Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
a. Pengertian Hukum
Hukum adalah Himpunan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang mengurus tata
tertib suatu lingkungan maasyarakat.
Pada lingkungan masyarakat semua orang menjadi pendukung dan kepentingan yang
akan mereka amankan sebaik mungkin. Pengamanan kepentingan ini akan dapat
menjamin keseimbangan dalam hubungan antara hubungan masyarakat.
Hukum hanya berlaku dalam suatu pergaulan masyarakat
Pada lingkungan inilah kepentingan-kepentingan dapat bertubrukan satu dengan lainnya.
Peraturan hukum memiliki ciri memaksa yaitu adanya perintah atau larangan dan harus
ditegakkan dengan cara paksa. Bila tidak ditaati, hakim dapat mengenakan cara-cara
paksa tertentu (sanksi), hukuman atau ganti kerugian (dalam hukum perdata).
b. Sumber Hukum
Sumber hukum yaitu segala sesuatu dari mana orang dapat mengenal bermacam-macam
peraturan yang berlaku di dalam masyarakat dan oleh hukum dianggap sebagai yang pada
hakekatnya merupakan peraturan-peraturan yang mempunyai ketentuan hukum.
Sumber hukum dapat berupa :
Tulisan-tulisan, dokumen-dokumen, naskah-naskah dari mana dapat diketahui hukum
yang berlaku di suatu bangsa dalam masa tertentu.
Sumber hukum yang utama : Undang-undang.
Undang-undang yaitu setiap keputusan pemerintah yang menentukan peraturanperaturan yang mengikat. Peraturan keselamatan kapal termasuk Undang-undang dalam
arti luas (materiil). Sedangkan pengertian undang-undang dari segi formil = Ketetapan
yang diputuskan berdasarkan undang-undang Dasar oleh pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat.
Kekuatan perundang-undangan bersumber dari Undang-Undang Dasar. Setiap produk
hukum, kebijaksanaan pemerintah harus berlandaskan/bersumberkan peraturan yang lebih
tinggi dan dapat dipertanggung jawabkan pada UUD 1945.
Selain UU maka Kebiasaan dapat menjadi sumber hukum. Bila kebiasaan itu diterima
masyarakat, maka timbul kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai
hukum.
Sumber hukum ketiga Yurisprudensi (Keputusan Hakim). Bila kebiasaan tidak
memberikan peraturan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara, maka
Hakim harus membuat peraturan sendiri yang dikemudian hari dalam mengadili perkara
serupa dapat dijadikaan Sumber Hukum bagi pengadilan.
Sumber hukum yang lain Pengetahuan
Sebelum mnegeluarkan keputusan para hakim mengkaji dalam buku-buku dan
penerbitan-penerbitan ilmiah mengenai suatu persoalan.
Perjanjian merupakan sumber hukum selanjutnya.
Bila dua pihak atau lebih mengadakan kata sepakat tentang sesuatu hal yang melahirkan
suatu perjanjian, maka pihak-pihak yang bersangkutan akan terikat isi perjanjian yang
mereka adakan itu. Berarti harus ditepati dan ditaati.
c. Pembidangan Hukum
Hukum dapat dibagi menurut azasnya antara lain :
1. Menurut Kekuatan bekerjanya :
-
Undang-Undang Dasar,
Tap MPR,
Undang-Undang
2. Menurut Isinya
a. HUKUM PRIVAT (Sipil)
Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain
dengan menitik beratkan kepentingan perorangan.
-
Hakekatnya Hukum Dagang dan Hukum Perdata tidak ada suatu perbedaan yang
pokok, keduanya mengandung prinsip dan pengertian yang sama.
Terkaitnya kedua hukum tersebut dalam pasal 1 KUHD : bahwa untuk segala
peristiwa dan perbuatan dalam lapangan perniagaan itu diliputi oleh peraturanperaturan yang termuat baik KUHD maupun KUHPer, kecuali diatur tersendiri dalam
KUHD.
Kekurangan dalam KUHD (peraturan khusus) akan dilengkapi oleh peraturan umum
dari KUHPer.
b. HUKUM PUBLIK (Negara)
Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dan alat-alat perlengkapannya,
Negara dengan perseorangan dan Negara dengan Negara.
Hukum Publik terdiri dari :
-
Hukum Internasional
HUKUM LAUT
Yaitu rangkaian peraturan dan kebiasaan hukum mengenai laut yang bersifat :
-
LOW
LAUT WIL
WATER
12
BASE LINE
LW = LAUT WILAYAH
ZT = ZONE TAMBAHAN
Eclusive
Internasional kurang berjalan sesuai yang diharapkan, karena hambatan prosedural yaitu
diperlukannya persetujuan 2/3 dari jumlah Negara anggota untuk meratifikasi peratruran
dimaksud, sulit dicapai dalam waktu yang diharapkan.
Karena itu pada tahun 1974 dibuat konvensi baru SOLAS 1974 dengan prosedur baru, bahwa
setiap amandement diberlakukan sesuai target waktu yang sudah ditentukan, kecuali ada
penolakan 1/3 dari jumlah Negara anggota atau 50 % dari pemilik tonnage yang ada di dunia.
Kecelakaan tanker terjadi secara beruntun pada tahun 1976 dan 1977, karena itu atas prakarsa
Presiden Amerika Serikat JIMMY CARTER, telah diadakan konfrensi khusus yang
menganjurkan aturan tambahan terhadap SOLAS 1974 supaya perlindungan terhadap
Keselamatan Maritim kebih efektif.
Pada tahun 1978 dikeluarkan komvensi baru khusus untuk tanker yang dikenal dengan nama
Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP 1978) yang merupakan penyempurnaan dari
SOLAS 1974 yang menekankan pada perencanaan atau desain dan penambahan peralatan
untuk tujuan keselamatan operasi dan pencegahan pencemaran perairan. Kemudian diikuti
dengan tambahan peraturan pada tahun 1981 dan 1983 yang diberlakukan bulan September
1984 dan Juli 1986.
Peraturan baru Global Matime Distress and Safety System (GMDSS) pada tahun 1990
merupakan perubahan mendasar yang dilakukan IMO pada sistim komunikasi maritim,
dengan menfaatkan kemajuan teknologi di bidang komunikasi sewperti satelit dan akan
diberlakukan secara bertahap dari tahun 1995 s/ 1999.
Konsep dasar adalah, Badan SAR di darat dan kapal-kapal yang mendapatkan berita
kecelakaan kapal (vessel in distress) akan segera disiagakan agar dapat membantu melakukan
koordinasi pelaksanaan operasi SAR.
General Provisions
Chapter
II 1
II 2
Chapter
III
Chapter
IV
Radio Communications
Chapter
Safety Navigation
Chapter
VI
Carriage of Cargoes
Chapter
VIII
Nuclear Ship
Chapter
IX
Chapter
Chapter
XI
Appendix
Certificates
Annex I : Records of Equipment
Annex II : Forms of Attachements
Part 2
Annex 1
Annex 2
Annex 3
Annex 4
Annex 5
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885
dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama kapal tiga tahun
kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul.
Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh
Pemerintah Inggris (UK), lahirlah Oil Pullution Convention, yang mencari cara untuk
mencegah pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan dari kamar
mesin kapal lainnya.
Sebagai hasilnya adalah sidang IMO mengenai international Conference on Marine
Pollution dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973 yang menghasilkan
international Convention for the Prevention of Oil Pollution from Ships tahun 1973,
yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention)
Protocol tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang
masih berlaku sampai sekarang.
Difinisi mengenai Ship dalam MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut:
Ship means a vessel of any type whatsoever operating in the marine environment and
includes hydrofoil boats, air cushion vehhicles, suvmersibles, ficating Craft and fixed or
floating platform.
Jadi Ship dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis bangunan
yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang atau tertanam tetap di
dasar laut.
ISI PERATURAN MARPOL
Peraturan mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran lingkungan
maritim yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai diatur dalam MARPOL
Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :
1. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973.
Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah
meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barangbarang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi
IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan
isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundangundangan Nasional.
2. Protocol of 1978
Merupakan peraturan tambahan Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)
bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan
pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal
tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan
secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex
konvensi.
10
Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus
dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.
Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai :
-
Protocol I
Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan
berbahaya.
Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal
yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara
anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang
diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex
Protocol I.
Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III Contents of report laporan tersebut
harus memuat keterangan :
Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.
Waktu, tempat dan jenis kejadian
Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah
Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan
Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi
pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau
campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk
kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol
dimaksud.
11
STCW 78 AMANDEMEN 95 ( S T C W 95 )
PENDAHULUAN
1. Tahun 1966 dicanangkan sebagai tahun bahari
1. Indonesia dengan 17.556 pulau dihadapkan pada tuntutan kualitas pelaut, yaitu
dengan pemberlakukan stcw 1978 amandemen 1995 (stcw 78 amandeman 95).
12
2. Era globalisasi diwarnai persaingan bebas yang semakin ketat disegala bidang,
termasuk persaingan sumber daya manusia.
3. Azas persaingan adalah : efisiensi, efektivitas, disamping faktor keselamatan dan
faktor lingkungan.
4. Ruang lingkup kegiatan pendidikan kepelautan menyangkut aspek yang sangat luas,
pelik dan beragam.
2. Pendidikan kepelautan harus mendapat akreditasi :
1. Nasional : sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
2. Internasional : standar internasional harus dipenuhi, yaitu stwc 1995. Pengawasan
melalui port state control untuk meyakinkan apakah para pelaut memiliki sertifikat
dan kompetensi sesuai stcw 1995 tersebut.
BEBERAPA FAKTA :
1. Minat pemuda / pemudi Indonesia cukup tinggi. Tahun 1995 mencapai 7.000 orang,
diterima sebanyak 500 orang (plap Jakarta, bplp Semarang dan bplp ujung pandang).
2. Tingkat rating sebanyak 120 peminat, diterima sebanyak 300 siswa di bplpd berombong
dan bplpd Surabaya.
3. Diantara negara Asean, Indonesia merupakan negara yang terbanyak dalam meratifikasi
konvensi imo, yaitu 17 dari 48 konvensi yang
dikeluarkan sampai dengan tahun 1995, sementara singapura 15 konvensi; malaysia 11
konvensi ; philipina 9 konvensi dan thailand 8 konvensi.
AMANDEMEN 1995 KONVENSI SCTW 1978
Materi amandemen
1. Resolusi
Final act tanggal 7 Juli 1995 di London menetapkan :
Resolusi
Resolusi
Resolusi
: transitional provisions ;
Resolusi
: training of radio operators for the global maritime distress and safety
system (gmdss)
13
Resolusi
Resolusi
Resolusi
Resolusi
Resolusi
Resolusi
10
Resolusi
11
Resolusi
12
Resolusi
13
Resolusi
14
ELEMEN 1 : UMUM
1.1.
Definisi
vertifikasi
/Penilaian
melaksanakan
14
atau
menunjuk
suatu
lembaga
untuk
Memberikan sertifikasi
1.2.
Sasaran
1.4.
15
(2) Jenis sertifikat kepelautan yang dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :
a. Sertifikat Keahlian Pelaut;
b. Sertifikat Keterampilan pelaut.
Pasal 4
(1) Jenis Sertifikat Keahlian Pelaut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a
terdiri dari :
a. Sertifikat Keahlian Pelaut Nautika;
b. Sertifikat Keahlian Pelaut Teknik Permesinan;
c. Sertifikat Keahlian Pelaut Radio Elektronika.
(2) Jenis Sertifikat Keterampilan Pelaut sebagimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b
terdiri dari :
a. Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut;
b. Sertifikat Keterampilan Khusus
Pasal 5
(1) Sertifikat Keahlian Pelaut Nautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,
terdiri dari :
a. Sertifikat Ahli Nautika Tingkat I;
b. Sertifikat Ahli Nautika Tingkat II;
c. Sertifikat Ahli Nautika Tingkat III;
d. Sertifikat Ahli Nautika Tingkat IV;
e. Sertifikat Ahli Nautika Tingkat V;
f. Sertifikat Ahli Nautika Tingkat Dasar.
(2) Sertifikat Keahlian Pelaut Teknik Permesinan sebagimana dimaksud Pasal 4 ayat (1)
huruf b terdiri dari :
a. Sertifikat Ahli Teknika Tingkat I;
b. Sertifikat Ahli Teknika Tingkat II;
c. Sertifikat Ahli Teknika Tingkat III;
d. Sertifikat Ahli Teknika Tingkat IV;
e. Sertifikat Ahli Teknika Tingkat V;
f. Sertifikat Ahli Teknika Tingkat Dasa.
(3) Sertifikat Keahlian Pelaut Radio Elektronika sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1)
huruf c terdiri dari :
a. Sertifikat Radio Elektronika Kelas I;
b. Sertifikat Radio Elektronika Kelas II;
c. Sertifikat Operator Umum;
d. Sertifikat Operator Terbatas.
Pasal 6
(1) Sertifikat Keterampilan Dasar Pelaut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) hurf
a adalah Sertifikat Keterampilan dasar Keselamatan (Basic Safety Training).
(2) Jenis Sertifikat Keterampilan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
huruf b terdiri dari :
a. Sertifikat Keselamatan Kapal Tanki (Tanker safer);
b. Sertifikat Keselamatan Kapal Penumpang Roro;
c. Sertifikat Keterampilan Penggunaan Pesawat Luput Maut dan Sekoci Penyelamat
( Survival Craft dan Rescue Boats );
d. Sertifikat Keterampilan Sekoci Penyelamat Cepat (Fast Rescue Boats);
17
(4) Izin penyelenggaraan pendidikan kepelautan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat
dicabut oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan nasional apabila
pemegang izin tidak memenuhi kewajibannya setelah mendengar pendapat dari Menteri.
Pasal 10
(1) Kurikulum pendidikan kepelautan disusun dengan memperhatikan :
a. aspek keselamatan pelayaran;
b. tingkat kemampuan dan kecakapan pelaut sesuai standar komptensi yang ada;
c. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta manajemen di bidang pelayaran;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kurikulum pendidikan kepelautan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di
bidang pendidikan nasional setelah mendengar pendapat dairi Menteri.
Pasal 11
(1) Pendidikan kepelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dilaksanakan melalui jalur
sekolah, yang terdiri dari :
a. pendidikan professional kepelautan;
b. pendidikan teknis fungsional kepelautan;
(2) Jenjang pendidikan professional kepelautan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
a terdiri dari :
a. Pendidikan pelaut tingkat dasar;
b. Pendidikan pelaut tingkat menengah;
c. Pendidikan pelaut tingkat tinggi.
(3) Pendidkan Teknis fungsional kepelautan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
terdiri dari :
a. DIKLAT teknis profesi kepelautan;
b. DIKLAT keterampilan pelaut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pendidikan professional kepelautan dan
pendidikan teknis fungsional kepelautan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Pengujian
Pasal 12
(1) Ujian untuk mendapatkan sertifikat keahlian pelaut sebagaimana dimaksud pasal 5
dilaksanakan oleh Dewan Penguji yang mandiri sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara ujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 13
Untuk mengikuti pendidikan dan ujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12
dipungut biaya yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Bagian Ketiga
Sertifikat Kepelautan
19
Pasal 14
(1) Bagi peserta pendidikan kepelautan yang lulus ujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, diberikan sertifikat keahlian pelaut sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan kepelautan
yang ditempuh.
(2) Bagi peserta yang telah mengikuti pendidikan kepelautan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) huruf b diberikan sertifikat keterampilan pelaut sesuai dengan jenis dan
jenjang pendidikan kepelautan yang ditempuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penerbitan Sertifikat Keahlian Pelaut dan
Sertifikat Keterampilan Pelaut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Keputusan Menteri.
PERATURAN TENTANG PERLINDUNGAN KERJA PELAUT
Bagian Pertama
Buku Pelaut
Pasal 15
(1) Setiap pelaut yang bekerja di kapal dengan ukuran kurang dari GT.35 untuk kapal jenis
tertentu, ukuran GT.35 atau lebih untuk kapal dengan tenaga penggerak mesin, dan ukuran
GT.105 atau lebih untuk kapal tanpa penggerak mesin harus disijil pleh pejabat Pemerintah
yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Bagi pelaut yang telah disijil diberikan Buku Pelaut.
(3) Buku Pelaut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan identitas bagi pelaut dan
berlaku sebagai dokumen perjalanan bagi pelaut yang akan naik kapal di luar negeri atau
menuju Indonesia setelah turun dari kapal di luar negeri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyijilan dan buku pelaut, sebagaimana
dimaksud ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 16
(1) Untuk mendapatkan buku pelaut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
dikenakan biaya.
(2) Penetapan biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri.
Bagian Kedua
Persyaratan Kerja di Kapal
Pasal 17
Untuk dapat bekerja sebagai awak kapal, wajib memenuhi persyaratan :
a. Memiliki Sertifikat Keahlian Pelaut dan/atau Sertifikat Keterampilan Pelaut;
b. Berumur sekurang-kurangnya 18 tahun;
c. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeiksaan kesehatan yang khusus dilakukan
untuk itu;
d. Disijil.
Pasal 18
(1) Setiap pelaut yang akan disijil harus memiliki Perjanjian Kerja Laut yang masih berlaku;
20
(2) Perjanjian Kerja Laut sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memuat hak-hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak dan memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
(3) Hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
sekurang-kurangnya adalah :
a. Hak pelaut:
Menerima gaji, upah, lembur, uang pengganti hari-hari libur, uang delegasi, biaya
pengankutan dan upah saat diakhirinya pengerjaan, pertanggungan untuk barang-barang milik
pribadi yang dibawa serta kecelakaan pribadi serta perlengkapan untuk musim dingin untuk
yang bekerja di wilayah yang suhunya 15 derajat celcius atau kurang yang berupa pakaian
dan peralatn musim dingin;
b. Kewajiban pelaut :
Melaksanakan tugas sesuai dengan jam kerja yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian,
menanggung biaya yang timbul karena kelebihan barang bawaan di atas batas ketentuan yang
ditetapkan perusahaan, menaati perintah perusahaan dan bekerja sesuai dengan jangka waktu
perjanjia.
c. Hak pemilik/operator :
Memperkerjakan pelaut
d. Kewajiban pemilik/operator:
Memenuhi semua kewajian yang merupakan hak-hak pelaut sebagaimana dimaksud dalam
huruf a.
(4) Bagi pelaut yang bekerja pada kapal- kapal asing di luar negeri tanpa melalui
penempatan tenaga kerja pelaut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berkewajiban :
a. Membuat perjanjian kerja laut sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. Perjanjian kerja laut sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus memuat hukum mana
yang berlaku apabila terjadi perselisihan yang menyangkut pelaksanaan perjanjian kerja laut;
c. Melapor kepada perwakilan Republik Indonesia dimana pelaut tersebut bekerja.
(5) Bagi pelaut yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ,
menanggung sendiri akibat yang timbul apabila terjadi perselisihan yang menyangkut
pelaksanaan perjanjian kerja laut .
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan tenaga kerja pelaut sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setelah mendengar pendapat dari Menteri.
Pasal 20
Usaha penempatan tenaga kerja pelaut sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dilakukan
dengan memperhatikan :
a. penciptaan perluasan kesempataan kerja pelaut khususnya yang bekerja di kapal-kapal
berbendera asing;
b. pengembangan fasilitas pendidikan kepelautan yang memenuhi persyaratan sesuai
ketentuan internasional;
c. peningkatan kemampuaan dan keterampilan pelaut sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang pelayaran.
Bagian Keempat
Kesejahteraan Awak Kapal
21
Pasal 21
(1) Jam kerja bagi awak kapal ditetapkan 8 (delapan) jam setiap hari dengan 1 (satu) hari
libur setiap minggu dan hari-hari libur resmi;
(2) Perhitungan gaji jam kerja bagi awak kapal ditetapkan 44 (empat puluh empat) jam setiap
minggu.
(3) Jam kerja melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan dipekerjakan
pada hari-hari libur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung lembur;
(4) Setiap awak kapal harus diberikan waktu istirahat palin sedikit 10 (sepuluh) jam dalam
jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam yang dapat dibagi 2 (dua), yang salah satu
diantaranya tidak kurang dari 6 (enam) jam kecuali dalam keadaan darurat.
(5) Pelaksanaan tugas tugas darurat demi keselamatan berlayar dan muatan termasuk latihanlatihan di kapal atau untuk memberikan pertolongan dalam bahaya sesuai peraturan
keselamatan pelayaran tidak dihitung lembut;
(6) Pelaut muda atau pelaut yang berumur antara 16 tahun sampai 18 tahun dan dipekerjakan
sebagai apapun diatas kapal tidak diperbolehkan untuk :
a. Dipekerjakan melebihi 8 (delapan) jam kerja sehari dan 40 jam seminggu;
b. Dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5)
Pasal 22
(1) Upah minimum bagi awak kapal dengan jabatan terendah ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, berdasarkan ketentuan upah m inimum tenaga
kerja sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Upah lembur per jam dihitung dengan rumus :
Upah Minimum x 1,25
190
Pasal 23
Hari libur yang dibayar dihitung untuk setiap bulan 4 (empat) hari kerja, yang besarnya setiap
hari 1/30 (sepertigapuluh) dari gaji minimum bulanan.
Pasal 24
(1) Setiap awak kapal berhak mendapatkan cuti tahunan yang lamanya paling sedikit 20 (dua
puluh) hari kalender untuk setiap jangka waktu 1 (satu) tahun bekerja;
(2) Atas permintaan pengusaha angkutan di perairan, awak kapal yang mendapatkan hak
cuti tahunan dapat mengganti hak cutinya dengan imbalan upah sejumlah hari cuti yang tidak
dinikmatinya.
Pasal 25
(1) Pengusaha nagkutan di perairan wajib menyediakan makanan dan alat-alat pelayanan
dalam jumlah yang cukup dan layak untuk setiap pelayaran bagi setiap awak kapal di atas
kapal.
(2) Makanan harus memenuhi jumlah, ragam serta nilai gizi dengan jumlah minimum 3600
kalori perhari yang diperlukan awak kapal untuk tetap sehat dalam melakukan tugas-tugasnya
di kapal.
(3) Air tawar harus tetap tersedia di kapal dengan jumlah yang cukup dam memenuhi standar
kesehatan.
22
(4) Alat-alat pelayanan seperti peralatan dapur dan atau peralatan memasak, serta
perlengkapan ruang makan harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan baik.
Pasal 26
(1) Awak kapal yang habis masa kontrak kerjanya harus dikembalikan ke tempat domisilinya
atau ke pelabuhan ditempat perjanjian kerja laut ditandatangani.
(2) Jika awak kapal memutuskan hubungan kerja atas kehendak sendiri, pengusaha angkutan
dibebaskan dari kewajiban pembiayaan untuk pemulangan yang bersangkutan.
(3) Apabila masa kontrak dari awak kapal habis masa berlakunya pada saat kapal dalam
pelayaran, awak kapal yang bersangkutan diwajibkan meneruskan pelayaran sampai di
pelabuhan pertama yang disinggahi dengan mendapat imbalan upah dan kesejahteraan
sejumlah hari kelebihan dari masa kontrak.
(4) Biaya-biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3), merupakan tanggungan
pengusaha angkutan di perairan yang meliputi biaya-biaya pemulangan, penginapan dan
makanan sejak diturunkan dari kapal sampai tiba ditempat domisilinya.
Pasal 27
(1) Apabila pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha angkutan di perairan karena kapal
musnah atau tenggelam, pengusaha angkutan di perairan wajib membayar pesangon kepada
awak kapal yang bersangkutan sebesar 2 (dua) kali penghasilan bulan terakhir dan hak
lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha di perairan karena kapal
dianggurkan, atau dijual, pengusaha di perairan wajib membayar pesangon kepada awak
kapal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
(1) Pengusaha angkutan di perairan wajib menanggung biaya perawatan dan pengobatan bagi
awak kapal yang sakit atau cidera selama berada di atas kapal.
(2) Awak kapal yang sakit atau cidera akibat kecelakaan sehingga tidak dapat bekerja atau
harus dirawat, pengusaha angkutan di perairan selain wajib membiayai perawatan dan
pengobatan juga wajib membayar gaji penuh jika awak kapal tetap berada atau dirawat di
kapal.
(3) Jika awak kapal sebagaimana dalam ayat (2) harus diturnkan dari kapal untuk perawatan
di darat, pengusaha angkutan di perairan selain wajib membiayai perawatan dan pengobatan,
juga wajib membayar sebesar 100% dari gaji minimumnya setiap bulan pada bulan pertama
dan sebesar 80% dari gaji minimumnya setiap bulan pada bulan berikutnya sampai yang
bersangkutan sembuh sesuai surat keterangan petugas medis, dengan ketentuan tidak lebih
dari 6 (enam) bulan untuk yang sakit dan tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk yang
cedera akibat kecelakaan.
(4) Bila awak kapal diturnkan dan dirawat di luar negeri, selain biaya perawatan dan
pengobatan, pengusaha angkutan di perairan juga menanggung biaya pemulangan kembali ke
tempat domisilinya.
Pasal 29
23
Besarnya ganti rugi atas kehilangan barang-barang milik awak kapal akibat tenggelam atau
terbakarnya kapal, sesuai dengan nilai barang-barang wajar dimilikinya yang hilang atau
terbakar.
Pasal 30
(1) Jika awak kapal setelah dirawat akibat kecelakaan kerja menderita cacat tetap yang
mempengaruhi kemampuan kerja besarnya santunan ditentukan :
a. Cacat tetap yang mengakibatkan kemampuankerja hilang 1005 besarnya santunan minimal
Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah);
b. Cacat tetap yang mengakibatkan kemampuan kerja berkurang besarnya santunan
ditetapkan persentase dari jumlah sebagaimana ditetapkan dalam huruf a sebagai berikut :
1) Kehilangan satu lengan
: 40%;
2) Kehilangan dua lengan
: 100%;
3) Kehilangan satu telapak tangan : 30%;
4) Kehilangan kedua telapak tangan
: 80%;
5) Kehilangaan satu kaki dari paha : 40%;
6) Kehilangan dua kaki dari paha : 100%;
7) Kehilangan satu telapak kaki
: 30%;
8) Kehilangan dua telapak kaki
: 80%;
9) Kehilangan satu mata
: 30%;
10) Kehilangan dua mata
: 100%;
11) Kehilangan pendengaran satu telinga: 15%;
12) Kehilangan pendengaran dua telinga
: 40%;
13) Kehilangan satu jari tangan
: 10%;
14) Kehilangan satu jari kaki
: 5%;
(2) Jika awak kapal kehilangan beberapa anggota badan sekaligus sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, besarnya santunan ditentukan dengan menjumlahkan persentase
dengan ketentuan tidak melebihi jumlah sebagaimana ditetapkan dalam ayat (1) huruf a.
Pasal 31
(1) Jika awak kapal meninggal dunia di atas kapal, pengusaha angkutan di perairan wajib
menanggung biaya pemulangan dan penguburan jenasahnya ke tampat yang dikehendaki
oleh keluarga yang bersangkutan sepanjang keadaan memungkinkan.
(2) Jika awak kapal meninggal dunia, pengusaha angkutan di perairan wajib membayar
santunan :
a. Untuk meninggal karena sakit besarnya santunan minimal Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah);
b. Untuk meninggal dunia akibat kecelakaan kerja besarnya santunan minimal Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(3) Santunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan kepada ahli warinya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Bagian Kelima
Akomodasi Awak Kapal
Pasal 32
(1) Akomodasi awak kapal di atas kapal harus memenuhi persyaratan keamanan dan
kesejahteraan awak kapal;
24
(2) Penempatan, tata susunan dan pengaturan serat hubungan dengan ruangan lain dari
akomodasi awak kapal harus sedemikian rupa sehingga menjamin keselamatan awak kapal
yang cukup, perlindungan terhadap cuaca dan air laut dan disekat dari panas dan dingin serta
kebisingan dari ruangan-ruangan mesin dan ruangan-ruangan lainnya serta tidak ada pintupintu langsung ke kamar tidur dari ruang muatan, ruangan mesin atau dari ruangan
dapur dan ruangan ruangan penyimpanan.
(3) Bagian dari sekat harus memisahkan ruangan-ruangan sebagaimana dimaksud ayat (2)
dari kamar tidur dan sekat luar harus dibuat dari baja atau bahan sejenis yang diakui dan
kedap air dan kedap gas;
(4) Semua kamar tidur harus terletak lebih tinggi dari garis muat di lambung kapal;
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksu dalam ayat (4) dapat dikecualikan bagi kapal-kapal
tertentu atau kapal-kapal penumpang tertentu;
(6) Semua ruangan tenpat tinggal awak harus dilengkapi dengan pencegah masuknya
serangga melalui pintu-pintu, jendela-jendela dan lubang-luban ke dalam ruangan;
(7) Semua ruangan tempat tinggal awak kapal harus tetap dirawat dan dijaga dalam keadaan
bersih dan baik dan tidak boleh diisi dan digunakan untuk menyimpan barang-barang lainnya.
Pasal 33
(1) Ketentuan luas lantai ruang tidur untuk awak kapal adalah :
a. Paling sedikit 2.00 m2 untuk kapal-kapal kecil dari GT.500;
b. Paling sedikit 2.35 m2 untuk kapal-kapal dengan ukuran GT.500 keatas;
c. Paling sedikit 2.78 m2 untuk kapal-kapal dengan ukuran GT. 3000 keatas.
(2) Setiap perwira harus mempunyai satu kamar tidur untuk sendiri, sedangkan untuk rating
satu kamar tidur 2 (dua) orang, kecuali di kapal-kapal penumpang;
(3) Untuk kamar tidur rating di kapal-kapal penumpang yang satu kamar tidur terdapat 4
(empat) tempat tidur , maka luas lantai per orang minimal 2,22 M2.
(4) Luas lantai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) , termasuk luas lantai untuk
menempatkan tempat tidur, meja, lemari, laci tempat menyimpan dan kursi.
(5) Bagi setiap awak kapal diharuskan disediakan sebuah tempat tidur yang layak tidak boleh
diletakkan rapat satu sama lain.
(6) Tinggi langit-langit kamar tidur minimal 190 cm dari lantai.
(7) Jika suatu kamar tidur dilengkapi tempat tidur bertingkat, tempat tidur terbawah
tingginya minimal 30cm dari lantai, dan tempat tidur atas , di pertengahan tinggi antara
tempat tidur bawah dan sisi bawah langit -langit.
(8) Semua kamar tidur yang telah dilengkapi dengan tempat tidur, lemari, laci tempat
menyimpan, meja dan kursi harus mempunyai kenyamanan yang layak.
Pasal 34
Setiap kapal harus dilengkapi dengan ruang makan baik untuk perwira maupun rating yang
dilengkapi dengan pantry, meja dan kuris makan yang layak.
Pasal 35
(1) Setiap kapal harus dilengkapi ruangan atau ruangan-ruangan untuk bersantai bagi awak
kapal jika tidak sedang bertugas yang cukup luas disesuaikan dengan ukuran kapal dan
jumlah awak kapal.
25
(2) Setiap kapal dengan ukuran lebih besar dari GT.3000 harus mempunyai ruangan rekreasi
yang terpisah dari ruang makan untuk perwira dan rating yang baik letaknya dan dilengkapi
dengan peralatan dan perabotan yang cukup untuk fasilitas rekreasi.
(3) Ruangan untuk bersantai dan rekreasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
di tempat yang terbuka harus dilengkapi dengan atap tenda tetap pencegah sinar matahari.
Pasal 36
(1) Setiap kapal harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang cukup dan layak untuk
seluruh awak kapal.
(2) Fasilitas sanitasi berupa jamban untuk setiap kapal, selain kapal penumpang adalah :
a. Kapal lebih kecil daei GT.800 minimum sebanyak 3 (tiga) buah;
b. Kapal dengan ukuran GT.800 keatas minimum 4 (empat) buah;
c. Kapal dengan ukuran GT.3000 keatas minimum sebanyak 6 (enam) buah.
(3) Fasilitas sanitasi berupa kamar mandi dan tempat cuci untuk setiap kapal selain kapal
penumpang diluar fasilitas kamar mandi yang ada ditentukan :
a. Minimum 1 (satu) kamar mandi untuk 8 (delapan) orang awak kapal;
b. Minimum 1 (satu) tempat cuci untuk 8 (delapan) orang awak kapal
(4) Untuk kapal-kapal penumpang dengan jumlah awak kapal lebih dari 100 (seratus) orang
jumlah fasilitas sanitasi ditentukan sesuai keperluan.
(5) Setiap kapal harus dilengkapi dengan fasilitas air tawar yang cukup yang bersuhu dingin
maupun panas yang disesuaikan dengan daerah pelayaran kapal;
(6) Semua ruangan sanitasi harus dilengkapi dengan ventilasi ke udara luar.
Pasal 37
(1) Setiap kapal dengan jumlah awak kapal 15 (lima belas) orang atau lebih harus dilengkapi
dengan ruang perawatan kesehatan yang layak dan memiliki kamar mandi dan jamban
tersendiri; (2) Fasilitas ruang perawatan kesehatan tidak boleh dipergunakan untuk keperluakeperluan lain selain untuk perawatan orang sakit.
(3) Pada setiap kapal harus tersedia obat-obatan dan bahan-bahan pembalut dalam jumlah
yang banyak.
(4) Untuk pemberian pelayanan kesehatan dikapal, Nahkoda dalam keadaan tertentu dapat
meminta bantuan
nasehat dari tenaga medis di darat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis obat-obatan dan tata cara permintaan bantuan
nasehat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (4) diatur dalam Keputusan Menteri.
Pasal 39
Bagi kapal-kapal dengan ukuran GT.500 atau lebih harus menyediakan akomodasi
sebagaimana dimaksud pada pasal 32 dan Pasal 33 untuk para taruna/calon perwira sebagai
awak kapal yang melakukan praktek berlayar.
Pasal 40
(1) Ketentuan Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 tidak berlaku untuk kapal penangkap ikan,
kapal sungai dan danau.
(2) Akomodasi awak kapal untuk kapal penangkap ikan, kapal sungai dan danu diatur
tersendiri dengan Keputusan Menteri.
TANGGUNG JAWAB AWAK KAPAL
26
Organisasi Kapal
Mualim I
a. Kepala dinas deck dan pembantu Nahkoda, dalam hal mengatur pelayanan di kapal
jika di kapal tidak ada Ch. Steward.
b. Membantu Nahkoda menjaga ketertiban, disiplin dan mentaati peraturan peraturan
dinas.
c. Mengatur mengenai dinas umum dan tugas pelayanan.
d. Tugas jaga navigasi kapal.
e. Pemuatan dan pembongkaran muatan.
f. Menyelenggarakan tugas administrasi berhubungan dengan muatan, hewan dan
penumpang.
g. Penyerahan dokumen-dokumen kepada keagenan.
h. Kebersihan dan pemeliharaan kapal.
27
i. Pemeliharaan alat-alat muat bongkar, kecuali winches ,peralatan jangkar, tangkitangki air, akomodasi, dunnage dan lashing.
3. Mualim II
a. Tugas jaga navigasi.
b. Membantu Nahkoda dalam hal navigasi.
c. Bertanggung jawab terhadap peralatan Navigasi dan perawatannya.
d. Mengoreksi peta dan buku-buku navigasi , menarik garis haluan / route
e. Tugas tambahan bertanggung jawab terhadap peralatan GMDSS.
f. Membuat voyage report.
g. Membuat permintaan dan menyimpan barang-barang store stationeri.
h. Menerima, menyimpan dan penyerahan benda benda pos dan administrasinya.
i. Sebagai perwira kesehatan, menyimpan obat-obatan bila di atas kapal tidak ada tenaga
medis.
j. Membantu mualim I dalam pelaksanaan bongkar muat muatan.
4. Mualim III
a. Tugas jaga navigasi.
b. Menjaga dan memelihara alat-alat pemadam kebakaran, alat-alat keselamatan, dan
bendera.
c. Membuat permintaan mengenai alat-alat keselamatan dan pemadam kebakaran.
d. Merawat lampu navigasi ( listrik / minyak tanah ).
e. Membuat roll kebakaran dan roll sekoci.
k. Membantu mualim I dalam pelaksanaan bongkar muat muatan.
5. Mualim IV
a. Tugas jaga navigasi.
b. Membantu mualim I dalam pelaksanaan bongkar muat muatan.
c. Membantu mualim III merawat alat-alat keselamatan.
d. Membantu Nahkoda di anjungan.
6. Serang / Bosun
Sebagai kepala kerja dan mengatur pelaksanaan kerja di bagian deck , menerima
perintah kerja dari Mualim I.
7. Juru mudi / AB
Tugas jaga baik di laut atau di pelabuhan.
Membantu Bosun.
B. Bagian mesin ( Engine Departement )
1. Kepala Kamar Mesin
28
2. Masinis II
Bertanggung jawab terhadap pengaturan routine kerja harian dan kebersihan di kamar
mesin.
Bertugas jaga pada jam 04.00 08.00 / 16.00 20.00.
Betanggung jawab terhadap perawatan mesin induk.
Menggantikan KKM bila berhalangan.
3. Masinis III
Bertugas jaga pada jam 00.00 04.00 / 12.00 16.00.
Bertanggung jawab terhadap perawatan mesin bantu di dalam kamar mesin.
Menerima tugas kerja dari Masinis II.
4. Masinis IV
Bertugas jaga pada jam 08.00 12.00 / 20.00 24.00.
Bertanggung jawab terhadap perawatan pesawat bantu di deck, mesin sekoci, ketel
uap, Oil Water Separator dan mesin kemudi
Mengawasi spare part.
Bertanggung jawab terhadap tangki bahan bakar, pemakaiannya dan bunkering.
5. Masinis V
Menerima tugas dari Masinis II, membantu Masinis III merawat pesawt bantu di
dalam kamar mesin, mengawasi buku jaga kamar mesin.
6. Mandor / Foreman / No. 1 Oiler
Sebagai kepala kerja dan mengatur pelaksanaan kerja di bagian mesin yang menerima
perintah dari Masinis II.
7. Juru minyak
melaksanakan tugas jaga, membantu mandor.
29
AWAK KAPAL
A. Kewajiban Anak Buah Kapal
1. Mematuhi perintah Nahkoda , juga orang lain yang bertindak atas nama atau untuk
Nahkoda, apabila Nahkoda memberikan perintah di luar batas kewenangannya, ABK
mempunyai Hak untuk menuntut atau mengadukan ke yang berwenang.
2. Minta ijin setiap kali meninggalkan kapal
3. Minta ijin Nahkoda atau penggantinya untuk mempunyai, menyimpan atau
menggunakan barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan wajar , ex : minuman
keras, senjata
1.
2.
3.
4.
30
31
32
Menurut KUHD ps. 432.a pengusaha kapal wajib memberi ganti rugi kepada awak
kapal berupa :
1. Jumlah upah paling lama 2 bulan
2. Jumlah upah sampai tiba kembali di tempat penanda tanganan PKL dalam
ketentuan di atas tidak berlaku.
3. Ganti rugi berupa barang milik awak kapal dan kerugian lainnya.
4. Biaya penguburan dan pengiriman jenazah sampai ke ahli warisnya bila meninggal
dunia.
5. Hak Pengangkutan
a. Semua awak kapal setelah berakhir PKL berhak atas angkutan Cuma-Cuma ke
tempat dimana PKL ditanda tangani atau ke tempat tinggal ABK atau ke tempat lain
sesuai dengan perjanjian.
b. Pelaut Indonesia yang terlantar berhak mendapat pengangkutan pulang ke Indonesia
.
Nahkoda kapal Indonesia wajib berusaha mengangkut pelaut Indonesia yang
terlantar ke Indonesia atas perintah Konsul atau pejabat setempat. ( ps. 358
KUHD ).
6. Hak menggugat atau menuntut
Anak buah kapal mempunyai hak-hak yang bersifat asasi dan kebebasan serta hak-hak
untuk menuntut jika diperlakukan tidak adil.
Diantara hak-hak Anak buah kapal tersebut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
33
473 :
546 :
555 :
787 :
1012
Pelaksanaan wasiat;
1077
1095
1144
1096
Pendaftaran Kapal
Untuk menghindari suatu kevakuman hukum diatas kapal, maka kapal wajib memiliki
kebangsaan. Persyaratan untuk memperoleh kebangsaan, adalah kapal sudah dibukukan
dalam Daftar ( Register ) Kapal. Mengingat bahwa ketentuan pasal 314 KUH Dagang
dimaksudkan untuk Kapal Laut ( pasal 310 ), maka yang terkena ketentuan ini adalah Kapal
34
Laut. Sedangkan yang dimaksud dengan Kapal Indonesia adalah menyangkut pemilikan oleh
warga negara Indonesia ( pasal 311 ). Bahwasannya pendaftaran kapal di Indonesia hanya
untuk Indonesia di latar belakangi persyaratan pendaftaran untuk memperoleh kebangsaan
yang dokumennya adalah Surat Laut. Dalam dokumen terdapat kalimat tentang perlindungan
Negara kepada pemegangnya. Selain perlindungan tersebut, kapal tunduk pada Indonesia dan
berhak mengibarkan bendera Indonesia.
Walaupun menurut KUH Dagang pasal 314, pendaftaran dapat dibukukan dalam Daftar
( Register ) Kapal, pada kenyataannya pendaftaran kapal merupakan sesuatau yang wajib,
mengingat :
-
( KUH Dagang
pasal 347 );
-
Di kapal harus ada ikhtisar Daftar Kapal ( KUH Dagang pasal 374 );
Sanksi pidana untuk Nahkoda jika tidak mempunyai Akta Pendaftaran ( KUH Pidana
pasal 561 ).
Daftar ( Register ) Kapal adalah susunan administrasi, buku dan lampiran-lampiran yang
diselenggarakan di kantor-kantor Syahbandar dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut,
Kapal Laut, Kapal Pendalaman dan kantor Syahbandar diselenggarakan :
-
Daftar Harian
Daftar Induk
: ringkasan akta-akta.
memuat
keterangn tentang tahun, nama tempat pendaftaran dan nomor pendaftaran. Akta pendaftaran
diterbitkan setelah Ahli Ukur Kapal menyerahkan pernyataan tentang telah diselarkannya
data-data tersebut diatas. Pendaftaran dicoret dalam kapal :
-
terkena ketentuan pelepasan hak pihak Tertanggung ( KUH Dagang pasal 667 );
35
Kapal asing yang sedang dibangun di galangan Indonesia dapat di daftarkan sementara yang
berakhir saat kapal digunakan.
KETERKAITAN
PEMILIKAN KAPAL, PENGUKURAN KAPAL, PENDAFTARAN KAPAL DAN
KEBANGSAAN KAPAL
Bukti Kebangsaan
Untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, sebuah kapal harus memiliki kebangsaan
adalah Surat Laut dan Pas Kapal. Peraturan Pemerintah cq. Ordonansi Surat Laut dan Pas
Kapal 1935 yang mengatur prosedur mendapatkan dokumen kebangsaan.
Kewajiban Pemilik Kapal untuk meminta Surat Laut tidak sidertai suatu sanksi hukum.
Namun demikian pengadaan Surat Laut dijamin oleh persyaratan lain dan secara tidak
langsung oleh suatu ketentuan hukum. Menurut KUH Dagang pasal 347, seorang Nahkoda
wajib menyimpan di kapal surat-surat kapal diantaranya pertama adalah Surat Laut.
Sedangkan Peraturan Bandar 1925 pasal 7 menetapkan tentang kewajiban Nahkoda untuk
menyerahkan surat-surat kapal antara lain Surat Laut kepada Syahbandar, setiba di suatu
pelabuhan. Pelanggaran atas kewajiban ini, dikenakan sanksi benda ( pasal 25 ), apabila
berada di luar negeri, Nahkoda dibebani kewajiban untuk penanda tanganan Surat Laut oleh
pihak Konsul. Selain peraturan Perundang-undangan Nasional, Hukum Internasional melalui
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 menetapkan keharusan setiap Negara
memiliki persyaratan pemberian kebangsaan kepada kapal yang mencakup hak pengibaran
bendera dan kaitan sejati (genuine link) antara Negara dan Kapal.
Pemilikan Kapal
Baik dalam Peraturan Pendaftaran Kapal 1933 ( pasal 11 ) maupun Peraturan Surat Laut dan
Pas Kapal ( pasal 6 ) disebutkan bahwa pada surat permohonan untuk mendapatkan masingmasing Akta Pendaftaran dan Surat Laut, harus dicantumkan Pemilik Kapalnya. Adapun
bukti pemilikan kapal dapat Kontrak Pembangunan Kapal ( Sertifikat Galangan ) atau Surat
Jual Beli. Sedangkan menyangkut persyaratan Pembangunan Kapal maupun pembelian,
tidaklan dipersoalkan pada proses pendaftaran dan kebangsaan. Dari kedua perangkat hukum
diketahui bahwa pemilikan kapal harinya berlaku untuk warga negara Indonesia. KUH
Dagang pasal 311 yang mengatur tentang pengertian kapal Indonesia, mengacu kepada
36
Keputusan Surat Laut dan Pas Kapal 1934 pasal 2 yang menyebutkan bahwa kapal Indonesia
adalah Kapal yang pemiliknya Warga Negara Indonesia atau 2/3 Warga Negara Indonesia dan
1/3 penduduk Indonesia. Dengan pentapan ini diharapkan adanya suatu ikatan dengan
Indonesia baik yang bersifat perorangan maupun bersifat kewilayahan ( teritorial ).
Termasuk pengertian Warga Negara Indonesia adalah perusahaan-perusahaan yang tempat
pusat kegiatannya berada di wilayah Indonesia
1934 pasal 2 ). Pada hakekatnya sebuah perusahaan bukanlan Warga Negara Indonesia,
mengingat kewarga negaraan merupakan suatu atribut perorangan, yaitu hubungan orang
dengan kepentingan masyarakat nasional. Namun demikian, perusahaan dan yayasan dapat
dipersamakanstatusnya dengan warga negara. Diadakannya ketentuan ini dilatarbelakangi
agar pada kapal-kapal Indonesia lebih banyak terpaut kepentingan Indonesia.
Pengukuran Kapal
Menurut Ordonansi Pengukuran Kapal 1927 pasal 1, sebuah kapal yang diperuntukkan
berlayar dengan Surat.
Sedangkan dalam peraturan pendaftaran Kapal 1933 pasal 12 ditetapkan bahwa pada
permohonan untuk pendaftaran harus disertai Surat Laut atau Pas Kapal Indonesia serta
pembebanan Hipotek harus diukur. Dengan demikian persyaratan Surat Ukur berlaku baik
untuk mendapatkan bukti kebangsaan maupun untuk pendaftaran kapal. Keterkaitan
pengukuran dengan pendaftaran kapal dipertegas dengan penyertaan Ahli Ukur Kapal dalam
pemasangan Tanda Selar sebagai prasyarat penerbitan Akta Pendaftaran
( Peraturan
37
Surat Ukur.
Surat Ukur;
38
laik laut
laik muat
PENGIRIM
GUDANG
PENGANGKUT
7
KAPAL
45
39
8 9
PEMILIK
BARANG
40
41
Charter
Terdiri dari :
1. Charter waktu
2. Charter perjalanan
1. Charter waktu ( time charter ) adalah suatu persetujuan dimana satu pihak ( yang
mencharter ) mengikatkan diri selama waktu tertentu , pihak lain ( pengusaha kapal )
menyediakan kapal untuk keperluan pencharter dengan pembayaran nilai yang dihitung
menurut lamanya waktu.
2. Charter perjalanan ( voyage charter ) adalah suatu persetujuan antara pihak pengusaha
kapal dan pihak pencharter dengan pembayaran nilai pengangkutan dalam satu perjalanan
atau lebih.
Time charter
Pihak kapal berkewajiban mengoperasikan kapal dengan imbalan uang sewa, sedangkan
tanggung jawab pencharter membayar biaya-biaya seperti bahan bakar dan biaya pelabuhan.
Time charter khusus adalah bareboat charter, dimana pihak pencharter lebih banyak
bertindak sebagai pemilik kapal.
Unsur utama dari time charter :
-
42
voyage Charter
Pihak kapal bertanggung jawab atas biaya-biaya running exspenses ( awak kapal,
perbekalan ) dan voyage exspenses ( pelabuhan, bahan bakar ).
Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak kapal :
-
notice of readiness
43
Semua instansi pemerintah yang berada di pelabuhan bekerja dengan koordinasi dari
Administrator Pelabuhan, namun secara hirarki fungsional tetap berada di bawah pimpinan
masing-masing.
1. Kesyahbandaran
Dipimpin oleh Syahbandar yang ditunjuk oleh pemrintah sebagai pejabat pengawasan
pelayaran juga yang mengeluarkan surat ijin belayar.
2. Karantina Pelabuhan / Kesehatan Pelabuhan
Yang bertugas memeriksa kesehatan yang menyangkut penyakit penyakit karantina ,
berhak memeriksa kesehatan di atas kapal yamg menyamgkut ada tidaknya hewan
tikus atau serangga lainnya di atas kapal. Juga dapat mengeluarkan deratting certificate /
sertifikat hapus tikus.
3. Imigrasi
Memeriksa orang orang di atas kapal yang menyangkut kewarga negaraan
memberikan ijin turun ke darat bagi pelaut-pelaut asing.
4. Bea Cukai
Yang bertugas memeriksa
menyangkut bea kepabean.
dan
yang
44
NAHKODA
Menurut ps. 341 KUHD : nahkoda memimpin kapal, kepadanya diberikan kekuasaan umum
atas semua orang yang berada di kapal ( pelayar ). Pelayar harus mentaati perintah yang
diberikan demi keselamatan serta tegaknya ketertiban. Sedangkan kekuasaan terhadap awak
kapal lebih besar kekuasaan disipliner. Dengan kekuasaannya nahkoda dapat menjatuhkan
hukuman / sanksi terhadap pelanggar.
FUNGSI NAHKODA
1. Nahkoda sebagai Pemimpin Kapal ( ps. 341 KUHD )
Memimpin dalam arti mengelola, melayarkan, dan mengarahkan kapal. Diatas kapal
nahkoda adalah pemimpin tertinggi sehingga jika direktur perusahaan kapal berada diatas
kapal maka ia harus tunduk atas putusan nahkoda dalam hal pengelolaan kapal.
2. Nahkoda sebagai Pemegang Kewibawaan ( ps. 384,385.386 KUHD )
Memberikan kekuasaan kepada Nahkoda untuk menertibkan kapal. ABK harus taat dan
patuh kepada Nahkoda, tidak ada alasan apapun yang memberikan hak kepada ABK untuk
menentang Nahkoda karena setiap penentangan merupakan pelanggaran hukum. Tetapi
setiap perintah yang tidak pantas bisa diadukan kepada yang berwajib.
3. Nahkoda sebagai Abdi Hukum ( ps. 387,388,390,391,394a , KUHD )
Dalam hal ini Nahkoda bertindak sebagai jaksa/pembantu jaksa dan polisi / pembantu polisi,
sehingga Nahkoda dalam menaggulangi suatu perkara boleh menahan seseorang untuk
pengamanan dan pemrosesan perkaranya untuk dituangkan dalam berita acara yang
kemudian diserahkan kepada kejaksaan / kepolisian di pelabuhan berikut.
Dalam memroses / perkara Nahkoda sedapat-dapatnya mengajak berunding 2 perwira kapal,
maencari bukti-bukti dan saksi-saksi. Kemudian menulis semua keterangan dalam buku
45
harian kapal dan buku register hukuman yang kemudian salinannya dilampirkan dalam berita
acara yang diserahkan kepada kejaksaan / kepolisian.
Demi untuk keamanan nahkoda boleh menahan / mengurung ABK yang mengalami
pelanggaran sampai maksimum 3 hari sebagai hukuman disiplin.
4. Nahkoda sebagai Pegawai Pencatatan Sipil
Kejadian yang dicatat yang menyangkut catatan sipil : kelahiran, kematian, perkawinan.
Dilahat dari kejadian dan peraturan pelaksanaannya hanya kelahiran dan kematian yang
mungkin terjadi diatas kapal, sedang perkawinan memerlukan persyaratan-persyaratan dan
tidak darurat sehingga jarang dilaksanakan.
Dalam kelahiran dan kematian nahkoda diharuskan bertindak sebagai petugas catatan sipil
dengan mencatat semua kejadian di dalam buku harian kapal dengan disaksikan 2 orang
saksi.
Dalam mencatat kematian tidak boleh menyebutkan sebab-sebab kematian, karena kepastian
penyebab kematian diberikan oleh orang yang berwenang/ akhli otopsi. Nahkoda
menyerahkan surat keterangan / berita acara yang diserahkan ke catatan sipil atau konsulat
di pelabuhan berikutnya, kemudian baru dibuatkan akte kelahiran atau akte kematian.
5. Nahkoda sebagai Notaris ( ps. 947,937 KUH Perdata )
Notaris secara umum adalah seorang saksi yang mengetahui seluk beluk persoalan yang
disaksikannya dan diakui pemerintah.
Surat-surat yang dibuat notaris :
-
surat warisan
surat perjanjian
bilamana diminta nahkoda bisa bertindak sebagai notaris dalam pembuatan surat warisan ,
dimana si pewaris tidak memungkinkan menemui pejabat yang berwenang.surat warisan
tersebut ditanda tangani oleh si pewaris, nahkoda dan saksi. Surat warisan hanya berlaku
sampai 6 bulan semenjak akhir pelayaran, kecuali sesudahnya disimpan oleh notaris setelah
terlebih dulu membuat akte penyimpanan ( ps.932, 952 KUH Perdata )
6. Nahkoda sebagai wakil Perusahaan Pelayaran / Pengusaha Kapal
46
muatan
2. WEWENANG NAHKODA
nahkoda mendapat wewenang dari undang undang dan peraturan-peraturan untuk
mendukung tugas tugasnya , antara lain :
1. memakai bahan makanan penumpang atau muatan untuk permakanan pelayar dalam
keadaan darurat. ( ps. 357 KUHD )
2. melakukan apa saja dengan kapal , kalau perlu menjual bagian bagian kapal untuk
melengkapinya guna meneruskan pelayaran. ( ps. 360 , 362 KUHD )
3. untuk memperoleh dana guna kepentingan pelayarannya, nahkoda dapat
menggadaikan kapal atau muatannya.
a. BOTTOMRY yaitu penggadaian kapal , bila kapal tenggelam dalam maka
hutang dianggap habis.
b. REPONDENTIRE yaitu bila yang digadaikan muatannya. ( ps. 365 KUHD )
4. menjadi penggugat atau tergugat atas nama perusahaan pelayaran dalam proses
pengadilan. ( ps. 361, 369 KUHD )
5. membelokkan / menyimpangkan haluannya untuk menyelamatkan jiwa. (ps. 370
KUHD)
6. mempekerjakan atau mengeluarkan penumpang gelap. ( ps. 371 KUHD )
7. untuk melaksanakan tata tertib di kapal terhadap para pelayar, dan menjatuhkan
hukuman dan sanksi sesuai dengan undang-undang. ( ps.
357,386,388,390,391,394,414 KUHD )
48
49
Pengganti Nahkoda
Jika nahkoda berhalangan atau tidak mampu memimpin kapal karena sesuatu hal, maka
boleh diganti oleh mualim yang berwenang berurutan menurut tingkatannya ( mualim I ),
mualim berwenang artinya yaitu mualim yang berijazah. ( ps. 341 d KUHD ).
AWAK KAPAL
A. Kewajiban Anak Buah Kapal
1. Mematuhi perintah Nahkoda , juga orang lain yang bertindak atas nama atau untuk
Nahkoda, apabila Nahkoda memberikan perintah di luar batas kewenangannya, ABK
mempunyai Hak untuk menuntut atau mengadukan ke yang berwenang.
2. Minta ijin setiap kali meninggalkan kapal
3. Minta ijin Nahkoda atau penggantinya untuk mempunyai, menyimpan atau
menggunakan barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan wajar , ex : minuman
keras, senjata
6.
7.
8.
9.
50
yang dipergunakan
Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan pelanggaran hukum dan juga dapat
memaksa pengusaha membayar ganti rugi kepada awak kapal.
3. Hak atas cuti
Yang dimaksud cuti adalah cuti dengan upah penuh.
a. Untuk Nahkoda mempunyai hak cuti selama 14 hari atau 2 x 6 hari kerja bila telah
bekerja selama satu tahun terus menerus. Hak cuti gugur bila diajukan sebelum satu
tahun bekerjanya berakhir. Tidak berlaku bagi PKL yang menurut Pelayaran.
b. Untuk ABK mempunyai hak cuti 7 hari kerja atau 2 x 5 hari tergantung dari perusahaan,
bila telah bekerja satu tahun terus menerus.
4. Hak awak kapal waktu sakit atau kecelakaan
Hak ini juga berlaku buat Nahkoda.
Dibedakan ke dalam berbagai jenis :
a.
l.
m.
n.
o.
54
B.
Jenis-jenis PKL
1. berdasarkan waktu atau periode :
a. PKL Trip yaitu PKL yang berdasarkan pelayarannya dari pelabuhan stu ke
pelabuhan lain, biasanya disebutkan pula ketentuan kapal dan trayeknya.
b. PKL Periode yaitu PKL menurut waktu tertentu.
c. PKL Tak tertentu yaitu PKL yang tidak ditetapkan masa berlakunya dan berakhir
sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak.
2. Berdasarkan sudut perbedaan dalam Undang Undang:
a. PKL untuk Nahkoda.
b. PKL untuk Anak Buah Kapal.
Perbedaan dalam undang undang yaitu yang menyangkut alasan alasan yang sah
ketika terjadi Pemutusan hubungan Kerja.
3. berdasarkan pihak yang mengikatkan diri:
a. PKL Pribadi yaitu PKL antara seseorang dengan majikan
b. PKL Kolektif yaitu PKL antara gabungan pelaut ( organisasi Union ) dengan
gabungan majikan / pengusaha.
55
C.
Isi PKL
Nama Pelaut
Umur atau tanggal lahir
Jabatan diatas kapal
Tempat dan tanggal perjanjian di buat
Nama kapal dimana pelaut akan bekerja
Periode atau waktu atau trip
Gaji pelaut dan jaminan jaminan lainnya
Pernyataan apakah pelaut juga mengikatkan diri dengan tugas lainnya selain tugas
utamanya
9. Nama Syahbandar yang ikut mrnanda tangani
10. Tanggal saat perjanjian mulai berlaku
11. pernyataan mengenai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam penentuan
hak dan kewajiban, juga mengenai pemutusan hubungan kerja.
12. tanda tangan Pelaut, Majiakan dan Syahbandar
13. tanggal ditanda tangani dan disyahkan PKL tersebut
Apabila tidak ada keterangan tentang berlakunya maka PKL mulai berlaku sejak tanggal
penandatanganan.
D.
Akhir PKL
PKL berakhir dapat terjadi karena berbagai alasan :
1. Alasan wajar / biasa ( ps. 1603 KUH Perdata )
a. Masa PKL telah berakhir, PKL bisa diperpanjang.
b. Pelaut meninggal dunia
c. Persetujuan kedua belah pihak
4. Perjanjian tidak sah
5. Salah satu pihak tidak setuju selama masa percobaan
6. Perusahaan di likuidasi
2. Alasan mendesak untuk majikan ( ps. 1603 KUH Perdata & ps. 418 KUHD )
a. ABK menganiaya Nahkoda atau pelayar lainnya
b. Pelaut terlambat datang atau tidak datang ke kapal tanpa ijin Nahkoda
c. Menyelundupkan barang tanpa sepengetahuan Nahkoda atau pengusaha
d. Memberikan keterangan palsu sehubungan dengan PKLnya
56
e. Kurang cakap
f. Suka mabuk minuman, madat, bertingkah laku tidak senonoh walaupun sudah
diperingatkan
g. Melakukan pencurian, penggelapan dan kejahatan
h. Dengan sengaja melakukan perusakan barang milik majikan
i. Berkeras menolak perintah
j. Melalaikan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya
Khusus terhadap Nahkoda di tambah :
a. Menganiaya, mengancam, atau membujuk pelayar untuk melakukan perbuatan yang
melanggar undang-undang dan susila
b. Menolak perintah majikan yang masih dalam lingkup tugasnya
c. Dicabut wewenangnya sebagai Nahkoda baik sementara atau selamanya
d. Membawa atau mengijinkan barang selundupan tanpa pengetahuan majikan
3. Alasan mendesak untuk Pelaut ( ps. 1603 KUH Perdata & ps. 419 KUHD )
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Surat berhenti
Pada tiap akhir PKL pengusaha / majikan wajib memberikan surat keterangan berhenti
bila dikehendaki oleh pelaut, pada surat keterangan dicantumkan keterangan mengenai :
1. Macam / jenis pekerjaan yang telah dilakukan pelaut
2. Lama bekerja
c.
d.
e.
f.
58
Standar kelayakan merupakan aspek, yang pasti karena fakta bahwa laut dan angin
(bahaya laut) dapat mengerahkan pasukan tak terpikirkan. Tapi, secara umum dipahami
sebagai suatu keterampilan kekuatan, daya tahan dan teknik merupakan bagian dari
konstruksi kapal dan pemeliharaan melanjutkan, bersama dengan awak kapal yang
kompeten, yang memiliki kemampuan untuk berdiri bahaya unsur-unsur yang dapat
cukup ditemui atau diharapkan selama pelayaran tanpa kehilangan atau kerusakan pada
kargo tertentu dari sebuah kapal. Sebuah kapal yang laik laut tidak berarti bahwa kapal
tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk tidak tenggelam.
Oleh karena itu, hal terpenting yang harus dikedepankan mengenai suatu kapal yaitu
kelayakan kapal tersebut untuk berlayar. Beberapa hal yang harus diperhatikan
sehubungan dengan kelayakan dimaksud, seperti:
a. keselamatan kapal;
b. pencegahan pencemaran dari kapal;
c. pengawakan kapal;
d. garis muat kapal dan pemuatan;
e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang;
f. status hukum kapal;
g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan
h. manajemen keamanan kapal.
Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud di atas harus
dibuktikan dengan sertifikat dan surat kapal.
Telah dibentuk International safety management (ISM Code) dalam kaitannya dengan
pengoperasian kapal yang telah menyebabkan keraguan dan kecemasan di antara pemilik
kapal, operator dan manajer. Dalam konteks ini, efek hukum ISM Code dan tindakan
yang diperlukan pemilik kapal lokal untuk mematuhi Kode Etik. ISM Code dimaksudkan
untuk memastikan keselamatan di laut, mencegah cedera manusia atau hilangnya nyawa,
dan menghindari kerusakan lingkungan, khususnya lingkungan laut, dan properti. Kode
ini telah ditambahkan sebagai Bab IX dari Konvensi Internasional untuk Keselamatan
Jiwa di Laut (SOLAS) 1974, dan memiliki akibat hukum di tanah, sebagai Negara Pihak
pada Konvensi. Kode ini ditujukan untuk mewujudkan suatu standar internasional untuk
pengelolaan yang aman dan pengoperasian kapal dan untuk pencegahan polusi. Setiap
pemilik kapal atau organisasi yang telah mengambil tanggung jawab atas pengoperasian
kapal dari pemilik kapal diperlukan untuk menetapkan aturan untuk pencegahan
keselamatan dan polusi dan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan (SMS) oleh:
Mendirikan praktek yang aman dalam operasi kapal dan menyediakan lingkungan
kerja yang aman;
Membangun perlindungan terhadap semua risiko yang teridentifikasi, dan
Terus meningkatkan keterampilan manajemen keselamatan personil darat dan kapal
kapal, termasuk kesiapan untuk keadaan darurat baik tentang perlindungan keselamatan
dan lingkungan.
59
Secara garis besarnya, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kelayakan kapal untuk
berlayar, International Maritime Organizati on (IMO), Desember 2002, telah
menerapkan International Ships and Port Facility Security (ISPS) Code atau Kode
Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. ISPS inilah
yang menjadi rambu dalam mengatur tentang keselamatan kapal.
Disamping beberapa prasyarat yang harus terpenuhi sebagaimana disebutkan di atas, hal
lain yang tidak dapat diabaikan dalam praktek adalah nasionalitas kapal. Nasionalitas
kapal memainkan peranan yang vital dalam pelayaran karena menyoal tentang jurisdiksi
negara mana yang berlaku atas kapal tersebut, termasuk didalamnya negara mana yang
bertanggung jawab atas kapal apabila terjadi kasus dimana tindakan yang dilakukan di
atau oleh kapal tersebut merupakan atribusi negara, dan perlindungan diplomatic atas
nama kapal dimaksud.
Negara biasanya menjamin nasionalitas kapal dengan cara mendaftarkannya dan
mengotorisasi kapal tersebut dengan cara mengibarkan bendera di atas kapal (bendera
kapal). Dalam hal ini, negara pendaftar atau bendera kapal memiliki kesamaan bagi
negara dimana nasionalitas kapal berlaku, termasuk apakah hukum internasional atau
aturan lainnya berlaku untuk keadaan di mana suatu negara menjamin nasionalitas kapal
dimaksud. Pasal 5 Konvensi mengenai Laut Lepas 1958 menyebutkan bahwa harus
terdapat hubungan yang murni antara negara dankapal; khususnya suatu negara harus
secara efektif memberlakukan jurisdiksinya dan mengkontrol administrasi, teknik, dan
persoalan-persoalan lain atas kapal dimana bendera dikibarkan.
60