Anda di halaman 1dari 32

TINJAUAN PUSTAKA

RINORE

Disusun Oleh :
Putu Ngurah Aeland Prilaksana K.

Pembimbing :
dr. Juwono Heruwardojo Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


FAKULTAS KEDOKTERAN WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Rinore bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu gejala yang


ditimbulkan dari penyakit tertentu. Ada beberapa penyakit yg memiliki gejala
berupa rinorea atau keluarnya cairan dari dalam hidung. Bisa penyakit
peradangan, massa, trauma dan lainnya. Tetapi penyakit infeksilah yang paling
banyak mengakibatkan gejala berupa rinorea.
Penyakit infeksi di hidung dan sinus seperti rhinitis alergi, vasomotor,
medikamentosa, sinusitis, polip hidung, memiliki gejala berupa rinorea.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge),
2) batang hidung (dorsum nasi),
3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi,
5) kolumela,
6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1) tulang hidung (os nasal)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal;

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)
3) tepi anterior kartilago septum. (12)

II.2 Anatomi hidung dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.
internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.(13)

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam

II.2.1 Septum nasi


Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior
oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila ,
Krista palatine serta krista sfenoid. (13)

II.2.2 Kavum nasi (14)


Kavum nasi terdiri dari:
1. Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan


prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus
os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina
kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang
berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
3. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis
os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
4. Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka.
Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus
inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus
media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior.
Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal
dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian


superior dan palatum.

II.2.3 Meatus superior


Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok
sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu
atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka
superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal,
tempat bermuaranya sinus sfenoid.

II.2.4 Meatus media


Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik
bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai
infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu
bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus

frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di


infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara
di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus
nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

II.2.5 Meatus Inferior


Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5
cm di belakang batas posterior nostril.

II.2.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.
Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis
palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis
os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.

II.2.7. Sinus Paranasal


Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris
merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk

piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan


puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.(13)

II.3 Kompleks ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena
sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media(14).

Gambar 2. Kompleks Ostio Meatal

II.4 Perdarahan hidung


Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis. (14)

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.(12)

Vena-vena

hidung

mempunyai

nama

yang

sama

dan

berjalan

berdampingan dengan arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung


bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial(12).
II.5 Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Nervus olfaktorius : saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.(14)
II.6 Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :

10

1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),


penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal;
2) Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan
pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik nafas dengan kuat.
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;
4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas;
5) Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin
dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung, dan pankreas (12)

11

II.7 Sistem Mukosiliar Hidung

Gambar 3. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance

Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang
terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan
local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar
atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya.(13)

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus
gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing
yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus
mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari
dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus
alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan

12

menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan
mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat
merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A),
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung
sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak
dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah
posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar
yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi
mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang
bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini
tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender
akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS
sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm /
menit.(13)
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan
menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan
arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari
ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium,
dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20
mm/menit(13)

13

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan
bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di
dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba
eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus
etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian
melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga
nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan(13)

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian
hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya
1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit(13)

II.8

Definisi Rinore
Rinore berasal dari bahasa yunani rhinos yaitu hidung dan -rrhea yang

berarti cairan. Rinore atau hidung berair secara umum dapat diartikan sebagai
keluarnya cairan dari hidung yang salah satunya disebabkan oleh adanya suatu
proses inflamasi atau iritasi. Cairan yang keluar dapat bewarna jernih, hijau
ataupun coklat.1
II.9 Mekanisme Rinore
Mekanisme terjadinya pilek atau rinore adalah sebagai berikut:
1) Allergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran
pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai
antigen presenting cells (APC).
2) Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen
dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1)
mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th

14

yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi


sel plasma dan membentuk IgE.
3) IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan
dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena
kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel
eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi
dengan afinitas yang lemah.
4) Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan
alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang
sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan
menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang
menurunkan kadar cAMP.
5) Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam
proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator
yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma
yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic
Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin.
Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
6) Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler &
permeabilitas, sekresi mucus
7) Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek atau rinore
II.10 Klasifikasi
II.10.1 Mukoid
II.10.1.1 Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor merupakan istilah yang digunakan untuk gangguan pada
mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan
hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh beberapa

15

rangsangan seperti perubahan kelembapan dan suhu atau iritasi di alam yang tidak
spesifik. Hal ini dapat terjadi akibat ketidakseimbangan vasomotor dan juga
pengaruh faktor endokrin.2,
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adantya alergi/alergen
spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai
(anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum). 11
Etiologi
Penyebab pasti terjadinya rinitis vasomotor masih belum diketahui. 2
Mayoritas 75-80% dari faktor individual.4 Etiologi rinitis vasomotor diduga akibat
adanya gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yaitu bertambahnya aktivitas
parasimpatis dimana terjadi gangguan vasomotor atau gangguan fisiologik lapisan
mukosa hidung yang dipicu oleh zat-zat tertentu.2,3
Faktor presiposisi terjadinya rinitis vasomotor yaitu :4
a. Herediter
b. Infeksi yaitu riwayat infeksi bakteri dan virus sebelumnya
c. Psikologi dan emosional
d. Obat-obatan yang menginduksi gejala dari rinitis seperti aspirin dan
obat nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID), reserpin, hidralazin,
guanetidin, pentolamin, metildopa, penghambat angiotensin-converting
enzyme (ACE), -blocker, antagonis -adrenoceptor, klorpromazin,
e.

kontrasepsi oral, nasal dekongestan topikal dan agen psikotropik.4


Pengaruh endokrin, rinitis vasomotor terjadi saat usia muda, pubertas,

selama menstruasi, kehamilan serta rangsangan seksual.


Faktor pesipitasi dari rinitis vasomotor yaitu:4
a. Keadaan cuaca, perubahan kelembapan dam suhu
b. Asap, asap rokok, debu, wangi-wangian dan alkohol
Gejala dan Tanda
Pada rinitis vasomotor, gejala sering ditimbulkan oleh berbagai rangsangan
non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat ,parfum. Minuman

16

beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan,


perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stres/emosi. Pada
keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu.
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa.
Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.
Gejala dapat memburuk di pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya
perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor sangat bervariasi, tergantung pada
faktor penyebab dan gejala yang menonjol.3
Pemberian kortikosteroid topikal dapat diberikan pada pasien yang
mengeluhkan hidung tersumbat dan mengalami obstruksi. Saat ini terdapat
kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason propionate dan
mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis 200
mcg.3 Selain itu dikenal juga operasi bedah beku, elektrokauter, diatermi
submukosal, laser-turbinectomy, krioterapi dan turbinektomi pembedahan sebagai
penatalaksanaan rinitis vasomotor yang bersifat invasif.3 Pilihan terapi ini tidak
memberikan 100% efek perubahan untuk semua gejala.5
Adapun algoritme pendekatan yang disarankan

dalam

melakukan

tatalaksana dari rinitis vasomotor dijelaskan pada gambar 4.

17

Gambar 4. Algoritme untuk penatalaksanaan farmakologik dari rinitis vasomotor3


II.10.2 Mukopurulen
II.10.2.1 Rinosinusitis
Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.6
Rinosinusitis yang terjadi pada orang dewasa diartikan sebagai inflamasi dari
hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, satu
diantaranya harus ada penyumbatan pada hidung/obstruksi/kongesti atau discaj
nasal (anterior/posterior/post nasal drip) ditambah dengan ada atau tidak nyeri
tekan pada muka. Pada dewasa dapat ditandai dengan ada atau tidaknya gangguan
penciuman, namun pada anak-anak ditandai dengan ada atau tidaknya batuk.7
Pada saat ini, nomenklatur untuk panggilan sinusitis telah berubah menjadi
rinosinusitis.

Hal ini didasarkan pada kedekatan secara anatomi dan fakta

18

bahwa patofisiologi inflamasi yang terjadi biasanya memberikan pengaruh pada


kedua sinus dan jalan masuk rongga hidung.8
Etiologi
a. Infeksi
Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus,
kemudian diikuti oleh infeksi bakteri yang sekunder. Virus sangat mudah
menempel pada mukosa hidung yang menganggu sistem mukosiliar rongga
hidung dan virus melakukan penetrasi ke selaput lendir dan masuk ke sel tubuh
dan menginfeksi secara cepat. Akibat dari infeksi virus dapat terjadi edema dan
hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal
untuk perkembangan bakteri. Bakteri aerob yang paling sering ditemukan, antara
lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridians, Haemophilis influenze,
Neisseria flavus, Staphylococcus epidermidis. Bakteri anaerob termasuk
Corynebacterium, Peptostreptococcus dan Vellonela.9
b. Alergi
Alergi juga dapat merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis karena alergi dapat menyebabkan mukosa udem dan hipersekresi.
Mukosa sinus yang udem dapat menyumbat muara sinus dan menganggu drainase
sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya dapat menghancurkan
epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada
rinosinusitis kronis.9
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya. Pada rinosinusitis viral
dapat dilakukan dengan menghilangkan gejala dari hidung tersumbat dan rinore
yang diderita, sedangkan untuk rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri

19

dapat dilakukan penatalaksanaan dengan pemberian antibiotik untuk mngeradikasi


infeksi, mencegah komplikasi dan mencegah penyakit agar tidak menjadi kronis.
Adapun

algoritme

pendekatan

yang

disarankan

dalam

melakukan

tatalaksana dari rinosinusitis dapat dijelaskan pada gambar 5.

Gambar 5. Algoritme pendekatan dalam tatalaksana rinosinusitis akut7


Menurut The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps (EPOS) 2012 merekomendasikan pemberian antibiotik harus diberikan
pada pasien dengan gejala yang berat seperti discaj yang bewarna, nyeri local
(VAS >7), demam (>380C), peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive
protein (CRP) serta gejala yang timbul lebih berat dari gejala sebelumnya. 7
Adapun pengobatan antibiotik seperti golongan cephalosporin (cefpodoxime,
cefuroxime, cefdinir, ceftriaxone) dan amoxicillin/clavulanate potassium dapat

20

direkomendasikan sebagai pengobatan inisial.9 Pasien dilakukan perujukan jika


ditemukan beberapa kondisi sebagai berikut periorbital edema,eritema, globe
dysplaced, penglihatan ganda, oftalmoplegia, pengurangan lapangan penglihatan,
nyeri kepala yang hebat unilateral atau bilateral, bengkak pada bagian frontal,
tanda-tanda meningitis dan tanda-tanda neurologis lainnya.9
II.10.2.2 Korpus Alienum
Etiologi
Benda asing adalah benda yang berasal dari luar (eksogen) atau dalam
(endogen) tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing
dapat masuk melalui hidung atau mulut. Benda asing eksogen terdiri dari benda
padat, cair atau gas. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah,
bekuan darah, nanah, krusta, membrane difteri atau cairan amnion.10
Pembagian lain juga membagi benda asing menjadi benda asing hidup dan
benda asing mati. Benda asing hidup yang pernah ditemukan yaitu larva lalat,
lintah dan cacing sedangkan benda asing mati yang tersering yaitu manik-manik,
baterai logam dan kancing baju.10
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing kedalam
saluran nafas antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi
sosial, tempat tinggal), kegagalan mekanisme proteksi yang normal, faktor fisik,
faktor dental, faktor medikal dan surgikal, faktor kejiwaan, ukuran dan bentuk
benda asing serta faktor kecerobohan. Benda asing dapat masuk melalui hidung
dan dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan bronkus. 10
Penatalaksanaan

21

Secara prinsip benda asing yang berada pada saluran nafas diatasi dengan
pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman dan
dengan trauma yang minimum. Benda asing yang berada dalam hidung dapat
dilakukan pengangkatan dengan menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan
kedalam bagian hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai
menyentuh nasofaring.Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik kedepan.
Dengan cara ini benda asing itu akan terbawa keluar. Cara lain yang dapat
digunakan dengan alat cunam Nortman atau wire loop.10
II.10.2.3 Rinitis Atrofi (Ozaena)
Rinitis atrofi didefinisikan sebagai penyakit infeksi pada hidung yang
kronik. Penyakit ini ditandai dengan adanya atrofi progresif pada mukosa dan
tulang konka serta terdapat adanya pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa
hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering, sehingga terbentuk
krusta yang berbau busuk.11
Etiologi
Penyebab rinitis atrofi belum dapat diketahui sampai sekarang. Adapun
beberapa keadaan yang menjadi faktor predisposisi yang dianggap berhubungan
dengan terjadinya rinitis atrofi yaitu :11
-

Infeksi setempat atau kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh


Klebsiella ozaena. Kuman spesifik lainnya antara lain Stafilokokkus,

Streptokokus, Pseudomonas dan Kokobasil.


Defisiensi Fe dan vitamin A
Infeksi sekunder seperti sinusitis kronis
Kelainan hormon
Penyakit kolagen termasuk penyakit autoimun

22

Gejala dan Tanda


Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna
hija, ada kerak (Krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung
tersumbat.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka
inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta
yang berwarna hijau.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis atrofi lebih ditujukan dalam mengatasi etiologi dan
menghilangkan gejala. Pengobatan rinitis atrofi bersifat konservatif yaitu
diberikan antibiotik bersprektrum luas yang sesuai dengan uji resistensi kuman
yang dikultur. Pemberian antibiotik dianjurkan harus adekuat dan lama pemberian
bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret yang kehijauan.11
Selain itu untuk membantu dalam menghilangkan bau busuk yang
dihasilkan dari proses infeksinya, dapat diberikan obat cuci hidung yang sering
diberikan yaitu larutan garam hipertonik. Larutan ini dimasukkan kedalam rongga
hidungdan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan sekuat-kuatnya atau yang
masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut. Pencucian ini dilakukan dua kali
dalam sehari.
Jika dengan menggunakan pengobatan konservatif tidak memberikan
perbaikan, maka dilanjutkan dengan melakukan pengobatan operatif. Teknik
operasi yang akan dilakukan dengan menutup lubang hidung atau penyempitan
lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini

23

diharapkan dapat mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret serta


inflamasi dari mukosa juga berkurang.11
Akhir-akhir ini dilakukan bedah endoskopik fungsional (BSEF) untuk
mengatasi rinitis atrofi. Dilakukannya pengangkatan sekat-sekat tulang yang
mengalami osteomyelitis dengan harapan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan
drainase sinus kembali menjadi normal.11

II.10.2.4 Rinitis Hipertrofi


Etiologi
Rinitis hipertrofi terjadi dikarenakan adanya proses inflamasi yang
disebabkan oleh infeksi berulang dalam hidung dan sinus, kelanjutan dari rinitis
alergi dan rinitis vasomotor serta akibat paparan bahan iritan kimiawi dan udara
kotor.11

Gejala dan Tanda


Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala dimluar hidung akibat
hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan gangguan tidur.
Sekret biasanya banyak dan mukopurulen. 11
Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan rinitis hipertrofi ditujukan untuk mengatasi faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya rinitis hipertrofi. Terapi simtomatis hanya
dapat meredakan sumbatan hidung akibat terjadinya hipertrofi konka, antara lain
dapat menggunakan nitras argenti atau dengan kauter listrik . Bila tidak ada

24

perbaikan dapat dilakukan dengan luksasi konka, frakturisasi konka multipel,


konkoplasti ataupun konkotomi parsial.11

II.10.2.5 Rinitis Tuberkulosa


Etiologi
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra
pulmoner. Penyakit ini meningkat seiring dengan meningkatnya kasus
tuberculosis. Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini
berbentuk noduler atau ulkus pada hidung dan dapat mengenai tulang rawan
septum bahkan dapat menyebabkan perforasi septum.11
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis tuberkulosa seiring dengan etiologinya yaitu
melakukan pengobatan antituberkulosis dan diberikan obat cuci hidung untuk
menghilangkan sekret dan bau yang berada pada hidung.11
II.10.2.6 Rinitis Jamur
Etiologi
Rinitis akibat jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat
invasive atau non invasif. Rinitis jamur non invasif dapat menyerupai rinolith
dengan inflamasi mukosa yang lebih berat, sedangkan rinitis jamur tipe invasive
ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria. Adapun jamur
penyebab rinitis jamur yaitu Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium dan
Mucor.

25

Aspergilosis merupakan infeksi jamur paling sering yang menyebabkan


rinitis kronik spesifik dengan koloni jamur yang terdapat dalam sinus paranasal.11
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis jamur non invasif dapat dilakukan dengan
mengangkat bola jamur (fungus ball). Pemberian obat anti jamur untuk non
invasif tidak begitu diperlukan, sedangkan untuk pengobatan rinitis jamur invasif
dapat diberikan anti jamur oral dan topikal yang bertujuan untuk mengeradikasi
agen penyebabnya. Obat cuci hidung dapat diberikan untuk pembersihan hidung
dari krusta-krusta yang lengket. Khusus untuk rinitis jamur invasif perlu
dilakukannya tindakan debridement sebelumnya untuk mengangkat seluruh
jaringan yang nekrotik dan tidak sehat

sehingga tidak akan terjadi proses

destruksi tulang yang lebih lanjut.11

II.10.2.7 Rinitis Medikamentosa


Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan
respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor
topikal (tetes hiding atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa
hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse) 11
Etiologi
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berlebihan dan dalam waktu lama
akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini

26

menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut.
Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang tinggi di mukosa
hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitivitas reseptor alfaadrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus
simpatis menyebabkan vasokonstriksi menghilang. Akan terjadi dilatasi dan
kongesti mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga sebagai rebound kongestion. 11
Gejala dan Tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada
pemeriksaan tampak edema/ hipertrofi konka dan sekret hidung yang berlebihan.
Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.
Penatalaksanaan
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung.
2. Untuk mengatasi sumbatan berulang(rebound congestion), dapat diberikan
kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara
bertahap (tappering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5mg setiap
hari, (misalnya hari 1 : 40mg hari 2:35mg dan seterusnya). Dapat juga
dengan pemberian kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung.
3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin)
Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien
dirujuk ke dokter THT. 11
II.10.3 Jernih
II.10.3.1 Polip hidung

27

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia
anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak usia 2 tahun, harus
disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel. 11
Etiologi
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bemstein terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi
terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa
yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi
peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi
air sehingga terbentuk polip. 11
Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah rasa tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.
Mungkin disertai bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah
frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapat post nasal drip dan rinore
purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, susara
sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. 11
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi poli.

28

Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga


polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe
eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan intranasal
dibandingkan polip tipe neutrofilik.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip
yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi
polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cuman dengan analgesi lokal,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,
operasi caldwell-luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia
endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF ( Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional). 11

DAFTAR PUSTAKA

29

1. Kamus Kedokteran Dorland.EGC.edisi ke 31. 2010:1991


2. Adam, Boies, Higler. Rinitis vasomotorik. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit
THT..Jakarta: EGC. 2013
3. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis vasomotor. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Editor:

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai


Penerbit FK UI. 2007:135-37
4. Garay G. Mechanism of vasomotor rhinitis.France:Journal of Allergy.2004:4-10
5. Ellen A, Jaatun, Claude L. Radio-wave therapy of inferior turbinates for treatment
of intractable vasomotor rhinitis-a clinical study of the subjective long term
outcome. Clinical Medicine and Diagnostics. Norway.2012;1-5.
6. Endang M,Damajanti S. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007: 150-4


7. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl.2012 Mar(23):1298.
8. Paul C, Potter MD, Ruby P. Indication, efficacy and safety of intranasal
corticosteroids in rhinosinusitis. WAO Journal.Tokyo.2012:14-17.
9. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part
II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004:1711-12.
10. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007: 259265
11. Wardani RS, Mangunkusumo E. Rinorea, infeksi hidung dan sinus. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala dan Leher. Editor:

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai


Penerbit FK UI. 2007:139-143.

30

12. Soepardi EA, et al. Buku ajar ilmu kesehatan : telinga hidung tenggorok

kepala& leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;


2007
13. Yilmaz AS, Naclerio RM. Anatomy and Physiology of the Upper
Airway.Availableat:http://pats.atsjournals.org/content/8/1/31.full.pd
f+html. Accessed on: 05/06/2015
S. Anatomy of the

14. Muranjan

nose

and

paranasal

sinuses.

Available at: http://www.bhj.org/journal/1999_4104_oct99/sp_617.htm.


Accessed on: 5/06/2015

31

Anda mungkin juga menyukai