DASAR-DASAR EPIDEMIOLOGI
RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT GONORE DAN PENCEGAHANNYA
Disusun oleh:
Kelompok 10
Mohamad Maskur
Fera Yeni Utami
Lucy Kurnianty
Hilda Nur Saadah
Diah Rakhmawati
(G1B008134)
(G1B009076)
(G1B011008)
(G1B011012)
(G1B011032)
GONORE
dengan dosis yang tidak cukup (adekuat) atau gejala samar yang tidak diperhatikan
oleh penderita.
3. Tahap Klinis
Gambaran klinis infeksi gonore antara pria dan wanita berbeda satu sama lain.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologi organ reproduksi pria dan
wanita. Gejala klinis gonore terbagi menjadi 4, yaitu gejala klinis yang asimtomatik
(terjadi infeksi pada uretra, endoserviks, rektum dan faring tanpa memberi gejala
klinis), gejala yang simtomatik tanpa komplikasi, gejala yang simtomatik dengan
komplikasi, dan Disseminated Gonococcal Infection (DGI: infeksi diseminasi
gonokokus) (Jawas, Fitri A, et. al, 2008).
Gejala klinis simtomatik tanpa komplikasi terutama terjadi pada laki-laki.
Uretritis anterior akuta adalah yang paling sering terjadi dan dapat menjalar ke
proksimal, dan mengakibatkan komplikasi lokal, asendens, serta diseminata. Keluhan
subjektif berupa rasa gatal, panas di bagian distal uretra di sekitar orifisium uretra
eksternum. Kemudian disusul disuria, polakisuria, keluar duh tubuh dari ujung uretra
yang terkadang disertai darah dan disertai nyeri ketika ereksi. Tampak orifisium
uretra eksternum yang kemerahan, edema, dan ektropion, serta duh tubuh yang
mukopurulen ketika dilakukan pemeriksaan. Pembesaran kelenjar getah bening
unilateral atau bilateral juga dapat terjadi untuk beberapa kasus.
keputihan harus dapat dibedakan dengan penyebab keputihan yang lain seperti
trikomoniasis, vaginosis, candidiasis maupun uretritis non gonore yang lain.
Bayi baru lahir juga dapat terinfeksi gonore dari ibunya selama proses
persalinan, yang dinamakan ophtalmia neonatorum. Ophtalmia neonatorum
disebabkan oleh gonococci, yaitu suatu infeksi mata pada bayi yang baru lahir yang
didapat selama bayi berada dalam saluran lahir yang terinfeksi. Conjungtivitis inisial
dengan cepat dapat terjadi dan bila tidak diobati dapat menimbulkan kebutaan
(Ernawati, 2011).
terhadap penisilin, tetrasiklin dan anti mikroba terdahulu lainnya, sehingga obat-obat
ini tidak bisa digunakan lagi untuk pengobatan gonore. Kini di Indonesia, kanamisin
dan
tiamfenikol
telah
menunjukkan
keampuhannya
kembali
setelah
lama
ditinggalkan. Secara umum dianjurkan pada semua pasien gonore untuk diberikan
pengobatan bersamaan dengan obat anti klamidiosis, karena infeksi campuran antara
klamidiosis dan gonore sering dijumpai.
B. Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah,
menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit dan kecacatan, dengan
menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yang telah dibuktikan efektif. Dalam
mencegah penyakit menular seksual terdapat tiga tingkatan pencegahan yaitu
pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Kleinbaumet al., 1982; Last, 2001).
1. Pencegahan Primer
a.3 Konseling penurunan risiko untuk perubahan perilaku seksual dan perilaku
mencari pelayanan kesehatan.
b. Penguatan Pemangku Kepentingan
Merupakan kegiatan perubahan perilaku pemangku kepentingan
seperti mucikari, pengurus resosialisasi, pengurus RT dan RW, petugas
keamanan setempat, serta aparat desa atau kelurahan untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi pengendalian IMS.
Kegiatan - kegiatan ini meliputi :
b.1 Need assessment atau penilaian kebutuhan yang dapat berupa pertemuan
untuk mengakomodasi berbagai usulan, masukan dan saran dari para
pemangku kepentingan setempat.
b.2 Sosialisasi, diseminasi informasi dan edukasi pemberian program
pengendalian IMS bagi pemangku kepentingan.
c. Pengelolaan Kondom dan Pelicin
Ini merupakan program kegiatan yang menjamin adanya kondom dan
pelicin yang cukup dengan harga terjangkau di lokasi program.
Kegiatan kegiatan ini meliputi :
c.1 Kesepakatan pengelolaan kondom yang di dalamnya terdapat pengaturan
distribusi kondom.
c.2 Kemungkinan adanya outlet kondom di beberapa lokasi resosialisasi.
(Widoyono, 2011)
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan pada fase
penyakit asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis, terhadap timbulnya
gejala-gejala penyakit secara klinik melalui deteksi dini (early detection).
(Last, 2001).
Pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan
perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual.
Pencegahan sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian
pengobatan untuk infeksi menular seksual, pengobatan yang cepat dan tepat
pada pasien serta pemberian dukungan dan konseling tentang infeksi menular
seksual. (WHO, 2006).
Deteksi dini penyakit gonore dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pembantu untuk mengurangi gejala yang
dapat menimbulkan terjadinya atau bertambahnya penyakit atau timbulnya
rasa sakit yang di timbulkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang terdiri
atas beberapa tahapan diantaranya :
a. Sediaan langsung
Pada sediaan langsung dengan pengecatan Gram akan di temukan gonokok
negative-Gram, intraselular dan ekstraselular.
b. Kultur ( biakan )
Dua macam media yang dapat digunakan ialah media transport dan media
pertumbuhan.
c. Tes beta-laktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc.BBL 96192 yang mengandung
chromogenic cephalosporin.
d. Tes Thomson
Tes ini berguna untuk mengetahui sampai dimana infeksi tersebut sudah
berlangsung tanpa melakukan pemeriksaan labortorium.
penggunaannya
pada
anak-anak;
ceftriaxone
terbukti dapat diberikan pada semua infeksi gonokokal pada anak dan
cefotaxime sodium hanya dapat diberikan pada oftalmia gonokokal.
Antimikroba lain yang diberikan secara oral, telah terbukti efektif
untuk pengobatan uretritis gonokokal dan servisitis pada dewasa dan
remaja yang lebih tua meliputi ciprofloxacin, ofloxacin dan
levofloxacin. Fluoroquinolones secara umum tidak direkomendasikan
pada mereka yang kurang dari 18 tahun, juga di kontraindikasikan
pada wanita hamil.
b. Pada Neonatal.
Bayi dengan oftalmia neonatorum, abses skalp, atau infeksi
diseminata harus dirawat di rumah sakit. Kultur darah, duh dari mata
atau tempat lain yang terinfeksi, dilakukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan menentukan antimikroba yang sesuai. Tes untuk infeksi
yang dapat terjadi bersamaan seperti chlamydia, sifilis kongenital, dan
HIV juga harus dilakukan. Ibu dan pasangannya juga diperiksa dan
mendapat terapi gonore.
c. Bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi gonokokal.
Jika profilaksis diberikan dengan benar, bayi yang lahir dari ibu
dengan infeksi gonore biasanya jarang terdapat oftalmia gonokokal.
d. Infeksi Diseminata.
Terapi yang direkomendasikan, termasuk untuk oftalmia
neonatorum, adalah ceftriaxone (25-50 mg/kg, IV atau IM, dosis
tunggal, tidak melebihi 125 mg). Bayi dengan oftalmia gonokokal
harus mendapat irigasi pada mata dengan larutan salin fisiologis
sesegera mungkin sampai duh tersebut tereliminasi. Bayi tersebut
harus dirawat. Antimikroba topikal dapat diberikan tapi tidak terlalu
berpengaruh untuk bayi.
e. Infeksi Nondiseminata.
Terapi yang direkomendasikan untuk artritis dan septikemia
adalah ceftriaxone 25-50 mg/kg/ hari dosis tunggal atau cefotaxime
selama 7 hari. Cefotaxime direkomendasikan untuk bayi dengan
hiperbilirubinemia. Jika terdapat meningitis, terapi harus dilanjutkan
10 sampai 14 hari.
f. Infeksi Gonokokal pada Anak dan Remaja.
Rekomendasi terapi untuk infeksi gonokokal, berdasarkan usia
dan berat badan. Pasien dengan infeksi endoserviks yang tidak
komplikasi, uretritis, atau proktitis yang alergi dengan sefalosporin
harus diterapi dengan spectinomycin (40 mg/kg, maksimum 2 g, IM
dosis tunggal), jika penderita belum cukup umur untuk mendapat
fluoroquinolones. Doxycycline atau azithromycin dihydrate harus
diberikan jika diduga terdapat infeksi chlamydia yang bersamaan.
Pasien dengan infeksi gonokokal faring yang tidak komplikasi
mendapat terapi ceftriaxone 125 mg IM dosis tunggal. Bagi yang tidak
dapat mentoleransi ceftriaxone harus mendapat ciprofloxacin 500 mg,
DAFTAR PUSTAKA
Daili, Sjaiful F, et. Al. 2009. Infeksi Menular Seksual Edisi Keempat. FK UI: Jakarta.
Ernawati. 2011. Uretritis Gonore. FK Universitas Wijaya Kusuma: Surabaya.
Fakultas Kedokteran Umum Indonesia. 2006. Infeksi Menular Seksual. Balai Penerbit
FKUI: Jakarta, hal.68-69.
Jawas, Fitri A, et. Al. 2008. Penderita Gonore di Divisi Penyakit Menular Seksual
Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo
Surabaya Tahun 20022006. BIKKK 2008 Vol. 20 No. 3. FK UNAIR:
Surabaya.
Mandal, et. al, 2008. Lecture Notes Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Penerbit
Erlangga: Jakarta.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Penerbit Erlangga: Jakarta.