Anda di halaman 1dari 28

KASUS 1

Identitas : 03-03-10 / 5727


Diterima foto : (Oesophago-Maag-Duodenum/OMD)
Proyeksi : AP supine
Kualitas : Foto layak baca
Hasil :
- Tampak bahan kontras dimasukkan melalui nasogastric tube ke dalam gaster
- Tampak pengumpulan bahan kontras bagian gaster membentuk gambaran gaster dari
fundus, corpus dan pilorus .
- Tampak bahan kontras yang menyempit pada bagian duodenum
- Tak tampak infiltrat maupun konsolidasi pada lapang paru, sinus c.f. tajam
- Besar cor normal
Kesan:
Suspek congenital stenosis duodenum dan malrotasi gaster

I.

ANATOMI DAN FISIOLOGI DUODENUM

Intestinum tenue merupakan organ pencernaan yang sering juga disebut


sebagai small intestine atau usus kecil/ usus halus. Intestinum tenue
menghubungkan gaster denganvalvulla ileocaecal (bauhini) yang merupakan batas
antara intestinum tenue dengan intestinum crassum. Seluruh organ yang termasuk
dalam intestinum tenue juga merupakan organ-organ intraperitoneal. Intestinum
tenue terdiri atas duodenum, jejenum, dan ileum.
Duodenum atau juga disebut dengan usus 12 jari merupakan usus yang
berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster dengan jejunum.
Duodenum melengkung di sekitar caput pancreas. Duodenum merupakan bagian
terminal/ muara dari system apparatus biliaris dari hepar maupun dari pancreas.
Selain itu duodenum jg merupakan batas akhir dari saluran cerna atas. Dimana
saluran cerna dipisahkan mjd saluran cerna atas dan bawah oleh adanya lig. Treitz
(m. suspensorium duodeni) yang terletak pada flexura duodenojejunales yang
merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di dalam lumen duodenum
terdapat lekukan2 kecil yang disebut dengan plica sircularis. Duodenum terletak
di cavum abdomen pada regio epigastrium dan umbilikalis. Duodenum memiliki
penggantung yang disebut dengan mesoduodenum. Duodenum terdiri atas
beberapa bagian :
a. Duodenum pars Superior

Bagian ini bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi kanan vertebrae lumbal
I dan terletak di linea transylorica. Bagian ini terletak setinggi Vertebrae
Lumbal I, dan memiliki syntopi :
- Anterior : lobus quadariatus hepatis, vesica fellea
- Posterior : bursa omentalis, a. gastroduodenalis, ductus choledocus, v.
portae hepatis dan V. cava inferior
- Superior : foramen epiploica winslow
- Inferior : caput pancreas
b. Duodenum pars Descendens
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan turun setinggi Vertebrae
Lumbal II III. Pada duodenum bagian ini terdapat papilla duondeni major
dan minor, yang merupakan muara dari ductus pancreaticus major dan
ductus choledocus, jg oleh ductus pancreaticus minor yang merupakan
organ apparatus biliaris yang merupakan organ2 system enterohepatic.
Duodenum bagian ini memiliki syntopi :
- Anterior : fundus vesica fellea, colon transversum, lobus hepatis dextra,
lekukan usus halus.
- Posterior : ureter dextra, hilus renalis dextra
- Medial : caput pancreas
- Lateral : colon ascendens, flexura coli dextra, lobus hepatis dextra
c. Duodenum pars Horizontal
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan horizontal ke sinistra
mengikuti pinggir bawah caput pancreas dan memiliki skeletopi setinggi
Vertebrae Lumbal II. Duodenum bagian ini memiliki syntopi :
- Anterior : mesenterium usus halus, vasa. Mesenterica superior, lekukan
jejunum
- Posterior : ureter dextra, m. psoas dextra, VCS, aorta
- Superior : caput pancreas
- Inferior : lekukan jejunum
d. Duodenum pars Ascendens
Merupakan bagian terakhir dari duodenum yang bergerak naik hingga pada
flexura duodenujejunales yang merupakan batas antara duodenum dan
jejunum. Pada flexura duodenojejunales ini terdapat ligamentum yang
menggantung yang merupakan lipatan peritoneum yang disebut dengan lig.

Treitz (m. suspensorium duodeni) yang dimana ligamentum ini juga


merupakan batas yang membagi saluran cerna mjd saluran cerna atas dan
saluran cerna bawah. Duodenum bagian ini memiliki skeletopi setinggi
Vertebrae Lumbal I atau II. Duodenum bagian ini memiliki syntopi :
- Anterior : mesenterium, lekukan jejunum.
- Posterior : pinggir kiri aorta , pinggir medial m. psoas sinistra

II.

EPIDEMIOLOGI
Insiden obstruksi duodenum bervariasi antara1 dari 10.000 hingga 1 dari
40.000 kelahiran. Kebanyakandiperolehperbandinganantara atresia dan stenosis
adalah

3:2

atau

2:2.Atresia

duodenum

dan

stenosis

adalahpenyebabterseringdariobstruksiintestinumpadabayi yang barulahir.


III.

ETIOLOGI
Obstruksi instrinsik pada duodenum terjadi akibat kegagalan vakuolisasi
dan rekanalisasi.

IV.

PATOFISIOLOGI
Penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya daya mekanik
yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan
penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase
lumen usus terganggu. Sehingga terjadi pengumpulan isi lumen usus yang berupa
gas dan cairan pada bagian proksimal tempat penyumbatan yang menyebabkan
pelebaran dinding usus (distensi).
Awalnya, peristaltik pada bagian proksimal usus meningkat sebagai
kompensasi adanya sumbatan atau hambatan. Bila obstruksi terus berlanjut dan
terjadi peningkatan tekanan intraluminal, maka bagian proksimal dari usus tidak
akan berkontraksi dengan baik dan bising usus menjadi tidak teratur dan hilang.
Peningkatan tekanan intraluminal dan adanya distensi menyebabkan gangguan
vaskuler terutama stasis vena. Dinding usus menjadi udem dan terjadi translokasi
bakteri ke pembuluh darah. Produksi toksin yang disebabkan oleh adanya

translokasi bakteri menyebabkan timbulnya gejala sistemik. Efek lokal


peregangan usus adalah iskemik akibat nekrosis disertai absorbsi toksin-toksin
bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik. Hal ini biasanya
terjadi pada obstruksi usus dengan strangulasi. Bahaya umum dari keadaan ini
adalah sepsis.
V.

MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual,
muntah,perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah
umumnyaterjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal
makagejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi
bilaobstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi.
Obstruksi

pada

usus

halus

menimbulkan

gejala

seperti

nyeri

perut

sekitarumbilikus atau bagian epigastrium. Pasien dengan obstruksi partial


bisamengalami diare. Kadang kadang dilatasi dari usus dapat diraba.
Obstruksipada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih ringan
dibandingobstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang
berakhirpada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah jarang terjadi.
Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala
muntah yang terdiri dari cairan jernih hijau atau kuning dan terlihat dini dalam
perjalanan. Usus didekompresi dengan regurgitasi, sehingga tak terlihat distensi.
Jika obstruksi di distal di dalam usus halus atau kolon, maka muntah timbul
lambat dan setelah muncul distensi. Muntahannya kental dan berbau busuk
(fekulen) sebagai hasil pertumbuhan bakteri berlebihan sekunder terhadap
stagnansi.
Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola
naikturun.Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus
halus(jejenum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap.
VI.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan
diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan

membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang
normal.
Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai
elektrolityang

abnormal.

Peningkatan serum amilase

sering didapatkan.

Leukositosismenunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi


pada 38% -50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi
nonstrangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidariasi. Selain
itudapat

ditemukan

adanya

gangguan

elektrolit.

Analisa

gas

darah

mungkinterganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik


asidosisbila ada tanda tanda shock, dehidariasi dan ketosis.
Radiologik
Pada foto posisi tegak akan tampak bayangan air fluid level yang banyak
di beberapa tempat (multiple air fluid level) yang tampak terdistribusi dalam
susunan tangga (step ladder appearance), sedangkan usus sebelah distal dari
obstruksi akan tampak kosong. Jumlah loop dari usus halus yang berdilatasi secara
umum menunjukkan tingkat obstruksi. Bila jumlah loop sedikit berarti obstruksi
usus halus letaknya tinggi, sedangkan bila jumlah loop lebih banyak maka
obstruksi usus halus letaknya rendah. Semakin distal letak obstruksi, jumlah air
fluid level akan semakin banyak, dengan tinggi yang berbeda-beda sehingga
berbentuk step ladder appearance.
Bayangan udara di dalam kolon biasanya terletak lebih ke perifer dan
biasanya berbentuk huruf U terbalik. Obstruksi kolon ditandai dengan dilatasi
proksimal kolon sampai ke tempat obstruksi, dengan dekompresi dari kolon
bagian distal. Kolon bagian proksimal sampai letak obstruksi akan lebih banyak
berisi cairan daripada feses. Usus halus bagian proksimal mungkin berdilatasi,
mungkin juga tidak. Dugaan tumor kolon dapat dibuat foto barium enema. Foto
polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus,
sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon. Foto thoraks PA diperlukan
untuk mengetahui adanya udara bebas yang terletak di bawah diafragma kanan
yang menunjukkan adanya perforasi.

VII.

DIAGNOSIS BANDING
Ileus paralitik
Merupakan suatu gawat abdomen berupa distensi abdomen karena usus
tidak berkontraksi akibat adanya gangguan motilitas di mana peristaltik usus
dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi
kontrol otonom pergerakan usus. Manifestasi kliniknya berupa distensi perut,
tidak dapat flatus maupun defekasi dan dapat disertai muntah serta perut terasa
kembung. Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen, bising usus
menurun atau bahkan menghilang, tidak terdapat nyeri tekan dan perkusi timpani
di seluruh lapang abdomen. Pada pemeriksaan radiologi, foto polos abdomen
didapatkan gambaran dilatasi usus menyeluruh dari gaster sampai rektum dan
herring bone appearance (gambaran tulang ikan).

VIII. PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit
dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi,
mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk
memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
Resusitasi.
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda-tanda
vital, dehidrasi dan syok.Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami
dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolitsehingga perlu diberikan cairan
intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihatdengan
memonitor tanda-tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan
intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan
untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan
mengurangi distensiabdomen
Farmakologis
Pemberian obat-obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.

Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder.Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikandengan hasil eksplorasi selama laparotomi.
1.

Persiapan Prabedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan lakukan

pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan aspirasi.
Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan hipokalemia
perlu mendapat perhatian khusus.
2.

Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan

tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus dikoreksi
dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir.Prosedur operatif
standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas,
meskipun dengan perkembangan yang ada telah dimungkinkan untuk melakukan
koreksi atresia duodenum dengan cara yang minimal invasive. Atau dapat dilakukan
tindakan pembedahan Anastomosis duodenoyeyunostomi. Tidak dilakukan reseksi
bagian atresia, karena dapat terjadi pemotongan ampula vateri dan saluran Wirsungi.
Prosedur

pembedahan

dimulai

dengan

insisi

tranversal

pada

supra

umbilikalabdominal, 2 cm di atas umbilikus dengan cakupan mulai dari garis tengah


sampai kuadran kanan atas. Setelah membuka kavum abdominal, dilakukan inspeksi
didalamnya untuk mencari kemungkinan adanya kelainan anomali lainnya. Untuk
mendapatkan

gambaran

lapang

pandang

yang

baik

pada

pars

superior

duodenum,dengan sangat hati-hati dilakukan penggeseran hati (liver) selanjutnya


kolon asenden dan fleksura coli dekstra disingkirkan dengan perlahan-lahan.
IX.

KOMPLIKASI
Dapat

ditemukan

kelainan

kongenital

lainnya.

Mudah

terjadi

dehidrasi,terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat


terjadi komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum),
gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal.Penelitian Laura K et al (1998)
yang dilakukan terhadap 92 neonatus dengan atresia duodenal (Tipe I 64%, Tipe II
17%, Tipe III 18%) dengan melakukan tindakan pembedahan Duodenoduodenostomy

(86%), duodenotomy with web excision (7%) and duodenojejunostomy (5%),


didapatkan komplikasi postoperative (Postoperative Complications) yaitu 4 neonatus
(3%) dengan obstruksi, congestive heart failure (9%), ileus paralitik yang
berkepanjangan (4%),pneumonia (5%), infeksi luka superfisialis (3%). Komplikasi
lanjut termasuk perlekatan obtruksi usus (9%), dismotilitas duodenal lanjut yang
menghasilkan megaduodenum yang membutuhkan duodenoplasty (4%), dan
gastroesophageal refluks disease yang tidak respon dengan pengobatan dan
membutuhkan pembedahan antirefluk (Nissen Fundoplication Surgery) (5%).
X.

PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun
terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan
teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi,
tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun tua maka
toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat
rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih
tinggi dibandingkan obstruksi usus halus.

Identitas : 21-01-12 / 2123


Diterima foto : Colon in Loop Double Kontras
Proyeksi : AP
Kualitas : Foto tidak layak baca
Hasil :
- Tampak kontras masuk mengisi rectum, colon sigmoid, mucosa tampak licin, tak tampak
filling defect
- Tampak kontras masuk mengisi colon descendens, colon transversum, mucosa tampak licin,
tak tampak filling defect
- Tampak filling defect pada 1/3 superior colon assenden, batas tegas, tepi rata, tidak
homogen, tidak berbonjol-bonjol,
Kesan:
- Suspect tumor kolorektal di 1/3 superior colon assenden

II Karsinoma Kolorektal
1 Definisi Karsinoma Kolorektal
Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kankeryang ganas di dalam permukaan
usus besar atau rektum.1
II. 2 Epidemiologi Karsinoma Kolorektal
Secara epidemiologis, angka kejadian kanker kolorektal mencapai urutan ke-4 di dunia
dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 19.4 dan 15.3 per 100.000 penduduk.Angka insiden tertinggi terdapat pada
Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru, sedangkan angka insiden terendah terdapat
pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua
sebagai kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada tingkat insidensi dan
mortalitas.

6.8%

8.7%

11.7%

Sigmoid
9.7%

Sekum
1.9%

Gambar 2.5Distribusi

kanker kolorektal menurut

lokasi
51.5%

II. II. 3 Etiologi Karsinoma Kolorektal


Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan :

Sindroma kanker familial


Terdapat

berbagai

faktor

genetik

yang

berkaitan

dengan

keganasan

kolorektal.Sebanyak 10-15 % kasus kanker kolorektal disebabkan oleh faktor ini.


Syndrome

of Genetic

Phenotype

Extracolonic

Treatment

Notes

total

basis

manifestation

CRC
Familial

burden
<1%

s
Mutasi

<100

CHRPE,

TPC

osteomas,

end-

include Turcot

near epidermal

ileostomy

(CNS tumors)

with cysts,

or IPAA or and Gardener

adenomatou

pada gen adenomatous

s polyposis

suppress

(FAP)

or tumor 100%

polyp;

with Variants

APC

CRC by age periampullary

TAC

with (desmoids)

(5q21)

40 yr

IRA

and syndromes

neoplasms

lifelong
surveillanc
Hereditary

5%7% Defectiv

Polyps

At

risk

e
for Genetic

High

nonpolyposi

sedikit,

uterine,

counseling;

s colorectal

mismatc

predominantl

ovarian, small consider

cancer

h repair: y right-sided intestinal,

prophylacti

(MSI-H)

(HNPCC)

MSH2

CRC,

tumors, better

and

lifetime risk malignancies

resections,

prognosis

MLH1

of CRC

including

than sporadic

TAH/BSO

CRC

Surveillanc

Majority

80% pancreatic

(90%),

microsatellite
instability

MSH6
(10%)
Kehilan

Hamartomas

Mucocutaneou

Jeghers

gan

throughout

s pigmentation, e EGD and present

(PJS)

tumor

GI tract

risk

Peutz-

<1%

for colonoscop

suppress

pancreatic

q3

or gene

cancer

resect

LKB1/S

polyps

TK11

>1.5 cm

SBO
ing polyp

Hamartomas

Gastric,

juvenile

SMAD4/

throughout

duodenal

polyposis

DPC

GI tract; >3 pancreatic

consider

bleeding

(FJP)

(18q21)

juvenile

neoplasms;

prophylacti

diarrhea

polyps; 15% pulmonary

c TAC with

<1%

due

yr; tointussuscept

(19p13)
Mutasi

Familial

with

Genetic
and counseling;

Presents with
rectal
or

with CRC by AVMs

IRA

age 35 yr

diffuse

for

disease
AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented
epithelium;

CNS,

central

nervous

system;

EGD,

esophagogastroduodenoscopy;

GI,

gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC, total
abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral salpingooophorectomy; TPC, total proctocolectomy.
Tabel 2.1 Sindroma kanker familia
Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan
kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun
kekerabatan tingkat pertamadari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan resiko 39 x untuk dapat terkena kanker.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi lemak jenuh
meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat menurunkan resiko ini untuk individu
dengan diet tinggi lemak. Studi epidemiologik juga memperlihatkan bahwa orang dari
negara bukan industri lebih sedikit terkena resiko ini. 6,7
II. II. 4 Faktor Predisposisi Karsinoma Kolorektal
1.Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker
itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia
sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi
maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal
deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon, sekitar 1%
dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada

pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan
keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun,
8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk
seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada
pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan
asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Diagnosis
dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan
variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.

2.2 Penyakit Crohns


Pasien yang menderita penyakit crohns mempunyai risiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.

3. Faktor Genetik
3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai
kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih
tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal
pada keluarganya.

3.2 Herediter Kanker Kolorektal


Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa
kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat

pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari
seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon
dan adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini,
dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang
berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal
cancer (HNPCC).
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan
kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya
adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi
insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi

5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih
dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang
berukuran besar. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya
risiko kanker kolorektal.

6. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita adalah
61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000

orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Peningkatan
resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan usia.

II.II. 5 Patofisiologi Kanker Kolorektal


Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melewati rentang masa
yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan berbagai perubahan
genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker kolorektal (herediter dan
sporadik) tidak muncul secara mendadak melainkan melalui proses yang diidentifikasikan
pada mukosa kolon (seperti pada displasia adenoma).
Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang mengontrol
pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan adenomatosa dan
akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah mutasi yang mempercepat pertumbuhan
sel. Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada kanker
kolorektal yaitu : instabilitas kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas
mikrosatelit (Microsatellite Instability atau MIN). Umumnya asl kenker kolon melalui
mekanisme CIN yang melibatkan penyebaran materi genetik yang tak berimbang kepada sel
anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas mikrosatelit (MIN) disebabkan oleh
hilangnya perbaikan ketidakcocokan atau missmatchrepair (MMR) dan merupakan
terbentuknya kanker pada sindrom Lynch. 1,5,6
II.II. 6 Klasifikasi Karsinoma Kolorektal
Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-turnbull dapat dilihat pada gambar di
bawah ini8 :

II.7Manifestasi KlinisKarsinoma Kolorektal


Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia sekitar 50 tahun dan
umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosis juga buruk. Keluhan yang
paling sering dirasakan pasien adalah perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus
(hematosezia dan konstipasi).Kanker ini umumnya berjalan lamban, keluhan dan tanda-tanda
fisik timbul sebagaia bagian dari komplikasi seperti obstruksi.Perdarahan invasi lokal
kakheksia.Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon transversum.Kolon desendens dan kolon
sigmoid karena ukuran lumennya lebih sempit daripada kolon yang proksimal. Obstruksi
parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila obstruksi total terjadi akan
menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker kolon dapat berdarah sebagai
bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi.Meskipun perdarahan umumnya
tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian kasus.Tumor yang terletak lebih distal
umumnya disertai hematoseczhia atau darah tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal
sering disertai dengan anemia defisiensi besi.Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus,
hematuria, infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra.Abdomen akut dapat terjadi
bilamana tumor tersebut menimbulkan perforasi.Kadang timbul fistula antara kolon dengan
lambung atau usus halus.Asites maligna dapat terjadi akibat invasi tumor ke lapisan serosa
dan sebaran ke peritoneal.Metastasis jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikhterus
dan hipertensi portal.
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker di dalam
usus besar.Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam kali lebih besar
daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair.Tumor yang terletak di usus
bagian kanan walaupun besar cenderung menggantung (fungating) dan lunak, yang tidak

tumbuh mengelilingi usus.Sebagai salah satu akibatnya gejala dari tumor yang timbul di
kolon kanan tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat mengalami rasa yang
tidak enak atau kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering, penyakit disertai dengan
kehilangan darah kronis yang dideteksi dengan tes darah samar. Sebaliknya tumor di daerah
kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan fungsi normal dalam daerah ini
adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala obstruksi akut atau kronis adalah
gambaran klinis yang penting.Di samping itu pasien dapat mengalami perubahan dalam pola
defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif, atau penurunan kaliber feses. Perdarahan
adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau darah merah yang melapisi permukaan feses
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri
mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum,
kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker
kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.

II.II. 8 Diagnosis Karsinoma Kolorektal


Diagnosa karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik
pemeriksaan abdomen dan rectal, prosedur diagnostik paling pentng untuk kanker kolon
adalah pengujian darah samar, enema barium, proktosigmoidoskopi,dan kolonoskopi.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap tiga tahun untuk usia 40 tahun keatas.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik penting dalam menentukan penyakit lokal, mengidentifikasi metastase
dan mendeteksi sistem organ lain yang turut berperan dalam pengobatan. Area
supraclavicula harus dipalpasi untuk memeriksa adanya kelenjar yang mengalami
metastase. Pemeriksaan abdomen dimulai dari inspeksi yaitu melihat adanya bekas
operasi, penonjolan massa, kontur usus yang mungkin dapat terlihat ( darm kontur, darm
steifung). Palpasi dilakukan untuk meraba adanya massa, pembesaran hepar, asites atau
nyeri tekan pada abdomen. Bila teraba massa disebutkan lokasi, diameter, mobilitas atau
melekat pada jaringan, konsistensi, batas jelas atau tidak. Perkusi normal pada abdomen

ialah timpani.Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi redup.Pada auskultasi
didengarkan bising usus. Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa yang rata,
keras, oval atau melingkar dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus ditentukan
ukuran dan derajat perlekatan jaringan.Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan
darah pada sarung tangan.2, 3,

Digital Rectal Examination


Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta
spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal
dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong
douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi
jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon
dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk
mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.
Rectaltoucher untuk menilai :
Tonus sfingter ani

: kuat atau lemah.

Ampula rektum

: kolaps, kembung atau terisi feses

Mukosa

: kasar,berbenjol benjol, kaku

Tumor

: teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari, mudah
berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan sekitarnya, jarak dari garis
anorektal sampai tumor.1

II.II. 9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat
sitologi akan sangat berguna.
2. Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke
dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status
kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar.CEA terlalu
insensitif

dan

nonspesifik

untuk

bisa

digunakan

sebagai

screening

kanker

kolorektal.Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa


parameter.Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari
penyakit dan kehadiran metastase ke organ dalam.Meskipun konsentrasi CEA serum
merupakan faktor prognostik independen.Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna
pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.
3. Tes Occult Blood
Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru
oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna
dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin.Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di
dalam diet.Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus
untuk menghindari hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi
dari occult blood mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10
mg hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi.
4. Barium Enema
Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema,
yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik
ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya
sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi
kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang
mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi.
a. Gambaran Karsinoma Kolon dengan Colon in Loop
Karsinoma kolon secara radiologi member gambaran :
-

Penonjolan ke dalam lumen (protruded lession)


Bentuk klasik tipe ini adalah polip.Polip dapat bertangkai (pedunculated) dan tidak
bertangkai (sessile).Dinding kolon seringkali masih baik.

Kerancuan dinding kolon (colonic wall deformity)

Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core).Lumen kolon
sempit dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis Crohn
-

Kekakuan dinding kolon (rigidity colonic wall)


Bersifat segmental, terkadang mukosa masih baik.Lumen kolon dapat tidak
menyempit. Bentuk ini sukar dibedakan dengan colitis ulseratif.1,2,3,6

Gambar 2.9. Double kontras barium enema


5. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.11

Gambar 2.10. Lower endoscop

6. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rectum (gambar 2.13). Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan
ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih
baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. 2 Sebuah kolonoskopi
juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur.
9. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan
untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan
merupakan screening tes.

10. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif.CT scan
bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ
lainnya di pelvis.CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan
nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai
55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan
mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien. 19 Penggunaan CT
dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan
daerah intraperitoneal.

Gambar 2.11. Gambaran CT scan invasi tomor ke dinding usus


11. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan.Karena sensifitasnya
yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis
ke hepar.

II. 11 Tatalaksana Karsinoma Kolorektal


Tata laksana yang dapat diberikan ialah reseksi operasi luas dari lesi dan drainase
regional limfatik. Reseksi dari tumor primer tetap diindikasikan walaupun telah terjadi
metastase. Abdomen dibuka dan dieksplorasi adakah metastase. Tujuan terapi karsinoma
kolon ialah mengeluarkan tumor dan suplai limfovaskular. Reseksi dari usus tergantung dari
pembuluh darah yang mengaliri bagian kanker tersebut. Organ atau jaringan penyokong
seperti omentum nyga harus direseksi en blok dengan tumor. Bila seluruh tumor tidak dapat
diangkat, maka dibutuhkan terapi paliatif. Anastomosis dilakukan diawali dengan irigasi
usus dengan normal solusio saline atau povidon idodin yang diharapkan sel tumor dalam
lumen dapat tercuci atau dihancurkan.
Sistemik kemoterapi
Regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5- Flourouracil sebagai terapi ajuvan maupun
metastase. Dahulu, dinyatakan pendapat bahwa regimen kombonasi menyediakan
peningkatan efikasi dan angka harapan hidup pasien. Selain 5-Florourasil, terdapat

capecitabine dan tegafur yang digunakan sebagai monoterapi atau kombonasi dengan
oxalipatin dan irinotecan.
Regimen untuk ajuvan kemoterapi :

5-Fluorouracil + leucovorin
o

5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu

Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu, diberikan sebelum


5-FU

Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu

LV5FU2 (de Gramont regimen)


o

5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous infusion


untuk 22 jam hari 1 dan 2

Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil

Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu

Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX4)


o

Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1

5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous infusion


untuk 22 jam hari 1 dan 2

Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil

Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu

Regimen untuk metastasis :

Irinotecan + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFIRI regimen)


o

Irinotecan: 180 mg/m2 IV pada hari 1

5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan 2400 mg/m2
IV continuous infusion untuk 46 jam

Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil

Mengulang siklus setiap 2minggu

Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX6)


o

Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1

5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus on day 1, diikuti dengan 2400 mg/m2 IV


continuous infusion untuk 46 jam

Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil

Mengulang siklus setiap 2minggu

Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (mFOLFOX7)


o

Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1

5-Fluorouracil: 3000 mg/m2 IV continuous infusion pada hari 1 untuk 46 jam

Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil

Mengulang siklus setiap 2minggu

Capecitabine + oxaliplatin (XELOX)


o

Capecitabine: 850-1000 mg/m2 PO terbagi 2 dosis pada hari 1-14

Oxaliplatin: 100-130 mg/m2 IV pada hari 1

Mengulang siklus setiap 21 hari

FOLFOX4 + bevacizumab
o

Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1

5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV continuous


infusion pada hari 1 dan 2

Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil

Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu

Mengulang siklus setiap 2 minggu

Agen biologis
Bevacizumab ( Avastin) merupakan obat antiangiogenesis

pertama

yang

diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi monoklonal untuk
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan survival bila ditambahkan pada
kemoterapi. Agen biologis lain yang telah direkomendasikan ialah epidermal growth factor
receptor ( EGFR). Nama obat untuk golongan ini ialah Cetuximab yang digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan pada pasien kanker kolorektal yang refrakter
dengan 5-FU dan oxalipatin. Panitumumab adalah antibodi monoklonal human dan

diindikasikan untuk monoterapi bila kombinasi gagal. Lini pertama untuk kanker metastasis
ialah bevacizumab dan kemoterapi ( oxiliplatin dan irinotecan).

Terapi radiasi
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker rektum, tetapi
terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun metastatik,
hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.

4, 5, 10, 11

DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
2. Jones & Schofield. 1996. Neoplasia Kolorektal dalam Petunjuk Penting Penyakit
Kolorektal. EGC : Jakarta hal :58-65
3. Roediger, WEW. 1994. Cancer of the Colon, rectum and Anus in Manual of Clinical
Oncology Sixth edition. UICC : Germany p:336-347
4. Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. Hal: 14-18, 36-42.
5. Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta. Hal: 658-667

6. Schwartz. 2000.Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran


EGC. Jakarta.
7. Doherty GM. 2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw Hill.
Hal: 658-668.
8. Puri P, Hollwarth M. Duodenal obstruction. In: Sweed Y,editors.Pediatric surgery.
Germany:Springer; 2006.p.203-212
9. Kaddah, SN et al. Congenital duodenal obstruction. Annals of pediatric surgery.
2006:130 -5

DAFTAR PUSTAKA
1. Puri P, Hollwarth M. Duodenal obstruction. In: Sweed Y,editors.Pediatric surgery.
Germany:Springer; 2006.p.203-212

2. Kaddah, SN et al. Congenital duodenal obstruction. Annals of pediatric surgery.


2006:130 -5
IX.

Anda mungkin juga menyukai