INDONESIA 1945-1960
Oleh :
NOOR ISHAK
NIM: 204033203130
Penguji I,
Penguji II,
Penguji I,
Penguji II,
LEMBAR PERNYATAAN
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Noor Ishak
KATA PENGANTAR
Limpahan nikmat, barakah dan kasih sayank yang sangat besar telah
menggetarkan hati dan menggerakkan lisan penulis untuk senantiasa mengukir
rasa syukur ke hadirat Illahi Rabbi Allah SWT, atas semua yang telah kita
lewati. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan nabi besar
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya serta para
pengikutnya, yang telah memberi banyak pelajaran hidup kepada kita.
Jika air mata ini harus tertumpah, jika raga ini harus tersungkur, dan jika
jiwa ini harus berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang
paling dalam kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi
yang penulis beri judul Pergerakan Parati Masyumi 1945-1960. Sebagai
sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa, apabila di
dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya
haturkan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua
dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih
yang sebesar-besarnya atas semua dedikasi dan perhatian dalam
memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi
ini.
5. Ibu Dra. Haniah Hanafi, M.Si selaku dosen penguji I, terima kasih atas
perhatian, masukan, dan kritikan serta arahan yang beliau berikan kepada
saya. penulis haturkan banyak-banyak terima kasih.
6. Ibu Dra. Hermawati, M.A, selaku dosen penguji II, saya hanya bisa
bersyukur dan berterima kasih kepada beliau, sehingga saya mampu
menyelesaikan dan menuangkan revisi tulisan ini.
7. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik
Islam ( PPI ) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan
intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
8. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo ( Fakultas FISIP
UI ), dan Perpustakaan LIPI ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia )
yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh
literatur yang tersedia dan juga yang rela menunggu penulis hingga
larut.
9. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua
orangtua, Ayahanda Chalimi (alm) dan Ibunda tercinta Zamainah,
Kakanda Ali Asrori beserta keluarga, Kakanda Zulianti beserta keluarga,
Adinda Syamsul Arief beserta keluarga, dan Adinda Siti May Syaroh.
Serta seluruh Keluarga Besar: Mbah Ahmad (alm), yang selalu memberi
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semangat perjuangan dan
bantuan mereka selalu memberi inspirasi dan semangat bagi penulis.
13. Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMP N 250 Jakarta,
Kepala Sekolah SMPN 250, Pak Tumardi, Pak Tri, Pak Paryono, Bu
Kristi, Bu Suyani, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu, terima kasih atas motivasi dan dukungannya.
14. Teman-Teman yang tergabung dalam mengajar di Yayasan Kesejahteraan
BKUI Jakarta, Ibu Dra. Tutik selaku ketua Yayasan, Pak Andhi Alfian,
Pak Rahmatullah, Ibu Hetty Novianti, beserta teman-teman yang lain
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa restunya
sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi dan wisuda sarjana.
15. Heningnya suasana malam, dan terangnya gemintang, rembulan, lampulampu jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu
setia menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Program NonReguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan kita sebagai manusia
sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
Jakarta, Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..........................................................
B. Sistematika Penelitian............................................................. 13
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 13
D. Metodologi Penelitian............................................................. 14
E. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 15
BAB II
MASYUMI
A. ..........................................................................................Aw
al Berdirinya Masyumi............................................................ 16
B............................................................................................Asa
s Partai Masyumi ................................................................... 23
C............................................................................................Sus
unan Organisasi Masyumi ...................................................... 25
D. ..........................................................................................Ke
anggotaan Masyumi ............................................................... 29
BAB III
DINAMIKA
PERGERAKAN
MASYUMI
DALAM
PERPOLITIKAN DI INDONESIA
A. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan politik Islam
(1945-1947) ............................................................................ 38
B. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948)............. 44
C. Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949)................................ 52
BAB IV
BAB V
PENUTUP
A. Saran ...................................................................................... 90
B. Kesimpulan............................................................................. 93
BAB I
PENDAHULUAN
aktual
bersama-sama
untuk
mencapai,
mempertahankan,
dan
2
Ali Mahsan Musa, Nasionalisme Kiai kontruksi social berbasis agama, (Yogyakarta,
PT. Lkis Pelangi Aksara, 2007) h. 32
3
Adihiyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta, PT.Pustaka Al-kKausar. 2005),
cet- 1. h.36.
Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terj), (Jakarta: PT. Pembangunan dan
Penerbit Erlangga,1984),h. 108
dan anak-anak
bangsa.
Cara pandang terhadap sejarah sebuah pergerakan, baik bersifat sosial,
pendidikan, maupun politik, dengan melihat motif atau tujuan dan latar
belakang sosio-ideologis-politis, gerakan tersebut adalah sangat penting.
Dengan begitu, maka akan diketahui secara jelas bagaimana paradigma,
asumsi nilai, pemikiran dan ideologi untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
dengan gerakan tersebut dibangun oleh tokoh pendiri atau pengambil inisiatif,
dalam konteks ini, kata kunci nasionalisme adalah supreme loyality terhadap
bangsa. Kesetiaan itu muncul karena adanya kesadaran akan identitas yang
berbeda dengan yang lain. Signifikansi nasionalisme dewasa ini pada dasarnya
terletak pada kenyatan bahwa di dalam sebuah negara terdapat berbagai
Herbert Feith, Lance Caslest, Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, ( Jakarta, LP3S,
1988), h. 137.
Upaya seperti ini hendaknya tidak dilihat sebagai pemolitikan agama yaitu
menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh
kekuasaan dan semacamnya, akan tetapi lebih pada pengamanan politik
yaitu menjadikan agama sebagai pengawas para pelaku politik, agar tidak
terjebak dalam politik Machiavelinisme, yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Hal inilah yang menjadi acuan penulis untuk membahas
tentang Pergerakan Masyumi di Indonesia 1945-1960. Masyumi merupakan
partai politik yang mempunyai Tiga lapangan perjuangan yaitu: Pertama,
memperluas pengetahuan dan percakapan umat Islam Indonesia dalam
perjuangan politik. Kedua, memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang
mempertahankan agama, dan kedaulatan negara. Dan yang Ketiga adalah
melaksanakan kehidupan masyarakat berdasarkan Iman dan Taqwa yang
berprikemanusiaan, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam.
Priode pertama mencakup pengalaman 1945-1947 yaitu gesekan
ideologis dan politis. Hal ini membawa akibat terpinggirnya peran politik
umat Islam. Yang bergilir sejak awal kemerdekaan bersifat Inimical
(bermusuhan dengan konstruksi ideologi nasional) oleh karena itu, keabsahan
nasionalisme menemukan alasan yang bersifat kualitatif dengan adanya
prinsip kewarganegaraan. Prinsip seperti ini memiliki daya reduksi yang
sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas atas persamaan. Dalam
perkembangannya, prinsip kewarganegaraan mengalami proses pertumbuhan
yang luar biasa sehingga dimaknai sebagai jantung dari konsep nasionalisme.
rakyat yang sejahtera, hal seperti ini masuk akal karena kaum muslim dimanamana menghadapi kemiskinan.8
Sampai sekarang pergerakan Masyumi 1945-1960 akan terus menjadi
wacana politik umat Islam di tengah-tengah modernisasi dan globaisasi yang
hampir meruntuhkan identitas-identitas negara dan budaya nasional. Atas
dasar inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengambil tema,
PERGERAKAN PARTAI MASYUMI 1945-1960 sebagai judul skripsi.
Dalam berbagai skripsi yang berjudul tentang Masyumi, baik dari
pembentukan, program kerjanya maupun yang lain sudah ada disebutkan,
maka penulis lebih mengarahkannya kepada Pergerakan. Sebagai salah satu
rujukan penulis adalah dari matarantai sejarah, keputusan politik yang
mengenai titik kebangkitan nasional yang masih dan pasti memunculkan
pendapat lain, suara-suara beda yang harus di dengar dan dipertimbangkan.
Karena kejujuran suatu sejarah akan sangat tergantung sejauhmana kita
bersedia menghiraukan dan membahas tentang
kenyataan-kenyataan lain
Moeslim Abdurrahman, Islam yang Memihak, (Jogjakarta, P.T. LKiS Pelangi Aksara,
2005) h. 28
kompleksitas
masalah
yang
akan
diteliti
dan
keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, maka masalah yang akan dibahas
hanya akan dibatasi kepada perdebatan mengenai Pergerakan Partai
Masyumi 1945-1960, dalam lingkup Partai Masyumi pada masa awal
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas maka
permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana Pergeraka Partai Masyumi 1945-1960 yang mempunyai peran
dan aktifitas perpolitikan di Indonesia serta mengatur sebuah negara yang
berkulturkan Islam yang beberapa kali berganti-ganti kabinet?
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pergerakan Partai Masyumi
di Indonesia 1945-1960
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan manfaat,
antara lain:
a. Secara teoritis maupun akademis, diharapkan oleh penulis agar dapat
memperkaya khazanah kepustakan perpolitikan
D. Metodologi Penelitian
Tipe Penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu teknik
pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan
yang dibahas dengan menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, dan
majalah, Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat
eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah metode
yang analitis.
Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.
E.Sistematika Penelitian
Dalam sistematika penulisan dan penelitian ini, penulis membagi
dalam Lima
Bab II
Bab III
Bab VI
BAB V
Bab ini adalah penutup atau bagian terahir dari penulisan skripsi,
yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
MASYUMI
dalam
dari aliran pemikiran yang ada dalam masyarakat politik Indonesia. Masyumi,
Muhammadiyah dan NU merupakan perwujudan aliran pemikiran Islam, PNI
merupakan perwujudan aliran nasionalisme Radikal, PKI merupakan
perwujudan aliran Komunis, dan PSI merupakan perwujudan aliran
sosialisme-Demokrat. 10
Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan
dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (an
historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan
panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah
(an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia.
Dalam pembahasan seperti ini, penulis akan meluruskan kembali tentang
Islam, Nasionalisme, dan Masyumi. Utamanya dalam rangka untuk
mengantisipasi impact (dampak) yang sangat buruk untuk pertikaian ideologi
kebangsaan yang terus berkembang di Indonesia, Indonesia adalah sebuah
negara yang sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam, mempunyai
berbagai pembahasan hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks
Indonesia kembali akan menyita banyak perhatian bagi akademisi dan banyak
kalangan lain. Dalam persoalan aspek sosial, politik dan kemanusiaan, Islam
mengakui aspek plural sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam. Berkaitan dengan persoalan nasionalisme, Masyumi berpandangan
untuk menegaskan bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam baik
dari segi ajaran maupun sejarahnya.
10
Herbert Feith dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T.
LPES, 1988) h. 34
11
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) h.9-10
Untuk
mengantisipasi
propaganda
tersebut
Partai
Masyumi
h. 96-97
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004)
Dilihat dari pertumbuhan partai Masyumi yang secara sepontan dan para
tokoh idealisnya yang berfariasi dapat diprediksi bahwa partai Masyumi akan
menghadapi banyak kendala dalam mewujudkan misinya. Hal seperti ini dapat
dibuktikan ketika Masyumi dihadapkan kepada pembahasan struktur yang
tidak kunjung pernah selesai sebagaimana diungkapkan oleh M. Fahry.
Masyumi mengalami berbagi macam persoalan internal, diantara persoalan
internal tersebut, semenjak berdirinya sampai menjelang dibubarkan (1960),
ini adalah persoalan struktural organisasi partai yang tidak pernah
tertuntaskan.
Dari konggres ke
konggres
13
berarti keempat macam tujuan usaha yang diungkapkan pada anggaran dasar
yang begitu ideal tidak terimplementasikan dengan baik. Pada kegiatan partai
selama Lima Belas tahun nampak ada kelemahan dalam pelaksanaan programprogramnya. Mungkin penyebabnya adalah lemahnya sistem menejerial
keorganisasian anggota yang banyak tidak ditangani dengan sugguh-sungguh.
kedaulatan
Republik
Indonesia
dan
Agam
Islam
(2)
1951) h. 6
akan meruntuhkan segala usaha dan ihtiar. Oleh karena itu partai menolak
setiap usaha dari pihak manapun yang mengakibatkan kekacauan dan
kelumpuhan negara serta alat-alatnya. 15
Tafsir asas yang menimbulkan pendirian partai Masyumi secara dasar
terumuskan pada tahun 1952 pada konggres ke-6 bulan Agustus. Ini
merupakan tonggak sejarah dalam pertumbuhan Masyumi sehingga pertikaian
dapat dikembalikan pada partainya. Tafsir asas ini bermula dengan uraian
entang keadaan International. Perkembangan terjadi dengan dua kekuatan dan
analogi yang dibuat dengan membandingkan cerita-cerita dalam al-Quran.
Yaitu Kapitalis dan Matrealisme yang menghasilkan falsafah perebutan hidup.
(struggle for life) dan kejayaan sikuat yang mengalahakan si lemah, sehingga
mengakibatkan permusuhan antara majikan dan bueruh. Dengan demikian
damai tidak akan muncul karena masyarakat terpecah dalam golongan yang
bermusuhan tanpa berniat untuk mengutamakan kepentingan bersama.
Komunisme
tidak
jauh
dengan
pernyataan
ini,
dalam
komunisme
15
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965, (Jakarta, P.T. Temprint,
1987), h. 138
16
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Politik, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti,
1987), h. 138.
kelihatan sangat patriotik dan nasionalistik. Inilah yang perlu di garis bawahi,
sebagai kemantapan judul sekripsi yang penulis uraikan. Tujuan Masyumi
pada kongres Umat Islam itu adalah menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia dan Agama Islam, dengan senantiasa melaksanakan cita-cita Islam
dalam urusan kenegaraan. Pencapaian tujuan itu kemudian merumuskan
program kerja sebagaimana terbaca pada paparan berikut:
dua
macam
keanggotaan
ini
dengan
alasan
untuk
memperbanyak anggota dan agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat,
tanpa tidak ada yang merasa terwaili. Pada mulanya yang menjadi anggota
istimewa Partai Masyumi adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama,
Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam, ahirnya bersatu menjadi
Persatuan Umat Islam Indonesia yang bersifat tradisional dalam bidang
agama, tetapi modern dalam bidang keduniaan, sehingga memudahkan mereka
untuk bekerja sama dengan kalangan modernis.
17
Dra. Haniah Hanafi, M.si, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penlitian FUF-UIN
Jakarta, 2005)
18
Ahmad SyafiI Maarif, (DKK) lslam dan Nilai-Nilai Universal, ( Jakarta, International
Center for Islam and Plularism ICIP), cet 1, Juli 2008, h. 60
20
h. 46-47
Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004),
PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang
hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan
Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante.
Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai
pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang
mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara
mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, (PKI). Hal ini memang
umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam.
Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan.
Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak
Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program
Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan
oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan
untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiaptiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang
pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan
oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem (Masyumi) menjabat sebagai
Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman
bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 21
Masyumi sebagai partai politik terbesar,
tentunya
mempunyai
karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri
khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu
merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat
21
22
Ahmad SyafiI Maarif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpin 1959-1965, (Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988), h. 33
Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN
Syarif Hidayatullah PRESS, 2004), h. 51-52.
Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang
dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam
membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada
setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok
lebih dekat dapur Masyumi yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan
dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi
tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling
bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.
BAB III
DINAMIKA PERGERAKAN MASYUMI
DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA
24
25
Herbert Feith dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T.
LPES, 1988) h. 34
26
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) h.9-10
bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti
buku-buku tentang Marxise.
Untuk
mengantisipasi
propaganda
tersebut
Partai
Masyumi
h. 96-97
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004)
secara
terbuka
sebagai
berikut:
tujuan
partai
adalah
penuh
kepada
golongan-golongan
lain
untuk
berbuat
meragukan kejujuran Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsipprinsip demokrasi dalam suatu pluralisme ideologi, sekalipun umat Islam
secara kuantitatif merupakan mayoritas mutlak dari penduduk Indonesia.
Mayoritas tidak berarti seluruhnya menjadikan Islam sebagai ideologi politik.
Secara ideologis, hanya partai-partai saja yang di kategorikan sebagai wakil
Islam pada waktu itu, karena ideologi itu telah mempersempit ruang gerak
Islam.
namun
setelah
perombakan
bulan
berikutnya
yaitu
Masyumi yang merupakan satu-satunay partai Islam ketika itu, dan merasa
pembagian sedemikian kuarang adil, tidak mendesakkan tuntutan perubahan
apapun. Partai ini sungguh mengharapkan porsi yang lebih besar, lebih
menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada
mempersoalkan kepentingan diri. Oleh karena itu juga, partai ini tidak setuju
dengan perubahan sistem kabinet presidensiil ke kabinet parlementer.
Dalam kabinet ini hanya seorang anggota Masyumi yang duduk, yaitu
H.M. Rasyidi, yang bertugas menghadapi persoala-persoalan agama. Pada
tanggal 3 Januari 1946 Muhammad Natsir dari Masyumi diangkat sebagai
menteri penerangan, dan ketika Departemen Agama diadakan H,M. Rasyidi
sebagai Menterinya. Tetapi baik Natsir maupun Rasyidi turut serta dalam
kabinet sebagai perseorangan bukan sebagai wakil partai. 28
Kekecewaan Masyumi tentang perubahan sistem
kabinet telah
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti,
1987). H. 154
Sutan Sjahrir
Sutan Syarir
Sutan Syahrir
Mr. Harmani
Abdul Murad
Menteri Kehakiman
Mr. Soewardi
Menteri Penerangan
Menteri Keuangan
Menteri Kemakmuran
Menteri Perhubungan
Menteri Sosial
Menteri Pengajaran
Menteri Kesehatan
Menteri Negara
H. Rasjidi
keraguan, oleh sebab itu bisa menyebabkan tafsiran yang bebeda oleh kedua
puhak. Termasuk juga Muhammad Roem, salah satu anggota inti dalam
delegasi indonesia da seorang tokoh Masyumi yang mulai menanjak karirnya
melihat persetujuan tersebut sebagai pengakuan de fakto atas Republik
Indonesia atas Belanda. Suatu sidang pleno Masyumi di Jogjakarta tanggal 2021 November, dan yang dihadiri oleh berbagai ketua departemen partai, serta
mewakili Musliat, Sabilillah, Hizbullah, Majlis Syuro, dan anggota Istimewa
Muhammadiayah, NU, dan PUI. Menolak untuk menerima persetujuan
tersebut.
Melihat kemungkinan gagalnya persetujuan linggarjati, pada tanggal 6
Juni 1947 Masyumi mengeluarkan manifesto politik, yang tam[paknya
memberi maksud penerangan kepada masyarakat serta dunia luar tentang apa
yang ia tempuh bila sekiranya dipercaya memimpin kabinet. Manifesto lebih
menekankan pada kekuatan diri dalam berhadapan dengan Belanda, bahkan
sebaliknuya Syahrir dilihat sebagai menggantungkan diri pada kemauan baik
belanda serta dunia internasional. Tekanan pada kekuatan diri itu bisa
diartikan bahwa pada ahirnya kekrasan turut berbicara. Masyumi benar-benar
menolak kebijaksanaan kabinet Syahrir, apalagi setelah lebih banyak konsesi
diberikan kepada pihak Belanda. Pendirian yang sama dari banyak partai lain
menyebabkan Syahrir menyerahkan mandatnya tanggal 27 Juni 1947.
H. Agus Salim
Mr. Tamsil
Arudji Kartawinata
Menteri Penerangan
Sjahbuddin Latif
Ir. Setiadi
Menteri Keuangan
Menteri Kemakmuran
Ir. Juanda
Ir. H. Laoh
Menteri Perburuhan
S.K. Trimurti
Menteri Agama
K.H. Masykur
Menteri Sosial
Soepardjo
Meneteri Kesehatan
Dr. J. Leimena
Menteri Pengajaran
Mr. Sastroamidjoyo
Menteri Negara
Hamengkubuwono IX
Kabinet Amier terdiri atas 34 orang anggota, yang termasuk 5 0rang dari
sosialis yang jumlahnya sama dengan dari PSII. Masyumi mempunyai alasan
mengapa dia berposisi menolak terhadap Amir, karena dia adalah Tokoh
sosialis yang dianggap kurang dapat dipercaya, sebab Amir lahir sebagai
muslim, masuk Kristen ketika umur 24 tahun. Pada masa sebelum perang ia
memimpin partai Gerinda, sebuah partai kebangsaan yang masuk rasdikal
menentang menentang pihak Belanda walaupun ia menjalankan politik
Koprasi. Bahkan Masyumi berpendapat bahwa Amir sebagai menteri
pertahanan telah menyalahgunakan kekuasaan yang ada, untuk kepentingan
suatu kelompok, yaitu golongan sosialis dan mungkin komunis. Pada masa ia
dalam kabinet Syahrir ia menjabat menteri perthanan, biro perjuangan dalam
inspektorat biro perjuangan di kemnenterian tersebut didominasi oleh
golongan kiri. Masyumi juga menuduh Inspektorat telah mengorganisasikan
sebagai latihan untuk kelompok-kelompok perjuangan bersenjata yang juga
memperoleh senacam indoktrinasi suatu ideologi politik tertentu yaitu
sosialisme.
Pandanagn Amir lebih banyak negatifnya, ketika perundingan dengan
pihak Belanda akan dimuali, pihak Masyumi masih bersedia membentu
pemerintah. Perundingan dengan Belanda diadakan atas saran dan pengawasan
komosi Jasa-Jasa baik Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang lebih dikenal dengan
nama Komisi Tiga Negara. Masyumi bersedia masuk pada tanggal 13
November 1947 dengan memperoleh 4 kursi, yaitu Wakil Perdana Menteri I
Samsudin. Menteri Dalam Negeri Muhammad Roem, Menteri Agama K.H.
mendapat 4
Wirjosandjojo
(Kemakmuran),
kursi.
(Menteri
K.H.
Tokoh-tokoh Masyumi
Dalam
Negeri),
Masykur
(Agama),
Sjafruddin
dan
yaitu
Soekiman
Prawiranegoro
Mohammada
Natsir
Dr. Soekiman
H. Agus Salim
Menteri Pertahanan
Mohammad Hatta
Menteri Penerangan
Mohammada Natir
Menteri Keuangan
Menteri Perhubungan
Ir. Juanda
Ir. Juanda
Menteri Perburuhan/sosial
Kusna
Menteri Pembangunan/Pemuda
Supeno
K.H. Masykur
Menteri Kesehatan
Dr. J. Leimena
Menteri Negara
Hamengkubuwono IX
bahwa ia mendapat mandat dari Soekarno dan Hatta untuk mengikat janji guna
bekerja sama dengan Belanda denagn mengusakan penyelesaian. Pada waktu
itu Roem tidak melihat persetujuan yang dicapainya dengan Van Royen itu
mempunyai arti besar. Ia juga sadr bahwa semua orang Indonesia menganggap
perswetujuan yang tersebut sebagai suatu hasil yang cemerlanga, malah ada
diantaranya tidak mengakui sama sekali atau menganggap persetujuan itu
sebagai suatu kegagalan , mereka dengan sendirinya menyalahkan dan
menyesali tokoh Masyumi ini. Peneilaian ini, disebabkan antara lain, Pertama,
pendapat keyakinan bahwa persetujuan Van Royen itu tercapai pada saat para
para pejuang bersenjata kita, baik TNI maupun Laskar, sudah menempati
posisi yang memungkinkan mereka mengambil prakarsa untuk menyapu
bersih kekuatan militer Belanda. Kedua, persetujuan tersebut mengandung
penerimaan bentuk federasi bagi negar Indonesia, dalam bentuk Republik
akan hanya merupakan negara bagian, yang memp[unyai kedudukan yang
sama dengan negara-negar bagian lain ciptaan Belanda. Ketiga, Roem sebagai
ketua delegasi Indonesia mendapat mandat ahnya dari Sokarno dan Hatta yang
tidak berfungsi lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
karena memang berada dalam tahanan Belanda. Ketigas pendapat ini lebih
dapat menerima persetujuan bila Roem juga memperoleh mandat dari
Syarifuddin Prawiranegara, kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Alasan ini menyebabkan M. Natsir berhenti sebagai penasehat delegasi,
kemudian sebagai menteri penerangan. Karna ia terdorong pleh simpati dan
loyalitas kepada Syarifuddin, yang telah menjalin hubungan erat dengannya
partai Masyumi
sendiri
terlebih
dahulu
memberikan
Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada
tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai
Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan
demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun programprogramnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama
massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan
mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari
pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam
didirikan di Indonesia. 29
Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan
semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun
1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak
memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I
dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi
parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan
pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang
mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak
terlaksananya program pelaksanaan pemilu.
Kabinet Hatta (Desember 1949-Agustus 1951) pada mulanya berencana
untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu
dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI,
mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun
29
Ahmad SyafiI Maarif, (DKK) lslam dan Nilai-Nilai Universal, ( Jakarta, International
Center for Islam and Plularism ICIP), cet 1, Juli 2008, h. 60
dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi
Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu.
Kabinet Nastir (September 1950-Maret 1951) adalah menerusakan
kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar
pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU
diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman (April 1951-Februari 1952) adalah
meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun
ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan
umum secara langsung.
Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di
Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan
kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila
pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya
kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam.
Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap (salah satu
ketua dari Masyumi), pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan
guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan
konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta
pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat
dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam,
Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme.
30
h. 46-47
Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004),
mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan
demokratis.
Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama
Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang
(Masyumi) yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah
total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan
PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang
hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan
Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante.
Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai
pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang
mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara
mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, (PKI). Hal ini memang
umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam.
Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan.
Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak
Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program
Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan
oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan
untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiaptiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang
pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan
oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem (Masyumi) menjabat sebagai
tentunya
mempunyai
karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri
khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu
merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat
Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil
menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi
bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu
memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam
berada dalam satu pimpinan.
Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk
memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam
konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk
memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu
dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui
musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan
dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan
sudah berlaku.
Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama
priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena
31
32
Ahmad SyafiI Maarif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpin 1959-1965, (Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988), h. 33
33
Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN
Syarif Hidayatullah PRESS, 2004), h. 51-52.
BAB IV
MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER
persamaan hidup dalam satu wilayah tertentu, seperti halnya Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat.
Namun bertekat satu seperti tercermin dalam satu kesatuan yang kokoh dan
kuat, di dalam satu naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di
proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945 telah memberikan
kesempatan kepada berbagai aliran politik di indonesia, guna untuk bebas
membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi seperti yang
dinyatakan oleh Pasal 28 UUD 1945. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Ummat Islam. Maka pada tanggal 7 November 1945, melalui sebuah kongres
umat Islam di Yogyakarta maka terbentuklah sebuah partai politik Islam
35
36
Ahmad SyafiI Maarif, Islam dan Pancasila Sebagia Dasar Negara, (Jakarta, P.T.
Pustaka LP3ES 2006), cet.1 h. 112
37
Syafaat Mintorejo, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, (Jakarta, P.T. t.p.
1973) h. 24
Pengurus Besar. Dalam Majlis Syuro, yang di Ketuai oleh K.H. Hasyim
Asyari (NU) dan Wakil Ketua I adalah K.H. Wahid Hasyim (NU), Wakil
Ketua II adalah Agus Salim (PSII), dan Wakil Ketua III adalah Syekh Djamil
Djambek (Pembaharuan dari Sumatra Barat). Sedangkan dalam kepengurusan
besar terdiri dari para politisi karir, seperti Soekiman, Abikoesno, Muhammad
Natsir, M. Roem, dan S.M. Kartosoewirjo. 38
Pada masa Orde Lama, Mohammad Nasir sempat dekat dengan
Soekarno. Dan dia pula yang menuliskan naskah pidato Presiden pertama RI.
Serta Soekarno pula yang menyingkirkan Natsir, bahkan memenjarakan dan
membubarkan partainya, (Masyumi). Stigma (pandangan) sebagai tokoh garis
keras, (radikal) dilontarkan kepada Natsir. Setelah tahun 1958-1961, Natsir
terlibat dalam gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
meskipun ini merupakan ucapan ketidak-puasan terhadap kebijakan
pemerintah pusat yang menyepakati perubahan bentuk negara dari Negara
Kesatuan (NKRI) ke negara Indonesia Serikat (RIS). Tahun 1962-1964
menyingkirkan Natsir kedalam karantina politik di Batu, Jawa Timur. Pada
tahun 1964-1966 Natsir di penjarakan di Tahanan Militer di Jakarta.
Lebih dari itu Natsir bahkan terhapus dari buku-buku sejarah disekolah,
dalam dua periode yaitu Orde Lama dan Orde Baru namanya tidak tertulis
disana. Namun bagaimanapun, Natsir tetaplah orang besar, didalam negeri
yang disingkirkan, tetapi kebesarannya tetap memancar sampai keluar negeri.
Banyak pengamat Indonesia mengakui peran besar Natsir dalam sejarah
38
B.J. Boland, Pergolakan Islam di Indonesia, (Jakarta: P.T. Grafiti Pers, 1985). H. 45
39
Evi Linda Astuti, (skripsi) Nasionalisme Dalam Pandangan Mohammad Natsir: Studi
Pemikiran Moh. Natsir Tentang Nasionalisme, (Jakarta, UIN Syahid, 2005). h. 62-65
41
Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M..
Kartosoewirjo, (Jakarta P.T. Darul Falah 2000) h. 24
42
hubungan
dengan
persoalan
kabinet,
Masyumi
menolak
kabinet. Tetapi ketika partai-partai lain mulai keluar kabinet, tidak ada jalan
lain bagi Sukiman selain menyerahkan mandatnya kepada Presiden, yaitu pada
tanggal 23 Februari 1952.
Setelah kabinet Sukiman berahir, maka mandat diberikan kepada PNI
dengan Wilopo, sebagai perdana Menteri pada tahun 1952-1953. dalam
Kabinet Wilopo, partai Masyumi juga diberikan jatah empat kursi, yaitu posisi
sebagi wakil Perdana Menteri oleh Prawoto Mangkusasmita, Menteri Dalam
Negeri oleh Mr. M. Roem, Menteri Pertanian oleh M. Sardjan dan Menteri
Agama oleh K.H. fakih Usman.
Setelah Wilopo dijatuhkan, mandat tetap masih berada ditangan PNI, kali
ini PNI menampilkan Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini, Masyumi tidak
dilibatkan. Hanya NU dan Partai Syarikat Islam Indonesia yang mendapatkan
kursi, karena NU telah memisahkan diri dari partai Masyumi dengan
mendirikan partai sendiri. NU mendapat tiga kursi yaitu Wakil Perdana
Menteri II, Menteri Agama, dan Menteri Negara menangani masalah Agraria.
Sedangakan PSII mendapatkan dua kursi, yaitu Menteri Perhubungan dan
Menteri Negara yang menangani masalah Kesejahteraan Negara.
Umat Islam di Indonesia pada tahun-tahun sesudah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah mencoba merumuskan sebuah corak
masyarakat dan cita-cita politik yang hendak mereka ciptakan dalam rangka
mengisi kemerdekaan nasional. Dalam kaitan umat Islam akan selalu
dikaitkan dengan Syariat dalam kehidupan individual dan kehidupan kolektif.
Konsep umat Islam tersebut menggambarkan suatu masyarakat beriman yang
bercorak universal. Jadi setiap Muslim harus sadar bahwa ia adalah anggota
masyarakat yang keterikatan spiritualitas dengan persaudaraan. 43
Sepanjang sejarah, Selama Syariat tidak pernah diselewengkan, disalah
pahami, dan digambarkan secara keliru sedemikian parah melebihi zaman
sekarang. Syariat telah dimanfaatkan untuk menjustifikasikan penindasan,
kelaliman, ketidak-adilan dan penyelewengan kekuasaan. Islam berisikukuh
pada kesataraan manusia secara total tanpa mengenal perbedaan bahasa,
budaya, dan ras. Sedangkan Nasionalisme merupakan suprioritas bahasa,
budaya, dan ras, nasionalisme menurut loyalitas mutlak rakyat terhadap
bangsanya adalah negaranya. Sedangkan Islam menurut loyalitas dan
ketundukan hanya kepada Tuhan
Dengan kata lain yang disebut dengan sekuler, dimata seorang Muslim,
tidak dapat dilepaskan dari persoalan Iman. Dari sudut pandang ini, cita-cita
kekuasaan (politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran Iman
seorang Muslim. Sedangkan politik tidak bisa dilepaskan dari ajaran etika
yang bersumber dari wahyu, bahkan kekuasaan politik merupakan kendaraan
untuk merealisasikan pesan-pesan wahyu. Dilihat dari fenomena lain, umat
Islam Indonesia adalah terpengaruh oleh cita-cita politik barat (sekuler), yang
berpandangan bahwa kegiatan politik semata-mata kegiatan duniawi,
sedangkan agama merupakan persoalan pribadi yang tidak perlu dikaitkan
dengan masalah politik.
43
DR. Ahmad SyafiI Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 (Jakarta, P.T. Gema Insani Press, 1996) h. 10
karena
pada
masa
ini
kabinet
Burhanuddin
dapat
dan membawanya
mereka
antara
partai-partai
Islam
lainnya,
sehingga
permulaan
yang
menguntungkan bagi mereka pada saat kabinet mulai bekerja tidak dapat
diteruskan. Kelompok Sukiman dan kelompok Natsir memperlihatkan kembali
hubungan yang tidak serasi, seperti tercermin dalam berbagai pernyataan.
Pertikaian antara partai Islam terutama antara partai Masyumi dengan partai
Islam lain yang bersangkutan dengan soal hubungan dengan negeri Belanda.
Dalam priode kabinet Burhanuddin Presiden Soekarno mulai ikut campur
tangan secara mendalam dalam pemerintahan serta partai.
Kabinet Burhauddin adalah kabinet yang bertugas husus, yaitu
menyelenggarakan pemilihan umum. Dari ini dapat dialksanakan karena ia
juga masih ingin menyelesaikan masalah antara hubungan dengan negeri
Belanda. Oleh sebab itu permulaan tahun 1956, setelah pemilu pertama
diselenggarakan, perhatian kabinet ditujukan tentang cara pemutusannya.
Lagi-lagi Masyumi menolak usulan seperti ini karena melihat bahwa usulan
tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah, malah akan menambah
persoalan. Masyumi juga bependapat bahwa tiap partai besaryang tiga itu
(Masyumi, PNI, dan NU) apakah didalam atau diluar kabinet, sehingga
mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan harmoni antar partai.
Sementar itu karena pertikaian tentang soal hubungan indonesia dengan negeri
Belanda, NU dan PSII pada bulan Januari 1956 menarik diri dari kabinet.
terahir kali memainkan peran politiknya dan tidak dapat lagi mengatakan satusatunya wakil umat Islam.
Wakil umat Islam diwakili oleh Masyumi, Partai NU, PSII, dan Perti
dalam kabinet. Partai Masyumi memegang empat posisi dengan menduduki
Menteri I oleh Mr. M. Roem, Menteri Keuangan oleh Mr. Jusuf Wibisono,
Menteri Kehakiman oleh Mr. Mulyatno, dan Menteri Pekerjaan Umum oleh Ir.
Pangeran M. Noer. Sedangkan NU memegang lima kursi, yaitu Wakil Perdana
Menteri II diserahkan oleh K.H. Idham Khalid, Menteri Dalam Negeri kepada
Mr. Sunarjo, Menteri Perekonomian dipegang oleh Mr. Burhanuddin, Menteri
Sosial dipegang oleh K.H. Fatah Jassin, dan Menteri Agama dipegang oleh
K.H. Ilyas. PSII memegang dua kursi, yaitu Wakil Menteri Pertanian
diserahkan kepada Syeh Marhaban dan Menteri Penerangan oleh Sudibjo.
Sedangkan Perti mendapat satu Kursi yaitu Menteri Negara oleh H. Rusli A.
Wahid.
Kabinet koalisi ini menghasilkan perjanjian Roem-Royen dengan
pemerintah Belanda yang dilaksanakan oleh M. Roem dari partai Masyumi.
Ternyata kabinet koalisi terahir dari pemerintahan demokrasi Parlementer
yang melibatkan Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama
(NU), Parkindo, Katholik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), IPKI, dan
Perti, karena tak lama kemudian dihentikan oleh presiden dengan turunnya
Dekrit 5 Juli 1959.
Penurunan dekrit Presiden 1959 berisi agar membubarkan Majllis
Konstituante dan kembali ke UUD 1945, karena menganggap Majlis
Intelektual
muslim
muda,
seperti
Syarifuddin
kelompok moderat secara politis lebih dekat kepada Syahrir, dan kelompok
konservatif dan sosialis religius lebih sering berdampingan.
Kegagalan untuk mengarahkan dan menangani secara bijak dalam
perbedaan-perbedaan pendapat dan kecendrungan ideologi tersebut kearah
persamaan sikap yang wajar, hal ini telah mengarahkan Partai Masyumi
keproblem-problem yang serius. Sehingga timbullah sebuah pertanyaan untuk
apa partai Masyumi didirikan? Atau apakah tujuan partai ini? Secara jelas
telah di gambarkan lewat Anggaran Dasar Masyumi, tujuannya adalah
terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang-seorang,
masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Dimana negara melakukan
kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantara wakil-wakil rakyat
yang dipilih. Dimana kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaan,
keadilan sosial yang di ajarkan Islam dapat terlaksakan dengan sepenuhnya.
Dengan ajaran dan hukum-hukum Islam, sebagai mana yang tercantum di
dalam Al-quran dan Sunah, dimana golongan keagamaan non-Islam memilih
kemerdekaan
untuk
menganut
dan
mengamalkan
agamanya.
Serta
Ahmad SyafiI Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta P.T.
Pustaka LP3S, 2006). H. 114-115
terjadinya
berbagai
pergolakan daerah, antara lain pegolakan daerah yang terkenal dengan sebutan
PRRI di Sumatra Barat dan Permesta yang muncul di Sulawesi Utara. Dalam
perkembangannya beberapa tokoh Masyumi dan PSI bergabung dalam
pergolakan PRRI, seperti Muhammad Nasir, Syarifudin Prawironegara,
Sumitro Djojokusumo dsb.
Sehingga Masyumi tidak mampu bertangguh lagi dan pada tanggal 9
Januari 1957 ia menarik para Menterinya dari Kabinet. Dalam sebuah
pernyataan yang dikeluarkan partai kemudian, dikatakan bahwa langkahlangakah pemerintah tidak memberi keyakinan kepada Masyumi bahwa ia
46
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama
Grafiti, 1987). H. 255
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemahaman tentang Pergerakan Partai Msyumi 1945-1960 serta unsurunsurnya yang dilihat dari perspektif pemikiran Masyumi 1945, terletak pada
bab-bab sebelumnya, maka berakhirlah semua penulisan ini dalam sebuah
kesimpulan mengenai Pergerakan Partai Masyumi 1945-1960 yang akan
penulis uraikan dalam bab terakhir ini. Kiranya kesimpulan ini dapat
merepresentasikan pemikiran tentang Pergerakan Masyumi 1945-1960, serta
susunan-susunan Kabinet yang ada pada Partai Masyumi secara konprehensif.
Dilihat dari sejarah kebangkitan Partai Masyumi di Indonesia tidak bisa
terlepaskan dari kemunculan ruang politik (public asphere). Ruang publik
dipandang penting karena merupakan lokasi tempat wacana-wacana yang
diekspresikan dan merupakan ruang tempat kegiatan-kegiatan intelektual
politik. Dalam konteks Masyumi, nasionalisme adalah komunitas epistemik
dan pergerakan Islam yang berperan penting dalam meluaskan ruang publik
keluar dari lingkaran priyai. Dengan demikian pergerakan nasionalsime keluar
dari kesempitan elitisme menuju keluasan khalayak ramai, hal ini adalah
memberi fondasi yang kuat bagi gerakan kebangkitan dan kemerdekaan
Indonesia.
Memahami seputar Partai Masyumi di Indonesia kita akan menemukan
urgensi ketika gejala di sentegrasi muncul di mana-mana. Dari ujung Sabang
sampai Meroke. Yang mempunyai keinginan-keinginan untuk memisahkan
diri dari pemerintahan yang dianggap kurang loyal terhadap masyarakat. Dan
diperparah lagi ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
dan
pergerakan
Masyumi.
Utamanya
dalam
rangka
untuk
dengan
kabinet
yang
lain
selalu
berbeda
argumen
dalam
47
Opini, Khoiril Mahfud, Mengahiri Benturan Ideologi, Islam dengan Nasionalisme,
(Maarif Vol.3, No. 2 Mei 2008), h. 43-44
48
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 1996), h.VII
B. Saran-Saran
Berahirnya dari beberapa poin skripsi yang penulis uraikan, ada kiranya
dipenghujung bab ini akan saya cantumkan saran-saran sebagai bahan
masukan bagi semua pihak yang mempunyai rasa memiliki keterkaitan dengan
pembahasan dalam skripsi ini, saran-saran yang ingin saya ajukan adalah
sebagai berikut:
1. Dalam Anggaran Dasar Partai Masumi, telah di rumuskan secara terbuka
yang bertujuan agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam
kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia,
menuju keridhaan Illahi. Dalam sejarahnya, tidak diragukan lagi kejujuran
Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi
dalam suatu pluralisme ideologi. Disinilah letak pergolakan antara Islam
dan nasionalisme yang ada pada perpolitikan Partai Masyumi.
2. Dalam Pergerakan Politik ini, antara Islam dan Masyumi memunculkan
pertanyaan yang bisa di sederhanakan dengan Dua jawaban, menolak atau
menerima. Sehingga tidak ada sebuah perselisihan,
3. Sebagian karya yang sangat cemerlang dalam karir Partai Politik
Masyumi, adalah sebuah prestasi partai dalam membela kedaulatan
Bangsa dan Negara. Seperti membentuk Barisan Hisbullah para pemuda
dan pemudi Islam di Indonesia, mendukung usaha demokrasi di Indonesia,
untuk mewujudkan suasana negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat
dan masyarakat berdasarkan keadilan menurut ajaran Islam. Perwujudan
kedaulatan rakyat itu dengan adanya hak pilih dan dipilih secara umum
DAFTAR PUSTAKA
Islam
dengan
Kohn, Hans, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terj), (Jakarta: PT. Pembangunan
dan Penerbit Erlangga,1984)
Maarif, Syafii A, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta P.T.
Pustaka LP3S, 2006).
Maarif, Syafii A, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin 1959-1965 (Jakarta, P.T. Gema Insani Press, 1996)
Muttaqin, Jajang, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta,
UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004)
Media Maarif (Artikel), Yudi Latief, Ph.d. Islam dan Awal Kebangkitan
Nasionalisme di Indonesia, (Maarif Edisi Vol. 3, No.2 Mei 2008)
Nata, Abdullah, Azyumardi Azra, Problematika Politik Islam di Indonesia, (
Jakarta, P.T. Grasindo bekerja sama dengan UIN Jakarta pers 2002 ).
Sasono, Adi, Rakyat Bangkit Bangun Martabat, (Jakarta, P.T. Pustaka Alvabet,
2008)
Syam, Firdaus, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Dipentas Politik Indonesia
Modern, (Jakrta, P.T. Kaherul Bayan, 2003)
Syahrasad, Herdi, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi
Terkoyak, (Jakarta, P.T. Melibas, 2005)
Sucipto, Heri, Menegakkan Indonesia: Pemikiran dan Konstribusi 50 Tokoh
Bangsa Berpengaruh, (Jakarta, P.T. Grafindo, 2004)