Anda di halaman 1dari 9

Ruang pemulihan sudah ada hampir 50 tahun di hampir semua pusat-pusat

medis. Sebelumnya, banyak kematian dini pasca bedah terjadi segera setelah
anesthesia dan pembedahan. Menyadari bahwa banyak kematian tersebut dapat
dicegah, sehingga ditekankan perlunya perawatan khusus segera setelah
pembedahan. Kekuranangan perawat di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II
mungkin juga yang menyebabkan sentralisasi perawatan di ruang pemulihan, di
mana satu atau lebih perawat dapat mengawasi pasien secara ketat pada saat yang
bersamaan. Oleh karena prosedur pembedahan menjadi lebih kompleks dan
dilakukan pada pasien yang sakitnya lebih berat, perawatan ruang pemulihan
sering diperpanjang daripada beberapa jam pertama setelah operasi, dan beberapa
pasien dengan penyakit kritis ditahan di ruang pemulihan semalaman. Kesuksesan
ruang pemulihan mula-mula ini menjadi faktor utama evolusi unit perawatan
intensif bedah modern. Ironisnya, ruang pemulihan mendapatkan status perawatan
intensif relatif belum lama ini di hampir semua rumah sakit di mana disebut
sebagai unit perawatan pasaca anestesi atau postanesthesia care unit (PACU). Di
beberapa pusat medis PACU berfungsi sebagai bed ICU tambahan (untuk
semalaman) apabila ICU penuh.
Salah satu transformasi dramatis dalam pelayanan kesehatan selama dua
decade terakhir adalah pergeseran dari bedah rawat inap menjadi bedah rawat
jalan (disebut juga bedah sehari). Diperkirakan 60-70% prosedur pembedahan di
Amerika Serikat dilakukan berbasis rawat jalan. Pencetus utama perubahan ini
adalah penghematan ekonomis dengan cara tidak merawat pasien pada malam hari
sebelum pembedahan atau merawat pasien pada malam setelah pembedahan,.
Keuntungan lain dari bedah rawat jalan termasuk pemulihan dini, kenyamanan
pasien, dan mengurangi risiko infeksi nosokomial.
Pada akhir setiap prosedur yang membutuhkan anesthesia, zat-zat anestetik
dihentika, monitor dilepaskan, dan pasien (sering masih teranestesi) dibawa ke
PACU. Setelah anestesi umum, bila pasien diintubasi dan ventilasi dinilai adekuat,
pipa endotrakea biasanya dilepaskan sebelum pindah. Pasien juga secara rutin
diobservasi di PACU setelah anestesi regional, dan dalam kebanyakan keadaan
juga setelah pelayanan anestesi bermonitor (anestesi local dengan sedasi).

Kebanyakan petunjuk prosedur yang mengharuskan seorang pasien dimasukkan


ke PACU setelah pemberian anesthesia jenis apapun, kecuali atas instruksi khusus
dokter anestesi yang hadir. Setelah laporan lisan singkat kepada perawat PACU,
pasien ditinggalkan di PACU sampai efek utama anesthesia dinilai telah hilang.
Periode ini ditandai dengan relative tingginya insidensi komplikasi respirasi dan
sirkulasi yang mengancam nyawa.
Di beberapa pusat, pasien rawat jalan dipulangkan ke rumah langsung dari
PACU; pusat lainnya memisahkan PACU dan area pasien rawat jalan. Area
tersebut juga berfungsi sebagai area preoperative dan area pemulihan pasca
anesthesia tingkat dua (sebelum pindah). Sehingga, dua fase pemulihan dapat
dikenali pada pasien rawat jalan. Fase 1 adalah pemulihan tingkat perawatan
intensif segera yang merawat pasien selama pengakhiran dan bangun dari
anesthesia dan berlangsung terus sampai criteria PACU standar terpenuhi (lihat
Kriteria Pemindahan di bawah ini); Fase 2 adalah perawatan tingkat yang lebih
rendah yang memastikan pasien siap untuk pulang. Fast-tracking untuk pasienpasien rawat jalan tertentu membolehkan pasien melewati pemulihan fase 1
dengan aman dan langsung masuk ke area fase 2.

1. Masalah respirasi adalah komplikasi serius yang paling sering dijumpai di


unit perawatan pasca anestesia (postanesthesia care unit, PACU).
Kebanyakan berkaitan dengan obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau
hipoksemia.
2. Hipoventilasi di PACU hampir selalu disebabkan oleh efek sisa zat-zat
anestesi yang mendepresi rangsangan nafas.
3. Sumbatan jalan nafas, depresi sirkulasi, atau asidosis berat (pH darah arteri
< 7,15) adalah indikasi intubasi endotrakea segera pada pasien-pasien yang
mengalami hipoventilasi.
4. Setelah pemberian nalokson untuk meningkatkan respirasi, pasien harus
diawasi penuh kemungkinan terulangnya depresi nafas oleh opioid
(renarkotisasi), mengingat nalokson mempunyai durasi yang lebih pendek
daripada kebanyakan opioid.

5. Peningkatan pintas intrapulmoner dari kapasitas residual fungsional yang


menurun jadi kapasitas menutup adalah penyebab utama hipoksemia
setelah anestesi umum.
6. Kemungkinan pneumothoraks pasca bedah harus selalu dipertimbangkan
setelah pemasangan jalur sentral, blok interkostal, fraktur iga, diseksi
leher, trakeostomi, nefrektomi, atau prosedur retroperitoneal atau
intraabdominal

lainnya

(termasuk

laparaskopi),

terutama

apabila

kemungkinan diafragma tertusuk.


7. Hipovolemia adalah penyebab hipotensi tersering di PACU.
8. Rangsangan noksius dari nyeri insisional, intubasi endotrakea, atau
distensi kandung kemih biasanya menjadi penyebab hipertensi pasca
bedah.
PEMULIHAN RUTIN
Anestesi Umum
Patensi jalan nafas, tanda-tanda vital, dan oksigenasi harus diperiksa
segera saat tiba. Pengukuran tekanan darah, laju nadi, dan laju respirasi secara
rutin dilakukan setidaknya tiap 5 menit selama 15 menit sampai stabil, dan
selanjutnya tiap 15 menit. Oksimetri pulsa harus dipantau kontinu pada semua
pasien yang sedang pulih dari anestesi umum, setidaknya sampai mereka kembali
sadar. Kejadian hipoksemia tidak harus berkaitan dengan kesadaran. Fungsi
neuromuskular harus dinilai secara klinis, misalnya mengangkat kepala.
Setidaknya satu pengukuran suhu harus dilakukan. Monitor tambahan termasuk
penilaian nyeri (mis, skala numeris atau deskriptif), ada atau tidaknya mual atau
muntah, dan cairan keluar masuk termasuk aliran urine, drainase, dan perdarahan.
Setelah tanda-tanda vital inisial dicatat, dokter anestesi harus memberikan laporan
singkat kepada perawat PACU termasuk riwayat perioperatif (termasuk status
mental dan setiap permasalahan komunikasi seperti masalah bahasa, ketulian,
kebutaan, atau retardasi mental), kejadian-kejadian penting selama operasi (jenis
anestesi, prosedur pembedahan, kehilangan darah, penggantian cairan, dan
komplikasi lainnya), masalah pasca bedah yang akan timbul, dan instruksi pasca

anesthesia (perawatan kateter epidural, transfuse, ventilasi pasca bedah, dan lainlain).
Semua pasien yang pulih dari anestesi umum harus mendapatkan 30-40 %
oksigen selama pengakhiran oleh karena hipoksemia sementara dapat terjadi pada
pasien yang sehat sekalipun. Pasien-pasien yang berisiko tinggi hipoksemia,
seperti yang dengan disfungsi paru atau yang menjalani prosedur abdmen atas
atau thoraks, harus selalu dimonitor dengan oksimetri pulsa meski sudah berakhir
dan mungkin perlu suplemen oksigen jangka panjang. Keputusan rasional
bekenaan terapi oksigen kontinu pada saat mengeluarkan pasien dari PACU
didasarkan pada pengukuran SpO2 dengan udara kamar. Pengukuran gas darah
arteri dapat dilakukan untuk memastikan pembacaan oksimetri abnormal. Terapi
oksigen harus diperhatikan penuh pada pasien-pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis atau dengan riwayat retensi CO2. Pasien harus dirawat dengan
posisi kepala di atas apabila memungkinkan untuk mengoptimalkan oksigenasi.
Akan tetapi, mengangkat kepala tempat tidur sebelum pasien berespon dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas. Pada kasus-kasus seperti itu, jalan nafas oral
dan nasal harus tetap dipasang sampai pasien bangun. Pasien juga harus disuruh
menarik nafas dalam dan batuk secara periodik.
Anestesi Regional
Pasien-pasien yang disedasi secara penuh atau dengan hemodinamik tidak
stabil setelah anestesi regional harus pula mendapat suplemen oksigen di PACU.
Level motoris dan sensoris harus dicatat secara periodik setelah anestesi regional
untuk mendokumentasikan sejauh mana blok terjadi. Peringatan mungkin perlu
diberikan untuk mencegah cedera akibat gerakan lengan tak terkoordinasi setelah
blok plexus brakhialis. Tekanan darah harus selalu diawasi ketat setelah anestesi
spinal dan epidural. Kateterisasi kandung kemih mungkin perlu bagi pasien-pasien
yang mendapat anestesi spinal atau epidural lebih dari 4 jam.

Kontrol Nyeri
Pemberian NSAID pra bedah dengan atau tanpa asetaminofen secara nyata
dapat menurunkan kebutuhan opioid pasca bedah untuk prosedur-prosedur
tertentu. Penggunaan selective cyclooxygenase-2 inhibitors (mis, rofecoxib dan
parecoxib) mengurangi efek samping potensial pada fungsi platelet dan
komplikasi gastrointestinal. Hal serupa, infiltrasi luka dan blok saraf intra operatif
(mis, ilioinguinal dan kaudal) untuk prosedur-prosedur tertentu dapat pula
mengurangi kebutuhn analgesia operatif.
Nyeri sedang hingga berat di PACU dapat ditangani dengan opioid
parenteral atau intraspinal, anesthesi regional, atau blok saraf tertentu. Bila
menggunakan opioid, titrasi dosis kecil intravena pada umumnya aman. Meskipun
bervariasi, kebanyakan pasien cukup sensitif terhadap opioid dalam jam pertama
anestesi umum. Analgesia adekuat harus mengimbangi sedasi berlebihan. Opioid
kerja sedang sampai panjang, seperti meperidin, 10-20 mg (0,25-,5 mg/kg pada
anak-anak), hidromorfon 0.250.5 mg (0.0150.02 mg/kg pada anak-anak), atau
morfin, 24 mg (0.0250.05 mg/kg pada anak-anak), paling sering digunakan.
Efek obat-obat analgesik biasanya mencapai puncak dalam 4-5 menit. Depresi
respirasi maksimal, khususnya dengan morfin dan hidromorfon, mungkin tidak
tampak sampai 20-30 menit kemudian. Saat pasien bangun penuh, patientcontrolled analgesia (PCA) dapat diberikan untuk pasien rawat inap. Pemberian
opioid intramuskular memiliki kerugian berupa mula kerja yang lambat dan
bervariasi (10-20 menit) dan depresi respirasi tertunda (sampai 1 jam).
Apabila kateter epidural dipertahankan, pemberian fentanil, 50100 g,
sufentanil, 2030 g, atau morfin, 35 mg lewat epidural, dapat mengurangi nyeri
dengan baik bagi orang dewasa; akan tetapi risiko depresi respirasi tertunda denga
morfin mengharuskan pengawasan khusus selama 12-24 jam setelahnya. Anestesi
interkosta, interskalenus, femoral, epidural, atau kaudal sering berguna apabila
analgesia opioid tidak memuaskan.

Agitasi
Sebelum pasien berespon penuh, nyeri sering dimanifestasikan sebagai
kegelisahan pasca bedah. Gangguan-gangguan sistemik yang serius (seperti
hipoksemia, asidosis, atau hipotensi), distensi kandung kemih, atau komplikasi
bedah (seperti perdarahan intraabdomen terselubung) harus selalu diperhatikan.
Agitasi bermakna mungkin perlu untuk dilakukan pengikatan lengan dan kaki
untuk mencegah cedera, terutama pada anak-anak. Apabila gangguan fisiologis
serius telah dikesampingkan pada anak-anak, kehadiran orang-orang yang dekat
atau orang tua (jika mereka dibenarkan masuk PACU) seringkali menenangkan
pasien pediatrik. Faktor-faktor lainnya dia antaranya ansietas pra bedah dan
ketakutan sebagaimana juga efek samping obat (dosis obat-obat antikolinergik,
fenotiazin, atau ketamin yang besar). Fisostigmin 1-2 mg intravena (0,05 mg/kg
pada anak-anak), paling efektif untuk mengatasi delirium akibat atropin dan
skopolamin tetapi juga berguna untuk kasus lainnya. Jikalau gangguan sistemi
serius dan nyeri dapat diatasi, agitasi persisten mungkin perlu diberikan sedasi
midazolam dosis intravena 0.51 mg (0.05 mg/kg pada anak-anak) secara
intermiten.
Mual dan Muntah
Mual dan muntah pasca bedah (postoperative nausea and vomiting,
PONV) adalah masalah utama setelah anestesi umum, terjadi pada 20-30% dari
semua pasien. Terlebih lagi, PONV dapat terjadi di rumah dalam 24 jam setelah
pulang pada sejumlah pasien. Etiologi PONV biasanya multifaktorial, termasuk
zat-zat anestetik, jenis prosedur, dan faktor pasien. Penting untuk diketahui bahwa
mual adalah keluhan utama yang dilaporkan pada awal hipotensi, terutama setelah
anestesi spinal dan epidural.
Peningkatan insidensi mual dilaporkan setelah pemberian opioid selama
anesthesia, bedah intraperitoneal (terutama laparaskopi), dan bedah strabismus.
Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda; penelitian-penelitian menduga mual
lebih sering selama menstruasi. Peningkatan tonus vagal yang dimanifestasikan
sebagai bradikardia mendadak umumnya mendahului atau berbarengan dengan

muntah-muntah. Anestesi propofol menurunkan insidensi PONV, sebagaimana


juga riwayat merokok pra bedah. Antagonis selective 5-hydroxytryptamine
(serotonin) receptor 3 (5-HT3) seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kg pada anakanak), granisetron 0,010,04 mg/kg, dan dolasetron 12.5 mg (0,035 mg/kg pada
anak-anak) juga sangat efektif mencegah PONV dan mengatasi PONV yang telah
terjadi. Patut dicatat bahwa tidak seperti ondansetron, yang biasanya segera
efektif, dolasetron membutuhkan 15 menit untuk mula kerja. Tablet oral
ondansetron (8mg) mungkin berguna untuk terapi dan profilaksis terhadap mual
dan muntah setelah keluar dari PACU. Metoklopramid 0,15 mg/kg intravena
kurang efektif tetapi merupakan alternatif baik untuk antagonis 5-HT 3. Antagonis
5-HT3 tidak berkaitan dengan manifestasi ekstrapiramidal akut (distonik) dan
rekasi disfonik yang mungkin ditemukan dengan metoklopramid atau antiemetik
tipe fenotiazin. Skopolamin transdermal efektif tetapi dapat menyebabkan efek
samping pada beberapa pasien, seperti glaukoma eksaserbasi, retensi urine, dan
kesulitan akomodasi visual. Deksametason 4-10 mg (0,10 mg/kg pada anak-anak),
apabila dikombinasikan dengan antiemetik lain efektif terutama untuk mual dan
muntah refrakter. Terlebih lagi, kelihatannya efektif sampai 24 jam sehingga
mungkin berguna untuk mual dan muntah setelah keluar dari PACU.droperidol
intravena 0,625-1,25 mg (0,05-0,075 mg/kg pada anak-anak), apabila diberikan
intraoperatif, secara nyata menurunkan PONV tanpa memperpanjang pengakhiran
dan dapat dengan efektif sebagai terapinya. Sayangnya, droperidol kini mendapat
peringatan Food and Drug Administration (FDA) oleh karena memperpanjang
interval QT dan telah dikaitkan dengan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena hal
terakhir itu sangat jarang dan dikaitkan dengan dosis tinggi (>25 mg), peringatan
FDA menjadi perdebatan dan banyak klinisi tak lagi menggunakan obat itu.
Profilaksis non farmakologis terhadap PONV termasuk memastikan hidrasi
adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi titik akupuntur P6 (perelangan
tangan). Yang terakhir ini termasuk penggunaan tekanan, aliran listrik, atau
injeksi.
Kontroversi timbul tentang penggunaan profilaksis PONV secara rutin
untuk semua pasien. Jelas semua pasien dengan faktor-faktor risiko multipel harus

mendapat profilaksis. Sebagai tambahan, penggunaan dua atau lebih obat-obat


antiemetik lebih efektif daripada satu obat. Penelitian hasil dan survei kepuasan
menduga sedikit atau tidak ada perbedaan antara profilaksis rutin dan strategi
terapi sesuai kebutuhan.
Menggigil dan Hipotermia
Menggigil dapat terjadi di PACU sebagai akibat hipotermia intraoperatif
atau efek zat-zat anestetik. Hal itu juga biasa terjadi pada periode awal post
partum. Penyebab terpenting hipotermia adalah redistribusi panas dari inti tubuh
ke bagian perifer. Suhu udara kamar yang dingin di kamar operasi, paparan luka
besar yang lama, dan penggunaan cairan intra vena yang tidak dihangatkan dalam
jumlah besar atau aliran kencang gas-gas yang tidak dilembabkan dapat menjadi
faktor pendukung. Hampir semua obat anestetik, terutama gas volatile,
menurunkan respon vasokonstriksi normal terhadap hipotermia. Meskipun zat-zat
anestetik juga menurunkan ambang menggigil, kejadian menggigil umumnya
ditemukan selama dan setelah pengakhiran anestesi umum. Menggigil dalam
keadaan-keadaan seperti itu merepresentasikan usaha tubuh untuk meningkatkan
produksi panas dan meningkatkan suhu tubuh dan dapat dikaitkan dengan
vasokonstriksi intensif. Pengakhiran anestesi umum yang singkat sekalipun
terkadang dihubungkan dengan menggigil. Meski menggigil dapat merupakan
bagian dari tanda-tanda neurologist non spesifik (postur, klonus, tanda Babinski)
yang terkadadang muncul selama pengakhiran, lebih sering itu terjadi akibat
hipotermia dan hampir selalu berhubungan dengan gas anestetik volatile. Apapun
mekanismenya, insidensinya muncul berkaitan dengan lamanya pembedahan dan
penggunaan gas volatile konsentrasi tinggi. Terkadang, menggigil dapat sangat
kuat untuk menyebabkan hipotermia (3839C) dan asidosis metabolik yang
nyata, keduanya segera hilang apabila berhenti menggigil. Baik anestesi spinal
maupun epidural juga menurunkan ambang menggigil dan respon vasokonstriksi
terhadap hipotermi; menggigil dapat juga ditemukan di ruang pemulihan setelah
anestesi regional. Penyebab lain menggigil harus dikesampingkan seperti sepsis,
alergi obat, atau reaksi transfuse.

Hipotermis harus diterapi dengan penghangat udara, atau (yang kurang


memuaskan) dengan lampu penghangat atau selimut penghangat, untuk
menaikkan suhu tubuh menjadi normal. Menggigil teru-menerus menyebabkan
kenaikan konsumsi oksigen, produksi CO2, dan curah jantung. Efek-efek fisiologis
ini seringkali kurang ditoleransi oleh pasien dengan kelaian jantung atau paru
sebelumnya. Hipotermia dihubungkan dengan peningkatan insidensi iskemia
miokard, aritmia, peningkatan kebuuhan transfuse, dan perpanjangan lama kerja
pelemas otot. Dosis kecil meperidin intravena , 10-25 mg, secara dramatis dapat
mengurangi bahkan menghentikan menggigil. Pasien-pasien yang terintubasi dan
diventilasi secara mekanis dapat juga disedasi dan diberikan pelemas otot hingga
menjadi normotemia dan efek-efek anesthesia hilang.

Anda mungkin juga menyukai