Anda di halaman 1dari 30

6.

14

HIV/AIDS
6.14.1

Definisi dan Etiologi


HIV, akronim dari Human Immunodeficiency Virus, merupakan penyebab dari AIDS (Acquired Immunodeficiency

Syndrome). Virus HIV ini juga disebut juga sebagai human lymphotropic virus tipe III, lymphadenophaty-associated virus
ataupun lymphadenophaty virus. Apapun namanya, virus HIV merupakan retrovirus. Retrovirus adalah virus RNA yang
mempunyai enzim reverse transcriptase. Dengan menggunakan enzim reverse transcriptase, virus ini menggunakan RNA sebagai
cetakan untuk membuat DNA komplementer yang dapat berintegrasi dengan DNA induk
Sesuai dengan namanya, virus HIV hanya menyerang manusia khususnya sistem kekebalan tubuh manusia yang
melindungi tubuh dari infeksi. Sel imun yang terinfeksi adalah CD4 + sel T, makrofag, dan sel dendritik. CD4 + sel T secara
langsung maupun tidak langsung dihancurkan oleh virus tersebut. Infeksi HIV menyebabkan sistem kekebalan tubuh akan
semakin lemah. Keadaan ini akan membuat orang mudah diserang beberapa jenis penyakit (sindrom) yang kemungkinan tidak
mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Penyakit tersebut disebut sebagai infeksi oportunistik.
Jika seseorang didiagnosis terinfeksi HIV (HIV positif), orang tersebut dapat tetap sehat tanpa gejala klinis sehingga
disebut penyakit HIV tanpa gejala. Setelah timbul gejala, maka disebut sebagai infeksi HIV bergejala atau penyakit HIV lanjutan.
Namun pasien HIV positif tidak langsung didiagnosis menderita AIDS. AIDS itu sendiri merupakan kumpulan gejala dan infeksi
akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Beberapa negara mempunyai kriteria tertentu
dalam mendiagnosis pasien AIDS. Di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, seseorang didiagnosis menderita AIDS
ketika HIV membunuh CD4+ sel T hingga jumlah CD4+ sel T dalam darah kurang dari 200 sel/L darah akibatnya kekebalan
seluler menjadi hilang. Sedangkan di Kanada, orang yang terinfeksi HIV didiagnosis menderita AIDS ketika muncul infeksi
oportunistik.
Tanpa terapi antiretroviral, rata-rata waktu infeksi HIV berubah menjadi penyakit AIDS adalah sekitar 9 hingga 10
tahun dan rata-rata harapan hidup penderita AIDS adalah 9,2 bulan. Bagaimanapun perkembangan klinis masing-masing pasien
bervariasi, mulai dari 2 minggu hingga 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit ini, misalnya
kemampuan tubuh untuk melawan HIV yang bekaitan dengan sistem imun tubuh. Pasien AIDS yang lebih tua mempunyai sistem
imun tubuh yang lebih lemah daripada pasien muda sehingga resiko perkembangan penyakit AIDS menjadi lebih besar. Akses
yang sulit untuk mencapai pelayanan kesehatan dan kehadiran agen infeksi seperti TBC juga dapat memperburuk perkembangan
penyakit. Susunan genetik pasien juga memegang peranan penting dan beberapa orang resisten terhadap beberapa strain HIV.
Individu dengan CCR5-32 homozigot resisten terhadap infeksi beberapa strain HIV. HIV secara genetik sangat bervariasi dan
mempunyai banyak strain sehingga menyebabkan perbedaan laju perkembangan penyakit. Penggunaan terapi antiretroviral
secara aktif akan memperpnjang rata-rata waktu perkembangan penyakit dan waktu harapan hidup pasien.

Gambaran umum hubungan antara multiplikasi HIV dan jumlah CD4 pada infeksi HIV yang tidak diobati.

Jumlah CD4+ T Limfosit (sel/mm)

Keterangan:

HIV RNA kopi per mL plasma

6.14.2 Patogenesis
HIV termasuk golongan retrovirus yang dikenal sebagai lentivirus, atau virus lambat. Ciri-cirinya adalah interval yang
panjang antara infeksi inisial dengan onset timbulnya gejala serius.
Patogenesis infeksi HIV adalah fungsi dari siklus kehidupan virus, lingkungan selular host, dan kuantitas virus pada
individu yang terinfeksi. Faktor-faktor seperti usia, perbedaan genetik antar individu, tingkat virulensi strain virus, dan ko-infeksi
dengan mikroba lain mungkin menyebabkan keparahan penyakit.
Kemungkinan infeksi adalah fungsi di mana jumlah virion HIV infektif dalam plasma yang kontak dengan host sama
banyak dengan jumlah sel yang tersedia pada sisi aktif reseptor CD4. Banyak sel yang mengekspresikan reseptor CD4 rentan
terhadap infeksi HIV, termasuk sel mononuklear fagosit lineage, limfosit T dan B, sel natural killer, sel dendritik, sel stem
hematopoetik, sel endotelial, sel mikrogial pada otak dan sel epitel gastrointestinal.
Respon selular
Sel dengan reseptor CD4 yang terinfeksi HIV menjadi tempat replikasi virus. Sel terinfeksi kemudian melepaskan virion
melalui permukaan sel atau sel yang lisis, yang dapat menginfeksi sel-sel lain. Beberapa virion HIV dibawa dari tempat infeksi
ke limfa di mana sel sistem imun lain menjadi terinfeksi. Sejumlah besar virus dapat terperangkap di sini oleh sel bertentakel
yang disebut Follicular Dendritic Cell (FDC) yang rentan terhadap infeksi namun dapat bertahan untuk waktu yang lama.
Sel T dan CD4 sebagai target utama HIV, dapat terinfeksi ketika bertemu dengan HIV yang terjebak dalam FDC.
Replikasi aktif HIV terjadi pada setiap tahap infeksi. Dalam periode tahunan, saat sejumlah kecil virus terdeteksi dalam darah,
sejumlah signifikan virus terakumulasi dalam sel terinfeksi dan FDC. HIV yang terjebak dalam FDC terus menginfeksi sekalipun
terlindung oleh antibodi. Dapat dilihat bahwa FDC adalah gudang untuk infeksi HIV dan dapat menjelaskan bagaimana
momentum infeksi HIV dapat terjadi.
Walaupun sel T dan CD4 adalah target utama HIV, sel sistem imun lain yang memiliki reseptor CD4 pada permukaannya
juga dapat terinfeksi. Sel berumur panjang yang disebut monosit dan makrofag dapat mengandung sejumlah besar virus tanpa
menjadi mati. Sel T dan CD4 juga adalah gudang yang penting untuk HIV, karena menyebabkan HIV dalam keadaan inaktif dan
stabil. Proses normal imun akan menyebabkan produksi virion HIV.
Di dalam dan sekitar germinal center, meningkatnya produksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF) dan IL-6 dapat
mengaktivasi sel T dan CD4 yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV. Aktivasi menyebabkan sel yang tidak
terinfeksi menjadi lebih mudah terinfeksi dan meningkatkan replikasi HIV pada sel yang terinfeksi. Sekresi sitokin berbanding
terbalik dengan sekresi sel-sel regulasi fungsi normal sistem imun. Sekali terinfeksi, sel T dan CD4 dapat meninggalkan germinal
center dan menginfeksi sel T dan CD4 lain yang berkumpul di daerah limfa di sekitarnya.
Ada beberapa teori tentang bagaimana HIV menghancurkan sel T dan CD4, yaitu:
1.Direct cell killing. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dihancurkan secara langsung ketika sejumlah besar virus diproduksi dan
menembus permukaan sel, merusak membran sel, atau ketika protein viral dan asam nukleat yang tekumpuldalam sel
menganggu sistem selular.
2.Pembentukan syncytia. Sel terinfeksi dapat bergabung dengan sel tetangga yang tidak terinfeksi, membentuk sel raksasa
seperti balon yang disebut syncytia.

3.Apoptosis. Sel T dan CD4 yang terinfeksi dapat terbunuh ketika regulasi selular terganggu oleh protein HIV, yang mungkin
menyebabkan penghancuran sendiri sel yang dikenal sebagai apoptosis.
4.Innocent bystanders. Sel yang tidak terinfeksi dapat mati dengan skenario innocent bystanders. Pertikel HIV dapat berikatan
dengan permukaan sel, menyebabkan sel seakan-akan terinfeksi sehingga sel dihancurkan oleh sel T killer.
Perjalanan Infeksi
Infeksi primer HIV diikuti oleh ledakan viremia di mana virus dengan mudah terdeteksi pada darah peripheral dalam sel
mononuklear dan plasma. Jumlah sel T dan CD4 dalam aliran darah menurun 20-40%. Dua sampai empat minggu setelah
terpapar virus, hingga 70% orang yang terinfeksi HIV mengalami gejala seperti flu yang berhubungan dengan infeksi akut.
Ledakan tersebut diikuti dengan replikasi tingkat rendah ketika sistem imun pasien melawan balik yang menyebabkan penurunan
HIV secara dramatis dengan adanya sel T killer (sel T dan CD8) yang menyerang dan membunuh sel terinfeksi yang
memproduksi virus, dan sel B yang memproduksi antibodi. Sel T dan CD4 pasien dapat meningkat kembali sampai 80-90% yang
menyebabkan pasien terbebas dari gejala yang berhubungan dengan HIV selama bertahun-tahun, walaupun replikasi tingkat
rendah HIV tetap berlangsung dan menghancurkan sistem imun secara terus-menerus. Selama periode tersebut, sistem imun
mencukupi untuk menjaga kekebalan tubuh dan mencegah kebanyakan infeksi.
Fase akhir infeksi HIV terjadi ketika sejumlah signifikan limfosit CD4 telah hancur dan produksi kembali tidak
sebanding. Pasien menunjukkan demam yang berlangsung lama (lebih dari satu bulan) dan penurunan berat badan. Kegagalan
sistem imun mengacu pada manifestasi klinik AIDS.
Perjalanan Tipikal Infeksi HIV
Selama infeksi primer, HIV menyebar luas ke seluruh tubuh, biasanya disertai dengan penurunan drastis sel T dan CD4.
Respon imun terhadap HIV terjadi dengan penurunan jumlah virus dalam tubuh yang dapat terdeteksi, diikuti oleh latensi klinik,
tetapi sel T dan CD4 terus menurun perlahan-lahan sampai di bawah level kritis di mana timbul kemungkinan infeksi
oportunistik.
Perjalanan Menjadi AIDS
Orang yang terinfeksi HIV dapat hidup rata-rata 8-10 tahun setelah infeksi inisial dan sebelum perkembangan gejala klinis
AIDS. Perubahan menjadi AIDS tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, kehamilan, ataupun faktor resiko. Kondisi yang
menentukan AIDS adalah jumlah sel T dan CD4 yang kurang dari 200 sel/mm 3 darah dan adanya infeksi oportunistik tipikal atau
kanker, pneumonia, dan Mycobacterium avium complex. Infeksi oportunistik disebabkan oleh mikroba yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit pada orang sehat. Infeksi biasanya parah dan terkadang fatal karena sistem imun sangat rusak oleh HIV.
Ada beberapa data yang memperkuat dugaan bahwa AIDS disebabkan oleh HIV, diantaranya:
a. HIV dapat diasingkan dengan mudah dari biakan sel T yang berasal dari penderita AIDS, AIDS-related complex (ARC) atau
pembawa virus asimtomatik golongan beresiko tinggi. Semua isolate mempunyai sifat-sifat yang sama dengan sifat-sifat
umum retrovirusnya dan hanya berbeda pada gen daerah ENV, akan tetapi memiliki prinsip p25 yang sama.
b.Virus mengadakan replikasi secara eksklusif dalam subset limfosit T yaitu sel-sel limfosit yang sama dengan yang hilang atau
berkurang pada AIDS. HIV memiliki tropisma selektif khusus terhadap limfosit T-helper dan dapat dideteksi dengan jalan
fraksinasi limfosit T, misalnya dari limfosit T seorang pembawa virus asimtomatik (carrier) dengan memakai mikroskop
elektron serta melakukan tes aktivitas transkriptase.

Infeksi secara in vitro dapat dipelajari dengan melihat adanya

penurunan proliferasi sel, adanya efek sitopik berupa suatu polikaryosit atau sel raksasa berinti banyak yang sangat
spesifik.

c. HIV dapat juga menginfeksi dan mengadakan replikasi dalam bone marrow precursor cell. Pada fase akhir seluruh populasi sel
T termasuk stem cell dapat diinfeksi dan penderita akan mengalami immunodeficiency berat yang irreversible yang
selanjutnya akan memberikan peluang untuk mendapatkan infeksi opportunistik dan atau sarkoma Kaposi.
d.Terdapat kaitan yang erat antara HIV dan AIDS baik dalam waktu, tempat maupun kelompok masyarakat yang terkena.
e. Bukti data kasus AIDS yang timbul sesudah transfusi darah yang tercemar HIV.
6.14.3 Gejala Klinis dan Tanda Klinis
Awal Tanda dan Gejala HIV
Beberapa orang mengalami tanda dan gejala HIV (Human Immunodeficiency Virus), segera setelah mereka terinfeksi, sementara
yang lainnya tidak. Ketika mereka terjadi, tanda-tanda dan gejala awal sering keliru untuk flu atau infeksi virus ringan. Tandatanda awal dan gejala HIV meliputi:
Demam
Sakit kepala
Kelelahan
Mual
Diare
Pembesaran kelenjar getah bening di leher, ketiak atau pangkal paha
Gejala dari terinfeksi biasanya menyelesaikan dalam satu sampai empat minggu.
Seperti yang Anda lihat, tanda-tanda dan gejala infeksi HIV adalah sama dengan yang bagi banyak infeksi virus yang
berbeda. Satu-satunya cara untuk mengetahui secara pasti apakah Anda terinfeksi HIV adalah untuk diuji. Banyak orang
terinfeksi HIV tidak memiliki tanda dan gejala sama sekali selama bertahun-tahun.
Kemudian Tanda dan Gejala HIV / AIDS
Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) mengatakan tanda-tanda dan gejala berikut mungkinperingatan tanda-tanda stadium akhir
infeksi HIV:
cepat berat badan
batuk kering
berulang demam atau berkeringat di malam berlimpah
mendalam dan kelelahan yang tidak dapat dijelaskan
bengkak kelenjar getah bening di ketiak, pangkal paha, atau leher

diare yang berlangsung lebih dari seminggu


putih bintik-bintik atau noda yang tidak biasa di lidah, di mulut, atau di tenggorokan
pneumonia
merah, coklat, merah muda, atau bercak keunguan pada atau di bawah kulit atau di dalam mulut, hidung, atau kelopak mata
kehilangan memori, depresi, dan gangguan neurologis lainnya
HIV menghancurkan sel-sel darah putih yang diperlukan untuk melawan infeksi. Sebagai jumlah sel putih jatuh ke tingkat
berbahaya, infeksi banyak dan penyakit muncul. Hal ini pada titik ini bahwa seseorang dikatakan memiliki AIDS (Acquired
Immune Deficiency Syndrome).
Menurut CDC, seperti dengan awal HIV infeksi, Anda tidak bisa mengandalkan tanda-tanda dan gejala untuk menegakkan
diagnosa AIDS. Gejala-gejala dari AIDS adalah mirip dengan gejala penyakit lainnya. AIDS adalah diagnosis medis yang
dibuat oleh profesional kesehatan berdasarkan kriteria khusus yang ditetapkan oleh CDC. (Pusat Pengendalian dan
Pencegahan

Penyakit. "Bagaimana

cara

mengetahui

jika

saya

terinfeksi

HIV?

Apa

saja

gejalanya?" http://www.cdc.gov/hiv/resources/qa/qa5.htm)
Manifestasi Klinis
AIDS merupakan bentuk terparah akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ vital sistem
kekebalan manusia seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung
merusak sel T CD4+, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi baik. Jika HIV membunuh sel T
CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4+ per mikroliter (L) darah, kekebalan selular hilang, dan akibatnya ialah
kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV dilanjutkan dengan infeksi HIV laten klinis sampai terjadinya gejala infeksi HIV
awal dan kemudian AIDS, yang diidentifikasi berdasarkan jumlah sel T CD4+ di dalam darah dan adanya infeksi tertentu.
Infeksi HIV secara umum dapat dibagi dalam empat stadium yang berbeda, yaitu:
Stadium 1: Infeksi Akut (CD4 = 500 1000 /ml)
Stadium ini terjadi setelah masa inkubasi 3-6 minggu. Gejala berlangsung selama 1- 2 minggu. Pada stadium ini timbul
gejala-gejala mirip flu termasuk demam, artralgia, malaise, dan anoreksia. Timbul juga gejala kulit (bercak-bercak merah,
urtikaria), gejala saraf (sakit kepala, kaku kuduk) dan gangguan gastrointestinal (nausea, vomitus, diare, nyeri perut). Gejalagejala ini bersesuaian dengan pembentukan awal antibodi terhadap virus. Gejala akan menghilang setelah respon imun awal
menurunkan jumlah partikel virus, walaupun virus tetap dapat bertahan pada sel-sel lain yang terinfeksi. Pada 20% orang, gejalagejala tersebut cukup serius untuk dikonsultasikan pada dokter, tetapi diagnosis infeksi HIV sering tidak ditemukan. Fase ini
sangat menular karena terjadi viremia
Selama stadium ini, ada sejumlah besar HIV pada darah perifer dan sistem imun pun mulai berrespon terhadap virus
dengan memproduksi antibodi HIV dan limfosit sitotoksik. Serokonversi terjadi pada fase ini dan antibodi virus mulai dapat
dideteksi 3 6 bulan setelah infeksi.
Stadium 2: Stadium Asimtomatik Klinis (CD4 = 500 750 /ml)
Stadium ini dapat berlangsung lebih dari 10 tahun. Stadium ini, seperti namanya, bebas dari gejala-gejala mayor,
meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Dapat juga terjadi Limfadenopati Generalisata
Persisten (LGP). Pada fase ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4, tetapi masih berada pada tingkat 500/ml. Jumlah

HIV dalam darah perifer turun hingga tingkat yang sangat rendah tetapi orang tetap terinfeksi dan antibodi HIV dapat dideteksi
di dalam darah, sehingga tes antibodi akan menunjukkan hasil positif.
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa HIV tidak dalam masa dorman selama stadium ini, melainkan sangat aktif di
kelenjar limfa. Ada sebuah tes untuk mengukur sejumlah kecil virus yang lolos dari kelenjar limfa. Tes yang mengukur HIV
RNA ini merupakan suatu tes viral load. Tes ini memiliki peran penting dalam pengobatan infeksi HIV.
Stadium 3: Infeksi HIV Simtomatik (CD4 = 100 500 /ml)
Pada stadium ini terjadi penurunan CD4 yang progresif. Terjadi penyakit-penyakit infeksi kronis tapi tidak mengancam
kehidupan.
Seiring dengan berjalannya waktu sistem imun menjadi sangat rusak oleh HIV. Hal ini disebabkan oleh tiga alasan
utama:
a. Kelenjar limfe dan jaringan menjadi rusak akibat aktivitas bertahun-tahun
b.HIV bermutasi dan menjadi lebih patogen, dengan kata lain lebih kuat dan lebih bervariasi
c. Tubuh gagal untuk mengganti sel-sel T penolong yang hilang
Karena kegagalan sistem imun, gejala-gejala pun berkembang. Kebanyakan gejala-gejala tersebut tidak terlalu berat,
tetapi karena sistem imun makin rusak, gejala-gejalanya pun semakin memburuk.
Infeksi HIV simtomatik terutama disebabkan oleh kanker dan infeksi oportunistik yang secara normal dicegah oleh
sistem imun. Ini dapat terjadi di seluruh sistem tubuh, tetapi contoh-contoh yang umum terjadi dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.

Stadium 4: Perkembangan dari HIV ke AIDS


Sistem

Sistem Pernapasan

Sistem Gastro-Intestinal

Sistem saraf Pusat/Perifer

Kulit

Contoh Infeksi/Kanker

Pneumocystis jirovecii Pneumonia (PCP)

Tuberculosis (TB)

Kaposi's Sarcoma (KS)

Cryptosporidiosis

Candida

Cytomegolavirus (CMV)

Isosporiasis

Kaposi's Sarcoma

HIV

Cytomegolavirus

Toxoplasmosis

Cryptococcosis

Non Hodgkin's lymphoma

Varicella Zoster

Herpes simplex

Herpes simplex

Kaposi's sarcoma

Varicella Zoster
AIDS merupakan stadium akhir dari infeksi HIV. Penderita dinyatakan mengidap AIDS bila dalam perkembangan infeksi
selanjutnya menunjukkan infeksi-infeksi dan kanker oportunistik yang mengancam jiwa penderita. Hitung CD4 mencapai <200/ml.
Karena sistem imun menjadi semakin rusak, penyakit-penyakit yang terjadi menjadi semakin menuju kepada diagnosis
AIDS. Di Inggris, suatu diagnosis AIDS dikonfirmasi apabila seseorang dengan HIV mengalami satu atau lebih infeksi
oportunistik atau kanker yang spesifik. Di Amerika, seseorang juga didiagnosis mengidap AIDS apabila ia memiliki sedikit sekali
sel T penolong dalam darahnya. Bisa saja seseorang menjadi sangat sakit karena HIV tanpa harus didiagnosis AIDS.

World Health Organization (WHO) telah mengembangkan suatu sistem tingkatan untuk penyakit HIV berdasarkan
gejala-gejala klinis, di antaranya:
1. Stadium klinis I yang merupakan stadium asimptomatik. Pada stadium ini ditandai adanya limfadenopati generalisata.
2. Stadium Klinis II, ditandai adanya penurunan berat badan < 10%, lesi kulit dan mukosa ringan (dermatitis seboroik, ulkus oral
rekuren, kheilitis angularis), herpes zooster dalam 5 tahun terakhir, ISPA bakterial.
3. Stadium klinis III, ditandai penurunan BB > 10%, diare kronis > 1 bulan, demam lama > 1 bulan, kandidiasis orofaringeal, oral
hairy leukoplakia, tuberkulosis paru dalam tahun-tahun terakhir, dan infeksi bakterial berat (pneumonia, piomiositis).
4. Stadium klinis IV, ditandai munculnya HIV Wasting Syndrome, pneumonia pneumositis Carina (PCP), toxoplasmosis otak, diare
kriptosporridiosis > 1 bulan, rinitis CMV, herpes simpleks mukokutan > 1 bulan, leukoenchephalopati multifokal progresif,
mikosis diseminata kandidiasis, kandidiasis di esofagus, trakhea, bronkus, dan paru, tuberkulosis ekstra paru, limfoma, sarkoma
kaposi dan enchephalopati HIV.
Sedangkan untuk penderita bayi dan anak-anak, WHO membagi dalam 3 stadium klinis, yaitu:
1. Stadium klinis pediatrik I yang merupakan stadium asimptomatik ditandai limfadenopati generalisata.
2. Stadium klinis pediatrik II, ditandai diare kronik, kandidiasis, penurunan berat badan atau gagal tumbuh, demam persisten > 30 hari
tanpa sebab yang jelas, infeksi bakterial berulang.
3. Stadium klinis pediatrik III, ditandai munculnya infeksi oportunistik terkait AIDS, gagal tumbuh berat tanpa etiologi yang jelas,
ensefalopati progresif, keganasan, dan septikemia/ meningitis berulang.
Laju perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antar orang dan telah terbukti dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti kerentanan seseorang terhadap penyakit dan fungsi imun perawatan kesehatan dan infeksi lain, dan juga faktor yang
berhubungan dengan galur virus. Infeksi oportunistik spesifik yang diderita pasien AIDS juga bergantung pada prevalensi
terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
a)

Penyakit paru-paru utama


Pneumonia pneumocystis
Pneumonia pneumocystis (awalnya diketahui dengan nama pneumonia Pneumocystis carinii, dan masih disingkat sebagai PCP
yang sekarang merupakan singkatan dari Pneumocystis pneumonia) jarang dijumpai pada orang yang sehat dan imunokompeten,
tetapi umum dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum
adanya diagnosis, perawatan, dan profilaksis rutin efektif di negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian.
Di negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang yang belum dites, walaupun umumnya
tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per L.

Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi terkait HIV lainnya karena dapat ditularkan ke orang yang
imunokompeten melalui rute respirasi, dapat dengan mudah ditangani setelah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal
HIV, dan dapat dicegah dengan terapi obat. Namun demikian, kekebalan terhadap berbagai obat adalah masalah serius pada
penyakit ini. Walaupun insiden penyakit ini telah berkurang akibat penggunaan terapi yang secara langsung diamati dan metode

lainnya di negara-negara Barat, tidak demikian yang terjadi di negara berkembang, tempat HIV paling banyak dijumpai. Pada
stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TB muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada infeksi HIV belakangan,
TB sering muncul dengan penyakit ekstrapulmoner (sistemik). Gejala biasanya bersifat konstitusional dan tidak dibatasi pada
satu tempat, sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, nodus limfa regional, dan
sistem saraf pusat. Selain itu, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat keterlibatan penyakit ekstrapulmoner.
b)

Penyakit saluran pencernaan utama


Esofagitis
Esofagitis adalah peradangan pada esofagus (tabung berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian
mulut ke dalam lambung). Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur (kandidiasis) atau virus
(herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus). Pada kasus yang langka, hal ini dapat disebabkan oleh mikobakteria.
Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan
Diare kronik yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV terjadi akibat berbagai penyebab, termasuk infeksi bakteri
(Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, atau Escherichia coli) serta parasit yang umum dan infeksi oportunistik tidak
umum seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, kolitis kompleks Mycobacterium avium dan sitomegalovirus (CMV). Pada
beberapa kasus, diare adalah efek samping beberapa obat yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping infeksi HIV,
terutama selama infeksi HIV utama. Diare juga dapat menjadi efek samping antibiotik yang digunakan untuk menangani diare
akibat bakteri (umum untuk Clostridium difficile). Pada stadium akhir, diare diduga menunjukkan perubahan cara saluran usus
menyerap nutrisi dan mungkin merupakan komponen penting pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
c) Penyakit saraf utama
Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya
menginfeksi otak dan menyebabkan toksoplasma ensefalitis, tetapi juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata
dan paru-paru.
Leukoensefalopati multifokal progresif
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yang merupakan penghancuran sedikit demi sedikit
selubung mielin yang menutupi akson sel saraf sehingga merusak penghantaran impuls saraf. Hal ini disebabkan oleh virus yang
disebut virus JC yang 70% populasinya terdapat dalam bentuk laten, menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan
sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat, biasanya menyebabkan kematian
dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS
Kompleks demensia AIDS adalah ensefalopati metabolik yang disebabkan oleh infeksi HIV dan didorong oleh aktivasi imun
makrofag dan mikroglia otak yang terinfeksi HIV yang mengeluarkan neurotoksin. Kerusakan neurologis spesifik tampak
sebagai ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV dan berhubungan
dengan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma. Angka prevalensinya sekitar 10-20% di negaranegara Barat, tetapi hanya 1-2% dari infeksi HIV di India. Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV
di India.
Meningitis kriptokokal

Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur
Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin
mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
d) Kanker yang berhubungan dengan HIV
Pasien dengan infeksi HIV pada pokoknya meningkatkan insiden beberapa kanker. Hal ini terjadi karena infeksi dengan virus
DNA onkogenik, terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes penyebab sarkoma Kaposi (KSHV) dan papilomavirus
manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah
pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari
subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit
ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran
pencernaan, dan paru-paru.
Limfoma
Limfoma sel B tingkat tinggi seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma), Burkitt's-like lymphoma, diffuse large B-cell
lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem saraf pusat primer muncul lebih sering pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini
seringkali mengakibatkan prognosis yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma ini merupakan tanda utama AIDS. Limfoma ini
sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr (EBV) atau KSHV.
Kanker leher rahim
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh papilomavirus
manusia (HPV).
Tumor lainnya
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, karsinoma anal, dan karsinoma usus
besar. Namun demikian, insiden dari banyak tumor yang umum, seperti kanker payudara atau kanker usus besar tidak meningkat
pada pasien terinfeksi HIV. Di daerah tempat HAART banyak digunakan untuk menangani AIDS, insiden berbagai kanker yang
berhubungan dengan AIDS menurun, tetapi seiring dengan itu kanker secara keseluruhan menjadi penyebab kematian paling
umum pada pasien yang terinfeksi HIV.
e)

Infeksi oportunistik lainnya


Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat
badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan sitomegalovirus. Sitomegalovirus dapat
menyebabkan kolitis, seperti yang dijelaskan di atas, dan retinitis sitomegalovirus dapat menyebabkan kebutaan. Penisiliosis
yang disebabkan oleh Penicillium marneffei kini adalah infeksi oportunistik ketiga paling umum (setelah tuberkulosis dan
kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
6.14.4 Diagnosis
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Oleh karena itu, darah donor dan produk darah
yang digunakan pada penelitian medis diperiksa kandungan HIV-nya. Tes HIV umum, termasuk imuno-assay enzim HIV dan

pengujian Western blot mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun
demikian, window periode (periode antara infeksi dan perkembangan antibodi yang dapat dideteksi melawan infeksi) dapat
bervariasi. Hal ini menjelaskan mengapa dapat membutuhkan waktu 3-6 bulan untuk serokonversi dan tes positif. Ada pula tes
komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA agar dapat mendeteksi infeksi HIV sebelum
perkembangan antibodi yang dapat dideteksi. Metode-metode penetapan tersebut tidak secara spesifik disetujui untuk diagnosis
infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
Secara umum diagnosis HIV/AIDS terbagi atas dua, yaitu diagnosis dini infeksi HIV dan diagnosis HIV menjadi AIDS.
Keduanya akan dijelaskan sebagai berikut:
I. Diagnosis Dini Infeksi HIV
Kebanyakan infeksi HIV pada anak akibat penularan HIV dari ibu-ke-bayi (mother-to-child transmission/MTCT), yang dapat
terjadi selama kehamilan dan persalinan, atau selama menyusui. Walau sudah banyak kemajuan dan penerapan intervensi
pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang efektif di negara berkembang, hampir 2.000 bayi terinfeksi HIV setiap hari
melalui MTCT di negara miskin sumber daya. Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak terinfeksi HIV di seluruh dunia. Jumlah
ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu dekat karena beberapa alasan. Saat ini, kurang dari 10% ibu hamil yang terinfeksi
HIV di negara miskin sumber daya menerima profilaksis antiretroviral (ARV) untuk pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi
(prevention of mother-to-child transmission/PMTCT). Walaupun layanan profilaksis ARV ditingkatkan secara luar biasa, infeksi
HIV pada anak akan terus meningkat kecuali ada peningkatan layanan pencegahan infeksi HIV baru pada perempuan secara
bersamaan, perbaikan akses pada keluarga berencana (KB), dan perluasan ketersediaan pengobatan antiretroviral (ART) untuk
ibu yang membutuhkannya. Serupa dengan orang dewasa, anak yang terinfeksi HIV menanggapi ART dengan baik. Tetapi,
pengobatan semacam ini paling efektif apabila dimulai sebelum anak jatuh sakit (artinya, sebelum pengembangan penyakit
lanjut). Tanpa ART, pengembangan infeksi HIV sangat cepat pada bayi dan anak. Di rangkaian miskin sumber daya, kurang lebih
30% anak terinfeksi HIV yang tidak diobati meninggal sebelum ulang tahunnya yang pertama dan lebih dari 50% meninggal
sebelum mereka mencapai usia dua tahun. Infeksi HIV pada anak yang tidak diobati juga mengakibatkan pertumbuhan yang
tertunda dan keterbelakangan mental yang tidak dapat disembuhkan oleh ART. Oleh karena itu penting untuk mendiagnosis bayi
yang terpajan HIV sedini mungkin untuk mencegah kematian, penyakit dan penundaan pertumbuhan dan pengembangan mental.
Karena biayanya yang murah, kemudahan untuk memakainya, dan kemampuan untuk menyediakan hasil secara cepat, tes
antibodi cepat adalah yang paling umum dipakai untuk mendiagnosis infeksi HIV di negara miskin sumber daya. Tetapi, karena
antibodi HIV melewati plasenta selama kehamilan, semua bayi yang terlahir dari ibu yang terinfeksi HIV akan menerima
antibodi dari ibu saat di rahim dan hasil tes antibodi akan positif saat lahir tidak tergantung pada status infeksi HIV-nya sendiri.
Antibodi dari ibu baru hilang seluruhnya 12-18 bulan setelah kelahiran, oleh karena itu semua tes antibodi pada bayi terpajan
HIV yang dilakukan sebelumnya tidak dapat diandalkan. Kesulitan lain untuk mendiagnosis infeksi HIV pediatrik pada bayi di
negara miskin sumber daya adalah pajanan HIV secara terus-menerus pada bayi yang disusui, sehingga menyulitkan untuk
mengecualikan infeksi HIV sampai penyusuan sudah dihentikan secara menyeluruh. Karena komplikasi ini, kebanyakan tes HIV
pada bayi di negara miskin sumber daya dilakukan dengan memakai tes antibodi cepat pada usia 18 bulan. Tetapi, pada usia ini,
banyak bayi yang terinfeksi sudah meninggal dan lebih banyak lagi yang mungkin sudah hilang. Sebuah tes HIV yang murah dan
mudah dipakai dan dapat diandalkan untuk bayi terpajan HIV yang berusia kurang dari 18 bulan dibutuhkan secara mendesak.
Tes semacam ini dapat mencegah jutaan kematian dini terkait HIV. Tujuan deteksi dini HIV pada dasarnya ada dua, yakni
sebagai intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjang dan untuk menghambat perjalanan penyakit ke arah
AIDS.
Dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu:
Langsung: biakan virus dari darah, isolasi virus dari sample, umumnya menggunakan mikroskop elektron dan deteksi gen virus.
Yang paling sering digunakan adalah PCR (Polymerase Chain Reaction).
Tidak Langsung: dengan melihat respons zat anti yang spesifik, misalnya dengan tes ELISA, Western Blot, Immunofluoren
Assay (IFA), dan Radio Immunoprecipitation Assay (RIPA)

Berikut ini pemeriksaan/tes yang lazim dilakukan:


1. Biakan HIV dari darah
Di awal epidemi HIV, biakan HIV dalam darah dipakai untuk mendeteksi infeksi HIV dan untuk mengukur jumlah virus dalam
darah secara langsung. Biakan HIV juga dipakai untuk mendiagnosis bayi dan sebagai cara untuk menentukan tingkat keparahan
infeksi dan tanggapan selanjutnya terhadap pengobatan pada orang dewasa dan anak. Walaupun tes ini sensitif dan spesifik, serta
dapat dipakai untuk menghitung viral load pasien, metode ini belum pernah dipakai secara skala besar untuk mendiagnosis
karena teknik tes yang rumit dan membutuhkan reagen dan peralatan yang mahal, waktu tes laboratorium yang lama, dan banyak
darah. Sebagai tambahan, membutuhkan hampir tujuh hari untuk mendapatkan hasil dan karena biakan virus mengandung HIV
yang aktif diperlukan peralatan biohazard khusus.
2. Tes antigen P24
Sebelum pengembangan teknik viral load DNA dan reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) untuk
mendiagnosis infeksi HIV dan menghitung viral load, tes antigen HIV p24 dipakai untuk menghitung viral load. HIV p24 adalah
protein yang diproduksi oleh replikasi HIV yang terjadi dalam darah Odha dengan jumlah yang berbeda-beda. Karena HIV p24
adalah protein imunogenik, orang yang terinfeksi HIV juga membentuk antibodi terhadap p24. Oleh karena itu, p24 hadiran
dalam darah dalam bentuk p24 bebas dan p24 terikat antibodi (kompleks kekebalan). Untuk mengukur jumlah antigen p24,
adalah penting untuk memisahkan antibodi dari antigen. Teknik sudah dikembangkan untuk melakukan tugas ini, tetapi belum
seluruhnya berhasil. Namun demikian, karena kesederhanaan tes dan biayanya yang relatif murah, para peneliti berusaha
memperbaiki tes tersebut walaupun tes viral load PCR lebih sensitif dan spesifik.
Sebagian dari penelitian ini berhasil. Teknik laboratorium dikembangkan untuk memisahkan kompleks kekebalan p24,
meningkatan kemampuan kuantitatif tes dan dalam hal bayi yang terpajan HIV, keberhasilan diagnostik. Berbagai penelitian
menemukan bahwa tes antigen p24 ultrasensitif mampu mendeteksi infeksi HIV pada bayi di atas usia enam minggu secara pasti
dengan spesifisitas dan sensitivitas serupa dengan tes DNA HIV PCR dan viral load HIV. Tes tersebut tepat pada banyak subtipe
HIV dan lebih mudah dilakukan dibandingkan tes virologi lain. Biayanya serupa dengan biaya tes PCR generasi lanjut.
Keprihatinan tentang sensitivitas tes p24 tetap ada. Dalam penelitian terkini terhadap tes antigen HIV p24 baru yang
ultrasensitif, ilmuwan membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS dan plasma. Mereka menemukan bahwa tes
tersebut mempunyai spesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga
membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi
tersebut rendah (r = 0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini
berarti bahwa tes untuk menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah didiagnosis sebagai
tidak terinfeksi. Perbandingan metodologi tes baru-baru ini dilakukan oleh ilmuwan dengan 72 contoh pediatrik dari Tanzania
dan 210 contoh pediatrik atau orang dewasa dari Swiss menemukan sensitivitas yang bahkan lebih rendah. Tingkat deteksi
berbagai tes adalah 84% untuk tes antigen p24 pada DBS; 79% untuk tes PCR DNA yang dilakukan pada DBS; 85% untuk tes
antigen p24 pada plasma; dan 100% untuk tes PCR RNA yang dilakukan pada plasma. Walaupun dengan peningkatan yang
bermakna pada kemanjuran, biaya dan spesifisitas tes antigen p24 HIV, sensitivitas tes ini akan tetap bermasalah. Penghematan
biaya yang ditawarkan mungkin tidak dapat mengimbangi dampak klinis terhadap persentase kegagalan diagnosis secara
bermakna pada bayi yang terinfeksi HIV.
3. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)/EIA (Enzyme Immunosorbent Assay)
ELISA dari berbagai macam kit yang ada di pasaran mempunyai cara kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV
yang ditumbuhkan pada biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polistiren atau sumur microplate. Serum atau
plasma yang akan diperiksa, diinkubasikan dengan antigen tersebut selama 30 menit sampai 2 jam kemudian dicuci. Bila terdapat
IgG (immunoglobulin G) yang menempel pada biji-biji atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen
dan antibodi. Antibodi anti-IgG tersebut terlebih dulu sudah diberi label dengan enzim (alkali fosfatase, horseradish peroxidase)
sehingga setelah kelebihan enzim dicuci habis maka enzim yang tinggal akan bereaksi sesuai dengan kadar IgG yang ada,

kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat. Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan
light chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibodi dapat lebih spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM
maupun IgG. Pada setiap tes selalu diikutkan kontrol positif dan negatif untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga kadar di atas
cut-off value atau di atas absorbance level spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam.
Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV di masa lampau. Tes ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada
bulan ke 2-3 masa sakit. Selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat ditemukan virus HIV/partikel
HIV dan penurunan jumlah sel T4 (Grafik). Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi, kemudian setelah 3
bulan IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS menghilang (karena sebagian besar HIV
telah masuk ke dalam sel tubuh). HIV sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah Sel T4 akan kembali ke
normal. Hasil pemeriksan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati karena tergantung dari fase penyakit. Umumnya hasil akan
positif pada fase dimana timbul gejala pertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini AIDS (Pre
AIDS phase). Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitivitas yang tinggi : 98,1% - 100%, Western Blot
memberi nilai spesifik 99,6% - 100%. Walaupun begitu, predictive value hasil test positif tergantung dari prevalensi HIV di
masyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive positive value adalah 100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5%
- 100%. Predictive value dari hasil negatif ELISA pada masyarakat sekitar 99,99% sampai 76,9% pada kelompok risiko tinggi.
Di samping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu diperhatikan adalah :
1) Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibodi, bukan antigen (akhir-akhir ini sudah ditemukan test ELISA untuk antigen). Oleh
karena itu test uji baru akan positif bila penderita telah mengalami serokonversi yang lamanya 2-3 bulan sejak terinfeksi HIV,
bahkan ada yang 5 bulan atau lebih (pada keadaan immunocompromised). Kasus dengan infeksi HIV laten dapat temp negatif
selama 34 bulan.
2) Pemeriksaan ELISA hanya terhadap antigen jenis IgG. Penderita AIDS pada taraf permulaan hanya mengandung IgM, sehingga
tidak akan terdeteksi. Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu.
3) Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV1. Bila test ini digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya
24%. Tetapi HIV2 paling banyak ditemukan hanya di Afrika.
4) Masalah false positive pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat.
Hal ini disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan dalam test kemurniannya ber-beda dengan HIV
di alam.
Oleh karena itu test ELISA harus dikorfirmasi dengan test lain. Tes ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi
walaupun hasil negatif disini tidak dapat menjamin bahwa seseorang bebas 100% dari HIV 1 terutama pada kelompok resiko
tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah menggunakan recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.
Antibodi terhadap envelope ditemukan pada setiap penderita HIV stadium apa saja. Sedangkan antibodi terhadap p24 (protein
dari core) bila positif berarti penderita sedang mengalami kemunduran/deteriorasi.
4. Pemeriksaan Western Blot
Western Blot adalah sebuah metode untuk mendeteksi protein pada sampel jaringan. Imunoblot menggunakan
elektroforesis gel untuk memisahkan protein asli atau perubahan oleh jarak polipeptida atau oleh struktur 3-D protein.
Protein tersebut dikirim ke membran, di mana mereka dideteksi menggunakan antibodi untuk menargetkan protein.
Pemeriksaan Western Blot cukup sulit, mahal, interpretasinya membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam.
Cara kerja test Western Blot yaitu dengan meletakkan HIV murni pada polyacrylamide gel yang diberi arus elektroforesis
sehingga terurai menurut berat protein yang berbeda-beda, kemudian dipindahkan ke nitrocellulose. Nitrocellulose ini
diinkubasikan dengan serum penderita. Antibodi HIV dideteksi dengan memberikan antlbodi anti-human yang sudah dikonjugasi
dengan enzim yang menghasilkan wama bila diberi suatu substrat. Test ini dilakukan bersama dengan suatu bahan dengan profil
berat molekul standar, kontrol positif dan negatif. Gambaran band dari bermacam-macam protein envelope dan core dapat

mengidentifikasi macam antigen HIV. Antibodi terhadap protein core HIV (gag) misalnya p24 dan protein precursor (p25)
timbul pada stadium awal kemudian menurun pada saat penderita mengalami deteriorasi. Antibodi terhadap envelope (env)
penghasil gen (gp160) dan precursor-nya (gp120) dan protein transmembran (gp4l) selalu ditemukan pada penderita AIDS pada
stadium apa saja. Beberapa protein lainnya yang sering ditemukan adalah: p3 I, p51, p66, p14, p27, lebih jarang ditemukan p23,
p15, p9, p7. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bila serum mengan-dung antibodi HIV yang lengkap maka Western blot akan
memberi gambaran profil berbagai macam band protein dari HIV antigen cetakannya. Definisi hasil pemeriksaan Western Blot
menurut profit dari band protein dapat bermacam-macam, pada umumnya adalah :
1) Positif : a. Envelope : gp4l, gpl2O, gp160
b. Salah satu dari band : p15, p17, p24, p31, gp4l, p51, p55, p66.
2) Negatif : Bila tidak ditemukan band protein.
3) Indeterminate
Bila ditemukan band protein yang tidak sesuai dengan profil positif. Hasil indeterminate .diberikan setelah ditest secara duplo
dan penderita diberitahu untuk diulang setelah 2-3 bulan. Hal ini mungkin karena infeksi masih terlalu dini sehingga yang
ditemukan hanya sebagian dari core antigen (p17, p24, p55). Akhir-akhir ini hasil positif diberikan bila ditemukan paling tidak
p24, p31 dan salah satu dari gp41 atau gpl60. Dengan makin ketatnya !criteria Western Blot maka spesifisitas menjadi tinggi, dan
sensitifitas turun dari 100% dapat menjadi hanya 56% karena hanya 60% penderita AIDS mempunyai p24, dan 83% mempunyai
p31. Sebaliknya cara ini dapat menurunkan angka false positive pada kelompok risiko tinggi, yang biasanya ditemukan sebesar 1
di antara 200.000 test padahal test tersebut sudah didahului dengan test ELISA. Besar false negative Western Blot belum
diketahui secara pasti, tapi tentu tidak not. False negative dapat terjadi karenakadar antibodi HIV rendah, atau hanya timbul band
protein p24 dan p34 saja (yaitu pada kasus dengan infeksi HIV2). False negative biasanya rendah pada kelompok masyarakat
tetapi dapat tinggi pada kelompok risiko tinggi. Cara mengatasi kendala tadi adalah dengan menggunakan recombinant HIV yang
lebih murni.
5. PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen spesifik DNA untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun
material yang digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. Pada dasarnya PCR meliputi tiga perlakuan yaitu: denaturisasi,
hibridisasi dari "primer" sekuen DNA pada bagian tertentu yang diinginkan, diikuti dengan perbanyakan bagian tersebut oleh Tag
polymerase, kemudian dikerjakan dengan mengadakan campuran reaksi dalam tabung mikro yang kemudian diletakkan pada
blok pemanas yang telah diprogram pada seri temperatur yang diinginkan.
Teknik ini ditemukan oleh Kary Mullis dari Cetus Corporation dan sekarang digunakan secara luas dalam penelitian biologi.
Pada dasarnya, target DNA diekstraksi dari spesimen dan secara spesifik membelah dalam tabung sampai diperoleh jumlah
cukup yang akan digunakan untuk deteksi dengan cara hibridisasi. Replikasi yang mungkin dicapai adalah dalam kelipatan jutaan
atau lebih dengan menggunakan oligonukleotid primer yang berkomplemen terhadap masing-masing rantai dari target sekuen
ikatan rangkap. Jarak antara letak ikatan dari 2 primer menetapkan ukuran produk yang diamplifikasi.
Target mula-mula didenaturisasi pada suhu 9095C dan didinginkan antara 3750C untuk membiarkan annealing spesifik
antara primer dan target DNA. Ini membuat cetakan untuk enzym Tag polimerase yang pada suhu 6772C mengkopi masingmasing rantai. Setiap produk akan terdiri dari sekuen yang saling melengkapi 1 dari 2 primer dan akan menguatkan dalam
lingkaran sintesis berikut. Hubungan antara tingkat amplifikasi (Y) dengan efisiensi reaksi (X) dan jumlah cycle adalah: Y = ( 1 +
1 )n
Sebagai contoh: untuk 20 cycles dengan 100% efisiensi adalah 1.048.576 kali amplifikasi, dengan 80% efisiensi turun menjadi
127.482, berarti ada 88% produk yang hilang.

Salah satu hambatan dalam diagnosis PCR adalah adanya false negative. Hart dkk (1988) menemukan 1 dari 21 spesimen
seropositif adalah negatif untuk HIV melalui analisis PCR dari DNA dan RNA. Ou dkk (1988) menemukan 6 dari 11 spesimen
seropositif adalah negatif untuk HIV dengan PCR. Penggunaan lebih dari 1 pasang primer merupakan cara untuk menghindari
hasil false negative yang dianjurkan oleh peneliti berikutnya, juga Laure dkk (1988). Beberapa hasil false negative dapat
dihindarkan dengan memilih primer dari bagian yang berlawanan dari genome. Primer SK 38/39 dan SK 68/69 merupakan
pilihan yang baik digunakan untuk HIV.
Pada penggunaan pasangan primer ganda, satu dari masing-masing secara terpisah diperiksa dengan masing-masing pasangan,
atau 2 atau lebih pasangan primer digunakan pada pemeriksaan yang sama, cara kedua tidak selalu mudah dilakukan selama
pasangan primer mungkin memiliki perbedaan dalam annealing, sifat ikatan polimerase yang berbeda dan mungkin bekerja
sebagai penghambat yang bersaing. Dalam hal ini penting untuk menentukan secara empiris primer mana yang dapat
dikombinasikan dalam reaksi yang sama.
Pasangan primer SK-3839 dan atau SK-145101 telah berhasil digunakan untuk mendeteksi HIV pada lebih dari 96%
individu dengan zat anti positif. PCR dapat mendeteksi molekul tunggal dari target DNA dan juga mengamplifikasi target yang
ada sebagai pasangan yang tidak komplet; sebaliknya kontaminasi dan campuran reaksi dengan sejumlah target DNA yang tidak
terdeteksi akan memberikan hasil false positive. Ketaatan mengikuti prosedur dapat mengurangi risiko kontaminasi. Cara yang
cepat dan sederhana dalam menyiapkan sampel dapat pula mengurangi false positive.
Identifikasi HIV dengan PCR telah memberikan sumbangan dalam diagnosis dan penelitian AIDS sebagai berikut:
1) PCR telah berhasil digunakan untuk memeriksa bayi lahir dari ibu seropositif selama zat anti maternal masih dimiliki bayi
sampai umur 15 bulan, sedangkan diagnosis infeksi HIV secara serologis terhambat.
2) PCR telah digunakan untuk menetapkan status infeksi path individu seronegatif. Studi pada golongan risiko rendah, hasil
seronegatif menunjukkan bahwa individu tidak terinfeksi.
3) PCR telah digunakan untuk mendeteksi sekuen HIV pada individu seropositif dengan gejala, yang hasilnya negatif dengan
uji deteksi langsung lainnya, termasuk dengan cara mengkultur virus.
4) Telah digunakan untuk mengindentifikasi infeksi pada sejumlah kecil individu berisiko tinggi sebelum serokonversi.
5)

PCR telah digunakan untuk konfirmasi kasus pertama dan HIV-2 di Afrika Barat yang menjalani pengobatan di
AmerikaSerikat.

6) PCR telah digunakan untuk mengevaluasi heterogenisitas virus dalam HIV yang diisolasi.
PCR DNA dan RNA HIV
a. PCR DNA HIV
Setelah metode laboratorium untuk meningkatkan DNA dengan PCR ditemukan dan penentuan HIV sebagai penyebab
AIDS, teknik PCR DNA HIV menjadi lebih sederhana, murah, dan lebih dapat diandalkan dibandingkan biakan virus sebagai
cara bagi para peneliti untuk menentukan orang yang terinfeksi HIV dan melakukan penelitian epidemiologi secara luas.
Ketersediaan primer untuk subtipe HIV memungkinkan para peneliti untuk memakai PCR DNA HIV untuk meneliti dan melacak
subtipe HIV untuk pengembangan vaksin dan penelitian epidemiologi. PCR DNA HIV pertama kali dipakai untuk mendiagnosis
HIV pada bayi pada 1990. Penelitian yang men-tes sel mononuklear darah perifer (peripheral blood mononuclear cells/ PBMC)
dari bayi pada berbagai titik waktu setelah kelahiran. Diharapkan bahwa akan sespesifik seperti biakan virus pada bayi yang baru
lahir tetapi lebih mudah dilakukan, membutuhkan jumlah darah yang lebih sedikit. Walaupun PCR DNA berhasil dengan baik,
penelitian selanjutnya terhadap bayi yang baru lahir oleh Delamare dkk34 dan Dunn dkk35 menemukan bahwa PCR DNA HIV

terdeteksi <50% infeksi HIV dalam lima hari pertama kehidupannya. Sensitivitasnya meningkat hingga 90% setelah berusia 14
hari. Ketidaksensitifan PCR DNA HIV untuk mendiagnosis infeksi HIV saat kelahiran mungkin terjadi karena kenyataan bahwa
kebanyakan penularan HIV pada bayi terjadi saat sakit kelahiran dan persalinan, dan virus tidak mencapai tingkat terdeteksi
selama beberapa minggu setelah tertular. Bayi yang terinfeksi dalam kandungan mungkin mempunyai hanya sedikit jumlah virus
yang bereplikasi.
b. PCR RNA HIV
Dalam usaha untuk menemukan sebuah metode yang dapat mendiagnosis bayi lebih dini, para peneliti beralih ke PCR RNA
HIV, yang dapat mendeteksi HIV dalam darah. Berbeda dengan PCR DNA HIV, yang adalah tes kualitatif (yaitu, tes memberikan
diagnosis HIV ya/tidak), deteksi RNA HIV menyediakan informasi tambahan informasi kuantitatif tentang status virologis,
menghitung jumlah virus yang beredar (juga dikenal sebagai viral load dan dinyatakan dalam copies/mL) pada pasien. Oleh
karena itu, viral load dapat dipakai untuk mendiagnosis pasien, menuntun permulaan memakai ART, dan memantau tanggapan
pengobatan. Diharapkan HIV RNA akan sensitif dalam mendeteksi virus dan tetap sangat spesifik terhadap HIV, dan akan
mengganti teknik biakan virus yang lebih rumit dan mahal untuk mendiagnosis bayi. Penelitian awal terhadap bayi yang terpajan
HIV dengan memakai tes PCR RNA HIV menemukan bahwa metode tersebut cocok atau melampaui sensitivitas dan spesifisitas
PCR DNA HIV dan metode biakan virus. Dalam penelitian oleh Lambert dkk, kepekaan tes PCR RNA HIV adalah 27% saat
kelahiran, 92% setelah 6 minggu, dan 91% setelah 20 minggu. Para peneliti lain melaporkan hasil serupa. Peralatan tes RNA HIV
semakin murah, dan alat tes deteksi RNA HIV sekarang tersedia secara lebih luas dibandingkan alat tes DNA. Tetapi, metode ini
mempunyai beberapa kekurangan, termasuk Diagnosis infeksi HIV lebih dini pada bayi yang terpajan HIV kecenderungan untuk
memberi hasil positif yang salah untuk pasien dengan tingkat viremia rendah dan bahwa kenyataannya tidak semua primer dan
reagen dibakukan. Selain itu, peningkatan penggunaan ART dan profilaksis untuk PMTCT meningkatkan masalah yang
berpotensi pentign sehubungan dengan sensitivitas metodologi PCR RNA HIV pada diagnosis bayi. Obat ARV berpotensi
menurunkan tingkat virus dalam sel mononuklear darah perifer atau plasma dan mengurangi sensitivitas tes tersebut. Tetapi,
penelitian mengindikasikan bahwa penurunan viral load yang terjadi dengan ART atau profilaksis ARV jangka pendek tidak
mengganggu metode PCR pendeteksi HIV.
II. Diagnosis HIV menjadi AIDS
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV. Penderita dinyatakan sebagai AIDS bila dalam perkembangan infeksi HIV
selanjutnya menunjukan infeksi-infeksi dan kanker oportuniostik yang mengancam jiwa penderita. Selain infeksi dan kanker
dalam penetapan CDC 1993, juga temasuk : ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan dengan AIDS dan hitungan CD4
<200/ml.
6.14.5 Treatment
Strategi pencegahan dikenal dengan baik di negara maju. Namun demikian, penelitian perilaku dan epidemiologis di
Eropa dan Amerika Utara belakangan ini menunjukkan bahwa minoritas banyak anak muda terus melakukan kegiatan berisiko
tinggi dan meskipun mengetahui tentang HIV/AIDS, anak muda meremehkan risiko terinfeksi HIV. Namun demikian, transmisi
HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Ada 5 cara untuk mencegah penularan HIV, yaitu :
A : Abstinence = tidak melakukan hubungan seks beresiko tinggi.
B : Be faithful = bersikap saling setia
C : Condom = cegah dengan memakai kondom secara konsisten dan benar

Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang
lazim mengurangi risiko transmisi HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika
kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Penggunaan efektif kondom dan penapisan ( screening) transfusi
darah di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Eropa Tengah dianggap sebagai salah satu penyebab kecilnya jumlah AIDS di daerahdaerah tersebut. Dengan penggunaan kondom yang konsisten dan benar, risiko infeksi HIV sangatlah kecil. Penelitian terhadap
pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV
terhadap pasangan yang belum terinfeksi di bawah 1% per tahun
D : Drugs = Hindari pemakaian narkoba suntik
Dalam upaya pencegahan penularan melalui narkoba suntik ada beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jatim, Yogyakarta, Bali, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara sudah melakukan pelayanan Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM), yakni dengan memberi Metadon sejenis narkoba sintesis kelas dua dengan sekali suntik dalam sehari namun tidak
menyebabkan kecanduan. Tujuannya untuk melakukan terapi bertahap bagi pengguna narkoba suntik tersebut.
E : Equipment = Mintalah pelayanan kesehatan dengan peralatan steri
Pengobatan
Sampai saat ini masih belum ditemukan obat penyakit AIDS/HIV yang efesien. Beberapa usaha tetap dilakukan baik
usaha penemuan obat maupun vaksinnya. Obat yang digunakan saat ini tidak dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS, tetapi
ada obat untuk mengatasi infeksi atau simtom dari penyakit HIV/AIDS sehingga rasa sakit penderita dapat berkurang atau hilang.
Hal tersebut juga dapat memperpanjang hidup penderita. Pengobatan hasrus dilakukan dengan cara melawan virus bebas dan
virus yang menginfeksi sel. Meskipun sejumlah zat telah dibuat sebagai anti-HIV secara in vitro , hanya sedikit yang
menunjukkan kerja yang efektif sebagai anti-HIV pada toksisitas toleransi. Untuk menghindari resistansi virus terhadap obat,
obat yang diminum biasanya adalah obat kombinasi yang terdiri terdiri dari beberapa jenis.
Pengobatan HIV/AIDS secara medis dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
a. Pengobatan Suportif
b.Pencegahan dan Pengobatan Infeksi Oportunistik
c. Pengobatan Antiretroviral
a. Pengobatan Suportif
HIV dan nutrisi keduanya sangat berhubungan. Infeksi HIV dapat memicu adanya malnutrisi. Oleh karena pengobatan
AIDS meningkat dengan pesat pada daerah-daerah miskin di seluruh dunia, maka pertanyaannya adalah bagaimana obat dapat
bekerja dengan baik apabila nutrisi makanannya tidak cukup baik. Oleh karena itu, pada penderita HIV perlu diperhatikan pula
mengenai nutrisi
Nasihat mengenai diet perlu disesuaikan dengan kondisi penderita. Akan tetapi, umumnya, rekomendasi untuk orang yang
hidup dengan infeksi HIV yang belum menunjukkan gejala biasanya sama dengan orang lainnya, yang berarti diet yang
seimbang dan sehat. Hanya ada tiga perbedaan yang penting, yaitu
a) Oleh karena orang yang terinfeksi HIV cenderung membutuhkan energi yang lebih banyak, maka jumlah kalori harus 10% lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah kalori yang biasanya disarankan. Dan lebih dari 30% lebih tinggi selama masa
penyembuhan dari penyakit. Keseimbangan dari lemak, protein, dan karbohidrat harus dipertahankan supaya tetap sama

b) Banyak ahli merekomendasikan multivitamin harian (biasanya yang tanpa zat besi, kecuali pada wanita yang sedang menstruasi
atau orang dengan defisiensi zat besi).
c) WHO merekomendasikan suplemen vitamin A setiap 4-6 bulan pada anak-anak yang terinfeksi HIV dan hidup di daerah miskin.
Orang yang positif terkena HIV yang kehilangan selera makan harus berusaha keras untuk memastikan bahwa mereka telah
cukup makan. Beberapa saran yang membantu antara lain, memakan beberapa makanan kecil per hari, melakukan latihan untuk
merangsang nafsu makan, dan mencari saran dari tenaga kesehatan atau ahli gizi.
Jika tidak berhasil, dokter mungkin akan menyarankan suplemen makanan cair untuk merangsang nafsu makan, atau
latihan untuk membentuk otot. Kemungkinan lain adalah pengobatan dengan steroid dan hormon, walaupun cara ini lebih mahal
dan mempunyai efek samping yang lebih berbahaya
b. Pencegahan Dan Pengobatan Infeksi Oportunistik
Meliputi penyakit infeksi Oportunistik yang sering terdapat pada penderita infeksi HIV dan AIDS.
1. Tuberkulosis
Sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali.
Dosis INH 300 mg setiap hari dengan vit B6 50 mg paling tidak untuk masa satu tahun.
2. Toksoplasmosis
Sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak terutama daging yang kurang matang. Obat : TMP-SMX 1
dosis/hari.
3. CMV
Virus ini dapat menyebabkan Retinitis dan dapat menimbulkan kebutaan, Ensefalitis, Pnemonitis pada paru, infeksi saluran
cernak yang dapat menyebabkan luka pada usus.
Obat : Gansiklovir kapsul 1 gram tiga kali sehari.
4. Jamur
Jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah jamur Kandida. Obat :

Nistatin 500.000 u per hari

Flukonazol 100 mg per hari.


c. Pengobatan Antiretroviral
Terapi AIDS/HIV saat ini dilakukan terapi kimia (chemotherapy) yang menggunakan obat anti-retroviral virus (ARV) yang
berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan
untuk menyembuhkan; bila digunakan dengan benar berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup penderita.Tujuan pengobatan
yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang terinfeksi, (2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal,
(3) menjaga, menguatkan dan memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan replikasi virus HIV
dan mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan kualitas hidupnya.

Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obat-obat ini pada dasarnya terdiri dari 5 jenis
berdasarkan tempat kerjanya, yaitu NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), NNRTI (Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor), PI (protease Inhibitor), Fusion Inhibitor, dan Anti-Integrase.
Dalam terapi menggunakan obat ARV ini, umumnya dilakukan dengan kombinasi beberapa jenis obat. Pemakaian kombinasi
NRTI dengan NNRTI dan PI ini saat ini dikenal sebagai Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART). Penamaan ini
didasarkan atas peningkatan survival, pengurangan kemungkinan infeksi oportunistik dan komplikasi lain, perbaikan
pertumbuhan dan fungsi neurokognitif dan peningkatan kualitas hidup penderita HIV.
Tanpa adanya HAART, infeksi HIV ke AIDS muncul dengan rata-rata sekitar sembilan sampai sepuluh tahun dan
waktu bertahan setelah memiliki AIDS hanya 9.2 bulan. HAART meningkatkan waktu bertahan antara 4 dan 12 tahun.
Berikut adalah daftar obat anti retroviral.
Kombinasi multi kelas:

Kombinasi

efavirenz + TDF + FTC

Nama Dagang

Atripla

Keterangan

Diberikan saat perut kosong

Nucleoside/Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs):

Singkatan

Nama Generik

Nama

Keterangan

Dagang

3TC

lamivudine

Epivir

Diberikan dengan atau tanpa makanan

ABC

abacavir

Ziagen

Diberikan dengan atau tanpa makanan

AZT atau ZDV

zidovudine

Retrovir

Diberikan dengan atau setelah makan

d4T1

stavudine

Zerit

Diberikan dengan atau tanpa makanan

ddC2

zalcitabine

Hivid

Diberikan dengan atau setelah makan

ddI

didanosine

Videx (tablet)

Diberikan pada perut yang kosong 30 menit sebelum makan;


hindari alkohol

Videx

EC

Diberikan pada perut yang kosong satu jam sebelum makan;

(capsule)

hindari alkohol

FTC

emtricitabine

Emtriva

Diberikan dengan atau tanpa makanan

TDF

tenofovir

Viread

Diberikan dengan atau tanpa makanan

NRTIs Yang
Kombinasi

Nama Dagang

ABC + 3TC

Epzicom (US)

Keterangan

Diberikan dengan atau tanpa makanan

Kivexa (Europe)

ABC+AZT+3TC3

Trivizir

Diberikan dengan atau tanpa makanan

AZT + 3TC

Combivir

Diberikan dengan atau tanpa makanan

TDF + FTC

Truvada

Diberikan dengan atau tanpa makanan

Dikombinasikan:

Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs):

Nama

Nama Dagang

Keterangan

Generik

delavirdine

Rescriptor

Dilisensi di AS tapi tidak di Inggris. Diberikan dengan atau tanpa makanan.


Tunggu selama satu jam sebelum diberikan ddI atau antasida.

Efavirenz

Sustiva (US)

Diberikan ketika perut kosong

Stocrin (Europe)

etravirine4

Intelence

Dilisensi di AS tapi tidak di Inggris. Diberikan bersama makanan

nevirapine

Viramune

Diberikan dengan atau tanpa makanan

Protease Inhibitors (PIs):

Nama Generik

Amprenavir/

Nama Dagang

Keterangan

Agenerase/ Lexiva (US)

Diberikan dengan atau tanpa makanan

fosamprenavir
Agenerase/

Telzir

(Europe)

atazanavir5

Reyataz

Diberikan dengan makanan

darunavir6

Prezista

Diberikan dengan makanan

Indinavir

Crixivan

Diberikan saat perut kosong jika tidak diberikan bersama dengan


ritonavir

lopinavir+

Kaletra

Beberapa formula harus diberikan dengan makanan. Beberapa formula

ritonavir

perlu didinginkan hingga lebih dari 6 minggu


Aluvia

(developing

world)

nelfinavir

Viracept

Diberikan bersama makanan

Ritonavir

Norvir

Diberikan bersama makanan atau suplemen makanan cair

saquinavir

Fortovase

(soft

gel

capsule)

Invirase
capsule)

Diberikan dalam dua jam makan. Perlu didinginkan hingga lebih dari
3 bulan

(hard

gel

Diberikan dalam dua jam makan

tipranavir7

Aptivus

Diberikan bersama makanan

Fusion or Entry Inhibitors:

Nama Generik

T-20
enfuvirtide

atau

Nama Dagang

Fuzeon

Keterangan

Harus disiapkan dari serbuk dan diinjeksikan pada paha, lengan atau
abdomen

maraviroc9

Celsentri (Europe)

Diberikan dengan atau tanpa makanan

Selzentry (US)

Integrase Inhibitors:

Nama Generik

raltegravir10

Nama Dagang

Isentress

Keterangan

Diberikan dengan atau tanpa makanan

Pengobatan HIV biasanya melibatkan tiga obat yang diberikan bersama-sama. WHO merekomendasikan bahwa di sebagian
besar kasus, first line regimen harus mengandung dua buah obat dari kelompok nukleoside/nukleotida (NRTI) dan satu obat dari
kelompok non-nukleosida (NNRTI). Obat dari kelompok Protease Inhibitor (PI) kurang cocok untuk digunakan dalam
pengobatan awal karena harganya, jumlah pil yang harus diberikan, dan beberapa efek samping yang dapat timbul dengan obatobat protease.
Pengobatan lini pertama yang disukai mengandung AZT atau TDF (kelompok NRTI) yang dikombinasikan dengan 3TC
atau FTC (kelompok NRTI) lalu dikombinasikan lagi dengan EFV atau NVP (kelompok NNRTI). Cara alternatif lain yaitu, AZT
atau TDF diganti dengan d4T atau ABC

Kombinasi dari tiga NRTI dapat dilakukan dengan pertimbangan situasi dimana pilihan NNRTI menyebabkan komplikasi tambahan.
Dalam kasus ini kombinasi yang dipakai adalah AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF (dimana FTC dapat disubstitusi untuk 3TC).

First drug

Second drug

Third drug

Preferred

AZT or TDF

3TC or FTC

EFV or NVP

Alternative

d4T or ABC

3TC or FTC

EFV or NVP

Triple NRTI

AZT

3TC or FTC

ABC or TDF

Bila terdapat kondisi yang mengarah ke kegagalan terapi ARV lini pertama, maka diperlukan evaluasi ke arah kepatuhan berobat, dosis
dan infeksi oportunistik yang belum teratasi. Setelah dilakukan evaluasi menyeluruh dan diputuskan untuk melakukan penggantian obat,
maka opsi pilihan lini kedua dipertimbangakan.
Standard untuk pengobatan lini kedua adalah mengandung dua obat NRTI yang dikombinasikan dengan ritonavir-boosted
protease inhibitor, yang disingkat PI/r. Pilihan pertama biasanya ritonavir-boosted lopinavir (LPV/r) karena tersedia dalam
bentuk yang tidak memerlukan pendinginan
Jika pengobatan lini pertama terdiri dari tiga NRTI maka kemudian pengobatan lini kedua harus mengandung satu obat
NNRTI dan satu buah obat PI/r, dan dapat juga mengandung ddI juga (optional).
Tabel di bawah menunjukkan rekomendasi untuk penggantian regimen

First line regimen

Standard

Triple NRTI

Second line regimen

First drug

Second drug

Third drug

First drug

Second drug

Third drug

AZT atau d4T

3TC atau FTC

NVP atau EFV

ddI atau TDF

ABC

PI/r

TDF

3TC*

PI/r

TDF

3TC atau FTC

NVP atau TDF

ddI

ABC atau 3TC*

PI/r

ABC

3TC atau FTC

NVP atau TDF

ddI ataur TDF

3TC*

PI/r

First drug

Second drug

Third drug

First drug

Second drug

Third drug

AZT ata d4T

3TC or FTC

TDF or ABC

EFV or NVP

optional ddI

PI/r

* AZT dapat diberikan seperti 3TC dalam usaha untuk mencegah atau menunda resistensi terhadap obat.

6.15

Hepatitis A, B dan C
Hepatitis adalah istilah umum yang berarti radang hati yang dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, termasuk agen infeksius.

Virus hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai macam virus yang berbeda seperti hepatitis A, B, C, D dan E. Penyakit kuning adalah ciri
karakteristik penyakit hati dan bukan hanya karena virus hepatitis, diagnosis yang benar dapat dilakukan dengan pengujian SERA pada
pasien untuk mendeteksi adanya antivirus pada antibody. Sebagian besar kasus terkait hepatitis karena transfuse disebabkan oleh hepatitis A
virus (HAV) atau virus hepatis B (HBV), kedeua hanya dikenal kepatitis manusia, virus ini dikenal pada tahun 1975. Pada waktu itu
hepatitis C sudah ada, tapi dikenal dengan sebutan hepatitis A non B (NANB). Pada tahun 1989 virus hepatitis non A-B diidentifikasi dan
dikloning, kemidoan dinamai virus hepatitis C (HCV) (WHO,2010).
6.15.1 Hepatitis A
6.15.1.1 Definisi
Hepatitis A adalah salah satu dari tipe penyakit hepatitis yang ada. Hepatitis A adalah infeksi hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis A (HAV).
6.15.1.2 Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis A (HAV). Virus ini tidak beramplop, merupakan virus RNA untai rantai
kecil dengan diameter 27nm. Tidak inaktifasi oleh etetr dan stabil pada suhu -20C, serta pH yang rendah. Strukturnya mirip dengan
enterovirus, tapi hepatitis A virus berbeda dan sekarang diklasifikasikan dalam genus Hepatovirus, family picornavirus (Wilson,
2001).
6.15.1.3 Patogenesis
Virus yang disebabkan sitopatologi mungkin tidak bertanggung jawab untuk perubahan patologis yang terlihat pada infeksi
HAV sebagai penyakit hati dapat mengakibatkan terutama dari mekanisme kekebalan tubuh. Antigen spesifik limfosit-T
bertanggung jawab atas kerusakan yang terinfeksi hepatosit.
Peningkatan kadar interferon telah terdeteksi dalam serum dari pasien yang terinfeksi HAV dan merespon untuk pengurangan
virus yang tampak membebani pasien setelah onset penyakit klinis dan gejala mereka.
Jarang terjadi pasien yang pengembangan virus hepatitis A dari kolestatis.
Kofluen nekrosis herpatic dapat menyebabkan fulminan herpatik dan kematian pada 30-60% kasus.kematian tak terhindarkan
ketika nekrosis lebih dari 65-80% dari total hepatosit fraksi.
Selama tahap pemulihan, regenerasi sel terlihat. Jaringan sel yang rusak biasanya dikembalikan dalam waktu 8-12 minggu
6.15.1.4 Gejala dan Tanda Klinis
Periode inkubasi infeksi virus hepatitis A antara 10-50 hari (rata-rata 25 hari), biasanya diikuti dengan demam, kurang nafsu
makan, mual, nyeri pada kuadran kanan atas perut, dan dalam waktu beberapa hari kemudian timbul sakit kuning. Urin penderita
biasanya berwarna kuning gelap yang terjadi 1-5 hari sebelum timbulnya penyakit kuning. Terjadi pembesaran pada organ hati.

Hepatitis A dapat dibagi menjadi 4 fase klinis:


a.

Inkubasi atau periode preklinik, 10-50 hari, dimana pasien tetap asimtomatik meskipun terjadi replikasi aktif virus.

b.

Fase prodromal atau preicteric, mulai dari beberapa hari sampai lebih dari seminggu, ditandai dengan munculnya gejala seperti
kehilangan nafsu makan, kelelahan, sakit perut, mual dan muntah, demam, diare, urin gelap dan tinja yang pucat.

c.

Fase icteric, dimana penyakit kuning berkembang di tingkat bilirubn total melebihi 20-40 mg/l. pasien sering minta bantuan
medis pada tahap awal. Demam biasanya membaik setelah beberapa hari pertama penyakit kuning. Veremia berakhir tak lama
setelah mengembangkan hepatitis, meskipun tinja tetap menular selama 1-2 minggu. Tingkat kematian rendah (0.2% dari
kasus icteric) dan penyakit akhirnya sembuh sendiri. Kadang-kadang nekrosis hati meluas terjadi selama 6 pertama-8 minggu
pada masa sakit. Dalam hal ini demam tinggi, ditandai nyeri perut, muntah, penyakit kuning dan pengembangan ensefalopati
hati terkait dengan koma dan kejang, ini adalah tanda-tana hepatitis fulminan.

d.

Masa penyembuhan berjalan lambat, tetapi pemulihan pasien lancar dan lengkap. Kejadian kambuh hepatitis terjadi dalam 320% dari pasien, sekitar 4-15 minggu setelah gejala awal telah sembuh (WHO, 2010).

6.15.1.5 Diagnosis
Diagnosis hepatitis dibuat dengan penilaian biokimia fungsi hati (evaluasi laboratorium: bilirubin urin dan urobilinogen, bilirubin
total serum dan langsung, ALT dan/atau AST. Fosfatase alkali, waktu protrombin, protein lokal, albumin, IgG, IgA, IgM, hitung darah
lengkap). Diagnosis spesifik hepatitis A dibuat dengan menemukan anti-HAV IgM dan anti-HAV total (IgM dan IgG) untk penilaian
kekebalan terhadap HAV tidak dipengaruhi oleh administrasi pasif IG, karena dosis profilaksis berada di bawah deteksi level. Pada awal
penyakit, keberadaan IgG anti-HAV selalu diserai dengan adanya IgM anti-HAV. Sebagai anti-HAV IgG tetap seumur hidup setelah infeksi
akut, deteksi IgG anti-HAV saja menunjukan infeksi masa lalu (WHO, 2010)
6.15.1.6 Treatment
a. Cara Pencegahan
Menurut WHO, ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis A, antara lain:
a) Hampir semua infeksi HAV menyebar dengan rute ferak-oral, maka pencegahan dapat dilakukan dengan hygiene
perorangan dengan baik, standar kualitas tinggi untuk persediaan air public dan pembuangan limbah saniter, serta
sanitasi lingkungan yang baik.
b) Dalam rumah tangga, kebersihan pribadi yang baik, termasuk tangan seiring dengan mencuci setelah buang air besar dan
sebelum menyiapkan makanan, merupakan tindakan penting untuk mengurangi resiko penularan dari individu yang
terinfeksi sebelum dan sesudah penyakit klinis mereka menjadi apparent.
Dalam bukunya, Wilson menambahkan pencegahan untuk hepatitis A, yaitu dengan cara pemberian vaksin atau imunisasi. Ada
dua jenis vaksin, yaitu:
a) Imunisasi pasif
Pasif (yaitu antibody) profilaksis untuk hepatitis A telah tersedia selama bertahun-tahun. Serum imun globulin (ISG),
dibuat dari plasma populasi umum, member 80-90% perlindungan jika diberikan sebelum atau selama periode
inkubasi penyakit.

Saat ini, ISG harus diberikan pada orang yang intensif kontak pasien hepatitis A dan orang yang diketahui telah
makan makanan mentah yang telah diolah atau ditangani oleh individu yang terinfeksi.
b) Imunisasi aktif
Untuk hepatitis A, vaksin dilemahkan hidup telah dievaluasi tetapi telah menunjukan imunogenisitas dan belum
efektif bila diberikan secara oral. Penggunaan vaksin ini lebih baik dari pada pasif profilaksis bagi mereka yang
berkepanjangan atau berulng terpapar hepatitis A.
b. Cara pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit hepatitis A, terapi yang dilakukan hanya untuk mengatasigejala yang timbul. Contoohnya,
pemebrian parasetamol untuk penurun panas. Terapi harus mendukung dan bertujuan untuk menjaga keseimbangan gizi yang cukup. Tidak
ada bukti yang baik bahwa pembatasan lemk memiliki efek menguntungkan pada program penyakit. Minuman mengandung alcohol tidak
boleh dikonsumsi selama hepatitis akut karena efek hepatotoksik langsung dari alcohol (WHO, 2010).

6.15.2 Hepatitis B
6.15.2.1 Definisi
Hepatitis B adalah salah satu dari tipe penyakit hepatitis yang ada. Hepatitis B adalah infeksi hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis C (HBV).
6.15.2.2 Etiologi
Virus hepatitis B merupakan virus DNA beramplop, termasuk family Heoadnaviridae. Virion lengkap adalam 42nm,
partikel berbebntuk bola yang terdiri dari sebuah amplop disekitar inti 27nm. Inti terdiri dari nukleokapsid yang berisi
ggenom DNA. Genom virus sebagian terdiri dari DNA untai ganda dengan potongan pendek, dan selebar untai
tunggal. Ini terdiri dari 3200 neuklotida, sehingga ikenal sebagai DNA virus terkecil (Wilson, 2001)
6.15.2.3 Patogenesis
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati
dan terjadi proses replikasi virus. Sellanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh,
partikel HBsAg bentuk bualt dan tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang
respons imun tubuh, yang pertama kali datang adalah respon imun nonspesifik yang diikuti oleh respon imun spesifik.
(Soewignjo, 2007)
6.15.2.4 Gejala Klinis dan Tanda Klinis
Wilson (2001) menjelaskan gambaran klinis hepatitis B sangat bervariasi. Masa inkubasi dari 45 hari selama 160 hari
(rata-rata 10 minggu). Hepatitis B akut biasanya dimanifestasikan dalam bertahap mulai kelelahan, kehilangan nafsu
makan, mual dan rasa sakit dan kepenuhan diperut kuadran kanan atas. Pada awal perjalanan penyakit,rasa sakit dan
pembengkakan sendi serta arthritis mungkin terjadi. Beberapa pasien terjadi ruam. Dengan meninngkatnya

involvenmen hati, ada peningkatan kolestatis da karenannya, urin berwarna kuning gelap, dan penyakit kuning. Gejala
dapat bertahan selama beberapa bulan sebelum akhirnya berhenti. Secara umum, gejala yng terkait dengan hepatitis B
akut lebih berat dan lebih lama dibandingkan dengan hepatitis A.
HBV terdapat dalam cairan tubuh dari penderitanya, baik dalam darah, sperma, cairan vagina dan air ludah. Virus ini
mudah menular pada orang-orng yang hidup bersama orang yang terinfeksi melalui cairan tubuh tadi. Secara umum
seseorang dapat tertular HBV melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik yang bergantian, menggunakan
alat yang terkoontaminasi darah dari penderita (pisau cukur, tato, tindik), 90% berasal dari ibu yang terineksi HBV,
transfuse darah, serta lewat peralatan dokter (Anania, 2008).
6.15.2.5 Diagnosis
Dr. Imran Lubis dalam artikelnya berjudul Penyakit Hepatitis Virus, menjelaskan pemeriksaan hepatitis B yang
paling penting adalah HbsAg. HbsAg ini dapat diperiksa dari serum, air liur, urin, dan cairan tubuh lainnya. HbsAg
diperiksa oertama kali dengan metode imunodifusi, yang mudah dikerjakan, murah , dan spesifik, tetapi lambat dan
tidak

sensitive.

Metode

kedua

dalam

pemeriksaan

HbsAg

adalah

dengan

metoda

CIEP

(counter

immunoelectrophoresis) dan CF (complement fixation) yang lebih sensitive dari imunodifusi. Metode yang paling
sensitive adalah RIA (radio immunoassay) dan EIA-ELISA (enzim immunoassay). Tes ini sangat sensitive dan
spesifik. Metode EIA mampu mendeteksi HbsAg sekecil 0,5 g/l (konsentrasi HbsAg dalam plasma mencapai 1g/l).
Tes EIA dan RIA mampu mendeteksi 95 % penderita hepatitis B. Diagnosis HbsAg buatan Indonesia adalah Entebe
RPHA yang mempunyai sensitifitas 78,6% dan spesifisitas 80%.
6.15.2.6 Treatment
a. Cara Pencegahan
Beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah hepatitis B antara lain:
a)

Pemberian vaksinasi Hepatitis B adalah perlindungan terbaik. Pemberian vaksinasi secara rutin direkomendasikan untuk
semua orang-orang segala usia yang berada dalam kelompok beresiko terinfeksi HBV, dan untuk orang yang
menginginkan perlindungan dari hepatitis B.

b)

Setiap wanita hamil. Dia harus dites untuk hepatitis B,, bayi yang lahir dan ibu yang terinfeksi HBV harus diberikan
HBIG (hepatitis B immune globulin) dan vaksin dalam waktu 12 jam lahir.

c)

Penggunaan kondom lateks dalam berhubungan seksual

d)

Jangan berbagi peralatan pribadi yang mungkin terkena darah penderita, seperti pisau cukur, sikat gigi, dan handuk.

e)

Jangan mendonorkan darah, organ, atau jaringan jika anda positif memiliki HBV

b. Cara Pengobatan
Menurut Wilson (2001) hepatitis B kronis adalah penyakit yang bisa diobati. Inferno alfa, 5-10 juta untuk tiga kali seminggu selama
4-6 bulan, memberikan manfaat jangka panjang dalam minorita (sampai 33%) dari pasien dengan infeksi kronik hepatitis B.
pemberian Lamiduvine (3TC) juga bisa diberikan. Lamivudine merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi selama
siklus replikasi HBV. Pemberian lamivudine 100mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA.

6.15.3 Hepatitis C
6.15.3.1 Definisi
Hepatitis C adalah salah satu dari tipe penyakit hepatitis yang ada. Hepatitis C adalah infeksi hati yang disebabkan
oleh virus hepatitis C (HCV).
6.15.3.2 Etiologi
Virus hepatitis C adalah virus RNA dari family Flavivirus. Ia memiliki genom yang sangat sederhana. Yang terdiri
dari hanya tiga dan lima gen structural non structural, setidaknya ada 6 genotip utama, dua diantaranyanya telah
subtype (1a dan b, 2a dan b). genotip tersebut memiliki distribusi geografis yang sangat berbeda dan mungkin terkait
dengan penyakit yang berbeda severities serta respon terhadap terapi (Wilson, 2001).
6.15.3.3 Patogenesis
Infeksi virus hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama penyakit hati kronis di dunia dan karsinoma
hepatoseluler (HCC), mewakili indikasi utama untuk transplantasi hati.Infeksi HCV ditandai dengan kecenderungan
untuk kronisitas. Karena keragaman genetik tinggi, HCV memiliki kemampuan untuk melarikan diri dari respon host
kekebalan tubuh.HCV tidak langsung sitopatik dan lesi hati terutama terkait dengan kekebalan-mediated mekanisme,
yang dicirikan oleh jenis penolong respon sel dominan 1. Kofaktor yang mempengaruhi prognosis dari penyakit
seperti usia, jenis kelamin dan konsumsi alkohol tidak mapan. Kurangnya model hewan dan dalam teknik kultur in
vivo menghambat pemahaman tentang patogenesis hepatitis C kronis dan pengembangan antivirus baru.Namun,
kombinasi terapi dengan interferon alfa dan ribavirin menginduksi respon yang berkelanjutan dalam 40% pasien
dengan

hepatitis

kronis

Tingkat tanggapan yang bertahan tergantung terutama pada genotipe virus. Kombinasi dengan polyethylene glycol
meningkatkan farmakodinamik dan efektivitas interferon alfa.Pengembangan vaksin yang efektif tampaknya menjadi
tantangan yang paling sulit.Karena variabilitas tinggi protein HCV tampaknya tidak mungkin kinerja vaksin
pelindung, sehingga produksi vaksin terapeutik tampaknya lebih realistis. Dalam sepuluh tahun terakhir kemajuan
signifikan telah dilakukan sehubungan dengan studi HCV, bagaimanapun, masih aspek untuk menjelaskan
patogenesis infeksi ini.
6.15.3.4 Gejala Klinis dan Tanda Klinis
Masa inkubasi hepatitis C akut rata-rata 6-10 mnggu. Kebanyakan orang (80%) yang menderita hepatitis C akut tidak
memiliki gejala. Awal penyakit biasanya berbahaya, dengan anoreksia, moal dan muntah, demam dan kelelahan,
berlanjut untuk menjadi penyakit kuning sekitar 25% dari pasien, lebih jarang daripada hepatitis B. infeksi HCV dapat
dibagi dalam 2 fase, yaitu:
1.

Infeksi HCV akut


HCV menginfeksi hepatosit (sel hati). Masa inkubasi hepatitis C akut rata-rata 6-10 mnggu. Kebanyakan orang
(80%) yang menderita hepatitis C akut tidak memiliki gejala. Awal penyakit biasanya berbahaya, dengan
anoreksia, moal dan muntah, demam dan kelelahan, berlanjut untuk menjadi penyakit kuning sekitar 25% dari
pasien, lebih jarang daripada hepatitis B. Tingkat kegagalan hati fulminan terkait dengan infeksi HCV adalah
sangat jarang. Mungkin sebanyak 70-90% dari orang yang terinfeksi, gagal untuk membunuh virus selama fase
akut dan akan berlanjut menjadi penyakit kronis dan menjadi karier.

2.

Infeksi HCV kronis


Hepatitis kronis dapat didefinisaikan sebagai penyakit terus tanpa perbaikan selama setidaknya enak bulan.
Kebanyakan orang (60-80%) yang telah kronis hepatitis C tidak memiliki gejala. Infeksi HCV kronis
berkembang pada 75-85% dari orang dengan persisten atau berfluktuasi ALT kronis. Pada fitur epideimologi
antara pasien dengan infeksi akut telah ditemukan menunjukan peningkatan penyakit hati aktif, berkembang
dalam 60-70% dari orang yang terinfeksi telah ditemukan sudah menjadi penyakit hati kronis.
Hepatitis kronis dapat menyebabkan siroses hati dan karsinoma hepatoseluler (HCC). Sirosis terkait HCV
menyebabkan kegagalan hati dan kematiannpada sekitar 20-25% kasus sirosis. Sirosis terkait HCV sekarang
merupakan sebab utama untuk transolantasi hati. 1-5% orang dnegan hepatitis C kronis berkembang dengan
karsinoma hepatoseluler. Perkembangan HCC jarang terjadi pada pasien dengan hepatitis C kronis yang tidak
memiliki sirosis (WHO, 2010).
Periode masa penularan dari satu minggu atau lebih sebelum timbulnya gejala pertama dan mungkin bertahan
pada sebagian besar orang selamanya. Berdasarkan studi infektifitas di simpanse, titer HCV dalam darah
tampaknya relative rendah. Puncak dalam konsentrasi virus tampak berkolerasi dengan puncak aktifitas ALT.
tingkat kekebalan setelah infeksi tidak diketahui. Infeksi berulang dengan HCV telah ditunjukan dalam sebuah
model eksperimental simpanse. Infeksi HCV tidak menyebabkan kegagalan hati fulminan (mendadak, cepat),
namun, menjadi penyakit hati kronis seperti infeksi HBV kronis, dan dapat memicu gagal hati (WHO, 2010).
Penularan terjadi melalui paparan perkutan terhadap darah yang terkontaminasi. Jarum suntik adalah sarana
penyebaran yang paling penting, khususmya di kalangan pengguna narkoba suntikan, transmisi melalui kontak
rumah tangga dan aktivitas seksual tampaknya rendah. Transmisi saat lahir dari ibu ke anak juga relative jarang
(WHO, 2010).

6.15.3.5 Diagnosis
Diagnosis Hepatitis C tergantung pada demonstrasi anti-HCV yang terdeteksi oleh EIA. Tes belum tersedia untuk
membedakan akut dari infeksi HCV kronis. Positif anti-HCV IgM tingkat ditemukan dalam 50-93% pasien dengan
hepatitis C akut dan 50-70% dari pasien dengan hepatitis C kronis. Oleh karena itu, anti-HCV IgM tidak dapat
digunakan sebagai penanda dapat diandalkan infeksi HCV akut (WHO, 2010). Teknik amplifikasi menggunakan
reaksi PCR (polymerase chain reaction) atau TMA (transcription-mediated amplification) telah dikembangkan
sebagai uji kualitatif untuk mendeteksi RNA HCV, sedangkan kedua amplifikasi target (PCR) dan sinyal teknik
amplifikasi (branched DNA) dapat digunakan untuk mengukur tingkat RNA HCV. Karena variabilitas assay, jaminan
kualitas yang ketat dan kontrol harus diperkenalkan di laboratorium klinik dalam melakukan tes ini, dan pengujian
kemampuan seyogyanya direkomendasikan. Untuk tujuan ini, Standar Internasional Pertama untuk NAT (Nucleic
Acid Amplification Technology) tes HCV RNA telah dianjurkan untuk digunakan (WHO, 2010).
Sebuah uji EIA untuk deteksi inti-antigen HCV telah dibentuk dan terlihat tidak cocok untuk screening donor darah
skala besar, sementara penggunaannya dalam pemantauan klinis masih harus ditentukan. Anak-anak tidak harus diuji
untuk anti-HCV sebelum usia 12 bulan sebagai anti-HCV dari ibu bis berlangsung sampai usia ini. Diagnosa
bergantung pada penentuan tingkat ALT dan keberadaan HCV RNA dalam darah bayi setelah bulan kedua kehidupan
(WHO, 2010).
6.15.3.6 Treatment
a. Cara pencegahan

Strategi yang komprehensif untuk mencegah dan mengendalikan hepatitis C virus (HCV) infeksi dan penyakit terkait
HCV :
- Pemeriksaan dan pengujian darah, plasma, organ, jaringan, dan air mani donor
- Sterilisasi yang memadai seperti bahan dapat digunakan kembali atau instrument bedah gigi
- Pengurangan risiko dan layanan konseling
- pengawasan terhadap jarum dan program pertukaran jarum suntik (WHO, 2010).
b. Cara pengobatan
Interferon telah dibuktikan untuk menormalkan tes hati, memperbaiki peradangan hati dan mengurangi replikasi virus
pada hepatitis C kronis dan dianggap sebagai terapi baku untuk hepatitis C kronis. Saat ini, dianjurkan untuk pasien
dengan hepatitis kronis kompensasi C (anti-HCV positif, HCV deteksi RNA, abnormal ALT tingkat atas sekurangkurangnya 6 bulan, fibrosis ditunjukkan oleh biopsi hati). Interferon-alpha diberikan subkutan dengan dosis 3 juta unit
3 kali seminggu selama 24 bulan. Pasien dengan aktivitas ALT dikurangi atau tingkat HCV RNA dalam bulan pertama
pengobatan lebih cenderung memiliki respon yang berkelanjutan. Sekitar 50% dari pasien merespon interferon
dengan normalisasi ALT pada akhir terapi, tetapi setengahnya bisa kambuh dalam waktu 6 bulan (WHO, 2010).
Terapi kombinasi dengan pegylated interferon dan ribavirin selama 24 atau 48 minggu seharusnya menjadi terapi
pilihan bagi pasien yang kambuh setelah pengobatan interferon. Tingkat kekambuhan kurang dari 20% terjadi pada
pasien kambuh diobati dengan terapi kombinasi selama setahun (WHO, 2010).
Transplantasi adalah suatu pilihan bagi pasien dengan sirosis yang nyata secara klinis pada stadium akhir penyakit
hati. Namun, setelah transplantasi, hati donor hampir selalu menjadi terinfeksi, dan risiko pengembangan menjadi
sirosis muncul kembal (WHO, 2010).
Pasien dengan hepatitis C kronis dan infeksi HIV bersamaan mungkin memiliki program akselerasi penyakit HCV.
Oleh karena itu, meskipun tidak ada terapi HCV secara khusus disetujui untuk pasien koinfeksi dengan HIV, pasien
tersebut harus dipertimbangkan untuk pengobatan. Pemberian kortikosteroid, ursodiol, thymosin, acyclovir,
amantadine, dan rimantadine tidak efektif (WHO, 2010)

Anda mungkin juga menyukai