Anda di halaman 1dari 13

KEJANG DEMAM

I.

PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal diatas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak, yakni 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Terjadinya bangkitan kejang
demam tergantung kepada umur, tinggi serta cepatnya suhu meningkat. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi,
yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.1
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk
dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan
misalnya infeksi sistem saraf pusat, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam.2
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya
mengenai sistem susunan saraf pusat.2
Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan
kejang diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi tidak sempurna. Dan
pada tahun 1974 Lennox mengemukakan teori bahwa 41,2% anggota keluarga
penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.3

II.

EPIDEMIOLOGI
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering

dijumpai pada bayi dan anak. Kejang demam terjadi pada 2-5% anak usia dibawah 5
tahun di negara industri seperti di Amerika Serikat dan Eropa Barat, sedangkan angka
kejadian di Asia dilaporkan lebih tinggi. Diperkirakan sekitar 20% dari kasus
merupakan kejang demam kompleks, dengan insiden lebih tinggi pada anak laki-laki.4
Pada kejadian kejang demam, ditemukan sekitar 70-75% dari kasus merupakan
jenis kejang demam sederhana, sedangkan kejang demam kompleks mencakup 2025% dari total kasus kejang demam.4
Anak-anak dengan riwayat kejang demam memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami kejang demam. Hal ini di dapatkan pada satu dari tiga kasus kejang
demam. Anak-anak dibawah 12 bulan memiliki risiko sebesar 50% untuk mengalami
kejang demam ulangan, dan akan menurun menjadi 30% jika anak mencapai usia
diatas 12 bulan.5
Anak-anak dengan riwayat kejang demam mempunyai risiko epilepsi lebih
tinggi. Dengan perkiraan bahwa pada usia 25 tahun, anak-anak dengan riwayat kejang
demam ini memiliki kemungkinan 2,4% untuk mendapat serangan epilepsi, yang
merupakan dua kali risiko dari populasi umum.5
III.

ETIOLOGI
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi

saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran
kemih. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.6

IV.

FAKTOR RISIKO
2

Kejang demam memiliki beberapa faktor risiko. Faktor risiko kejang demam
pertama adalah demam. Selain itu, ada riwayat kejang demam pada orang tua atau
pada saudara kandung, yang menunjukkan kecenderungan genetik. Selain itu terdapat
faktor perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, konsumsi alkohol dan
merokok pada masa kehamilan, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium
rendah.7
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi atau lebih, dan sekitar 9% anak akan mengalami tiga kali rekurensi atau
lebih. Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang
setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang
demam, dan riwayat keluarga epilepsi 7
V.

PATOGENESIS
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan

suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
kardiovaskuler.3
Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air.3
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi
K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran

dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.3
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh adanya : 8
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam
waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran
tadi, dengan akibat terjadinya lepasan muatan listrik. Lepasan muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah
kejang.8
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas
adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama.3
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.3

VI.

KLASIFIKASI
1. Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure)
Kejang yang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit dan

umumnya akan berhenti sendiri. Kejang bersifat umum tonik maupun klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. 1
Pada kejang demam yang sederhana biasa dihubungkan dengan peningkatan
suhu yang cepat hingga mencapai 39oC yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, dan lain-lain.3,4
Pada kejang demam sederhana, setelah kejang berhenti anak bisa saja tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi kemudian akan terbangun atau sadar
kembali setelah beberapa detik atau menit. Selain itu, pada beberapa kejadian, setelah
mengalami kejang, anak akan merasa mengantuk. Namun begitu, keadaan neurologi
(fungsi saraf) baik sebelum maupun sesudah kejang tetap normal. Begitu pula dengan
hasil EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak menunjukkan
adanya kelainan 8
2.

Kejang Demam Kompleks (Komplex Febrile Seizure)


Kejang dengan salah satu ciri berikut : 10
a. Kejang lama lebih dari 15 menit.
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

VII.

GEJALA KLINIS
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan

kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang didahului oleh infeksi diluar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, dan lain-lain. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, fokal atau akinetik. 4,6

Umumnya kejang berhenti sendiri, begitu kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan
terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf.3,6
Kriteria kejang demam menurut Livingston 3
1.

Umur anak ketika kejang antara 6 bulan hingga 4 tahun

2.

Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit

3.

Kejang bersifat umum

4.

Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam

5.

Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal

6.

Pemeriksaan EEG yang dibuat sekurang-kurangnya 1 minggu sesudah suhu normal


tidak menunjukkan kelainan

7.

Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak lebih dari 4 kali
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu dari ketujuh kriteria Livingston
diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang kelompok
kedua ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan kejang sedangkan
demam merupakan faktor pencetus saja. 3,6
VIII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan spesifik yang diindikasikan untuk kejang demam

sederhana, melainkan pemeriksaan difokuskan untuk mengetahui penyebab dasar


terjadinya kejang demam. Beberapa pemeriksaan laboratorium diindikasikan untuk
penyakit yang mendasari terjadinya demam.8
1. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan

cairan

serebrospinal

dilakukan

untuk

menegakkan

atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk


menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada: 1
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan.
6

2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan.


3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin.
2. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dilakukan pada kejang demam tidak
khas, misalnya pada kejang demam kompleks anak berusia lebih dari 6 tahun,
atau kejang demam fokal. Namun begitu, EEG ternyata kurang mempunyai nilai
prognostik. EEG abnormal tidak dapat memprediksi terjadinya epilepsi, ataupun
berulangnya kejang demam di kemudian hari. Oleh karenanya, tidak
direkomendasikan.1,6
3. Pemeriksaan Radiologi
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti : 1
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papil edema

IX.

DIAGNOSIS BANDING
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya: 3,8
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak
4. Dan lainlain
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan

kejang, harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar
susunan saraf pusat, dan ada tidaknya kelainan organis di otak.9
X.

PENATALAKSANAAN

a. Penanganan kejang

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Namun jika pasien datang dalam keadaan kejang, pasien harus
segera dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena
atau intrarektal. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/ kgBB perlahan-lahan
dengan kecepatan 1-2 mg/ menit dengan dosis maksimal 20 mg.3,6
Apabila diazepam intravena tidak tersedia, atau pemberiannya sulit, maka dapat
digunakan diazepam intrarektal dengan dosis tergantung dari berat badan. Untuk
berat badan kurang dari 10 kg, diberikan 5 mg, dan untuk berat badan lebih dari 10
kg, diberikan 10 mg. Bila kejang tidak berhenti, dapat diulang 5 menit kemudian
hingga 3 kali pemberian.6
Bila kejang tidak berhenti juga, berikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10-20 mg/ kgBB/ kali dengan kecepatan 1 mg/ kgBB/ menit. Bila dengan
fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. 1,6
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.1
Alur penanganan kejang demam: 1

b. Penanganan Demam
Tujuan utama pengobatan kejang demam adalah mencegah demam meningkat,
yang merupakan salah satu faktor risiko timbulnya kejang demam. Parasetamol dapat
digunakan dengan dosis 10-15 mg/ kgBB/ kali dapat diberikan 4 kali sehari dan tidak
lebih dari 5 kali, atau ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/ kgBB/ kali, 3-4 kali sehari.1
c. Pemberian Obat Rumat
Indikasi pemberian obat rumat 1
a. Kejang lama >15 menit.
b. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
c. Kejang fokal.
d. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
2. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
3. Kejang demam >4 kali per tahun.

Jenis obat rumatan adalah fenobarbital 3-4 mg/ kgBB/ 2 dosis, asam valproat
15-40 mg/ kgBB dalam 2-3 kali pemberian.1
XI.

KOMPLIKASI
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.5

XII.

PENCEGAHAN
Beberapa bukti menyatakan bahwa penggunaan terapi antikonvulsan secara

berkesinambungan

seperti

fenobarbital,

primidon,

asam

valproat,

ataupun

penggunaan diazepam secara intermitten terbukti efektif dalam mengurangi kejang


demam ulangan. Namun begitu, potensi efek toksik akibat penggunaan obat-obatan
ini dinyatakan lebih berbahaya atau lebih berat jika dibandingkan dengan risiko yang
bisa didapatkan akibat kejang demam sederhana. Maka dari itu, terapi jangka panjang
tidaklah dianjurkan.2
Namun dalam beberapa situasi seperti adanya kegelisahan dari orang tua
akibat kejang demam, penggunaan diazepam oral pada saat demam dapat dipakai.
Dan meskipun antipiretik tidaklah efektif dalam mencegah kejang demam ulangan,
antipiretik tetap dapat digunakan untuk alasan kenyamanan anak.2
XIII.

PROGNOSIS
Dengan penanganan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak

menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapat angka kematian


0.46% dan 0.74% (Fridrerichsen dan Melchior, 1954, Frantzen dkk, 1968). Dari
10

penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25-50%, yang
umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.3,6
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya
Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6% sedangkan Livingston
(1945) mendapatkan golongan kejang demam sederhana hanya 2.9% yang menjadi
epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata 97%
menjadi epilepsi.3

DAFTAR PUSTAKA
1. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUNHAS, SMF Anak RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo
2. Berg, Anne T., Ph.D., Shilomo Shinnar, MD., Ph.D., W. Aleen Hauser, MD.,
Marta Alemany, Eugene D. Shapiro, MD., Morton E. Salomon, MD., and
Ellen F. Crain, MD., Ph.D. (1992). A Prospective Study of Recurrent Febrile
Seizures. From
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199210153271603#t=articleT
op, 26 Maret 2012
3. Duffner, Patricia K., MD., Robert J Baumann, MD., Peter Berman, MD., John
L. Green, MD., Sanford Scheneider, MD (2008). Febril Seizures: Clinical
Practice Guideline for Long-term Management of the Child With Simple
Febrile

Seizures.

From

http://www.pediatrics.aappublications.org/content/121/6/1281.full.html,

11

25 Maret 2012
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton (2007). Nelson Textbook Book Of
Pediatrics 18th edition
5. Lumbantobing, S.M. (2007). Kejang Demam (Febrile Seizures). Jakarta:
Penerbit Buku Balai Penerbit FKUI
6. Mansjoer, Arief, dkk. (2009). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius
7. Prof. Dr. dr. A Samik Wahab, Sp.A(K) (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson,
Vol. 3, Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

8. Robert J Baumann, MD (2012). Febrile Seizures. From


http://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview#a0101, 26 Maret
2012
9. Tejani, Noorudin R, MD (2011). Febrile Seizures in Emergency Medicine.
From http://emedicine.medscape.com/article/801500-overview, 26 Maret
2012

12

13

Anda mungkin juga menyukai