Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
anugerahNya, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas tentang Leptospirosis dengan
baik.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr. Ade Senorita, Sp.PD yang telah meluangkan waktu dan
memberikan kesempatan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tugas ini tepat
pada waktunya.
Dalam penulisan referat ini saya menyadari adanya keterbatasan kemampuan
dan pengetahuan yang kami miliki, sehingga referat ini jauh dari sempurna. Untuk
itu, kritik dan saran kami perlukan agar dapat menyempurnakan karya tulis ini di
masa yang akan datang.
Semoga referat ini dapat berguna bagi pembaca pada umumnya dan penulis
pada khususnya.

Batam, 11 Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................2
BAB 1
Pendahuluan............................................................................................ 3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Leptospirosis.......................................................................6
2.2 Etiologi Leptospirosis......................................................................6
2.3 Epidemiologi Leptospirosis..............................................................7
2.4 Faktor Resiko Leptospirosis.............................................................9
2.5 Patofisiologi Leptospirosis................................................................9
2.6 Manifestasi Klinis Leptospirosis.......................................................14
2.7 Diagnosa Leptospirosis.....................................................................17
2.8 Diagnosa Banding Leptospirosis......................................................19
2.9 Penatalaksanaan Leptospirosis..........................................................19
2.10 Prognosis Leptospirosis..................................................................21
2.11 Pencegahan Leptospirosis...............................................................21
BAB 3
KESIMPULAN..................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................24

BAB 1
PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit infeksi. Penyakit ini bervariasi mulai dari
infeksi yang tidak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan,
leptospirosis dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan myalgia.
Leptospirosis yang berat, ditandai oleh jaundice, disfungsi renal dan diatesis
hemoragik, dikenal dengan Weils syndrome.
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi pada manusia dan binatang yang
disebabkan oleh bakteri leptospira yang berbentuk spiral dan bergerak aktif.
Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di dunia.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan
gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa.
Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai "Weil's
Disease". Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease"
disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis
leptospira dapat diisolasi dengan baik dari manusia maupun hewan.
Sistem klasifikasi menurut patogenitas, bakteri Leptospira terbagi dua yaitu
L.Interrogans (patogen) dan L.biflexa (non patogen). Spesies Leptospira interrogans
sendiri terdiri dari 23 serogroups dan lebih dari 200 serotypes (serovars). Yang paling

sering menimbulkan penyakit berat dan fatal adalah serotype Leptospira


icterohemorrhagiae. Leptospira bisa terdapat pada binatang peliharaan seperti anjing,
sapi, babi, kerbau, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya.
Di dalam tubuh hewan ini leptospira hidup di ginjal dan air kemih. Manusia terinfeksi
bakteri leptospira karena kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi oleh urin
atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi bakteri leptospira. Leptospira
masuk lewat kulit yang luka atau membran mukosa.
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai
untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH
alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang tahun. Di
Negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan
dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka insiden
leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Angka insidensi
leptospirosis di New Zealand antara tahun 1990 sampai 1998 sebesar 44 per 100.000
penduduk. Angka insiden tertinggi terjadi pada pekerja yang berhubungan dengan
daging (163/100.000 penduduk), peternak (91,7/100.000 penduduk) dan pekerja yang
berhubungan dengan hutan sebesar 24,1 per 100.000 penduduk. Di Indonesia
dilaporkan di dalam risalah Partoatmodjo (1964) bahwa sejak 1936 telah diisolasi
berbagai serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan. Di
Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera
4

Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Barat.
Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,516,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%. Penderita
Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakanjaringan hati),
risiko kematian akan lebih tinggi. Di beberapa publikasi angka kematian di laporkan
antara 3 % - 54 % tergantung system organ yang terinfeksi.
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja
tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Ancaman ini berlaku pula
bagi mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di sungai
seperti berenang.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
LEPTOSPIROSIS

2.1

Definisi 1
Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp, yang dapat

ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal


juga dengan nama Penyakit Weil, demam Icterohemorrhage, penyakit Swineherd,
demam pesawah, jaundis berdarah, demam canicola.

2.2

Etiologi 2,3,4
Leptospira adalah spirochaeta yang berasal dari famili Leptospiraceae. Genus

Leptospira terdiri atas 2 spesies: L.interrogans yang patogenik dan L.biflexa yang
hidup bebas. Spesies Leptospira interrogans sendiri terdiri dari 23 serogroups dan
lebih dari 200 serotypes (serovars). Yang paling sering menimbulkan penyakit berat
dan fatal adalah serotype Leptospira icterohemorrhagiae. Organisme ini panjangnya
6 sampai 20 um dan lebarnya 0,1 um; kurang berwarna tetapi dapat dilihat dengan
mikroskop dengan pemeriksaan lapangan gelap dan setelah pewarnaan silver.

Leptospirosis membutuhkan media dan kondisi khusus untuk tumbuh; membutuhkan


waktu beberapa bulan agar kultur menjadi positif.

2.3

Epidemiologi 1,5,6
Leptospirosis adalah zoonosis penting dengan penyebaran luas yang

mempengaruhi sedikitnya 160 spesies mamalia. Tikus, adalah reservoir yang paling
penting, walaupun mamalia liar yang lain yang sama dengan hewan peliharaan dan
domestic dapat juga membawa mikroorganisme ini. Leptospira meningkatkan
hubungan simbiosis dengan hostnya dan dapat menetap pada tubulus renal selama
beberapa tahun. Transmisi leptospira dapat terjadi melalui kontak langsung dengan
urin, darah, atau jaringan dari hewan yang terinfeksi atau paparan pada lingkungan;
7

transmisi antar manusia jarang terjadi. Karena leptospira diekresikan melalui urin dan
dapat bertahan dalam air selama beberapa bulan, air adalah sarana penting dalam
transmisinya.
Epidemik leptospirosis dapat terjadi melalui paparan air tergenang yang
terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi. Leptospirosis paling sering terjadi di
daerah tropis karena iklimnya sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan pathogen untuk
bertahan hidup. Pada beberapa negara berkembang, leptospirosis tidak dianggap
sebagai masalah. Pada tahun 1999, lebih dari 500.000 kasus dilaporkan dari Cina,
dengan nilai case fatality rates dari 0,9 sampai 7,9%. Di Brazil, lebih dari 28.000
kasus dilaporkan pada tahun yang sama.
Manusia tidak sering terinfeksi leptospirosis. Ada beberapa kelompok
pekerjaan tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pekerja-pekerja di sawah,
pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan
atau orang- orang yang mengadakan perkemahan di hutan, dokter hewan. Setiap
individu dapat terkena leptospirosis melalui paparan langsung atau kontak dengan air
dan tanah yang terinfeksi. Leptospirosis juga dapat dikenali dimana populasi tikus
meningkat.

2.4

Faktor Risiko 1,5,6


8

1. Pekerjaan yang kontak dengan air seperti: petani yang bekerja di sawah,
peternakan, pekerja rumah potong hewan, dan tentara yang berlatih di daerah
rawa-rawa.
2. Orang yang sedang berekreasi seperti berenang di sungai, rekreasi kano dan
olah raga lintas alam di daerah berawa.
3. Di rumah tangga pada orang yang merawat binatang peliharaan, pemelihara
hewan ternak, dan tikus di rumah-rumah.

2.5

Patogenesis dan Patofisiologi 1,2


Patogenesis dari leptospirosis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Leptospira

masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan
berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon
imunologi baik secara seluler maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih
bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti dalam ginjal dimana
sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan
dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari
sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahuntahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme
humoral.
Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah
fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan

ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang
terlibat pada patogenese leptospirosis : invasi bakteri langsung, factor inflamasi non
spesifik, dan reaksi imunologi.
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang
muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis
terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara
histiologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan
hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini
menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Lesi inflamasi
menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus
yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoseluler dengan retensi bile.
Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira
dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal ini akan
menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi
sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah
ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ :

1. Ginjal

10

Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi


pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal
ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi
imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme
juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.

2. Hati
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang
diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini
terdapat diantara sel-sel parenkim.
3. Jantung
Epikardium,

endokardium dan

miokardium

dapat

terlibat.

Kelainan

miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi
sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi
neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endokarditis.
4. Otot rangka
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira
disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen
leptospira pada otot.

5. Mata

11

Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia
dan bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi.
Hal ini akan menyebabkan uveitis.
6. Pembuluh darah
Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa,
permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit
7. Susunan saraf pusat
Leptospira mudah masuk kedalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan
dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon
antibody, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan
sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi
adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola.
8. Weil Disease
Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya
disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
kontinua. Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan
leptospirosis. Penyebab weil disease adalah serotype icterohaemorragica
pernah juga dilaporkan oleh serotype copanhageni dan bataviae. Gambaran
klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic, atau disfungsi vascular.

12

2.6

Manifestasi Klinis 1,3,4,5

13

Masa inkubasi biasanya terjadi antara 2-20 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase
penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia akut yang diikuti fase imun. Perbedaan
kedua fase ini tidak selalu jelas, dan pada kasus-kasus ringan tidak selalu diikuti fase
kedua.
Gejala klinis yang terjadi :

14

Sering : demam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia,


conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali,
ruam kulit, fotophobia.

Gambar. conjunctival suffusion

Jarang : pneumonitis, hemoptoe, delirium, perdarahan, diare, edema,


splenomegali, atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pancreatitis, parotitis,
epididimytis, hematemesis, asites, miokarditis.

Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya
di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggang
disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi
yang disertai mengigil, juga didapati, mual dengan atau tanpa muntah disertai
mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan keadaaan sakit berat, bradikardi relative, dan ikterus (50%). Pada hari ke

15

3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat
dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang
dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7
hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal,
penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu
setelah onset. Pada keadaaan sakit yang lebih berat, demam turun setelah 7 hari
diikuti oleh bebas demam selam 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan
ini disebut fase kedua atau fase imun.

Fase imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibody, dapat timbul demam yang
mencapai suhu 40C disertai mengigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit
yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama betis. Terdapat
perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik.
Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, petechiae, epistaksis,
perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering. Conjungtiva
injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis
untuk leptospirosis.
Terjadinya meningitis merupakan tanda fase ini, walaupun hanya 50% gejala
dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien.
Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya
menghilang setelah 1- 2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.
16

2.7

Diagnosis 3,4,5,6
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien biasanya

datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, syndrome syok


toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diathesis hemoragik, bahkan
beberapa kasus datang sebagai pancreatitis. Pada anamnesis, penting diketahui
tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok resiko tinggi.
Gejala/keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di
bagian frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardi, nyeri tekan otot,
hepatomegali dan lain- lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai
lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap
darah yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria. Bila organ hati
terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. Ditemukannya
sedimen urin (leukosit, eritrosit, dan hyalin atau granular) dan proteinuria ringan pada
leptospirosis anikterik menjadi gagal ginjal dan azotemia pada kasus yang berat.
Jumlah sedimen eritrosit biasanya meningkat. Pada leptospirosis anikterik, jumlah
leukosit antara 3000-26000/L, dengan pergeseran ke kiri ; pada Weils sindrom,
sering ditandai oleh leukositosis. BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa meninggi bila
terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia yang ringan terjadi pada 50 % pasien
dan dihubungkan dengan gagal ginjal. Pada perbandingannya dengan hepatitis virus
akut, leptospirosis memiliki bilirubin dan alkalin phospatase serum yang meningkat

17

sama dengan peningkatan ringan dari aminotransferase serum (sampai 200/ul). Pada
Weils sindrom, protrombin time dapat memanjang tetapi dapat dikoreksi dengan
vitamin K. Kreatin phospokinase yang meningkat pada 50 % pasien dengan
leptospirosis selama minggu pertama perjalanan penyakit, dapat membantu
membedakannya dengan infeksi hepatitis virus.
Bila terjadi reaksi meningeal, awalnya terjadi predominasi leukosit
polimorfonuklear dan diikuti oleh peningkatan sel mononuklear. Konsentrasi protein
pada LCS dapat meningkat dan glukosa pada LCS normal.
Pada leptopirosis berat, lebih sering ditemukan abnormalitas gambaran
radiologis paru daripada berdasarkan pemeriksaan fisik berupa gambarab hemoragik
alveolar yang menyebar. Abnormalitas ini terjadi 3-9 hari setelah onset. Abnormalitas
radiografi ini paling sering terlihat pada lobus bawah paru.
Diagnosis pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.
Dengan mengambil specimen dari darah atau CSS selama 10 hari pertama
perjalanan penyakit. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil
specimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urine diambil
setelah 2-4 minggu onset penyakit. Kadang-kadang kultur urin masih positif selama
beberapa bulan atau tahun setelah sakit. Untuk isolasi leptospira dari cairan atau
jaringan tubuh, digunakan medium Ellinghausen-McCullough-Johnson-Harris; atau
medium Fletcher dan medium Korthof. Spesimen dapat dikirim ke laboratorium
untuk dikultur , karena leptospirosis dapat hidup dalam heparin, EDTA atau sitrat

18

sampai 11 hari. Pada specimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat


digunakan.
Pemeriksaan antibodi terhadap leptospira di laboratorium untuk diagnosis
pasti

dapat

dengan

cara:

MAT

(microscopic

agglutination

test),

HI

(hemagglutination) test, ELISA (IgM). Selain itu ada pula pemeriksaan cepat
menggunakan kit seperti: Dip-S-Ticks (PanBio).

2.8

Diagnosis Banding 7
Leptospirosis harus dibedakan dengan demam yang lain dihubungkan dengan

sakit kepala dan nyeri otot seperti dengue, malaria, demam enterik, hepatitis virus,
dan penyakit rickettsia.

2.9

Penatalaksanaan 4,6,7
Pengobatan

kasus

leptospirosis

masih

diperdebatkan.

Sebagian

ahli

mengatakan bahwa pengobatan leptospirosis hanya berguna pada kasus kasus dini
(early stage) sedangkan pada fase ke dua atau fase imunitas (late phase) yang paling
penting adalah perawatan.
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi
keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik

19

dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan


tindakan hemodialisa temporer. Obat pilihan adalah Benzyl Penicillin. Pemberian
antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah
onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penicillin
G, amoxicillin, ampicillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasuskasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau
amoksisilin maupun sephalosporin.
Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun
perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase
leptospiremia). Pada pemberian penisilin dapat muncul reaksi Jarisch Herxherimer
4 sampai 6 jam setelah pemberian intra vena, yang menunjukkan adanya aktifitas anti
leptospira.

Gambar. Reaksi Jarisch Herxherimer


Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi
yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada

20

penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat


sebaiknya dilakukan dialysis.

2.10

Prognosis 1,6
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka

kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%
yang mengalami jaundice berat, datang dengan komplikasi gagal ginjal akut dan
dengan kegagalan pernafasan akut. Leptospirosis selama kehamilan dapat
meningkatkan mortality fetus.

2.11

Pencegahan 3,7
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya

hospes perantara dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang
mempunyai resiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan
berupa pakaian khusus yang dapat melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan
yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang reservoir. Pemberian doksisiklin
200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis
bagi mereka yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat.

21

Penelitian terhadap tentara amerika di hutan panama selama 3 minggu,


ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4-2 % menjadi 0,2%, dan
efikasi pencegahan 95%.
Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoir sudah lama direkomendasikan
tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan, masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.

22

BAB 3
KESIMPULAN
1. Leptospirosis

adalah

suatu

penyakit

zoonosis

yang

disebabkan leptospira.
2. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira
secara incidental.
3. Gejala klinis yang timbul mulai dari yang ringan sampai yang
berat bahkan kematian, bila terlambat mendapat pengobatan.
4. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat
akan mencegah perjalanan penyakit menjadi berat.
5. Pencegahan dini terhadap mereka yang terekspos diharapkan
dapat melindungi mereka dari serangan leptospirosis.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Indrawati Fitri. LEPTOSPIROSIS. KEMAS. Volume 4 / No. 2 /
Januari Juni, 2009.
2. Priyanto Agus, Hadisaputro Soeharyo, Santoso Ludfi, Gasem
Hussein,

Adi

Berpengaruh
Magister

Sakundarno.
Terhadap

Epidemiologi

Faktor-Faktor

Kejadian
Program

Risiko

Leptospirosis.
Pascasarjana

Yang

Program

Universitas

Diponegoro, 2008.
3. Leptospirosis. Center for Food Security and Public Health.
Iowa,

2005.

Available

from

http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/leptospirosis.pdf
4. Leptospirosis. Dinas Kesehatan Pemerintah Kota
Tasikmalaya.

Available

from

URL:

http://dinkes.tasikmalayakota.go.id/index.php/informasipenyakit/199-leptospirosis.html
5. Widodo Judarwanto. Leptospirosis pada Manusia. Allergy
Behaviour Clinic, Picky Eaters Clinic (Klinik Kesulitan Makan)
Rumah Sakit Bunda. Jakarta, 2009.
6. Maha Masri S. Gejala Klinis dan Pengobatan Leptospirosis.
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Cermin
Dunia Kedokteran No.152. Jakarta, 2006.
7. The Leptospirosis Information Center, 2004 2009. Available
from URL : http://www.leptospirosis.org/

24

Anda mungkin juga menyukai