. Syariat telah dimanfaatkan untuk menjustifikasikan penindasan,
kelaliman, ketidak-adilan dan penyelewengan kekuasaan. Islam berisikukuh
pada kesataraan manusia secara total tanpa mengenal perbedaan bahasa,
budaya, dan ras. Sedangkan Nasionalisme merupakan suprioritas bahasa,
budaya, dan ras, nasionalisme menurut loyalitas mutlak rakyat terhadap
bangsanya adalah negaranya. Sedangkan Islam menurut loyalitas dan
ketundukan hanya kepada Tuhan
Dengan kata lain yang disebut dengan sekuler, dimata seorang Muslim,
tidak dapat dilepaskan dari persoalan Iman. Dari sudut pandang ini, cita-cita
kekuasaan (politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran Iman
seorang Muslim. Sedangkan politik tidak bisa dilepaskan dari ajaran etika
yang bersumber dari wahyu, bahkan kekuasaan politik merupakan kendaraan
untuk merealisasikan pesan-pesan wahyu. Dilihat dari fenomena lain, umat
Islam Indonesia adalah terpengaruh oleh cita-cita politik barat (sekuler), yang
berpandangan bahwa kegiatan politik semata-mata kegiatan duniawi,
sedangkan agama merupakan persoalan pribadi yang tidak perlu dikaitkan
dengan masalah politik.

43

DR. Ahmad SyafiI Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 (Jakarta, P.T. Gema Insani Press, 1996) h. 10

Menurut data sosiologis, pendukung utama partai Masyumi adalah


Muhammadiyah dan NU. Jelas secara ideologi, Masyumi adalah kelanjutan
dari MIAMI (Majlis Ala Muslimin Indonesia), yang mengkhususkan
perjuangan di bidang politik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam
wadah Indonesia merdeka. Kehadiran partai Masyumi merupakan satusatunya partai politik umat Islam di Indonesia, kemudian tampil sebagai
pembela demokrasi yang tangguh dalam negara republik Indonesia. Dalam
kongresnya bulan November tahun 1945, yang tercatat sebagai ketua panitia
adalah Muhammad Nastir dengan anggota-anggota: Soekiman Wirjosendjojo,
Abikoesno Tjokrosujoso, A. Wahid Hasyim, Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Sri Paku Alam VIII, dan A. Gaffara Ismail. Dalam kongres diputuskan dengan
dua prenyataan sikap. Pertama, Masyumi adalah satu-satunya partai poltik
Islam di Indonesia. Dua, Masyumi yang akan memperjuangkan politik umat
Partai Masyumi yang di dirikan tahun 1945 dan terpaksa bubar pada
tahun 1960 dapat dikatakan sebagai partai Islam terbesar di dunia. Partai ini
juga mengemukana dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi. Sejarah
partai itu, dilihat dari kegiatan maupun programnya, yang membawakan kita
pada suatu pertanyaan yang sulit namun menarik mengenai identitas Islam
dihadapan hal yang merangkap jabatan, bahwa realitas terdiri dari banyak
subtansi. Selama massa penuh gejolak yang di alami di Indonesia, partai
Masyumi menyusun dan mempertahankan suatu ideal demokrasi Islam yang
merupakan pergantian dari pertarungan politik dan parlementer tentang
tuntutan agar negara Islam didirikan.

C. Masyumi dan Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1956.


Setelah kabinet Ali Sastroamidjojo I dari Partai Nasional Indonesia PNI,
kini parta Masyumi tampil dalam menggantikan posisi PNI yang berturut-turut
memegang posisi utama. Partai Masyumi diwakili oleh Burhanuddin Harahap
memgang kabinet tahun 1955-1956.
Kabinet Burhanuddin juga menggandeng partai-partai lain untuk
menduduki posisi menteri-menteri, seperti Menteri Pertahanan dirangkap oleh
Burhanuddin sendiri, Menter Pertanian oleh M. Sardjan. Sedangkan NU
menduduki posisi Menteri Dalam Negeri yang diketuai oleh Mr. Sunardjo dan
Menteri Agama oleh K.H. Ilyas, serta PSII menduduki posisi Wakil Perdana
Menteri II yang diserahan kepada Harsono Tjokroaminoto dan Menteri Sosial
oleh Soedibjo.44
Pada masa inilah Partai Masyumi menunjukkan prestasi yang dapat
dibanggakan,

karena

pada

masa

ini

kabinet

Burhanuddin

dapat

menyelanggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Dengan demikian


kabinet ini dianggap kabinet yang berhasil dari partai Masyumi. Semangat
dalam kabinet ini cukup tinggi untuk memulai tugasnya yaitu dalam
mengembalikan kewibawaan moral pemerintah. Kabinet segera mengambil
tindakan terhadap mereka yang disangka terlibat korupsi selama kabinet Ali
Sastroamidjojo

dengan menahan mereka

dan membawanya

mereka

kepengadilan. Kabinet berhasil menempatkan kedudukan Indonesia pada


44

Dra. Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penelitian FUF-UIN


Jakarta, 2005). H. 46

trempast yang lebih menguntungkan dari pada sebelumnya. Beberapa diantara


masalah itu menyebabkan kembalinya perpecahan dalam lingkungan Masyumi
serta

antara

partai-partai

Islam

lainnya,

sehingga

permulaan

yang

menguntungkan bagi mereka pada saat kabinet mulai bekerja tidak dapat
diteruskan. Kelompok Sukiman dan kelompok Natsir memperlihatkan kembali
hubungan yang tidak serasi, seperti tercermin dalam berbagai pernyataan.
Pertikaian antara partai Islam terutama antara partai Masyumi dengan partai
Islam lain yang bersangkutan dengan soal hubungan dengan negeri Belanda.
Dalam priode kabinet Burhanuddin Presiden Soekarno mulai ikut campur
tangan secara mendalam dalam pemerintahan serta partai.
Kabinet Burhauddin adalah kabinet yang bertugas husus, yaitu
menyelenggarakan pemilihan umum. Dari ini dapat dialksanakan karena ia
juga masih ingin menyelesaikan masalah antara hubungan dengan negeri
Belanda. Oleh sebab itu permulaan tahun 1956, setelah pemilu pertama
diselenggarakan, perhatian kabinet ditujukan tentang cara pemutusannya.
Lagi-lagi Masyumi menolak usulan seperti ini karena melihat bahwa usulan
tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah, malah akan menambah
persoalan. Masyumi juga bependapat bahwa tiap partai besaryang tiga itu
(Masyumi, PNI, dan NU) apakah didalam atau diluar kabinet, sehingga
mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan harmoni antar partai.
Sementar itu karena pertikaian tentang soal hubungan indonesia dengan negeri
Belanda, NU dan PSII pada bulan Januari 1956 menarik diri dari kabinet.

Pemilu berhasil dilaksanakan secara demokratis dengan menghasilkan


empat partai besar pemenag suara, yaitu PNI, Partai Masyumi, NU dan PKI.
Pada masa itu NU mulai mengikuti pemilu secara tersendiri, karena telah
memisahkan diri dari partai Masyumi sejak tahun 1952. dan dapat meraih
posisi ketiga setelah PNI dan Partai Masyumi.
Kabinet Burahnuddin bubar pada tanggal 3 Maret 1956, sesuai dengan
maksudnya yaitu setelah hasil pemilu diresmiakn. Pada tanggal 1 Maret
pimpinan partai Masyumi mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa
waktunya telah tiba bagi kabinet untuk mengembalikan mandat kepada kepala
negara. Hasil pemilihan umum segera di resmikan, sehingga perimbangan
kekuatan organisasi dan partai politik yang telah terpilih sudah resmi
diketahui. Oleh sebab itu, formatir baru dapat ditunjuk oleh Presiden
berdasarkan komposisi baru dalam parlemen.

D. Masyumi dan Kabinet Ali Sastroamidojo II 1956-1957


Setelan Pemilu tahun 1955, muncul kabinet koalisi yang dibentuk sesuai
dengan hasil pemilu. Kabinet tersebut dinamakan kabinet Ali Sastroamidjojo
II dengan komposisi Ali-Roem-Idham. (PNI-Masyumi-NU), dalam kabinet ini
NU mampu menunjukkan kemandirian dan kekuatan dukungan yang sangat
luas, sehingga mampu mendapatkan suara yang banyak dengan menduduki
posisi ketiga. Karena semula Nahdhotul Ulama yang bergabung dengan partai
Masyumi. Pada periode inilah partai Masyumi yang semula wakil umat Islam

terahir kali memainkan peran politiknya dan tidak dapat lagi mengatakan satusatunya wakil umat Islam.
Wakil umat Islam diwakili oleh Masyumi, Partai NU, PSII, dan Perti
dalam kabinet. Partai Masyumi memegang empat posisi dengan menduduki
Menteri I oleh Mr. M. Roem, Menteri Keuangan oleh Mr. Jusuf Wibisono,
Menteri Kehakiman oleh Mr. Mulyatno, dan Menteri Pekerjaan Umum oleh Ir.
Pangeran M. Noer. Sedangkan NU memegang lima kursi, yaitu Wakil Perdana
Menteri II diserahkan oleh K.H. Idham Khalid, Menteri Dalam Negeri kepada
Mr. Sunarjo, Menteri Perekonomian dipegang oleh Mr. Burhanuddin, Menteri
Sosial dipegang oleh K.H. Fatah Jassin, dan Menteri Agama dipegang oleh
K.H. Ilyas. PSII memegang dua kursi, yaitu Wakil Menteri Pertanian
diserahkan kepada Syeh Marhaban dan Menteri Penerangan oleh Sudibjo.
Sedangkan Perti mendapat satu Kursi yaitu Menteri Negara oleh H. Rusli A.
Wahid.
Kabinet koalisi ini menghasilkan perjanjian Roem-Royen dengan
pemerintah Belanda yang dilaksanakan oleh M. Roem dari partai Masyumi.
Ternyata kabinet koalisi terahir dari pemerintahan demokrasi Parlementer
yang melibatkan Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama
(NU), Parkindo, Katholik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), IPKI, dan
Perti, karena tak lama kemudian dihentikan oleh presiden dengan turunnya
Dekrit 5 Juli 1959.
Penurunan dekrit Presiden 1959 berisi agar membubarkan Majllis
Konstituante dan kembali ke UUD 1945, karena menganggap Majlis

Konstituante tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Padahal menurut Syafii


Maarif 22 Majlis Konstituante telah merampungkan tugasnya menyelesaikan
masalah dasar negara dan telah selesai 90%.
Ketidak puasan terhadap Dewan Konstituante hanya salah satu alasan,
tetapi alasan yang lain, dikarenakan Soekarno sebagai Presiden tidak
dilibatkan dalam pemerintahan, hanya sebagai kepala negara, demikian pula
dengan TNI dan partai Komunis. Sehingga Soekarno merasa bahwa
Demokrasi yang ada tidak cocok dan perlu membuat suatu konsep demokrasi
yang memungkinkan Soekarno terlibat didalamnya. Syafii Maarif 23
mengatakan bahwa Soekarno tidak mau menjadi tukang setempel lagi. Dengan
diturunkannya dekrit, maka berahirlah Demokrasi Parlementer.
Erat kaitannya dengan fenomena di atas adalah kenyataan bahwa dalam
dewan eksekutif sendiri umumnya terdiri dari kelompok modernis yang
terdapat kelompok-kelompok, dan mempunyai orientasi ideologi politik yang
berbeda. Misalkan yang pernah di tulis oleh Abu Hanifah menggambarkan
fenomena sebagai berikut:
Ketua Masyumi Pertama adalah pemimpin muslim yang terkenal dari
syarekat Islam lama yaitu Dr. Soekiman, kelompok pemikirannya terdiri dari
pemimpin-pemimpin

Intelektual

muslim

muda,

seperti

Syarifuddin

Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman, Jusuf Wibisano, dan Abu


Hanifah. Kelompok ini termasuk dalam golongan sosialis religius, yang
jalan pemikirannya berbeda dengan pemikiran kelompok pemimipin muda
muslim seperti Mohammad Nasir dan Muhammmad Roem. Sedangkan

kelompok moderat secara politis lebih dekat kepada Syahrir, dan kelompok
konservatif dan sosialis religius lebih sering berdampingan.
Kegagalan untuk mengarahkan dan menangani secara bijak dalam
perbedaan-perbedaan pendapat dan kecendrungan ideologi tersebut kearah
persamaan sikap yang wajar, hal ini telah mengarahkan Partai Masyumi
keproblem-problem yang serius. Sehingga timbullah sebuah pertanyaan untuk
apa partai Masyumi didirikan? Atau apakah tujuan partai ini? Secara jelas
telah di gambarkan lewat Anggaran Dasar Masyumi, tujuannya adalah
terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang-seorang,
masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Dimana negara melakukan
kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantara wakil-wakil rakyat
yang dipilih. Dimana kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaan,
keadilan sosial yang di ajarkan Islam dapat terlaksakan dengan sepenuhnya.
Dengan ajaran dan hukum-hukum Islam, sebagai mana yang tercantum di
dalam Al-quran dan Sunah, dimana golongan keagamaan non-Islam memilih
kemerdekaan

untuk

menganut

dan

mengamalkan

agamanya.

Serta

mengembangkan kebudayaannya bagi keseluruh penduduk dari segenap


lapisan agar dapat hidup atas dasar keragaman.45
Sesungguhnya dengan di terapkannya sistem parlementer sejak awal
kemerdekaan yang di teruskan oleh konstitusi RIS dan UUDS 50 Soekarno
selaku presiden sama sekali tidak memilki hak untuk campur tangan dalam
urusan pemerintahan. Hal ini jelas membuat Soekarno tidak merasa senang.
45

Ahmad SyafiI Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta P.T.
Pustaka LP3S, 2006). H. 114-115

Sebab segala obsesi untuk mengatur Negara berada di luar kewenangannya.


Karena itu sejak waktu sebelum dekrit Soekarno telah mengkampanyekan
perlunya Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin dan sekalighus
membuang jauh-jauh sistem demokrasi Parlementer atau demokrasi Liberal.
Ide ini sejak awal mula sudah banyak yang menanggapinya secara negatif
diantra partai-partai yang lantang untuk menentang di laksanakan demokrasi
Terpimpin adalah Partai Masyumi dan PSI.
Demokrasi terpimpin yang di idam-idamkan oleh Soekarno ahirnya
berubah maknanya. Dr. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa demokrasi
Terpimpin memiliki ciri yang khas, yaitu pembatasan peranan partai politik,
berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai
unsur sosial politik. Demikian juga demokrasi terpimpin telah menggeser
tentang pengertian kedaulatan rakyat ke pengertian kedaulatan Negara, atau
kearah kedaulatan pemerintah beserta alat-alatnya. Dalam masa awal
pelaksanaan

demokrasi terpimpin mengakibatkan

terjadinya

berbagai

pergolakan daerah, antara lain pegolakan daerah yang terkenal dengan sebutan
PRRI di Sumatra Barat dan Permesta yang muncul di Sulawesi Utara. Dalam
perkembangannya beberapa tokoh Masyumi dan PSI bergabung dalam
pergolakan PRRI, seperti Muhammad Nasir, Syarifudin Prawironegara,
Sumitro Djojokusumo dsb.
Sehingga Masyumi tidak mampu bertangguh lagi dan pada tanggal 9
Januari 1957 ia menarik para Menterinya dari Kabinet. Dalam sebuah
pernyataan yang dikeluarkan partai kemudian, dikatakan bahwa langkahlangakah pemerintah tidak memberi keyakinan kepada Masyumi bahwa ia

menuju kesejahteraan rakyat dan negara. Keterangan tersebut menambah


bahwa Masyumi sering mengeluarkan peringatan kepada pemerintah
menegnai keadaan yang memburuk serta disentegrasi pemerintah. Tetapi
kabinet tidak memberi tanggapan yang memberi harapan karena pemimpin
kabinet mempunayi penilaian yang lain. Menurut Masyumi, langkah-langkah
pemerintah tidak memulihkan pergeseran dan perpecahan dalam kalangan
bangsa. Malah mungkin ia berahir menjadi

antagonis dan perpecahan

sebenar-benarnya, yang tidak dapat dielakkan lagi. 46


Beralasannya keterlibatan partai Masyumi merupakan partai oposisi
sejak awal tidak mensetujui di laksanakan demokrasi terpimpin, dan menolak
ajakan Presiden Soekarno untuk duduk dalam kabinet, hal ini adalah alasan
yang di gunakan oleh PKI, untuk memukul mundur agar Masyumi di
bubarkan dalam perpolitikan. Bujukan untuk membubarkan ahirnya di terima
oleh Soekarno, dengan alasan karena tokoh-tokoh partai terlibat dalam
pemberontakan PRRI (Pemerintah Refolusioner Republik Indonesia) maka
keluarlah surat keputusan Presiden nomor 200 tahun 1960 yang di umumkan
pada tanggal 17 Agustus 1960, yang isinya Pemerintah membubarkan Partai
Islam Masyumi, termasuk bagian-bagiannya, cabang-cabang, dan rantingrantingnya diseluruh Negara Republik Indonesia, dengan ketentuan bahwa
dalam waktu tiga puluh hari, terhitung mulai tanggal berlakunya keputusan
tersebut. Pemimpin Partai Masyumi diharuskan menyatakan partianya bubar
dengan memberitahukan kepada Presiden Soekarno ketika itu juga.

46

Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama
Grafiti, 1987). H. 255

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemahaman tentang Pergerakan Partai Msyumi 1945-1960 serta unsurunsurnya yang dilihat dari perspektif pemikiran Masyumi 1945, terletak pada
bab-bab sebelumnya, maka berakhirlah semua penulisan ini dalam sebuah
kesimpulan mengenai Pergerakan Partai Masyumi 1945-1960 yang akan
penulis uraikan dalam bab terakhir ini. Kiranya kesimpulan ini dapat
merepresentasikan pemikiran tentang Pergerakan Masyumi 1945-1960, serta
susunan-susunan Kabinet yang ada pada Partai Masyumi secara konprehensif.
Dilihat dari sejarah kebangkitan Partai Masyumi di Indonesia tidak bisa
terlepaskan dari kemunculan ruang politik (public asphere). Ruang publik
dipandang penting karena merupakan lokasi tempat wacana-wacana yang
diekspresikan dan merupakan ruang tempat kegiatan-kegiatan intelektual
politik. Dalam konteks Masyumi, nasionalisme adalah komunitas epistemik
dan pergerakan Islam yang berperan penting dalam meluaskan ruang publik
keluar dari lingkaran priyai. Dengan demikian pergerakan nasionalsime keluar
dari kesempitan elitisme menuju keluasan khalayak ramai, hal ini adalah
memberi fondasi yang kuat bagi gerakan kebangkitan dan kemerdekaan
Indonesia.
Memahami seputar Partai Masyumi di Indonesia kita akan menemukan
urgensi ketika gejala di sentegrasi muncul di mana-mana. Dari ujung Sabang
sampai Meroke. Yang mempunyai keinginan-keinginan untuk memisahkan
diri dari pemerintahan yang dianggap kurang loyal terhadap masyarakat. Dan
diperparah lagi ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dengan demikian, masyarakat yang kecewa adanya rasa krisis


ingin memiliki identitaas kebangsaan yang disepakati oleh semua pihak.
Dalam pembahasan seperti ini, penulis akan meluruskan kembali tentang
Islam,

dan

pergerakan

Masyumi.

Utamanya

dalam

rangka

untuk

mengantisipasi impact (pengaruh) yang buruk pertikaian ideologi kebangsaan


yang terus berkembang, karena Indonesia adalah sebagai Negara yang
sebagian besar penduduknya beragama Islam, pembahasan hubungan antara
Islam dan Masyumi dalam konteks Indonesia kembali akan menyita banyak
perhatian bagi akademisi dan banyak kalangan lain.
Sebetulnya bisa di bilang, sudah lama dan tuanya dengan usia
kemerdekaan Indonesia. Bahkan, pembahasan ini sudah di mulai sebelum
Indonesia diproklamasikan sebagi negara yang merdeka. Bila ditelusuri
sejarahnya, Masyumi berasal dari kata Majlis Syuro Muslimin Indonesia
yang berarti sebagai penghimpun kekuatan-kekuatan Umat Islam untuk
membangun negara yang sesuai dengan hukum-hukum Islam yang diridhoi
oleh Allah.
Tampilnya Masyumi sebagai partai politik Islam yang bercorak satu
kesatuan di Indonesia bukanlah suatu kebetulan dalam sejarah. Akan tetapi
dilatarbelakangi atas kesadaran yang panjang oleh para wakil-wakil umat
Islam Indonesia. Benturan ideologi dalam susunan dikalangan Masyumi
belum menemukan titik temu, tidak sedikit orang menilai anatara kabinet yang
satu

dengan

kabinet

yang

lain

selalu

berbeda

argumen

dalam

kepemimpinannya, sehingga tidak bisa hidup secara berdampingan yang

harmonis. Meski sebagian muslim lain menganggap tidak ada sebuah


pertentangan diantara keduanya.47
Barang kali perlu dicatat juga dalam hubungan ini betapa NU, yang
nomor tiga dalam pemilu tahun 1955, menduduki posisi yang menentukan.
Kabinet manapun sesudah 1956 tidak mungkin terbentuk bila NU bertahan.
Pada tahun 1953 terdengan santer jaminan NU bahwa ia tidak akan ikut dalam
kabinet bila Masyumi turut serta. Kabinet itu (Ali I 1953-1955) memang jatuh
dengan pengunduran diri NU. Kabinet Djuanda (1957) tidak akan terbentuk
bila NU tidak bersedia masuk didalamnya.
Sejarah politik Islam Indonesia sejak dulu sampai sekarang merupakan
khazanah perbandingan yang cukup lumayan dibandingkan dengan pemikiranpemikiran politik ke-Islaman yang pernah dikembangkan di kawasan Timur
Tengah atau dunia muslim lainnya. Sepajang sejarah yang sudah berumur
setengah abad lebih, politik Islam berkembang dalam batas-batas tertentu.
Pada tahun 1940-an sampai dengan awal tahun 1960-an, ekspresi, artikulasi,
dan detil pemikirannya yang berbeda kubu golongan agama dan golongan
nasionalis. Seperti yang ditampilkan dalam sidang dewan konstitunte pada
ahir tahun 1950-an, sehingga kompromi dan negosiasi yang di harapkan
melahirkan jalan tengah tidak terjadi, malahan menimbulkan setigma sejarah
dalam soal kaitan antara Islam dan politik atau Islam dan Negara. 48

47
Opini, Khoiril Mahfud, Mengahiri Benturan Ideologi, Islam dengan Nasionalisme,
(Maarif Vol.3, No. 2 Mei 2008), h. 43-44
48

Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 1996), h.VII

B. Saran-Saran
Berahirnya dari beberapa poin skripsi yang penulis uraikan, ada kiranya
dipenghujung bab ini akan saya cantumkan saran-saran sebagai bahan
masukan bagi semua pihak yang mempunyai rasa memiliki keterkaitan dengan
pembahasan dalam skripsi ini, saran-saran yang ingin saya ajukan adalah
sebagai berikut:
1. Dalam Anggaran Dasar Partai Masumi, telah di rumuskan secara terbuka
yang bertujuan agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam
kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia,
menuju keridhaan Illahi. Dalam sejarahnya, tidak diragukan lagi kejujuran
Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi
dalam suatu pluralisme ideologi. Disinilah letak pergolakan antara Islam
dan nasionalisme yang ada pada perpolitikan Partai Masyumi.
2. Dalam Pergerakan Politik ini, antara Islam dan Masyumi memunculkan
pertanyaan yang bisa di sederhanakan dengan Dua jawaban, menolak atau
menerima. Sehingga tidak ada sebuah perselisihan,
3. Sebagian karya yang sangat cemerlang dalam karir Partai Politik
Masyumi, adalah sebuah prestasi partai dalam membela kedaulatan
Bangsa dan Negara. Seperti membentuk Barisan Hisbullah para pemuda
dan pemudi Islam di Indonesia, mendukung usaha demokrasi di Indonesia,
untuk mewujudkan suasana negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat
dan masyarakat berdasarkan keadilan menurut ajaran Islam. Perwujudan
kedaulatan rakyat itu dengan adanya hak pilih dan dipilih secara umum

dan langsung. Dan partai Masyumi juga berupaya agar pemerintah


Indonesia menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, agar
manisfesto politik Islam dapat menempatkan negara republik Indonesia
berdampingan dengan negara-negara demokrasi, terutama yang berkuasa
dan berpengaruh di Asia Pasifik.
4. Dilingkungan Masyumi pada umumnya berhati-hati dalam menerima
lulusan Barat sebagai pemimpin mereka. Usaha Sukiman (ketua Partai
1945-1949), Presiden partai 1949-52, dan kemudia wakil ketua partai
1952-1960, untuk menarik beberapa lulusan pendidikan Barat ini kedalam
partai kurang memperoleh simpati. Karena sebelumnya orang-orang ini
belum dikenal ikatan ke-Islamanya. Siakap ini kurang memberikan
kesempatan kepada para lulusan Barat untuk memperlihatkan kebolehan
mereka dalam hubungan dengan kegiatan partai Islam, dalam rangka ini
rasa golongan kalangan partai Islam agak menyempit.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri landasan Gerakan Membela kaum


Mustadlafin, (Jogjakarta, P.T. Kreasi Wacana, 2002).
Abdurrahman, Islam yang Memihak, (Jogjakarta, P.T. LKiS Pelangi Aksara,
2005)
Adam, Ian, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depan.
(Jogjakarta, C.V. Qalam, 1993)
Astuti, Linda E, (skripsi) Nasionalisme Dalam Pandangan Mohammad Natsir:
Studi Pemikiran Moh. Natsir Tentang Nasionalisme, (Jakarta, UIN Syahid,
2005).
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000)
Black, Antoni, Pemikiran Politik Islam, dari masa nabi hingga masa kini,
(Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2001)
Bukhari, Manan, Menyikap Tabir Orientalisme, (Jakarta, P.T. Amzah 2006),
Chaidar, Al, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosoewirjo, (Jakarta, P.T. Darul Falah, 1993)
Dault, Adhiyaksa, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam
Konteks Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Al-Kautsar)
Damami, Muhammad, Akar Gerakan Muhammadiyah, (Jogjakarta, P.T. Adipura,
2000)
Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam, (Jogjakarta, P.T. Galang Press,
2001)
Feith, Herbert dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta,
P.T. LPES, 1988)
Form, Desertasi UIN Sayarif Hidayatullah (Jakarta, PPS 392, 2004)

Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani, (Jakarta, P.T. PSAP (pusat


setudi agama dan peradaban) Muhammadiyah, 2005.
Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik
Muhammadiyah dari ahmad Dahlan hingga Syafii Maarif, edisi
Perdana, Vol. 1, mei 2003
Kamal, Mustafa, Pasha, B.Ed, Dkk, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam,
(Yogyakarta, P.T. Citra Karsa Mandiri, 2005)
Opini,

Khoiril Mahfud, Mengahiri Benturan Ideologi,


Nasionalisme, (Maarif Vol.3, No. 2 Mei 2008)

Islam

dengan

Kohn, Hans, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terj), (Jakarta: PT. Pembangunan
dan Penerbit Erlangga,1984)
Maarif, Syafii A, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta P.T.
Pustaka LP3S, 2006).
Maarif, Syafii A, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 (Jakarta, P.T. Gema Insani Press, 1996)
Muttaqin, Jajang, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta,
UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004)
Media Maarif (Artikel), Yudi Latief, Ph.d. Islam dan Awal Kebangkitan
Nasionalisme di Indonesia, (Maarif Edisi Vol. 3, No.2 Mei 2008)
Nata, Abdullah, Azyumardi Azra, Problematika Politik Islam di Indonesia, (
Jakarta, P.T. Grasindo bekerja sama dengan UIN Jakarta pers 2002 ).
Sasono, Adi, Rakyat Bangkit Bangun Martabat, (Jakarta, P.T. Pustaka Alvabet,
2008)
Syam, Firdaus, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Dipentas Politik Indonesia
Modern, (Jakrta, P.T. Kaherul Bayan, 2003)
Syahrasad, Herdi, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi
Terkoyak, (Jakarta, P.T. Melibas, 2005)
Sucipto, Heri, Menegakkan Indonesia: Pemikiran dan Konstribusi 50 Tokoh
Bangsa Berpengaruh, (Jakarta, P.T. Grafindo, 2004)

Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta, P.T. Gramedia Media


Sarana, 1992)
Roy, Oliverd, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 1996)
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004)
Sardar, Zainuddin, Kembali ke Masa Depan, (Jakarta, P.T. serambi Ilmu Semesta,
2003)
Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004)
Hamka, Muhammadiyah-Masyumi, (Jakarta, P.T. Masyarakat Islam, 1959)
Hatington, Samuel. P, Tertib Politik, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2004 )
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama
Grafiti, 1987). H. 154

Anda mungkin juga menyukai