Anda di halaman 1dari 46

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penyakit Paru Obstruktif Kronik


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang dikenal dengan

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) adalah penyakit yang


dapat dicegah dan diobati, ditandaidengan hambatan aliran udara napas
yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik
di saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas yang beracun /
berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi terhadap derajat
berat penyakit. Progresif artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup
dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun.Dalam
perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Gejala utama
PPOK adalah sesak napas,batuk kronis atau produksi dahak danriwayat
terpapar dengan faktor resiko (PDPI, 2011 dan GOLD, 2011).
Gambaran khas PPOK adalah adanya obstruksi saluran napas
yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas kecil dan destruksi
alveoli.Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan, hingga berat.Gejala bisa tidak tampak sampai kira-kira 10
tahun sejak awal merokok. Dimulai dengan sesak napas ringan dan batuk
sesekali. Sejalan dengan progresifitas penyakit, gejalanya semakin lama
semakin berat. Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan sampai
kelainan jelas, berupa tanda obstruksi dan tanda inflasi paru. Diagnosis
PPOK ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

penunjang. Pemeriksaan faal paru merupakan kunci dari diagnosis PPOK


(PDPI, 2010).
Spirometri dapat dengan akurat digunakan untuk mendiagnosis
PPOK dan menilai derajat obstruksi saluran napas. Spirometri menjadi
gold standard untuk mendiagnosa PPOK. Pada pengukuran spirometri
penderita PPOK, didapat penurunan volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP)
VEP1/KVP

kurang dari 70% dari nilai prediksi.

dan nilai

Foto toraks tidak

direkomendasikan untuk mendiagnosis PPOK tetapi dapat digunakan


untuk menyingkirkan penyakit lain yang juga dapat menimbulkan gejala
obstruksi saluran napas ( TB, Bronkiektasis, kanker paru, dan lain-lain)
(PDPI, 2010 dan GOLD, 2009) .
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (GOLD, 2011)
GOLD 2011
Faal paru

GOLD1:

VEP1 80% prediksi

PPOK Ringan

VEP1 / KVP < 70%

GOLD 2:

50% < VEP1< 80% prediksi

PPOK Sedang

VEP1 / KVP < 70%

GOLD 3 :

30% < VEP1< 50% Prediksi

PPOK Berat

VEP1 / KVP < 70%

GOLD 4 :

VEP1< 30% prediksi

PPOK Sangat Berat

VEP1/ KVP < 70%

VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa Detik 1


KVP = Kapasiti Vital Paksa

Panduan mengenai derajat / klasifikasi PPOK telah dikeluarkan


oleh beberapa institusi seperti American Thoracic Society (ATS),

Universitas Sumatera Utara

European Respiratory Society(ERS), British Thoracic Society ( BTS ),


Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease ( GOLD ) dan oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Ke lima panduan tersebut
hanya mempunyai perbedaan yang sedikit, kesemuanya berdasarkan
rasio VEP1/KVP dan nilai VEP1.

BTS, ATS, GOLD dan PDPI

merekomendasikan nilai absolut dari rasio VEP1/KVP harus kurang dari


70% sedangkan ERS merekomendasikan VEP1/KVP kurang dari 88%
untuk mendiagnosis PPOK. Derajat keparahan PPOK ditentukan oleh nilai
VEP1 yang sedikit berbeda antara panduan yang ada.

2.1.1 Epidemiologi
Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi
pada setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di
Amerika dan Eropa berkisar

5 - 9% pada individu usia > 45 tahun

(Wiyono, 2009). Data penelitian lain menunjukkan prevalens PPOK


bervariasi dari 7,8% - 32,1% dibeberapa kota Amerika Latin. Prevalensi
PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3% yang terendah 3,5% di Hongkong
dan Singapura dan tertinggi di 6,7% di Vietnam (GOLD, 2007).

Untuk

Indonesia, penelitian COPD working group tahun 2002 di 12 negara Asia


Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK Indonesia sebesar 5,6%
(Regional COPD working Group, 2003).
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan
PPOK.Pada

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma,

bronkitis kronik dan emfisema

menduduki peringkat ke 5 sebagai

Universitas Sumatera Utara

penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT


Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis
kronik dan emfisema menduduki peringkat ke

6 dari 10 penyebab

tersering kematian di Indonesia (PDPI, 2003). Data kunjungan pasien di


RS.H.Adam

Malik

dan

RS.Tembakau

Deli

Medan

menunjukkan

kecenderungan peningkatan kasus PPOK. Pada tahun 2009 proporsi


pasien PPOK yang dirawat inap di bagian paru adalah 3,55% dari seluruh
pasien yang dirawat inap di RSUP.H.Adam Malik Medan. Sementara
proporsi pasien yang dirawat inap dengan diagnosis PPOK adalah
19,82% dari seluruh pasien yang dirawat inap di bagian paru. Distribusi
proporsi pasien antara lain usia > 60 tahun 60,2%, Laki-laki 50%, suku
batak 61,4% dengan riwayat merokok bekas perokok 35,2%, perokok 42%
dan rerata Indeks Brinkman 431,18 (Candly, 2010).
PPOK merupakan penyebab utama meningkatnya morbiditas dan
mortalitas dan mempengaruhi beban ekonomi dan sosial di seluruh dunia.
PPOK mengenai 16 juta orang di Amerika Serikat, lebih dari 2,5 juta orang
Italia, lebih dari 30 juta diseluruh dunia dan menyebabkan 2,74 juta
kematian pada tahun 2000. Total biaya akibat keadaan ini lebih dari 30
juta milyar dolar di Amerika Serikat (Raherison, 2009 dan Viegi, 2007).
WHO memperkirakan pada tahun 2020 akan ada 3 juta angka kematian
dan beban PPOK pada masyarakat akan menduduki rangking ke-3
meningkat dari sebelumnya rangking ke

12 pada tahun 1990 (GOLD,

2009). Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut, yaitu


kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %),

Universitas Sumatera Utara

pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk (dari 54


tahun pada tahun 1960-an menjadi 63

tahun pada tahun 1990-an),

industrialisasi dan polusi udara (terutama di kota besar, di lokasi industri,


dan di pertambangan) (PDPI, 2003).
Data yang ada mengenai prevalensi dan morbiditas PPOK
diperkirakan dibawah dari angka yang sebenarnya dikarenakan PPOK
tidak selalu dikenal dan didiagnosa sebelum tanda klinik muncul.Data
tersebut juga bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya.Pada
tahun 1990 PPOK merupakan penyebab ke 12 hilangnya Disability
Adjusted Life Years (DALYs). Diperkirakan pada tahun 2020 PPOK
menduduki urutan kelima

hilangnya DALYs. Sebagai pengingat

pentingnya masalah PPOK, WHO menetapkan hari PPOK sedunia


(COPD day) diperingati setiap tanggal 18 November (WHO, 2010).

2.1.2 Etiologi dan Patognesis


Etiologi
Faktor risiko penyebab terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik
antara lain, yaitu :
2.1.2.1 Merokok
Lebih dari 10 juta batang rokok dihisap setiap menit, setiap hari
diseluruh dunia oleh 1 milyar laki-laki dan 250 juta perempuan. Sekitar
900 juta (84%) perokok di dunia hidup di negara berkembang termasuk
Indonesia (WHO, 2009). Indonesia menduduki urutan ketiga di dunia
setelah Cina dan India sebagai Negara

dengan jumlah perokok

Universitas Sumatera Utara

terbanyak. Sebanyak 65 juta penduduk Indonesia (28%) adalah perokok


yang artinya setiap 4 orang Indonesia terdapat seorang perokok (Rasmin,
2008). Jumlah penduduk Indonesia usia> 15 tahun yang merokok
meningkat dari tahun ke tahun. Data survey Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) tahun 1995 menunjukkan

26,9% populasi, tahun 2001

sebanyak 31,5% populasi, tahun 2003 sebanyak 31,6% dan terakhir tahun
2005 menjadi 35,4% populasi. Prevalensi perokok laki-laki di Indonesia
saat ini diperkirakan 69,04% dan perempuan sebesar 4,83% (Wiyono,
2009).
Merokok terbukti menimbulkan berbagai efek kesehatan, diperkirakan
sekitar 50 masalah kesehatan dapat timbul dan sekitar 20 masalah
kesehatan berakibat fatal.Rokok menyebabkan 1 dari 10 kematian orang
dewasa di seluruh dunia. Data WHO tahun 2008 menunjukkan rokok
menyebabkan kematian 5,4 juta setahun (1 kematian setiap 6,5 detik).
Angka kematian oleh rokok ini jauh lebih besar dari total kematian
manusia akibat HIV/AIDS, tuberkulosis dan malaria. Rokok terbukti
merupakan faktor risiko dari 6 diantara 8 penyebab kematian tertinggi di
dunia (WHO, 2008). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan merokok
sebagai penyebab 3 kematian utama yaitu kanker paru, jantung koroner,
dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Susanto, 2009).
Sampai sejauh ini faktor utama penyebab PPOK adalah merokok,
diyakini sebagai penyebab hingga 85 - 90% dari semua penderita PPOK
laki-laki di zaman Industri (Lange, 1992). Penelitian epidemiologi telah
banyak

menilai hubungan ini. Hubungan tersebut dibuktikan baik dari

Universitas Sumatera Utara

penelitian cross sectional maupun longitudinal dan efek dari merokok ada
pada

kasus

yang

2003).Ditemukan

ringan
adanya

hingga
obstruksi

kasus

yang

ringan

berat

(Vestbo,

jalan napas

dan

perkembangan yang lambat dari faal paru pada remaja Amerika yang
merokok dan ini sesuai dengan penelitian lain yang

menunjukkan

adanya perlambatan perkembangan dari VEP1 pada perokok kalangan


remaja dengan gejala pernapasan (Gold, 1996).
Walaupun perkembangan dari faal paru hanya melambat 1 - 2%
secara rata-rata, tapi variasinya besar, dan ini mengindikasikan bahwa
remaja yang rentan akan mengalami gangguan perkembangan yang
nyata karena merokok. Efek merokok pada orang dewasa terhadap
penurunan VEP1 sangat jelas adanya.Pada kebanyakan penelitian
longitudinal menunjukkan adanya penurunan VEP1 pada laki-laki perokok
berkisar dari 45 90 ml pertahun, sedangkan pada orang normal 30 ml
pertahun. Dan data epidemiologi perokok > 10 bungkus pertahun

( > 10

pack-year) atau sama dengan >200 nilai Indeks Brinkman dan berumur >
40 tahun adalah kelompok beresiko untuk terjadi PPOK (Raherison .,
2009). Isu yang paling menarik perihal merokok adalah adanya
kerentanan. Penelitian tentang PPOK ditantang oleh kenyataan bahwa
hanya 15 20% dari perokok

rentan yang akan mengalami efek

merugikan dari merokok terhadap penurunan VEP1. Hal ini membuktikan


walaupun demikian pentingnya tentang pengaruh merokok, namun
faktorgenetik

disini juga ikut berperan terhadap terjadinya penurunan

VEP1 yang signifikan (Vestbo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.2 Faktor Lingkungan


Diperkirakan 20 - 30% dari seluruh masalah respirasi disebabkan
oleh polusi udara (Haq, 2002). Hampir setengah penduduk dunia saat ini
hidup di daerah atau dekat daerah dengan kualitas udara yang buruk
(FIRS, 2010). Selama dua puluh lima tahun terakhir, polusi udara
meningkat dengan pesat sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang
berdampak pada energi lebih banyak. Penggunaan bahan bakar yang
banyak mengandung sulfur, penggunaan bahan bakar bertimbal, proses
pembakaran yang tidak sempurna, kepadatan lalu lintas, buruknya
perawatan kenderaan bermotor dan keadaan jalan raya memperburuk
keadaan. Polusi udara menjadi masalah penting karena dampaknya yang
berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup (United Nations
Environment Programme, 2000).
Polusi udara di kota-kota besar asia dengan penduduk diatas 10
juta jiwa seperti New Delhi, Beijing dan Jakarta semakin parah disebabkan
oleh efek akumulasi pertumbuhan penduduk, industrilisasi, peningkatan
penggunaan kenderaan. Efek kesehatan dapat timbul akibat polusi udara
tersebut. Yang lebih penting untuk diperhatikan adalah polusi udara dalam
ruangan (PUDR). Risiko PUDR jauh lebih berbahaya dibandingkan
dengan polusi udara luar ruangan (PULR). World Health Organization
(WHO) menyatakan bahwa PUDR 1000 kali lebih dapat mencapai paru
dibandingkan PULR. Polusi udara dalam ruangan bukan saja terjadi di
pabrik - pabrik dan di ruangan perkantoran di perkotaan tetapi justru

Universitas Sumatera Utara

banyak terjadi di desa - desa yang masih mengandalkan pembakaran


kayu, arang, sekam dan minyak untuk memasak. Di negara-negara
berkembang, lebih dari 1 miliar orang yang masih hidup dengan
pembakaran dari kayu atau bahan bakar biomassa lain tanpa cerobong
asap yang memadai di rumahnya (Dawud, 2004). Dampak kesehatan
akibat polusi udara yang umum dijumpai adalah ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan Akut), Bronkhitis, Asma, PPOK dan gangguan pernapasan
lain (Haq, 2002).
Polusi

udara

yang

menahun

suatu

faktor

resiko

yang

meningkatkan berkembangnya obstruksi jalan napas atau penurunan nilai


VEP1 pada remaja umur 10 hingga 18 tahun. Seperti yang dilaporkan oleh
Gauderman tentang efek polusi udara terhadap

faal paru dan

mekanisme ini dapat meningkatkan resiko terjadinya PPOK saat dewasa


(Gauderman, 2004).
Dari penelitian kohort yang dilakukan terhadap penderita PPOK
disimpulkan bahwa menghirup bahan iritan dalam waktu yang lama akan
meningkatkan resiko kematian pada orang yang rentan terjadinya PPOK
dan

efeknya

meningkat

dengan

meningkatnya

waktu

terekspos

(Zanobetti, 2008).

2.1.2.3 Genetik
Faktor genetik dari PPOK dapat muncul jika ada interaksi antara suatu
genetik tertentu yang berinteraksi dengan lingkungan yaitu antara
merokok dan gen yang rentan. Laporan kasus adanya keluarga yang

Universitas Sumatera Utara

menderita PPOK telah ada dilaporkan sejak tahun 1950-an. Namun yang
menarik tentang faktor genetik pada PPOK berkembang secara luas sejak
ditemukannya defisiensi berat dari alfa-1-antitripsin

pada tahun 1963

yang kemudian dikenal sebagai faktor genetik terpenting sebagai


penyebab PPOK (Silverman, 2002).

Tabel 2. Kandidat gen berkaitan dengan kejadian PPOK (Wan, 2009)


Gen

Varian

Matrix metalloproteinase 9
(MMP 9)
Microsomalepoxidehydrolase
(EPHX1)

rs 3918242(C-1562 T)
rs 1051740(T 113 C)

Heme oxygenase 1
(HMOX1)
Glutathione S-transferase P1
(GST P1)

rs 1695(A 105 G)

Vitamin D binding protein


2-Adrenergic receptor
(ADRB2)

rs 1042713(A 16 G)

TNF- (TNF)

rs 1800629(G 308 A)

Transforming growth factor1(TGFB1)


Transforming growth factor-
receptor-3 (TGFBR3)

Beberapa kandidat gen yang berhubungan dengan kerentanan


terhadap timbulnya

PPOK selain defisiensi alfa-1-antitripsin antara lain

Matriks metalloproteinase 9 (MMP 9),Microsomal epoxide hydrolase


(EPHX1), Heme oxygenase 1 (HMOX1), Glutathione S-transferase

Universitas Sumatera Utara

P1(GST P1), Vitamin D binding protein, 2-Adrenergic receptor (ADRB2) ,


TNF dan Transforming growth factor-1(TGFB1) (Wan, 2009).Sejak
tahun

1963

hingga

saat

ini,

defisiensi

alfa-1-antitripsin(A1ATD)

diidentifikasi sebagai faktor risiko genetik untuk PPOK.Antitripsin, adalah


suatu inhibitor protease serin yang paling banyak dalam tubuh, dikodekan
oleh SERPINA1 gen pada kromosom 14. Suatu mutasi missense yang
merupakan hasil dalam substitusi asam glutamat untuk lisin pada posisi
asam amino 342.Defisiensi Alfa1-antitripsin (A1ATD) adalah kondisi yang
relatif jarangdan hanya dijumpai pada 1 - 2% dari totalkeseluruhan kasus
PPOK(Brantly, 1988). Hasil penelitian terhadap variasi nilai VEP1 pada
1529 orang kembar non perokok antara umur 18-84 tahun, disimpulkan
bahwa gen adalah pengaruh utama, walaupun pengaruh kuat genetik ini
sangat dimodifikasi oleh interaksinya dengan merokok (Zhai, 2007).
Peran Polimorfisme gen TNF dengan kejadian PPOK didasari dan
dikaitkan dari penelitian

Louis (1998), Braun(1996),

Krouger (1997),

Wilson(1997) dan Wu(1997) yangmelaporkan tentang peningkatan


aktivitas transkripsi gen TNF yang dikaitkan dengan alel -308 diberbagai
gangguan. Higuchi (1998) melaporkan bahwa TNF merupakan sebuah
ekspresi dari mononuklear darah perifer sel dan melaporkan adanya alel
857T

dan

alel

1031C

yang

berhubungan

dengan

peningkatan

transkripsional aktivitas gen TNF. Udalova(2000) melaporkan tentang


adanya alel 863A Tumor Nekrosis Faktor. Sementara alel -238A yang
dilaporkan oleh Huizinga(1997), Pociot (1995) dan Hajeer(2000) juga
menunjukkan hasil yang beragam berkaitan dengan TNF dan produksi

Universitas Sumatera Utara

protein. Hubungan polimorfisme gen TNF dengan kejadian PPOK telah


dibuktikan pada banyak penelitian namun terkadang menunjukkan hasil
yang bertentangan.
Data terakhir dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu
metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada
4 yang secara

signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya

PPOK yaitu GSTM1 null variant, rs18000470 TGFB1, rs1799896SOD3


dan rs1800629 TNF( -308 TNF).

Patogenesis
Paradigma terkini tentang patogenesis dari PPOK
hambatan aliran udara napas

kronik

adalah bahwa

dihasilkan oleh suatu respon

inflamasi abnormal dari partikel dan gas yang terhirup masuk ke saluran
napas, dimana reaksi inflamasi yang abnormal ini dapat juga di deteksi
pada sirkulasi sistemik. Banyak penelitian menemukan bahwa respon
inflamasi paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan
peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang didominasi
oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien
B4, IL-8 dan TNF- dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh
inhalasi asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel inflamasi. Peningkatan
jumlah limfosit T yang didomisasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada
jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal( Agusti, 2007).
Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya

akan

melepaskan netrofil, IL8 dan TNF yang kembali menstimulasi makrofag

Universitas Sumatera Utara

dan netrofil mengeluarkan zat-zat protease seperti netrofil elastase,


capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang merusak dinding
alveoli, jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimuli
terjadinya hipersekresi mukus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel
di saluran pernapasan untuk mengaktifkan T limfosit khususnya CD8
yang dapat langsung membuat kerusakan pada dinding alveoli dan juga
dengan mengeluarkan berbagai macam mediator inflamasi, salah satunya
TNF. Sel epitel yang terpajan asap rokok akan menyebabkan
pembentukan fibroblas meningkat sehingga menyebabkan terjadinya
fibrosis.

Fibroblas akan diaktifasi oleh Growth Factor yang dilepaskan

oleh makrofag dan sel epitel. Enzim-enzim ini pada kondisi normal akan
diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1 antitripsin, SLPI dan
Tissue Inhibitor Metalo Protease (TIMP).Karakteristik PPOK adalah
peradangan kronik mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai
struktur vaskular pulmoner. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan
makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan netrofil. Sel-sel radang yang
teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4,
IL8, TNF dan lain-lain

yang mampu merusak struktur paru dan atau

mempertahankan inflamasi netrofilik. Selain proses inflamasi terdapat 2


proses lain yang diduga berperan dalam patogenesis PPOK yaitu
keseimbangan proteinase antiproteinase dan keseimbangan beban
oksidan dan antioksidan (Rennard, 2002).
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran napas
besar, saluran napas kecil, parenkim paru dan vaskular pulmoner.

Sel

Universitas Sumatera Utara

inflamasi menginfiltrasi permukaan epitel saluran

napas sentral,

mengakibatkan perubahan epitel menjadi squamous metaplasia. Terjadi


pembesaran kelenjar mukus dan peningkatan sel goblet. Perubahan
tersebut mengakibatkan terjadi hipersekresi mukus. Perubahan pada
saluran napas kecil

akibat inflamasi menyebabkan airway remodelling

sehingga menyempitkan lumen saluran napas yang nonreversibel (PDPI,


2011).
Pada

PPOK

dinding

antara

sakus

alveoli

kehilangan

kemampuannya untuk meregang dan mengempis. Adanya kerusakan


jaringan penyokong dan serabut elastin akan meningkatkan compliance
jaringan dan mengurangi elastisitas pada ekspirasi. Elastisitas dari
jaringan paru yang menghilang, akan menyebabkan peningkatan volume
residu, volume gas total, penurunan kapasitas inspirasi, hiperinflasi paru
dan udara yang terperangkap dalam sakus alveoli (gas trapping ) yang
mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida dan menyebabkan
auto PEEP (Positive End Expiratory Pressure). Hal ini juga mengakibatkan
terjadinya obstruksi dari aliran udara. Jadi pada PPOK adanya obstruksi
saluran napas selain disebabkan oleh penyempitan saluran napas kecil
juga akibat destruksi alveoli dimana terjadi airtrapping dan hiperinflasi.
Berbagai

perubahan

patologis

menyebabkan hipersekresi mukus

yang

terjadi

pada

PPOK

dan disfungsi silia mengakibatkan

batuk kronik dan produksi sputum. Gejala ini dapat berlangsung bertahuntahun sebelum timbul gejala lainnya ataupun gangguan fisiologis. Limitasi
aliran napas ireversibel yang diukur dengan spirometri merupakan

Universitas Sumatera Utara

perubahan fisiologis utama pada PPOK. Destruksi dinding alveoli akan


menyebabkan gangguan patensi saluran napas kecil, namun hal ini hanya
memegang peranan kecil pada patofisiologi PPOK (PDPI, 2011).
Pada PPOK stadium lanjut, terjadi obstruksi saluran napas perifer
dan kelainan pembuluh darah paru yang akan menyebabkan gangguan
pertukaran gas sehingga terjadi hipoksemia dan akhirnya hiperkapnia.
Komplikasi kardiovaskuler PPOK berupa hipertensi pulmoner dan kor
pulmonal merupakan hal yang dihubungkan dengan prognosis yang
buruk. Obstruksi jalan napas merupakan yang paling menonjol dan paling
sukar

ditanggulangi

oleh

karena

umumnya

menunjukkan

tingkat

perjalanan penyakit yang lanjut, irreversibel dan progresif. Penekanan


terapi terhadap obstruksi jalan napas merupakan masalah pengobatan
yang terpenting, oleh sebab itu mekanisme obstruksi jalan napas pada
PPOK perlu dipahami secara baik (PDPI, 2011).
Mekanisme obstruksi saluran napas adalah obstruksi oleh sekret
pada saluran napas akibat produksi sekret yang berlebihan disertai
penebalan kelenjar-kelenjar, submukosa, secara potensial merupakan
komponen obstruksi saluran napas yang reversibel. Reaksi oksidasi stress
dari asap rokok atau dari sel inflamasi memiliki beberapa efek antara lain :
menurunkan aktivitas dari antiprotease, mengaktivasi Nuklear factor kB,
meningkatkan

sekresi

sitokin

IL8,

meningkatkan

produksi

TNF,

meningkatkan isoprotanase yang berperan dalam bronkokontriksi dan


kebocoran

plasma

dan

efek

langsung

terhadap

saluran

napas

(bronkokontriksi) (GOLD, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Faktor Pejamu
Mekanisme
melipatgandakan

Asap rokok
Partikel bahaya

Anti oksidan

Anti protease

Inflamasi Paru
Protease

Oksidasi stress
Patologi
PPOK

mekanisme
perbaikan

Gambar 1 : Patogenesis Terjadinya PPOK (GOLD, 2009)

Yang menjadi dasar dari patogenesis PPOK adalah sejauh mana


host respon

(respon pejamu)

dari seorang perokok terhadap faktor

pajanan asap rokok. Apakah terjadi amplifikasi dari respon inflamasi,


stress oksidasi atau proteinase yang dapat menyebabkan

kerusakan

pada PPOK atau tidak terjadi amplifikasi sehingga antioksidan dan


antiproteinase dapat berperan menghambat terjadinya PPOK (gambar 1).
Patogenesis PPOK sangatlah kompleks, dan hingga mekanisme
yang terlibat menjadi lebih jelas pun masih sulit dipahami mengapa
hanya 20% dari perokok yang berkembang menjadi PPOK. Seorang
perokok pasif dapat

berkembang menjadi penderita

PPOK,

tetapi

seorang perokok aktif berat tidak menjadi penderita PPOK. Walaupun


kemajuan

sudah dibuat dalam memahami patogenesis PPOK, namun

masih belum jelas mengapa hanya sedikit perokok yang berkembang


menjadi PPOK. Yang menjadi

dasar dari patogenesis PPOK adalah

Universitas Sumatera Utara

respon dari hostatau pejamu (perokok) terhadap faktor risiko dari


lingkungan (asap rokok). Efek utama dari respon ini telah digambarkan
sebagai inflamasi yang abnormal, walaupun berbagai mekanisme lain
yang terlibat masih belum jelas (GOLD, 2009).
Lingkungan / gas
beracun (rokok)

Faktor Host
(genetik)

Kerusakan
jaringan

Inflamasi
abnormal

Stress
oksidasi

Perbaikan jaringan
abnormal
(remodelling)

Gambar 2 : Skematik patogenesis PPOK (Siafakas, 2003)

Secara skematik patogenesis PPOK diilustrasikan seperti pada


gambar 2 bahwa: asap rokok dan host respon mempunyai peranan yang
sama terhadap kejadian stress oksidatif, inflamasi, kerusakan jaringan dan
remodeling(Siafakas, 2003).
Suatu epidemiologi model
waktu

pemaparan

telah dibuat sebagai penekanan terhadap

asap rokok (sebelum lahir, selama perkembangan

paru, dan lain-lain). Ada juga bukti bahwa infkesi virus adenoviral pada
awal kehidupan

dapat

perokok yang rentan.

menjadi

faktor

Hiperesponsif dari

penting

untuk mencirikan

saluran napas gagal untuk

dapat dijelaskan ke gambaran umumnya dan masih menjadi suatu topik


perdebatan. Perbedaan nutrisi, seperti vitamin atau minyak ikan dapat
berperan dalam menyiapkan pertahanan terhadap efek stress oksidasi

Universitas Sumatera Utara

tetapi tidak

dapat secara lengkap dijelaskan terhadap keberadaan

kerentanan seseorang.Perbedaan genetik menjadi

parameter yang

terbaik untuk mengindentifikasi perokok yang rentan. Pemahaman dasar


genetik dari

PPOK

dapat mengarahkan ke metoda pencegahan dan

pengobatan yang lebih baik dimasa yang akan datang (Siafakas, 2003).

2.2. Respon Inflamasi yang terjadi pada Penyakit Paru Obstruktif


Kronik
Inflamasi adalah merupakan bagian dari respon imunitas, dimana
proses perbaikan dimulai ketika proses inflamasi terjadi di paru. Mediator
inflamasi diketahui tidak hanya memodulasi terjadinya respon inflamasi
tetapi diyakini mempunyai peranan yang penting didalam regulasi
perbaikan. Mediator inflamasi bekerja secara lokal di sepanjang saluran
napas dengan memberikan modulasi penarikan sel epitel untuk menutupi
defek

yang dihasilkan oleh suatu cedera. Kemampuan dari sel epitel

bermigrasi untuk menutupi defek juga dimodulasi oleh komponen yang


ada dalam lingkungan inflamasi yang terjadi. Pada PPOK, terjadinya
gangguan fungsi pada saluran napas dan struktur alveoli disebabkan oleh
kerusakan struktur akibat tidak berjalan sempurnanya respon perbaikan
yang efektif, akibat dari terjadinya inflamasi yang terus menerus

atau

kronik (Rennard,1999)
PPOK adalah suatu penyakit inflamasi yang kompleks dimana
melibatkan banyak sel inflamasi yang berbeda jenis dan struktur, yang
semuanya memiliki kemampuan

untuk melepaskan beraneka ragam

Universitas Sumatera Utara

mediator inflamasi (gambar 3 dan 4).

Interaksi antara sel-sel inflamasi

yang terlibat pada PPOK jelas terjadinya. Gambar dibawah menunjukkan


peranan berbagai sel terhadap proses inflamasi

pada PPOK antara lain

: Netrofil, Makrofag, CD8-T Limfosit, Eosinofil, Epitel sel, Sel Endotel dan
Fibroblas yang dapat menimbulkan efek perusakan jaringan paru dan efek
modifikasi dari proses perbaikan

epitel sehingga terjadi remodeling

(Barnes, 2003).

Gambar 3: Sel inflamasi yang berperan pada PPOK (Barnes, 2003)

Mediator inflamasi berasal dari beberapa sel inflamasi di saluran


napas dan mediator-mediator ini yang akan berperan pada kejadian
sejumlah efek inflamasi. Beberapa mediator inflamasi pada Penyakit Paru
Obstruktif Kronik yaitu (Barnes, 2003) :
1. Lipid Mediator : Protanoid, Leukotrin, Platelet Activating factor
2. Reactive Oxygen Species
3. Nitric Oxide
4. Peptide Mediator: Endotelin, Bradikinin, Tachykinin, Komplemen
5. Kemokin : IL 8, GRO, GRO, MCP 1, MIP-1
6. Sitokin : TNF, IL 1, IL 6, IL 9 , GM-CSF, IL 10, IL 12, IL 13, IL 17 dan

Universitas Sumatera Utara

Interferon gamma
7. Growth Factor : TGF, EGF
8. Protease : Neutrofil elastase,Cathepsin, Protease 3, MMPs

Gambar 4 : Inflamasi yang kompleks pada PPOK (Barnes, 2003)

Inflamasi pada PPOK sangat kompleks, disertai dengan banyak aktivasi


inflamasi dan struktur sel yang melepaskan beragam mediator, termasuk
mediator lipid seperti LTB4, yang kemoatraktan terhadap netrofil; kemokin
seperti MCP1 dan MIP1a, yang menarik monosit; IL8 dan GRO yang
menarik monosit dan netrofil; IP 10 yang menarik CD 8, ROS dan NO; GM
CSF yang akan memperpanjang umur netrofil; TNF yang akan melipat
gandakan inflamasi dengan mengaktifkan berbagai gen inflamasi dan
terhadap timbulnya beberapa efek sistemik dari penyakit; endotelin dan
TGF yang dapat menginduksi fibrosis.Respon inflamasi ini ditandai
dengan disekresikan berbagai macam sitokin sebagai respon terhadap
terpaan awal dari sel-sel inflamasi, terutama makrofag, netrofil dan T
limfosit yang juga ikut berperan dan teraktivasi di dalam jalan napas, dan
selanjutnya akan menyebarkan kaskade inflamasi. Interaksi antara
inflamasi lokal dan sistemik dalam perkembangan terjadinya obstruksi

Universitas Sumatera Utara

kronik dari jalan napas banyak diminati peneliti, walaupun secara


alamiahnya belum jelas dipahami(Barnes, 2003).
Meningginya kadar dari inflamasi sistemik dapat dipastikan
menggambarkan curahan dari inflamasi lokal pada saluran napas, atau
awal dari respon lokal yang di modifikasi oleh faktor sistemik. Pemahaman
tentang hubungan konsentrasi sistemik seperti sejumlah biomarker
inflamasi dan oksidasi stress terhadap penurunan faal paru dapat
memberikan pengertian yang mendalam terhadap proses yang terjadi di
dalam paru yang menyebabkan obstruksi kronik jalan napas
pemahaman

dan

terhadap hubungan inflamasi sistemik dengan proses di

dalam paru tersebut (Walter, 2008).


Belakangan ini efek sistemik dari PPOK dikatakan kemungkinan
adalah sebagai patobiologi dari sejumlah efek kerusakan terjadi di ekstra
paru (Andreassen, 2003 danAgusti, 2007). Gan (2004)

melakukan

metaanalisis terhadap beberapa penelitian mengenai inflamasi sistemik


dan

hasilnya

mengkonfirmasi

adanya

peningkatan

dari

leukosit,

fibrinogen, C reactive Protein (CRP) , sitokin (IL6) dan Tumor nekrosis


faktor (TNF) pada penderita PPOK stabil. Dan intensitas dari sistemik
inflamasi ini akan meningkat selama kejadian eksaserbasi pada
PPOK(Andreassen, 2003 danAgusti, 2007).

2.3 Tumor Nekrosis Faktor


Tumor Nekrosis Faktor (TNF) adalah suatu protein dengan panjang
233 asam amino. Dahulu dikenal dengan berbagai nama, yaitu cachectin,
necrosin, sitotoksin makrofag atau faktor sitotoksik. TNF termasuk dalam

Universitas Sumatera Utara

jenis sitokin yang merupakan peptida pengatur (regulator) yang dapat


diproduksi oleh hampir semua jenis sel berinti dalam tubuh. Memiliki sel
sasaran dan fungsi yang multipel. Dikelompokkan

dalam mediator

inflamasi yang berfungsi dalam komunikasi antar sel yang bekerja dalam
sistem imun (Baratawidjaja, 2009 dan Subowo,2009).
Bersama dengan IFN gamma, TNF bersifat sitotoksik bagi banyak
jenis sel tumor. TNF pada awalnya dijelaskan sebagai suatu faktor yang
diproduksi

oleh

menyebabkan

stimulasi

hemoragik

endotoksin
nekrosis

terhadap

dari

makrofagsehingga

tumor.TNF

merupakan

proinflamasi sitokin yang kuat dengan pleiotropi dan suatu mediator


penting pada inflamasi.Sitokin adalah mediator berupa peptida yang
fungsinya dapat menurunkan atau meningkatkan respon imun, inflamasi
dan respon tubuh terhadap penyembuhan jaringan yang rusak. Sitokin
merupakan messenger kimia

atau perantara dalam komunikasi

intraseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah (1010

10-15 mol/l dapat merangasang sel sasaran). Dewasa ini lebih dari

100 jenis sitokin yang sudah diketahui. Suatu sitokin bekerjanya seperti
hormon, yaitu melalui reseptor pada permukaan sel sasaran.Adapun kerja
dari sitokin adalah sebagai berikut(Baratawidjaja, 2009):
Langsung:
1. Lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi)
2. Autoregulasi (fungsi autokrin)
3. Terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin)
Tidak langsung:

Universitas Sumatera Utara

1. Menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain atau bekerja sama


dengan sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme)
2. Mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme)

TNF bekerja dengan mengikat kepada dua struktur permukaan sel


reseptor yang berhubungan,yaitu p55 dan p75. Meskipun demikian
reseptor p55 sepertinya bertanggung jawab sebagai mediasi mayoritas
fungsi TNF. Kedua reseptor dapat secara proteolisis terbelah dan
melepaskan dalam bentuk larut, merupakan tanda yang baik untuk
aktifitas TNF (Petrescu, 2010).TNFterbukti juga merupakan modulator
respon imun kuat yang memperantarai induksi molekul adhesi, sitokin lain
dan aktivasi netrofil. TNF yang diproduksi dalam jangka panjang (kronik)
dapat mengakibatkan tissue remodelling. TNF dapat berfungsi sebagai
faktor angiogenesis dan membentuk pembuluh darah baru, dan dapat
berfungsi

sebagai

faktor

pertumbuhan

fibroblast

(FGF)

yang

mengakibatkan pembentukan jaringan ikat. Bila produksi TNF tetap


berlanjut, jaringan-jaringan tersebut dapat merupakan jaringan limfoid
baru dimana berkumpul limfosit B dan T.Ada 2 bentuk TNF, yaitu TNF
dan TNF. TNF diproduksi oleh berbagai jenis sel termasuk makrofag,
sel T, B, NK, astrosit dan Kupfer. Pembentukan terjadi sebagai respon
terhadap rangsangan bakteri, virus dan sitokin, kompleks imun, komponen
komplemen C5a dan reactive oxygen intermediate (ROI). Sebaliknya
TNF disekresi oleh sel T dan teraktivasi,

ia dapat berada pada

permukaan sel bila terikat pada protein transmembran LT beta. Kedua

Universitas Sumatera Utara

protein termasuk keluarga protein yang diantaranya terdapat CD40L,


CD30L dan CD29L. Lokasi TNF, TNF dan LT beta pada region MHC
kromosom 6 dan 17 menimbulkan dugaan bahwa molekul itu bertanggung
jawab atas beberapa efek yang berhubungan dengan MHC. Ada 2 jenis
reseptor TNF yang dapat mengikat TNF dan dengan afinitas kuat.
Walaupun hampir semua jenis sel dapat mengekspresikan reseptor
tersebut, reseptor tipe II (tipe A) terutama diekspresikan oleh sel mieloid,
sedangkan reseptor tipe I (tipe B) diekspresikan oleh berbagai jenis sel.
Ekspresi reseptor diatur oleh vit D3, IL2, GMCSF, dan TNF sendiri.Kini
TNF lebih dianggap sebagai mediator utama dalam radang. Pola
kerusakan jaringan radang mirip dengan kerusakan oleh IL 1, sehingga
TNF dianggap penting dalam proses penyembuhan luka. Walaupun TNF
dalam beberapa aktivitas biologi mirip IL 1, namun ada beberapa
perbedaan dalam mekanisme

pengaturan imun. TNF mempunyai

aktivitas perangsangan yang multipel terhadap limfosit T teraktifkan,


misalnya respon proliferatif limfosit T terhadap antigen, peningkatan
reseptor untuk IL2 dan induksi produksi IFN. Demikian juga imunitas
spesifik terhadap tumor ditingkatkan oleh TNF.TNF dapat meningkatkan
ekspresi antigen MHC kelas I pada fibroblast dan sel endotel.Efek
perlindungan non spesifik terhadap patogen telah dilaporkan pula untuk
TNF.Misalnya aktivitas antivirus dan beberapa parasit (Subowo, 2009).
Sitokin terutama TNF berperan pada inflamasi kronik. Makrofag
yang telah diaktifkan yang melepaskan TNF. Anggota famili glikoprotein
(TNF dan TNF) dilepas oleh sel yang terinfeksi virus dan memberikan

Universitas Sumatera Utara

proteksi anti virus pada sel sekitar. Endotoksin memacu makrofag untuk
memproduksi TNF. Yang pada akhirnya memiliki sifat sitotoksik secara
langsung terhadap beberapa sel tumor tetapi tidak terhadap sel normal.
TNF juga berperan dalam kehilangan material jaringan (seperti membuat
menjadi kurus) yang

merupakan ciri inflamasi kronik.

TNF bekerja

sinergitik dengan IFN dalam inisiasi respon inflamasi kronik. Kedua


sitokin jika bersama-sama menginduksi akan menyebabkan peningkatan
jumlah yang lebih besar dari ICAM 1, E selektin dan MHC1 dibanding jika
masing-masing sitokin bekerja sendiri(Subowo, 2009).
Dampak Tumor Nekrosis Faktor alpha (TNF) secara sistemik antara
lain adalah :
1. Bersama-sama dengan

IL1, TNF mengakibatkan demam karena

TNF dapat berinteraksi dengan sel-sel di daerah hipotalamus.


2. TNF merangsang fagosit mononuklear untuk memproduksi IL1 dan
IL6.
3. Merangsang hepatosit untuk memproduksi protein-protein tertentu
misalnya protein amiloid A.
4. Mengaktifkan

sistem

koagulasi

dengan

merubah

keseimbangan

aktifitas prokoagulan dan antikoagulan pada endotel vaskuler.


5. Menekan aktivitas sterm cell dalam sum-sum tulang. Pemberian TNF
dalam jangka lama berakibat limfopeni dan imunodefisiensi
6. Pemberian TNF jangka panjang juga menyebabkan kaheksia

Universitas Sumatera Utara

Gambar 5 : Peran TNF terhadap proses inflamasi pada PPOK


(Barnes,2003)
Pada gambar 5 diatas dijelaskan TNF berperan penting pada
patogenesis PPOK dan dalam melipatgandakan respon inflamasisecara
lokal di paru, dengan mengaktifkan sel epitel, monosit, makrofag dan
netrofil. Ini dapat menyebabkan emfisema melalui pelepasan proteinase,
termasuk netrofil elastase (NE) dan matriks metalo protease (MMP9) ,
menstimulasi

sekresi mukus dan juga secara sistemik menginduksi

terjadinya apoptosis pada otot skeletal (Barnes, 2003).


Hasil dari efek inflamasi sistemik pada PPOK dapat diukur dari
organ ekstra paru seperti otot skeletal atau secara umum dapat digunakan
komposisi tubuh, berat badan atau pengukuran yang setara lainnya.
Kerusakan otot skeletal dijumpai pada kondisi penyakit kronik seperti
juga PPOK. Mekanisme yang terlibat pada kerusakan otot skeletal adalah
deconditioning, malnutrisi, myopati otot skeletal dan rendahnya

tingkat

sirkulasi hormon anabolik (Andreassen, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Belakangan ini pemeriksaan terhadap biomarker salah satunya


TNF, makin berkembang didalam pemahaman dan memonitor inflamasi
yang terjadi pada PPOK. Dari hasil metaanalisis sekian banyak biomarker
yang ada, hanya 4 yang menunjukkan hubungan yang kuat dengan
perbedaan derajat pada PPOK yaitu netrofil sputum, IL8, CRP dan juga
TNF (Barnes, 2003).

Beberapa sitokin

secara invitro telah terbukti

dijumpai di darah perifer pada orang sehat yang salah satunya adalah
TNF, dan telah terbukti secara signifikan level dari TNF berbeda pada
setiap individu. (Hajeer, 2000). Sitokin TNF memicu produksi intercellular
cell adhesion molecule 1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule 1
(VCAM-1).

Gambar 6. Struktur tersier sitokin TNF


Sudah dibuktikan tentang adanya TNF yang diberikan pada sel epitel
alveoli tipe II akan mengalami peningkatan apoptosis secara bertahap
selang masa kultur, dimana proses tersebut dipicu dengan terekposnya
sel dengan sinar ultraviolet. Ini memberikan kesan bahwa TNF dapat
menginduksi perubahan pada sel alveoli sehingga menyebabkan lebih
rentan mengalami apoptosis dengan berbagai stress. Penelitian lain juga

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan bahwa fibroblas yang diisolasi dari pasien dengan sekret


fibrosis paru adalah faktor yang menginduksi apoptosis dari sel epitel
alveoli. Dijumpainya hal ini membuat kita berhipotesis bahwa TNF juga
berperan penting pada patogenesis perubahan empisema pada pasien
dengan PPOK dengan induksi apoptosis sel alveoli tipe II yang berfungsi
sebagai stem sel untuk memperbaiki alveoli yang rusak (Sakao, 2002).
TNF juga sebagai pengatur utama regulasi dari MMP (Matriks
Metaloproteinase) yang merupakan patogenesis terjadinya PPOK oleh
asap rokok. Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease
berperan

dalam

terjadinya

kelainan

emfisema

meningkatnya degradasi dari matriks ekstraseluler,

ditandai

dengan

airway remodeling

pada bronkitis kronik dan asma dan dengan adanya peningkatan


penumpukan

kollagen.TNF

dapat

mengaktifkan

makrofag

untuk

memproduksi matriks metaloproteinase. Efek ini di inhibisi oleh IL10, yang


juga meningkatkan pelepasan tissue inhibitor metaloproteinase (TIMP1)
pada makrofag orang sehat, tetapi pada perokok IL10 meningkatkan
pelepasan TIMP1 tanpa memodifikasi pelepasan MMP9 dari makrofag
alveoli(Wright, 2007).

2.3.1Gen TNF, Polimorfisme gen TNF dan perannya terhadap


timbulnya PPOK
Regulasi dan produksi TNF disandi oleh Gen TNF yang pada
manusia berada secara berdampingan pada lokus p21.3 kromosom 6
tepatnya terletak pada Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas III

Universitas Sumatera Utara

(De Vries, 2000).

MHC mengakomodasi gen-gen yang memegang

peranan penting dalam fungsi imunologis. Kompleks MHC dikelompokkan


menjadi empat kelas dimana setiap kelas mengandung gen-gen yang
mempunyai karakter berkaitan.
Lokasi paling ujung dekat dengan sentromer merupakan kelas II
yang terdiri dari 17 HLA (human leukocyte antigen). Di sebelahnya
mendekati arah telomere adalah kelas III yang mengkode beberapa
komponen dan sistem komplemen. Sedangkan ujung lain yang paling
dekat dengan telomere adalah kelas I yang mengkode lebih dari 18 gen
yang berhubungan

dengan HLA dan pseudogen. Akhir-akhir ini gen-gen

yang bertanggung jawab terhadap inflamasi dan infeksi yang terletak di


bagian tengah MHC dan berbatasan dengan kelas III telah dikelompokkan
sendiri dan dikategorikan sebagai kelas Ivsepertiterlihatpadagambar7.

Gambar 7. Peta gen major histocompatibility complex (MHC) (Gruen,


1997).Keterangan: Gen TNF terletak pada kelompok kelas IV.

Universitas Sumatera Utara

Gen TNFmempunyai ukuran 3.634 pb (pasang basa) yang


tersebar pada empat ekson dan 7.092 pb yang tersebar pada tiga intron.
Protein prekursor dengan ukuran 230 asam amino ditranslasikan dari
mRNA dengan ukuran 1.585 pb (Gambar 8).
Protein prekursor dengan ukuran 230 asam amino tersebut berupa
protein transmembran dengan berat molekul 25 kDa. Setelah melewati
membran sel yang berupa lipid bilayer, protein tersebut diproses oleh
enzim TNF alpha converting enzyme (TACE) menghasilkan sitokin TNF
fungsional dengan ukuran 157 asam amino dan berat molekul 17 kDa.
Sitokin tersebut stabil dan aktif dalam konformasi saling berikatan
membentuk homotrimer dengan berat molekul 51 kDa (Grana, 2001).

Gambar 8: Proses ekspresi gen TNF (Nedwin, 1985)


Keterangan: Garis menggambarkan intron, sementara
kotak menggambarkan ekson. Kotak putih merupakan
daerah yang tidak ditranslasikan (UTR), kotak bergaris
adalah daerah yang ditranslasikan tetapi hanya terdapat
pada protein prekursor dan kotak gelap merupakan daerah
kodon TNFfungsional

Universitas Sumatera Utara

Meskipun produksi sitokin TNF

dipicu oleh proses inflamasi,

kecepatan produksi TNF dipengaruhi oleh faktor genetik, yaitu adanya


polimorfisme yang terdapat pada gen yang menyandi sitokin tersebut.
Sejauh ini, 2 single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada daerah
promoter gen TNF pada lokasi nukleotida -238 dan -308 dari gen
TNFtranscriptional start site telah ditemukan. Keduanya melibatkan
perubahan nukleotida dari guanine (G) ke adenine (A). Jenis-jenis alelnya
secara

berturut-turut

adalah

TNF-238G/A

dan

TNF-308G/A.

Polimorfisme gen TNF -308 baik yang homozigot (AA) maupun


heterozigot (GA) merupakan faktor risiko terjadinya PPOK (Huang, 1997).
Polimorfisme genTNF pada posisi -238 baik yang homozigot (AA)
maupun heterozigot (GA) berhubungan dengan penurunan aktifitas
transkripsi dan penurunan produksi TNF(Gingo, 2008).
Gen TNF yang memiliki rantai panjang 233 asam amino dan
terdapat pada bagian lengan pendek kromosom 6 p21.3 berada di dalam
kompleks MHC,ini adalah regin yang kejadian polimorfismenya sangat
tinggi. Polimorfisme atau Single Nucleotida Polimorphism (SNP) adalah
suatu variasi urutan nukleotida, atau perubahan
nukleotida pada gen.

Ada

salah satu basa

banyak penelitian yang menunjukkan

polimorfisme gen TNF mempengaruhi tingkat produksi dari TNF.


Perubahan yang terjadi adalah transition basa nukleotida purin Guanin
menjadi basa nukleotida purin Adenin dilokasi -308 (gen TNF -308G/A)
pada promotor region 5 dan merupakan kejadian polimorfisme yang akan
menyebabkan peningkatanproses transkripsi(Hajeer,2000).

Universitas Sumatera Utara

Untuk mendapatkan polimorfisme ini bisa dideteksi dengan metoda


PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RFLP (Restriction Fragment
Length Polymorphism), adapun primer yang digunakan pada penelitian ini
untuk amplifikasi gen dengan PCR yaituprimer ATF-3 (5 GTT CCT TGG
AAGCCA AGA CT 3) dan ATR-1 (5 GTC AGG GGA TGT GGC GTC T 3)
padatahap reaksi pertama dan primer ATF-2 (5 TGG AGG CAA TAG GTT
TTG AGGGCC AT 3 dan ATR-2 (5 TCA TCT GGA GGA AGC CGT A 3)
untuk reaksiPCR kedua (Turyadi, 2006). Produk PCR yang dihasilkan
adalah sebesar 231pb. Dengan tehnik RFLP jika terdapat mutasi maka
akan terdeteksi dengan tidak terpotong (tidak diretriksi).Sedangkan pada
yang normal terpotong menjadi 208pb dan 20pb oleh enzim NcoI. Dan
pada yang heterozigot menjadi tiga pita yaitu 231pb, 208pb dan 20pb.
(Turyadi, 2006).Adapun nomor akses dari gen -308 TNF adalah
rs1800629 (Gingo, 2008).
Sedangkan untuk gen TNF posisi-238 dengan nomor akses
rs361525,perubahan yang terjadi adalah transition basa nukleotida purin
Guanin menjadi basa nukleotida purin Adenin dilokasi -238 (TNF 238G/A) pada promotor region 5 dan merupakan kejadian polimorfisme
yang akan menyebabkan peningkatan proses transkripsi.

Untuk

mendapatkan polimorfisme ini bisa dideteksi dengan metoda PCR


(Polymerase Chain Reaction) dan RFLP, adapun primer yang digunakan
untuk

amplifikasi

gen

dengan

ATCTGGAGGAAGCGGTAGTG-3dan

PCR

yaituforward
reverse

55-

AGAAGACCCCCCTCGGAACC-3. Produk PCR yang dihasilkan adalah

Universitas Sumatera Utara

sebesar 150pb. Dengan tehnik RFLP jika terdapat mutasi maka akan
terdeteksi dengan tidak terpotong (tidak diretriksi). Pada yang normal akan
dikenal dan diretriksi menjadi

130 pb dan 20pb oleh enzim MspI.

Heterozigot akan diretriksi menjadi 150pb, 130pb dan 20pb (Ozhan,


2010).
Faktor yang menyebabkan peningkatan TNFdalam penderita PPOK
tetapi

tidak

pada

perokok

dengan

fungsi

paru

normal

satu

kemungkinannya adalah bahwaekspresi TNF diatur oleh single nucleotide


polimorfisme (SNP) dalam gen. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa
penelitianadanyapeningkatan aktifitas transkripsi gen TNF yang dikaitkan
dengan alel yang-308A, sedangkan pada -238 menyebabkan penurunan
aktifitas trankripsi.Sudah dinyatakan dari beberapa penelitian bahwa
polimorfisme

gen

dari TNF, IL13 promotor gen, vitamin D protein

pengikat, gen yang berhubungan dengan keseimbangan protease dan


antiprotease dan dengan keseimbangan oksidasi dan antioksidan yang
berkaitan dengan kejadian PPOK. Polimorfisme yang terjadi pada satu
gen hanya menempati sebagian kecil risiko relatif dari terjadinya PPOK,
dan sepertinya efek kumulatif dari banyak polimorfisme akan menjadi
penting dalam patogenesisnya. Sebelum hubungan ini secara umum
dapat diterima, semua itu satu-persatu harus dilakukan penelitian secara
seksama dengan

penelitian-penelitian lebih jauh untuk

melihat

hubungan dalam hal ke sukuan dan fenotipe dari PPOK (Teramoto, 2007)
Dari penelitian Louis (1998), Krouger(1997), Wilson (1997), dan
Wu (1997) dilaporkan tentang peningkatan aktivitas transkripsi gen TNF

Universitas Sumatera Utara

yang dikaitkan dengan alel yang -308A diberbagai gangguan. Higuchi


(1998)

melaporkan bahwa TNF merupakan sebuah ekspresi dari

mononuklear darah perifer sel dan melaporkan adanya alel 857T dan alel
1031C yang dikaitkan dengan peningkatan transkripsional aktivitas gen
TNF. Udalova(2000) melaporkan tentang adanya alel

863A

Tumor

Nekrosis Faktor. Sementara alel -238A yang dilaporkan oleh Huizinga


(1997), Pociot (1995), Hajeer(2000) dan Gingo (2008) juga menunjukkan
hasil yang beragam berkaitan dengan TNF dan produksi protein.
Meskipun ini telah dibuktikan dalam studi in vitro, belum semua dari SNP
tersebut

dipelajari pada populasi PPOK dan yang telah diteliti pun

terkadang menunjukkan hasil yang bertentangan.


Produksi TNF menunjukkan variasi yang besar antar individu, hal
ini sudah diketahui terutama dipengaruhi oleh faktor yang diturunkan.
Beberapa polimorfisme genetik yang berhubungan dengan sintesa TNF
sudah ditetapkan pada gen TNF antara lain gen TNF posisi -308 (Huang,
1997), gen TNF posisi -863 (Gingo, 2008), gen TNF posisi -238
(Bayley, 2001) dan beberapa lainnya.
Sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli tentang
pengaruh alel gen TNF-308 G/A dan -238G/Aterhadap kejadian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Sejak Huang(1997) menemukan adanya
polimorfisme

gen TNF-308(G/A)

pada populasi di Taiwan yang

berperan terhadap terjadinya bronkitis kronik. Dan kemudian kembali


dibuktikan polimorfisme nukleotida tunggal ini berhubungan dengan
terjadinya PPOK oleh Sakao(2001), Jiang(2005) dan Hersh (2005).

Universitas Sumatera Utara

Namun hal ini

tidak konsisten dijumpai

keberadaanya, seperti

yang dilaporkan beberapa penelitian Higham(2000), Sandford (2001),


Tanaka(2007) yang dilakukan pada populasi Kaukasus dan oleh Ishi
(2000), Hegab(2005) dan Chierakul(2005) pada populasi Asia, diperoleh
bahwa polimorfisme nekleotida tunggal alel -308G/A TNF tidak berbeda
bermakna antara perokok dengan atau tanpa PPOK. Hu (2007) di Cina
dan Gingo (2008) di Amerika mengkonfirmasi kembali adanya hubungan
polimorfisme nukleotida tunggal alel gen TNF-308G/A dengan PPOK dan
berperan terhadap kerentanan pada seorang perokok.
Gingo (2008) membandingkan 6 variasi polimorfisme TNF
nukleotida tunggal
+487G/A) dan
paling

tinggi

(-1031C/T, -863C/A, -857C/T, -238G/A, -308G/A dan

disimpulkan bahwa alel -308 memiliki odds rasio yang


berhubungan

dengan

analisis

multivariat

dan

juga

berhubungan dengan memburuknya nilai VEP1/KVP dan yang kedua


berhubungan secara bermakna adalah -238 . Dan Gingo

menyatakan

diperlukan penelitian independen yang dilakukan pada populasi Kaukasia


dan populasi non-Kaukasia.Penelitian metaanalisis terhadap sejumlah
penelitian yang dilakukan selama 20 tahun sebelumnya mengenai 20
polimorfisme pada 12 macam gen yang dilakukan oleh

Smoolonska

(2009), salah satu hasilnya menunjukkan bahwa polimorfisme gen TNF


alel -308G/A berlaku pada populasi Asia saja walaupun hal ini ditolak oleh
Teramoto(2001),

dan

disimpulkan

tentang

pentingnya

etnik

pada

identifikasi genetik PPOK.

Universitas Sumatera Utara

Data terakhir dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu


metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada
4 yang secara
PPOK

yaitu

signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya


GSTM1,

rs18000470

TGFB1,

rs1799896SOD3

dan

rs1800629 TNF( -308 TNF).


Selain itu, sekresi interleukin-1 dan e prostaglandin 2 dari subyek
yang berbeda sangatberkorelasi dengan tingkat produksi TNF(Molvig,
1988).Ekspresi TNF dapat diatur pada tingkat transkripsional (Sariban,
1988), dan perbedaan dalam produksi TNF ditentukan pada tingkat
genetik. Telah terbukti dalam studi transfection bahwa alel kurang umum,
TNF , adalah terkait dengan dasar yang lebih tinggi dan menyebabkan
ekspresi (Wilson, 1992 & 1994). Hubungan positif dengan polimorfisme
gen TNF juga ditemukan di beberapa penyakit, seperti malaria serebral
(McGuire, 1994) dan dermatitis herpetiformis (Messer, 1994), ankylosing
spondilitis (Verjans, 1994), artritis rematik (Wilsonet, 1995), dan kolitis
ulserativa (Mansfield, 1994 ).

2.3.2 Teknik pemeriksaan Gen TNF dengan TehnikPCR dan RFLP


Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR merupakan suatu tehnik untuk mengamplikasi segmen DNA
secara invitro dimana prinsip kerjanya mirip dengan proses replikasi
didalam sel (invivo). Tehnik ini pertamakali ditemukan oleh

Kary dan

kawan-kawan pada tahun 1984.

Universitas Sumatera Utara

Amplikasi

DNA

merupakan

tindakan

memperbanyak

jumlah

segmen DNA tertentu dengan pengaturan suhu temperatur yang tepat


dan hanya diperlukan waktu relatif singkat. Segmen DNA yang diharapkan
teramplifikasi dapat dipelajari dan diteliti. Tehnik PCR telah populer
diterapkan dikalangan peneliti sehingga ilmu biologi molekuler tentang
suatu gen dan penyakit berhubungan dengannya berkembang dengan
pesat.PCR mempunyai 3 tahap, yakni denaturasi, penempelan primer
(annealing) dan elongasi (polymerization). Dengan diketahui urutan basa
yang akan diamplifikasi dan ditentukan sepasang primer oligonukleotida
pendek (15-30pb) yang dirancang sesuai urutan nukleotida segmen DNA
yang akan diamplifikasi dari ujung segmen DNA target dengan arah 5ke
3.
PCR merupakan suatu teknik penggandaan untai DNA pada
fragmen tertentu secara in vitro dengan menggunakan enzim DNA
polimerase. Reaksi PCR ada tiga tahapan yaitu denaturasi, annealing,
dan elongasi. Pada tahap denaturasi suhu dinaikkan sehingga satu untai
ganda DNA cetakan akan terdenaturasi menjadi dua untai tunggal.
Selanjutnya pada suhu annealing primer akan menempel pada DNA
cetakan sesuai dengan urutan komplemennya. Penempelan DNA primer
akan diikuti dengan sintesis DNA pada tahap berikutnya yaitu elongasi.
Sehingga pada akhir setiap siklus, satu untai DNA digandakan menjadi
dua untai. Jumlah siklus dalam setiap reaksi PCR biasanya 25 35 siklus.
Waktu yang diperlukan untuk setiap siklus sangat pendek yaitu sekitar 3

Universitas Sumatera Utara

4 menit, sehingga dalam beberapa jam sudah didapat jumlah fragmen


DNA yang diinginkan (Saiki, 1989).
Proses PCR selain DNA cetakan, diperlukan juga enzim DNA
polimerase, sepasang primer (forward dan reverse), dNTP, Mg++ dan
larutan dapar. Primer yang terdiri dari oligonukleotida untai tunggal selain
sebagai pelacak, juga sebagai pembatas fragment untai DNA yang akan
digandakan. DNA yang digunakan dalam reaksi PCR merupakan DNA
hasil isolasi dari sampel sel. Berbagai teknik isolasi DNA telah banyak
dikembangkan dari berbagai jenis sampel, sehingga memungkinkan untuk
mengisolasi DNA dari sampel arsip yang sudah lama disimpan.

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)


Salah satu cara untuk mengenali urutan nukleotida pada titik
tertentu adalah dengan menggunakan teknik RFLP, yaitu teknik
pemotongan DNA pada titik tertentu dengan menggunakan enzim
endonuklease

atau

disebut

juga

sebagai

enzim

restriksi.Enzim

endonuklease merupakan enzim yang diisolasi dari bakteri dan mampu


memotong untaian DNA pada atau dekat dengan urutan nukleotida yang
spesifik untuk setiap jenis enzim. Urutan spesifik tersebut dikenal dengan
nama situs pengenalan atau situs restriksi. Situs pengenalan biasanya
antara empat atau enam nukleotida dan biasanya bersifat palindromik
(Micklos, 1989). Kemampuannya yang unik yaitu memotong DNA hanya
jika ada situs pengenalannya, maka enzim ini banyak digunakan untuk
mendeteksi adanya polimorfisme urutan DNA pada tempat tertentu

Universitas Sumatera Utara

dengan melihat terjadi atau tidaknya pemotongan oleh enzim restriksi.


Teknik RFLP jauh lebih sederhana, murah dan cepat untuk mendeteksi
polimorfisme titik dibandingkan dengan teknik sekuensing DNA, meskipun
teknik sekuensing DNA kadang-kadang masih diperlukan sebagai
konfirmasi

maupun

untuk

mendeteksi

kemungkinan

terjadinya

polimorfisme baru.Polimerisasi DNA (replikasi DNA) hanya dapat dimulai


jika tersedia molekul primer, yaitu suatu molekul yang digunakan untuk
mengawali proses polimerisasi untaian DNA. Selain itu, polimerisasi DNA
juga mutlak memerlukan cetakan (template) yang dapat berupa untaian
DNA. Fungsi primer adalah

menyediakan

ujung 3- OH yang akan

digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses


polimerisasi (Yuwono, 2005).
Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah suatu
tehnik anlisis dengan menggunakan enzim restriksi yang memotong
segmen DNA sehingga menghasilkan panjang fragmen yang spesifik.
Segmen DNA yang akan dianalisis didigesti dengan enzim restriksi ,
hibridisasi dengan probe yang terdiri dari molekul DNA utas tunggal
berkomplemen ke satu atau lebih nukleotida dari fragmen hasil restriksi,
sehingga gambaran

fragmen-fragmen DNA tersebut merupakan profil

DNA bagi setiap individu.Untuk melihat polimorfisme urutan basa suatu


gen dapat digunakan metode RFLPs dimana enzim restriksi akan
memotong DNA pada urutan basa spesifik. Dengan elektroforesis gel
maka hasil PCR dapat dideteksi dengan cara pemisahan asam nukleat
dan protein

menggunakan

muatan listrik elektroda.

Molekul akan

Universitas Sumatera Utara

bergerak melalui alur pori yang dipersiapkan. Gerakan dan kecepatan


molekul tergantung pada kekuatan medan listrik,

ukuran dan bentuk

molekul tersebut. Terlihatnya pita DNA merupakan pewarnaan dari


makromolekul yang terpisah, ditambah sifat hidrofobik dari DNA, kekuatan
ionik dan temperatur dari buffer.

2.4 Hubungan polimorfisme gen TNF dengan PPOK pada berbagai


populasi
Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi
terlebih dahulu perlu dipahami pengertian populasi dalam arti genetika
atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah
sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual,
hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka
terjadi

perkawinan

(interbreeding)

sehingga

masing-masing

akan

memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool), yaitu


sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu didalam
populasi.Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat
diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga
banyaknya masing-masing genotipe tersebut.
PPOK terjadi pada hanya 15 - 20% perokok. Namun, faktor resiko
yang menyebabkan seseorang

perokok rentan untuk menjadi PPOK

masih belum semua dapat ditentukan. Alfa-1-antitripsin defisiensi yang


merupakan data terbaik faktor resiko genetik pada PPOK berjumlah hanya

Universitas Sumatera Utara

1-2% dari seluruh kasus. Faktor lain dari host yang disangkakan terlibat
masih ada 98-99% dari kasus. Salah satu calon gen yang rentan untuk
terjadi PPOK adalah Tumor Nekrosis Faktor (TNF), gen yang dikode untuk
memproses

protein

TNF. Faktor yang menyebabkan meningkatnya

TNF pada perokok yang menderita PPOK dan tidak meningkat pada
perokok

dengan

normal

fungsi

paru

belum

diketahui.

Satu

kemungkinannya bahwa ekspresi TNF diatur oleh adanya Polimorfisme.


Huang(1997) menemukan adanya polimorfisme gen TNF-308G/A
pada populasi di Taiwan, dimana terjadi perubahan basa nukleotida
guanin menjadi adenin pada gen TNF -308, yang berperan terhadap
terjadinya bronkitis kronik, kemudian kembali dibuktikan polimorfisme
nukleotida tunggal ini berhubungan dengan terjadinya PPOK oleh Sakao
(2001), Jiang(2005) dan Hersh(2005). Namun hal ini

tidak konsisten

dijumpai keberadaannya, seperti yang dilaporkan beberapa penelitian


Higham (2000), Sandford (2001), Tanaka (2007) yang dilakukan pada
populasi Kaukasus dan oleh Ishi (2000), Hegab .(2005) dan Chierakul
(2005) pada populasi Asia, diperoleh bahwa polimorfisme
tunggal gen TNF-308G/A tidak berbeda

bermakna

nukleotida

antara perokok

dengan atau tanpa PPOK. Hu(2007) di Cina dan Gingo(2008) di Amerika


mengkonfirmasi kembali adanya hubungan polimorfisme nukleotida
tunggal alel gen TNF-308G/A dengan PPOK dan berperan terhadap
kerentanan pada seorang perokok.
Gingo (2008) meneliti 6 variasi polimorfisme nukleotida tunggal gen
TNF pada populasi kaukasus, disimpulkan bahwa diperlukan penelitian

Universitas Sumatera Utara

independen yang dilakukan pada populasi Kaukasia dan populasi nonKaukasia.Penelitian metaanalisis terhadap sejumlah penelitian yang
dilakukan selama 20 tahun sebelumnya mengenai 20 polimorfisme pada
12 macam gen yang dilakukan oleh

Smoolonska (2009), salah satu

hasilnya menunjukkan bahwa polimorfisme gen TNF alel -308G/A


berlaku pada populasi Asia saja, dan disimpulkan tentang pentingnya
etnik pada identifikasi genetik PPOK.
Data

dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu

metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada


4 yang secara
PPOK

yaitu

signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya


GSTM1,

rs18000470

TGFB1,

rs1799896SOD3

dan

rs1800629 TNF (-308 TNF).


Pada tabel 3 tampak beberapa penelitian polimorfisme yang
dihubungkan dengan PPOK yang dilakukan pada berbagai populasi.
Hasilnya menunjukkan beberapa yang saling bertentangan. Dan hal ini
sangat berkaitan dengan ras populasi penelitian.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3 : Penelitian Polimorfisme TNF yang berhubungan dengan PPOK


(Gingo, 2008)
Suku/Bangsa
Kasus
Kontrol
Hubungan
Analisis
Peneliti
SNP
376

Kaukasus

169

358

Tidak ada

Haplotype
Tidak ada

Kucukaycan

(rs1800750)

Kaukasus

244

248

Tidak ada

Tidak ada

Brooger

Kaukasus

244

248

Tidak ada

Tidak ada

Brooger

308

Asian/japan

88

61

Tidak ada

(rs1800629)

Asian/Japan

106

110

Ada(OR:2,58)

Tidak ada

Sakao

Asian/Japan

53

65

Tidak ada

Tidak ada

Ishi

Asian/Taiwan

42

42

Ada(OR:11,1)

Tidak ada

Huang

Asian/cina

111

97

Ada(OR:5,0)

Tidak ada

Jiang

Rusia

419

303

Ada

Tidak ada

Danilko

Mesir

106

72

Tidak ada

Ada

Hegab

Kaukasus

304

441

Tidak ada

Ada

Hegab

238

Kaukasus

169

358

Tidak ada

Tidak ada

Kucukaycan

(rs361525)

Kaukasus

244

248

Tidak ada

Tidak ada

Brooger

488

Asian/Japan

88

61

Tidak ada

Ada

Hegab

(rs1800610)

Mesir

106

72

Tidak ada

Ada

Hegab

Ada

Hegab

Dan dari hasil penelitian metaanalisis terhadap 6 penelitian


polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang berbeda posisi (-1031C/T, 863C/A, -857C/T, -238G/A, -308G/A dan +487G/A) pada gen Tumor
Nekrosis Faktor hubungannya terhadap PPOK oleh Gingo

(2008),

diperoleh bahwa alel genTNF -308G/A memiliki odds ratio yang lebih
tinggi dibanding yang lainnya (tabel 4).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4 : Analisis univariat dan mutivariat (Gingo, 2008)


Genotip

Analisis Univariat

Analisis multivariate

PPOK vs
Kontrol

Odds ratio
(95% CI)

P value

Odds ratio
(95% CI)

P value

-1031
(CC atau TC vs
TT )

1,0
(0,67 1,6)

0,85

1,1
(0,71 1,8)

0,59

-863
(AA atau CA vs
CC )

1,1
(0,68 1,8)

0,71

1,3
(0,74 2,1)

0,40

-853
(TT atau CT vs
CC)

0,83
(0,48 1,5)

0,52

0,70
(0,39 1,3)

0,24

-238
(AA atau GA vs
GG)

0,56
(0,28 1,1)

0,1

0,40
(0,19 0,86)

0,02

-308
(AA atau GA vs
GG)

1,9
(1,1 3,2)

0,03

1,9
(1,1 3,4)

0,03

+488
(AA atau GA vs
GG)

1,8
(0,78 4,3)

0,17

1,7
(0,71 4,2)

0,23

Universitas Sumatera Utara

2.5

KERANGKA KONSEPTUAL
LINGKUNGAN
Kebiasaan merokok

PEJAMU
Genetik :
Defisiensi 1 anti tripsin

Protein TNF >>>


(Traskripsi gen meningkat)

Polimorfisme Gen :
>27 varian gen
TNF-308G/A

Umur

Makrofag alveoli

Ras

Infeksi berulang

Tempat Kerja

Respon Inflamasi
Abnormal Sal.Nps &Paru

TNF-238G/A

Hiperesponsif sal.nps

Polusi udara
Indoor/Outdoor

Sel epitel sal.nps

TGF
TGF

TNF >>>
IL6
IL8 (NFB)
MCP
LTB4

MHC
Klas II
TCD8

MMP
TIMP

Netrofilnetrofil elastase

Protease dan stress Oksidatif


Destruksi alveoli
Mukus hipersekresi
Fibrosis sal.nps kecil

TANDA
Suara Napas
Vestikuler Melemah

GEJALA
Penyakit Paru Obstruktif kronik
Sesak
Napas

Ekspirasi Memanjang

Wheezing

Nilai Volume Ekspirasi Paksa


Detik Pertama (VEP1)
Nilai Kapasitas Vital Paksa
(KVP)

Keterangan :
= Diteliti
= Variabel tergantung
= Tidak Diteliti = Variabel bebas

Batuk
Berdahak
Aktifitas
terbatas

Universitas Sumatera Utara

2.5

HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis Mayor :
Polimorfisme gen TNF-238G/Adan-308G/Amerupakan faktor risiko
terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Hipotesis Minor :
Adanya hubungan polimorfisme genTNF-238G/Adan -308G/A
dengan tingkat keparahan (penurunan faal paru nilai VEP1) pada
Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai