I.
Bagian ini bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi kanan vertebrae lumbal
I dan terletak di linea transylorica. Bagian ini terletak setinggi Vertebrae
Lumbal I, dan memiliki syntopi :
- Anterior : lobus quadariatus hepatis, vesica fellea
- Posterior : bursa omentalis, a. gastroduodenalis, ductus choledocus, v.
portae hepatis dan V. cava inferior
- Superior : foramen epiploica winslow
- Inferior : caput pancreas
b. Duodenum pars Descendens
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan turun setinggi Vertebrae
Lumbal II III. Pada duodenum bagian ini terdapat papilla duondeni major
dan minor, yang merupakan muara dari ductus pancreaticus major dan
ductus choledocus, jg oleh ductus pancreaticus minor yang merupakan
organ apparatus biliaris yang merupakan organ2 system enterohepatic.
Duodenum bagian ini memiliki syntopi :
- Anterior : fundus vesica fellea, colon transversum, lobus hepatis dextra,
lekukan usus halus.
- Posterior : ureter dextra, hilus renalis dextra
- Medial : caput pancreas
- Lateral : colon ascendens, flexura coli dextra, lobus hepatis dextra
c. Duodenum pars Horizontal
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan horizontal ke sinistra
mengikuti pinggir bawah caput pancreas dan memiliki skeletopi setinggi
Vertebrae Lumbal II. Duodenum bagian ini memiliki syntopi :
- Anterior : mesenterium usus halus, vasa. Mesenterica superior, lekukan
jejunum
- Posterior : ureter dextra, m. psoas dextra, VCS, aorta
- Superior : caput pancreas
- Inferior : lekukan jejunum
d. Duodenum pars Ascendens
Merupakan bagian terakhir dari duodenum yang bergerak naik hingga pada
flexura duodenujejunales yang merupakan batas antara duodenum dan
jejunum. Pada flexura duodenojejunales ini terdapat ligamentum yang
menggantung yang merupakan lipatan peritoneum yang disebut dengan lig.
II.
EPIDEMIOLOGI
Insiden obstruksi duodenum bervariasi antara1 dari 10.000 hingga 1 dari
40.000 kelahiran. Kebanyakandiperolehperbandinganantara atresia dan stenosis
adalah
3:2
atau
2:2.Atresia
duodenum
dan
stenosis
ETIOLOGI
Obstruksi instrinsik pada duodenum terjadi akibat kegagalan vakuolisasi
dan rekanalisasi.
IV.
PATOFISIOLOGI
Penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya daya mekanik
yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan
penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase
lumen usus terganggu. Sehingga terjadi pengumpulan isi lumen usus yang berupa
gas dan cairan pada bagian proksimal tempat penyumbatan yang menyebabkan
pelebaran dinding usus (distensi).
Awalnya, peristaltik pada bagian proksimal usus meningkat sebagai
kompensasi adanya sumbatan atau hambatan. Bila obstruksi terus berlanjut dan
terjadi peningkatan tekanan intraluminal, maka bagian proksimal dari usus tidak
akan berkontraksi dengan baik dan bising usus menjadi tidak teratur dan hilang.
Peningkatan tekanan intraluminal dan adanya distensi menyebabkan gangguan
vaskuler terutama stasis vena. Dinding usus menjadi udem dan terjadi translokasi
bakteri ke pembuluh darah. Produksi toksin yang disebabkan oleh adanya
MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual,
muntah,perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah
umumnyaterjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal
makagejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi
bilaobstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi.
Obstruksi
pada
usus
halus
menimbulkan
gejala
seperti
nyeri
perut
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan
diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan
membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang
normal.
Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai
elektrolityang
abnormal.
sering didapatkan.
ditemukan
adanya
gangguan
elektrolit.
Analisa
gas
darah
VII.
DIAGNOSIS BANDING
Ileus paralitik
Merupakan suatu gawat abdomen berupa distensi abdomen karena usus
tidak berkontraksi akibat adanya gangguan motilitas di mana peristaltik usus
dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi
kontrol otonom pergerakan usus. Manifestasi kliniknya berupa distensi perut,
tidak dapat flatus maupun defekasi dan dapat disertai muntah serta perut terasa
kembung. Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen, bising usus
menurun atau bahkan menghilang, tidak terdapat nyeri tekan dan perkusi timpani
di seluruh lapang abdomen. Pada pemeriksaan radiologi, foto polos abdomen
didapatkan gambaran dilatasi usus menyeluruh dari gaster sampai rektum dan
herring bone appearance (gambaran tulang ikan).
VIII. PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit
dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi,
mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk
memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
Resusitasi.
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda-tanda
vital, dehidrasi dan syok.Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami
dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolitsehingga perlu diberikan cairan
intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihatdengan
memonitor tanda-tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan
intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan
untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan
mengurangi distensiabdomen
Farmakologis
Pemberian obat-obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder.Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikandengan hasil eksplorasi selama laparotomi.
1.
Persiapan Prabedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan lakukan
pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan aspirasi.
Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan hipokalemia
perlu mendapat perhatian khusus.
2.
Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan
tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus dikoreksi
dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir.Prosedur operatif
standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas,
meskipun dengan perkembangan yang ada telah dimungkinkan untuk melakukan
koreksi atresia duodenum dengan cara yang minimal invasive. Atau dapat dilakukan
tindakan pembedahan Anastomosis duodenoyeyunostomi. Tidak dilakukan reseksi
bagian atresia, karena dapat terjadi pemotongan ampula vateri dan saluran Wirsungi.
Prosedur
pembedahan
dimulai
dengan
insisi
tranversal
pada
supra
gambaran
lapang
pandang
yang
baik
pada
pars
superior
KOMPLIKASI
Dapat
ditemukan
kelainan
kongenital
lainnya.
Mudah
terjadi
PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun
terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan
teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi,
tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun tua maka
toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat
rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih
tinggi dibandingkan obstruksi usus halus.
II Karsinoma Kolorektal
1 Definisi Karsinoma Kolorektal
Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kankeryang ganas di dalam permukaan
usus besar atau rektum.1
II. 2 Epidemiologi Karsinoma Kolorektal
Secara epidemiologis, angka kejadian kanker kolorektal mencapai urutan ke-4 di dunia
dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 19.4 dan 15.3 per 100.000 penduduk.Angka insiden tertinggi terdapat pada
Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru, sedangkan angka insiden terendah terdapat
pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua
sebagai kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada tingkat insidensi dan
mortalitas.
6.8%
8.7%
11.7%
Sigmoid
9.7%
Sekum
1.9%
Gambar 2.5Distribusi
lokasi
51.5%
berbagai
faktor
genetik
yang
berkaitan
dengan
keganasan
of Genetic
Phenotype
Extracolonic
Treatment
Notes
total
basis
manifestation
CRC
Familial
burden
<1%
s
Mutasi
<100
CHRPE,
TPC
osteomas,
end-
include Turcot
near epidermal
ileostomy
(CNS tumors)
with cysts,
adenomatou
s polyposis
suppress
(FAP)
or tumor 100%
polyp;
with Variants
APC
TAC
with (desmoids)
(5q21)
40 yr
IRA
and syndromes
neoplasms
lifelong
surveillanc
Hereditary
5%7% Defectiv
Polyps
At
risk
e
for Genetic
High
nonpolyposi
sedikit,
uterine,
counseling;
s colorectal
mismatc
predominantl
cancer
prophylacti
(MSI-H)
(HNPCC)
MSH2
CRC,
tumors, better
and
resections,
prognosis
MLH1
of CRC
including
than sporadic
TAH/BSO
CRC
Surveillanc
Majority
80% pancreatic
(90%),
microsatellite
instability
MSH6
(10%)
Kehilan
Hamartomas
Mucocutaneou
Jeghers
gan
throughout
(PJS)
tumor
GI tract
risk
Peutz-
<1%
for colonoscop
suppress
pancreatic
q3
or gene
cancer
resect
LKB1/S
polyps
TK11
>1.5 cm
SBO
ing polyp
Hamartomas
Gastric,
juvenile
SMAD4/
throughout
duodenal
polyposis
DPC
consider
bleeding
(FJP)
(18q21)
juvenile
neoplasms;
prophylacti
diarrhea
c TAC with
<1%
due
yr; tointussuscept
(19p13)
Mutasi
Familial
with
Genetic
and counseling;
Presents with
rectal
or
IRA
age 35 yr
diffuse
for
disease
AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented
epithelium;
CNS,
central
nervous
system;
EGD,
esophagogastroduodenoscopy;
GI,
gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC, total
abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral salpingooophorectomy; TPC, total proctocolectomy.
Tabel 2.1 Sindroma kanker familia
Kasus sporadik
Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan
kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun
kekerabatan tingkat pertamadari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan resiko 39 x untuk dapat terkena kanker.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi lemak jenuh
meningkatkan resiko. Memperbanyak makan serat menurunkan resiko ini untuk individu
dengan diet tinggi lemak. Studi epidemiologik juga memperlihatkan bahwa orang dari
negara bukan industri lebih sedikit terkena resiko ini. 6,7
II. II. 4 Faktor Predisposisi Karsinoma Kolorektal
1.Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker
itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia
sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi
maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal
deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan
peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon, sekitar 1%
dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada
pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan
keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun,
8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk
seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada
pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan
asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Diagnosis
dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan
variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.
3. Faktor Genetik
3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai
kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih
tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal
pada keluarganya.
pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada dari
seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon
dan adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari
sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini,
dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang
berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal
cancer (HNPCC).
4. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan
kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya
adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi
insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada
sirkulasi
5. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih
dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang
berukuran besar. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya
risiko kanker kolorektal.
6. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut ( 65 thn) pria dan wanita adalah
61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000
orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per
tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Peningkatan
resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan usia.
tumbuh mengelilingi usus.Sebagai salah satu akibatnya gejala dari tumor yang timbul di
kolon kanan tidak disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat mengalami rasa yang
tidak enak atau kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering, penyakit disertai dengan
kehilangan darah kronis yang dideteksi dengan tes darah samar. Sebaliknya tumor di daerah
kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan fungsi normal dalam daerah ini
adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala obstruksi akut atau kronis adalah
gambaran klinis yang penting.Di samping itu pasien dapat mengalami perubahan dalam pola
defekasi (bowel habits), memerlukan laksatif, atau penurunan kaliber feses. Perdarahan
adalah lebih jelas, dengan darah gelap atau darah merah yang melapisi permukaan feses
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai
darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan
(caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteri
mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum,
kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker
kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal
berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor.
ialah timpani.Bila terdapat masssa maka perubahan suara menjadi redup.Pada auskultasi
didengarkan bising usus. Pada kanker rektal distal, dapat dirasakan massa yang rata,
keras, oval atau melingkar dengan depresi pada sentral. Bila meluas, harus ditentukan
ukuran dan derajat perlekatan jaringan.Pada pemeriksaan RT, maka dapat didapatkan
darah pada sarung tangan.2, 3,
Ampula rektum
Mukosa
Tumor
: teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari, mudah
berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan sekitarnya, jarak dari garis
anorektal sampai tumor.1
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke
dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status
kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar.CEA terlalu
insensitif
dan
nonspesifik
untuk
bisa
digunakan
sebagai
screening
kanker
Dapat bersifat simetris (napkin ring) atau asimetris (apple core).Lumen kolon
sempit dan irregular. Kerap kali hal ini sulit dibedakan dengan colitis Crohn
-
6. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rectum (gambar 2.13). Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan
ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih
baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. 2 Sebuah kolonoskopi
juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur.
9. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang digunakan
untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan
merupakan screening tes.
10. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif.CT scan
bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ
lainnya di pelvis.CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan
nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai
55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya
dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan
mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien. 19 Penggunaan CT
dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan
daerah intraperitoneal.
capecitabine dan tegafur yang digunakan sebagai monoterapi atau kombonasi dengan
oxalipatin dan irinotecan.
Regimen untuk ajuvan kemoterapi :
5-Fluorouracil + leucovorin
o
Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil
Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil
5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan 2400 mg/m2
IV continuous infusion untuk 46 jam
Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil
Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil
Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil
FOLFOX4 + bevacizumab
o
Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5fluorouracil
Agen biologis
Bevacizumab ( Avastin) merupakan obat antiangiogenesis
pertama
yang
diindikasikan untuk kanker kolorektal metastasis. Ini meripakan antibodi monoklonal untuk
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan survival bila ditambahkan pada
kemoterapi. Agen biologis lain yang telah direkomendasikan ialah epidermal growth factor
receptor ( EGFR). Nama obat untuk golongan ini ialah Cetuximab yang digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi dengan irinotecan pada pasien kanker kolorektal yang refrakter
dengan 5-FU dan oxalipatin. Panitumumab adalah antibodi monoklonal human dan
diindikasikan untuk monoterapi bila kombinasi gagal. Lini pertama untuk kanker metastasis
ialah bevacizumab dan kemoterapi ( oxiliplatin dan irinotecan).
Terapi radiasi
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker rektum, tetapi
terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun metastatik,
hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.
4, 5, 10, 11
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
2. Jones & Schofield. 1996. Neoplasia Kolorektal dalam Petunjuk Penting Penyakit
Kolorektal. EGC : Jakarta hal :58-65
3. Roediger, WEW. 1994. Cancer of the Colon, rectum and Anus in Manual of Clinical
Oncology Sixth edition. UICC : Germany p:336-347
4. Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. Hal: 14-18, 36-42.
5. Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta. Hal: 658-667
DAFTAR PUSTAKA
1. Puri P, Hollwarth M. Duodenal obstruction. In: Sweed Y,editors.Pediatric surgery.
Germany:Springer; 2006.p.203-212