HIFEMA
Oleh :
Devi Ariani
M Luthfi Suhaimi
Preseptor :
HIFEMA
I. DEFINISI
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah didalam bilik mata depan,
yaitu daerah diantara kornea dan iris (kamera okuli anterior), yang dapat terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur
dengan humour aqueous (cairan mata) yang jernih. (1,2,3,4,5,6)
Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan
primer atau perdarahan terjadi 5-7 hari sesudah trauma yang disebut perdarahan
sekunder. Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan
atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk. (1,3)
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden rata-rata terjadinya hifema di Amerika Utara adalah 17-20/100.000
populasi setiap tahunnya dengan mayoritas terjadi pada pasien dengan usia kurang
dari 20 tahun. Olahraga merupakan penyebab utama sebesar 60% pada pasien usia
muda. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan didapatkan 3 : 1. Trauma tumpul
merupakan penyebab paling umum yang ditemukan pada pasien dengan hifema.(5)
Sementara itu, United States Eye Injury Registry (USEIR) menemukan 33%
dari trauma serius pada mata akan menyebabkan terjadinya hifema. Risiko terjadinya
hifema sendiri sebesar 31% pada trauma terbuka bulbus okuli dan 35% pada trauma
tertutup bulbus okuli. USEIR juga menemukan 80% penderita hifema adalah lakilaki.(5)
III. ETIOPATOGENESIS
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena
bola, batu, peluru senapan angin, dll. Selain itu, hifema juga dapat terjadi karena
kesalahan prosedur operasi mata.(2)
Perdarahan bilik depan bola mata ini terutama berasal dari pembuluh darah
korpus siliare dan sebagian kecil dari pembuluh darah iris, sedangkan penyerapan
darahnya, sebagian besar akan diserap melalui trabecular meshwork dan selanjutnya
ke Kanal SchIemm, sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. (2,6)
Apabila pembuluh darah rusak maka sistem hemostasis tubuh akan melakukan
penutupan terhadap pembuluh darah yang rusak dan melindungi terhadap kehilangan
darah lebih lanjut. Yang pertama terjadi adalah sumbatan sementara oleh trombosit,
yang kemudian diikuti oleh perubahan sumbatan menjadi bekuan yang tetap yaitu
pembentukan fibrin. (5)
Pada hari kelima setelah trauma biasanya terjadi perdarahan sekunder oleh
karena itu sebaiknya penderita dirawat. Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan
darah terlalu cepat diserap sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu cukup
untuk regenerasi kembali dan menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah didalam
bilik mata depan dapat menghambat aliran akuos humor kedalam trabekula sehingga
dapat menimbulkan glaukoma sekunder. Hifema dapat pula menyebabkan uveitis.
Darah dapat terurai menjadi hemosiderin yang dapat meresap masuk ke dalam kornea
menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisi
kornea. (3,6)
Tingkatan dari hifema ditentukan oleh banyaknya perdarahan dalam bilik
depan bola mata.
Tabel. Derajat hifema berdasarkan luasnya darah dalam anterior chamber: (5)
Derajat (Grade)
Luas Hifema
< 1/3
II
1/3 - 1/2
III
IV
Total
Mikroskopik
IV. DIAGNOSIS
Gambaran klinik dari penderita dengan hifema adalah : (2,3,6)
Penderita mengeluh nyeri pada mata, fotofobia (tidak tahan terhadap sinar),
sering disertai blefarospasme.
kamera anterior atau dari jaringan iris. Kemudian dilakukan iridektomi perifer. Cara
lain untuk membersihkan kamera anterior adalah dengan evakuasi vesikoelastik, dan
sebuah insisi yang lebih besar 180 berlawanan agar hifema dapat didorong keluar. (4)
Glaukoma dapat timbul belakangan setelah beberapa bulan atau tahun akibat
penyempitan sudut. Dengan sedikit perkecualian, bercak darah di kornea akan hilang
secara perlahan dalam periode sampai setahun. (4)
B. OPERASI
1. Parasentesis (1,3,5,6)
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah
atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea
2 mm dari limbus kearah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila
dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar.
Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam
fisiologis. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit.
Tindakan pembedahan parasentesis dilakukan bila terlihat tanda-tanda
imbibisi kornea, glaukoma, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila darah setelah
5 hari tidak memperlihatkan tanda-tanda berkurang. (3)
Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila : (5)
Tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari
Tekanan bola mata maksimal > 35 mmHg selama 7 hari
Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan bila : (5)
Tekanan bola mata rata-rata >25 mmHg selama 6 hari
Bila terlihat tanda-tanda dini imbibisi kornea
Untuk mencegah sinekia anterior perifer dilakukan pembedahan bila : (5)
Hifema total bertahan selama 5 hari
Hifema difus bertahan selama 9 hari
2. Melakukan irigasi bilik depan bola mata dengan larutan fisiologis.
VII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang ditimbulkan akibat hifema secara langsung dapat
menimbulkan retensi darah pada bilik mata depan. Komplikasi yang penting
diantaranya adalah :
1. Perdarahan sekunder (1,3,5)
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan
insidensinya sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul
karena iritasi pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan
primernya.
2. Glaukoma sekunder (1,3,5)
Timbulnya glaukoma sekunder pada traumatik hifema disebabkan oleh
tersumbatnya trabecular meshwork oleh butir-butir/gumpalan darah. Insidensinya
20%, sedang di RS Dr. Soetomo sebesar 17,5%. Gejala hifema sekunder :
Timbul rasa sakit baru pada mata
Hifema segar baru dalam bilik mata depan.
Terlihat garis darah mengalir pada iris
Penelitian oleh Bakri tahun 2005 melaporkan adanya oftalmia simpatetik yang
mengikuti hifema.
3. Hemosiderosis kornea (1,3)
Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan sekunder
disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus karena hemosiderosis tidak
selalu permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali jernih dalam waktu yang lama
(2 tahun). Insidensinya 10%.
4. Sinekia posterior
Sinekia posterior dapat terjadi pada penderita hifema akibat trauma.
Komplikasi ini sekunder terhadap iritis atau iridosiklitis. Walau demikian, komplikasi
ini jarang terjadi jika pasien ditangani dengan baik. Sinekia posterior lebih sering
terjadi pada pembedahan yang dilakukan untuk mengevakuasi hifema. (8)
5. Sinekia anterior perifer
Sinekia anterior perifer sering terjadi pada pasien yang ditangani secara
medis, namun hifema masih tertinggal di bilik mata depan untuk waktu yang cukup
lama, biasanya lebih dari 9 hari. Patogenesis sinekia anterior perifer mungkin
disebabkan iritis yang terjadi cukup lama disebabkan oleh trauma awal dan/atau
iritasi kimia akibat darah pada bilik mata depan. (8)
Pada hifema akibat trauma bila terjadi kemunduran tajam penglihatan dapat
dipikirkan kemungkinan adanya kerusakan langsung pada mata akibat trauma
tersebut, seperti luksasi lensa, ablasio retina dan edema makula. Hifema sekunder
yang terjadi pada hari ke 5-7 sesudah trauma biasanya lebih masif dibanding dengan
hifema primer dan dan memberikan rasa sakit sekali. (8)
Dapat terjadi keadaan yang disebut sebagai hemoftalmitis atau peradangan
intraokuler akibat adanya darah yang penuh dalam bola mata. Dapat juga terjadi
siderosis akibat hemoglobin atas siderin tersebar dan diikat oleh jaringan mata. (8)
6. Corneal Blood Staining (5)
Komplikasi ini terjadi pada sekitar 2 11 % kasus, terutama pada hifema yang
luas atau total, pasien dengan waktu pembekuan yang tidak normal dan adanya
kerusakan pada endotel kornea. Pada keadaankeadaan ini akan menimbulkan deposit
dari hemoglobin, hemosiderin dan degenerasi dari eosinofil di stroma kornea yang
menimbulkan warna kekuningan pada kornea yang mengakibatkan penurunan visus
dan ambliopia pada anakanak.
7. Atrofi papil
Atrofi papilla nervus optikus terjadi pada peningkatan TIO yang lama ataupun
bila terdapat kontusio pada N. optikus. Hal ini bisa terjadi pada TIO yang menetap
tinggi 50 mmHg selama 5 hari atau 35 mmHg selama 7 hari. (8)
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta I, dkk. Trauma Tumpul Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Ed ke-2.
PERDAMI. Jakarta: Sagung Seto. 2002. 266.
2. Sidarta I. Trauma Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Edisi-3. FKUI. 2004.
264.
3. Sidarta I. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI. 2005.
170.
4. Vaughan D, Taylor A, Riordan E.P. Trauma. Dalam : Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Widya Medika. 2000. 384-387.
5. Ferenc K, Dante JP. Dalam : Ocular Trauma; Principles and Practice. Thieme:
New York. 2002. 45-53;95-108;280-284.
6. Nana W. Trauma. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jilid II. Jakarta. 1981. 312322.
7. Sidarta I. Cedera Mata. Dalam : Ilmu Perawatan Mata. Jakarta: Sagung Seto.
2004. 169-175.
8. Sheppard. John D. Hyphema. Diakses dari ; Http://www.eMedicine.com
11