Anda di halaman 1dari 22

PRESENTASI KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE

Diajukan kepada Yth:


dr. Yunanto Dwi Nugroho, Sp. PD

Disusun oleh :
Yanita Gea Nurillah
G4A014006

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2014

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
CONGESTIVE HEART FAILURE

Disusun oleh :
Yanita Gea Nurillah
G4A014006

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal :

Desember 2014

Dokter Pembimbing :

dr. Yunanto Dwi Nugroho, Sp. PD

BAB 1

PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung Gagal
jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terfapat kegagalan jantung
memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang
sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin
dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi endotel.
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Di Eropa insiden gagal jantung dalam setahun
diperkirakan 0,42 perseribu penderita pertahun dan meningkat pada usia yang lebih
lanjut. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena
semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan
infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan
fungsi jantung. Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya
keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda tanda klinis pada tahap
awal penyakit. Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung
secara dini serta perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas
hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan
meningkatkan kelangsungan hidup.

BAB II
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Status
Pekerjaan
Tanggal masuk
Tanggal pemeriksaan
No CM

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Ny. M
49 tahun
Perempuan
Pasir RT 02/03, Ayah, Kebumen
Islam
Menikah
Ibu rumah tangga
19 November 2014
21 November 2014
00916091

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : sesak napas
Keluhan Tambahan
Perut tegang, penurunan frekuensi buang air kecil dan volume urin, lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Margono Soekarjo pada tanggal 19
November 2014 dengan keluhan sesak napas. Sesak napas tersebut sudah
dirasakan kurang lebih 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, dan dirasakan
semakin memberat. Sesak napas bersifat hilang timbul dan biasanya dirasakan
pada malam hari dan keluhan semakin memberat pada saat pasien beraktivitas
seperti berjalan jauh dan menaiki tanjakan. Sesak napas pada pasien dirasakan
seperti tertindih sesuatu. Sesak napas tersebut agak berkurang apabila pasien
beristirahat dan tidur dengan posisi setengah duduk dengan menggunakan 2-3
bantal. Selain sesak napas, pasien mengeluhkan mudah lelah jika beraktivitas
agak berat dari biasanya. Pasien juga mengeluhkan perut terasa kembung dan
tegang. Selain itu pasien mengeluhkan frekuensi buang air kecil yang menurun
dengan volume urin yang semakin sedikit. Keluhan ini dapat terjadi karena pasien
juga merasa mual dan muntah jika makan atau minum kurang lebih 1 minggu

sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien juga mengeluhkan kedua kaki yang semakin
membengkak.
Riwayat Penyakit Dahulu
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Riwayat keluhan yang sama


Riwayat hipertensi
Riwayat DM
Riwayat penyakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat mondok

: diakui
: diakui
: disangkal
: diakui
: disangkal
: diakui

Riwayat Penyakit Keluarga


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Riwayat keluhan yang sama


Riwayat sakit kuning
Riwayat hipertensi
Riwayat DM
Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit ginjal

: disangkal
: disangkal
: diakui
: disangkal
: disangkal
: disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di bangsal Asoka kamar 7 RSMS, 21 November 2014.
1. Keadaan umum : tampak sesak
2. Kesadaran
: Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah
: 180/100 mmHg
Nadi
: 100 x/menit
Respiration Rate
: 30 x/menit
Suhu
: 360C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-/-)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung

Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)


6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP 5+4 cm
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi
: Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
Ketinggalan gerak (-)
Palpasi
: Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi
: Sonor pada apek redup pada basal
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus +/+
Ronki basah kasar -/Wheezing -/Jantung
Inspeksi
Palpasi

: Ictus Cordis tampak di SIC VI 2 jari lateral LMCS


Pul epigastrium (-), pul parasternal (-).
: Ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral LMCS

dan kuat angkat (+)


: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri
: SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi
: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (+)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi
: datar, supel
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani, pekak alih (+), pekak sisi (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), undulasi (+)
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Perkusi

Pemeriksaan

Ekstremitas

Edema
Sianosis
Akral dingin

superior
Dextra Sinistra
+
+
-

Ekstremitas inferior
Dextra
+
-

Sinistra
+
-

Reflek fisiologis
Reflek patologis

+
-

+
-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium darah tanggal 21 November 2014
Darah lengkap :
Hemoglobin

: 10,3 g/dl

Leukosit

: 9120 /Ul

Hematokrit

: 31%

Eritrosit

: 3,6 10e6/uL

Trombosit

: 226.000 /Ul

Ureum

: 144,5 mg/dl

Kreatinin

: 3,56 mg/dl

Natrium

: 137 mmol/L

Kalium
Klorida
b. Foto torax AP

: 6,3 mmol/L
: 108 mmol/L

+
-

+
-

Foto thorax AP tanggal 21 November 2014


Kesan:
-

Cardiomegali
Gambaran edema pulmonum
Efusi pleura dupleks

c. EKG

EKG tanggal 21 November 2014


Kesan :
-

Normal sinus rhythm


Low voltage QRS
Anterior infarct

E. RESUME
1. Anamnesis
a. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
b. Dyspnea deffort
c. Orthopnea
d. Mudah lelah
e. Batuk berdahak malam hari
f. Penurunan frekuensi buang air kecil dan penurunan volume urin

g. Nafsu makan berkurang


h. Mual dan muntah
i. Edema ekstremitas
j. Gatal di seluruh tubuh
2. Pemeriksaan fisik
a. KU/Kes
b. Tekanan darah
RR
c. Kepala
d. Conjunctiva
e. Leher
f. Paru
Perkusi
Auskultasi
g. Jantung
Inspeksi
Palpasi

: tampak sesak/CM
: 150/90 mmHg
: 28 x/menit
: venektasi temporal +/+
: anemis +/+
: JVP 5+4 cm
: sonor pada apek redup pada basal
: ronkhi basah halus +/+
: Ictus Cordis tampak di SIC VI 2 jari lateral LMCS
Pul epigastrium (-).
: Ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral LMCS

dan kuat angkat (+)


Perkusi
: Batas atas kanan
: SIC II LPSD
Batas atas kiri
: SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri
: SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi
: S1>S2, M(+), G(-)
h. Abdomen
Perkusi
: pekak alih (+), pekak sisi (+)
i. Ekstremitas
: edema +/+
3. Pemeriksaan penunjang
a. Anemia ringan (Hb: 9,2 g/dl)
b. Uremia dan kadar kreatinin meningkat (Ur: 151,5 mg/dl, Cr: 4,44
mgdl)
c. Cardiomegali
d. Edema paru
F. DIAGNOSIS KERJA
-

CHF
CKD Grade V

G. TERAPI
Farmakologis:
- O2 4 lpm (NK)
- IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2x1g iv
- Inj. Ranitidin 2x1 ampul iv
- Inj. Furosemid 3x2 ampul iv
- PO Cedocard 2,5mg/jam
- PO Irbesartan 1x500mg tab
b. Non farmakologis:
- Tirah baring
- Posisi tidur setengah duduk
- Diet rendah garam
- Diet rendah serat
H. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad malam

Ad sanationam

: dubia ad malam

Ad functionam

: dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A Congestif Heart Failure (CHF)


1 Definisi
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau hanya mampu jika
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal
jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung kiri dan
kanan (Joewono, 2002).
Gagal
jantung

adalah

ketidakmampuan

jantung

untuk

mempertahankan curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi


kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat

sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di system vena, maka


2

keadaan ini disebut gagal jantung kongestif (Doenges, 2002).


Etiologi
Banyak hal yang dapat mendasari penyakit jantung. Penyakit jantung
koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung
pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti
diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada
perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio
kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko
independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian.
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,
termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko
terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik
itu

aritmia

menunjukkan

atrial

maupun

hipertrofi

aritmia

ventrikel

ventrikel.
kiri

Ekokardiografi

berhubungan

kuat

yang
dengan

perkembangan gagal jantung (Smeltzer, 2002).


Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang
bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit
jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati
dibedakan menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif),
hipertrofi, restriktif dan obliterasi (Joewono, 2002).
Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi
dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat
seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati
hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan) meski
secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan
pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang
asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati

hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan


serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan
dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian
ventrikel (Joewono, 2002).
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,
walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan
stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload) (Joewono, 2002).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri
pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan. Alkohol

dapat

berefek

secara

langsung pada

jantung,

menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia


(tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat
menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik).
Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 3% dari kasus. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat obatan juga
dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan
obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat
efek toksik langsung terhadap otot jantung (Joewono, 2002).
Selain itu, mekanisme yang juga mendasari terjadinya gagal jantung
kongestif meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung yang
menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi
pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah kerusakan
serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal
masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang
dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor: yaitu preload,
kontraktilitas, afterload (Joewono, 2002).

Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding


langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan

serabut otot jantung.


Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang
terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang

serabut jantung dan kadar kalsium.


Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus
dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang
ditimbulkan oleh tekanan arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu,

maka curah jantung berkurang (Smeltzer, 2002).


a

Gagal Jantung Kiri


Kongesti terjadi pada ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi
paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang
dapat terjadi meliputi dispneu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat

(takikardi) dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan.


Gagal Jantung Kanan
Bila ventrikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol
adalah kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan
jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga
tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari
sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas
bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema,
pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena
jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal),
anoreksia dan mual, nokturia dan lemah.

Penegakan Diagnosis
a Manifestasi klinis (Joewono, 2002)
1 Paroksismal nokturnal dispnea
- Serangan sesak napas berat dan batuk pada malam hari, biasanya
-

membangunkan pasien
Batuk dan mengi sering bertahan bahkan dengan duduk tegak.

Asma kardiale, dispnea nokturnal, mengi, dan batuk karena

bronkospasme
Respirasi Cheyne-Stokes
- Respirasi respirasi periodik atau siklik
- Umum di gagal jantung maju dan biasanya berhubungan dengan

output jantung yang rendah


- Pada tahap apneic, P arteri O 2 jatuh, dan P arteri CO 2 meningkat.
3 Kelelahan dan kelemahan
4 Gejala Gastrointestinal
5 Gejala Cerebral
- Kebingungan
- Disorientasi
- Kesulitan berkonsentrasi
- Gangguan memori
- Sakit kepala
- Insomnia
- Kegelisahan
- Mood swing
b Pemeriksaan fisik
- Tekanan darah sistolik normal atau tinggi pada gagal jantung awal
- Tekanan nadi dapat berkurang
- Sinus tachycardia
- Akral dingin
- Sianosis pada bibir dan kuku
- Distensi vena jugularis
- Peningkatan tekanan atrium kanan
- Positif hepatojugular refluks
- Pemeriksaan Paru
Paru crackles (rales atau crepitations) dengan atau tanpa mengi
Efusi pleura
- Pemeriksaan jantung
Titik impuls maksimum (PMI) dapat dipindahkan dan berkelanjutan
(seperti pada hipertensi) atau lemah, seperti dalam kardiomiopati
membesar idiopatik.
Ketiga dan suara jantung keempat: sering ada tapi tidak spesifik
Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid yang sering hadir pada pasien
-

dengan gagal jantung lanjut


Hepatomegali
Asites (tanda akhir)
Penyakit kuning
Peripheral edema
Cardiac cachexia

Kriteria Framingham
Kriteria mayor
Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea
Edema malleolus bilateral
Distensi vena leher
Dyspnea pada exersi biasa
Krepitasi
Takikardia(.120/min)
S3 gallop
Batuk nocturnal
Kardiomegali (rasio kardiotorak . Hepatomegaly
50% pada rontgen torak)
Edema pulmonal akut
Efusi pleura
Reflux hepatojugular
Penurunan dalam kapasitas vital
dalam 1/3 dari maksimal
Peningkatan tekanan vena sentral
(.16cmH2O pada atrium kanan)
Penurunan berat badan .4,5kg
dalam 5 hari sebagai respon
terhadap pengobatan
Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal 2 kriteria
mayor atau satu kriteria mayor disertai 2 kriteria minor. Kriteria minor
tersebut dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan
dengan penyakit

seperti hipertensi pulmonal, ppok, sirosis hati atau

sindroma nefrotik.Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat


ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru,
peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai (Doenges, 2002).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk
mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead,
ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi
dan tes fungsi paru (Joewono, 2002).
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya
pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran
kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila
tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan
pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila
tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan
paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak

gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak
terkena adalah bagian kanan (Joewono, 2002).
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal
pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran
normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan
antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri,
bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto
dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal
jantung

sebagai

penyebab

dispneu

pada

pasien

sangat

kecil

kemungkinannya (Doenges, 2002).


Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang
sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan
gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang
perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal
jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang
berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko
disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol,
atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi
sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta
mengetahui risiko emboli (Joewon, 2002).
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan
anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya
penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat
berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul
hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan
adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu
dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum
kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan
diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria.

Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi


kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal
jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor
serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati
(bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati.
Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan (Joewono, 2002).
Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal
jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP
adalah

300

pg/ml.

Pemeriksaan

radionuklide

atau

multigated

ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik,


laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung.
Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global
maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan
kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium
kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery
capillary wedge pressure (Joewono, 2002).
4

Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf
simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi
sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya
penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (sistem
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas

serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul


berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan
penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron.
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen)
dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat
saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan
aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit
serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Doenges, 2002).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf
pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon
terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia
Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada
endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai
respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal
jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker
diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada
penderita gagal jantung . Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang
meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi
juga

didpatkan

pada

pemberian

diuretik

yang

akan

menyebabkan

hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan


merupakan

peptide

vasokonstriktor

yang

poten

menyebabkan

efek

vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas

retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat


sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan
tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan
kematian.

Telah

dikembangkan

endotelin-1

antagonis

sebagai

obat

kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular


dan miokardial akibat endotelin. Disfungsi diastolik merupakan akibat
gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan
berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung
koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung
amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal
jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal
jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
5

bersamaan meski dapat timbul sendiri (Joewono, 2002).


Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dan gagal jantung adalah (Smeltzer,
2002):
a Mengurangi beban kerja jantung.
b Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan
c

bahan-bahan farmakologis.
Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi
diuretik, diet dan istirahat.

Terapi Non Farmakologis


a Tirah baring
Tirah baring bertujuan untuk mengurangi beban kerja jantung sehingga
b

kemampuan dalam memompa darah lebih efisien.


Posisi tidur tegak (setengah duduk)
Hal ini bertujuan untuk melancarkan aliran venous return sehingga
meningkatkan volue paru, meningkatkan kapasitas vital paru dan

compliance paru.
Diet rendah garam, bertujuan untuk mengurangi preload dan
mengurangi retensi air dan natrium.

Diet rendah serat, bertujuan untuk mencegah terjadinya sembelit.

Terapi Farmakologis (Doenges, 2002)


a Digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat
frekuensi jantung. Hasil yang diharapkan peningkatan curah jantung,
penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan dieresis
akan mengurangi edema. Apabila terjadi keracunan ditandai dengan
anoreksia, mual dan muntah namun itu gejala awal selanjutnya akan
terjadi perubahan irama, bradikardi kontrak ventrikel premature,
bigemini (denyut normal dan premature saling berganti), dan
b

takikardia atrial proksismal.


Terapi Diuretik
Diberikan untuk memacu ekresi natrium dan air melalui ginjal, obat ini
tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon. Pembatasan aktivitas
digitalis dan diit rendah natrium, jadwal pemberian obat ditentukan
oleh berat badan, furosemid (Lasix) terutama sangat penting dalam
terapi gagal jantung karena kapasitas urea yang pada gilirannya
mengurangi preload (darah vena yang kembali ke jantung).
Terapi diuretic jangka panjang dapat menyebabkan hiponatremia yang
mengakibatkan lemah, letih, malaise, kram otot dan denyut nadi yang
kecil dan cepat.
Pemberian diuretic dalam dosis besar dan berulang juga bisa
mengakibatkan hipokalemia ditandai dengan denyut nadi lemah, suara
jantung menjauh, hipertensi, otot kendor, penurunan refleks tendon dan

kelemahan umum.
Terapi Vasodilator
Obat-obatan vasoaktif

merupakan

pengobatan

utama

pada

penatalaksanaan gagal jantung. Natrium nitraprosida secara intravena


melalui infuse yang dipantau tepat dosisnya harus dibatasi agar
tekanan systole arteriole tetap dalam batas yang diinginkan.
d Oksigen
Pemberian oksigen terutama pada klien gagal jantung disertai dengan

edema paru. Pemenuhan aksigen akan mengurangi kebutuhan


6

miokardium dan membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.


Komplikasi dapat berupa (Joewono, 2002):
a Kerusakan atau kegagalan ginjal
Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya
dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani. Kerusakan ginjal
b

dari gagal jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.


Masalah katup jantung
Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi

kerusakan pada katup jantung.


Kerusakan hati
Gagal jantung dapat menyebabkan

penumpukan

cairan

yang

menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat


menyebabkab jaringan parut yang mengakibatkanhati tidak dapat
d

berfungsi dengan baik.


Serangan jantung dan stroke
Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung
daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan Anda
akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko
terkena serangan jantung atau stroke.

DAFTAR PUSTAKA

Dunitz, M. 2001. Treatment of Hypertension in General Practice. United Kingdom:


Blackwell Science Inc.
Joewono, B. S. 2003.. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya : Airlangga University Press .
Padmawinata, K. 2001. Pengendalian Hipertensi, Bandung: ITB.
Palmer & Williams. 2007. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, C. S., Bare, G.,and Brenda, 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner dan
Suddarths, Volume 2, Edisi 8, Jakarta : EGC.

Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing.
Wilson, L.M. 2005. Gagal Ginjal Kronik dalam Patofisiologi (Konsep Klinis Proses
Proses Penyakit Edisi 6). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai