Anda di halaman 1dari 194

[ Pustaka NU Online ]

METAMORFOSIS NU DAN
POLITISASI ISLAM DI INDONESIA

A. Gaffar Karim

ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu,


mendudukkanmu di depan cermin,
dan membuatmu bertanya,
"tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?"
ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu,
menimbang-nimbang hari lahirmu,
mereka-reka sebab-sebab kematianmu.
ada yang sedang diam-diam berobah jadi dirimu
(Sapardi Djoko Damono, METAMORFOSIS, 1981)

Dterbitkan oleh:
LKiS
Bekerjasama dengan
Penerbit Pustaka Pelajar

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

Daftar Isi
www.muslims.net/KMNU - Copyright KMNU Cairo Egypt

DAFTAR ISI
METAMORFOSIS
NU DAN POLITISASI ISLAM
DI INDONESIA

A. Gaffar Karim
PENGANTAR
Dr. Afan Gaffar, MA

Pengantar
Iftitah

Bab I
Pendahuluan
Bab II
Wajah NU: 1926 - 1984
Bab III
Abdurrahman Wahid:
Pemikiran dan Determinasi
Bab IV

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Implementasi Khittah: Dinamika Internal

Bab V
Implementasi Khittah: Dinamika Eksternal

Bab VI
Prospek NU
Bab VII
Poskripsi

Pustaka
Biodata
Catatan Penerbit

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


METAMORFOSIS
NU DAN POLITISASI ISLAM INDONESIA
Copyright 1995 A. Gaffar Karim

PENERBIT
Pustaka Pelajar
Bekerjasama dengan
LKiS Yogyakarta

CETAKAN
September 1995

RANCANGAN SAMPUL
Haitamy el-Jaid

SAMPUL BELAKANG
Dikutip dari
Sapardi Joko Damono
Hujan Bulan Juni
Grasindo, 1994

SETTING/LAYOUT
Arief

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


DICETAK
Pustaka Pelajar Offset
Glagah UK IV/343
Copyright 0274-564306
Yogyakarta

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Iftitah

Nun, demi pena dan apa yang diguratkannya


Al-Qalam : 1

KETIKA mendengar kata "NU", barangkali yang segera tergambar di benak orang
pada umumnya adalah sosok bersarung dan berpeci, yang berjalan menunduk sambil satu
tangannya memegang kitab kuning, sementara satu tangan lainnya menggenggam untaian
tasbih. Atau jika tidak, NU bagi sementara orang tak lebih dari salat dengan usalli, doa qunut,
tarawih 23 rakaat, tawassul kepada para wali, dan seterusnya. Mungkin tak banyak yang
memperhatikan bahwa di luar semua gambaran stereotip di atas, NU sebenarnya adalah salah
satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan negeri ini. Dengan keteguhannya (yang
diimbangi dengan fleksibilitas) dalam memegang apa yang dengan nada sedikit minor disebut
sebagai "tradisionalisme", dan dengan segala kekhasan dalam gaya berpolitiknya, NU telah
banyak mewarnai bukan saja wacana keagamaan, tapi juga setting sosial kemasyarakatan,
bahkan politik dan ideologi bangsa.
Tapi rasanya telah menjadi keluhan yang klasik bahwa NU dalam kurun waktu yang
cukup lama telah begitu saja terabaikan dalam kajian ilmiah yang serius, terutama karena
kebanyakan pengamat telah sejak dini tersilaukan oleh "modernisme" dan "kaum modernis",
sementara NU pada umumnya dianggap tidak dapat digolongkan ke situ. Martin van
Bruinessen, baru-baru ini menulis kajian paling komprehensif dan tak memihak mengenai
NU untuk saat ini. Ia menguraikan dengan cukup terinci keterabaian itu. Ia menyesalkan
betapa NU kerap hanya disebut secara sambil lalu, ketika sebuah kajian mestinya
memberikan proporsi perhatian yang lebih pada NU (Martin van Bruinessen, NU, Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994).
Namun untunglah, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir perhatian ilmiah
terhadap NU telah berangsur-angsur dipulihkan. Di perpustakaan Lakpesdam NU di Jakarta,
saya mendapati rak-rak besar yang dipenuhi dengan karya-karya skripsi, tesis, bahkan
disertasi tentang NU, terutama yang ditulis setelah 1985. Sangat menggembirakan, meski
tetap dapat disayangkan bahwa semua tulisan itu (kecuali beberapa yang juga dipublikasikan)
6

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


akhirnya hanya akan dibaca oleh kalangan yang sangat terbatas. Wacana tentang NU bagi
masyarakat luas memang masih relatif kurang. Buku ini, dengan demikian, dimaksudkan
untuk turut mengisi celah tersebut, meski tak diragukan lagi bahwa Choirul Anam (1985),
Kacung Marijan (1992), Martin van Bruinessen (1994), dan Ali Haidar (1995) telah
melakukannya jauh lebih baik.
Buku ini diangkat dari karya skripsi yang saya pertahankan di Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL UGM, dengan judul NU Setelah Kembali ke Khittah 1926: Sebuah
Studi Historis tentang Kelompok Kepentingan Islam di Pentas Orde Baru 1984-1993.
Penelitian bagi skripsi tersebut saya kerjakan selama kurun waktu 17 bulan sejak Mei 1993.
Sebagian penelitian itu bersifat kepustakaan, yang saya lakukan di beberapa perpustakaan di
Yogyakarta dan Jakarta. Hasil penelitian pustaka itu juga diperkaya dengan hasil serangkaian
wawancara dan diskusi.
Skripsi saya, dan dengan demikian juga buku ini, tidak akan dapat disusun tanpa
bimbingan yang intensif dari Drs. Haryanto, MA. Skripsi itu juga telah mengalami perbaikan
yang cukup berarti dengan serangkaian revisi yang diagendakan oleh Drs. Mashuri Maschab,
SU dan Dr. Afan Gaffar, MA. Untuk yang disebut terakhir ini, saya malahan merasakan
hutang budi yang tak kecil, karena dialah yang telah mendorong saya untuk menjajagi
kemungkinan diterbitkannya buku ini. Betapa pun, tanggung jawab atas semua isi buku ini
sepenuhnya berada di tangan saya.
Banyak orang, jauh lebih banyak dari yang dapat saya sebutkan, patut memperoleh
ucapan terima kasih karena bantuan mereka, langsung maupun tak langsung, bagi
terselesaikannya buku ini. Beberapa yang dapat saya sebutkan adalah: Drs. Kacung Marijan,
staf pengajar Ilmu Politik FISIP Unair yang intens mengamati NU, yang telah memberikan
beberapa saran penting di tahap terawal penulisan skripsi saya; Drs. Muhammad Najib,
Sekretaris LKPSM NU DIY; dan Dra. Maria Ulfah Anshar, Koordinator Program
Dokumentasi dan Informasi Lakpesdam NU Jakarta, yang telah bersedia menerbitkan buku
ini. HM Ichwan Sam dan Ir. H Musthafa Zuhad Mughni; berturut-turut adalah Sekjen dan
Wakil Sekjen PB NU 1989-1994, yang telah bersedia memenuhi permintaan wawancara dari
saya; keluarga pamanda Drs. HM Hasan Asj'ari yang banyak membantu ketika saya
melakukan akumulasi data di Jakarta; seluruh teman-teman di Ilmu Pemerintahan UGM '89,
khususnya mereka yang dengan "bangga" menyebut dirinya IMS; teman-teman di Interfidei

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dan LKiS: Ahmad Suaedy, Hairussalim, M Imam Aziz, M Jadul Maula, Sastro, Fikri, dan
seterusnya; dan sekali lagi LkiS yang telah bersedia menerbitkan buku ini.
Rasa terima kasih yang khusus kiranya ingin saya tujukan kepada semua guru-guru
saya, terutama Drs. Josef Riwukaho, MPA, yang begitu berjasa membentuk sikap disiplin
saya, serta Drs. Cornelis Lay, MA, dari siapa saya banyak belajar tentang cara menghargai
pendapat orang.
Dan akhirnya, buku ini saya peruntukkan bagi orang-orang tercinta: Ibunda Hj
Aminatussuhriyah dan Ayahanda H Abdul Karim, adik-adik saya (Ading, Wiwik, Nunung,
dan Fatim), serta Miming. Semua berhak atas rasa terima kasih tiada terhingga yang hanya
dapat saya muarakan pada Dia Yang Esa: Rabbana ma khalaqta hadza bathila. Subhanaka
faqina 'adzabannar.
Di atas semua ini, saya mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang
telah memberi segala yang saya ingin dan angankan, serta telah memperkenankan saya
mencelupkan tangan ke dalam samudera ilmu-Nya yang maha luas itu.
Saya berharap, buku ini bisa bermanfaat bagi setiap pembacanya. Tentu saja saya
tidak berpretensi bahwa argumen-argumen dalam buku ini telah bersiratkan kebenaran yang
mutlak. Semuanya saya anggap sebagai thesa-thesa yang harus segera berbenturan, atau
dibenturkan, dengan antitesa-antitesa, untuk bisa melahirkan suatu sintesa, dan seterusnya,
dalam pola dialektik. Rasanya lebih tepat untuk menerima buku ini sebagai sebuah catatan
pembuka guna mengawali diskusi kita. Mengapa tidak?
Dan kepada-Nya kita semua berserah diri.

Nologaten, Juli 1995


A Gaffar Karim

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


NU, Sebuah Fenomena Politik
Dr. Afan Gaffar, MA

PEMBICARAAN tentang NU sebenarnya sangat menarik, meskipun dalam


kenyataannya ia pernah begitu terabaikan oleh insan-insan akademis. Dalam segi-segi
tertentu NU adalah fenomena. Lihatlah bagaimana NU pernah tampil sebagai satu-satunya
partai yang mampu melintasi tiga tahapan kepolitikan Indonesia era Demokrasi Liberal, era
Demokrasi Terpimpin dan era Orde Baru dengan prestasi yang relatif stabil, setidaknya
dilihat dari prosentase perolehan suaranya dalam pemilu. Masyumi, yang merupakan partai
Islam terbesar pada masanya, "gugur" sebagai korban penyederhanaan kepartaian Soekarno,
di mana keterlibatan tokoh-tokohnya dalam PRRI terpilih sebagai alasan. Sementara partaipartai lain akhirnya kalang-kabut menghadapi taktik buldozer Golkar di masa awal Orde
Baru. Praktis, NU-lah yang tetap bertahan, sampai akhirnya fusi 1973 memaksanya lebur
dalam PPP.
Sejak fusi 1973, hingga kurun 11 tahun selanjutnya, NU berada dalam tahapan yang
paling suram dalam catatan biografinya. Betapa tidak, masa kejayaan politiknya telah
berakhir, sementara untuk mengepakkan sayap di bidang lain masih banyak belenggu yang
menghambat NU. Halangan terbesar adalah image oposan yang melekat pada NU dan
kebanyakan orpol Islam pada umumnya, yang sebenarnya berpangkal pada gaya politik Orde
Baru saat itu yang sedemikian rupa sehingga memaksa partai-partai Islam mengambil posisi
defensif. NU di era ini begitu tersudut: NU hanya bisa berpolitik via PPP, dan, selanjutnya,
PPP adalah sebuah "partai oposisi", terlepas dari persoalan bahwa orang-orang NU di sana
juga punya kontribusi terhadap karakteristik oposan tersebut.
Jadi kedua hal itulah (kepolitikan Orde Baru dan keberadaan NU dalam PPP) yang
begitu membatasi gerak organisasi para ulama ini. Dengan demikian, langkah reorientasi
politik NU di tahun 1951 yang sekaligus membawanya keluar dari PPP pada dasarnya tidak
akan terlalu berarti banyak, jika saja pada saat yang hampir bersamaan tidak terjadi
perubahan pada langgam kepolitikan nasional. Dengan kata lain,"Kembali ke Khittah 1926"
menjadi sedemikian rupa signifikan bagi NU oleh karena hal itu dilakukan dalam momentum

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


yang tepat. Momentum ini adalah apa yang saya sebut sebagai politik akomodasi antara Islam
dan negara di Indonesia.
Kecenderungan ini mulai sangat terasa ketika dekade 80-an telah memasuki paruh
keduanya. Tampak jelas telah terjadi pergeseran dari model hubungan yang antagonistik
antara Islam dan negara menuju politik akomodasi yang saling mengisi satu sama lain.
Antagonisme diminimalisir, bahkan konflik cenderung dieliminir. Kita akan melihat
indikatornya dalam policy pemerintah di bidang pendidikan dan keagamaan di satu sisi, serta
di sisi lain kecenderungan politik umat Islam di mana NU merupakan salah satu
komponennya. Disahkannya UU Sistem Pendidikan Nasional yang begitu toleran terhadap
persoalan-persoalan essensial umat Islam serta diijinkannya siswi SLTP dan SLTA
mengenakan jilbab di sekolah adalah sebagian contoh. Lalu dibentuknya Yayasan Amal
Bhakti Muslim Pancasila oleh Presiden Soeharto, disahkannya UU Peradilan Agama, dan
akhirnya didirikannya ICMI adalah contoh-contoh lain yang juga perlu disebutkan. Lalu
mengapa kecenderungan yang akomodatif itu muncul?
Pada sisi pemerintah, politik akomodasi terhadap umat Islam adalah satu-satunya
pilihan untuk tidak menempatkan Islam sebagai kelompok yang berada di luar sama sekali.
Pemerintah tampaknya menyadari bahwa umat Islam merupakan kelompok politik yang
sangat potensial jika mereka bisa mengorganisir diri sedemikian rupa. Itulah pasalnya.
Sehingga kalau umat Islam diletakkan di luar sama sekali, konflik akan sulit dihindari.
Ujung-ujungnya adalah efek yang begitu besar terhadap proses pemeliharaan negara
kesatuan. Jelas, ini harga yang terlalu mahal.
Di samping itu, di kalangan pemerintah kini terdapat sejumlah figur yang tidak
mengidap "islamophobia". Beberapa di antara mereka malahan memiliki dasar dan latar
belakang keislaman yang kuat. Sebut saja Mar'ie Muhammad, BJ Habibie, Emil Salim, atau
Akbar Tanjung. Nama-nama ini sangat berperan dalam membantu sikap politik pemerintah
yang tidak memusuhi Islam. Aksentuasi kita lebih pada pejabat dari kalangan sipil daripada
pejabat dari kalangan militer maupun perwira ABRI sendiri. Sekalipun Try Sutrisno dan R.
Hartono tidak dapat diabaikan dalam konteks ini, saya masih meragukan apakah sikap yang
kurang favorable terhadap umat Islam sebagai akibat pengalaman masa lain yang tidak
mengenakkan sudah benar-benar hilang dari kalangan militer. Mereka pernah mengalami
kesukaran yang tidak ringan saat harus bertempur menghadapi kelompok-kelompok Islam
separatis.
10

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Faktor lain, di kalangan umat Islam terjadi perubahan persepsi, sikap, dan orientasi
politik. Pada awalnya, umat Islam sangat menaruh harapan bahwa kelahiran Orde Baru akan
mendorong terwujudnya proses politik yang demokratis di negeri ini. Namun yang terjadi
adalah jauh dari yang diharapkan. Akibatnya umat Islam terdesak pada posisi yang
memaksanya bersikap sangat kritis bahkan mengarah pada sikap oposan.
Kebanyakan politisi Islam meyakini bahwa demokrasi adalah cara terbaik bagi
penyelenggaraan negara. Demokrasi dipandang sebagai cara yang paling efektif untuk
mewujudkan cita-cita politik Islam. Kita lihat bahwa ketika mekanisme politik berlangsung
secara demokratik, kekuatan Islam memainkan peran yang sangat menentukan di dalamnya,
seperti yang tejadi pada masa-masa menjelang kemerdekaan. Bagi kalangan Islam, Orde Baru
menjadi tumpuan harapan bagi terwujudnya demokrasi yang gagal dibangun oleh Orde Lama.
Akan tetapi ternyata agenda utama Orde Baru adalah untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi yang bersendikan peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Akibatnya, stabilitas
politik dan keamanan nasional lain menjadi preferable daripada demokrasi. Tidak heran jika
para politisi dan intelektual Muslim tampil dengan kritikan kerasnya terhadap kebijakan
pemerintah, yang selanjutnya membawa akibat, oleh karena pemerintah masih sulit menerima
interaksi politik seperti ituIslam tergeser pada posisi marginal dalam konstelasi politik
nasional dibandingkan dengan kalangan-kalangan Kristen, Katolik, non-pribumi dan
seterusnya.
Namun dalam sepuluh tahun terakhir rupanya telah terjadi perubahan sikap politik
Islam yang cukup berarti. Perubahan itu berkaitan dengan posisi penetratif seperti yang
dilakukan kalangan minoritas. Dengan sikap politik yang penetratif, usaha pencapaian tujuan
dan cita-cita politik Islam menemukan cara yang lebih efektif. Inilah kiranya yang turut
menjadi faktor penentu terjadinya hubungan yang akomodatif antara Islam dan negara.
NU dengan "kembali ke Khittah 1926" dan segala implikasi politiknya, dapat
diletakkan dalam konteks faktor yang disebut terakhir di atas. Dengan demikian NU telah
memberi kontribusi bagi lahirnya hubungan yang akomodatif antara Islam dan pemerintah,
sekaligus mengambil manfaat dari suasana baru ini untuk memberi makna yang sangat berarti
bagi keputusan untuk kembali ke khittah itu, meski di sana-sini ganjalan sudah pasti ada.
Dalam bidang-bidang pendidikan, dakwah, pengembangan sumber daya manusia, dan
aspek-aspek sosial-keagamaan lainnya, NU pasca khittah telah berhasil membuat capaiancapaian positif yang begitu mengesankan Hal ini terutama bermanfaat bagi warga NU di
11

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


tingkat bawah. Di sini, khittah telah menjadi dorongan yang sangat positif untuk mengoreksi
kesalahan-kesalahan di masa lalu. Namun di bidang politik, kita akan mendapati bahwa
khittah kerapkali hanya menjadi sumber inspirasi baru bagi kontroversi demi kontroversi
yang muncul pada tingkat elit NU. Kerap kali terjadi pendapat-pendapat yang satu sama lain
saling berbeda, bahkan saling bertentangan semuanya menyatakan sebagai didasari oleh
semangat khittah. Contoh terakhir adalah yang terjadi menjelang dan setelah Muktamar PPP
1994, ketika sejumlah tokoh NU begitu berambisi untuk memperoleh jabatan di partai itu,
dan tokoh-tokoh NU lainnya mengecam mereka. Kita dapat mengikuti perang statement
antara mereka di media massa, di mana kata "khittah" adalah yang paling sering disebutsebut. Sekalipun ambisi untuk mendapatkan kursi ketua umum partai gagal, dan Ismail Hasan
Metareum terpilih kembali seperti yang saya prediksikan (bukan saya "kampanyekan" seperti
tuduhan sementara orang), namun fenomena ini sangat penting untuk dicatat. Sebabnya
adalah pertama, karena hal itu menggambarkan betapa khittah masih belum mampu
menyeragamkan orientasi politik orang-orang NU. Bahwa mereka bebas memilih saluran
aspirasi politiknya masing-masing, jelas telah dijamin oleh khittah. Tapi masalahnya, tokohtokoh ini selalu membawa-bawa nama NU dalam manuver-manuver politiknya, yang
menyebabkan netralitas NU masih kerap dipertanyakan. Kedua, peringatan akan terjadinya
penggembosan kembali PPP turut mewarnai kekecewaan terhadap formasi kepengurusan
baru yang dinilai tidak mencerminkan realitas massa pendukung partai. Bukan mustahil orang
akan jadi bertanya-tanya, mengapa NU seolah-olah masih belum bisa lepas sama sekali dari
PPP? Benarkah akan terjadi penggembosan kembali?
Namun persoalan yang lebih penting adalah mengapa masih terjadi pertentangan
pendapat di seputar implikasi politik khittah? Rupa-rupanya komitmen untuk menjaga
netralitas NU, serta untuk tidak menjadikannya sebagai orpol, masih sangat lemah terutama
di kalangan politisi NU. Tampaknya hanya Abdurrahman Wahid yang masih memiliki
komitmen murni sebagaimana yang dikehendaki oleh Deklarasi Situbondo 1984. Bahkan
sebagian tokoh NU masih ada yang menginginkan organisasi itu kembali menjadi partai
politik. Sebagian yang lain masih mencoba mendominasi kembali PPP dengan alasan jumlah
massa NU yang sangat besar adalah pendukung potensial partai itu. Klaim ini jelas sangat
tergesa-gesa, sebab warga NU kini sudah sangat beragam orientasi politiknya. Setidaknya
terdapat empat kelompok dalam NU yang memiliki orientasi berbeda-beda. Pertama,
kalangan yang masih setia kepada PPP dan tetap bertahan di sana. Orang seperti Hamzah Haz

12

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


tampak begitu setia dan peduli terhadap semua persoalan PPP terutama ketika partai ini
menghadapi berbagai macam tantangan.
Kedua, kalangan NU yang telah melakukan eksodus dari PPP menuju ke Golkar atau
PDI dan mengembangkan karier politik mereka di sana. Alasannya bisa karena mereka
mempunyai cita-cita yang berbeda dengan prioritas agenda politik PPP. Bisa juga karena
secara rasional mereka melihat bahwa PDI atau Golkar lebih menjanjikan prospek yang lebih
baik bagi karier politik mereka dibandingkan PPP. Atau pula karena alasan yang teramat
pragmatis dan oportunis: karena mereka akan memperoleh fasilitas yang lebih baik jika
bergabung dengan Golkar. Kita tidak berbicara tentang soal baik dan buruk, karena ini adalah
bagian dari rasionalitas politik.
Ketiga, tokoh-tokoh NU yang kecewa terhadap kepemimpinan PPP. Naro ketika itu,
dan oleh karenanya meninggalkan partai itu dengan penuh rasa kecewa dan sedikit dendam.
Kalangan inilah yang di tahun 1987 melakukan penggembosan terhadap PPP sehingga
perolehan suaranya menurun drastis. Kita dapat menyebut nama KH Jusuf Hasyim dan
Mahbub Djunaedi dalam kelompok ketiga ini.
Dan keempat adalah orang-orang yang masih memiliki komitmen terhadap khittah
dan bertekad untuk mempertahankannya. Kalangan ini mempunyai orientasi politik dalam
tingkat lobi dan bukan melalui lembaga legislatif, dengan pertimbangan efektivitas
mengingat konfigurasi politik nasional dewasa ini. Bagi mereka, sebut saja Gus Dur dan
kelompoknya, berpolitik sebagaimana parpol bahkan bisa merugikan NU sendiri.
Dan berbicara tentang penggembosan, rasanya hal itu sulit terjadi. Saya melihat
bahwa kelompok ketiga dalam kategori di atas memang potensial untuk kembali melakukan
penggembosan. Akan tetapi jika mereka mau melakukan kontemplasi, akan jelas ini bahwa
penggembosan hanya bakal menjadi counter productive. Jika itu terjadi, citra NU akan
memburuk. Orang akan mencap NU telah bermain di luar sistem yang ada, dan ini akan
menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Akibatnya peluang orang-orang NU untuk
memimpin partai akan kian kecil, kecuali partai itu bernama NU.
Di samping itu, masa rekrutmen calon legislatif untuk Pemilu 1987 adalah masa yang
sangat krusial, berkaitan dengan isu suksesi nasional saya yakin bahwa Buya Ismail tidak
akan gegabah meninggalkan orang-orang NU, bahkan ia akan mengakomodasi dengan lebih
baik daripada muktamar lain. Ia tentu tidak akan mengulangi kesalahan Naro di waktu lalu.
13

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Bahkan sangat mungkin ia akan terus membenahi kesalahan itu dengan memperhatikan
aspirasi NU di daerah-daerah yang merupakan basis NU.
Dan akhirnya, bagaimana pun PPP masihlah rumah politik yang paling baik bagi para
Nahdliyyin daripada partai politik lainnya. Di Golkar sudah penuh sesak dengan beragam
kalangan Islam, terutama yang belum dan memiliki ikatan kepentingan dengan ICMI. Orang
pasti masih ingat akan kritik Gus Dur tentang ICMI, dan di samping itu memperkuat Golkar
yang sudah sedemikian besar tentu tidak sejalan dengan visi Ketua Umum PBNU yang punya
komitmen tinggi terhadap demokrasi itu. Sementara dengan PDI, terdapat hambatanhambatan kultural yang tidak memungkinkan orang-orang NU aktual di sana. NU tidak akan
begitu saja bisa bersanding, apalagi berbagi program dan agenda kerja dengan mesra dengan
kalangan sekuler yang begitu dominan di PDI, demikian pula dengan sayap-sayap Kristen
dan Katolik di sana. Barangkali sangat jitu ucapan KH Alawy Muhammad bahwa beliau akan
bergabung dengan PDI jika partai itu mempunyai program yang islami. Dan saya meragukan
lahirnya program yang islami itu.
NU setelah kembali ke Khittah 1926 memang sangat menarik dan penuh dengan
dinamika yang hampir-hampir tidak dapat diprediksikan sebelumnya. Barangkali itulah
sebabnya selama sepuluh tahun terakhir ini kajian-kajian ilmiah tentang NU meningkat pesat
baik di segi kualitas maupun terlebih lagi kuantitas. Kajian-kajian itu lahir baik dari tangan
pengamat-pengamat asing yang begitu intens meneliti NU atau gerakan Islam di Indonesia
pada umumnya (seperti Nakamura, Feillard, dan Van Bruinessen), maupun dari para analis di
dalam negeri sendiri. Di dalam negeri para pengamat NU dapat dibagi dua, yakni mereka
yang berasal dari kalangan non-NU (seperti Mahrus Irsyam) bahkan non-muslim (seperti
Einar Martahan Sitompul), dan mereka yang berlatar belakang NU terutama generasi
mudanya yang kian banyak menimba ilmu di luar pesantren. Generasi muda NU yang
mempelajari antropologi, sosiologi, atau ilmu politik kerap menghasilkan karya ilmiah yang
cukup menarik tentang NU karena itu dilakukan dengan ketertarikan yang mendalam
terhadap akar kultural mereka itu. Buku karya Abdul Gaffar Karim ini lahir dalam
kecenderungan tersebut.
Poin terpenting buku ini adalah usahanya untuk melihat NU dalam kerangka sebagai
kelompok kepentingan, dan tampaknya ini adalah buku pertama yang menyoroti NU dari
sudut pandang itu. Definisi Almond yang lazim dipakai mengatakan bahwa kelompok
kepentingan adalah setiap kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik tanpa
14

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


pada saat yang sama berkeinginan untuk memperoleh jabatan publik. Dengan ini dapat
dibuatkan bingkai penjelasan yang paling pas bagi kepolitikan NU pasca khittah, yang dalam
buku ini disebutkan telah terjadi reorientasi dari kuantitas ke kualitas politik. Dalam titik
berat pada kualitas politik, NU terus berupaya untuk tetap ambil bagian dalam proses
pembuatan kebijakan nasional, tanpa mempersoalkan kursi jabatan publik yang didapatnya.
Secara ideatif, hal yang disebut terakhir ini diserahkan pada masing-masing individu
warganya.
Selain sebagai kelompok kepentingan buku ini juga mengupas NU sebagai penganut
paham Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Sehingga di sini dapat ditemui keterpaduan antara
pendekatan kultural dan pendekatan struktural, termasuk ketika menjelaskan kepolitikan Orde
Baru sebagai konteks makro di mana NU berada. Sekalipun isi dan uraiannya tidaklah asing
lagi bagi mereka yang selalu mengikuti perkembangan NU, namun buku yang diangkat dari
karya skripsi ini jelas telah menyajikan pendekatan baru dalam mengamati NU.
Bahwa di sana-sini terasa ada bias NU, tapi itu tidak mengurangi makna kontributif
buku ini bagi kajian NU dan analisis politik pada umumnya. Bagaimana pun unsur
subjektivitas dalam suatu karya ilmiah kerap sulit dihindari, dan itu tidaklah terlalu tabu
sejauh tidak mengalahkan unsur objektivitasnya. Terlebih lagi dalam lingkup ilmu sosial, kita
harus mengakui bahwa objektivitas yang 100% murni memang sulit dibangun.

Yogyakarta, Mei 1995

15

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


BIODATA

A.Gaffar Karim. Lahir di Sumenep, Madura: 19 Juni 1970, dalam sebuah lingkungan yang
sangat NU oriented. Menempuh pendidikan dasar serta menengah di kota kelahirannya: dan
selepas SMA tahun 1988 melanjutkan pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Unair, Surabaya.
selama setahun. Tahun 1989 memasuki Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM dan
menyelesaikan S-l pada tahun 1994. Saat ini adalah staf pengajar di jurusan tersebut.

16

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Dan kukuh-teguhlah kalian dalam ikatan Tali Allah, sebagai satu jamaah,
dan jangan tercerai-berai
-Ali Imran: 103-

Dan janganlah kalian saling bertikai


hingga menjadi lemah
dan hilang wibawa kalian
-Al Anfal: 46-

Kudedikasikan sebagai tanda kekaguman kepada


sang progressor NU, KH Abdurrahman Wahid.
Dan kuperuntukkan
bagi orang-orang tercinta
ibu dan bapakku,
adik-adikku,
dan Miming
serta untuk mereka yang
mencintai ilmu politik.

17

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

DISKUSI tentang sistem kepartaian di Indonesia seringkali menghasilkan kesimpulan


yang kurang tuntas. Klasifikasi sistem kepartaian yang lazim dikenal, yang antara lain
dikemukakan oleh Maurice Duverger, tidak dapat secara pas membingkai sistem kepartaian
Indonesia saat ini. Dalam klasifikasi "konvensional" itu (berdasarkan jumlah partai yang ada
dan pola interaksi antara mereka), terdapat tiga sistem kepartaian: sistem partai tunggal (oneparty system), sistem dua partai (two-party system), dan sistem multi partai (multy-party
system).1 Terminologi "partai tunggal" dan "dua partai" tidaklah selalu berarti bahwa dalam
suatu sistem politik hanya terdapat satu atau dua parpol saja. Sebab istilah itu mengacu pada
jumlah parpol yang terus-menerus mendominasi semua porsi peran dalam pentas politik yang
ada. Dalam sistem satu partai, boleh jadi terdapat dua atau lebih partai politik. Namun
suasana kepartaian yang ada sangat tidak kompetitif: partai-partai politik yang ada harus
menerima pimpinan dari partai yang dominan dan sama sekali tidak diperkenankan bersaing
secara bebas melawan partai itu. Pemilihan umum, dengan demikian, tidak diperlukan dalam
sistem kepartaian ini. Dalam sistem dua partai pun, bisa saja terdapat tiga atau lebih parpol,
tapi peran dominan selalu dipegang oleh dua parpol tertentu. Jika salah satu dari keduanya
berkuasa (karena menang mutlak dalam pemilu), maka yang lain tampil sebagai partai
oposisi. Demikian secara bergiliran. Amerika Serikat adalah contoh paling jelas bagi sistem
dua partai. Sementara dalam sistem multi partai, terdapat banyak parpol dengan kekuatan
kurang lebih imbang, serta terdapat pola kompetisi yang maksimal dan terbuka di antara
mereka. Salah satu kesulitan yang sering muncul dalam sistem kepartaian ini adalah tidak
adanya parpol yang menang mutlak (50% tambah satu suara) dalam pemilu, sehingga
pemerintahan yang terbentuk kerapkali merupakan koalisi dari beberapa parpol. Tak jarang
koalisi itu demikian longgar, sehingga pemerintah bisa sewaktu-waktu jatuh karena partai
tertentu menarik dukungannya dari koalisi.
Di manakah sistem kepartaian Indonesia saat ini dapat diletakkan dalam klasifikasi
tersebut? Tidak ada jawaban yang persis tepat. Sistem kepartaian Indonesia jelas bukan

Lihat misalnya, Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 167-170.

18

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


sistem dua partai. Sementara untuk menggolongkannya sebagai sistem satu atau multi partai
pun terdapat banyak ganjalan. Sekalipun Golkar sepanjang sejarah Orde Baru selalu tampil
mendominasi pentas kepartaian nasional, tapi partai-partai lain, PPP dan PDI, bukan tidak
memiliki peran sama sekali. Pola kompetisi antara ketiga parpol yang ada pun tetap tampak
terutama menjelang pemilu setiap lima tahun. Ciri sistem partai tunggal tak terpenuhi di sini.
Namun ciri sistem multi partai, yaitu kekuatan yang imbang antara partai-partai politik
sehingga setiap parpol akan mampu menandingi kekuatan parpol lain, juga tak terpenuhi. PPP
dan PDI, bahkan dengan menggabungkan kekuatan mereka pun, tidak akan mampu
menandingi kekuatan Golkar. Klasifikasi sistem satu, dua, dan multi partai jelas kurang
memadai untuk digunakan sebagai kacamata analisis untuk mengamati sistem kepartaian
Indonesia.
Sebuah jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan itu agaknya dapat diambil dari Dr
Afan Gaffar2 yang mengidentifikasi sistem kepartaian Indonesia saat ini sebagai sistem
kepartaian hegemonik (hegemonic party system), istilah yang diperkenalkan pertama kali
oleh La Palombara dan Weiner.3 Ciri sistem kepartaian ini adalah, Golkar sebagai partai
hegemonik terus-menerus mendominasi kekuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya
secara formal ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai hegemonik
itu.4 Hegemoni Golkar itu dimungkinkan oleh beberapa faktor yang telah dirancang dengan
baik, yaitu: (1) Penciptaan aparatur keamanan yang represif untuk menegakkan dan menjaga
kelangsungan tertib politik di dalam negeri; (2) Proses depolitisasi massa untuk sepenuhnya
diarahkan pada kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi; (3) Restrukturisasi partai-partai
politik yang ada; dan (4) Penciptaan undang-undang pemilu serta prosesnya yang dapat
menjamin Golkar menang dalam setiap pemilu.5
Dalam sistem kepartaian hegemonik ini peran PPP dan PDI praktis sangat sedikit.
Akses mereka terhadap kekuasaan hanya sampai pada lembaga legislatif, Yang inferior ketika
berhadapan dengan eksekutif. Sementara itu politik massa mengambang (floating mass) telah
memotong akar mereka pada lapisan masyarakat bawah. Akibatnya, partai-partai politik itu
2

Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992).
3 Ibid., h. 36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami tiga sistem kepartaian. Pertama, sistem multipartai pada
masa Demokrasi Liberal, di mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam suasana kompetitif, namun
tidak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas. Kedua, pada periode Demokrasi Terpimpin, yang muncul adalah apa
yang disebutnya 'No-party System". Tingkat kompetisi antar partai sangat rendah. Mereka hanya menjadi pemeran
pembantu bagi tiga pemeran utama dalam kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan PKI. Dan ketiga
adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak kemenangan besar Golkar dalam Pemilu 1971. Ibid, h. 35-36.
4 Ibid, h. 51-61.
5 Ibid., h. 37-38.

19

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


mengalami kesulitan kaderisasi dan rekrutmen aktivis yang cakap. Sementara aparat
pemerintahan sampai level terendah merupakan kader Golkar.
Kondisi kepartaian demikian, ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa
dalam polifik pengambilan keputusan (the politics of policy making) hubungan yang bersifat
pribadi (personal linkage) lebih menonjol daripada institutional linkage,6 memungkinkan
lembaga-lembaga non-partai memainkan peran yang lebih berarti daripada parpol.
Kelompok-kelompok kepentingan, misalnya, dapat menjadi sarana dan wahana bagi
masyarakat untuk dapat memiliki akses terhadap pembuatan keputusan dalam sistem politik
yang ada, jauh lebih efektif daripada parpol, sebab elit kelompok kepentingan selalu
membawa citra tanpa pamrih atau ikhlas, tidak haus kekuasaan, jujur dan dengan berbagai
karakter positif lainnya. Sementara itu elit partai selalu dicitrakan sebaliknya, seperti selalu
mementingkan kepentingan pribadi, terlampau banyak politicking, berpamrih dan lain-lain.7
Dalam konteks inilah maka Jam'iyah Nahdlatul Ulama sebagai salah satu kelompok
kepentingan (interest group) terbesar di Indonesia perlu memperoleh perhatian lebih serius
dalam kajian tentang kepolitikan Indonesia kontemporer. Selama ini, Nahdhatul Ulama8 yang
dianggap "sayap tradisionalis" umat Islam Indonesia kurang memperoleh perhatian ilmiah
yang memadai dari para pengamat politik, dibandingkan dengan Muhammadiyah, yang
dianggap "sayap modernis" umat Islam Indonesia. Ward9 misalnya mengeluh bahwa NU
adalah yang paling sedikit memiliki kelemahan internal dan paling sedikit mengalami
perpecahan internal, ironisnya, NU juga partai yang paling kurang dipahami dan paling
sedikit teramati." Hal yang sama dikemukakan Anderson.10 Ia melihat bahwa sedikit sekali
kalangan akademisi yang mengetahui tentang NU; belum ada disertasi doktor yang pernah
ditulis tentang NU, dan dia meragukan apakah akan segera ada disertasi tentang NU, padahal
NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di
Indonesia selama bertahun-tahun. Keluhan Ward dan Anderson itu memang dilontarkan
beberapa tahun lampau, namun relevansinya belum hilang sampai sekarang.

Afan Gaffar, "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional," dalam A. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek
Pembangunan Orde Baru (Solo: CV Ramadhani), h. 21.
7 Ibid., h. 22.
8 Nahdhah al-Ulama. Nahdhah berarti bangkit atau bergerak; ulama adalah bentuk plural dari kata 'alim yang secara
khusus berarti orang yang menguasai ilmu agama (Islam) secara mendalam. Jadi harfiah, Nahdhatul Ulama berarti
kebangkitan ulama. Selanjutnya disebut NU saja.
9 Ken Ward, The 1971 Election in Indonesia (CSAS, Monash University Press, 1974), sebagaimana dikutip dalam Heri Wasito,
NU dalam Pemilu 1971 (Skripsi FISIPOL-UGM, 1989), h. 3.
10 Benedict R.O'G. Anderson, Religion and Social Ethos in Indonesia (Clayton, Victory: Monash University, 1977),
sebagaimana dikutip dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES), h. 4.

20

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Sebuah ironi, mengingat bahwa NU adalah kelompok kepentingan dengan jumlah
anggota yang sangat besar, barangkali yang terbesar, di Indonesia hingga saat ini. Berapa
besar massa NU? Inilah estimasi Zamakhsyari Dhofier:

Dari hasil PEMILU tahun 1955 pemilih NU sebesar 18,4% dan pada PEMILU 1971
persentase naik menjadi 18,7%. Persentase sebesar itu terhadap jumlah penduduk Indonesia
sekarang yang diperkirakan sebesar 180 juta maka jumlah pendukung NU dapat diperkirakan
sebesar 33 juta orang.11

Perkiraan di atas memang didasarkan pada logika yang sangat sederhana, namun
angka yang disebutkan tentulah tidak jauh bergeser dari angka riilnya. Dengan demikian, NU
tidak sepatutnya mengalami nasib terabaikan, dan hanya memperoleh perhatian yang minim,
dalam kajian-kajian ilmiah politik dengan 30 juta lebih massa dalam naungannya itu.

Latar Belakang

NU didirikan di Surabaya tahun 1926 dengan sebuah pola dasar perjuangan yang
dikenal dengan "Khittah 1926". Pada awal berdirinya NU bukan merupakan partai atau
organisasi politik, melainkan sebuah jam'iyah diniyah atau organisasi sosial-keagamaan.
Namun, walaupun bukan organisasi politik, dimensi politik dalam aktivitas NU tidak kecil,
terutama karena dalam tujuan pendiriannya sejak awal telah terkandung muatan politik, yaitu
penggalangan nasionalisme di tengah iklim kolonial saat itu.12 Setelah beberapa tahun
bergerak semata-mata dalam kegiatan sosial-keagamaan, bergabungnya NU ke dalam MIAI
(Majlisul Islam A'la Indonesia) menandai mulai manifesnya orientasi politik organisasi ini.
Di dalam MIAI, NU bersama GAPI (Gabungan Politik Indonesia) turut aktif menyuarakan
tuntutan Indonesia berparlemen.13 MIAI, setelah melalui tahap-tahap metamorfosis, menjadi
cikal bakal Partai Masyumi di mana NU bergabung dan menyalurkan aspirasi politiknya di
masa awal kemerdekaan.
11

Zamakhsyari Dhofier, "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar Kekuatan dan Pengaruh NU," dalam S. Sinansari Ecip (ed.)
NU dalam Tantangan (Jakarta: Penerbit Al-Kautsar, 1989), h. 47.
12 Lihat Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h. 24-33. Lihat juga
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 64-65.
13 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 289-290.

21

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik
tersendiri, menyusul munculnya serangkaian kekecewaan NU terhadap Masyumi yang
berkaitan dengan masalah distribusi kekuasaan dalam struktur pimpinan partai federasi itu.14
Keluarnya NU dari Masyumi memungkinkan organisasi ini untuk lebih mengaktualisasikan
diri. Prestasi spektakulernya yang pertama diukir dalam Pemilu 1955. Walaupun dengan
masa persiapan yang lebih singkat dibandingkan partai-partai politik lain, NU mampu
menempati peringkat ketiga perolehan suara setelah PNI dan Masyumi. NU meraih 18,4%
suara dan 45 kursi di parlemen.15
Perkembangan selanjutnya membawa NU terlibat secara langsung dalam pasang-surut
kepolitikan nasional. Pada Pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru dan pemilu
kedua dalam sejarah Indonesia merdeka, NU memperbaiki prestasinya dengan menempati
urutan kedua setelah Golkar, dengan meraih 18,67% suara dan 58 kursi di parlemen.16 Dua
tahun setelah Pemilu 1971 dilakukan penyederhanaan kepartaian di Indonesia. Sembilan
partai politik yang ada disederhanakan sehingga hanya menjadi dua partai politik saja, di
samping Golkar. NU, bersama Parmusi, PSII, Perti, bergabung dalam PPP. Sementara PNI,
IPKI, Murba, Partai Katolik, dan Parkindo, berfusi dalam PDI.17
Baik PPP maupun PDI sebenarnya merupakan buah dari fusi yang tidak pernah
tuntas. PDI tersusun dari unsur-unsur yang masing-masing memiliki asas yang berlainan:
nasionalis, sosialis, Katolik, dan Kristen. Benang merah yang menyatukan keanekaragaman
asas itu sebenarnya rapuh dan mustahil dapat terikatkan tanpa adanya rekayasa pemerintah.
Begitu pula PPP. Sekalipun semua unsurnya berasaskan Islam, tapi masing-masing
memandang dan mempersepsikan asas itu dalam visi yang berbeda. Setidak-tidaknya,
terdapat dua aliran pemikiran utama dalam PPP, yaitu kelompok modernis yang secara
longgar terdapat dalam MI dan SI, serta kelompok tradisionalis dalam NU dan Perti.18
Fusi yang tidak tuntas itu menyebabkan perkembangan kedua partai tersebut selalu
diwarnai oleh konflik internal antar unsur yang seakan tidak pernah usai. Bahkan akhir-akhir
ini (1993), konflik dalam tubuh PDI telah melibatkan kekerasan fisik, sehingga tidak kurang
dari Kwik Kian Gie, seorang tokoh PDI, dalam otokritiknya menyayangkan kiprah partai
14

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 80-86.
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1966), Tabel 2, h.
434.
16 M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-surut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170.
Sebuah penelitian tentang NU dalam Pemilu 1971 pernah dilakukan oleh Heri Wasito. Lihat Wasito, op. cit.
17 Karim, ibid., h. 172.
18 Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT Grasindo, 1991), h. 9.
15

22

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


banteng ini yang tampak seperti "partai kampungan yang bisanya cuma berkonflik."19
Sementara dalam PPP, konflik internal tampak terpola sebagai pertentangan antara kalangan
modernis dan kalangan tradisionalis, terutama antara MI dan NU. Pada mulanya konflik itu
memang relatif laten, namun memasuki era 1980-an konflik NU-MI kian nyata, yang antara
lain menyangkut kedudukan dalam partai dan DPR. Sementara campur tangan pemerintah
dalam konflik internal itu semakin menguatkan MI vis a vis NU, maka kronologis keluarnya
NU dari Masyumi seolah terulang lagi. NU yang memendam kekecewaan terhadap PPP,
mulai menjelang Pemilu 1982 telah mengancam akan keluar dari partai itu. Ancaman ini
kemudian ternyata tidak main-main.
Pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983 membuahkan keputusan yang
mengejutkan, yaitu bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal, mendahului
organisasi massa mana pun.20 Keputusan itu ditegaskan kembali dalam Muktamar NU ke-27
tahun berikutnya di kota yang sama. Muktamar ini merupakan titik balik sejarah NU, sebab di
sini dilahirkan keputusan penting NU untuk kembali ke Khittah 1926.21 Salah satu makna dan
konsekuensi yang dibawa dalam keputusan ini adalah bahwa NU tidak lagi terikat dalam
PPP. Terlebih dengan diputuskannya kemudian tentang pelarangan perangkapan jabatan
antara pengurus NU dengan pengurus orpol, termasuk PPP, khususnya pengurus harian.
Keluarnya NU dari PPP kemudian disusul oleh aksi "penggembosan" NU terhadap PPP
menjelang Pemilu 1987. Dalam pemilu ini PPP mengalami kemerosotan perolehan suara
yang sangat drastis dibandingkan pemilu sebelumnya.22 Untuk menyimpulkan bahwa
kemerosotan perolehan suara PPP disebabkan oleh aksi penggembosan NU barangkali terlalu
tergesa-gesa. Tapi bahwa fenomena yang disebut pertama muncul setelah adanya fenomena
yang disebut belakangan, jelas tidak dapat dipungkiri.
Kembali kepada produk Muktamar 1984, dalam keputusan kembali ke Khittah 1926
pada umumnya dipandang terdapat makna bahwa NU memutuskan untuk tidak lagi
berpolitik. Konsekuensinya adalah adanya pemisahan tegas antara kegiatan-kegiatan politik

19

Wawancara TPI dengan Kwik Kian Gie, disiarkan di TPI dalam acara Selamat Pagi Indonesia, 23 Juli 1993.
Tentang penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU, lihat Einar M Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1989), h. 160-187.
21 Mengenai kronologis lahirnya keputusan kembali ke Khittah 1926, lihat antara lain, Kacung Marijan, Quo Vadis NU
Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 110-156.
22 Lihat Haris, op. cit, tabel 4, h. 121.
20

23

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dan kegiatan-kegiatan non-politik. Dan NU mencurahkan perhatiannya pada kegiatankegiatan non-politik (praktis), sosial-keagamaan, sebagaimana semangat tahun 1926.23
Tetapi benarkah NU mampu memusatkan perhatian dan mengarahkan aktivitasaktivitasnya semata-mata di bidang sosial-keagamaan dan sama sekali memalingkan muka
dari aktivitas politik? Kenyataan yang teramati memberikan jawaban negasi bagi pertanyaan
tersebut.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum menapaki kenyataan yang ada itu lebih
jauh. Pertama, sebagaimana disebutkan pada beberapa paragraf di muka, dalam tujuan
pendirian NU sejak awal pun telah terkandung muatan-muatan politik. Kalaupun gerakan NU
pada tahap-tahap awalnya tidak menonjolkan orientasi politiknya, itu hanya soal waktu.
Ketika orientasi politik yang embrional itu mulai meronta dan menuntut agar dirinya segera
dilahirkan dalam tindakan-tindakan riil dan tidak hanya tersimpan laten, maka bentuk
organisasional NU yang waktu itu masih murni jam'iyah diniyah tidak kuasa
membendungnya. Bentuk organisasilah yang kemudian menyesuaikan diri dengan orientasi
gerakan NU, dan bukan sebaliknya. Dalam catatannya tentang fenomena keluarnya NU dari
Masyumi untuk berdiri sebagai parpol tersendiri, Bambang Santoso Haryono menilai bahwa
tindakan yang juga merupakan upaya adaptasi terhadap orientasi politik yang kian kasat mata
itu sekadar merupakan perluasan wawasan yang harus dimainkan dalam rangka mencapai
tujuan (awal) keorganisasiannya, yaitu menegakkan syariat Islam secara murni berdasarkan
paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dianutnya.24 Penilaian ini cukup beralasan, sebab bagi
NU, fungsi organisasi hanyalah sekadar alat untuk mencapai tujuan. Itu berarti, bentuk
organisasi semata-mata bukanlah merupakan tujuan, apalagi tujuan akhir.25 Apapun bentuk
organisasi yang disandang NU dalam kala tertentu, hal itu terutama sekali haruslah dipandang
sebagai adaptasi diri terhadap konteks, yang setiap saat sangat dimungkinkan untuk berubah
sepanjang usaha pencapaian tujuan yang terkandung dalam nilai-nilai Ahlussunnah wal
Jamaah menghendaki begitu. Jadi, terlalu tergesa-gesa untuk mengestimasi bahwa
berubahnya bentuk organisasi NU kembali ke wujud organisasi sosial-keagamaan serta merta
akan melunturkan orientasi politiknya, betapapun secara formal telah ditetapkan untuk tidak
lagi berpolitik (praktis).

23

Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik Orde Baru," dalam Jurnal Ilmu Politik No. 9, h. 53.
Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU terhadap Keputusan Politik Muktamar 1984 (Tesis S-2, Fakultas Pasca
Sarjana UGM, 1990), h. 40.
25 Nilai ini tersirat, misalnya, dalam ungkapan seorang tokoh NU, KH Wahid Zaini: "kalau organisasi NU bubar, NU --secara
kultural-- masih ada." Lihat Marijan, Vadis, op cit., h. 190.
24

24

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Kedua, politik tampaknya telah telanjur menjadi sebuah elan NU, yang telah terasah
tajam sepanjang pergulatannya secara langsung dalam politik praktis selama kurun waktu tak
kurang dari 32 tahun (1952-1984). Karena itu, mustahil untuk memaksa NU sepenuhnya
meninggalkan arena politik dan diam menjadi penonton pasif. Hal ini tentu saja disadari oleh
para elit NU, termasuk mereka yang menandatangani keputusan untuk kembali ke Khittah
1926. Tampaknya dilandasi oleh kesadaran inilah, maka pada konsideran Keputusan Munas
Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 Tentang Pemulihan Khittah NU 1926, yang
kemudian dikukuhkan dengan keputusan Muktamar NU No. 01/MNU-27/1984, antara lain
disebutkan bahwa:

Dalam kurun waktu yang cukup lama, secara tidak disadari Nahdhatul Ulama telah
menjadi kurang peka dalam menanggapi perkembangan keadaan, khususnya yang
menyangkut kepentingan umat dan bangsanya. Salah satu sebab ialah keterlibatan yang
berlebihan dalam kegiatan politik praktis ... 26

Pemakaian kata "berlebihan" dalam konsideran di atas tentu bukannya tanpa makna.
Agaknya, yang dimaksud oleh para perumus keputusan tersebut dengan "pemulihan Khittah
1926" bukanlah sama sekali turun dari pentas politik, melainkan meminimalkan keterlibatan
"yang berlebihan" dalam politik itu, yang menyebabkan tokoh-tokoh NU akhirnya hanya
memikirkan kepentingan dan ambisi politik pribadinya saja, sementara kepentingan
umat/warga NU terabaikan. Keterlibatan dalam politik dengan demikian tetap ditolerir,
sejauh tidak berlebihan, dan didedikasikan kepada "kepentingan umat dan bangsanya.
Hampir tidak ada, atau sedikit sekali, kalangan ulama/kiai NU yang berpandangan
demikian. Tidak kalah cerobohnya adalah kebanyakan pengamat yang serta-merta
menafsirkan bahwa dengan kembali ke Khittah 1926 NU akan meninggalkan gelanggang
politik sama sekali. Sementara kelompok politisi NU ternyata masih menginginkan
kepolitikan praktis bagi NU. Salah satu tokoh yang cukup vokal adalah Mahbub Djunaedi,
salah seorang Ketua PB Tanfidziyah NU (1984-1989) dan anggota Mustasyar (1989-1994).
Menjelang Munas Alim Ulama NU 1987, Mahbub melontarkan gagasan agar NU kembali
berpolitik praktis, walaupun telah menyatakan diri kembali ke Khittah 1926. Gagasan ini
kemudian dikenal sebagai "Khittah Plus."27 Menurutnya, dengan jumlah massa yang begitu
26
27

Lihat Sitompul, op, cit, Lampiran 2, h. 209. Cetak miring dari Penulis.
Mahbub Djunaedi, "Khittah Plus," Tempo, 7 Nopember 1987.

25

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


besar, tidak semestinya NU hanya berdiam pasif di luar pagar arena politik dan hanya
berfungsi sebagai pemberi suara saja. Ia bahkan memberikan usulan yang sulit terealisir agar
NU kembali menjadi partai politik. Dalam keyakinannya, jika warga NU ditanya satu per
satu, masih banyak yang menginginkan NU jadi parpol "jika keadaan memungkinkan."28 Satu
hambatan besar bagi gagasan Mahbub itu adalah bahwa keadaan sama sekali tidak
memungkinkan. Menjadikan NU sebagai parpol adalah sangat mustahil, sebab itu akan
berbenturan dengan peraturan perundangan yang ada.
Nuddin Lubis, mantan Wakil Ketua DPR RI, mempunyai pandangan yang lebih
rasional dan pragmatis, sebab ia tidak sampai mengusulkan agar NU kembali menjadi
parpol.29 Lubis secara implisit menyarankan agar NU kembali memiliki ikatan dengan salah
satu orpol sebagai saluran resmi aspirasi politik warganya. Keadaan NU yang mengambang
saat ini jelas tidak menguntungkan warganya. Demikian pula jika dilihat dari kacamata
objektif bahwa hal itu berarti potensi jutaan sumber daya insani yang terwadahi dalam NU
tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan negara, bangsa dan pemerintah.
Khittah 1926 sendiri perlu dikaji secara mendalam dan dirinci lebih jelas agar warga NU
dapat lebih memahaminya. Lubis yakin bahwa Khittah 1926 membenarkan NU aktif
berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis. Sebab sejak NU baru didirikan, dengan Khittah
1926 sebagai garis perjuangannya, organisasi ini terus terlibat dalam politik praktis.
Keinginan untuk tetap berpolitik, dengan segala variannya itu, akhirnya memang mesti
berbenturan dengan pandangan umum kebanyakan para ulama NU yang memiliki penafsiran
sendiri tentang Khittah. Mereka tetap bersikukuh dalam klaim bahwa kembali ke khittah
1926 berarti NU tidak lagi berpolitik.
Namun klaim itu tampaknya tetap tinggal jadi klaim saja. Orientasi politik NU
ternyata tak pernah surut, dan warna politik dalam kiprah NU tampaknya tidak pernah pudar.
Salah satu peristiwa monumental yang membuktikan hal itu adalah dilangsungkannya Rapat
Akbar NU menjelang Pemilu 1992 yang berhasil menghimpun ratusan ribu warga NU.
Dilihat dari jumlah keseluruhan warganya yang puluhan juta orang, angka ratusan ribu yang
terhimpun itu memang kecil. Tapi jika dilihat bahwa rapat akbar itu dilaksanakan tepat pada
hari pertama larangan Mendagri untuk mengadakan pertemuan-pertemuan umum karena

28

Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Arief Afandi di Jawa Timur sedikit banyak mendukung keyakinan Mahbub
ini. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa hampir separo dari pemimpin NU di wilayah penelitian tersebut masih
cenderung memiliki orientasi yang berbobot politik daripada "non-politik." Lihat Arief Affandi, "NU: Transformasi yang
Belum Usai," Jawa Pos, Juni 1993.
29 Lihat Nuddin Lubis, "Jangan Berlarut-larut warga NU Mengambang," dalam S. Sinansari Ecip (ed.), op. cit,h. 37-46.

26

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


sudah mendekati pemilu,30 angka di atas jadi berbicara lain. Di tengah kontroversi akan
makna yang dikandungnya, Rapat Akbar itu secara atraktif telah membuktikan kapasitas
seorang Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU. Ia bukan saja mampu menunjukkan
besarnya dukungan warga NU terhadapnya namun juga telah menempatkan pemerintah pada
pilihan yang sulit dan dilematis. Untuk tidak memberi izin pelaksanaan rapat akbar
pemerintah terbentur pada isu keterbukaan yang telah turut digembar-gemborkannya,
sementara untuk begitu saja mengizinkan terasa begitu riskan. Rapat Akbar NU 1992, yang
meskipun disangkal sebagai politik praktis namun oleh Sekjen PB NU Ichwan Syam diakui
sebagai sebuah langkah politik,31 tentu mengagetkan banyak pengamat yang telah terlanjur
mapan dalam kesimpulan bahwa kembali ke khittah berarti surutnya kepolitikan NU.
Mozaik NU pasca 1984 memang tampak rumit. Warna-warni yang kian beranekaragam yang muncul dalam aktivitasnya dapat menyilaukan mata para pengamat, jika mereka
tidak berdiri dalam sudut pandang yang tepat serta dengan kacamata yang tepat pula dalam
menganalisis NU. Andree Feillard,32 menyadari betul hal itu. Penilaiannya tentang NU
dikutip agak panjang di sini:

NU telah memilih untuk melaksanakan hijrah dengan caranya sendiri, dalam suatu
bentuk yang lunak. Yaitu: meninggalkan pertarungan kekuatan dalam PPP, dan memusatkan
diri dalam upaya membangun kembali (konsolidasi) kekuatannya telah sangat melemah
setelah bertahun-tahun bertarung dengan pemerintah, namun tetap memasuki sistem yang ada
sekarang. Ketimbang meminta PPP untuk bertarung untuk kepentingannya, NU mencoba
mempertahankan kepentingannya lewat siapa saja yang menawarkan diri: bisa jadi itu
Golkar, tapi sering pula melalui Presiden sendiri. NU tahu bahwa DPR, yang meniru model
parlementer ala Barat, telah kehilangan pengaruhnya dalam lobi politik, sebagaimana
kebanyakan kasus di negara-negara Dunia Ketiga. NU setengahnya menolak sistem ini, tetapi
juga mengeksploitasinya dengan lebih cerdik lagi. Ambiguitas ini tampak dalam semua
langkah yang diambil NU: bahkan sejak Situbondo (kembali ke khittah), dan akan selalu
mewarnai pertanyaan yang berkisar seputar khittah.33

Di bagian lain, Feillard juga mengingatkan bahwa pada saat ini,

30

Editor No. 25, 7 Maret 1992, h. 13.


Ibid., h. 16
32 Andree Feillard, "Isyarat Politik setelah Situbondo," dalam ibid., h. 30-31.
33 Ibid., h. 32.
31

27

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


NU mungkin bukan suatu gerakan politik ..., tetapi ia tetap suatu kekuatan politik.
Dengan demikian, ia tidak bisa menjauh dari politik sama sekali.34

Jika asumsi Feillard ini dapat disetujui, dan tampaknya memang demikian, maka
agenda NU adalah mencari model kepolitikan yang tepat dalam kapasitasnya saat ini. Pada
era sebelum 1984, ketika NU masih berupa partai politik maupun ketika bergabung dalam
PPP, model kepolitikan itu cukup jelas dan tidak terlalu menjadi persoalan. Lepas dari
masalah efektivitas, kepentingan dan aspirasi politik warganya dapat secara langsung
tersalurkan melalui badan legislatif di mana NU turut memiliki kursi. Namun setelah 1984,
model kepolitikan NU jelas memerlukan formulasi baru. Dan ini bukan merupakan persoalan
yang dapat dikatakan mudah, mengingat masih ada perbedan pendapat di kalangan elit NU
sendiri akan makna kembali ke khittah itu dalam implikasi politiknya. Berdasarkan semua
uraian-uraian di atas, maka buku ini akan mencoba menjawab beberapa permasalahan tentang
dinamika NU dalam implementasi keputusan untuk kembali ke Khittah 1926, arah dinamika
itu, dan model kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi Khittah.

Kerangka Konseptual

Salah satu "keuntungan" dalam mempelajari NU adalah tersedianya seperangkat


kerangka nilai yang telah "terkodifikasi" dan secara konsisten menjadi acuan jam'iyah ini
dalam hampir semua perilakunya, dan karenanya dapat menjadi salah satu penjelas perilakuperilaku itu. Namun untuk setidaknya dua alasan: pertama, sangat kontekstualnya pola
aplikasi kerangka nilai itu, baik menurut konteks "siapa" yang melaksanakannya maupun
konteks "kapan" nilai itu diaplikasikan,35 dan kedua, bahwa sebagai kelompok kepentingan
NU merupakan infrastruktur yang hidup dalam sistem politik Indonesia, maka kajian tentang
NU pertama sekali harus dilakukan dengan meletakkannya dalam konteks makro kenegaraan
Indonesia, khususnya Orde Baru.

Orde Baru: Perspektif Kultural

34
35

Ibid.
Wawancara penulis dengan Drs. Kacung Marijan di FISIP Unair, Surabaya, 22 Juni 1993.

28

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Pada pokoknya terdapat dua pola umum dalam memandang kepolitikan Orde Baru,
yaitu pandangan yang cenderung memakai pendekatan kultural dan yang menekankan
pendekatan struktural. Dalam pendekatan terakhir, biasanya ekonomi dan organisasi negara
menjadi variabel penting. Para penganut perspektif kultural meyakini adanya kontinuitas
sejarah: banyak sekali karakteristik kepolitikan Indonesia modern yang merupakan
"reinkarnasi" tradisi politik Jawa sejak era pra-kolonial. Benda,36 misalnya, menilai
otoriterisme di Indonesia jauh berakar dalam sejarah bangsa ini. Karena itu, Demokrasi
Konstitusional, demokrasi "asing" yang pernah dicoba penerapannya di Indonesia pada 1950an, akhirnya gagal.
Sementara penganut perspektif kultural lain, seperti Anderson37 dan Fachry Ali,38
secara lebih eksplisit membuktikan banyaknya paham dan budaya poiitik Jawa yang
terefleksi pada karakteristik baik rezim Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru. Bukan
kompetensi kajian ini untuk melihat refleksi itu dalam detil. Namun tetap perlu untuk setidaktidaknya melakukan overview terhadap beberapa aspek yang menonjol dalam konsep Jawa
tradisional tentang kekuasaan. Mengacu pada Anderson, aspek-aspek itu meliputi empat hal.39
Kekuasaan itu konkret. Lepas dari persoalan siapa yang menggunakan, yang pasti
kekuasaan itu ada. Lebih dari sekadar anggapan teoritik, maka kekuasaan sebenarnya adalah
suatu "kenyataan eksistensial yang terwujud". Kekuasaan adalah energi yang tak teraba,
misterius, bersifat agung, serta termanifestasi dalam setiap aspek dunia alamiah: dalam batu,
kayu, awan dan api, dan terutama dinyatakan dalam misteri kehidupan yang terpokok, yaitu
proses generasi dan regenerasi. Dalam alam pikiran tradisional Jawa tidak ada pemisahan
yang tajam antara zat-zat organis dan anorganis, karena semuanya ditopang oleh kekuatan tak
terlihat yang sama.
Kekuasaan itu homogen. Semua kekuasaan mempunyai jenis yang sama serta berasal
dari sumber yang sama. Kekuasaan di tangan individu atau kelompok tertentu adalah identik
dengan kekuasaan di tangan individu atau kelompok lain mana pun.
Besarnya kekuasaan di alam semesta adalah konstan. Alam semesta tidaklah
mengendor atau mengerut. Jadi jumlah kekuasaan di dalamnya pun tidak berubah, meskipun
36

Harry J. Benda, "Democracy in Indonesia: A Review Article," dalam Journal of Asian Studies, 23, 3 (May 1964), seperti
dikutip dalam Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1989), h.2.
37 Benedict R.OG. Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture," dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in
Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972).
38 Fachry Ali, Refleksi Paham "Kekuasaan Jawa" dalam Indonesia Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1986).
39 Anderson, op.cit. h.7-8.

29

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


pembagian kekuasaan itu barangkali bisa berubah. Itu berarti, terputusnya kekuasaan di satu
pihak mengharuskan pengurangan kekuasaan di tempat lain.
Dalam kerangka inilah agaknya dapat dijelaskan, di samping penjelasan-penjelasan
lain, mengapa fusi partai-partai politik di tahun 1973 menjadi penting untuk dilakukan:
semakin sedikit jumlah parpol semakin sederhana pola distribusi kekuasaan yang ada, dan itu
berarti semakin mudah kekuasaan dipusatkan. Sebab berkaitan dengan sifat kekuasaan yang
jumlahnya konstan, maka indikator utama adanya kekuasaan di tangan seseorang adalah
kemampuannya untuk memusatkan: memusatkan kekuasaannya sendiri, menyerap kekuatan
dari luar, dan memusatkan dalam dirinya apa yang tampaknya bertentangan.40 Sukarno
pernah mencoba menegaskan kekuasaannya dengan melakukan sintesa ideologis terhadap
nasionalisme, agama dan komunisme, dalam Nasakom. Tapi Suharto lebih berhasil ketika
mengharuskan semua orpol dan ormas menerima Pancasila sebagai asas tuntutan dan
melepaskan ideologi khas masing-masing.
Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Karena semua kekuasaan berasal dari
satu sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu sendiri mendahului persoalan baik
dan buruk. Kekuasaan itu terlepas dari persoalan sah dan tidak sah, sebab yang penting:
kekuasaan itu ada. Dalam dasar pemikiran tentang kekuasaan yang keempat di atas,
pengertian yang implisit dibawa di situ adalah bahwa legitimasi kekuasaan adalah hal yang
inheren dalam eksistensinya. Artinya, jika suatu kekuasaan telah nyata ada, maka faktor
kedua yang secara bersamaan pasti ada ialah legitimasi bagi kekuasaan itu. Tidak jadi soal
apakah kekuasaan itu diperoleh melalui paksaan kekuatan fisik, seperti kudeta. Jika pelaku
kup itu berhasil mengambil alih kekuasaan, itu berarti ia memang memiliki legitimasi untuk
berkuasa. Sebab jika tidak, ia pasti gagal. Tentu saja suatu regim tidak dapat semata-mata
mendasarkan kekuasaannya pada legitimasi otomatis minimal itu, melainkan diperlukan
faktor-faktor lain sebagai penguat legitimasi tersebut.
Dalam kasus Orde Baru pun dapat diamati beberapa hal yang secara kultural
menguatkan pengabsahan kekuasaan regim ini setidak-tidaknya dalam alam bawah sadar
pemikiran Jawa tradisional dalam jumlah yang sama.
Pertama adalah berkaitan dengan identifikasi utama Orde Baru sebagai "regim
militer". Jika dalam pandangan Barat sebuah regim militer barangkali mempunyai cap negatif

40

Ibid. h.13

30

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


tertentu, maka tidak demikian halnya dalam pandangan kekuasaan Jawa tradisional. Sejak
dahulu dalam kerajaan-kerajaan Jawa, tentara memiliki kedudukan penting. Sedemikian
pentingnya kedudukan militer itu dapat terlihat dalam kenyataan bahwa raja-raja Jawa yang
besar pertama-tama adalah seorang jenderal (panglima perang) yang besar pula.41 Raja adalah
negarawan, manipulator simbol-simbol kerajaan dalam konotasi agama, pemilik kerajaan
yang mengandung potensi perlawanan, dan, tak jarang, pembaharu sastra. Variasi raja
berbakat itu tidak akan muncul tanpa keterampilan militer. Dan tanpa itu, seorang raja tidak
akan mampu mengontrol daerah-daerahnya yang relatif jauh, yang biasanya otonom.
Konsolidasi wilayah kerajaan pun pada umumnya dilakukan dengan kekuatan bersenjata.
Karena itulah kedudukan militer menjadi sangat penting dalam kerajaan-kerajaan Jawa
tradisional. Dari sini dapat dipahami mengapa Sukarno di masa kekuasaannya selalu
menonjolkan kapasitasnya sebagai Panglima Tertinggi ABRI belakangan juga Penguasa
Perang Tertinggi (Peperti), dan dalam setiap penampilan resminya selalu mengenakan
uniform militer lengkap. Suharto, tentu tidak perlu sampai bersusah payah seperti
pendahulunya itu.
Penguatan keabsahan berikutnya sedikit-banyak berkaitan dengan konsep Ratu Adil:
munculnya raja yang adil dan bijaksana sesudah masa kekacauan dan kemerosotan moral
yang parah. Legitimasi kultural terhadap Orde Baru adalah karena Suharto, figur sentralnya,
dipandang telah memperoleh pulung untuk berkuasa. Inilah cara pengesahan yang paling
mengesankan bagi budaya Jawa. Pulung, adalah cahaya suci yang memberi seseorang
kekuatan untuk berkuasa. Ia juga merupakan sarana transformasi kekuasaan: wahyu
meninggalkan seorang raja yang tutup usia, atau yang telah pasti keruntuhannya, dan beralih
kepada calon penguasa baru.42
Naiknya militer ke puncak kekuasaan di masa Orde Baru di samping memiliki
legitimasi kultural yang kuat juga membawa agenda permasalahan kultural, khususnya bagi
kekuatan politik Islam. Menurut Emmerson43, problematika Orde Baru sebenarnya berakar
pada pembagian kultural masyarakat Indonesia atas santri, abangan, dan priyayi44, sehingga
41

Peter Britton, Military Professionalism in Indonesia: Javanese and Western Military Tradition in The Anny Ideology (MA
Thesis, Monash University,1983), sebagaimana dikutip dalam Fachry Ali, op. cit., h. 170.
42 Mengenai konsep pulung ini, Iihat ibid., h. 66-68; lihat juga Anderson, op. cit., h. 25-28.
43 Donald K. Emmerson, Indonesia's Elite: Political Culture and Cultural Politics (lthaca Cornell University Press, 1976),
sebagaimana dikutip dalam Haris, op. cit., h. 26
44 Pembagian ini mengacu pada pendapat Geertz, yang telah memperkenalkan terminologi tradisional Jawa tersebut ke
dalam ilmu sosial Barat. Kata santri mengacu pada komunitas kaum muslim yang berpegang teguh pada hukum dan tatakebiasaan Islam. Kelompok ini terkadang berselisih paham dengan orang-orang yang secara nominal Islam namun
menekankan pada sinkretisme dari kepercayaan animisme dan mistik dengan polesan Islam dan Hinduisme yang disebut

31

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


ketika militer yang mewakili tradisi abangan dan priyayi tampil ke puncak panggung
kekuasaan, dengan sendirinya golongan (kekuatan politik) Islam tersingkir. Senada dengan
Emmerson, Jenkins45 membuat catatan bahwa:

...usaha-usaha untuk menyusun doktrin militer yang koheren berlangsung pada saat
sedang bertumbuhnya kerenggangan antara tentara dan kekuatan Islam politik, sebuah
kerenggangan yang kurang-lebih merupakan latar belakang kepolitikan Indonesia selama
tahun 1975-82. Perbedaan-perbedaan antara tentara dan Islam politik memiliki akar dalam
basis perpecahan yang terdapat antara dua orientasi budaya Jawa yaitu antara santri, ... dan
abangan, ... Perbedaan-perbedaan ini, yang dipertajam selama revolusi oleh bentrokan antara
unit-unit tentara reguler dengan laskar-laskar gerilya yang berorientasi pada kelompokkelompok politik muslim, tanpa terkecuali telah mengarahkan kedudukan agama dalam
negara.46

Kerenggangan antara pemerintah dengan kekuatan politik Islam selama kurun waktu
tertentu pernah sedemikian parah, sehingga terkesan bahwa penyakit "Islamo-phobia" telah
menjangkiti para penguasa. Tentang ini, Jenkins mendeskripsikannya dengan agak dramatis:

Dua dari empat anggota kelompok inti ini --Ali Murtopo dan Yoga Sugama-- adalah
orang Jawa abangan dari propinsi asal Suharto di Jawa Tengah. Sementara yang lainnya
Sudomo dan Murdani-- adalah Kristen Jawa. Hal ini merupakan faktor yang mempengaruhi
apa yang dikenal dengan "Islam-phobia" dari kelompok yang berkuasa. (Di masa Pemilu
1977, Suharto menerima I.J. Kasimo, Frans Seda, dan beberapa pimpinan Partai Katolik dulu.
Sebelum kelompok ini dipersilahkan duduk, dikisahkan bahwa Presiden menyatakan: "Lawan
kita bersama adalah Islam").47

Salah satu warisan sejarah bagi negara Indonesia modern adalah teralienasinya lslam
dan kekuasaan, siapa pun yang berkuasa. Kuntowijoyo48 menyebutkan bahwa alienasi dan
oposisi Islam terhadap pemerintah dan birokrasi memiliki akar sejarah yang panjang hingga
ke jaman Kerajaan Mataram di abad XVlll. Perkembangan sejarah mematangkan kondisi ini
sehingga akhirnya memunculkan mitos tentang pembangkangan Islam terhadap penguasa.
kaum abangan. Varian lain, priyayi, yang pada mulanya menunjuk pada kalangan aristokrasi, adalah kelompok yang
menekankan nilai-nilai Hinduisme yang berakar pada Kraton Hindu Jawa terdahulu. Lihat Cliffort Geertz, Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 6-9.
45 David Jenkins, Suharto, and His General lndonesian Military Politics 1975-1983 (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project,
1984)
46 Ibid., h. 6
47 Ibid., h. 9
48 Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Jakarta: Penerbit Mizan, 1991) khususnya Bab IV (Serat Cebolek dan Mitos
Pembangkangan Islam) dan Bab V (Agama, Negara dan Formasi Sosial), h. 123-156.

32

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Mitos ini seolah tak hendak padam ketika sebagian besar pemberontakan separatis pascakemerdekaan selalu membawa label Islam. Pemberontakan Dl/TII pimpinan Kartosuwiryo
dengan pendukung utama laskar Hizbullah, yang nota bene berafiliasi ke NU, dan laskar
Sabilillah di Jawa Barat49, serta keterlibatan sejumlah pimpinan Masyumi dalam
pemberontakan PRRI, yang telah menewaskan banyak prajurit TNI50, adalah dua contoh
penting gerakan separatisme yang mengikuti alur mitos di atas.51 Militer tentulah pihak yang
paling banyak merasakan kesusah-payahan fisik akibat semua pemberontakan itu. Antipati
militer terhadap kekuatan politik Islam yang secara pelan tapi pasti terus terbentuk. Dan
ketika mereka (militer) berhasil naik ke puncak kekuasaan, mereka tidak ragu lagi untuk
menerapkan kontrol ketat terhadap kekuatan politik Islam. Bahkan tema utama penolakan
Suharto terhadap upaya rehabilitasi Masyumi adalah keterlibatan yang telah disebut di atas.
Ditegaskan bahwa, "Faktor-faktor hukum, politik dan psikologis telah mendorong ABRI
berpendapat, tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi."52 Tidak terlalu
meleset untuk menyimpulkan bahwa, selama kurun waktu tertentu pemerintah (ABRI) dan
Islam hidup dalam suasana yang kurang harmonis sehingga membawa kekuatan politik Islam
pada posisi defensif.
Namun memasuki era 1990-an, realitas baru telah muncul dan seolah-olah
menggambarkan perubahan wacana politik Indonesia. Semakin menguatnya kedudukan kelas
menengah Muslim, dari kalangan akademisi, usahawan, profesional, bahkan birokrat di
tengah kehidupan bangsa telah mengubah sosiologi dan politik umat Islam Indonesia.
Terbentuknya ICMI dengan demikian dapat dipandang sebagai konsekuensi logis dari
menguatnya kelas menengah tersebut. Salah satu implikasi penting yang dibawa oleh
fenomena ini adalah mulai runtuhnya mitos pembangkangan kaum santri.53 Berangkatnya
Presiden Suharto sekeluarga ke Tanah Suci tak kurang turut memberi makna simbolis yang
penting bagi umat Islam dalam kepolitikan nasional.

49

Lihat antara lain, Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, alih bahasa Hassan Basari Jakarta (LP3ES, 1988),
h. 77-78.
50 Tentang keterlibatan ini, lihat Suswanto, Masyumi dan PRRI, Analisis Keterlibatan Beberapa Tokoh Masyumi dalam
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Skripsi Fisipol- UGM, 1977)
51 Tidak semua kalangan, tentu, setuju begitu saja dengan anggapan minus tersebut. Nurcholish Madjid, misalnya. Ia
menilai bahwa beberapa poin yang seolah menandai kesenjangan antara Islam dan pemerintah adalah sekadar peristiwa
kesejarahan insidental, dan bukan refleksi pandangan keagamaan yang esensial. Tentang gerakan-gerakan separatisme
yang berlabelkan Islam, ia mempertanyakan: "Sampai di mana gerakan mereka merupakan hasil renungan ideologis
berdasarkan Islam, dan sampai di mana pula merupakan bentuk reaksi mereka dalam situasi revolusioner karena
perkembangan atau perubahan politik praktis tertentu yang, kebetulan mereka tidak setuju atau merasa dirugikan
olehnya?" Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. xclx
52 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, alih bahasa TH Sumartana (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), h. 292.
53 Tentang munculnya penambahan ini, lihat A. Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta : Sipress, 1991).

33

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Bagaimanakah fenomena ini seharusnya dipersepsikan? Apakah serta-merta dapat
disimpulkan bahwa cultural cleavage santri versus abangan/priyayi yang sebelumnya jelas
terefleksi dalam kesenjangan antara Islam dan pemerintah telah berakhir? Di sini, sudah pasti
bahwa argumen-argumen kultural kurang mampu untuk memberikan penjelasan yang
memuaskan.54 Untuk itu diperlukan adanya imbangan penjelasan alternatif dalam perspektif
struktural.

Orde Baru : Perspektif Struktural

Orde Baru lahir sebagai sebuah grand coalition yang meliputi hampir semua
kelompok-kelompok sosial yang tersingkir di masa Demokrasi Terpimpin. Koalisi ini
sebenarnya sangat heterogen, yang disatukan semata-mata oleh kesamaan tujuan tertentu, itu
pun sangat bersifat insidental. Tak heran, ketika tujuan yang mempersatukan itu tercapai,
angin sejarah selama beberapa waktu telah merontokkan sebagian eksponen koalisi itu satu
per satu pada setiap aliran masing-masing. Yang tersisa kemudian hanyalah beberapa
eksponen kuat tertentu, terutama militer yang merupakan satu-satunya aktor politik yang
tetap survive di antara tiga aktor dalam segitiga kekuasan Demokrasi Terpimpin, setelah dua
yang lain, Sukarno dan PKI, tersingkir dalam masa transisi 1966-1967. Eksponen lain adalah
para teknokrat yang merupakan mitra utama militer dalam koalisi tersebut.
Permasalahan yang segera dihadapi oleh Orde Baru adalah warisan krisis dari regim
sebelumnya meliputi ambruknya perekonomian nasional dan, tak kalah peliknya, instabilitas
politik yang parah sebagai epilog dari percobaan kudeta yang gagal oleh G-30-S, yang oleh
sementara kalangan disebut-sebut sebagai didalangi oleh PKI.55 Regim baru itu tak pelak lagi
telah berhadapan dengan pilihan-pilihan politik dan ekonomi yang sulit dalam upaya
pembenahan itu, sementara sumber penghasilan negara masih sangat terbatas. Pilihan yang
paling masuk akal bagi para pimpinan

Orde Baru akhirnya adalah: Strategi yang

memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta memainkan peran aktif --kendatipun masih


berada di bawah pengarahan pemerintah-- di dalam sistem pasar bebas dan yang
54

Mohtar Mas'oed telah menginventarisir beberapa kelemahan mendasar argumen kultural. Lihat Mohtar Mas'oed, op.
cit., h. 3-6.
55 Tidak pernah benar-benar terungkap secara ilmiah siapa sebenarnya dalang utama pengkhianatan G-30 S itu. Para
pengamat dan ilmuwan mempunyai dugaan yang beraneka ragam dan seringkali satu sama lain saling bertentangan.
Terlalu banyaknya fakta yang masih tertutup kabut hingga saat ini membuat semua perkiraan itu tampak sama-sama
mungkin dan sama-sama mustahilnya. Tentang dugaan dan penafsiran para pengamat itu, lihat Crouch, op. cit. h. 112-134.

34

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


memungkinkan pemanfaatan modal asing. Strategi ini menjanjikan hasil-hasil yang lebih
cepat tanpa memerlukan perombakan ekonomi yang mahal.56
Sementara dalam penerapannya digunakan strategi yang "berorientasi ke luar",
betapapun pada awalnya sempat muncul pertentangan pendapat sehubungan dengan adanya
pula keinginan untuk menggunakan strategi yang "berorientasi ke dalam".57 Segala
problematika yang dihadapi Orde Baru berikut solusi yang --mau tak mau harus-- dipilihnya
memunculkan karakteristik otoriterisme birokratik dari regim ini.58 Di samping itu, kenyataan
bahwa saat ini Orde Baru sedang mengupayakan industrialisasi besar-besaran telah
mengakibatkan perubahan struktur sosial baik pada tingkat elit maupun pada tingkat massa.
Mengacu pada O'Donnel, adanya political tensions akibat industrialisasi dan perubahan
struktur sosial baik pada level elit maupun level massa pada gilirannya juga mendorong
munculnya proses transformasi politik ke arah otoriterisme-birokratik.59 Dalam sistematika
yang dibuat oleh Mohtar Mas'oed

60

dengan menyesuaikannya terhadap konteks Orde Baru,

karakteristik mendasar regim otoriterisme birokratik menurut O'Donnel adalah: 1.


Pemerintahan dipegang oleh militer, yang --sebagai suatu lembaga-- bekerjasama dengan
teknokrat sipil. 2. Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik yang --bersama negaraberkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. 3. Pengambilan keputusan dalam
regim

OB bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam

pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan proses bargaining yang lama di antara berbagai
kelompok kepentingan. 4. Massa didemobilisasikan. 5. Untuk mengendalikan oposisi,
pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif.
Sendi terpenting munculnya kepolitikan otoriterisme-birokratik dengan demikian
adalah dukungan dan keterlihatan penuh militer dalam aktivitas pengelolaan regim baru ini.
Militer tak diragukan lagi adalah kelompok yang paling memenuhi persyaratan dan memiliki
kapabilitas untuk memikul beban berat yangmesti diemban oleh Orde Baru. Sebagai salah
satu kekuatan politik yang tangguh sejak Demokrasi Terpimpin militer pastilah telah bersiapsiap untuk melibatkan diri secara langsung dalam politik. Bahkan Dwi Fungsi ABRI yang
menjadi raison d'etre keterlibatan langsung itu telah dimatangkan dalam proses yang tidak
56

Mohtar Mas'oed, op. cit, h. 61.


Ibid.
58 Mohtar Mas'oed menyebutkan bahwa munculnya regim-regim OB di negara-negara berkembang seperti Indonesia
bersumber pada krisis-krisis ekonomi dan politik yang diwarisi dari regim sebelumnya dan yang diciptakan oleh
kebijaksanaan pemerintah 'membuka' ekonomi terhadap kapitalisme internasional. Lihat ibid., h. 16.
59 Guillermo O'Donnel, seperti yang diikhtisarkan dalam David Collier,"Overview of The Bureaucratic-Authoritarian Model",
dalam David Collier (ed.), the New Authoritarianisme in Latin America (Princeton: Princeton University Press, 1979), h. 25.
60 Mohtar Mas'oed, op. cit., h. 10.
57

35

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


bisa dibilang singkat sejak 1958.61 Namun berkaitan dengan profesionalisme militer itu
sendiri, maka seperti yang dikatakan oleh Yahya Muhaimin62 dalam diri militer secara
inheren terdapat semacam "technical inability to administrate", di samping sebenarnya juga
"lack of legitimacy to govern", mengingat kehidupan sosial lebih kompleks daripada
kehidupan militer. Karena itu militer akhirnya tetap merasa perlu untuk berkolaborasi dengan
kalangan sipil tertentu untuk menutupi celah di atas. Dan mengapa teknokrat yang dipilih,
maka tidaklah sulit untuk menemukan sebabnya. Di samping ketidakpuasan terhadap
kalangan politisi sipil yang sebelumnya telah kedodoran dalam mengelola politik dan
ekonomi negara, penyebab lain adalah karena baik militer maupun teknokrat mempunyai
orientasi yang sama dalam upaya memecahkan masalah sosial dengan cepat dan secara
politik netral.63
Sendi penting lain, berkaitan dengan karakteristik keempat di atas serta sedikit banyak
karakteristik kelima, adalah berlangsungnya mekanisme political exclusion (penyingkiran
politik). Menurut O'Donnel, salah satu kriteria penting regim OB adalah:

Apakah tindakan pemerintah ditujukan untuk menyingkirkan sektor populer kota yang
telah aktif sebelumnya dari area politik nasional. Penyingkiran ini berarti pemerintah
secara konsisten menolak untuk memenuhi tuntutan-tuntutan politik yang dibuat oleh para
pimpinan sektor ini. Ia juga berarti penghalangan akses sektor ini beserta pimpinannya
terhadap posisi dalam kekuasaan politik yang memungkinkan mereka mempengaruhi secara
langsung keputusan bagi kebijaksanaan nasional. Menyingkirkan politik dapat dilaksanakan
dengan kekerasan secara langsung dan/atau dengan menutup saluran akses politik melalui
pemilu.... menyingkirkan para aktor politik melibatkan suatu keputusan yang disengaja untuk
mengurangi jumlah orang yang memiliki pengaruh penting dalam menentukan apa yang
terjadi pada level kepolitikan nasional.64

Partai-partai politik secara mencolok telah menjadi obyek terpenting mekanisme


political exclusion di masa Orde Baru. Anggota inti koalisi Orde Baru, khususnya kalangan
perwira Angkatan Darat dan kelompok intelektual pembaharu, pada dasarnya memiliki
perasaan anti-partai yang mendalam. Di masa terdahulu, baik masa Demokrasi Liberal
maupun Demokrasi Terpimpin, parpol selalu merupakan pemegang saham terbesar dalam
setiap langkah ke arah instabilitas politik.
61

Tentang perkembangan rumusan dwi fungsi ini, lihat misalnya, Sundhaussen, op. cit., h. 219, passim.
Dr. Yahya A. Muhaimin, dalam kuliahnya (Militer di Negara Berkembang) di Fisipol UGM, tanggal 2 dan 9 Mei 1993.
63 R.S. Milne, "Teknokrat dalam Politik di Negara-negara Asia Tenggara", dalam Prisma No. 3, 1984, h. 40.
64 Guillermo O'Donnel, Modernization and Bureaucratic-Authoritarianism (Berkeley: Institute of International Studies,
University of California, 1979), h. 51-52.
62

36

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Perasaan anti-partai di kalangan para pendukung Orde Baru berimpit dengan perasaan
"anti-ideologi" mereka. Konflik ideologis dipandang sebagai dosa masa lalu yang tidak boleh
terulang lagi. Heterogenitas bangsa di masa sebelumnya telah sangat dipertajam oleh sekatsekat ideologis yang --sengaja atau tidak-- telah dibuat. Parpol, lagi-lagi, adalah pemegang
saham terbesar di sini.
Upaya menciptakan masyarakat yang bebas dari sekat ideologis itu berjalan simultan
dengan upaya menyingkirkan parpol ke posisi marjinal dalam sistem politik. Berbeda dengan
Sukarno, yang juga cenderung tidak menyukai partai politik tapi tetap memandang bahwa
ideologi adalah penting bagi kelangsungan revolusi, maka regim Orde Baru berusaha
meminimalkan kekuatan partai-partai politik dengan memaksa mereka melepaskan ideologi
khas masing-masing dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, di samping upaya lain
dengan jalan memotong akar parpol terhadap massa tradisional mereka.
Sikap anti-ideologis ini, dibarengi dengan munculnya sikap pragmatisme Orde Baru
untuk lebih memusatkan perhatian pada perbaikan dan pembangunan ekonomi, disadari atau
tidak telah menumbuhkan ideologi baru: ideologi pembangunan/modernisasi.65
Dalam kepolitikan OB, negara mempunyai tugas penting untuk melakukan kontrol
(pengawasan). Pelaksanaan peran ini dapat mengambil dua bentuk: tindakan represif yang
menekan sektor populer dalam masyarakat yang kadangkala dilakukan secara berlebihlebihan, atau berupa tindakan preventif untuk mengeliminir kondisi-kondisi yang dapat
memunculkan kembali pemimpin, organisasi, serta tuntutan dari sektor-sektor populer
terhadap kebijaksanan politik (juga ekonomi) exclusion yang dijalankan negara.66
Pergeseran dalam pola hubungan antara pemerintah dengan umat dan ormas Islam
yang belakangan muncul tampaknya mengikuti alur perubahan bentuk pengawasan dalam
kepolitikan OB itu. Mengendornya ketegangan dalam hubungan itu dimungkinkan oleh mulai
dikuranginya bentuk kontrol represif terhadap sektor-sektor populer Islam untuk digantikan
dengan bentuk kontrol yang lebih bersifat preventif.

65

Mohtar Mas'oed, op. cit., h. 132. Ideologi di sini harus dipandang dalam makna luasnya, yang dapat dipandang sebagai
"belief system". Hagopian menyebutkan bahwa ideologi dalam makna longgarnya adalah "set of political beliefs that
characterized any individual, group, political party, government, social class, or entire nations." Lihat Mark N. Hagopian,
Regimes, Movements, and Ideologies (NY-London: Longman Inc., 1978), h. 390.
66 Guillermo O'Donnel, "Corporation and The Question of The State", dalam James Malloy (ed.), Authoritarianism and
Corporatism in Latin America (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 19T7), h. 69.

37

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Di samping karakteristik OB di atas, regim Orde Baru juga menunjukkan ciri
korporatik dalam pengorganisasian negara dan masyarakat. Kenyataan bahwa proses
politisasi massa pada masa sebelumnya pernah mencapai tingkat intensitas yang begitu tinggi
menyebabkan negara tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan politik yang represif
begitu saja terhadap massa. Maka jika di satu sisi regim Orde Baru giat melakukan
depolitisasi besar-besaran, di sisi lain negara tetap membutuhkan mobilisasi rakyat sebagai
sumber daya penggerak ekonomi. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang pesat sangat
mungkin memunculkan kelompok-kelompok besar baru dengan kepentingannya sendiri yang
membawa tuntutan baru terhadap pemerintah, di samping kelompok-kelompok yang frustrasi
dan dapat menimbulkan masalah besar bagi regim. Terhadap kelompok-kelompok besar
dalam masyarakat, regim mesti dapat mengakomodasikannya tanpa menganggu keutuhan
regim, sementara terhadap kelompok-kelompok yang disebut belakangan, regim harus siap
mengendalikannya dengan cara memanipulasi saluran-saluran perwakilan.67 Mekanisme
eksklusi yang terdapat dalam kepolitikan Orde Baru diterapkan dengan jalan korporatisasi
negara sebagai suatu jaringan besar, sehingga dengannya konflik-konflik ideologis dapat
diminimalkan dan dikompensasikan ke arah tujuan-tujuan ekonomi.
Dengan membuat sintesa definisi Schimtter dan Gunter, Mohtar Mas'oed
mendefinisikan korporatisme sebagai:

Suatu perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam


organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan
(keanggotaan), tidak saling bersaing, diatur secara hirarkis dan dibedakan secara fungsional,
dan diakui dan diberi ijin (jika bukan diciptakan oleh negara dan diberi hak monopoli untuk
mewakili kepentingan dalam badan masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan mematuhi
pengendalian-pengendalian tertentu dalam pemilihan pimpinan mereka, dengan tujuan
menindas konflik kelas dan kelompok kepentingan serta menciptakan keselarasan,
kesetiakawanan dan kerjasama dalam hubungan antara negara dan masyarakat.68

Dari

definisi

ini,

korporatisme

dapat

dipandang

sebagai

sebuah

model

pengorganisasian antara negara dan masyarakat. Menurut Malloy, korporatisme merupakan


usaha untuk memobilisasi basis yang luas untuk mendukung pembangunan. Usaha ini

67
68

Mohtar Mas'oed, op cit., h. 12


Ibid., h. 13.

38

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dilakukan dengan cara-cara otoriter untuk meminimalkan konflik dan keterlibatan dalam
konflik.69 Untuk itu prasyarat yang harus dipenuhi adalah:

Militer profesional modern dengan identitas kelembagaan dan pandangan yang relatif
koheren tentang masyarakat dan peranan militer di dalamnya; kader teknokrat yang
teralienasi dari masyarakat dan mau bersekutu dengan militer untuk memperkuat
restrukturisasi masyarakat untuk memenuhi keinginan para teknokrat itu; dan kelompokkelompok yang mau menerima inisiatif-inisiatif yang disediakan oleh negara yang dikontrol
oleh militer-teknokrat.70

Malloy juga menyebutkan bahwa sebenarnya korporatisme merupakan sebuah tema


utama otoriterisme.71 Dalam kapasitas ini, regim-regim korporatis memiliki beberapa
karakteristik yang ditandai dengan struktur pemerintahan yang kuat dan relatif otonom yang
berusaha memaksakan pada masyarakat sebuah sistem perwakilan kepentingan yang
didasarkan pada pluralisme yang dibatasi secara paksa. Regim-regim ini mencoba untuk
menghilangkan artikulasi kepentingan yang spontan dan menumbuhkan sejumlah kelompok
yang secara otoritatif diakui dan berinteraksi dengan aparatur pemerintah dalam cara yang
telah ditentukan. Selain itu, kelompok-kelompok yang diakui itu lebih diatur dalam kategorikategori fungsional vertikal daripada kategori kelas horisontal dan diharuskan berinteraksi
dengan negara melalui pimpinan yang ditentukan dari asosiasi kepentingan yang secara
otoritatif disetujui.72
Sementara itu, Perlmutter73 memandang bahwa suatu negara korporatis, yang pada
hakekatnya merupakan suatu oligarki, biasanya didominasi oleh sebuah koalisi para politisi,
militer, teknokrat dan birokrat. Feature politiknya yang paling jelas adalah absennya partai
yang otonom dan kuat. Kebanyakan partai tidak lebih dari instrumen despot atau oligarki
yang korporatis. Demikian pula halnya kebijaksanaan yang ada. Satu catatan, negara
memegang dominasi hanya dengan dukungan yang aktif dari kelompok-kelompok korporatis
yang otonom, seperti militer dan teknokrat.

69

James M. Malloy, 'Authoritarianism and Corporatism in Latin America: The Case of Bolivia", dalam Malloy (ed), op. cit., h.
481.
70 Ibid., h. 482.
71 James M. Malloy, "Authoritarianism and Corporatism in Latin America: The Model Pattern", dalam Malloy (ed.), ibid.
72 Ibid.
73 Amos Parlmutter, Modern Authoritarianism (New Heavens and London: Yale University Press, 1981) h. 38-39.

39

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Bentuk pemerintahan korporatisme, menurut Schmitter74, secara sederhana memiliki
dua subtipe: subtipe korporatisme negara (state corporatism) dan subtipe korporatisme
masyarakat (societal corporatism). Jika yang disebut belakangan dicirikan oleh suatu sistem
perwakilan atau asosiasi kepentingan yang relatif otonom di mana aktivitas-aktivitas
dukungan terhadap negara dan pemerintah merupakan suatu legitimasi politik yang utama,
maka yang disebut pertama bercirikan dengan kuatnya penetrasi negara terhadap perwakilanperwakilan dan asosiasi-asosiasi kepentingan.75 Kedua subtipe ini dilihat dari dimensi
dinamisnya, merupakan produk dari proses-proses politik, sosial dan ekonomi yang berbeda.
Korporatisme masyarakat hadir dalam sistem politik yang memiliki posisi otonom
relatif. Unit-unit teritorial yang ada dalam masyarakat ini mempunyai ciri berlapis-lapis dan
terbuka. Di dalamnya terdapat sistem kepartaian dengan proses pemilu yang kompetitif
murni. Otoriterisme eksekutif korporatisme masyarakat didasarkan pada berbagai ideologi
dan koalisi, bahkan subkultur politik yang berlapis-lapis. Sebaliknya korporatisme negara
biasanya dikaitkan dengan sistem politik di mana sub-sub unit teritorial secara kuat
disubordinasikan ke dalam kekuatan sentral birokrasi. Pemilu tidak lebih dari sekadar
mekanisme formal, bahkan terkadang ditiadakan. Sementara sistem kepartaian yang ada
sangat didominasi oleh sebuah partai negara. Otoritas eksekutif secara ideologis bersifat
eksklusif, di mana rekrutmen dilakukan secara sempit. Tindakan-tindakan represif dilakukan
terhadap sub-sub kultur yang didasarkan pada kelas, etnis, bahasa, dan regionalisme.76
Orde Baru yang sangat birokratis dan otonom lepas dari kendali kekuatan sosial mana
pun secara konkrit dapat digolongkan sebagai bentuk pemerintahan korporatis dalam subtipe
korporatisme negara. Kemampuan negara masih terbatas untuk memenuhi tuntutan kelas
bawah, sementara upaya penciptaan ketenteraman sosial yang pada saatnya bermuara pada
stabilitas politik, sebenarnya mutlak menuntut adanya pemenuhan kepentingan kelompok ini
adalah salah satu masalah yang dialami pemerintah Orde Baru. Dilema ini diatasi bukan
dengan menggalang dan memasukkan mereka ke dalam sistem melainkan dengan menindas
dan menutup kemungkinan artikulasi kepentingan kelas bawah tersebut, pada saat
kepentingan kelas atas diakomodasi. Lembaga kepentingan dan kelompok-kelompok
kepentingan diletakkan di bawah kendali ketat pemerintah. Upaya menciptakan suatu sistem

74

Philippe C. Schmitter, "Still the Century of Corporatism?", dalam F.B. Pike dan T. Strilch (eds.), the New Corporatism
(Notre Dome: University of Notre Dome Press, 1974), seperti dikutip dalam Nur Iman Subono, Sebuah Studi Teori Bentuk
Pemerintahan Korporatisme (Skripsi FISIP UI, 1988) h. 41.
75 Ibid., h. 41-42.
76 Ibid., h. 44-45.

40

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


perwakilan kepentingan yang didasarkan pada pluralisme yang secara paksa dibatasi,
dilakukan dengan jalan restrukturasi sistem kepartaian hingga sedemikian rupa. Jalan lain
yang dipilih adalah menggabungkan kelompok-kelompok kepentingan ke dalam berbagai
organisasi korporatis yang didukung pemerintah, atau pemerintah melakukan penetrasi yang
kuat dan kontrol yang ketat terhadap kelompok-kelompok kepentingan itu, terlebih yang
memiliki asas primordialitas tertentu.
Tingkat intensitas penerapan tindakan dan pengawasan represif itu mempertegas
karakteristik kepolitikan otoriterisme-birokratik Orde Baru. Betapapun pola pengawasan
represif pada saatnya memang mulai menyurut, untuk secara berangsur digantikan oleh
bentuk pengawasan preventif seiring dengan tercapainya tingkat konsolidasi yang lebih baik
oleh pemerintah Orde Baru.

NU sebagai Kelompok Kepentingan

Sebuah kelompok kepentingan (interest group), menurut Almond adalah "setiap


organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah tanpa pada saat yang
sama berkeinginan untuk memperoleh jabatan publik"77. Perbedaan terpenting antara
kelompok kepentingan dan partai politik terletak pada tujuan untuk menduduki jabatanjabatan politik dan pemerintahan. Parpol memiliki tujuan itu, sementara kelompok
kepentingan tidak. Betapapun dalam politik tertentu, Indonesia misalnya, akses parpol
terhadap jabatan publik hanya sebatas kursi di lembaga legislatif, sementara lembaga
eksekutif tertutup, kecuali untuk partai yang disponsori pemerintah. Sedikitnya perbedaan
yang terumuskan secara jelas ini menyebabkan kelompok kepentingan dapat berubah menjadi
partai politik dan sebaliknya. NU adalah contoh yang tepat untuk argumen ini.
Dalam tujuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, masing-masing
kelompok kepentingan memiliki perbedaan dalam hal keterlibatan dalam kontak yang
kurang-lebih tetap dengan beberapa level pemerintahan. Berdasarkan itu, Hagopian78
membuat dikhotomi umum antara political dan nonpolitical interest group. Jika yang pertama
memiliki intensitas yang tinggi dalam keterlibatan di atas, maka yang kedua tidak. Dari
77

Gabriel A. Almond, "Interest Groups and Interest Articulatian" dalam Gabriel Almond (ed.), Comparative Politic Today A
World View (Boston: Little Crown and Company, 1974), h. 74.
78 Hagopian, Regimes, Op. cit., h. 351

41

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dikhotomi sederhana ini dapat dibuat sebuah kontinuum yang bergerak dari sejumlah kecil
kelompok-kelompok apolitis menuju sejumlah lebih besar kelompok-kelompok kepentingan
yang terpolitisir.
Kontinuum ini menggambarkan bahwa tidak ada suatu kelompok kepentingan yang
dapat secara total menjauh dari keterlibatan dalam politik. Sekalipun beberapa kelompok
lebih suka jika pemerintah tidak mencampuri urusan mereka, namun konflik kelompok yang
kerap muncul akan memaksa pemerintah untuk melakukan campur tangan sebagai wasit dan
pembela kepentingan umum.79
Pada kontinuum di atas, kelompok kepentingan keagamaan pada umumnya berada di
titik moderat antara totally unpoliticized dan totally politicized. Kelompok keagamaan tidak
bisa sepenuhnya terlibat dalam mekanisme politik, terutama di negara-negara sekuler yang
tidak berdasarkan pada asas agama tertentu. Sementara untuk secara total berada di titik nol
juga tidak dimungkinkan. Pemerintah yang berkuasa tentu saja tidak ingin mengabaikan
kelompok-kelompok yang berkemampuan tinggi untuk menggalang sejumlah besar umatnya.
Dalam masyarakat modern, para pemimpin politik selalu membutuhkan organisasiorganisasi terspesialisasi sebagai pemberi dukungan yang sangat penting bagi kelangsungan
sistem politik, di samping untuk menggerakkan --sambil mengawasi-- organisasi-organisasi
itu.80
Dalam kasus NU, agaknya kurang tepat meletakkannya pada titik tengah itu,
sekalipun pasti bahwa NU adalah organisasi keagamaan. Pengalaman panjang sebagai partai
politik, serta kuatnya orientasi politik NU, menempatkannya semakin ke kanan dalam
kontinuum di atas. Mungkin malah mendekati posisi kelompok-kelompok reformasi atau
revolusioner.
Kelompok-kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam hal struktur, gaya,
sumber pembiayaan, dan basis dukungannya. Perbedaan itu sangat mempengaruhi tata
politik, ekonomi dan sosial suatu bangsa. Almond menawarkan klasifikasi yang kemudian
banyak digunakan untuk membedakan kelompok kepentingan atas: 1. kelompok anomik

79
80

Ibid.
Almond, op. cit., h. 82

42

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


(anomic groups), 2. kelompok non-asosiasional (nonassociational groups), 3. kelompok
institusional (instutional groups) dan 4. kelompok asosiasional (associational group).81
Kelompok anomik sebenarnya merupakan bentuk penetrasi masyarakat yang kuranglebih spontan terhadap sistem politik, seperti kerusuhan, demonstrasi, tindak kekerasan
politik, dsb. Letupan-letupan spontan itu muncul terutama bila kelompok yang terorganisir
absen, atau kalaupun ada, kepentingannya tidak terwakili secara memadai dalam sistem
politik itu.
Diragukan, sebenarnya, apakah kategori ini benar-benar memadai sebagai faktor
analisis. Kerusuhan, demonstrasi, serta kekerasan juga merupakan tindakan instrumental dari
kelompok-kelompok lain sebagai ekspresi aspirasinya. Jadi hal itu kurang dapat dianggap
sebagai sebuah tipe kelompok kepentingan.
Kelompok non-asosiasional pun, seperti kelompok anomik, jarang yang terorganisir
secara formal dan rapi dengan kegiatan yang bersifat insidental. Wujudnya bisa kekerabatan,
keturunan, etnik regional, status, kelas, dan seterusnya. Kebanyakan kelompok ini merupakan
kategori sosial yang luas dari suatu komunitas "alamiah", yang tidak terwakili oleh suatu
organisasi formal.
Secara teoritik kegiatan kelompok non-asosiasional merupakan ciri masyarakat yang
belum maju. Dalam masyarakat modern yang sudah sangat terdiferensiasi, keberadaan
kelompok ini lambat laun tergeser. Sebab di samping persaingan dari kelompok-kelompok
yang terorganisir melemahkan upaya-upaya kelompok ini, kelompok-kelompok nonasosiasional dengan kepentingan yang terus berkembang biasanya segera membangun
struktur yang terorganisir dan, karenanya, masuk dalam kategori kelompok asosiasional.
Kelompok asosiasional, biasanya berupa serikat buruh, organisasi pengusaha,
industrialis, persatuan-persatuan yang diorganisir kelompok-kelompok agama, dan lain-lain.
Secara khas kelompok ini menyatakan kepentingan dari suatu kalangan khusus. Cirinya
meliputi adanya prosedur-prosedur yang teratur, staf profesional yang umumnya bekerja
penuh, serta ketegasan berkaitan dengan fungsi mereka yang terspesialisasi untuk melakukan
artikulasi kepentingan. Organisasi formal dari sebuah asosiasi mempunyai hirarkhi jabatan

81

Ibid., h.74-78. Banyak politik lain yang menggunakan klasifikasi Almond ini. Hagopian, misalnya. Lihat Hagopian, op. cit.,
h. 351-356. Begitu pula Salisbury. Lihat Robert H.Salisbury, "Interest Group", dalam Fred. I. Greenstein dan Nelson W.
Polsby (eds)., Nongovermental Politic, Handbook of Political Science vol. 4 (Massachussets: Addison Wesley Publishing Co,
1975), h. 178. Diskusi dalam beberapa paragraf selanjutnya mengacu pada ketiga sumber ini secara saling melengkapi.

43

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dan pembagian kerja, seringkali dalam pola birokratis Weberian. Kelompok ini biasanya
mengadakan pertemuan dalam interval yang tetap --tahunan, lima tahunan, dst.-- di mana
wakil-wakil dari seluruh anggota berkumpul. Pertemuan ini memilih para pemimpin papan
atas serta mengesahkan garis-garis besar kebijaksanaan organisasi.
Jika diberi kesempatan berkembang, kelompok kepentingan asosiasional cenderung
untuk menentukan perkembangan jenis-jenis kelompok lain. Basis organisasional yang kuat
menempatkannya di atas kelompok non-asosiasional, taktik dan tujuannya sering diakui sah
dalam masyarakat. Dengan mewakili kelompok dan kepentingan yang luas, kelompok ini
dapat dengan efektif membatasi pengaruh kelompok-kelompok lain, bahkan --meskipun
jarang terjadi-- kelompok institusional.
Kelompok institusional merupakan organisasi-organisasi formal atau kelompok
informal yang kuat dalam lembaga-lembaga sosial, yang mempunyai fungsi nyata selain
artikulasi kepentingan. Organisasi ini seperti parpol, korporasi bisnis, badan legislatif. Militer
dan birokrasi termasuk dalam organisasi tipe ini. Kelompok ini bisa menyatakan
kepentingannya sendiri maupun mewakili kepentingan kelompok-kelompok lain dalam
masyarakat. Kelompok ini biasanya cukup berpengaruh karena basis organisasinya yang kuat.
NU tampaknya lebih mendekati karakteristik kelompok kepentingan asosiasional.
Organisasi ini secara khas membawa kepentingan suatu segmen umat Islam Indonesia yang
secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai penganut faham ahlussunnah wal jamaah. Secara
struktural, kepengurusan NU terbagi dalam unit-unit yang secara horizontal meliputi
pengurus Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah. Di samping itu terdapat pula unit fungsional
seperti Lembaga Ekonomi, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, dan
lain-lain. Dalam garis vertikal NU secara hirarkhis terbagi dalam Pengurus Besar untuk
tingkat nasional, Pengurus Wilayah di provinsi, Pengurus Cabang di kabupaten/kotamadya,
MWC ditingkat kecamatan, Pengurus Ranting di tingkat desa. Suatu kepengurusan pada
tingkat tertentu membawahi beberapa kepengurusan pada tingkat di bawahnya. Betapapun
setiap tingkat kepengurusan tak kurang otonomnya penataan semacam ini menurut Hagopian
adalah suatu struktur organisasi federal, di mana suatu kelompok asosiasional memiliki unitunit lokal dan fungsional.82

82

Hagopian, Op. cit, h. 352f. Conf: Salisbury, Op. cit., h. 185.

44

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Keputusan-keputusan penting yang menyangkut arah perjuangan NU dalam segala
aspeknya, serta penetapan keanggotaan dan pimpinan Pengurus Besar, dilakukan dalam
sebuah muktamar yang dilakukan dalam interval lima tahun.
Sebagai

sebuah

kelompok

kepentingan,

NU

mengemban

tugas

untuk

mengartikulasikan kepentingan anggotanya. Efektivitas fungsi artikulasi ini pada akhirnya


sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk memiliki akses terhadap pembuatan keputusan
politik utama. NU bisa saja mengekspresikan kepentingan anggotanya dengan berbagai cara,
namun tanpa kemampuan untuk mempengaruhi struktur pembuatan keputusan politik, upaya
itu akan nihil.
Umumnya setiap kelompok kepentingan memiliki cara dan saluran yang berbedabeda untuk mencapai kelompok yang berpengaruh. Namun secara teoretis, Almond
menyatakan, faktor yang paling mempengaruhi pemilihan penggunaan saluran untuk
mengartikulasikan kepentingan adalah distribusi kekuasaan efektif dalam suatu sistem
politik.83 Itulah sebabnya, kelompok-kelompok kepentingan cenderung tersedot ke arah
pusat-pusat kekuasaan efektif dalam sistem politik yang ada.84
Saluran efektif bagi kelompok kepentingan dengan demikian berbeda antara satu
sistem politik dengan sistem politik lain. Hagopian mencoba membuat pola umum bagi
keanekaragaman itu. Akses kelompok kepentingan terhadap kekuasaan politik dapat
dibedakan atas akses langsung dan akses tak langsung.85 Akses tak langsung menyangkut
peran sebagai mediator antara parpol dan opini umum. Sedangkan akses tak langsung dapat
dilakukan pada tiga tahapan kebijaksanaan: pra-parlementer, parlementer dan posparlementer.86
Jika dalam suatu sistem politik terdapat transformed parliamentarism, maka
pedoman-pedoman pokok kebijaksanaan biasanya dirumuskan oleh pemerintah sebelum
rancangan undang-undang sampai ke parlemen. Tahap "pra-parlementer" ini tidak boleh
diabaikan, jika kelompok kepentingan ingin mempengaruhi kebijakan. Mereka dapat
memusatkan 'taktik penekanannya' pada lembaga atau departemen pemerintah yang strategis.
Dalam hal ini, hubungan antara lembaga pemerintahan dan kelompok kepentingan seringkali

83

Almond, Op. cit., h. 81


Salisbury, Op. cit., h. 208
85
Hagopian, Op. cit., h. 362
86
Hagopian, Op. cit., h. 362-368
84

45

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


bersifat dua arah. Sebab pemerintah pun sebetulnya memerlukan data dan informasi dan
umpan balik dari kelompok kepentingan, terutama dari jenis asosiasional.
Pada akses parlementer, intensitas kelompok kepentingan biasanya semakin tinggi.
Dalam regim konstitusional, lembaga legislatif di parlemen masih memiliki wewenang yang
penting bahkan lembaga ini dapat mendesakkan suatu kebijakan kepada eksekutif. Karena itu
kelompok-kelompok kepentingan kemudian mengembangkan berbagai strategi untuk
memaksimalkan pengaruh mereka kepada legislatif, misalnya dengan lobbying, pemberian
dukungan kepada para kandidat, membuat aliansi dan semacam mekanisme balas jasa politik.
Dalam setting politik Indonesia, setidak-tidaknya untuk sementara ini, akses
parlementer tampaknya tidak seefektif akses pra-parlementer. Lembaga legislatif di Indonesia
masih belum mampu untuk minimal menyamai kekuatan eksekutif. Akibatnya mereka
berfungsi tak lebih dari sekadar sebuah stempel bagi setiap kebijaksanaan negara.
Akses pos-parlementer. Hasil kerja badan legislatif seringkali hanya menetapkan
garis-garis besar yang luas bagi kebijaksanaan pemerintah yang sebenarnya. Implementasi
aturan yang masih abstrak itu ke dalam keputusan yang lebih rinci merupakan wewenang
biro-biro pemerintahan khusus. Di sinilah terdapat kesempatan yang sangat berarti bagi
kelompok-kelompok kepentingan untuk melakukan intervensi pos-parlementer. Mereka dapat
mempengaruhi proses implementasi garis-garis kebijaksanaan itu, atau dapat pula mencoba
mengupayakan pembatalan tindakan-tindakan hukum dan administratif yang tidak mereka
sukai. Di negara-negara yang memungkinkan adanya judicial review, hal ini tidak sulit
dilakukan.
Almond mempunyai pandangan yang positif tentang peran kelompok kepentingan di
masa datang. Salah satu elemen penting pembangunan politik adalah bahwa perubahan
sosial-ekonomi akan merombak struktur dan kultur suatu sistem politik. Kekuatan yang
paling nyata dalam perubahan sosio-ekonomik itu adalah industri, teknologi dan revolusi
keilmuan. Perubahan sosio-ekonomi ini, bagi Almond, di samping mengembangkan
kemampuan sistem politik untuk menggali sumber daya dari masyarakat, pada sisi lain juga
semakin menumbuhkan kebutuhan akan tindakan sosial yang terkoordinir untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan baru, serta kemungkinan berkembangnya partisipasi dan
tuntutan-tuntutan politik dari para anggota masyarakat.87

87

Almond, op.cit., h. 86

46

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Pertumbuhan sosial dan ekonomi juga meningkatkan arus informasi dan kontak antara
setiap bagian dalam masyarakat, meningkatkan pendidikan, kesehatan dan status anggota
masyarakat. Peningkatan derajat pendidikan dan status sosio-ekonomik berkaitan erat dengan
kesadaran politik, partisipasi dan perasaan kompetensi politik.88 Kondisi-kondisi ini
merupakan alur dalam mana kelompok-kelompok kepentingan, khususnya yang asosiasional,
semakin menemukan basis bagi peranannya.

Ahlussunnah wal Jamaah

Pada umumnya para pengamat menilai NU sebagai organisasi ulama dengan stereotip
pengikutnya di pedesaan yang secara agama tradisional, secara intelektual sederhana, secara
politik oportunis dan secara kultural sinkretis. Dikotomi Islam tradisional-modern masih
menjadi landasan pandangan ini. Dalam pola dikotomis itu jika Muhammadiyah diletakkan di
sisi modern maka NU berada di ujung yang lain.
Pola dikotomis ini ternyata tidak begitu tepat untuk digunakan mengamati NU dewasa
ini. Tak jarang terjadi, NU yang "tradisional" tampak lebih luwes dan responsif terhadap
gerak modernitas dibandingkan dengan Muhammadiyah yang modernis.89
Adanya pola dikotomis ini berpangkal pada cara setiap kalangan itu sendiri dalam
menyikapi pembaruan, dalam hal ini pembaruan Islam. Mereka yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah, misalnya, menerima penuh gerakan pembaharuan yang berupaya
memurnikan Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah semata, tidak bermazhab,
memberantas segala bentuk bid'ah. Sementara mereka yang memelopori NU menerima
pembaharuan ini dengan tetap berupaya menyelaraskannya dengan tradisi dan warisan
budaya yang ada. Dengan secara total hanya mengacu pada Al-Quran dan Sunnah, dengan
mengabaikan warisan para intelektual Islam sepanjang sejarah yang terkristalisasikan dalam
mazhab-mazhab, maka berarti telah tejadi penyia-nyiaan khazanah intelektual yang sangat
berharga. Adalah mustahil suatu generasi memulai upaya pembaharuannya benar-benar dari

88

Ibid, h. 87

89

Misalnya NU pernah membuat gebrakan dengan mendirikan BPR-BPR mendahului Muhammadiyah bahkan ia
bekerjasama dengan Bank Summa, ketika perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank belum usai. Barangkali yang
tersisa dari tradisionalitas Nu adalah dalam bidang pendidikan yang dilakukan. Di segi ini Muhammadiyah jelas lebih
modern.

47

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


nol, dan membuang hasil akumulasi pemikiran masa lalu. Di samping itu, penyelarasan Islam
dengan tradisi dan budaya lokal di mana ia disebarkan tidaklah dapat dipandang sebagai
membiarkan ajaran agama terkontaminasi sehingga perlu pemurnian. Sebab penyelarasan itu
dalam batasan yang sangat jelas, justru akan membuat ajaran agama lebih kontekstual.
Keseluruhan cara pandang kalangan yang memperoleh cap tradisionalis ini terakumulasi
dalam sebuah kaidah usul fiqh yang secara konsisten dipegang oleh NU: "mempertahankan
milik lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik".90
Berdasarkan pemahaman di atas, buku ini dirancang tidak menggunakan pola
dikotomi tradisional-modern dalam menganalisis NU. Hanya saja istilah tradisional dan
modern pada beberapa tempat akan tetap digunakan, sekadar untuk memudahkan
penunjukan. Selebihnya NU akan dilihat dalam nuansa lain dengan tetap bercorak kultural.
Secara eksplisit, sejak awal NU telah menyatakan diri sebagai penganut Ahlussunnah
waljamaah yang secara umum dapat diartikan sebagai "para penganut tradisi Nabi
Muhammad dan ijma ulama".91 Sebenarnya paham Ahlussunnah wal jamaah tidak hanya
dianut kalangan Islam tradisional seperti NU saja, sebab kalangan Islam modernis pun
mengemukakan diri sebagai penganut paham ini. Hanya saja perbedaan muncul karena
paham ahlussunnah waljamaah memiliki arti luas dan arti spesifiknya.
Dalam arti luas, Achmad Siddiq menjabarkan ahlussunnah wal jama'ah sebagai
"Ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW
bersama para sahabatnya."92 Pengertian ini mengacu pada sebuah hadits yang terkenal dalam
mana Nabi memprediksikan bahwa suatu saat kelak umat Islam akan terpecah dalam 73
firqah. Semua akan celaka, kecuali satu firqah, yaitu mereka yang "berpegang teguh pada
peganganku dan pegangan sahabat-sahabatku." Dalam hadits lain yang senada, golongan
yang selamat ini disebut sebagai kaum ahlussunnah wal jama'ah.93
Murtadha Az Zabidi94 mendefinisikan ahlussunnah wal jama'ah secara lebih spesifik
sebagai paham yang diajarkan oleh Imam Al Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam
arti ini paham ahlussunnah wal jamaah merupakan koreksi terhadap berkembangnya
berbagai doktrin ketuhanan dan keimanan yang dipandang menyimpang dari ajaran Nabi dan
90

Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jamaah, dalam Muntaha Azhari dan AH Saleh (eds.), Islam
Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63
91 Dhofier, Tradisi Pesantren, Op. cit., h. 14
92 Seperti dikutip dalam Anam, Op. cit., h. 135.
93 Ibid. h. 136.
94 Murtadha az-Zabidi, Ittihad Sadatul Muttaqin, sebagaimana dikutip dalam ibid, h. 139f.

48

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


para sahabatnya. Ia, misalnya, adalah sebuah upaya jalan tengah antara pandangan Jabariyah
yang fatalistik tentang nasib serta pandangan Qadariyah yang berpaham tentang kemampuan
manusia untuk menentukan perbuatannya, seperti kaum Mu'tazilah dan Syi'ah.95 Terutama
terhadap kedua kelompok inilah ahlussunnah wal jama'ah membuat garis batas yang jelas.
Ketika perkembangan kelompok Mu'tazilah semakin pesat, serta doktrin ketuhanan
dan keimanannya semakin menimbulkan kegoncangan spiritual ideologis yang dahsyat96, saat
itu lahir aliran ahlussunnah wal jama'ah dengan kedua tokoh di atas. Betapapun tokoh
utamanya, Al-Asy'ari, sebelumnya adalah juga penganut aliran Mu'tazilah. Golongan
ahlussunnah wal jama'ah kemudian berkembang menjadi kelompok terbesar dalam
lingkungan umat Islam seluruh dunia, yang secara populer disebut sebagai kelompok Sunni
yang dibedakan dari kelompok Syi'ah.
Lebih dari sekedar untuk membedakan diri dari golongan Syi'ah, bagi ulama NU
paham ahlussunnah wal jama'ah, dalam artian yang lebih terinci juga digunakan untuk
membedakannya dari kalangan Islam modernis. KH Bisri Musthafa menguraikan bahwa
Ahlussunah waljamaah adalah paham yang berpegang teguh pada tradisi berikut:
1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu
madzhab fikih yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali). Dalam praktek,
para kiai adalah penganut kuat mazhab Syafi'i.
2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy'ari dan
Imam Abu Manshur Al Maturidi.
3. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim Al Junaid.97

Perbedaan antara kalangan Islam tradisional terhadap kelompok Islam modernis


berkaitan dengan operasionalisasi ajaran ahlussunnah wal jamaah dalam rincian tersebut.
Kalangan modernis tidak mengikuti ajaran imam-imam di atas, di samping (menyatakan)
tidak mengikatkan diri pada mazhab tertentu. Perbedaan lain berkaitan dengan sumber hukum
yang digunakan. Bagi mazhab Syafi'i, sumber hukum meliputi empat hal: Al Qur'an; sunnah

95

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, Op. cit., h. 282


Persoalan semacam ini berhulu pada metodologi agama mereka yang terlalu menomorsatukan rasio, dalam menilai
sumber-sumber primer Islam, Al-Qur'an dan hadits. Mereka, misalnya menggunakan pendekatan interpretasi
metamorfosis terhadap teks-teks dalam dua sumber tersebut, sehingga akhirnya terjebak dalam persepsi yang antromorfis
tentang Tuhan: Ia menyerupai manusia dalam hal mempunyai tangan, mata, bertahta di sebuah singgasana ('arsy), bersifat
senang, murka, dendam, terikat pada waktu, dan seterusnya. Lihat ibid., h. 271 .
97 Seperti dikutip dalam Dhofier, Op. Cit., h, 149.
96

49

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Nabi; ijma98, serta qiyas (analog, menyamakan hukum suatu hal yang belum diketahui
hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui). Sumber hukum ketiga tidak
digunakan oleh kalangan modernis.
Satu hal yang menandai karakteristik NU sebagai pengikut mazhab Syafi'i adalah
kemampuannya untuk tampil dalam segala situasi secara luwes, fleksibel, dan akomodatif,
serta tidak terpaku pada keputusan masa lalu dalam merumuskan sikapnya. Imam Syafi'i
sendiri dikenal sebagai seorang ulama moderat. Watak ini disebabkan oleh latar belakang
Syafi'i yang mengembangkan ajarannya di daerah-daerah Mekkah, Madinah, Baghdad dan
terakhir Mesir, sehingga ajaran itu selalu berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat
sekitarnya.99
Dengan menganut mazhab Syafi'i, bagi NU sangat dimungkinkan adanya pilihan
untuk menyesuaikannya dengan konteks waktu. Tentu saja penyesuaian itu harus dilandasi
oleh konsensus (ijma') di kalangan ulama, yang biasanya dicapai dalam suatu forum bahtsul
masail diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)100. Mekanisme konsensus ini
merupakan faktor terpenting yang telah menjaga keutuhan organisasi NU, yang senantiasa
dipenuhi oleh perbedaan itu.101
Tiga tradisi keagamaan yang dipegang NU di atas pada gilirannya melahirkan sikapsikap yang menjadi ciri khas organisasi, yaitu:
1. Tawasuth dan i'tidal, sikap tengah (moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan
berlaku lurus di tengah kehidupan bersama.
2. Tasamuh, sikap toleran terhadap perbedaan.
3. Tawazun, sikap seimbang dan tidak bersikap ekstrem.
4. Amar ma'ruf nahi munkar; menganjurkan kebaikan dan mencegah kejelekan.102

Tradisi keagamaan itu juga memungkinkan terpeliharanya kontinuitas antara


pandangan serba fikih di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi sebagai
buah dari dimensi tasawufnya, di ujung lain.103 Dari tradisi demikian, logis jika akhirnya lahir
pandangan kemasyarakatan yang tidak bercorak hitam-putih. Pandangan ini tentu memiliki
98

Ijma' dapat dibedakan atas ijma' shahabi (konsensus para sahabat) dan ijma' sukuti (persetujuan para ulama akan
sesuatu hal, yang ditandai dengan sikap diamnya).
99 Ali Abdul Wahid Wafi, Perkembangan Mazhab dalam Islam, alih bahasa Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret, 1987), h. 22-23.
100 Anam, Op. cit., h. 161.
101 Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini," dalam Prisma No. 4, 1984, h. 36.
102 Marijan, Quo Vadis, Op. cit., h.36.
103 Wahid., Op. cit., h. 33-34.

50

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


implikasi tersendiri dalam persepsi kenegaraan NU. Kewajiban bernegara bagi NU adalah
suatu yang final dan tidak bisa ditawar lagi. Sebagaimana digambarkan Abdurrahman Wahid,

Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan terhadap pemerintah sebagai


mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam
kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah
mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini
adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem
alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama suatu bangsa yang telah membentuk
negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan
senantiasa bercorak gradual.104

Pola pikir semacam inilah yang membuat NU menolak kehadiran Negara Islam
Indonesia yang didirikan Kartosuwiryo, lepas dari persoalan bahwa unit tertentu dalam milisi
NU terlibat di dalamnya. Kartosuwiryo bahkan dicap sebagai bughat (pemberontak) yang
harus dibasmi. Sementara Soekarno dikukuhkan sebagai waliyul amri dharuri bi al-syaukah
(pemegang kekuasaan sementara dengan kekuasaan penuh).
Konsepsi di atas, yang mendudukkan pemerintah pada posisi sentral adalah inti dari
pandangan mazhab Syafi`i tentang tiga jenis negara: dar al-Islam (negeri Islam), dar al-harb
(negara perang), dan dar al-sulh (negara damai). Dalam pandangan ini, negara Islam harus
dipertahankan dari serangan lawan, sebab ia adalah perwujudan normatif dan fungsional citacita kenegaraan Islam sebagai konstitusi negara. Negara perang yang anti-Islam harus
diperangi, karena akan berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, seperti
dihilangkannya pemberlakukan syariah Islam dari konstitusi negara. Negara damai harus
dipertahankan pula, sebab syariah masih dilaksanakan oleh umat Islam di dalamnya,
walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.105
Pendekatan serba fikih inilah yang menjadikan NU relatif lebih mudah menerima
penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dalam kacamata fikih, Pancasila adalah salah
satu persyaratan bagi keabsahan negara RI, dan sama sekali bukan persyaratan keagamaan.
Itu berarti "tidak ada alasan apa pun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi
menggantikan kedudukan agama". 106

104

Ibid., h. 34
Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam Sitompul, Op. cit., h. 10
106 Wahid, Nahdlatul Ulama, Op. cit., h.34-35
105

51

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Dengan mengembalikan semua persoalan pada legitimasi hukum fikih NU secara
akomodatif mampu beradaptasi dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun tak jarang
pandangan serba fikih itu menjadi hambatan bagi pemegang kekuasaan dalam beberapa aspek
kenegaraan tertentu. Apa pun, pandangan serupa itu membawa konsekuensi perbenturan
dengan pandangan yang memberlakukan Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi
sebagai ideologi politik.107
Pendekatan serba fikih, betapa pun, pada akhirnya juga memberikan batasan yang
tegas dan jelas tentang sejauh mana sikap akomodatif NU dimungkinkan. Batasan itu adalah
sepanjang tidak melanggar prinsip ajaran dan sistem nilai keagamaan yang dianutnya. Jika ini
terjadi, NU bisa saja bersikap keras.
Sebagai catatan akhir, konsekuensi lain dianutnya paham Ahlussunnah waljamaaah
adalah keharusan bagi seluruh warga NU untuk menghormati otoritas dan kepemimpinan
ulama. Dalam hal pemilihan nama organisasi dengan Nahdlatul Ulama pun tergambar jelas
posisi sentral ulama di dalamnya.

Sistematika

Secara keseluruhan, buku ini dibagi dalam tujuh bab. Setelah mengemukakan
pertanggungjawaban metodologis pada Bab I, maka Bab II akan memberikan gambaran
tentang profil kesejarahan dan organisasi NU. Dalam tinjauan sejarah NU sebelum tahun
1984 dapat ditemukan beberapa karakteristik mendasar organisasi ini yang turut memberi
warna pada perjalanannya kemudian.
Bab III akan membuat ikhtisar pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai salah satu
faktor yang juga memiliki determinasi terhadap dinamika NU. Sementara Bab IV mulai
melihat implementasi keputusan kembali ke Khittah 1926 dalam dinamika internalnya. Di
sini akan dilihat perjalanan dan ujian terhadap Khittah selama kurun waktu sepuluh tahunan,
kesulitan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan konsekuensi organisatoris internal
Khittah, berupa pengembalian otoritas ulama, serta persepsi warga dan elit NU sendiri
terhadap Khittah.
107

Ibid., h.35

52

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Pada Bab V diuraikan implementasi Khittah dalam dinamika eksternalnya. Di sini
akan diajukan argumentasi bahwa kembali ke khittah tidak pernah dimaksudkan untuk
menghapus sama sekali dimensi politik dalam gerakan NU. Khittah hanya mengamanatkan
suatu reorientasi peran politik NU. Akan dilihat pula bagaimana posisi NU, atau persisnya
warga NU, dalam dua pemilu --1987 dan 1992-- serta bidang-bidang garapan NU setelah
tidak lagi terkonsentrasi pada politik praktis. Bab selanjutnya --VI dan VII-- masing-masing
untuk mendiskusikan prospek NU dan sebuah poskripsi.

53

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


BAB II
WAJAH NU: 1926-1984

SEJARAH formal NU dimulai sejak ia didirikan 31 Januari 1926 di Surabaya oleh


KH Hasyim Asy'ari bersama beberapa ulama sepaham seperti KH Wahab Hasbullah serta
beberapa ulama pesantren lain. Namun berdirinya jam'iyah ini sesungguhnya hanyalah
pelembagaan tradisi keagamaan yang telah lama mengakar.108
Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk komunitas
(jamaah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter Ahlussunnah
wal jamaah. Wujudnya sebagai organisasi tak lain adalah "penegasan formal dari mekanisme
informal para ulama sepaham."109 Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari
konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jamaah tradisional
berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika itu telah terlembagakan,
antara lain dalam Muhammadiyah.
Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat
Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, sejak dibukanya Terusan Suez
(1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan
purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad Abdul Wahab yang
kemudian dikenal sebagai Wahabiyah, maupun pemikiran Pan-Islamisme Jamaluddin AlAfghani yang dilanjutkan Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara
para jemaah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Ketika kembali ke
Tanah Air, para haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsurunsur yang dianggap berasal dari tradisi di luar Islam.
Tak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat.
Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran
Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal. Tradisi
ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai

108

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 1.
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h.1 Cf. H Anas Thohir, et. al
(eds.), Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia (Surabaya: PC NU Kodya Surabaya, 1980), h. 90.
109

54

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kelompok ulama tradisional ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas.
Sebab tak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan mengguncang
masyarakat. Terlebih lagi, itu ternyata mulai berindikasi pendobrakan tradisi keilmuan yang
selama ini dianut oleh para ulama pesantren. Perkembangan inilah yang dinilai sebagai
ancaman terhadap kelestarian paham Ahlussunnah wal Jamaah yang mereka anut. Karena itu,
mereka berupaya membuat pengimbang bagi arus gerakan pembaharuan itu, dan dalam alur
inilah, antara lain, NU terbentuk.110 Karena itu peristiwa Kongres Dunia Islam di Mekkah,
serta pelarangan pengajaran mazhab Ahlussunnah wal jamaah di Masjid al-Haram,
merupakan casus belli saja bagi lahirnya NU.111
Arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya pemupukan
semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu. Sulit dibantah bahwa
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda tidak hanya membawa wacana politik tapi
juga keagamaan. Dalam wacana keagamaan itulah peran kepemimpinan ulama menjadi
penting (sebut saja Perang Diponegoro 1825-1830, Perang Paderi 1321-1837, perlawanan
rakyat Aceh 1872-1912). Ketika pada abad XX nada perlawanan terhadap penjajah bergeser
dari perjuangan bersenjata menjadi pergerakan nasional, para ulama tidak mau ketinggalan.
Sepuluh tahun sebelum berdirinya NU, KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan
(kebangkitan tanah air) yang berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan.
Organisasi ini adalah langkah kongkret dari forum diskusi Taswirul Afkar (konsepsi
pemikiran) yang sebenarnya merupakan antisipasi Wahab Hasbullah menghadapi ekses
gerakan pembaharuan yang menjadi ancaman bagi eksistensi tradisi Ahlussunnah wal

110

Tentang masuknya paham pembaharuan ke Indonesia, serta reaksi kalangan tradisionalis dari sudut pandang "orang
NU", lihat Marijan, op. cit., h. 1-17; Anam, op. cit., h. 33-56. Dari sudut pandang "kaum modernis", lihat Deliar Noer,
Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta LP3ES, 1980). Dalam visi seorang pengamat asing, lihat Manfred Ziemek,
Pesantren Dalam Perubahan Sosial, alih bahasa RB Soendjojo (Jakarta: P3M, 1986), h. 59-66. Jelas, bukan paham
pembaharuan an sich yang dipersoalkan oleh para ulama pesantren. Mereka dapat menerima paham itu. Ulama-ulama NU
seperti KH Hasyim Asy'ari, KH A. Wahab Hasbullah, sebagaimana KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), pernah
selama bertahun-tahun menimba ilmu di Mekkah, pengaruh gerakan Wahabiyah dan lain-lainnya. Perbedaan antara ulama
tradisional dengan kalangan yang kemudian disebut sebagai kelompok Islam modernis di Indonesia bukanlah pada
persoalan menolak atau menerima paham pembaharuan itu, tapi lebih pada bagaimana paham itu diterima dan
diaplikasikan. Para ulama tradisional menerima paham pembaharuan, tapi menyesuaikannya dengan tradisi yang mereka
anut. Lihat Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 58-62.
111 Dalam Kongres Dunia Islam itu delegasi Indonesia hanya diwakili oleh kalangan Islam pembaharu, dan sama sekali tidak
menyertakan kalangan Islam tradisional. Kalangan tradisional lalu membentuk delegasi sendiri ke Mekkah untuk meminta
Raja Saud menjamin kelestarian mazhab-mazhab ortodoks serta kegiatan tarekat di Hijaz (Arab Saudi kini). Delegasi ini
semula diberi nama Komite Hijaz, tetapi kemudian mengubah nama itu menjadi Nahdlatul Oelama. Lihat Anam (1985) dan
Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 32-34.

55

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Jamaah. Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathanlah sebenarnya dapur pemikiran
lahirnya NU.112
Agaknya, tepat kesimpulan Ziemek bahwa NU mewakili faham konservatif para
ulama, namun juga sekaligus mewakili tradisi perlawanan ratusan tahun terhadap kekuasaan
kolonial Belanda, dengan kedudukan mandiri, bebas dan tersentralisasi pada masyarakat
pedesaan, yang para kyainya orang-orang paling berpengaruh dan tak diperintah siapa pun.113
Senada dengan Ziemek, dalam catatan Saifuddin Zuhri, pada proses kelahiran NU
tidak ada campur tangan dari pihak mana pun, melainkan didirikan atas dasar dorongan
kesadaran rasa tanggung jawab para pendirinya. Dorongan atau motivasi itu adalah:
kesadaran bertanggungjawab kepada Islam, kepada ummat Islam, dan kepada Tanah Air.114
Latar belakang lahirnya NU ini perlu memperoleh perhatian, sebab karakteristik
organisasi ini lebih berakar di sini. Satu hal perlu dicatat dan proses kelahiran yang pada
hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam dan situasi kolonialisme
tersebut, yakni bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam
dinamika NU selanjutnya. Refleksi pola perilaku reaktif NU antara lain adalah keluarnya
organisasi ini dari Masyumi dan belakangan PPP setelah diawali oleh rasa kecewa terhadap
keduanya.115
Apa yang dapat disimpulkan dari diskusi di atas adalah bahwa betapapun NU
terutama sekali lahir dan berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan (jam'iyah diniyah),
namun kibaran panji-panji keagamaan yang ada telah dipikul dengan semangat politis yang
cukup jelas pula. Visi politis jamaah yang terwadahi dalam NU, dengan sub-sub wadah
berupa pesantren-pesantren, tercermin misalnya dalam sikap eskapisme mereka berhadapan
dengan kolonialisme. Baik secara fisik dengan mengundurkan diri dan daerah urban ke
daerah pedesaan yang relatif jauh dari "jangkauan" Belanda, maupun secara psikologis
dengan menjauhi segala hal yang dianggap berbau Belanda, seperti pemakaian dasi, bahkan
celana panjang (dalam hal mana kalangan modernis berpandangan lain).

112

Lihat Anam, op. cit., h. 24-33. Cf. Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NUPasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan
Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 4-5.
113 Ziemek, op. cit., h. 64-65.
114 Saifuddin Zuhri, "Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan Membela Tanah Air," dalam Thohir, op. cit., h. 93.
115 Cf. Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik Orde Baru dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 9 (Jakarta: PT
Gramedia, 1991), h. 41-42.

56

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Sejak awal, NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil. Di
samping sebab yang mendasar bahwa dalam karakteristiknya yang universal, meliputi segala
aspek kehidupan manusia, Islam tak dapat dipisahkan dari politik, dan, sebaliknya, politik
tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Maka seperti dicatat oleh Saifuddin Zuhri:

Sejak lahirnya, aspirasi yang melingkungi NU adalah aspirasi pesantren,... Baik


pesantren selaku persemaian (pembinaan) kader-kader ulama dan pemimpin Islam tetapi juga
pesantren sebagai pembina potensi gerakan yang sejak dahulu telah diakui oleh kaum
intelektual sebagai media pendidikan yang praktis dan efektif membentuk potensi yang
bergerak (tidak beku).116

Keeratan NU dengan pesantren selaras dengan tujuannya yang hendak melestarikan


ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, yang tercermin dari diajarkannya kitab-kitab klasik (kitab
kuning). Pesantren sendiri mempunyai perkembangan yang cukup unik. Antara satu
pesantren dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya terdapat suatu jaringan hubungan
genealogis yang rumit dan kokoh. Jaringan ini tidak muncul dengan sendirinya. Ia lebih
merupakan buah dari suatu upaya yang direncanakan secara matang dalam upaya
melestarikan tradisi pesantren yang dilakukan dengan membangun solidaritas dan kerjasama
sekuat-kuatnya antara sesama kyai. Cara praktis yang ditempuh untuk itu antara lain adalah
dengan mengembangkan suatu jaringan perkawinan endogamous di antara keluarga kyai:
kaitan pesantren satu sama lainnya diperkuat oleh hubungan kekerabatan serta dipererat
dengan kaitan perkawinan antara putra-putri kyai satu dengan lainnya.117 Eratnya hubungan
antar pesantren yang diikat oleh tali kekerabatan ini, yang tentu saja ditopang oleh soko guru
ikatan tali akidah, menjadikan pesantren sangat potensial sebagai basis gerakan politik. Inilah
akar NU.

Meningkatnya Kesadaran Politik: 1934-1952

116

Saifuddin Zuhri, op. cit., h. 118.


Tentang hubungan kekerabatan antar pesantren, khususnya antara para kyai, lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 61-99.
117

57

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Selama beberapa waktu, orientasi politik dalam diri NU masih bersifat laten, dalam
pengertian bahwa NU tidak terlibat dalam gerakan politik praktis. Lahan politik menjadi
garapan kalangan nasionalis dan kalangan Islam modernis yang berada di SI.
Orientasi politik NU baru muncul secara lebih terbuka setelah tampilnya beberapa
tokoh muda seperti Wahid Hasyim dan Machfudz Siddiq dalam kepemimpinan NU di
pertengahan dekade tiga puluhan.118 Langkah konkret dari tumbuhnya orientasi politik itu
adalah bergabungnya NU ke dalam Majlisul Islam A'la Indonesia (MIAI) pada 1939. MIAI
dibentuk pada 1937 atas dasar keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam
Indonesia. Sekalipun dua dari empat tokoh pendiri MIAI berasal dari NU, namun mereka
hadir atas nama pribadi. Baru dua tahun kemudian NU turut bergabung di dalamnya.119
Dalam asumsi Syafi'i Ma'arif, MIAI didirikan karena terdorong oleh contoh yang kompetitif
dari golongan sekuler yang juga berusaha mempersatukan diri.120
MIAI secara umum memang bergerak di bidang keagamaan. Namun, dalam setiap
aktivitasnya sarat muatan politik. Tak lain karena politik merupakan bagian dari universalitas
Islam, sebagaimana halnya bidang ekonomi dan kemasyarakatan pada umumnya. Setiap
kongres yang diadakan (1938, 1939, dan 1941) selalu membuahkan upaya untuk
mempengaruhi kebijakan melalui pengajuan tuntutan kepada penguasa baik tentang hal-hal
yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak. Bahkan masalah
internasional, misalnya persoalan Palestina yang telah mulai muncul saat itu, tidak luput dari
perhatian MIAI.121 Ketika GAPI (Gabungan Politik Indonesia, sebuah gabungan partai politik
sekuler) tampil membawa tema tuntutan Indonesia berparlemen kepada pemerintah, MIAI
memberinya dukungan. Betapa pun dukungan itu bukannya tanpa reserve, seperti yang

118

Anam menyebutkan bahwa kemunculan tokoh-tokoh muda itu merupakan satu dari tiga fenomena yang menandai awal
perkembangan NU sejak Muktamar IX (1934). Dua fenomena lainnya adalah pemisahan sidang Syuriyah dan Tanfidziyah
dalam muktamar itu, setelah sebelumnya sidang-sidang selalu dipimpin oleh Syuriyah; serta dibenahinya tata-cara sidang.
Lihat Anam, op. cit., h. X9-91.
119 MIAI didirikan oleh KH Wahab Hasbullah (NU), KH A Dahlan (NU, bedakan dengan KH Ahmad Dahlan yang pendiri
Muhammadiyah dan telah meninggal pada tahun 1923), KH Mas Mansur (Muhammadiyah), dan W. Wondoamiseno (SI).
Pada awalnya organisasi-organisasi yang menjadi anggota federasi MIAI adalah: SI, Al Islam (Solo), Persyarikatan Ulama
(Majalengka), Muhammadiyah, Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), Al-Khairiyah (Surabaya), dan Al-Irsyad (Surabaya).
Tentang pembentukan MIAI, lihat Noer, op. cit., h. 260-267.
120 A Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 96. Agaknya, yang dimaksudkan adalah
terbentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Kebangsaan Indonesia kemudian Permufakatan Politik Pengejar
Kemerdekaan Indonesia) di awal 30-an. Organisasi yang kelahirannya turut dibidani oleh SI ini ternyata kemudian tak lebih
dari sekadar wadah legalisasi konflik antara golongan Islam dan golongan nasionalis sekuler. Lihat Noer, ibid., h. 261-315.
121 Noer, ibid., h. 265-267.

58

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kemudian tergambar jelas ketika tuntutan MIAI pada akhirnya adalah Indonesia
"berparlemen yang berdasarkan Islam."122
Pola interaksi yang dialami dalam MIAI membawa pengaruh besar terhadap NU.
Muktamar NU XV (1940) di Surabaya menjadi ajang penegasan tuntutan-tuntutan yang
dilontarkan MIAI, termasuk tuntutan Indonesia berparlemen. Hal-hal lain yang juga dituntut
oleh NU antara lain adalah dilakukannya perbaikan-perbaikan seperti diberikannya
pertolongan terhadap jemaah haji Indonesia yang terperangkap di Mekkah akibat perang
Belanda-Jerman, mencabut Guru Ordonantie 1925 yang dianggap merugikan umat Islam,
termasuk hal yang menyangkut siapa yang menjadi kepala negara di negara Indonesia
merdeka nanti. Dalam sebuah rapat tertutup yang dihadiri oleh 17 orang tokoh NU,
dihasilkan keputusan dua orang calon presiden: Sukarno dan Mohammad Hatta, dengan 10
suara untuk Sukarno dan satu suara untuk Hatta.123 Tak satu pun tuntutan-tuntutan yang
diajukan itu terpenuhi.
Ketika pendudukan Jepang dua tahun kemudian membuat persoalan-persoalan itu
tidak relevan lagi. Regim kolonial baru ini segera tampak jauh lebih represif daripada regim
sebelumnya: semua organisasi politik dibekukan, dan setiap kegiatan politik dilarang sama
sekali. Umat Islam yang semula menaruh harapan pada "saudara tua" yang membebaskan
mereka dari kekuasaan "kafir" Belanda itu segera menemukan kekecewaan yang dalam.
Lebih lagi karena ternyata bagi Jepang, sebagaimana Belanda, terpisahnya Islam dari politik
adalah salah satu bagian dari rencana umumnya, dan karena itu mereka tetap mengawasi
secara ketat organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam.124 Langkah
pertama adalah mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang dipimpin oleh Kolonel
Horrie, dengan tindakan pertama menempatkan semua rumah ibadah Islam di bawah
pengawasan tentara Dai Nippon.125 Tindakan selanjutnya adalah mengupayakan terbentuknya
sebuah organisasi federasi Islam yang antara lain ditujukan untuk menggantikan MIAI yang
berkesan anti-kolonial. Maka dibentuklah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
pada tahun 1943 di mana NU, sebagaimana dalam MIAI, tersubordinasi di dalamnya.126 Pada
masa ini NU sebenarnya memperoleh beberapa konsesi. Seperti yang tampak dalam
pengangkatan Rais Akbar NU, Hadratus Syeikh, KH Hasyim Asy'ari, sebagai Kepala
122

Ibid., h. 289.
Anam, op. cit., h. 112.
124 Tentang umat Islam Indonesia pada masa pendudukan Jepang, lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit,
alih bahasa Daniel Dakhidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
125 Ibid., h. 142.
126 Ibid., h. 184-204.
123

59

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Shumubu (menyusul Husein Djajadiningat yang menggantikan Horrie) serta sebagai Ketua
Umum pengurus Masyumi yang pertama, sehingga NU dimungkinkan untuk memainkan
peran yang cukup berarti.
Keuntungan ini --kalau boleh disebut demikian-- dimungkinkan setidaknya oleh dua
hal. Pertama sikap NU kepada Jepang cenderung lunak. Berbeda dengan sikapnya terhadap
Belanda, maka terhadap Jepang NU bersikap lebih kooperatif. NU bersedia duduk dalam
Chou Sangiin, sementara untuk badan serupa di jaman Belanda, Volksraad, sama sekali
menolak. Anam menilai bahwa sikap semacam ini didasari oleh pemikiran bahwa
kemerdekaan Indonesia hanya tinggal soal waktu saja sehingga perlu dimanfaatkan isu
kolaborasi dengan Jepang dalam bentuk apa pun guna tercapainya kemerdekaan itu.127 Sikap
lunak NU kepada Jepang tentu saja sepanjang tidak melemahkan sendi-sendi akidah Islam.
Terhadap perintah untuk melakukan Seikerei (ritual penghormatan kepada Tenno Heika
dengan cara mirip ruku' ke arah matahari terbit) misalnya, NU menentang keras, antara lain
dari KH Hasyim Asy'ari sendiri serta memunculkan pemberontakan di Singaparna.128
Kedua, berkaitan dengan politik Jepang untuk menggalang semua kekuatan antiBelanda ke pihaknya, sehingga mereka perlu memperlakukan dengan baik, serta memenuhi
keinginan secara baik pula terhadap umat Islam khususnya yang berbasis di pedesaan.129 NU
mau tak mau adalah kuncinya. Suatu manfaat lain yang bisa diperoleh NU dengan siasat
sikap lunaknya kepada Jepang adalah berupa pelatihan keterampilan militer bagi para santri
dan kyai di pesantren, yang kemudian melahirkan milisi-milisi revolusioner Hizbullah dan
Sabilillah.130 Kedua milisi ini, pada awal kemerdekaan turut menjadi kompartemen TNI.131
Kalangan NU pada umumnya memandang bahwa saham mereka dalam perjuangan fisik
mempertahankan kemerdekaan disumbangkan melalui kedua milisi itu.
Sementara di panggung perjuangan politik, peran NU tersalur melalui Masyumi, yang
dibentuk beberapa bulan setelah Proklamasi. Yang disebut terakhir ini adalah sebuah partai
127

Anam, op. cit., h. 114-124.


Lihat Sitompul, op. cit., h. 92.
129 Benda, op. cit., h. 141
130 Anam, op. cit., h. 119.
131 TNI lahir sebagai paduan 3 unsur pokok yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Pertama, bekas tentara KNIL.
Kelompok ini mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam tugas-tugas staf. Perwira TNI yang berasal dari kelompok ini
adalah Nasution, Simatupang, Urip Sumoharjo, dan sebagainya. Kedua, bekas prajurit PETA. Nama-nama seperti Sudirman,
Bambang Sugeng, maupun yang lebih junior seperti Ahmad Yani, Suharto, dan lain-lain, adalah dalam kelompok ini. Ketiga,
bekas laskar-laskar perjuangan. Yaitu kelompok-kelompok milisi yang mempunyai afiliasi --baik politis maupun etnis
beraneka ragam. Hizbullah dan Sabilillah berada dalam kelompok ini. Mengenai unsur-unsur TNI ini, lihat Yahya A
Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1982),
h. 29-31; lihat juga Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 21-22.
128

60

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


politik resmi yang berbeda dan terlepas sama sekali dari organisasi dengan nama yang sama
di jaman Jepang, kecuali dalam hal tujuan moralnya.132 Partai Masyumi terbentuk sebagai
buah dari keputusan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta (7-8 Nopember 1945), yang
juga memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi umat Islam di
Indonesia. NU bersama Muhammadiyah, Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Umat
Islam, adalah organisasi-organisasi pertama memasuki Masyumi.133
Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak dapat bertahan lama, bahkan sejak
awal pun sebenarnya tidak utuh. Di bulan yang sama terbentuknya Masyumi, di Bukittinggi
Perti juga menyatakan diri sebagai partai politik Islam. Dan dua tahun kemudian, karena
adanya peluang untuk duduk dalam kabinet Amir Syarifudin, sementara Masyumi menolak
peluang ini, PSII memutuskan keluar dari Masyumi dan tampil sebagai partai politik
sendiri.134 Dengan alasan tersendiri, lima tahun kemudian NU pun keluar dari Masyumi dan
menjadi partai politik sendiri.

Aktualisasi Peran Politik: 1952-1984

Struktur pimpinan pusat Masyumi terdiri dari pimpinan partai (yang melaksanakan
tugas eksekutif sehari-hari) dan Majelis Syuro (semacam dewan pertimbangan dan pemberi
fatwa Pimpinan Partai dalam garis besar tindakan partai. Secara tradisional posisi penting
dalam Majelis Syuro dipegang oleh tokoh ulama NU. Sementara pimpinan partai, yang
sangat dominan, diisi oleh kalangan pembaharu yang biasanya para intelektual. Sebenarnya
struktur kepemimpinan semacam ini lebih banyak menimbulkan persoalan daripada
menguntungkan, mengingat kesan yang yang timbul adalah adanya kompartementalisasi
antar unsur dalam federasi ini. Terlebih lagi tidak pernah begitu jelas perincian tugas antara
kedua struktur pimpinan itu.

132

Tujuan itu adalah untuk menciptakan suatu wadah dan kepemimpinan tunggal bagi umat Islam Indonesia. Dari segi ini,
maka Partai Masyumi adalah "kelanjutan dari usaha MIAI sejak 1937 dan usaha Masyumi 'made in Japan' 1943." Lihat
Syafii Maarif, Dinamika Islam, Potret Perkembangan
Islam di Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983), h. 7.
Usaha menyusun kepemimpinan tunggal semacam itu yang kemudian dikritik oleh Abdurrahman Wahid, dan dinilainya
membawa implikasi negatif terhadap umat. Bagi umat Islam Indonesia, "yang diperlukan adalah upaya untuk terusmenerus mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam.
133 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 47.
134 Ibid., h. 76-77

61

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Suasana hubungan antara keduanya sangat kondusif bagi munculnya konflik, di mana
akhinya Majelis Syuro terus-menerus digiring ke arah peran yang semakin tidak berarti,135
menjadi "dewan penasehat" yang seringkali tidak begitu diindahkan. Di sinilah bersumber
kekecewaan NU terhadap Masyumi.136 Sumber lain adalah berkaitan dengan jabatan Menteri
Agama dalam Kabinet Wilopo. Dalam klaim NU, kursi Menteri Agama adalah bagian
mereka. Sebab di samping sudah demikian adanya sejak awal kemerdekaan, NU memulai
dirinya sebagai cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dan segi "ilmu, akidah,
dan amaliahnya." Namun karena pertimbangan-pertimbangan lain, Masyumi mengajukan
nama Fakih Usman (Muhammadiyah) kepada formatur kabinet untuk jabatan itu. Pada 15
April 1952, hanya sepuluh hari setelah pencalonan itu disetuiui oleh formatur kabinet, NU
memutuskan keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai parpol.137
Sebab-sebab itulah yang umumnya dipandang sebagai faktor pendorong keluarnya
NU dari Masyumi. Tapi Zamakhsyari Dhofier melihat suatu penyebab lain yang lebih
menentukan, yaitu dinamika internal NU sendiri. KH Wahid Hasyim, Ketua Umum PB NU
waktu itu, memandang bahwa organisasi yang dipimpinnya telah semakin condong ke dalam
percaturan politik. "Tokoh-tokoh NU muda seperti Idham Chalid, Saifuddin Zuhri, Syaichu
dan lain-lainnya semakin memerlukan ruang gerak yang cukup luas dalam arena politik. (Dan
hal itu akan) dapat terbuka dengan lebih leluasa setelah NU dapat berdiri sebagai partai
politik."138
Perubahan NU menjadi parpol membawa umat Islam Indonesia ke dalam dikotomi
kepemimpinan politik:

kepemimpinan politik kaum

modernis

di

Masyumi, dan

kepemimpinan politik kyai (ulama) tradisional di NU. Lebih jauh lagi, hal itu juga membawa
perubahan dalam perimbangan kekuatan politik Indonesia saat itu. Hasil-hasil Pemilu 1955
menggambarkan dengan jelas tentang perimbangan kekuatan baru itu. Di sini, NU dengan
perolehan suara sebesar 6.955.141 (18,4 % dari keseluruhan suara yang masuk) dan 45 kursi
di parlemen, menempatkan diri pada posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi, dan setingkat di

135

Perubahan struktur organisasi Masyumi dari periode ke periode cukup menggambarkan melemahnya peran Majelis
Syuro di dalamnya. Lihat ibid., h.69-71.
136 Ibid.
137 Ibid.
138 Zamakhsyari Dhofier, "KH. A. Wahid Hasyim Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia
Modern", dalam Prisma, Agustus 1984. Keinginan Wahid Hasyim untuk mencari ruang gerak yang lebih leluasa bagi NU
tidak memudarkan obsesinya akan persatuan umat Islam dalam satu wadah. Sehingga tidak lama setelah NU keluar dari
Masyumi, ia mendirikan Liga Muslimin Indonesia, yang sekali lagi diharapkan dapat menjadi wadah federasi bagi umat
Islam Indonesia. Lihat ibid. Dalam hal ini, Wahid Hasyim mempunyai jalan pikiran yang berbeda, kalau bukan berlawanan,
dengan putranya yang kontroversial Abdurrahman Wahid.

62

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


atas PKI.139 Mengingat NU adalah partai yang relatif baru, sehingga persiapan untuk
menghadapi pemilu boleh dikatakan kurang jika dibandingkan dengan partai-partai lain,
maka perolehan suara NU yang menempatkannya pada posisi ketiga di atas sungguh di luar
dugaan. Mahrus Irsyam140 menilai bahwa prestasi NU itu dimungkinkan oleh adanya
perubahan dalam tema kampanye yang dilakukan. Dari tema kampanye yang semula, senada
dengan Masyumi (tema-tema agak naif seperti: siapa memilih NU akan masuk sorga"),
menjadi tema yang lebih menonjolkan garis batas antara NU dan partai lain, khususnya
Masyumi dan PKI. Karena itu NU melontarkan isu keterlibatan Masyumi dalam
pemberontakan DI/TII, serta ulah PKI dalam Madiun Affair-nya di tahun 1948. Sehingga
seolah-olah NU menawarkan "jalan selamat bagi umat dengan memberikan suaranya kepada
NU.
Tapi jika diingat bahwa mayoritas warga NU berada di pedesaan, maka penilaian
Irsyam di atas menjadi kurang tepat. Apa pun tema kampanye yang dilontarkan, efeknya akan
lebih terasa pada masyarakat perkotaan, bukan masyarakat pada pedesaan yang voting
behaviour-nya lebih ditentukan oleh pemimpin informalnya (ulama). Penilaian Syafii Maarif
tampak lebih beralasan. Bagi Syafii Maarif, faktor penentu terpenting prestasi NU di atas
adalah banyaknya jumlah pesantren dengan kyainya yang berpengaruh di tiga propinsi yang
menjadi basis massa NU, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Sebagian
besar kyai itu adalah penyokong-penyokong NU yang tangguh. Dalam memperebutkan suara
bagi kepentingan kemenangan politik, para kyai mempunyai peranan strategis, khususnya di
daerah pedesaan; sedangkan lebih dari 70% Indonesia masih merupakan daerah pedesaan.141
Yang pasti prestasi spektakuler itu telah membuat posisi NU kian menguat. Setidaknya
itu tercermin dari perolehan kursi NU dalam kabinet koalisi yang terbentuk tidak lama
kemudian.142 Jika dalam kabinet sebelumnya NU hanya memperoleh dua jabatan menteri,
maka dalam kabinet baru itu NU memperoleh empat jabatan: Menteri Dalam Negeri, Menteri
Perekonomian, Menteri Sosial, dan Menteri Agama, di samping jabatan Wakil Perdana

139

Untuk hasil-hasil Pemilu 1955 ini selengkapnya, lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1966), Tabel 21 h. 434
140 Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), sebagaimana dikutip dalam Sitompul,
op. cit, h. 120.
141 Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan, op. cit., h. 116.
142 Perhatikan bahwa tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas dalam Pemilu 1995. Sehingga kabinet yang
terbentuk kemudian adalah hasil koalisasi antara PNI, Masyumi, dan NU. Sukarno sebenarnya menginginkan PKI diikutkan
dalam koalisasi itu, tapi NU dan Masyumi menolaknya dengan keras. Lihat ibid., h. 123.

63

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Menteri II yang dipegang oleh Idham Chalid.143 Idham adalah Ketua Umum PBNU sejak
1956, setelah KH Moh. Dahlan yang memegang jabatan dari tahun 1954. Kabinet koalisi
PNI-Masyumi-NU itu, sebagaimana kabinet-kabinet lain dalam periode interregnum
Demokrasi Liberal ini, tidaklah berumur panjang. Kurang dari setahun sejak memulai masa
kerjanya, kabinet itu jatuh dan digantikan oleh Kabinet Karya yang dipimpin Juanda, sebelum
akhirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membawa sistem politik Indonesia ke dalam era
Demokrasi Terpimpin.144 Setelah jatuhnya kabinet koalisi itu, peran partai politik merosot
sama sekali. Kabinet Karya, yang formasinya disusun oleh "warga negara Sukarno",
dipretensikan

sebagai

kabinet

ekstra-parlementer

yang

non-partai,

sekalipun

mengikutsertakan beberapa tokoh partai yang diwakili di parlemen. Selama beberapa waktu
dalam masa transisi ke Demokrasi Terpimpin partai-partai politik termasuk NU
"memindahkan medan tempurnya" dari politik praktis kepada perjuangan ideologis tentang
dasar negara dalam Majelis Konstituante."145
Dalam perjuangan ideologis itu pada mulanya ada tiga usul yang diajukan sebagai
dasar negara: Pancasila, Islam dan Sosial-ekonomi. Karena terbatasnya dukungan terhadap
usulan yang disebut terakhir, maka perdebatan tentang dasar negara dalam Konstituante
akhirnya hanya meliputi dua usulan yang pertama. Cukup untuk dikatakan bahwa suara NU
(meskipun NU mendukung usulan Islam sebagai dasar negara) dalam perdebatan itu tidak
seberapa vokal jika dibandingkan dengan kalangan Islam modernis, khususnya dalam
Masyumi, seperti Natsir. Persisnya: NU tidak segigih kalangan modernis dalam
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan ideologis dalam Konstituante
sebenarnya masih berlangsung, sampai Dekrit Presiden membubarkan Konstituante dan
memberlakukan kembali UUD 1945, yang menjadikan persoalan itu tidak relevan lagi.146
Dalam Demokrasi Terpimpin, panggung politik Indonesia praktis dikuasai oleh kekuatan tiga
aktor politik: Sukarno, PKI, dan Angkatan Darat, dengan menyisakan sedikit porsi peran
yang tidak berarti untuk partai-partai politik yang ada. Beberapa partai bahkan tidak memiliki
cukup daya survival berhadapan dengan upaya penyederhanaan kepartaian yang dilakukan
oleh Sukarno, sehingga akhirnya hanya tersisa sepuluh partai. Masyumi termasuk yang
143

Tentang komposisi kabinet di Indonesia dari masa ke masa, lihat antara lain Mashuri Maschab, Kekuasaan Eksekutif di
Indonesia (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983)h. 28-110.
144 Sebuah kajian yang paling komprehensif hingga saat ini tentang era Demokrasi Liberal dan kegagalannya di Indonesia
pernah dilakukan oleh Herbert Feith. Lihat Feith, The Decline, op. cit. Sementara untuk kajian ulang atas Demokrasi Liberal
lihat David Bourchier dan Southeast Asia No. 3 (Clayton: Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994.)
145 Maarif, op. cit.
146 Untuk pembahasan tentang perdebatan ideologis antara kelompok Islam dan golongan nasionalis "sekuler" dalam
Konstituante, lihat ibid., h. 142-176. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: CV
Rajawali, 1986), h. 71-101.

64

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


disingkirkan, terutama karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam pemberontakan PRRI.
Sementara itu NU karena sikap akomodatifnya lebih mampu bertahan. Dalam catatan Syafii
Maarif, sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup di bawah payung
Demokrasi Terpimpin. Dengan gaya mereka masing-masing partai itu telah melakukan
berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang rumit.
Strategi dasarnya adalah bagaimana menyenangkan Sukarno dan menjaga agar ia tidak
menjadi berang sehingga bersedia melindungi kepentingan mereka.147
Bubarnya Masyumi lalu menjadikan NU sebagai partai Islam terbesar di Indonesia.
Namun NU tetap tidak mampu menyamai kebesaran Masyumi, terutama sekali ketika NU
sendiri masih berada di dalamnya. Agaknya hal itu disebabkan karena tampilnya NU sebagai
partai Islam terbesar semata-mata adalah karena massanya yang kalangan Islam tradisionalis
secara kebetulan merupakan mayoritas umat Islam di Indonesia. Lebih dari itu, meskipun NU
"memang dapat mewakili pengikutnya tapi ... tidak berhasil meluaskan pengaruhnya pada
kalangan bukan NU."148
Walaupun demikian, upaya untuk menggalang persatuan umat Islam terus-menerus
dilakukan oleh NU, terutama untuk mengimbangi kekuatan PKI yang terus membesar.
Betapa pun oportunistiknya NU terhadap regim Demokrasi Terpimpin, namun ketika
berhadapan dengan PKI, NU tetap memilih untuk berdiri di atas "garis keras".149 Bahkan
ketika semakin jelas adanya tindakan PKI yang memberikan latihan dan perlengkapan militer
kepada pemuda-pemudanya, maka Subchan ZE, seorang tokoh muda NU (betapa pun hal ini
dapat dipandang sebagai refleksi pola perilaku reaktif NU), segera mengkoordinir pemudapemuda dari PMII, HMI, Ansor, Muhammadiyah, dan bahkan kemudian PMKRI, dan
merencanakan untuk mengimbangi usaha PKI itu. Latihan kemiliteran bagi para pemuda
yang digalang Subchan masih berupa rencana, ketika suatu "prahara politik" merebak di hari
pertama bulan Oktober 1965 dan menandai tahap awal dari serangkaian proses berakhirnya
era Demokrasi Terpimpin. Peristiwa percobaan kudeta oleh apa yang menamakan dirinya G30-S yang melibatkan banyak kalangan ini, termasuk unsur-unsur dari dua aktor dalam
segitiga kekuasaan Demokrasi Terpimpin, PKI dan Angkatan Darat, segera memunculkan
epilog panjang: meluasnya perasaan anti-PKI di kalangan masyarakat; runtuhnya pola
147

Maarif, ibid., h. 184.


Noer, Partai Islam, op.cit., h. 394. Kebesaran Masyumi memang tidak dapat ditandingi oleh partai Islam mana pun di
Indonesia hingga saat ini, tidak juga oleh Parmusi yang didirikan di kemudian hari di dalam alur upaya untuk menghidupkan
kembali Masyumi.
149 Tentang upaya-upaya (yang kebanyakan benar-benar berhenti sebatas upaya tanpa hasil yang memuaskan) NU untuk
setidak-tidaknya mengimbangi PKI, lihat Anam, op. cit., h. 276-241.
148

65

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


hubungan segitiga Sukarno-PKI-Angkatan Darat yang menaikkan militer sebagai dominator
kekuasaan; krisis ekonomi dan inflasi yang parah; di samping krisis politik yang nyaris
membawa negara ke jurang chaos.
Penggalangan kekuatan anti-komunis yang pernah dilakukan Subchan akhirnya
menemukan

relevansinya,

dan

terbentuklah

KAP-Gestapu,

sebuah

kekuatan

aksi

pengganyangan G-30-S yang kemudian "menuntut dilarangnya PKI, ...dibersihkannya


kabinet, parlemen, MPRS, dan semua lembaga negara dan orang komunis dan simpatisan
mereka.150 NU dengan Pemuda Ansornya telah memotori aksi anti-PKI di kalangan sipil
segera setelah G-30-S, dan NU pula yang kemudian banyak terlibat dalam pembantaian yang
dilakukan dengan sepengetahuan --kalau bukan digerakkan-- Angkatan Darat. Bahkan di
Jawa Timur, Ansor bergerak spontan mendahului tentara. Antara 250.000 hingga 500.000
orang terbunuh dalam penumpasan PKI secara fisik itu, yang segera disusul dengan
pembubaran PKI secara formal, sehari setelah ditandatanganinya SP 11 Maret 1966.151 SP ini
sekaligus menandai lahirnya sebuah tatanan politik baru yang membawa komitmen untuk
"melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen" serta mengoreksi
semua kesalahan Orde Lama. 152
Meski secara de facto Supersemar adalah penyerahan kekuasaan dari Sukarno kepada
Suharto, namun ia tidak mau bersikap radikal dalam melepaskan Sukarno dari kekuasaannya
karena dukungan terhadap Sukarno masih besar. Sementara pada sisi lain ia masih ragu akan
popularitas dan dukungan rakyat kepadanya. Ia kemudian mengambil cara inkremental untuk
secara bertahap mengurangi kekuasaan Sukarno dan akhirnya melepasnya sama sekali.153

150

Sundhaussen, op. cit., h. 378


Mengenai pembantaian orang-orang komunis beberapa bulan setelah pemberontakan G-30-S, lihat Harold Crouch,
Militer dan Politik di Indonesia, alih bahasa Th. Sumartana (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), h. 162-174. "Sikap keras
NU terhadap PKI (ini) bukan hanya karena motivasi politik, tetapi yang paling dominan adalah motivasi agama. Anam, op.
cit., h. 244. Sundhaussen menilai bahwa pembantaian orang-orang PKI baik oleh kelompok muslim maupun oleh kelompokkelompok lain sebenarnya merupakan buah dari arogansi mereka (orang-orang PKI) terhadap lawan-lawan politik mereka
di masa-masa sebelumnya. "Orang-orang komunis mencap lawan-lawan mereka sebagai 'setan-setan desa', musuh kontrarevolusioner dari negara, sampah masyarakat. Mereka memperolok dan menghina agama, yang menyebabkan umat Islam
bersiap-siap untuk berjihad." Sundhaussen, op. cit., h. 387.
152 Suharto, tokoh sentral Orde Baru, menyebutkan tiga penyeleweng" di masa Orde Lama. Pertama, radikalisme ekstrim
kiri PKI yang dengan segala cara berusaha memonopoli hasil-hasil revolusi dengan menghembus-hembuskan perjuangan
kelas di Indonesia. Kedua, oportunisme politik yang didorong oleh ambisi di kalangan pribadi penguasa. Dan ketiga,
penyelewengan ekonomi yang, lagi-lagi, didorong oleh kepentingan pribadi. Lihat Suharto, "Mengakhiri Tiga
Penyelewengan" dalam Herbert Feith dan Lance Castles (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, alih bahasa Min Yubhaar (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 132-135
153 Upaya itu dilakukan baik secara "konstitusional" dengan menekan MPRS agar mengesahkan ketetapan-ketetapan yang
diusulkan oleh Angkatan Darat (terutama tentang pengukuhan Supersemar sebagai TAP MPRS dan penuntutan tanggung
jawab terhadap Sukarno yang akhirnya bermuara pada upaya intensif untuk menyudutkannya maupun dengan jalan
memperkuat tempat berpijaknya sendiri dengan cara memapras perwira-perwira pendukung Sukarno dari posisi-posisi
151

66

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Suharto juga tidak man bertindak gegabah dengan "memborong" semua porsi kekuasaan dan
membaginya habis untuk perwira-perwira Angkatan Darat.
Mengacu pada Mohtar Mas'oed, Orde Baru adalah kebangkitan koalisi besar, dengan
anggota inti Angkatan Darat, intelektual sipil anti-komunis, dan para pengusaha.154 Aliansi
ini segera memusatkan perhatian untuk membenahi semua warisan krisis dari regim Orde
Lama dengan melakukan stabilisasi dan pembangunan ekonomi yang berorientasi ke
luar."155 Upaya ini berdampak panjang dan rumit bagi partai politik dan sistem kepartaian di
Indonesia. Semula NU agak ragu untuk memberikan dukungan terhadap Suharto. Namun
ketika semakin jelas bahwa ia cukup memiliki pijakan legtimasi yang kuat untuk berkuasa,
sementara pada saat yang sama mulai muncul kekecewaan NU terhadap Sukarno yang
terakumulasi cepat,156 maka NU secara luwes mengalihkan dukungannya dari Sukarno
kepada Suharto. Menjelang akhir Januari dukungan NU dengan mengemukakan alasan moral
maupun politik, memisahkan diri dari Sukarno dan menolak Pel-Nawaksara.157 Pada tahun
yang sama, tokoh-tokoh NU dalam DPG-GR mengajukan memorandum yang pada pokoknya
mengemukakan beberapa indikasi keterlibatan Sukarno dalam G-30-S, dan karenanya DPRGR dihimbau untuk mengundang MPRS guna mengadakan sidang istimewa untuk mencabut
kekuasaan Sukarno. Memorandum ini kemudian disusul dengan sebuah resolusi yang
meminta agar MPRS mengangkat Jenderal Suharto sebagai presiden. Dukungan NU terhadap
Suharto ini tidak lepas dari sikap Suharto sendiri. "Setelah menilai karakter tokoh-tokoh NU,
para penasehat Suharto mengambil kesimpulan bahwa bila mereka diberikan status dan dana
bagi kegiatan keagamaan dan lain-lain, Idham dan rekan-rekannya akan mendukung Suharto
seperti mereka mendukung Sukarno di masa lampau.." 158
Tuntutan yang segera muncul begitu Orde Baru mulai melangkah

adalah

diselenggarakannya pemilihan umum. Baik Sukarno maupun partai-partai politik sangat

penting Angkatan Darat yang dilakukan bersamaan dengan upaya serupa terhadap ketiga angkatan lainnya, bahkan juga
lembaga-lembaga tinggi negara. Lihat Crouch, op. cit., h. 220-272. Cf. Sundhaussen, op. cit., h. 411
154 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971
155 Ibid., h. 56-60.
156 Dengan mengutip KH Wahab Hasbullah dan KH Saifuddin Zuhri, Anam menyebutkan bahwa lunturnya dukungan NU
terhadap Sukarno adalah, karena ia tidak mau segera membubarkan PKI, sekalipun NU telah berusaha untuk
mengartikulasikan tuntutan pembubaran PKI itu secara konstitusional dan tidak dalam cara-cara anarkis. Lihat Anam,
op.cit., h. 249. Tapi perlu dicatat bahwa cara-cara konstitusional itu cuma merupakan sebuah episode setelah pada episode
sebelumnya NU menggunakan cara-cara kekerasan terhadap PKI.
157 Sundhaussen, op. cit., h. 433. Pel-Nawaksara adalah laporan pelengkap pidato utama Sukarno di depan sidang MPRS
pada pertengahan 1966, Nawaksara. Pidato Pel-Nawaksara mencerminkan penentangan Sukarno terhadap MPRS dan
keengganannya untuk mengutuk PKI.
158 Crouch, op. cit., h. 296.

67

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


berkepentingan dengan diadakannya pemilu dalam tujuan masing-masing,159 namun AD tentu
tidak mau mengambil resiko. Mengadakan pemilu yang akan menggambarkan arah dukungan
rakyat, sementara AD tidak dapat menjamin popularitasnya di kalangan rakyat --adalah
tindakan "bunuh diri". Karena itu pemerintah berusaha untuk menperlambat tempo pemilu
dengan jalan mengulur-ulur proses disahkannya UU tentang pemilu. Langkah pertama,
Seminar AD 1966 mengusulkan rancangan UU tentang pemilu yang mengundang banyak
kritik dari wakil-wakil rakyat di DPG-GR, dan karenanya tidak dapat disetujui dalam waktu
singkat. Sementara itu ditandatanganinya paket 27 Juli 1967 di mana partai-partai dan
pemerintah, saling memberi konsensi menyebabkan UU Pemilu perlu disusun ulang.
Akibatnya, pemilu yang disepakati akan dilaksanakan pada 5 Juli 1968 secara teknis menjadi
tidak mungkin terlaksana. Ketika pada Maret 1968 MPRS bersidang dan mengangkat Suharto
sebagai presiden penuh, pemerintah sekali lagi mengusulkan penundaan pemilu selama lima
tahun. Namum partai-partai politik berhasil mendesakkan kompromi yang mengharuskan
pemerintah melaksanakan pemilu pada 15 Juli 1971.160
Sementara pelaksanaan pemilu terus mengalami penundaan, pemerintah berupaya
melemahkan partai-partai politik.161 Dalam masa ini tercatat berdirinya sebuah Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 20 Januari 1968. Partai ini sebenarnya lahir prematur
dari kandungan keinginan untuk menghidupkan kembali Masyumi. Pemerintah secara tegas
menolak keinginan tokoh-tokoh

Masyumi

untuk

merehabilitasi

partainya, sambil

mengingatkan keterlibatan mereka dalam pemberontakan PRRI,162 walaupun pemerintah juga


menyatakan "tidak berkeberatan terhadap pembentukan partai yang berbasis massa
Masyumi."163
Dengan rekayasa penuh pemerintah terhadap struktur kepemimpinannya, berdirilah
Parmusi. Sementara itu AD terus mengembangkan Golkar, yang didirikan pada 20 Oktober
1964 dengan nama Sekber Golkar, menjadi partner sekaligus lengan politiknya. Golkar, yang
tidak memiliki akar kuat di bawah, segera menggunakan apa yang kemudian disebut sebagai
159

Sukarno menginginkan pemilu karena itu adalah cara yang efektif untuk mengurangi kekuasaan Suharto yang belum
memiliki kesempatan untuk mengembangkan popularitasnya di kalangan rakyat. Lihat Sundhaussen, op.cit., h. 420. Cf.
Crouch, op. cit., h. 230. Sementara tuntutan partai-partai terhadap pemilu didasari oleh keinginan untuk kembali menggali
peran politik mereka. Dengan pemilu, dukungan terhadap parpol dari akar massa mereka masing-masing akan termobilisir
riil. Lihat Crouch, ibid., h. 278
160 Tentang upaya penguluran waktu pelaksanaan pemilu ini, lihat antara lain Crouch, ibid., h. 278-285.
161 Ibid., h. 285-296.
162 Penolakan pemerintah terhadap rehabilitasi Masyumi tampaknya didasari oleh keengganannya untuk melihat
munculnya sebuah kekuatan politik Islam yang besar sebagaimana Masyumi dahulu. Alasan Suharto tentang keterlibatan
sejumlah tokoh Masyumi dalam pemberontakan PRRI terasa hipokrit ketika ia kemudian ternyata menyertakan Sumitro
Djojohadikusumo, seorang ekonom tokoh PSI yang juga terlibat PRRI, dalam kabinetnya.
163 Crouch, op. cit., h, 292

68

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


"taktik buldozer" untuk mengalihkan suara partai-partai lain terhadapnya. Menghadapi PNI,
Golkar diuntungkan oleh Permendagri Nomor 22 Tahun 1969 yang mengharuskan pegawai
Depdagri, sumber dukungan terbesar PNI, bergabung dengan Kokarmendagri. Demikian pula
PP No. 6 Tahun 1970 yang mewajibkan pegawai negeri hanya memiliki loyalitas tunggal.
Sedangkan menghadapi partai-partai Islam dipilih cara untuk mengambil hati para ulama,
antara lain dengan menghidupkan kembali GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan
Islam). Sasaran lain yang diraup Golkar adalah eks anggota PKI dan ormas-ormasnya.
Walaupun UU pemilu secara khusus melarang oarng-orang ini untuk memberikan suaranya
dalam pemilu, namun dilaporkan bahwa di beberapa daerah orang-orang eks anggota dan
simpatisan PKI yang tidak dibunuh atau dipenjarakan telah diharuskan memilih Golkar.164
Tidak heran jika pemilu --yang akhirnya terselenggara pada 3 Juli 1971, ditandai lahirnya
sebuah kekuatan politik dominan yang baru dengan keberhasilan Golkar memperoleh 62,8%
suara dalam pemilu itu. Parpol-parpol lain pada umumnya berantakan menghadapi taktik
Golkar dalam Pemilu 1971. Hanya NU yang mampu bertahan, yang dengan perolehan 18,7 %
suara telah memperbaiki penampilannya dalam Pemilu 1955.165 Para pengamat menilai
senada bahwa faktor utama penentu reputasi NU ini adalah peranan kyai dan pesantren yang
menjadi basis massanya.166 Strategi monoloyalitas yang dilontarkan Mendagri jelas tidak
berarti banyak berhadapan dengan NU yang dipimpin oleh para kyai yang tidak terikat pada
gaji pemerintah. Demikian pula kebijaksanaan floating mass yang memotong akar partai di
pedesaan sebagai konsekuensi dari pembatasan di dalam hirarki struktur partai yang
diharuskan, tidak menjadi persoalan besar bagi NU, karena kyai masih menjadi panutan
massa Islam pedesaan yang paternalistik. Dengan bertumpu pada dukungan kyai, NU berhasil
meyakinkan para pemilih Islam di desa-desa, khususnya di daerah seperti Jawa Timur, bahwa
pemilu adalah batu ujian bagi iman mereka.

Berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan

164

Tentang taktik buldozer Golkar ini, lihat ibid., h 299- 301. Dalam Pemilu 1971 tercatat 2.123.747 warga negara yang
tidak berhak memilih. Ibid., h. 300. Jika diingat bahwa pada tahun 1965 PKI pernah menyatakan memiliki anggota sebanyak
20 juta orang, dan jika angka ini dikurangi dengan kira-kira 500.000 orang komunis yang dibunuh di akhir tahun 1965 dan
awal 1966, serta jika diasumsikan bahwa orang-orang yang tidak berhak memilih itu adalah orang-orang komunis
semuanya, maka setelah dikurangi dengan jumlah mereka yang ditahan, secara kasar dapat diperkirakan bahwa kira-kira
sejumlah 17 juta eks anggota PKI tidak dihalangi untuk memberikan suaranya. Pernyataan ini boleh jadi kurang
argumentatif, namun boleh jadi, mereka inilah yang diraup Golkar.
165 Untuk hasil-hasil Pemilu 1971, lihat antara lain M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret
Pasang Surut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170.
166 Lihat Marijan, op. cit., h. 101; Crouch, op. cit, h. 302; Fathoni dan Zen, op.cit., h. 46.

69

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Ketika stabilitas politik diterima sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, maka
regim Orde Baru sangat intens menciptakan semua prakondisi yang diperlukan untuk
pemantapan

stabilitas

itu,

serta

mengeliminasi,

setidaknya

meminimalkan

semua

kemungkinan ke arah sebaliknya. Salah satu bentuk upaya ini adalah tindakan restrukturisasi
partai politik --kiat manajemen konfllik yang sebenarnya diwarisi dari regim sebelumnya
dengan berbeda pola pelaksanaannya. Proses ke arah penyederhanaan partai ini pada
dasarnya sudah dimulai sejak awal 1970, sebelum pemilu pertama dilaksanakan.
Pada Februari 1970, di depan para pimpinan ke-9 parpol dan Golkar, Presiden Suharto
menyampaikan saran tentang pengelompokan partai-partai. Tujuannya adalah untuk
mempermudah kampanye pemilu, dan selanjutnya mempermudah sistem administrasi seperti
penyusunan fraksi di DPR kelak, bukan untuk melenyapkan partai-partai itu sendiri.167
Setelah melalui tahap dialog antara pemerintah dan partai-partai, seruan Suharto itu
memperoleh tanggapan positif. Maka pada bulan berikutnya terbentuklah pengelompokan
dimaksud. PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik bergabung dengan kelompok
nasionalis. Sedang NU, Parmusi, PSII dan Perti membentuk kelompok spiritual. Kelompok
pertama disebut Kelompok Demokrasi Pembangunan, dan yang kedua disebut Kelompok
Persatuan Pembangunan.168 Sebenarnya Parkindo dan Partai Katolik dapat bergabung dalam
kelompok spiritual. Tapi karena alasan perbedaan agama, sementara untuk membentuk
kelompok tersendiri kurang dimungkinkan, mereka lebih memilih kelompok nasionalis.
Pengelompokan ini selanjutnya menjadi dasar penyusunan fraksi di DPR, sehingga badan ini
memiliki lima fraksi: Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrasi Pembangunan atau
Demokrasi Indonesia, Fraksi Karya Pembangunan, dan Fraksi ABRI.
Kemenangan gemilang Golkar dalam Pemilu 1971 di sisi lain juga semakin
memudahkan 'penguasaan' pemerintah terhadap DPR. Pemerintah kemudian mengusulkan
RUU Kepartaian. Dalam rancangan itu disebutkan bahwa hanya tiga partai politik yang akan
diakui di Indonesia. Dengan demikian, pemilu berikutnya hanya akan diikuti oleh dua parpol
dan Golkar.169 Semakin jelas bahwa penyederhanaan partai sulit ditolak oleh kalangan partai.
Maka Kelompok Persatuan Pembangunan yang berbentuk konfederasi terus-menerus
mengadakan pendekatan intensif dalam rangka mendahului realisasi fusi, sebelum hal itu

167

Lihat Bambang Purwoko, Perkembangan Partai Persatuan Pembangunan (1973-1986), (Skripsi FISIPOL-UGM, 1988), h.
110. Cf. Fathoni dan Zen, op. cit, h. 47.
168 Bambang Purwoko, ibid., h. 111
169 Fathoni dan Zen, op. cit., h. 47-48. RUU ini tanpa hambatan yang berarti kemudian disahkan sebagai UU No. 3 Tahun
1975 tentang Parpol dan Golkar.

70

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dipaksakan oleh UU Parpol dan Golkar. Langkah ke arah fusi itu bukannya tanpa hambatan,
sebab partai-partai Islam pada mulanya berbeda pendapat tentang fusi itu: Parmusi dan Perti
sejak semula mendukung gagasan fusi, namun tidak demikian halnya NU dan PSII.170
Namun ketika semakin pasti bahwa fusi partai tidak mungkin ditolak, maka pada 5
Januari 1973 keempat partai Islam itu berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan,
ditandai dengan penandatanganan sebuah deklarasi di Jakarta.171 Struktur kepemimpinan PPP
diusahakan agar dapat menampung semua partai pendukung secara proporsional, agaknya
dengan mempertimbangkan perimbangan kekuatan dalam Pemilu 1971. Itulah sebabnya,
dominasi NU dalam partai ini terasa dominan pada awalnya, seperti yang tampak dari
diborongnya posisi penting dalam kepengurusan pusat PPP oleh NU.172 Tak heran jika pada
awal berdirinya pikiran-pikiran NU banyak mewarnai keputusan-keputusan PPP terutama
bila berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam hal ini PPP tampak begitu
kompak, seperti tercermin jelas dalam respons penolakan atas RUU Perkawinan 1974. Alasan
utama penolakan itu adalah karena secara prinsipil RUU itu bertentangan dengan ajaran
Islam. Sekalipun anggota PPP hanya sedikit di DPR (94 dari 460 orang anggota), namun
mereka dapat memaksakan revisi yang cukup mendasar sebelum RUU itu disahkan menjadi
UU No. 1 Tahun 1974. Sukses itu dimungkinkan karena kekompakan elit PPP, di samping
adanya gelombang reaksi keras dari massa Islam di luar partai terhadap RUU itu.173 Namun
PPP tampak mulai kurang utuh setelah Pemilu 1977. Keretakan di FPP mulai muncul ketika
mereka harus membahas Rantap MPR tentang P-4 dan dimasukkannya aliran kepercayaan
dalam GBHN. Sekalipun secara esensial semua unsur di FPP menolak dimasukkannya P-4
sebagai Tap MPR dan aliran kepercayaan ke dalam GBHN, namun mereka berbeda dalam
strategi dan taktik yang dipakai. Ketika MPR sulit menemukan kata sepakat dalam
pembahasan tersebut, maka dipilih cara voting. Di sini perbedaan muncul. Unsur MI
menginginkan FPP ikut dalam voting sekalipun mungkin kalah, sementara SI mengusulkan
agar abstain saja, sedangkan NU bersikeras menolak voting dan memilih walk out dari ruang
sidang.174

170

Bambang Purwoko, op. cit., h. 117-119. Lihat juga Marijan, op. cit., h. 104
Deklarasi ini ditandatangani oleh KH Idham Chalid (NU), HMS Mintaredja (MI), H Anwar Tjokroaminoto (SI), H Rusli Halil
(Perti), dan KH Masykur (NU). Isi lengkap deklarasi ini lihat antara lain Bambang Purwoko, op. cit., h. 120; atau Syamsudin
Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT Grasindo, 1991), h. 158
172 Jabatan-jabatan penting yang dipegang NU adalah Presiden Partai, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat, Sekjen, Ketua
Umum Majelis Pertimbangan Partai, dan Rais Aam Majelis Syuro. Lihat Haris, ibid., h. 162
173 Lihat Haris, ibid., h. 10-11.
174 Marijan, op. cit., h. 112
171

71

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Retak kedua muncul dalam pembahasan RUU tentang perubahan UU Pemilu No. 15
Tahun 1969 di DPR. RUU ini memperoleh tentangan keras dari FPP dan FDI, terutama
menyangkut keikutsertaan parpol di LPU (Lembaga Pemilihan Umum) sampai KPPS,
tuntutan pengurangan jumlah anggota DPR yang diangkat, dan sebagainya. Lagi-lagi, unsurunsur dalam FPP berbeda strategi sekalipun sikap mereka terhadap RUU itu sama. Dan NU
kembali menunjukkan sikap kerasnya. Ketika semua unsur lain pada akhirnya terpaksa
menerima RUU itu, NU tetap bersikukuh menolaknya, sehingga RUU itu disahkan tanpa
kehadiran anggota FPP dari unsur NU dalam sidang pleno bulan Februari 1980.175
Retaknya kekompakan ini barangkali sebenarnya tidak terlalu berdampak buruk bagi
partai. Hanya saja pada waktu yang nyaris bersamaan mulai muncul bibit kekecewaan NU
terhadap PPP yang, sebagaimana terhadap Masyumi dulu, berkisar dalam masalah distribusi
kekuasaan.
Sekalipun posisi NU cukup kuat di masa awal Orde Baru, namun tokoh-tokoh NU
tidak lagi dilibatkan dalam jabatan-jabatan pemerintahan. Jika dalam Kabinet Pembangunan I
masih ada dua orang NU yang memegang jabatan menteri, dalam kabinet berikutnya sudah
tidak ada lagi. Dalam Kabinet Pembangunan II hanya ada dua orang menteri yang berasal
dari parpol non-Golkar, yaitu HMS Mintaredja (Parmusi) dan Sunawar Sukowati (PNI).
Bahkan jabatan Menteri Agama yang secara tradisional hampir selalu dipegang oleh NU kini
tidak lagi. Dalam Kabinet Pembangunan I Yang Disempurnakan, jabatan itu diberikan
kepada seorang "teknokrat" Prof Dr Mukti Ali.176 Kecenderungan pemerintah yang sudah
enggan untuk bekerjasama dengan kalangan politisi partai non-Golkar ini akhirnya memaksa
NU dan partai-partai lain memusatkan perhatian pada lembaga legislatif, tempat terakhir di
mana interaksi politik mereka dimungkinkan. Kesempatan tersisa ini menjadi begitu berarti
bagi mereka.
Menyadari begitu krusialnya masalah pembagian hasil perolehan kursi di DPR antara
keempat unsur di dalamnya, PPP jauh-jauh hari sudah berusaha membuat langkah antisipatif.
Di tahun 1975, Munas Dewan Partai menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa rasio
perbandingan perolehan kursi untuk masing-masing unsur dari Pemilu 1977 adalah
didasarkan pada hasil nyata perolehan kursi dari Pemilu 1977 ketika masing-masing unsur

175

Ibid., h. 113. Rasa tidak puas terhadap FPP dan DPP PPP, yang telah menginstruksikan agar FPP menerima saja RUU itu,
segera bermunculan di kalangan aktivis PPP sendiri. Mereka yang tidak puas lalu membentuk sebuah "Komite Perubahan
Pusat" yang menentang FPP dan DPP PPP. Ibid., h. 114
176 Untuk komposisi kabinet-kabinet RI, lihat Mashuri Maschab, op. cit.

72

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


masih berupa parpol. Kesepakatan ini kemudian dikenal sebagal "Konsensus '75". Berbekal
konsensus inilah PPP menghadapi Pemilu 1977. Dari pemilu ini PPP memperoleh 99 kursi di
DPR, meningkat 5 kursi dari 94 kursi perolehan keempat partai Islam dalam Pemilu 1971.177
Dengan logika sederhana dapat diduga bahwa penambahan 5 kursi itu akan dibagi merata
bagi semua unsur. Masing-masing memperoleh tambahan satu kursi dibanding dari perolehan
di Pemilu 1971, sementara satu kursi sisanya bolehlah diserahkan kepada unsur dengan
jumlah perolehan kursi terkecil. Benarkah demikian?
Tiga unsur memang memperoleh kenaikan jumlah kursi. Parmusi (atau MI) dari 24
kursi di Pemilu 1971 menjadi 25 kursi dalam Pemilu 1977. SI dari 10 menjadi 14 kursi. Dan
Perti dari 2 menjadi 4 kursi. Namun NU justru mencatat penurunan, dari 58 kursi menjadi
"hanya" 56 kursi.178 Rasio, perolehan kursi antar unsur ini jelas menyimpang dari Konsensus
'75. Masalah pembagian kursi antar unsur ini memang tidak pernah dipersoalkan oleh NU.
Namun bibit kekecewaan sangat boleh jadi lalu muncul di sini, dan mulai retaknya
kekompakan PPP dalam kisaran waktu ini tak urung menjadi lahan persemaian yang subur
bagi bibit itu. Lalu, bibit kekecewaan itu segera menemukan pupuk penyuburnya ketika
kekompakan dalam PPP yang telah retak semakin rengkah dan tidak dapat ditutup-tutupi lagi.
Menjelang persidangan DPR 1980/1981 tejadi perebutan kursi ketua komisi-komisi
yang telah menjadi jatah PPP di DPR antara NU dan MI. Awalnya adalah ketika FPP
memperoleh jatah 13 kursi untuk komisi DPR. Jatah kursi ini lalu dibagi dengan rasio
NU:MI:SI:Perti = 7:4:1:1. Dan sesuai dengan kesepakatan fraksi-fraksi di DPR, FPP
mendapat jatah untuk mengetuai Komisi-komisi I, VII, dan VIII. Semula, Komisi I diketuai
oleh Amin Iskandar (NU), Komisi VII oleh Rahmat Muljomiseno (NU), dan Komisi VIII
oleh Ismail Hasan Metareum (MI). Lalu, di tahun 1978 NU sepakat meminjamkan kursi
Ketua Komisi VII kepada MI, dengan catatan harus dikembalikan setahun kemudian. Pada
tahun berikutnya, MI ternyata menolak permintaan NU untuk mengembalikan pinjamannya
itu, bahkan MI meminta perpanjangan selama satu tahun. NU setuju. Namun di tahun 1980
MI ternyata bersikeras mempertahankan kursi Ketua Komisi itu. Ketika NU terus
menuntutnya, diadakanlah voting. Tapi di sini NU kalah, karena MI didukung oleh FKP dan

177
178

Lihat Rusli Karim, op. cit., h. 170 dan 183.


Anam, op. cit., h. 268

73

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


FABRI. Perebutan jabatan bahkan lalu merambat pada kursi Ketua Komisi lainnya. Lagi-lagi
NU kalah, sehingga rasio jatah kursi komisi milik FPP antara NU dan MI menjadi 5:6.179
Konflik yang cukup keras muncul saat penyusunan daftar calon anggota DPR
menjelang Pemilu 1982. MI menganggap bahwa Konsensus '75 sebagai referensi distribusi
kekuasaan sudah tidak berlaku lagi, dan dipandang hanya berlaku untuk Pemilu 1977. NU
berpendapat lain. Bagi NU, komposisi distribusi kekuasaan di FPP setidaknya harus
dipertahankan. Sementara unsur-unsur lain terutama MI justru menuntut NU mengurangi
jatahnya dari 56 menjadi 49 agar NU tidak menjadi kekuatan mayoritas.180 Perbedaan
pendapat ini menyebabkan PPP sulit mencari kata sepakat tentang Daftar Calon Sementara
anggota DPR dari PPP untuk Pemilu 1982, bahkan sampai batas akhir penyerahan DCS ke
LPU 27 September 1981. Sekalipun LPU memberikan toleransi selama satu bulan,
kesepakatan masih saja sulit dicapai. Maka pada 27 Oktober 1981, Jaelani Naro, Ketua
Umum DPP saat itu, bersama beberapa orang temannya menyerahkan DCS hasil susunannya
sendiri kepada Mendagri selaku Ketua LPU. DCS ini berjumlah 625 calon, dengan
perimbangan "calon jadi" 49 untuk NU, 29 MI, 16 SI, dan 5 Perti.181
NU menilai DCS yang diajukan Naro, jelas menyimpang dari Konsensus '75, sebagai
daftar sepihak yang disusun di luar musyawarah dengan anggota DPP lain yang non-MI. Di
samping itu, NU kecewa karena di dalam DCS tersebut tokoh-tokoh penting NU, terutama
yang selama ini cukup vokal berada di urutan bawah. Sebaliknya yang lunak justru
ditempatkan pada "nomor jadi".182
Rasa tidak puas ini mendorong NU mengajukan protes secara resmi kepada LPU dan
DPP PPP melalui sebuah surat pernyataan penolakan DCS versi Naro, yang ditandatangani
Rais Aam NU KH Ali Maksum, Ketua Umum PB NU KH Idham Chalid, dan Sekjen PB NU
HM Munasir. Namun Mendagri selaku Ketua LPU tetap menilai bahwa daftar calon yang
diajukan oleh DPP PPP adalah sah dan karena itu tidak perlu dipersoalkan. Bahwa DCS itu
disusun tanpa melalui musyawarah tidaklah menjadi persoalan dalam penilaian LPU, sebab
179

Haris, op. cit., h. 67-69; Marijan, op. cit., h. 115.


Marijan, ibid., h. 115. Tokoh MI bahkan menuntut agar distribusi kekuasaan mengacu pada hasil Pemilu 1955. Klaim ini
sangat tendensius, sebab mereka beranggapan bahwa MI adalah kelanjutan Masyumi yang dalam Pemilu 1955 berada di
atas NU dalam perolehan suara. Sebagai kelanjutan Masyumi, MI merasa wajar jika menuntut perolehan kursi lebih banyak
daripada NU. Namun, pernyataan diri MI sebagai kelanjutan Masyumi ini ditentang oleh Natsir, tokoh terpenting Masyumi
dahulu. Lihat Fathoni dan Zen, op. cit., h. 64-65.
181 Haris, op. cit., h. 69.
182 Kenyataan ini sebenarnya dapat diperkirakan sebelumnya. Sudarji, seorang anggota DPP dari unsur MI yang pertama
kali mempersoalkan relevansi Konsensus'75, pernah bersesumbar bahwa PPP akan membersihkan diri dari unsur-unsur
Orde Lama dan yang melakukan walk out. Lihat Fathoni dan Zen, op. cit., h. 65. Yang dimaksud Sudarji ini tentu tokohtokoh keras NU. Sebab hanya unsur NU-lah yang pernah melakukan walk out baik dalam persidangan MPR maupun DPR.
180

74

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


agaknya, kriteria tunggal keabsahan DCS adalah adanya tanda tangan dari Ketua Umum
DPP, dan itu sudah terpenuhi. Mau tak mau, NU harus bersedia menerima "kekalahan" ini.
Menghadapi kenyataan pahit ini, sikap para elit NU berbeda-beda, seperti tercermin
dalam polemik antara KH Yusuf Hasyim (yang termasuk tokoh yang tersingkir) dengan KH
Ali Yafie. Yusuf Hasyim menyerukan agar warga NU Jawa Timur mencoblos untuk calon
DPRD saja dalam pemilu nanti dan tidak mencoblos untuk calon DPR. Pernyataan ini
ditentang oleh Ali Yafie dan Chalid Mawardi yang menilai Yusuf Hasyim tidak paham
kepribadian NU, dan generasi muda diserukan agar tidak mengikuti hasutan Yusuf
Hasyim.183
Polarisasi juga muncul dalam tubuh NU berkaitan dengan cara pandang tentang
keberadaan mereka dalam PPP yang selama ini telah banyak mendatangkan kekecewaan.
Dalam hal ini terdapat tiga kelompok yang saling berbeda pendapat. Pertama, kelompok yang
menghendaki agar NU tetap berpolitik. Tokoh kelompok ini adalah Idham Chalid. Kelompok
kedua, adalah mereka yang menginginkan agar NU kembali ke bentuk jam'iyah secara tuntas
dan meninggalkan kegiatan politik. Termasuk dalam kelompok ini adalah KH Ali Maksum
dan KH Achmad Siddiq. Lalu kelompok ketiga, antara lain KH Yusuf Hasyim, menginginkan
NU kembali ke Khittah 1926 tapi tetap berpolitik.184
Untuk merumuskan secara jelas dan kompak cara pandang NU tentang keberadaannya
dalam PPP, PB Syuriah NU mengadakan sebuah rapat pleno pada tanggal 29 Januari 1992 di
Jakarta. Rapat ini antara lain berpendapat:

Nahdhatul Ulama akan mempertimbangkan kedudukannya dalam lingkungan Partai


Persatuan Pembangunan (PPP) pada saat yang tepat, apabila asas musyawarah, solidaritas
intern dan prinsip-prinsip organisasi lainnya tidak dapat ditegakkan di dalamnya.185

Berkaitan dengan pemilu, Syuriah NU bersikap arif dengan menegaskan agar warga
NU turut berpartisipasi di sana. Betapapun hasil Pemilu 1982 jelas tidak akan mendatangkan
keuntungan politis bagi NU namun warga NU dihimbau untuk tidak terjebak dalam

183

Ibid., h. 66-67.
Lihat Anam, op. cit., h. 280.
185 Seperti dikutip dalam ibid., h. 287. Di sini, secara implisit NU tampaknya menegaskan bahwa ia telah sedang
mempertimbangkan kedudukannya dalam PPP, sebab prinsip-prinsip yang disebutkan itu jelas telah banyak dilanggar di
dalamnya.
184

75

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kebimbangan saat harus menentukan pilihan. Pola pikir ini tampaknya berjalan di atas sebuah
kaidah fikih yang diyakini NU: apa yang tidak bisa seluruhnya jangan dilepaskan seluruhnya.
Karena itu, NU tetap aktif dalam kampanye PPP. Namun suasana konflik menjelang pemilu
rupanya menyebabkan hasil perolehan PPP merosot. Berdasarkan Pemilu 1992, PPP
memperoleh 94 kursi di DPR, kembali turun 5 kursi dibanding Pemilu 1977,186 padahal saat
itu jumlah anggota DPR telah mengalami eskalasi.
Sementara itu, kekecewaan dalam PPP membawa NU pada introspeksi akan
kepemimpinan organisasinya. Para ulama menilai bahwa segala kerugian yang dialami NU
bermuara pada lemahnya kepemimpinan Idham Chalid dalam power bargaining. Maka
pertemuan 10 ulama NU di Surabaya 1 Mei 1982 menyepakati 'menghimbau' Idham Chalid
untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkan mandat kepada Rais Aam. Faktor
lemahnya kesehatan fisik Idham adalah alasan yang dipilih.
Setelah para ulama sepuh mendatangi Idham, ia lalu bersedia menandatangani surat
pengunduran dirinya pada tanggal 2 Mei, hanya saja pengumuman surat pengunduran diri itu
ditunda sampai tanggal 6, mengingat pada tanggal 4 akan dilaksanakan pemilu. Namun
pernyataan tersebut diumumkan, reaksi keras berdatangan dari para pendukung Idham. Bagi
mereka, pengunduran diri Idham hanya dimungkinkan melalui Muktamar, sebab lewat forum
inilah ia diangkat. Tindakan para ulama itu lalu dianggap sebagai kudeta. Didorong oleh
begitu banyaknya dukungan, termasuk dari 17 Pengurus Cabang NU, Idham lalu membuat
surat pernyataan pencabutan kembali pengunduran dirinya.187
Kejadian ini segera mengundang konflik dan perpecahan panjang dalam tubuh NU.
Idham merasa tetap sebagai Ketua Umum PB NU, sementara para ulama tetap memegang
prinsip bahwa surat pengunduran diri Idham sah dan tidak bisa dicabut kembali. Jadi jabatan
Ketua Umum yang telah diserahkan kepada KH Ali Maksum (Rais Aam NU) tidak dapat
diminta kembali. Sulitnya dicapai kata sepakat akhirnya membawa NU pada dualisme
kepemimpinan antara kelompok ulama yang dimotori oleh KH As'ad Syamsul Arifin,
Situbondo (karena itu disebut sebagai kubu Situbondo), dan kelompok politisi yang dipimpin
oleh Idham Chalid (kubu Cipete). Betapa pun, kedua pihak yang berbeda pendapat
tampaknya sama-sama berusaha untuk menemukan solusi bagi konflik yang tidak sehat itu.
Kubu Cipete menginginkan diadakan muktamar. Sedangkan kubu Situbondo lebih

186
187

Rusli Karim, op. cit., h. 212.


Tentang kemelut kepemimpinan NU ini, lihat ibid., h 70-75: atau Marijan, op. cit., h. 120-125.

76

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


memperhatikan perlunya Munas Alim Ulama NU. Namun, kedua kubu sama-sama
menyatakan bahwa baik muktamar maupun munas akan membicarakan penerimaan Pancasila
sebagai asas tunggal.188 Semua pihak dalam NU agaknya menyadari bahwa pertentangan
yang sudah terbuka menyebabkan campur tangan pemerintah tak terelakkan lagi.
Masa depan NU lalu ditentukan oleh arah dukungan pemerintah kepada pihak yang
bertikai (apakah muktamar atau munas yang diizinkan), serta bagaimana NU menanggapi
Pancasila sebagai isu nasional. Pihak pemerintah ternyata mendukung kubu Situbondo
dengan memberi lampu hijau untuk pelaksanaan munas.
Kejelasan sikap pemerintah yang mendukung kubu ulama ini ternyata cukup
meredakan perpecahan. Kedua pihak yang berkonflik akhirnya lebih berkomitmen pada
kerukunan jam'iyah. Sikap ini tampak jelas setelah dilangsungkannya Munas Alim Ulama
NU di Situbondo (18-21 Desember 1983). Munas ini menghasilkan dua keputusan tentang
Pemulihan Khittah 1926 dan Pemantapan Pancasila sebagai Asas Tunggal.189 Keputusan
Munas ini lalu dikukuhkan dalam Muktamar NU pada akhir tahun berikutnya di tempat yang
sama.
Salah satu konsekuensi penting kembali ke Khittah 1926 adalah lepasnya ikatan NU
dengan organisasi politik mana pun. Keputusan Muktamar tentang Khittah NU antara lain
menyebutkan bahwa "Nahdhatul Ulama sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat
dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga.190 Itu berarti, NU
secara resmi keluar dari PPP. Sebuah pertanyaan boleh jadi akan terlontar: Jika dahulu NU
dapat segera muncul sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi, lalu apakah yang
akan dilakukan NU kini setelah keluar dari PPP, sementara untuk menjadi partai kembali
sangat tidak dimungkinkan dan untuk sama sekali pasif dari aktivitas politik barangkali NU
tidak akan sanggup? Pertanyaan itu pun sebenarnya tidak perlu ada, jika diingat bahwa
keputusan keluar dari PPP muncul dalam suasana semakin dalamnya retrospeksi diri NU
akan aktivitas politiknya selama ini dan implikasinya terhadap ide dasar perjuangannya.
Sebuah retrospeksi yang membawa NU pada reorientasi peran politiknya.

Melangkah ke Era "NU Baru"


188

Fathoni dan Zen, ibid., h. 78. Asas tunggal Pancasila dituangkan daiamTAP MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBHN.
Sitompul, op. cit., h. 166
190 Keputusan Muktamar NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khittah Nahdhatul Ulama.
189

77

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

Bahwa keterlibatan NU yang berlebihan dalam dunia politik akan membawa efek
terlalu menonjolnya kepentingan pribadi elit NU dibandingkan kepentingan jama'ah, dan
bahwa itu juga menyebabkan NU setahap demi setahap mulai kehilangan bidang-bidang
kegiatan lainnya: dakwah, pendidikan, sosial dan budaya, sudah sejak lama muncul dalam
benak kesadaran NU. Keinginan untuk mengoreksi keadaan ini sudah sejak dini terlontarkan,
dan, oleh karena itu, pemikiran untuk kembali ke Khittah 1926 bukanlah sesuatu yang baru.
Pertama kali itu terlontar dalam Muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1985. Seorang juru
bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH Achyat Chalimi, menilai bahwa, peranan politik
oleh Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga partai sebagai
alat sudah hilang. Oleh karena itu, diusulkan agar NU kembali pada Khittah tahun 1926.191
Hanya satu Pengurus Cabang yang mendukung gagasan ini, selebihnya, pemikiran tersebut
memperoleh tanggapan yang menentangnya. Dan gemanya pun berhenti di sini.
Lalu, pemikiran serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke-25 di
Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam KH Wahab Hasbullah, dan barangkali
karena itulah memperoleh sambutan yang lebih baik. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa
salah satu persoalan yang cukup serius diperdebatkan adalah kehendak agar NU kembali
kepada garis perjuangannya di tahun 1926 ketika pertama kali didirikan: mengurusi persoalan
agama, pendidikan, dan sosial-kemasyarakatan saja.192 Namun begitu, gagasan ini akhirnya
kalah oleh arus besar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik praktis.
Kandasnya gagasan kembali ke khitah sampai kurun waktu itu, jika diperhatikan,
disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, gagasan itu semata-mata dilandasi oleh alasan
politis (NU akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitnya), dan karena
itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak populer: agar NU meninggalkan gelanggang
politik sama sekali. Di tengah begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam
pergulatan politiknya, wajar jika keinginan untuk menanggalkan peran politik itu lalu hanya
dipandang dengan sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa pada saat itu peran
kelompok politisi (Idham Chalid cs, yang biasanya dipolarisasikan dengan kelompok ulama)
masih dominan dalam tubuh NU. Kedua, secara aktual konsep kembali ke khitah tidak
terumuskan secara jelas kecuali dalam pengertian minimal "kembali pada tahun 1926". Dan
itu bisa dinilai sebagai langkah mundur serta penihilan terhadap nilai-nilai yang diperoleh NU
191
192

Marijan, op. cit., h. 132.


Marijan, ibid., h. 133.

78

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dalam pengalamannya selama ini. Ketidakjelasan itulah boleh jadi, yang menyebabkan
pemikiran itu memperoleh respons yang agak ganjil ketika Muktamar ke-25 antara lain
memutuskan untuk: Mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang nonpolitis yang menampung dan membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di
kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan
politiknya dengan partai politik.193
Perumusan secara lebih jelas tentang konsep kembali ke khitah baru berkembang
menjelang Muktamar ke-26 di Semarang 1979. Landasan pemikiran yang dulunya sematamata politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama
ini, seorang ulama berpengaruh dari Jawa Timur, KH Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah
terjadi kerusakan batiniah yang parah dalam NU dan para tokohnya dianggap terlalu hub alriyasah dan hub al-jaah (cinta kekuasaan dan cinta kedudukan).194
Ulama senior NU lain, KH Achmad Siddiq, menilai perlunya segera dirumuskan
tekad untuk kembali ke "Khittah Nahdliyah", garis-garis besar tingkah laku perjuangan NU.
Menurutnya, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi
penerus, serta makin luasnya medan perjuangan dan bidang garapan NU. Di samping itu,
ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam
kepemimpinan NU. Itulah sebabnya, NU dikhawatirkan akan kehilangan arah di masa nanti
jika prinsip Khittah Nahdhiyah tidak secepatnya disusun rumusannya.195
Jika pemikiran korektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali
wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di
Tanfidziyah dalam kepemimpinan NU yang secara tak langsung mengurangi peran ulama.
Namun sementara itu muncul sebuah generasi baru NU dengan spesifikasinya sendiri.
Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan bukan
pula kelompok politisi yang tergolong dalam kubu Cipete. Mereka lebih tampak sebagai
intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan "jalan tengah", dan, karena netralitas mereka
dalam polarisasi ulama-politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objektif dan relatif mudah
diterima semua kalangan NU.

193

PB NU, Keputusan Muktamar NU ke-25 di Surabaya, seperti dikutip dalam ibid., h. 135.
Arief Mudatsir, "Dari Situbondo menuju NU Baru: Sebuah Catatan Awal," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 133.
195 Fathoni dan Zen, op. cit., h. 95.
194

79

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Dalam dasawarsa 70-an orang-orang ini banyak mengadakan diskusi untuk
merumuskan langkah-langkah pembaharuan NU. Mereka turut merasakan keprihatinan akan
kemunduran NU selama ini, namun tetap menyadari bahwa politik merupakan dimensi yang
cukup penting dari aktivitas NU secara keseluruhan, mengingat dalam makna kelahiran NU
pun terkandungnilai-nilai politis. Namun demikian, hubungan NU dengan politik lebih
ditentukan oleh sejauh mana persepsi NU tentang politik itu, sehingga persoalannya adalah
tentang kualitas politik. Konteks politik semestinya tidak hanya dilihat secara sempit dalam
masalah distribusi kekuasaan di DPR misalnya, namun dilihat sebagai upaya mengangkat
kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam makna demikian, keikutsertaan NU
sangat penting artinya, dan orientasi aktivitas NU yang terlalu didominasi politik praktis bisa
diluruskan dengan tampilnya seorangpemimpin yang mampu menata semua bidang garapan
NU secara proporsional.196
Melalui segala pergulatan pemikiran ini kelompok intelektual generasi baru NU itu
lalu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis
perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan 1926.
Karena itu, sekalipun mereka mengajukan gagasan kembali ke Khittah 1926 sebagaimana
beberapa senior mereka, namun kali ini gagasan tersebut telah ditopang oleh fondasi dan
rancang bangun yang lebih kokoh. Dan itu secara bertahap dibuktikan dengan tindakan nyata.
Sekitar tahun 1974, kalangan ini --Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, Said Budairy,
Rozi Munir, Abdullah Syarwani, Slamet Effendi Yusuf, untuk menyebut beberapa nama-mulai melakukan perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976 mereka berusaha
melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus, ulama, dan tokoh-tokoh
muda lainnya, sehingga pada tahun 1979 ide-ide itu mulai diterapkan melalui lembagalembaga otonom NU.197 Hasilnya, ketika kelompok ini menyuarakan usulan untuk kembali
ke Khittah 1926 di Muktamar Semarang, sambutan yang diperoleh tampak menggembirakan.
Dalam Program Dasar Pengembangan Lima Tahun sebagai hasil keputusan Muktamar
diuraikan tujuan: (1) Menghayati makna kembali ke jiwa 1926, (2) Memantapkan upaya
intern untuk memenuhi seruan tersebut, dan (3) Memantapkan cakupan partisipasi Nahdhatul
Ulama secara lebih nyata dalam pembangunan bangsa.198 Betapa pun, gagasan kembali ke
khitah tetap berada dalam pro-kontra. Orang-orang seperti Idham Chalid dan kelompoknya

196

Ibid., h. 96.
Arif Mudatsir, loc. Cit., h. 139.
198 PB NU, Program Dasar Pengembangan Lima Tahun Nahdhatul Ulama: Keputusan Muktamar NU ke-26, seperti dikutip
dalam Marijan, op. cit., h. 136
197

80

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


masih tetap menghendaki politik praktis. Sementara, golongan yang kecewa terhadap PPP
mendukung gagasan kembali ke khitah itu.199
Namun upaya pembaharuan NU terus membola salju. Sambil melakukan upaya
rekonsiliasi dan menetralisir konflik Cipete-Situbondo, kelompok intelektual muda NU terus
mengadakan komunikasi intensif dengan mendatangi tokoh-tokoh pesantren, para
cendekiawan, dan mengumpulkan generasi muda NU dalam "Kelompok Diskusi 164".200
Pada Mei 1983 kelompok ini menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri 24 tokoh
muda NU, --terkenal dengan nama Majelis 24--,201 yang bertujuan melakukan refleksi
terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya "Tim Tujuh untuk Pemulihan
Khittah NU 1926". Tim yang terdiri dari Abdurrahman Wahid (Ketua), HM Zamroni (Wakil
Ketua), Said Budairy (Sekretaris), H Mahbub Junaedi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan
Ahmad Bagja (anggota) ini bertugas merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan
NU sesuai Khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU.202 Rumusan yang
dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan bahan Munas Alim Ulama 1983
dan Muktamar NU ke-27 di Situbondo, 1984. Dari kedua forum ini dihasilkan perubahan
Anggaran Dasar NU, Program Dasar Pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah
sosial, politik, ekonomi dan agama, serta yang paling monumental adalah penerimaan asas
tunggal Pancasila dan keputusan Kembali ke Khittah 1926. Mengenai asas Pancasila, NU
menegaskan dalam Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, bahwa:
1.

Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan
tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama.

2.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid
menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3.

Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari'ah, meliputi aspek hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.

199

Ibid., h. 138.
Arif Mudatsir, loc. cit.
201 Ibid., h. 140. Ke-24 orang tokoh itu adalah: KH Sahal Mahfudz, Mustafa Bisri, Asip Hadipranata, Mahbub Junaedi,
Abdurrahman Wahid, M Tolhah Hasan, HM Zamroni, HM Munasir, dr Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Abdullah Syarwani,
Muhammad Tohir, KH Muchit Muzadi, Saiful Mujab, Umar Basalim, Cholil Musadad, Ghaffar Rahman, Slamet Effendi Yusuf,
Ichwan Syam, Musa Abdillah, Mustofa Zuhad, Danial Tanjung, A Bagja, dan Masdar Farid Mas'udi.
202 Ibid.
200

81

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


4.

Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan upaya umat Islam


Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya.

5.

Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan


pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan
konsekuen oleh semua pihak.203
Sedangkan mengenai garis-garis besar dan ide dasar perjuangannya, yang dirumuskan

sebagai Khittah Nahdhatul Ulama, Muktamar NU membuat definisi bahwa:


a.

Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak


warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku
perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan
keputusan.

b.

Landasan tersebut adalah paham Islam Ahlussunnah wal jamaah yang


diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar
amal keagamaan maupun kemasyarakatan.

c.

Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah


khidmahnya dari masa ke masa.204

Mengiringi tema kembali ke khitah, dalam Muktamar juga dibahas sub-sub tema
reorientasi program, regenerasi, dan rekonsiliasi terhadap pemerintah.205 Reorientasi
program: setelah sekian lama dalam kiprah politik praktis, NU kini kembali ke orientasi
semula, yaitu memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan secara lebih luas. Itu berarti
meliputi segala aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
Regenerasi NU akan melakukan pergantian pimpinan dari generasi tua kepada
generasi muda yang dilakukan dengan tetap memelihara keserasian dan keselarasan
hubungan antar generasi. Tampaknya, kombinasi generasi tua dan generasi muda dalam
kepengurusan NU yang dilantik oleh Muktamar 1984 (generasi tua di sekitar KH As'ad
Syamsul Arifin dalam Majelis Isytisar, generasi yang lebih muda di sekitar KH Ahmad
Siddiq di PB Syuriah, dan generasi paling muda di sekitar Abdurrahman Wahid dalam

203

Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 Tentang Pemulihan Khittah NU 1926.
Keputusan Muktamar NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khittah Nahdhatul Ulama.
205 Arief Mudatsir, loc. cit., h. 133.
204

82

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Tanfidziyah) merupakan kombinasi yang menarik untuk membawa kepada sebuah NU
baru.206
Rekonsiliasi terhadap Pemerintah: NU akan merumuskan secara jelas dan tuntas
hubungan yang kompleks antara Islam dan Negara Pancasila guna memungkinkan tegaknya
bangsa Indonesia secara terhormat dalam pergaulan antar bangsa di dunia. Kembalinya NU
ke Khittah 1926 memang berimplikasikan dirumuskannya orientasi perjuangan yang baru
dengan tetap berakar pada ide dasarnya semula, dan untuk itu diperlukan aktor-aktor baru,
yang tumbuh dalam suasana hubungan yang baru pula, baik antar elit NU sendiri maupun
antara mereka dengan pemerintah. Kembali ke khitah juga membawa konsekuensi
organisatoris. Misalnya, NU akan mengembalikan pola kepemimpinannya pada supremasi
ulama. Sebab dalam tekanan sebagai jam'iyah diniyah mau tak mau NU memerlukan
kharisma ulama yang bertugas sebagai pemandu dan pengawas organisasi. Itu berarti
pemberian kembali bobot peran yang lebih signifikan kepada Syuriah.
Konsekuensi lain yang tak kalah pentingnya adalah penegasan bahwa NU tidak terikat
dengan organisasi politik dan kemasyarakatan mana pun, termasuk PPP. Setelah memutuskan
kembali ke Khittah 1926, NU memang bukan semata-mata tampil kembali sebagai NU di
tahun 1926, bukan pula NU 1952 saat keluar dari Masyumi. Ia adalah sebuah NU baru, yang
lahir dari perenungan politik yang matang berdasarkan pengalaman panjang dan penghayatan
moral yang mendalam akan makna hakiki Khittah 1926 itu.

Struktur Kewenangan NU

I. Diferensiasi Struktural

Pasal 16 Anggaran Dasar NU menyebutkan bahwa kepengurusan organisasi ini terdiri


dari Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah. Kecuali Mustasyar yang hanya dibentuk pada tiga
tingkat kepengurusan pertama, maka kedua komponen lainnya dapat ditemukan pada semua
tingkat kepengurusan. Mustasyar dibentuk oleh Syuriyah, yang pada tingkat pusat sebanyakbanyaknya 9 orang. Sementara Syuriyah terdiri dari seorang Rais Aam, Wakil Rais Aam,
beberapa Rais, Katib (sekretaris) dan beberapa wakilnya. Sedangkan Tanfidziyah dipimpin
206

Ibid., h. 140.

83

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


oleh seorang Ketua Umum yang membawahi beberapa Ketua, Sekjen dan beberapa wakilnya,
serta Bendahara dan wakilnya.
Ketiga komponen yang masing-masing bersifat kolegial ini mempunyai tugas dan
fungsi tersendiri, yang dirinci cukup jelas dalam Anggaran Rumah Tangga NU. Mustasyar
adalah penasehat yang secara kolektif bertugas memberikan nasehat kepada pengurus NU
menurut tingkatannya.
Syuriyah secara formal merupakan pimpinan tertinggi NU yang berfungsi sebagai
pengelola, pengendali, pengawas dan penentu kebijaksanaan jam'iyah NU. Dalam banyak
segi, Syuriyah menjalankan fungsi sebagai lembaga legislatif NU, menentukan arah
kebijaksanaan jam'iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Selain itu Syuriyah berhak membatalkan setiap keputusan yang dibuat oleh
suatu perangkat NU, jika keputusan itu dinilai bertentangan dengan ketentuan jam'iyah,
terutama ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah.
Di bawah Syuriyah, Pengurus Tanfidziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang
memimpin jalannya organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan
oleh Syuriyah. Tanfidziyah harus menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriah
tentang pelaksanaan tugasnya.
Dalam praktek, seolah ada konvensi yang berlaku bahwa kedudukan dalam
Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah secara berturut-turut menggambarkan tingkat senioritas
personelnya.
Selain ketiga komponen inti tersebut, maka untuk menjalankan usaha-usaha di
berbagai bidang garapan NU yang meliputi bidang bidang agama, pendidikan, sosial dan
ekonomi, maka Anggaran Dasar NU mengatur pembentukan perangkat organisasi berupa
bagian-bagian, lajnah, lembaga, dan badan-badan otonom. Pengurus Besar Tanfidziyah
memegang wewenang untuk membentuk perangkat organisasi ini, di samping untuk
membentuk tim-tim kerja tetap atau sementara jika dipandang perlu untuk menggerakkan dan
mengelola program.
Lajnah adalah semacam komite khusus tetap yang menangani suatu program NU.
Antara lain yang telah terbentuk saat ini adalah Lajnah Falakiyah, yang bertugas mengurus
masalah hisab dan rukyat; Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(Lakpesdam di Jakarta dan LKPSM di Yogyakarta) yang bertugas melakukan kajian,
84

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


penelitian dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan serta kualitas warga NU; dan
sebagainya. Sementara lembaga adalah perangkat yang berfungsi sebaggai pelaksana
kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga yang ada antara lain
adalah Lembaga Dakwah NU; Lembaga Pendidikan Ma'arif; Rabithatul Ma'ahadil Islamiyah;
dan sebagainya. Sedangkan badan otonom adalah perangkat yang berkaitan dengan kelompok
masyarakat NU tertentu, seperti GP Ansor, Muslimat NU, dan seterusnya.
Di samping diferensiasi horisontal di atas, secara vertikal dalam sistem kepengurusan
NU terdapat berbagai tingkatan yang sesuai dengan ruang lingkup wilayahnya. Setiap tingkat
kepengurusan berfungsi sebagai koordinator kepengurusan setingkat di bawahnya, serta
sebagai pelaksana kebijaksanaan tingkat kepengurusan di atasnya. Hirarkhi sistem
kepengurusan NU ini meliputi: 1. Pengurus Besar pada tingkat pusat, berkedudukan di
Ibukota RI. 2. Pengurus Wilayah pada tingkat propinsi, daerah tingkat I, atau daerah yang
disamakan dengan itu. 3. Pengurus Cabang untuk tingkat kabupaten, kotamadya, daerah
tingkat II, atau daerah yang disamakan dengannya. 4. Pengurus Majelis Wakil Cabang pada
tingkat kecamatan atau daerah yang disamakan. 5. Pengurus Ranting pada tingkat desa atau
kelurahan, atau daerah yang disamakan dengan itu. Anggota setiap kepengurusan ini dipilih
dan diangkat oleh sebuah forum permusyawaratan sesuai dengan tingkatannya masingmasing. Masa jabatan Pengurus Besar adalah 5 tahun, Pengurus Wilayah dan Cabang 4 tahun,
serta Pengurus MWC dan Ranting selama 3 tahun.

II. Tingkat Pembuatan Keputusan

Pembuatan keputusan dalam NU dilakukan di dalam sebuah wadah permusyawaratan,


yang memiliki peringkat di mana hirarkhi dan kekuatan hukum yang dihasilkan juga
menyesuaikan dengan peringkatnya. Forum permusyawaratan di dalam NU meliputi:

Muktamar.

Muktamar

adalah

lembaga

permusyawaratan

tertinggi

yang

diselenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali. Di sini, Pengurus Besar
melakukan evaluasi program selama lima tahun, dan dilakukan pemilihan pengurus
periode berikutnya. Selain itu, Muktamar juga membahas masalah hukum fikih,
program dasar NU untuk periode berikutnya, serta berbagai masalah yang berkaitan
dengan agama dan kemaslahatan umat.
85

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

Konferensi Besar. Konferensi Besar merupakan lembaga permusyawaratan tertinggi


setelah Muktamar yang diadakan oleh Pengurus Besar. Forum ini membicarakan
pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar serta berbagai hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan program.

Musyawarah Nasional Alim Ulama. Munas Alim Ulama adalah forum yang diadakan
oleh PB Syuriyah sekali dalam suatu periode kepengurusan. Anggaran Rumah Tangga
NU tidak memerinci fungsi forum ini, kecuali bahwa ia "tidak dapat mengubah
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan Muktamar dan tidak
mengadakan pemilihan Pengurus baru.

Konferensi-Konferensi. Konferensi ini meliputi Konferensi Wilayah, Konferensi


Cabang; dan Konferensi Majelis Wakil Cabang, yang merupakan bentuk
permusyawaratan tertinggi pada setiap tingkatannya. Sebuah Konferensi diadakan
oleh pengurus pada tiap tingkatan, dengan dihadiri oleh kepengurusan yang ada
setingkat di bawahnya, dalam interval 4 tahun untuk Konferensi Wilayah, 4 tahun
untuk Konferensi Cabang, dan 3 tahun untuk Konferensi Majelis Wakil Cabang.
Dalam sebuah Konferensi dibahas mengenai evaluasi program kerja pengurus lama,
pemilihan pengurus baru untuk periode berikutnya serta membahas masalah program
kerja selanjutnya, terutama berkaitan dengan masalah sosial dan keagamaan yang
dihadapi pada setiap tingkatan.

Rapat Anggota. Rapat Anggota adalah forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat
Ranting. Rapat ini dihadiri oleh anggota-anggota NU di Ranting setempat,
dilaksanakan setiap tiga tahun dengan membicarakan laporan pertanggungjawaban
Pengurus Ranting, menyusun rencana kerja untuk tiga tahun berikutnya, dan
membahas masalah kemasyarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di Ranting.

III. Praktek Hubungan Syuriyah-Tanfidziyah

Sering dikatakan, NU adalah sebuah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil.
Kalimat sederhana ini menggambarkan banyaknya sistem nilai dan sistem pengelolaan
pesantren yang diadopsi dalam sistem penyelenggaraan NU sebagai suatu organisasi. Sebuah
pesantren memiliki lima elemen penting: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik, kyai, dan santri. Dua yang disebut terakhir adalah elemen manusia yang secara
86

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


mutualistis mengelola pesantren dan segala kegiatan kesehariannya. Kyai adalah penguasa
tertinggi pesantren, yang mengajar, memberikan pengayoman dan melakukan pengawasan
terhadap kehidupan pesantren. Di bawahnya, para santri senior yang ditunjuk memegang
tanggung jawab mengurus kepentingan pesantren sehari-hari dalam garis besar kebijaksanaan
yang dibuat oleh kyai.207
Pola hubungan kyai-santri inilah yang sebenarnya menjadi logika dasar hubungan
Syuriah-Tanfidziyah di NU. Selama dasawarsa pertama sejak berdirinya, aksen logika ini
begitu kental mewarnai NU. Ketika itu Pengurus Tanfidziyah diangkat oleh Pengurus
Syuriyah yang terpilih. Syuriyah diisi para kyai, sedangkan Pengurus Tanfidziyah biasanya
berasal dari kalangan petani kaya, pedagang dan santri.208 Fungsi Tanfidziyah pada masa ini
benar-benar hanya sebagai pelaksana teknis segala kebijaksanaan Syuriyah. Muktamar yang
diadakan adalah forum milik Syuriyah, sedangkan Tanfidziyah berperan tak ubahnya hanya
sebagai panitia pelaksana Muktamar. Agenda Muktamar pun pada umumnya menyangkut
soal-soal keagamaan yang bukan lahan Pengurus Tanfidziyah.
Pola hubungan ini mulai bergeser sejak Muktamar ke-9 di Banyuwangi, 1934. Saat itu
mulai muncul beberapa tokoh ulama muda pesantren (yang berasal dari keluarga kyai) di
Tanfidziyah yang menggeser kelompok santri pada jajaran kedua di dalamnya.209 Pada
Muktamar ini, Machfudz Siddiq dan Wahid Hasyim (dua di antara ulama-ulama muda itu)
minta kepada Muktamar agar otonomi Tanfidziyah juga diperhatikan agar lebih menambah
pengabdian NU kepada negara dan bangsa.210 Di sinilah beberapa perubahan penting mulai
dilakukan. Jika pada muktamar-muktamar sebelumnya Tanfidziyah tidak diikutsertakan
dalam persidangan, apalagi turut memutuskan masalah, maka sejak Muktamar Banyuwangi
ini mereka diberi hak dan wewenang untuk mengadakan sidang sendiri sesuai bidangnya,
terpisah dari sidang Syuriyah.211 Tuntutan akan otonomi Tanfidziyah pun terjawab ketika saat
itu Pengurus Tanfidziyah mulai dipilih langsung oleh Muktamar. Sehingga, kemampuan dan
pengaruh Tanfidziyah mulai naik, tidak hanya sebagai pelaksana teknis saja. Bahkan dalam

207

Mekanisme pengelolaan pesantren seperti ini pernah dikupas dengan sangat ilustratif oleh Zamakhsyari Dhofier. Lihat
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1990), khususnya Bab II (Elemen-elemen Sebuah Pesantren), h. 4461.
208 Ali Haidar, "NU dan Tantangan Keulamaan," dalam Aula Juli 1993, h. 24.
209 Ibid.
210 Choirul Anam, "Bandar Lampung: Puncak Ujian Khittah NU," dalam Jawa Pos, 28 Januari 1992.
211 Anam, Pertumbuhan, op. cit., h. 89-91.

87

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


muktamar-muktamar selanjutnya, Pengurus Tanfidziyah sudah duduk di meja pimpinan
Muktamar.212
Mekarnya otonomi Tanfidziyah ini di samping memberi manfaat positif berupa
semakin maraknya aktualisasi peran dan keberadaan NU dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, tak kurang juga membawa agenda permasalahan yang cukup rumit. Antara lain,
peran kedua badan --Tanfidziyah dan Syuriyahdalam beberapa hal seringkali tumpangtindih akibat ketidakjelasan distribusi peran masing-masing dalam praktek. Misalnya, dalam
MIAI NU diwakili oleh unsur-unsur Syuriyah dan Tanfidziyah. Padahal untuk hal-hal
semacam itu mestinya NU cukup diwakili oleh Pengurus Tanfidziyah.
Ketika NU semakin menancapkan peran politiknya setelah kemerdekaan, otonomi
Tanfidziyah kian besar, dan bahkan mereka lalu tampak lebih dominan daripada Syuriyah.
Aspek senioritas yang mulanya begitu dipentingkan dalam penempatan personel Syuriyah
dan Tanfidziyah seterusnya agak diabaikan. Baik tokoh-tokoh Syuriyah maupun Tanfidziyah
sesudah itu adalah orang-orang yang sepantaran, berbeda dengan masa awal di mana
senioritas Syuriyah begitu dipentingkan, dan di mana Tanfidziyah tampak sebagai "murid"
Syuriyah dengan segala ketaatannya. Wajar jika wibawa dan supremasi Syuriyah lalu
mengalami degradasi.
Keadaan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang. Sistem nilai yang
berlaku dalam NU pun seolah telah bergeser ketika di masa Orde Baru pernah muncul konflik
antara dua kelompok yang kurang lebih adalah Syuriyah dan Tanfidziyah. Konflik itu bisa
muncul karena salah satu atau sekaligus kedua penyebab ini: lemahnya wibawa para ulama
dalam Syuriyah di satu sisi, dan tidak terkendalinya otonomi Tanfidziyah pada sisi lain.
Sebuah langkah baru ke arah pembenahan kondisi ini mulai ditancapkan di Situbondo,
1984, ketika keputusan kembali ke Khittah 1926 mengamanatkan dikembalikannya
supremasi ulama di Syuriyah, tanpa mengecilkan sama sekali peran Tanfidziyah sehingga
hanya sekedar menjadi alat Syuriyah, dalam struktur kewenangan NU.

Basis Massa NU

212

Haidar, loc. cit.

88

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Massa pendukung NU berasal dari masyarakat santri di pedesaan, khususnya di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Salah satu karakteristik mereka adalah cenderung menghindari
konflik dan lebih mementingkan harmoni; dan sebagai komunitas santri, karakteristik
berikutnya adalah ketaatan mereka kepada ulama atau kyai dalam suatu pola hubungan gurumurid yang nyaris sakral.
Massa NU ini pada dasarnya terbagi dalam komunitas-komunitas kecil seperti sel-sel
pada sebuah organisme yang masing-masing memiliki nukleus berupa kyai-kyai lokal.
Tempat kedudukan para kyai ini biasanya dicirikan dengan terdapatnya lembaga pendidikan
Islam tradisional pesantren atau terdapatnya surau di suatu desa. Sehingga pesantren, yang
satu sama lain biasanya memiliki hubungan interdependensi, adalah bagian terpenting dalam
pembahasan tentang NU dan basis massanya. Di sini tidak dimaksudkan suatu uraian tentang
detil pesantren seperti kurikulum dan metode pengajarannya. Yang lebih penting adalah
logika dasar dalam kehidupan pesantren yang mewarnai pola hubungan santri-kyai serta
hidup keseharian pesantren dan masyarakat sekitarnya. Logika dasar itulah yang memberi
corak pada karakteristik NU.
Salah satu nilai penting dalam tradisi pesantren adalah kepatuhan santri kepada
kyainya yang bersifat mutlak dan tidak terputus berlaku sepanjang hidup seorang santri. Hal
ini merupakan inti ajaran kitab Ta'limul Muta'allim, salah satu kitab klasik acuan utama
kebanyakan, kalau tidak semua, pesantren NU.213 Sikap hormat dan kepatuhan mutlak kepada
kyai sebagi guru ini bukanlah manifestasi penyerahan total kepada guru yang dianggap
memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan bahwa guru adalah penyalur kemurahan
Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya. Kondisi ini berhulu pada kedudukan
dominan dalam pembentukan tata nilai di pesantren yang dipegang oleh hukum fikih,
kemudian diikuti oleh tradisi kaum sufi.214 Keharusan menyerahkan diri sepenuhnya kepada
kyai, tidak lain adalah kelanjutan sikap tunduk para penganut sufi kepada tokoh, mursyid,
sebagai penunjuk ke arah kesempurnaan pengertian akan hakekat Tuhan. Dengan tata nilai ini
maka kedudukan kyai menjadi sangat tinggi dalam lingkungan santri dan bahkan meluas pada
masyarakat sekitarnya. Karena tuntutan keteladanan ini, sementara nilai-nilai baru terus
berdatangan, maka disadari atau tidak sang kyai lalu terlibat dalam proses penyelarasan terusmenerus antara tata nilai yang ada dalam masyarakat atau khususnya pesantren yang

213

Lihat ikhtisar kitab ini dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, op. cit., h 82-85.
Lihat Abdurrahman Wahid, "Pesantren Sebagai Subkultur," dalam M Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan
Pembaharuan (Jakarta: P3M, 1988), h. 51.
214

89

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dipimpinnya, dan nilai-nilai budaya baru yang bersinggungan dengannya. Abdurrahman
Wahid menilai bahwa respons kultural yang reaktif (itu), betapa pun bergunanya pada suatu
saat, pada akhirnya membuat kyai sukar memahami setiap gejolak nilai intrinsik masyarakat,
karena setiap pemahaman akan hakikat gejolak itu senantiasa dilakukan dari sudut
kemungkinan penyerapan ke dalam lingkungan pesantren sendiri. Dengan demikian, peranan
adaptatif ini pada akhirnya membawa kyai pada sikap hidup yang secara kultural dapat dinilai
oportunis, dalam arti kata ia harus mengusahakan tercapainya keseimbangan kultural
semaksimal mungkin.215
Watak serupa ini ternyata kemudian tampak ketika kyai-kyai di dalam NU,
mengambil peran dalam proses politik yang berjalan. Kesan oportunistik terasa sekali ketika
NU sangat menonjol dengan sikap akomodatifnya. Setiap perubahan politik yang terjadi
biasanya selalu dicari keselarasannya dengan nilai-nilai keagamaan, dan pada umumnya
berhasil. Selalu ditemukannya keselarasan itu karena pada satu sisi biasanya fenomena politik
yang muncul digali sampai esensi persoalannya, sehingga selalu dapat dirumuskan nilai-nilai
positifnya. Sementara di sisi lain, NU memiliki kekayaan referensi berupa kitab-kitab klasik,
yang sangat beraneka ragam. Dari sini NU dapat mencari pendapat para ulama terdahulu
yang paling dapat mengakomodasikan perubahan politik. Contoh yang dapat diambil adalah
pemberian gelar waliyyul amri dharuri' bissyaukah (pemegang kekuasaan sementara dengan
kekuasaan penuh) kepada Sukarno sementara pada saat yang sama Kartosuwiryo, yang
memperjuangkan negara Islam, juga diberi cap sebagai bughat (pemberontak). Alasannya
adalah karena keberadaan negara telah dinilai sah secara fikih, maka orang yang menjadi
presidennya pun perlu diberi legitimasi kekuasaan penuh.216
Sikap fleksibel kalangan santri ini juga berkaitan dengan keunikan struktur pengajaran
yang memiliki ciri khas. Semua mata pelajaran di pesantren bersikap aplikatif, dalam arti
harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga proses pendidikan di pesantren
sama saja artinya dengan "sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, dengan cara
penilaian dan orientasinya sendiri."217 Pada akhirnya, pola keseharian kehidupan pesantren,
yang diwarnai oleh visi "keikhlasan" (dalam pengertian vertikal, berbeda dengan makna
umum yang horisontal) itu, membangun sebuah pokok dasar kehidupan berupa orientasi ke

215

Ibid., h. 47.
Abdurrahman Wahid, 'Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h. 34.
217 Abdurrahman Wahid, Pesantren, op. cit., h. 42.
216

90

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


arah kehidupan akhirat, atau pandangan hidup ukhrawi.218 Wajah lain pandangan hidup ini
adalah keikhlasan untuk menerima kadar apa saja perolehan hidup yang ada, asalkan
pandangan hidup ukhrawi sedapat mungkin terpuaskan. Sebuah sikap hidup yang tampak
fatalistis, namun jelas memiliki dimensi positifnya: kemampuan melakukan perubahan status
dalam kehidupan dengan mudah.

Kesimpulan

Mengamati sejarah NU tak ubahnya menyaksikan sebuah kekuatan --politik atau pun
sosial, pada gilirannya masing-masing-- dengan daya survival yang tinggi. Kemampuan
untuk selalu bertahan itu adalah berkaitan dengan pola perilaku NU yang reaktif. Bahkan
tujuan upaya kelompok Islam tradisional untuk mengimbangi kelompok modernis. Sebuah
perilaku reaktif, tentu saja. Namun bukan hanya itu. Banyak titik-titik penting dalam lini
sejarah NU yang turut merefleksikan pola perilaku reaktif itu. Sebut saja keluarnya NU dari
Masyumi di tahun 1952, atau begitu mudahnya NU mengalihkan dukungan dari regim
Sukarno yang mulai runtuh kepada regim baru yang sedang mencari pengukuhan, maupun
contoh-contoh lain. Namun jika diamati lebih dalam, maka pola perilaku reaktif NU itu bisa
memberikan penjelasan lain: kemampuan antisipatif NU yang sangat tinggi terhadap
perubahan keadaan. Dengan kemampuan ini, NU selalu dapat mengikuti arus besar
kepolitikan makro dalam setiap perubahannya, tanpa harus kehilangan jati dirinya yang
paling esensial.
Itulah yang terjadi. Ketika NU didirikan tahun 1926, inti identitasnya adalah sebagai
kaum muslimin penganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah tanpa identifikasi diri lebih lanjut
sebagai organisasi sosial semata-mata atau tidak, berkehendak atau tidak untuk turut terjun
dalam kegiatan politik, maupun hal-hal detail organisasi lainnya. Sebab bentuk organisasi
bagi para pendiri NU tidak lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan. Perubahan apa pun
yang harus dilakukan oleh perwajahan organisasi, sejauh itu memang diharuskan oleh upaya
pencapaian tujuan terawal dalam garis Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, tidak ada alasan
untuk menolaknya. Itulah sebabnya ketika tujuan dasar itu mengharuskan NU menjadi partai
politik, Muktamar 1952 dengan mudah mengetukkan palunya bagi perubahan orientasi NU.

218

Ibid.

91

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Sudah barang tentu terjadinya perubahan dalam cara pencapaian tujuan dasar sangat
dipengaruhi oleh kondisi sistem politik makro Indonesia. Di tahun 1952, para elit NU menilai
bahwa perjuangan sebagai partai politik adalah yang paling tepat bagi upaya pencapaian
tujuan itu. Dan adalah kenyataan bahwa sistem politik tidak pernah terlalu lama berada dalam
suatu status quo. Perubahan demi perubahan selalu terjadi yang juga membawa pergeseran
dalam pola interaksi struktur-struktur politik yang ada di dalamnya. Ketika perjalanan sistem
politik Indonesia sampai pada suasana di mana partai politik tidak lagi leluasa memainkan
peran-perannya, dan hanya diam di pinggiran lebih banyak sebagai penonton yang sekalisekali melakukan ritual partisipasi, saat itulah NU kembali melakukan penilaian terhadap
kapasitas organisasinya. Perenungan inilah yang antara lain membawa NU pada keputusan
untuk kembali kepada bentuk sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan, dalam apa yang
secara retorik dirumuskan sebagai kembali ke Khittah 1926.
Berbagai perubahan tentu saja mesti dilakukan dengan adanya keputusan itu. Yang
paling penting adalah dilepaskannya baju kepolitikan praktis NU dan segala keterkaitan
organisatoris NU dengan organisasi politik mana pun. Sementara internal adalah komitmen
moral NU untuk mengembalikan otoritas ulama pada porsi yang semestinya dalam
kepemimpinan NU, yang untuk sebagian upaya ke arah itu telah didiskusikan dalam bab ini.
Namun betapa pun pentingnya sebuah keputusan, maka yang jauh lebih penting adalah
pelaksanaan keputusan tersebut. Bab IV akan memulai melihat bagaimana pelaksanaan
keputusan kembali ke khitah dalam dinamika internal NU, setelah Bab III mencoba
mengikhtisarkan pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai salah satu faktor determinan
terhadap dinamika NU dewasa ini.

92

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

BAB III
ABDURRAHMAN WAHID: PEMIKIRAN DAN DETERMINASI

SIAPA PUN yang jeli mengamati perkembangan NU kontemporer akan menemukan


dua nama penting di balik sebagian besar gerak dinamika, bahkan kontroversi yang dibangun
oleh organisasi ini, yakni KH Abdurrahman Wahid dan KH Achmad Siddiq, tanpa
mengabaikan peran figur-figur lainnya. Lompatan yang dilakukan NU di tahun 1984 antara
lain dimungkinkan oleh suntikan energi dari kedua tokoh ini. Oleh karena itu, analisis tentang
NU sebenarnya tidak boleh melepaskan pengamatan terhadap pikiran-pikiran mereka pada
tataran konseptual serta langkah-langkah mereka pada tataran aksi.

93

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Kalaupun pada bab ini kajian dikhususkan pada figur Abdurahman Wahid, hal itu
setidaknya didasari oleh tiga pertimbangan. Pertama, KH Achmad Siddiq telah meninggal
dunia di tahun 1991, sehingga KH Abdurrahman Wahid menjadi figur yang lebih relevan
ketika orang berbicara tentang faktor-faktor determinan terhadap dinamika NU sekarang dan
mendatang. Kedua, semasa hidupnya pun Kiai Achmad lebih banyak berperan di balik layar
dan lebih banyak tampil dengan dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid, sementara yang
disebut terakhir ini, oleh karena posisinya dalam Tanfidziyah, selalu tampak dominan di
panggung NU. Dan ketiga, karena kapasitasnya yang lebih menonjol sebagai ulama,
artikulasi pemikiran Kiai Achmad kebanyakan bernuansa persoalan agama (Islam) secara
"konvensional", dan jarang sekali yang berisikan implikasi di luar itu, meskipun ia pernah
memberikan gambaran yang mengesankan tentang hubungan antara agama dan negara
dengan menyatakan bahwa bagi NU Negara Kesatuan RI adalah sebuah "bentuk final".219
Karakteristik Kiai Achmad dalam hal ini adalah berkebalikan dengan Abdurrahman Wahid.
Karena itu bab ini akan mencoba membuat gambaran tentang sosok Abdurrahman
Wahid sebagai salah satu faktor yang memiliki determinasi terhadap NU, serta menyusun
ikhtisar pemikirannya dalam segi-segi tertentu: ideologi; negara, kekuasaan dan masyarakat;
serta Islam dan NU. Di sini dilakukan pembatasan hanya pada aspek-aspek yang memiliki
relevansi langsung dengan studi ini, meskipun itu berarti kurang tergambarkannya secara
komprehensif rimba pemikiran Abdurrahman Wahid.
Figur Determinan

Sejak dilahirkan 4 Agustus 1940, Abdurrahman Wahid (selanjutnya disebut dengan


nama panggilannya Gus Dur) telah membawa beberapa keunggulan komparatif yang jarang
dimiliki oleh orang NU mana pun. Pertama, ia dilahirkan di lingkungan Pesantren
Tambakberas Jombang, yang merupakan salah satu sentra spiritual NU. la juga unggul secara
askriptif. Ayahnya adalah KH Wahid Hasyim, putra pendiri NU Hadratus Syeikh KH Hasyim
Asy'ari yang semasa hidupnya pernah menjadi Ketua PB NU, salah seorang penandatangan
Piagam Jakarta, serta Menteri Agama pada kabinet-kabinet Hatta, Natsir, dan Sukiman.
Sedang dari garis ibunya ia mewarisi darah KH Bisyri Syansuri, juga salah seorang Rais Aam
NU. Dengan demikian, ia tidak diragukan lagi telah berada pada posisi inti dalam kosmologi

219

Lihat Bab V di belakang.

94

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dan emosi komunitas NU. Keunggulan ini, seperti akan terlihat nanti, terus-menerus
diperbesar dengan kekayaan pengalaman intelektual Gus Dur yang kompleks.
Dalam banyak aspek Gus Dur seakan memang telah dipersiapkan sebagai putra
mahkota yang kelak akan memimpin NU sebagai pewaris ayah dan kakek-kakeknya.
Idealisme yang dicita-citakan KH Wahid terhadap putranya ini tergambar jelas dalam nama
yang diberikannya: Abdurrahman Ad-dakhil. Secara leksikal ad-dakhil berarti sang penakluk,
sebuah nama yang diambil KH Wahid dari seorang perintis dinasti Bani Umayyah yang telah
menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol berabad silam.220 Sayangnya Wahid
meninggal ketika Gus Dur berumur 13 tahun, dan belum sempat melihatnya menjadi seorang
"penakluk" seperti sekarang. Tapi sangat boleh jadi ia telah melihat tanda-tanda simptomik
ke arah itu. KH Achmad Siddiq ingat betul bahwa kecendekiaan Gus Dur sudah terasa
semenjak usianya masih sangat dini.221 Semasih di bangku SMEP di Yogyakarta, ia telah
banyak membaca buku-buku yang sulit dipahami bahkan oleh orang dewasa yang terpelajar
sekalipun, seperti What Is to be Done? karya Lenin yang diinggriskan, Captains Doughter
yang ditulis Turgenev, atau karya monumental Marx, Das Kapital.222 Karena itu, meskipun
tak lama kemudian ia segera berada pada orbit yang seharusnya di mana sebagai seorang
putra kiai ia mesti ditempa di banyak pesantren, namun cakrawala pemikirannya sudah
terlanjur sangat terbuka dan visi intelektualitasnya telah melihat sesuatu yang barangkali tak
seharusnya ia lihat, minimal tidak di usia sebelia itu.
Pengembaraannya di dunia pesantren dimulai di Pesantren Tegalrejo Magelang, yang
selama tiga tahun sejak 1956 diasuh dalam pengawasan langsung KH Chudlori. Dari sini ia
melanjutkan ke Pesantren Tambakberas, dan tinggal di sana selama empat tahun. Tahun
1964-66 ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo pada Department of
Higher Islamic and Arabic Studies. Ia tidak menyelesaikan studinya di Al-Azhar karena
universitas itu tidak kondusif untuk Gus Dur. Selama dua tahun di Kairo justru digunakan
untuk belajar di luar universitas, mengikuti halqah, menghabiskan waktunya di perpustakaan
nasional Mesir Dar al-Kutub serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan Perancis. Ia juga
mengadakan kontak dengan syaikh dan cendekiawan terkemuka Mesir, seperti Zaki Naguib
Mahmoud, Soheir al-Qalamawi dan Syauqi Deif. Selepas dari Kairo ia sempat belajar di
Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak, sampai tahun 1970 saat ia dipanggil pulang ke

220

Lihat Aula, Januari 1990, h. 19.


KH Achmad Siddiq telah mengenal Gus Dur sejak lama karena dahulu ia pernah menjadi sekretaris pribadi KH Wahid.
222 Lihat Tempo, 2 Desember 1989, h. 30.
221

95

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Jombang. Di kota kecil ini ia memulai tahap kehidupan yang berikutnya bagi putra kiai:
mengajar di pesantren.223
Kariernya sebagai pendidik sebenarnya dimulai sejak 1959 dengan mengajar di
Madrasah Muallimat Bahrul Ulum selagi ia mondok di Tambak Beras. Sekembali dari Timur
Tengah, ia mengajar di Pesantren Tebuireng. Antara 1972-1974 Gus Dur menjadi Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari, dan lima tahun berikutnya ia menjadi
sekretaris Pesantren Tebuireng, sampai tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta dan memulai
kiprahnya di PB NU. Di Jakarta karier pendidiknya tidak berakhir. Di samping mengajar
antara lain di IAIN Syarif Hidayatullah, ia juga mendirikan sekaligus memimpin sebuah
pesantren di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Wawasan intelektualitas yang luas itu,224 dan yang "terkontaminasi" sejak dini, telah
pula membentuk kelonggaran watak berpikir Gus Dur, bukan saja pada hal-hal non-agama,
namun juga pada aspek keagamaan. Greg Barton menilai Gus Dur sebagai salah seorang
pemikir Islam liberal di Indonesia, meskipun ia tidak pernah secara formal mengenyam
pendidikan tinggi sekuler, seperti Nurcholish Madjid.225 Fachry Ali membayangkan,

Andaikata (Abdurrahman) Wahid tak lahir di Indonesia atau di negara-negara


mayoritas beragama Islam, kelonggaran cara berpikirnya itu pastilah mengantarkannya pada
sifat-sifat Ivan Illich atau Paulo Freire: para agamawan yang tak mau begitu saja terjebak
dalam postulat-postulat agama di dalam berpikir.
Dan (Abdurrahman) Wahid, dalam batas-batas tertentu, adalah agamawan dan
pemikir yang paling liberal di Indonesia, yang, menurut saya, belum tertandingi oleh
Nurcholish Madjid sekalipun.226

Liberalitas cara berpikir itulah yang agaknya telah mengundang banyak penentang
bahkan pencaci terhadap Gus Dur, di samping para pengagum dalam kalangan elit NU, meski
kelompok yang disebut belakangan prosentasenya jelas lebih besar. Mereka yang
mencintainya menyebut tokoh ini seorang auliya (wali) sehingga menilai gagasan-gagasan
223

Sebagian biografi intelektual Gus Dur dapat dilihat pada Mona Abaza, Changing Images of Three Generation in
Indonesia, ISEAS Occasional Paper No. 88, 1993.
224 Keluasan wawasan itu dibangun oleh begitu banyak dan beragamnya bacaan Abdurrahman Wahid, yang dipilari oleh
penguasaannya secara baik terhadap minimal lima bahasa: Arab (dalam semua dialeknya), Belanda, Inggris, Jerman, dan
Prancis.
225 Greg Barton, "Neo-Modernism -- a vital synthesis of Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia", paper
disampaikan pada diskusi di sela-sela Muktamar NU ke 29 di Cipasung, 1-5 Desember 1984.
226 Fachry Ali, "Seorang Asing di Tengah NU", dalam Tempo, 25 November 1989, h. 35.

96

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dan sikap-sikapnya yang "aneh" sebagai suatu keniscayaan. Akan tetapi kalangan yang
membencinya sekali tempo bahkan menuduhnya sebagai agen Zionis. Pada sisi lain keluasan
cakrawala pikir rupanya juga mengantarkannya pada karakteristik yang cenderung generalis:
ia lebih suka berpikir tentang hal-hal besar dan kerap mengabaikan detail, termasuk detail
administratif keorganisasian. Segi ini adalah kelemahan utama Gus Dur yang tak jarang
membuat langkahnya tersandung.227 Cara pikir yang liberal dan cenderung generalis tersebut
merupakan stimulan terpenting yang mengundang permusuhan dan penentangan terhadapnya,
termasuk dari beberapa tokoh ulama senior NU.228 Kendati begitu, ia sama sekali tampak tak
bergeming di puncak piramida NU. Serangkaian keunggulan askriptif yang disebutkan di
muka kiranya memang sangat signifikan sebagai penopang posisi Gus Dur. Dan kalau ia juga
akan mewarisi sejarah hidup ayah dan kakek-kakeknya, boleh jadi Gus Dur tidak pernah akan
beringsut dari inti hegemoni NU seumur hidupnya, sekalipun sudut-sudut demokratis dalam
jagad berpikirnya kelak akan melahirkan pembatasan masa jabatan tertentu dalam struktur
organisasi NU.
Fondasi lain kekukuhan posisi Gus Dur adalah karena ia masih teguh memegang salah
satu akar utama kultur NU: loyalitas dan penghormatan yang tinggi terhadap ulama. Ia tahu
betul bagaimana sikap yang seharusnya dalam menghadapi kemarahan para ulama senior,
saat ucapan dan gagasan-gagasannya dinilai menyimpang misalnya. Daripada berargumen
dengan mereka, ia biasanya lebih suka menyatakan penyesalannya serta meminta maaf, dan
semua persoalan pun selesai. Dengan beberapa perkecualian seperti KH Ali Yafie dan KH
As'ad Syamsul Arifin almarhum, maka umumnya para ulama NU adalah pendukung Gus
Dur.229 Faktor inilah yang membuat para penentangnya tidak pernah bisa berbuat banyak.
Dukungan para ulama adalah benteng yang begitu kukuh melindunginya dari serangan
mereka, dan benteng itu juga sangat sakral bagi alam kesadaran komunitas NU yang paling
esensial. Dalam benteng inilah Abdurrahman Wahid berada, tak terusik mengguratkan setiap
warna yang dipilihnya bagi tulisan sejarah NU.

227

Contoh yang paling jelas adalah bagaimana NU terlibat dalam isu menerima dana SDSB, antara lain karena Gus Dur
kurang teliti membaca surat rekomendasi permohonan bantuan yang ditandatanganinya, dan menilai aspek redaksional
surat itu sepenuhnya urusan sekjen. Ketidaktertarikannya terhadap detail administratif organisasi ini menjadikan
gagasannya menjelang Muktamar Cipasung tentang perubahan Tanfidziyah menjadi semacam kesekretariatan semata
sangat menarik.
228 Oposisi Gus Dur di tengah NU yang selalu berada "in the line of fire" dan para penentangnya akan dilihat dalam Bab-bab
IV dan V, passim.
229 Dalam lingkungan NU, dukungan dari para ulama dengan serta-merta dapat dipastikan sebagai jaminan dukungan dari
umat.

97

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Pohon Pemikiran Abdurrahman Wahid

1. Tentang Ideologi

Pemikiran Gus Dur tentang ideologi muncul secara kontroversial menjelang


pengasastunggalan Pancasila. Ideologi diletakkan pada neraca penilaian yang sangat
pragmatis dan tidak terlalu diagungkan sebagai suatu "benda suci meskipun tetap
dipandangnya sangat sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baginya fungsi
utama ideologi adalah sebagai faktor pemersatu bangsa serta pemberi arah bagi
penyelenggaraan pemerintahan negara. Penggunaan ideologi untuk kepentingan yang lebih
sempit dari fungsi tersebut, misalnya sebagai landasan legitimitas bagi otoriterisme suatu
regim terhadap masyarakat, hanya akan mendorong kehancuran ideologi itu.230 Pragmatisme
dalam menilai ideologi ini akan membuat orang gagal menemukan alasan yang muluk-muluk
dari Gus Dur tentang penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Mengenai hal
itu, suatu ketika ia menulis dengan logika yang begitu simpel:

Dalam tahun 1936 Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin membuat keputusan


yang sangat menarik, yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan
pemerintahan di Indonesia. Terhadap pertanyaan status tanah
Hindia Belanda, yang
sedang diperintah oleh penguasa non-muslim Belanda, haruskah ia dibela dan dipertahankan
dari serangan luar, dikemukakan jawaban bahwa hal itu wajib dilakukan menurut hukum
agama (fiqh). Diambilkan jawabannya dari salah satu genre 'kitab kuning' berjudul Bughyatul
Mustarsyidin karya Syeikh Hasan Al-Hadrami, dikemukakan alasan pendapat tersebut: negeri
ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut
dan menjalankan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau
diusik. (sik!)
Herankah kita, jika nantinya NU dengan mudah saja menerima Pancasila sebagai
ideologi negara dan falsafah hidup bangsa setelah kemerdekaan tercapai? Hasil dari
pemerintah yang berdasarkan ideologi dan falsafah hidup tersebut tentunya, secara teoritik,
tidak akan lebih buruk daripada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.231

230

Lihat abstraksi cara pandang ini dalam tulisan-tulisannya, "Individu, Negara dan Ideologi", makalah yang disampaikan
dalam acara Sudjatmoko Memorial Lecture, Jakarta, 2 Februari 1994; "Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan
Agama", makalah, tempat dan tahun tidak terlacak.
231 Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan, 1989), h. 9.

98

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Pragmatisme inilah yang juga melandasi pola pemikiran Gus Dur bahwa
"pemerintahan negara ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal
dari eksistensinya,"232 seperti akan tergambar nanti. Lebih jauh, dalam fungsinya sebagai
faktor pemersatu bangsa maka ideologi harus mampu menjadi perisai dari serangan terhadap
kesatuan serta penahan bagi tarikan ke arah perpecahan bangsa. Untuk mencapai kapabilitas
ini, ideologi nasional seyogyanya merupakan sintesa dari berbagai pemikiran yang beragam,
yang sudah dapat dipastikan eksistensinya dalam heterogenitas masyarakat. Karena itu,
ideologi nasional yang kuat pada umumnya adalah merupakan hasil pencarian titik temu dari
berbagai ideologi universal yang sebenarnya, pada sisi-sisi tertentu, satu sama lain saling
konfliktual.
Gus Dur mencoba menempatkan Pancasila dalam predisposisi ini. Ia berpendapat
bahwa berbagai ideologi universal yang masing-masing memiliki pandangan berbeda
mengenai berbagai hal seperti kemasyarakatan, perekonomian, dan lain-lain, telah masuk ke
Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan. Olehnya ideologi-ideologi itu dibagi dalam dua
kategori umum, yakni ideologi sekuler dan ideologi yang teokratis.233 Ideologi sekuler
menghendaki agar agama tidak turut menjadi faktor penentu dalam kehidupan kenegaraan,
sehingga negara harus netral dalam soal agama, dan agama dipandang semata-mata sebagai
urusan pribadi setiap individu. Nasionalisme, sosialisme, kapitalisme, dan komunisme
termasuk dalam kelompok ideologi sekuler ini. Ideologi dalam kategori kedua menginginkan
agar agama (dalam kasus Indonesia agama Islam) menjadi kekuatan penentu utama dalam
kehidupan bernegara, sehingga terbentuk sebuah negara teokratis. Jadi negara turut
bertanggungjawab atas terlaksananya syariat agama dalam segala aspek kehidupan
masyarakat dan individu. Silang polemik antara tokoh-tokoh pergerakan satu dekade
menjelang kemerdekaan (yang terus berlanjut hingga dalam kurun waktu yang sama
sesudahnya) adalah terpola sebagai perdebatan antara dua kubu penganut masing-masing
kategori ideologi universal di atas.
Akan tetapi perdebatan itu akhirnya terbentur pada kenyataan bahwa tak satu pun dari
mereka yang dapat mengharapkan kemenangan atas yang lainnya. Sekularisme sudah pasti
tidak akan dapat diterima oleh bangsa Indonesia yang religius dengan keyakinan bahwa
agama bagaimana pun tetap berperan dalam kehidupan negara. Sementara teokratisme
(sekalipun itu teokratisme berlandaskan Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat) juga sulit
232
233

Ibid., h.10.
Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op. cit.

99

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


diwujudkan mengingat masyarakat Indonesia sudah terlanjur terbentuk dalam suatu model
yang terkotak-kotak.234 Dengan demikian perumusan ideologi nasional lalu didorong ke arah
pencarian suatu titik temu. Dari sinilah lahir kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai
"ideologi nasional yang dimaksudkan untuk menyimpulkan semua ideologi besar dunia
dalam pelaksanaannya di Indonesia."235 Selanjutnya Gus Dur menulis:

..Pancasila juga bersumber dari Islam, dari Nasionalisme, dari Komunisme dalam
Pancasila itu. Memang PKI-nya dilarang, faham Marxisme dilarang tapi semangat egalitarian
(persamaan)-nya ada dalam Pancasila. Semangat keadilan sosial itu miliknya komunis
(Marxisme). Sebab tidak ada istilah "Keadilan Sosial" sebelum lahirnya faham komunis.
Istilah "Social Justice" itu tidak ada sebelum itu. Jadi Pancasila itu hasil rangkuman dari
macam-macam ideologi dunia.
Dari ideologi yang Theokratik (Islam) diambil sila yang pertama, ini sudah
merupakan kearifan dari Bapak-bapak kita, kearifan beliaulah yang akhirnya membentuk
nation yang merdeka, dan bebas dari komunisme (pertentangan kelompok yang berlebihan)
seperti di India.236

Kalaupun setelah kemerdekaan masih saja ada perdebatan ideologis, Gus Dur menilai
bahwa hal itu disebabkan karena para pengikut ideologi universal itu masih tetap berada pada
kerangka acuannya semula dan masih terkotak-kotak dalam pemahaman ideologisnya masing
masing.237 Dengan pemahaman ini, maka indoktrinasi massif berupa penataran P-4 yang
dilaksanakan dengan sangat dramatis serta penetapan asas tunggal Pancasila bagi semua
fraksi dan ormas mestinya bisa dipandang sebagai upaya untuk sama sekali mengakhiri
pemahaman ideologis yang terkotak-kotak itu. Akan tetapi Gus Dur justru mengkritiknya
sebagai proses ideologisasi di Indonesia kini, yang dinilainya menampilkan dua sisi berbeda
dan bahkan saling bertolak belakang.238 Terjadinya kecenderungan ini dinilainya telah
membuat artikulasi proses ideologisasi itu kehilangan makna, sehingga yang tersisa tinggal
proses ideologisasi sebagai pemberi legitimitas kepada sistem pemerintahan yang ada.
Artinya, ideologi akhirnya hanya berfungsi sebagai justifikasi kebijakan para pemegang

234

Ibid.
Ibid.
236 Ibid.
237 Ibid.
238 Abdurrahman Wahid, Individu, op. cit. Ia menulis: Di satu sisi, dilakukan penggalian atas nilai-nilai luhur bangsa, yang
kemudian direkatkan pada ideologi nasional sebagai 'bukti' dari relevansi ideologi nasional itu sendiri bagi kehidupan
bangsa. Di sisi lain, dilakukan upaya untuk melakukan teorisasi yang baku dan konseptualisasi yang menyeluruh atas
cakupan-cakupan nasional itu dalam kehidupan. Dengan ungkapan lain, nilai-nilai luhur yang sudah dianggap baku ternyata
masih harus dikembangkan dalam sebuah proses pembakuan,.."
235

100

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kekuasaan, dan sangat kurang berfungsi sebagai alat pelestarian persatuan dan kesatuan
bangsa.

2. Tentang Negara, Kekuasaan dan Masyarakat

Fungsionalisasi ideologi dalam konteks yang terbatas, akan melebarkan kawasan


kosong bagi rakyat mengembangkan hak-hak individu warga negara yang menjadi kebutuhan
obyektif seluruh bangsa. Bagi Gus Dur, negara hanya akan bermakna sejauh ia tidak
mengabaikan kepentingan individu rakyatnya. Pengabaian terpenuhinya hak-hak individual
warga negara secara tuntas pada gilirannya akan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada
sistem pemerintahan yang ada, sebab negara lalu akan tampak sebagai kekuasaan pihak yang
memerintah, bukannya sebagai pelaksanaan sistem pemerintahan yang berlandaskan
kedaulatan hukum.239 Pada sisi ini Gus Dur mengkritik paham integralistik yang
menempatkan negara sebagai sentrum secara berlebihan, selama ia diterapkan di Indonesia.
Yang dipersoalkan adalah bagaimana faham integralistik itu menjadi argumen yang selalu
dikemukakan untuk menolak keabsahan gagasan kebebasan politik penuh bahwa rakyat di
hadapan kekuasaan pemerintah. Sehingga ia mengatakan:

Dikesankan dengan cara demikian, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa akan
terancam pengepingan dan terbenam dalam kekacauan apabila tidak menempuh sistem politik
yang berlandaskan faham integralistik. Liberalisme dan demokrasi liberal, sebagai tandingan
bagi sistem integralistik, lalu diangkat sebagai momok yang menakutkan bagi bangsa kita dan
bahaya yang mengancam kelestarian hidup kita. Lebih jauh lagi tuntutan akan kebebasan dan
desakan untuk menerapkan hak-hak asasi manusia, lalu disamakan begitu saja dengan
liberalisme sebagai paham dan demokrasi liberal sebagai cara penerapan faham tersebut.240

Jadi permasalahannya terletak pada penggunaan paham itu sebagai justifikasi


peneguhan kekuasaan negara vis a vis rakyat dengan simultanitas pengabaian pemenuhan
hak-hak individual rakyat itu. Jika ditilik cara pandangnya seperti disebutkan di muka bahwa
pemerintahan negara tidak perlu dinilai dari norma formal eksistensinya melainkan dari
fungsionalisasinya, sangat boleh jadi Gus Dur tidak mempersoalkan pemilihan faham
239
240

Ibid.
Ibid.

101

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


integralistik itu an sich. Apalagi ia percaya bahwa corak normatif suatu negara lebih
ditentukan oleh struktur masyarakat di mana negara itu didirikan. Ia mencontohkan bahwa
watak yang non-liberalistis dari UUD 1945 adalah

... berangkat dari kenyataan sejarah akan keragaman yang tinggi dalam kehidupan
bangsa kita, yang untungnya dapat ditampung dan diproses menjadi ketentuan konstitusional
dalam UUD 1945. Baik itu secara kesukuan, kebahasaan, keagamaan, budaya dan ideologis
bangsa kita sangat beragam. Dan tingginya derajat keragaman itu telah menumbuhkan pola
hidup yang dapat disebut (dengan meminjam istilah Nikita Kruschev) 'hidup berdampingan
secara damai'.241

Adalah karakteristik Gus Dur untuk selalu menghindarkan visinya dari titik ekstrem
di antara dua kutub yang tarik-menarik. Demikian pula pemikirannya tentang negara. Ia
mengkritik penempatan negara sebagai sentrum, sama seperti ia menolak pemberian bobot
yang berlebihan terhadap rakyat, dan lebih suka memilih titik moderat di antara keduanya.
Itulah sebabnya jika di satu sisi ia menilai negara akan kehilangan maknanya jika terjadi
pengabaian terhadap hak-hak individual rakyat, maka di sisi lain dari keping uang yang sama
ia meyakini bahwa negara memegang kunci penataan masyarakat.242
Yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi negara sebagai penyerapan heterogenitas
masyarakat dan kepentingannya. Oleh karenanya Gus Dur secara konsisten menolak
formalisasi agama sebagai ideologi negara, sekalipun agama itu adalah anutan mayoritas
rakyat seperti Islam di Indonesia, sebab hal itu akan dapat berarti tidak terserapnya bagianbagian tertentu dari heterogenitas masyarakat masyarakat itu. Di sini ia menyatakan
persetujuannya terhadap Ibnu Khaldun, ketika pemikir Islam terkemuka ini mengatakan
bahwa

....agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. Pembentukan negara di
samping paham keagamaan juga diperlukan rasa ashabiyah (perasaan keterikatan).
Tujuannya membentuk ikatan sosial-kemasyarakatan. Ini, adalah paham kebangsaan oleh

241

Abdurrahman Wahid, "Sejarah Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Sejarah, makalah yang disampaikan
dalam Seminar Sehari Peringatan 30 Tahun Dekrit Presiden, Jakarta, 5 Juli 1989.
242 Lihat antara lain Abdurrahman Wahid, "Mencari Paham Keagamaan," makalah, tempat dan tahun tak terlacak.
Penyimpulan atas pandangan Abdurrahman ini dapat diekstraksikan dari bagaimana ia mencontohkan bahwa "Hubungan
antara sesama umat beragam juga merupakan akibat saja dari penataan hubungan agama dan ideologi negara.
Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op.cit.

102

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Ibnu Khaldun. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya
perasaan kebangsaan.

Terlebih lagi, Gus Dur tidak yakin bahwa Islam memang memiliki konsep
pemerintahan yang definitif,243 sehingga pemaksaan diterapkannya Islam sebagai tatanan
tunggal penyelenggaraan negara secara konseptual tidak beralasan. Ia membuktikan bahwa
dalam satu aspek kenegaraan yang paling pokok tentang persoalan suksesi kepemimpinan,
Islam ternyata tidak menunjukkan konstanta tertentu. Akibatnya, hanya 13 tahun setelah
meninggalnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat telah menerapkan tiga model yang
berbeda: Istikhlaf, Bai'at, dan Ahlul Halli Wal Aqdi bagi mekanisme suksesi kekhalifahan.

Kalau memang Islam ada konsep, tidak akan demikian, apalagi para sahabat itu
adalah orang yang paling takut dengan Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur
konsep kenegaraan, yang ada hanya 'komunitas agama' (kuntum khoiro ummatin ukhrijat
linnas). Jadi khaira ummatin, bukan khaira daulatin atau khaira jumhuriyyatin apalagi khaira
mamlakatin.244

Bagi Gus Dur, yang terpenting suatu negara ditegakkan di atas banyak pilar yang
mengindahkan keragaman masyarakat di mana negara itu dibangun bersama-sama dengan ide
penyeimbangan antara pemberian kekuasaan terhadap negara dan pemenuhan secara baik
akan kebebasan dan hak-hak individual rakyat, hal itu adalah butir terpenting dalam
pemikiran Gus Dur tentang negara. Dan jika diperhatikan dengan cermat, akan jelaslah
bahwa sentra pemikiran Abdurrahman Wahid adalah rakyat. Kekuasaan negara dipahaminya
sebagai operasionalisasi kekuasaan rakyat, yang disimpulkannya dari ketentuan Al-Qur'an
yang secara eksplisit menyatakan bahwa prinsip utama pemerintahan adalah adanya
permusyawaratan antara pemimpin dan yang terpimpin. Dengan ini Gus Dur mengkritik
karya-karya para pemikir Islam tentang negara yang kebanyakan terlalu ditekankan pada
aspek legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya justru bukan dari sudut keabsahan
negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat.

243

Ibid. Cf. Abdurrahman Wahid, "Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam," makalah yang
disampaikan pada acara Dies Natalis XX/Lustrum IV Universitas Islam Tribakti (UIT), Kediri.
244 Merumuskan, ibid.

103

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Hak-hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang dirumuskan secara teliti,
namun tidak diberikan perhatian cukup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajibankewajiban itu terkait secara organik dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara,
baik secara individual maupun kolektif.
...
Dengan kata lain, pemikiran negara ... selalu berurusan dengan pembagian kekuasaan
antara yang memerintah dan yang diperintah.245

Selanjutnya, masyarakat yang menjadi sentra pemikirannya oleh Abdurrahman Wahid


selalu dieja sebagai memiliki wujud dimensional yang berbilang, tidak tunggal. Sehingga
heterogenitas adalah fakta yang inheren dalam eksistensi masyarakat. Wacana politik suatu
negara dengan demikian seharusnya mampu menjadi medan penyerapan yang sebaik-baiknya
bagi heterogenitas tersebut. Itulah sebabnya ia gigih menolak penyekatan sosial-politik
berdasarkan agama sebagai salah satu variabel heterogenitas masyarakat. Dan karena itu ia
tidak mau bergabung dengan ICMI serta lebih suka mendirikan Forum Demokrasi dalam
mana berbagai kelompok non-santri bahkan non-muslim turut bergabung.246 Lalu
bagaimanakah struktur sosial suatu masyarakat tertata? Kekuatan apakah di balik
pembentukan struktur sosial itu? Gus Dur mengakui bahwa berbagai pertanyaan seputar
struktur sosial akan dapat ditemukan sebagian jawabannya dalam argumen-argumen Marxian
yang merupakan sudut pandang yang penting, kalau bukan yang paling penting. Tetapi ia
tidak berhenti di situ, sebab jika demikian orang lalu akan menjadi deterministik. Bahwa cara
produksi akan menentukan struktur masyarakat melalui dialektika. Bagi Gus Dur, produksi
bukanlah satu-satunya pembentuk struktur masyarakat. Masih terdapat elemen-elemen lain
yang tak kalah pentingnya, yaitu agama, etnis, bahasa, juga posisi geografis. Elemen agama,
misalnya, dengan caranya sendiri selalu berusaha meredefinisikan kehidupan dan
menumbuhkan kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat untuk mengatasi keadaan. Sudah
barang tentu oleh karena sifat agama yang tidak semata-mata berdasarkan pada akal tapi lebih
pada wahyu, maka masyarakat yang diinginkan oleh agama bukanlah masyarakat yang sama
sekali "ilmiah". Tentu berbeda dengan masyarakat yang ingin dibentuk dengan kerangka
Marxis, suatu masyarakat yang sama sekali ilmiah. Sedangkan agama semata-mata
berdasarkan transformasi pribadi manusia. Apakah dia kapitalis atau proletar, tak jadi soal.
Yang penting dia melakukan transformasi. Melakukan kesadaran diri yang tinggi. Dengan

245
246

Abdurrahman Wahid, Beberapa, op. cit.


Cf Fachry Ali, Abdurrahman Wahid dan Kiai Ali Yafie," dalam Editor, 7 Maret 1992, h. 21.

104

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


sendirinya masyarakat akan berubah. Jika tidak struktur, ya dalam fungsi. Di sini ada peran
pembebasan dalam agama di dalam refunctioning peralatan-peralatan masyarakat. Ada fungsi
agama yang struktural tapi tidak total.247
Kritik atas pemikiran Gus Dur ini dapat diajukan, apakah memang bisa dijamin
bahwa setiap pemeluk agama akan memiliki komitmen sedemikian rupa sehingga selalu
terdorong untuk melakukan transformasi diri ke dalam keadaan yang lebih baik dalam
semangat agamanya? Kalaupun ya, tidakkah heterogenitas agama yang dianut masyarakat
juga akan menghasilkan corak transformasi yang heterogen? Rasanya, ragam cara produksi
yang lebih bersifat universal bagaimana pun tetap lebih signifikan di dalam menentukan
struktur sosial, sedang elemen-elemen lain hanya akan bersifat sampingan yang tidak dapat
terlalu diniscayakan keberlakuannya.

3. Tentang (Umat) Islam dan NU

Cetusan-cetusan ideatif Abdurrahman tentang Islam adalah sisi pemikirannya yang


paling rawan dan sangat rentan terhadap kontroversi. Di sudut inilah ia kerap memperoleh
serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis, dan berbagai tuduhan yang minor lainnya.
Persoalannya adalah karena ia sangat menentang penempatan Islam dalam pagar yang
eksklusivistik, sesuatu yang disadari atau tidak begitu berurat akar dalam benak sebagian
umat Islam. Ia selalu mengajak umat Islam untuk mengembangkan sikap eklektik, daya serap
positif yang tinggi terhadap budaya luar yang dimungkinkan untuk memberikan manfaat bagi
diri dan umat Islam pada umumnya, sebagaimana yang dicontohkan oleh tradisi Islam selama
berabad-abad dahulu.248 Selain itu ia kerap mengejutkan kesadaran kaum muslim, bahwa
dengan strategi perjuangan mereka sekarang maka kemegahan Islam hanya akan ada dalam
utopia tanpa pernah lahir dalam wujud riil.
Sebagian pengkritiknya dengan sangat tidak beralasan pernah menuduhnya telah
membangun gagasan-gagasan yang terlalu muluk-muluk dan melangit. Tuduhan ini terasa
kurang benar, untuk tidak menyebutnya salah, sebab Gus Dur sendiri pun sering mencela
pemikiran yang bersifat demikian. Tentang Islam sebagai "ideologi alternatif misalnya,
247

Lihat Abdurrahman Wahid, "Gerakan Sempalan dan Proyek Rintisan," dalam Denny JA, et. al. (eds.), Agama dan
Kekerasan (Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1985), h. 54-56.
248 lbid., h. 55-56.

105

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


seperti akan terlihat nanti, ia jelas-jelas menyatakan ketidaksetujuannya. Tokoh-tokoh yang
kukuh dalam idealisme menjadikan Islam sebagai alternatif politik universal yang
mengabaikan konteks, seperti Abul A'la Al Maududi, Khomeini, Zia Ul Haq, dikritiknya,
"idealisme mereka begitu tinggi sehingga tidak bisa mendarat dalam kehidupan; gagal
menemukan prinsip operasional dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat."249 Gagasannya
tentang pribumisasi Islam sebagai contoh lain, jelas merupakan konsep yang sangat
membumi, di mana ia mengajak agar Islam dipahami sampai ke nilai-nilai dasamya, untuk
kemudian diaplikasikan secara kontekstual.250 Agaknya alih-alih menilai gagasannya terlalu
mengawang-awang, lebih tepat untuk menyebutnya terlalu ke depan dan sedikit mendahului
waktu, ketika tidak semua kalangan siap mencernanya. Ia, dalam hal ini, memiliki similaritas
dengan Nurcholish Madjid.
Untuk meletakkan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dalam perspektif,
sebelumnya harus dilihat lebih dahulu pendekatan apa yang digunakannya. Gus Dur sendiri
membagi pendekatan yang digunakan oleh umat Islam dalam usaha menampilkan citra Islam
ke dalam kehidupan kemasyarakatan dalam tiga varian. Pertama, pendekatan sosial-politik
yang menekankan perlunya keikutsertaan dalam sistem kakuasaan yang ada. Tendensinya
adalah untuk menampilkan watak ideologis Islam serta menonjolnya sifat eksklusivistik
Islam terhadap agama, paham, dan ideologi lain. "Kepentingan Islam adalah kredonya dan
solidaritas Islam adalah tali pengikatnya. Sikap sektarian sangat mudah berkembang dalam
pendekatan seperti ini."
Kedua, pendekatan kultural semata-mata, yang berkehendak untuk mewujudkan Islam
dalam kesadaran hidup sehari-hari, tanpa keterkaitan dengan kelembagaan apa pun, kecuali
dalam konteks penyebaran Islam secara budaya itu sendiri. Meskipun lebih menekankan
wawasan universal Islam sebagai sebuah peradaban dunia, namun sering terjadi mutasi watak
pendekatan ini ke dalam kehidupan ketika sejumlah proponennya berubah menjadi penuduh
pihak lain mengganggu sistem kekuasaan, manakala mereka mengambil sikap hendak
memasukinya. Coraknya yang semula inklusif bisa berubah menjadi pandangan historis yang
menuding kelompok-kelompok agama lain sebagai penyebab ketertinggalan umat Islam.
Sikap ini akhirnya serupa dengan yang ditunjukkan oleh pendekatan pertama.

249

Lihat Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (eds.), Islam Indonesia
Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 19H9), h. 93.
250 Ibid., passim.

106

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Ketiga, pendekatan sosio-kultural, yang mengutamakan sikap mengembangkan
pandangan dan perangkat kultural "yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem
kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu." Pendekatan ini
lebih mementingkan aktivitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-lembaga yang
dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Di sini tidak
dipentingkan sikap untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan atau tidak. Dalam pendekatan ini
dapat dengan mudah dimasukkan "agenda Islam" ke dalam "agenda nasional" bangsa secara
inklusivistik. Kalau pun hendak melakukan perubahan, sasarannya bukan pada sistem
pemerintahan atau sistem politik tapi pada sub-sub sistemnya. Aksentuasinya pada perubahan
perilaku tanpa merubah bentuk-bentuk lahiriah lembaga pemerintahan.251 Pemikiran Gus Dur
berada dalam kategori pendekatan ketiga ini, yang menginginkan Islam menjadi kekuatan
komplementer bagi kehidupan bangsa secara keseluruhan. Ia secara konsisten menolak Islam
dijadikan sebagai ideologi dan sistem alternatif, apalagi sebagai faktor tandingan yang
bersifat disintegratif terhadap kehidupan bangsa. Ia mengingatkan pelajaran yang pernah
diberikan oleh sejarah, bahwa keinginan akan berlakunya "ideologi Islam" di Indonesia selalu
terbentur pada kenyataan akan langkanya dukungan dari massa Islam sendiri secara konkrit.
Kecuali sejumlah kecil kalangan yang menyimpan keinginan semacam itu, maka keseluruhan
gerakan Islam di Indonesia justru selalu menunjukkan kemampuan menerima kondisi
obyektif yang telah ada, dan menempatkan Islam sebagai faktor komplementer bagi bangsa
dan negara.252 Di sinilah ia menilai bahwa, bagaimana pun, keluarnya NU dari Masyumi
dahulu telah membawa hikmah tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Jika NU tetap di
dalamnya, akan terjadi penunggalan kepemimpinan umat di tangan Masyumi yang akan
menjadi sangat dominan. Sementara partai ini memiliki kecenderungan memperlakukan
Islam secara ideologis, maka perbenturan yang keras antara "Islam" dan "Republik
Indonesia" akan terjadi, dan ketika Masyumi dibubarkan, keseluruhan gerakan Islam akan
merasakan akibat yang parah.253 Dengan demikian jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia
secara keseluruhan dan secara obyektif agama akan lebih berfungsi positif jika dilepaskan
dari masalah-masalah ideologis.254 Upaya legislasi Islam ke dalam formal kenegaraan
akhirnya juga akan

251

Cf. Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, loc. cit., h. 90-91. Abdurrahman Wahid, "Massa Islam dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 8
252 Abdurrahman Wahid,"Massa islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara," dalam Prisma nomor ekstra, 1984, h.8
253 Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar," dalam Sitompul op. cit., h. 17.
254 Abdurrahman Wahid, Mencari, Op. cit.

107

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


... merupakan pengingkaran hakekat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini,
karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara
kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan semua warga negara di muka
undang-undang tidak tercapai. 255

Untuk umat Islam sendiri, penekanan berlebihan pada sisi legal-formalistik yang
membawa Islam kepada sikap sangat ideologis dalam pengaturan masyarakat telah
menyebabkan menyempitnya ruang gerak bagi refleksi kontemplatif yang mengembangkan
arti manusia sebagai subyek kehidupan. "Setiap pengaturan masyarakat secara terlembagakan
senantiasa cenderung untuk memperlakukan masyarakat sebagai obyek kehidupan."256 Pada
sikap yang memperlakukan masyarakat sebagai obyek inilah berakar kemiskinan di
lingkungan kaum muslim yang sangat meluas. Keadaan ini lebih diperburuk oleh adanya
kecenderungan spiritualitas mistik (sufisme) yang dimanifestasikan dalam pola ritualistis,
yang justru cenderung mengajak manusia untuk melupakan kesulitan dan bukan
memecahkannya. Ironinya, kuatnya kecenderungan sufisme ini sesungguhnya adalah upaya
imbangan terhadap kecenderungan legal-formalistik itu.257
Selanjutnya, kecenderungan di atas juga telah menimbulkan kerancuan dalam cara
pikir sebagian besar umat Islam, yang lebih jauh membentuk logika zero sum game.
Abdurrahman Wahid tidak secara persis menggunakan terminologi ini, tapi ia menulis:

Kita memiliki kekuatan politik, posisi bargaining yang kuat, sasaran yang cukup jelas
yaitu baladatun thayyibatun wa rabbun ghafur
(Tapi ada kerancuan yang)
mencampuradukkan antara sasaran dan masalah kelembagaan. Kita merasa harus menguasai
lembaga politik, sistem pemerintahan, jalur-jalur pendapat umum dan mekanisme mobilisasi
massa. Padahal penguasaan beberapa hal tersebut di satu tangan adalah sesuatu yang tidak
mungkin, karena kehidupan politik berdasarkan asas saling mengimbangi.258

255

Abdurrahman Wahid, "Agama dan Demokrasi," dalam Th. Sumartana, et. al. (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan
Aspirasi Rakyat (Yogyakarta: Penerbit Interfidei, 1994), h. 274.
256 Abdurrahman Wahid, "Upaya Bersama Menanggulangi Kemiskinan,'' naskah pidato di depan Sidang Raya PGI XI,
Oktober 1989 di Surabaya. Pidato ini belakangan dijadikan salah satu alasan oleh KH As'ad Syamsul Arifin untuk menggugat
kepemimpinan Abdurrahman di NU. Lihat Bab IV di belakang.
257 Ibid.
258 Abdurrahman Wahid, "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Sosial-Politik," dalam Yunahar Ilyas, et al. (eds.),
Muhammadiyah dan NU, Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), h. 93.

108

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Akibat obsesi yang tak pernah terwujud adalah perasaan frustrasi, yang melahirkan
sikap eskapisme dari kenyataan pada sebagian umat Islam,259 dan rasa inferioritas total pada
sebagian lainnya.260 Gus Dur memberikan contoh yang sangat menarik tentang manifestasi
rasa frustrasi dalam wujud kedua ini dalam hal kepekaan yang berlebihan dari umat Islam
terhadap kasus Monitor di tahun 1990.261 Kerancuan berpikir di sebagian kaum muslim, serta
kegagalan mereka untuk menyadari bahwa gerak hidup kenegaraan mensyaratkan distribusi
peran secara proporsional sehingga tidak dibenarkan pemusatan di satu kelompok
mengundang satu penilaian dari Gus Dur, yang belakangan melahirkan kontroversi tersendiri,
tentang ketidaksiapan sementara kalangan khususnya pemimpin umat Islam untuk
berdemokrasi.262 Untuk bisa lepas dari keseluruhan persoalan di atas, Gus Dur menyarankan
perlunya kehati-hatian untuk membedakan dan memilih secara tepat di antara peran politis
dan peran moral dan agama dalam upaya memberi warna proses kenegaraan dan
kemasyarakatan.263

Sebuah sikap yang dewasa dari kehidupan beragama dalam kaitannya dengan kedua
alternatif itu adalah kebijaksanaan untuk paling jauh meletakkan diri pada sikap berhati-hati
untuk menekankan diri pada alternatif moral. Terhadap alternatif politik, kehidupan beragama
sebaiknya menahan diri untuk tidak langsung menceburkan diri sepenuhnya. Kalaupun nanti
terjadi perubahan dalam struktur politik dari masyarakat ...hendaknya itu terjadi dalam
kewajarannya sendiri, tanpa terlalu didorong oleh kehidupan beragama.264

259

Sikap ini adalah rasa frustasi tersembunyi yang keluarnya dalam bentuk 'tidak usah macam-macam pun kita berperan
baik, kok.' Tetapi mereka lupa bahwa orang Islam tidak ikut mendefinisikan masalah yang ditangani. Agenda datang dari
luar, bukan dari orang Islam. Kita tinggal 'amin' lalu kerjakan." Ibid., h. 94.
260 ". . . kita merasa gagal total, tidak pernah berhasil dan musuh begitu kuat. Maka kemudian dicari sasaran lain sebagai
kambing hitam yaitu kalau tidak ABRI, ya orang Kristen. Dalam hati kecil kita merasa bahwa semua pihak menghalangi
orang Islam." Ibid.
261 Persoalan yang "mengubah kualitas hubungan antar agama di negeri kita secara mendasar" ini oleh Abdurrahman
dinilai memiliki akar yang sederhana saja: "kesembronoan dan kepekaan berlebih". Lihat Abdurrahman Wahid, "Ada Kasus
Gila dan Ada yang Gila Kasus", dalam Aula, November 1990, h. 43. Kepekaan berlebihan tentu dari umat Islam sebagai
refleksi rasa frustrasi mereka, sesuatu yang dikhawatirkan oleh Abdurrahman akan merusak citra Islam sebagai agama
damai menjadi agama kekerasan yang menampilkan wajah kebencian yang mengerikan. Ia mengisyaratkan keraguan
apakah Arswendo pemred Monitor, punya motivasi lain kecuali kesembronoannya di balik kasus tersebut, sehingga "anak
muda gombal yang lebih patut dikasihani" itu mesti menanggung resiko sedemikian rupa. Orang Islam yang memilih Nabi
Muhammad dalam polling itu juga dinilainya tak kalah sembrononya. Simak notasinya "Dari 33.693 responden, mayoritas
tentu beragama Islam. Kalau diletakkan pada angka 85% penduduk negeri ini memeluk agama Islam, kira-kira 29.000
berpotensi menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Ternyata hanya 616 suara diberikan kepada Beliau, berarti hanya 2,1%
saja yang tidak tahu bahwa nama Beliau tidak boleh dipergunakan sembarangan. Selebihnya, yaitu hampir 98 % tetap
waras dan mengerti bagaimana cara yang tepat untuk menghormati ketokohan Beliau." Ibid., 43-44.
262 Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h. 35.
263 Lihat Abdurrahman Wahid, "Kehidupan Beragama, Rekayasa Sosial dan Kemantapan Kehidupan Beragama," makalah,
tempat dan tahun tak terlacak. "Jika ia menawarkan alternatif dalam arti pola kehidupan baru dalam wadah
kemasyarakatan yang sudah ada ... maka kehidupan beragama menawarkan altenatif moral ... Apabila kehidupan
beragama menawarkan altenatif struktural yang sama sekali lain dari wadah yang telah ada, maka yang ditawarkan adalah
altenatif politik."
264 Ibid.

109

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

Dan untuk menjamin tempat Islam dalam konstelasi politik nasional, lepas dari
persoalan seperti apa corak pemerintahan itu, Gus Dur memandang perlu ditempuh strategi
ganda. Di satu ujung ada kalangan yang mengupayakan formalisasi agama dalam kehidupan
bernegara (bukan dalam proses kenegaraan) melalui cara-cara dan produk-produk yang
nantinya menampilkan syiar Islam, seperti yang saat ini dilakukan oleh Depag, MUI, dan
ICMI. Dan pada ujung yang lain harus ada yang menggarap pengelolaan isu-isu umum yang
tidak khas Islam. Strategi ini tidak harus dikomunikasikan secara formal, melainkan cukup
dalam pemahaman yang utuh saja.265
Selanjutnya, pemikiran Gus Dur tentang NU sebagian besar sudah ter-cover dalam
pemikiran tentang Islam dan umat Islam di atas, sebab baginya NU adalah bagian yang sama
sekali integral dari umat Islam Indonesia bahkan bangsa Indonesia secara holistik. Akan
tetapi tentu ada beberapa potong pemikirannya yang secara spesifik menunjuk NU dan perlu
ditinjau di sini. Pertama adalah bagaimana ia menjawab berbagai pertanyaan yang muncul di
seputar kepolitikan NU: mengapa NU seringkali menunjukkan watak politik yang
oportunistik, lalu pada kali lainnya terkesan sebagai oposan pemerintah? Ia mengembalikan
semua jawaban bagi pertanyaan itu kepada pendekatan NU yang serba fikih. Oportunisme,
suatu kesan yang timbul karena NU seringkali mengeluarkan keputusan yang sepintas tampak
dibuat sembarangan, dan yang memenuhi selera dan sangat bersifat akomodatif terhadap
kepentingan penguasa pada suatu saat, didasari oleh cara bersikap NU yang tidak
berpedoman pada "'strategi pejuangan politik' atau 'ideologi Islam' dalam artiannya yang
abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fikih.266 Orientasi inilah yang mewarnai banyak
perilaku NU, termasuk penerimaan Pancasila serta penentuan "absahnya Presiden RI sebagai
pemegang pemerintahan, karena itu ia harus ditunduki dan dipatuhi di hadapan sebuah
Negara Islam Indonesia sekalipun."267
Tapi pada sudut yang lain, tidak berarti jalannya pemerintahan lepas sama sekali dari
kendali keagamaan. Justru NU selalu menuntut agar kebijaksanaan pemerintah disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan fikih, dan sikap ini kerap diterima oleh kalangan pemerintah

265

Abdurrahman Wahid, Pluralisme, loc. cit., h. 228.


Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h. 35.
267 Ibid.
266

110

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


sendiri sebagai hambatan saat melaksanakan kebijakan dan wewenangnya. Pada bagian inilah
NU menampakkan kesan sebagai oposan.268
Yang juga perlu dicatat adalah bagaimana Abdurrahman meletakkan reorientasi
politik NU269 dalam konteks politik nasional, sebagaimana kebanyakan perilaku NU juga
harus ditinjau dalam kaitannya dengan konteks makro. Ia menggambarkan bahwa pada masa
Orde Baru telah muncul perkembangan yang berlawanan arah sebagai akibat ambivalensi
kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap umat Islam.270 Di satu pihak, pemerintah dengan
sukses telah melakukan "de-aliranisasi" kehidupan politik yang telah menggeser gerakan
politik formal Islam dari panggung politik. Di pihak lain, pemerintah bagaimana pun tetap
memerlukan legitimitas bagi program-program pembangunannya, sehingga pemerintah harus
memperoleh legitimasi dari berbagai pihak, apalagi dari gerakan-gerakan Islam yang secara
kuantitatif adalah mayoritas. Akibat dari ambivalensi itu, meskipun di satu sisi terjadi
pengikisan kelompok formal politik Islam, namun di sisi lain kekuatan kepemimpinan nonformal Islam semakin meningkat, justru karena ia berada di luar sistem dan berperan sebagai
korektor. Secara riil politik, kata Abdurrahman, kekuatan Islam tetap diperlukan sebagai
kekuatan politik, dan perkembangan peran politik NU diletakkannya dalam konteks ini.
Dengan demikian NU tidak akan sama sekali surut dari politik, sebab bagaimana pun gerakan
Islam Indonesia "tidak bisa menghindar dari politik. Kalau menghindar sama saja dengan
tidak mengerti perkembangan keadaan, karena set-up Orde Baru memang sudah
demikian."271
Lalu apa tujuan moral NU dengan reorientasi politik itu? Sebuah periodisasi sejarah
NU yang dibuat Gus Dur memberikan gambaran jawabannya bagi pertanyaan ini. Ia
membagi sejarah NU ke dalam tiga tahapan272. Pertama adalah tahap murni jam'iyah diniyah
antara tahun 1926-1936, sejak NU berdiri hingga muktamarnya di Banjarmasin yang
menetapkan bahwa Negara dan Tanah Air Indonesia wajib dilestarikan menurut fikih.
Kewajiban fiqhiyah itu lain membuka kemungkinan munculnya orang-orang NU
secara terbuka dalam pergerakan kemerdekaan serta mengantarkan NU sendiri pada tahap
kedua sejarahnya, yaitu tahap perjuangan politik idealistik. Tahap ini meliputi kurun waktu

268

Ibid.
Tentang reorientasi politik NU selengkapnya akan dibahas dalam Bab V-A.
270 Lihat Abdurrahman Wahid, NU Pluralisme, loc. cit., h. 215; Muhammadiyah dan NU, loc. cit., h. 91-2.
271 Abdurrahman Wahid, Muhammadiyah dan NU, ibid., h. 92.
272 Abdurrahman Wahid,"Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926", dalam M Masyhur Amin dan Ismail S Ahmad (eds.), Dialog
Pemikiran Islam dan Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), h. 151.
269

111

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


yang paling panjang dibandingkan tahapan lainnya hingga saat ini, sebab baru pada tahun
1984 tahap kedua ini berakhir.
Kemudian sejak tahun 1984 NU memasuki tahapan sejarahnya yang ketiga, di mana
khitah mengantarkannya pada bentuk perjuangan kemasyarakatan semesta. Semangat moral
perjuangan ini mendorong NU untuk merumuskan peran politik yang lebih baik daripada
sekadar politik kelembagaan, sehingga ikatan langsung dengan politik praktis pun
ditinggalkan. Peran politik yang lebih baik yang menurut Abdurrahman Wahid harus
dimainkan oleh NU adalah "peran transformasi, perubahan masyarakat, bahwa Nahdlatul
Ulama harus mempersiapkan warganya memasuki era industri tanpa kehilangan sendi-sendi
keagamaannya."273. Aksentuasi perhatian pada warga ini jelas-jelas merupakan pergeseran
yang cukup besar dari keadaan sebelumnya ketika NU menjadikan warganya lebih sebagai
basis politik. Dengan perkataan lain, lebih sebagai obyek daripada subyek.

BAB IV
IMPLEMENTASI KHITAH: DINAMIKA INTERNAL

273

Ibid., h. 152.

112

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

Pada dasarnya, perjalanan khitah dapat diperiodisasikan dalam dua tahap. Tahap
pertama, meliputi masa 1984-1989, adalah periode sosialisasi dan konsolidasi khitah. Dan
tahap kedua dari 1989-1999 adalah periode pemantapan khitah. Tahap lima tahun pertama
dapat dikatakan mewarisi warna-warna reorientasi program, regenerasi, dan rekonsolidasi
dari Muktamar Situbondo. Ketiga hal itu adalah sub-sub tema yang mengikuti tema besar
"kembali ke Khittah 1926,"274 yang bukan saja telah membawa NU kepada perwajahan baru,
namun juga mengantarkannya pada era yang sarat dengan permasalahan dan persilangan
kepentingan. Kondisi ini menyebabkan PB NU yang merupakan produk regenerasi 1984
belum bisa berbuat banyak untuk menunjukkan hasil riil dari pelaksanaan program yang telah
disusun. Mereka masih berkutat dengan persoalan sosialisasi khitah untuk menyamakan
persepsi semua pihak dalam NU, yang ternyata menjadi pekerjaan yang sangat rumit dan
kompleks.
Regenerasi dalam NU sendiri tidak dapat dipahami sekadar sebagai regenerasi antarwaktu ketika pengurus sebelumnya yang telah senior dan cukup lama memegang kendali
mesti diganti dengan yang lebih muda. Regenerasi yang melahirkan nama-nama seperti
Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaedi, dan Fahmi Saifuddin, dan seterusnya ini
dilatarbelakangi oleh permasalahan yang jauh lebih besar daripada sekadar kemestian untuk
melaksanakan mekanisme suksesi kepengurusan. Backdrop proses ini adalah berkaitan
dengan maraknya konflik internal NU di masa sebelumnya, yang kurang-lebih terpola
sebagai konflik antara kelompok politisi dan ulama non-politisi yang secara populer disebut
sebagai konflik Cipete-Situbondo.
Konflik yang nyaris akut ini pada akhirnya melahirkan kesadaran para ulama dan
warga NU akan perlunya pemunculan figur baru dalam teras kepemimpinan NU. Figur baru
itu haruslah berada pada posisi netral dalam peta konflik NU, di samping harus mampu
menjadi representasi semangat khitah. Berdasarkan kriteria ini maka tujuh orang kiai senior
NU yang dikomandani KH As'ad Syamsul Arifin dalam forum ahlul halli wal 'aqdi
menunjuk Abdurrahman Wahid sebagai ketua Tanfidziyah. Tokoh ini bukan saja netral, tapi
ia juga secara serius telah turut mengupayakan rekonsiliasi kedua kubu yang bersengketa di
era sebelumnya. Selanjutnya, ia adalah salah seorang figur sentral dalam perumusan konsep

274

Lihat Bab II di muka, khususnya sub bab "Selangkah ke Era NU Baru: Situbondo 1981."

113

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kembali ke Khittah 1926.275 Dalam banyak hal, ia dipandang cukup mewakili citra "NU baru"
yang hendak dimunculkan. Dengan segala latar belakang ini, maka tugas kepengurusan baru
NU untuk melakukan sosialisasi khitah menjadi tidak mudah, sebab bias-bias konflik politisi
dan ulama non-politisi tenyata masih bersisa dalam tubuh NU. Salah satu hal yang harus
dijelaskan kepada warga adalah bahwa khitah mengamanatkan ditanggalkannya baju politik
praktis NU dan dilepaskannya keterikatan NU dengan organisasi politik mana pun. (Tentang
ini, lihat Bab V).
Namun gambaran persoalan yang muncul dapat diikhtisarkan bahwa kelompok
politisi dalam NU ternyata masih menyimpan keinginan untuk membawa organisasi ini
kembali pada politik praktis. Misalnya muncul gagasan Mahbub Junaedi tentang "Khittah
Plus" beberapa bulan setelah Pemilu 1987. Lontaran pemikiran serupa ini sangat
mengganggu langkah Abdurrahman Wahid dan semua orang yang berada dalam arus baru
NU, yang dalam setiap kesempatan baik melalui pesantren-pesantren maupun forum
pengajian umum selalu berusaha memberikan pengarahan kepada warga NU tentang amanat
khitah dalam segala implikasinya. Gagasan itu segera berhadapan dengan barikade yang
mencegahnya agar tidak menjadi epidemi baru.
Sementara itu dalam Pemilu 1987 Mahbub dan kelompoknya membuat ulah dengan
apa yang kemudian disebut sebagai aksi penggembosan PPP, yang menyimpang dari garis
netralitas NU dan untuk beberapa waktu, membawa sebagian warga NU pada penafsiran
yang salah bahwa khitah berarti eksodus dari PPP ke Golkar. Menyadari bahwa gagasannya
dihalangi, Mahbub lalu menyusun serangkaian upaya bawah tanah untuk menggeser
Abdurrahman Wahid bahkan menonaktifkannya sama sekali. Ia melobi beberapa kiai senior
NU seperti KH As'ad. Namun jelas tidak terlalu mengherankan jika Mahbub gagal
meyakinkan mereka akan gagasan Khittah Plus-nya. Kendati begitu, beberapa kiai setuju
dengan gagasan untuk menggeser Abdurrahman Wahid, sebab mereka menilainya sering
mengeluarkan pendapat yang aneh-aneh seperti bahwa pendidikan agama cukup di rumah
dan tidak perlu di sekolah, penggantian Assalamu'alaikum dengan selamat pagi, siang atau
malam, di samping bahwa ia dianggap kurang bisa mengorganisir NU, sehingga NU tidak
bisa menghimpun dana untuk melaksanakan program Muktamar 1984.276

275

Ia adalah salah seorang anggota Majelis 24 yang pada Mei 1984 telah membentuk sebuah "Tim Tujuh Untuk Pemulihan
Khittah." Tim ini diketuai oleh Abdurrahman Wahid. Lihat ibid.
276 Lihat Tempo, 21 November 1987, h. 25-26.

114

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Maka pada 7 November 1987 di rumah KH Mudjib Ridwan yang merupakan tempat
berdirinya NU di Surabaya, diadakan rapat Mustasyar yang membahas kepemimpinan
Abdurrahman Wahid. Namun pertemuan ini gagal menghasilkan keputusan karena hanya
dihadiri oleh KH As'ad, KH Masykur, H Imron Rosyadi, dan KH Mudjib sendiri.277
Selanjutnya, upaya menggeser Abdurrahman Wahid melalui forum Munas dan Konbes NU di
Cilacap pada bulan yang sama kembali menemui kegagalan. Sekalipun sejumlah kiai
"konservatif" berusaha menggesernya, namun Abdurrahman Wahid ternyata masih didukung
oleh sebagian besar kiai senior NU, termasuk Rais Aam KH Achmad Siddiq dan KH Ali
Maksum.278
Bahwa As'ad termasuk dalam barisan yang hendak menggusur Abdurrahman Wahid,
memang cukup mengherankan. Sebab ia sendiri yang pada 1984 menunjuk Abdurrahman
Wahid sebagai Ketua PBNU. Pendapat-pendapat aneh Abdurrahman Wahid yang dirujuknya
barangkali hanyalah suatu pilihan ketika sebuah alasan perlu dipilih. Di sini hendak diajukan
asumsi bahwa boleh jadi As'ad mulai kecewa pada Abdurrahman yang tidak juga tuntas
mengembalikan otoritas ulama pada porsi yang seharusnya sebagaimana diseyogyakan oleh
Khittah. Salah satu pilar Khittah adalah meningkatkan peran kepemimpinan ulama yang
setidak-tidaknya sejak tahun 1952 telah terus-menerus merosot dalam NU. Dan upaya ini
ternyata, seperti yang akan dilihat lebih jauh dalam bagian lain bab ini, hingga saat ini pun
tak kunjung terlaksana secara utuh. Selebihnya, As'ad sebenarnya berada pada posisi yang
berseberangan dengan Mahbub ketika mereka sama-sama menginginkan digesernya
Abdurrahman Wahid. Keduanya berlatarbelakang dikotomi politisi (Mahbub) dan ulama
(As'ad), dua kelompok yang berbeda pandangan tentang implikasi politik Khittah. Nurcholish
Madjid menilai bahwa justru keberadaan dua kelompok ini berikut pergulatan kepentingan
mereka yang didasari oleh perbedaan di atas yang telah menguras habis energi Abdurrahman
Wahid untuk membabat rintangan dan gagasan dalam upaya sosialisasi Khittah. Dengan
habisnya energi itu, tidak heran jika ada suara-suara yang kurang puas terhadap
kepemimpinan NU tersebut.279
Di kalangan NU sendiri, waktu lima tahun bukanlah periode yang memadai untuk
memberikan pemahaman tentang konsep Khittah 1926. Sekian puluh juta massanya yang

277

Ibid.
Lihat Khairul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah: Prospek dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW
Mandala, 1992), h. 140-144.
279 Lihat Suara Karya, 14 November 1989. Penjelasan "ekonomi politik" tentang kejengkelan Kiai As'ad terhadap Gus Dur,
lihat Martin van Bruinessen, NU, Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994).
278

115

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


tidak dapat disebut homogen menyebar di pelbagai provinsi di Indonesia. Keadaan ini
menuntut waktu yang relatif panjang untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi Khittah di
kalangan warga NU termasuk basis-basisnya di wilayah pedesaan. Dalam pidato pembukaan
Konferensi Wilayah NU Jawa Timur di Situbondo Agustus 1988, Abdurrahman Wahid
mengakui bahwa heterogenitas warga NU telah menimbulkan perbedaan pemahaman
terhadap Khittah, sehingga meskipun telah diputuskan, pelaksanaannya tidak dapat
dipaksakan. Ia memperkirakan bahwa, "kerja khittah itu lama sekali, 15 sampai 20 tahun."280
Sementara bagi Yusuf Hasyim, masih banyaknya penyimpangan terhadap semangat Khittah
sangat berkaitan dengan belum lengkapnya petunjuk pelaksanaan Khittah itu sendiri.281 Lebih
jauh, permasalahan itu agaknya juga disebabkan oleh ketiadaan perangkat yang mampu
menjabarkan program 5 tahunan NU ke dalam kegiatan-kegiatan operasional dari tingkat
pusat sampai ke ranting-ranting. Akibatnya, banyak program-program itu hanya berhenti
pada rumusan ideatif. Karena itu, Muktamar ke-28 yang kemudian dilaksanakan di
Yogyakarta, November 1989, merupakan momentum yang tepat untuk menilai kembali
semua program yang ada. Hanya saja muktamar ini kembali menjadi ajang konstitusional
bagi keinginan untuk mendongkel Abdurrahman Wahid. Beberapa hari sebelum muktamar,
As'ad melontarkan kritikan tajam. Ia mengatakan bahwa kepengurusan NU selama ini
mengecewakan. Yang terjadi sama sekali bukan pengamalan kembali ke Khittah 1926. la
sebagai Mustasyar Aam belum pernah menerima laporan selembar pun dari PB NU. Yang
paling parah, kata As'ad, musyawarah antara para pengurus dan para kiai sepuh sangat
kurang.282 Alasan ini sekali lagi tampak dicari-cari. Anggaran Rumah Tangga NU 1984 yang
saat itu berlaku sama sekali tidak menyebut-nyebut keharusan Tanfidziyah memberikan
laporan kepada Mustasyar yang merupakan badan penasehat. Berkaitan dengan pelaporan,
Pasal 23 ART tersebut mengatakan bahwa Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana pimpinan
sehari-hari mempunyai tugas menyampaikan laporan secara periodik tentang pelaksanaan
tugasnya kepada Pengurus Syuriyah. Tidak kepada Mustasyar.
Namun keinginan untuk menggeser Abdurrahman Wahid terus mencari temannya,
dan

sejumlah

kesalahan

pun

diinventarisir.

Mulai

dari

gagasan

penggantian

Assalamu'alaikum dengan selamat pagi (yang sebenarnya cuma kesalahan pemberitaan di


media massa), menghadiri sidang LSM di luar negeri yang dikatakan mendiskreditkan
pemerintah, pidato di depan Sidang Raya PGI, bahkan kapasitasnya sebagai Ketua Dewan
280

Tempo, 3 September 1988, h. 27.


Ibid.
282 Lihat Tempo, 11 November 1989, h. 25.
281

116

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Kesenian Jakarta yang oleh As'ad disebut sebagai "ketua ketoprak".283 Posisi Abdurrahman
Wahid kian dipersulit dengan munculnya nama Idham Chalid dalam bursa calon Rais Aam.
Kelompok politisi, yang segera berbaris rapat di belakang Idham, seolah mendapat angin
bahwa kehadiran tokoh politisi NU yang piawai ini akan membuka celah yang sekali lagi
dapat dimanfaatkan untuk melempangkan jalan bagi keinginan mereka yang sempat
kandas.284
Peluang Idham memang tampak cukup besar. Posisinya diamankan ketika ia terpilih
kembali sebagai Mudir Aam Jam'iyah Ahlit-tariqah Al Mu'tabarah dalam muktamarnya di
Demak, Jawa Tengah, hanya tiga hari sebelum dimulainya muktamar NU di Krapyak,
Yogyakarta. Pemilihan waktu yang sangat dekat ini agaknya disengaja agar Idham bisa
mudah mengkonsolidasi pendukungnya menghadapi persaingan di Krapyak. Namun kuatnya
posisi Idham ini tidak lalu berarti bahwa sayap politisi NU bisa berharap banyak. Muktamar
Krapyak justru menjadi forum penegasan kembali keputusan Muktamar Situbondo. Hal ini
bukan saja menjadi arus besar dalam NU, namun juga secara luas didukung oleh elit politik
nasional. Tidak kurang dari Mendagri Rudini,285 Menag Munawir Sjadzali,286 dan bahkan
Ketua Umum Golkar Wahono,287 telah melontarkan harapan agar Muktamar NU ini dapat
menegaskan keputusan kembali ke Khittah.
Selanjutnya, meskipun Abdurrahman Wahid mesti menghadapi dua kelompok yang
menentangnya, tapi dukungan baginya tidak kalah besar. Abdurrahman Wahid memang tidak
memiliki kelompok pendukung khusus tertentu, namun ia telah membangun popularitas yang
luas di daerah-daerah dengan banyak melakukukan kunjungan-kunjungan ke wilayah-wilayah
dan cabang-cabang NU. Dalam sebulan, ia bisa sampai turun ke sepuluh daerah.288
Popularitasnya didukung oleh perannya sebagai cendekiawan dan kolumnis yang sering hadir
di berbagai seminar atau diskusi. Ia bukan saja didukung oleh generasi muda NU, namun
sebagian besar kiai senior pun masih menjagokannya. Dukungan terpenting datang dari Rais
Aam KH Achmad Siddiq dan Shahibul Bait Muktamar KH Ali Maksum. Dalam pertemuan
Syuriyah NU Jawa Timur di Probolinggo, 14 November, Kiai Achmad secara terbuka
menyatakan dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid sebagai calon Ketua Umum PB

283

Tempo, 25 November 1989, h. 23.


Ibid., h. 30-32.
285 Lihat Suara Pembaharuan, 22 November 1989.
286 Lihat Pelita, 24 November 1989.
287 Lihat Suara Karya, 25 November 1989.
288 Tempo, 2 Desember 1989.
284

117

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


NU, di samping menyatakan kesediaannya untuk dicalonkan kembali sebagai Rais Aam.289
Pernyataan kiai senior NU itu merupakan sebuah kejutan. Bukan suatu hal yang biasa di
dalam NU membuat pernyatan seperti itu di depan umum. Hal itu bisa dianggap sebagai
suatu yang tidak pantas dan berpamrih. Dengan pernyataan itu Kiai Achmad sebenarnya
sedang mempertaruhkan popularitasnya. Barangkali itulah sebabnya sementara Abdurrahman
Wahid akhirnya berkibar nyaris tanpa saingan dalam bursa pencalonan, maka KH Achmad
Siddiq hanya mencatat kemenangan tipis terhadap Idham. Achmad memperoleh 188 suara,
dan Idham memperoleh 126 suara.290 Sekalipun akhirnya gagal memperoleh kursi Rais Aam,
tapi kelompok Idham berhasil menempatkan salah satu orangnya, KH Ali Yafie, sebagai
wakil Rais Aam. Penempatan Ali ini di kemudian hari ternyata membawa persoalan
tersendiri bagi intern NU.
Terlepas dari adanya persoalan yang mengitari proses pencalonan mereka kembali,
namun secara obyektif duet Abdurrahman-Achmad agaknya merupakan figur paling tepat
untuk memimpin NU. Mereka memiliki latar belakang pemikiran yang kosmopolit,
karenanya tidak canggung dalam mengantisipasi modernisasi. Sementara mereka pada saat
yang sama juga memiliki akar yang kuat dalam tradisi ke-NU-an, maka mereka menjadi
sangat paham bagaimana mengkomunikasikan proses modernisasi dalam idiom-idiom yang
dipahami oleh warga NU sendiri. Sementara untuk memasuki era berbangsa secara utuh,
sesuatu yang dalam wawasan keislaman telah di-backup dengan konsep ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan kebangsaan), maka merekalah yang paling mampu berdialog dengan berbagai
pihak dari berbagai latar belakang yang beraneka ragam.
Muktamar Krapyak sendiri membukukan beberapa catatan penting. Pertama adalah
maraknya suasana konflik di situ. Pasalnya tentu adalah KH As'ad Syamsul Arifin yang tak
juga surut dari penentangannya terhadap Abdurrahman. Ia bahkan menolak hadir di arena
muktamar, dengan alasan sakit, sekalipun baginya telah disediakan helikopter yang akan
membawanya pulang-pergi Situbondo-Yogya.291 Sulitnya, Abdurrahman seolah-olah tak
bersungguh-sungguh berusaha meredakan kemarahan KH As'ad. Abdurrahman bahkan
seperti meladeni sulutan konflik As'ad ketika ia mencoret Anwar Nurris dari kepengurusan
teras PB NU. Anwar adalah orang dekat As'ad yang pada tahun 1981, oleh As'ad,
ditempatkan sebagai Sekjen. Namun agaknya Anwar tidak bisa bekerjasama dengan

289

Ibid., h. 24
Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 184.
291 Tempo, 2 Desember 1989, h. 24.
290

118

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Abdurrahman Wahid sehingga secara emosional menilainya sebagai pengacau yang mesti
disingkirkan.292 Buntutnya As'ad, sekalipun resminya dipertahankan sebagai Mustasyar itu
pun menyatakan mufaraqah terhadap kepemimpinan Abdurrahman.293 Sebuah keputusan
yang tidak pernah diralat hingga saat meninggalnya.
Catatan lain, di samping perubahan struktural disubordinasikannya Mustasyar dalam
Syuriyah, Muktamar Krapyak juga memulai sebuah tradisi baru dalam pemilihan pengurus
baru. Di sini, Rais Aam dan Wakilnya dipilih secara langsung. Sedangkan Ketua Umum
Tanfidziyah juga dipilih secara langsung setelah disetujui oleh Rais Aam dan Wakilnya yang
baru terpilih. Setelah ketiga jabatan itu, selanjutnya dipilih pula secara langsung empat orang
mode formatur. Ketujuh orang terpilih inilah yang kemudian membuat formasi kepengurusan
lengkap.294 Cara ini berbeda sama sekali dengan mekanisme ahlul halli wal 'aqdi sebelumnya
yang mengandalkan otoritas seorang kiai paling senior.
Lalu, dalam rapat pertama PB NU di Jombang pada bulan Januari 1990 diadakan
pembidangan tugas masing-masing Ketua, yang dimaksudkan agar masing-masing mampu
melaksanakan progam secara maksimal. Di lembaga Syuriyah, pembidangan dilakukan atas
komisi-komisi yang dipimpin oleh para Rais. Di antaranya Komisi Sosial-Politik diketuai
oleh KH Yusuf Hasyim, Komisi Pendidikan dan Kebudayaan diketuai oleh KH Sahal
Mahfudh, Komisi Sosial-Ekonomi oleh KH Munasir, Komisi Organisasi oleh KH Aminuddin
Azis, dan seterusnya. Sedangkan Tanfidziyah dibagi dalam beberapa bidang, antara lain
Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia diketuai oleh dr. Fahmi Saifuddin, MPH,
Bidang Hubungan dengan Lembaga Negara oleh Chalid Mawardi, Bidang Hubungan dengan
Lembaga Keagamawan oleh Tolchah Hasan, Bidang Pendidikan dan Kebudayaan oleh
Asnawi Latif, dan sebagainya.295
Berselang setahun setelah Muktamar Krapyak, dalam masa yang relatif tenang NU
kembali diguncang persoalan. Januari 1991 KH Achmad Siddiq meninggal dunia dan
menimbulkan masalah yang cukup serius tentang siapa yang akan menggantikannya.
Sebabnya adalah rujukan untuk mengganti Rais Aam yang wafat sebelum habis masa
jabatannya belum jelas. Pernah dua kali terjadi kasus seperti itu di masa lalu. Pertama ketika
292

Lihat wawancara dengan Abdurrahman Wahid dalam Editor, 2 Desember 1989.


Fathoni dan Zen, op. cit., h. 170-173. Mufaraqah adalah sebuah istilah dalam fikih shalat berjamaah. Jika dalam shalat
berjamaah seorang makmum melihat imamnya, karena satu dan lain hal, shalatnya batal sehingga tidak layak lagi menjadi
imam, namun ia tetap melanjutkannya, maka makmum itu berhak untuk mengundurkan diri dari jamaah dan meneruskan
shalatnya sendirian. Tindakan makmum ini disebut mufaraqah.
294 Lihat ibid., h. 160.
295 Ibid., h. 163
293

119

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


KH Wahab Hasbullah wafat, ia digantikan oleh wakilnya KH Bisri Syansuri. Kemudian
ketika KH Bisri sendiri wafat, kedudukannya digantikan oleh KH Ali Maksum yang justru di
luar jajaran Rais. Sebenarnya Pasal 25 Anggaran Dasar NU 1989 cukup memberikan
kejelasan: apabila terjadi lowongan jabatan antar-waktu, maka lowongan tersebut diganti oleh
anggota pengurus yang berada dalam urutan langsung di bawahnya. Jika ini diikuti, maka
berarti KH Ali Yafie yang menjadi Rais Aam. Tapi persoalannya ternyata tidak sesederhana
itu. Begitu terlontar kemungkinan diterapkannya pasal tersebut, segera muncul tanggapan
yang nyata-nyata menolaknya. KH Ma'ruf Amin, Katib Syuriyah, menyatakan bahwa Pasal
25 itu adalah sebuah ketentuan umum yang tidak secara khusus membahas jabatan Rais Aam,
sehingga tidak dapat secara mutlak diberlakukan. Semua akhirnya tergantung pada
kesepakatan apakah jabatan itu akan diisi ataukah dibiarkan kosong. Jika diisi, maka
kedudukan keduabelas Rais Syuriyah adalah sama, sehingga bisa dipilih salah satu. Itu berarti
tidak ada keistimewaan prioritas bagi Ali Yafie. Namun jika dikosongkan, maka tugas,
kewenangan dan tanggung jawab Rais Aam untuk sementara dibebankan kepada wakilnya. Ia
tetap Wakil Rais Aam, tapi menjalankan fungsi Rais Aam sampai diambil keputusan dalam
forum yang lebih tinggi.296 Lalu pada 2 Februari, diadakan Rapat Gabungan Syuriyah dan
Tanfidziyah. Di sini sebuah keputusan diambil untuk tidak menunjuk Rais Aam baru, dan
hanya melimpahkan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenangnya kepada Wakil Rais Aam
KH Ali Yafie. Keputusan yang dinyatakan berlaku hingga dilaksanakannya Muktamar 1994
ini lalu dikukuhkan dalam Rapat Pleno PB NU, 18-19 Mei.297
Mengapa Pasal 25 AD NU seperti agak invalid ketika ia mesti menunjuk pada Ali
Yafie? Jawaban berikut mungkin terlalu spekulatif, namun agaknya persoalan itu berkaitan
dengan latar belakang Ali yang tidak hanya bukan orang Jawa Timur (dari mana kebanyakan
Rais Aam berasal), tapi juga seorang 'seberang' (Sulawesi) yang tidak memiliki rantai
intelektual terhadap tokoh-tokoh referensi utama NU, KH Hasyim Asy'ari dan KH Cholil
(Bangkalan). Kapasitas keulamaannya dengan demikian terasa kurang maksimal dalam
pandangan kebanyakan orang NU. Selain itu, siapa pun akan ingat bahwa Ali Yafie yang
pada dasarnya kurang serasi dengan Abdurrahman Wahid ini menduduki kursi Wakil Rais
Aam kurang-lebih sebagai kompensasi gagalnya Idham Chalid menjadi Rais Aam. Nama
Idham serta-merta akan mengingatkan orang pada sayap politisi NU yang terpolarisasikan
dengan sayap ulama. Boleh jadi Ali sendiri rikuh ketika harus berada pada posisi tertinggi

296
297

Lihat Tempo, 2 Februari 1991, h. 23.


Lihat Tempo, 25 Juni 1991, h. 23.

120

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kepemimpinan formal NU, meskipun sekadar sebagai pelaksana kewenangan. Dugaan ini
ditopang oleh kenyataan bahwa hanya dalam tempo enam bulan sejak dikukuhkan, Ali segera
menemukan momentum untuk mengundurkan diri dari posisinya sekarang. Pada bulan
November, NU diributkan telah menerima sumbangan sebesar 50 juta rupiah dari Yayasan
Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang mengelola SDSB. Sebenarnya sumbangan
itu diberikan kepada Yayasan Hasyimiyah, sebuah yayasan pendidikan yang berafiliasi ke
NU di Tuban, Jawa Timur. PB NU hanya sebatas memberikan surat rekomendasi yang dibuat
oleh Sekjen Ghaffar Rahman dan ditandatangani oleh Ketua Umum. Masalahnya, penerimaan
dana itu pada 2 November diekspos oleh media massa, termasuk TVRI, dan dikesankan
bahwa seolah-olah NU menerima bantuan dari YDBKS.298 Maka protes berdatangan dari
segala penjuru, intern dan ekstern NU.299
Ali Yafie yang tengah menghadiri pelantikan ICMI di Bali banyak mendapat
pertanyaan tentang NU menerima sumbangan dari SDSB, keesokan harinya. Ali yang sangat
terkejut dengan pertanyaan-pertanyaan itu segera kembali ke PB NU di Jakarta dan mencari
penjelasan. Rupanya di situ ia menemukan bukti penting bahwa, menurutnya, surat yang
ditandatangani Gus Dur bukan sekadar surat rekomendasi, tapi sudah berupa permintaan
bantuan. Maka esoknya, 5 November, Rapat Gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah, yang tidak
dihadiri Gus Dur karena ia berada di luar negeri sejak dua hari setelah penandatanganan surat
rekomendasi itu, dikejutkan oleh ketidakhadiran Ali. Yang datang adalah utusan Ali yang
membawa surat pengunduran dirinya, hingga semua yang terlibat dalam penerimaan dana itu
ditindak, dan dana tersebut dikembalikan.300
Ali Yafie memang terasa berlebih-lebihan. Sebenarnya, dalam kapasitasnya sebagai
pelaksana kewenangan Rais Aam, Ali bisa berbuat banyak dan tidak perlu sampai
mengundurkan diri. Pasal 70 ayat (3) Anggaran Rumah Tangga NU 1989 menugaskan
Syuriyah untuk "mengendalikan, mengawasi dan memberikan koreksi terhadap semua
perangkat NU..' Sementara ayat (5) menjamin hak Syuriyah untuk memveto keputusan suatu
perangkat NU jika keputusan itu "dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut paham
ahlussunnah wal jamaah." Jadi, Ali sesungguhnya berhak untuk membatalkan rekomendasi
yang dibuat Ghaffar, dan bahkan menjatuhkan sanksi kepada siapa pun yang dianggap

298

Tempo, 16 November 1991.


Reaksi paling keras, uniknya, datang dari Wilayah NU Jawa Timur. Bahkan salah satu kepengurusan cabang di wilayah
itu, PC NU Sumenep, menyatakan membekukan diri dari segala kegiatan, sampai persoalan "dana haram SDSB" itu
diselesaikan hingga tuntas.
300 Tempo, 16 November 1991.
299

121

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


terlibat, termasuk Abdurrahman Wahid. Sikap naif Ali yang membawa NU kembali kepada
nuansa konflik Syuriyah-Tanfidziyah ini belakangan dikritik oleh Abdurrahman Wahid.
Dalam sebuah surat pribadi yang ditujukan kepada PB NU, Abdurrahman mengecam sikap
Ali yang dinilainya "meninggalkan tanggung jawab ketika NU terkena guncangan."301
Namun sebelum konflik terlanjur merebak, langkah-langkah rekonsiliasi segera diambil.
Tanggal 12 November diadakan silaturahmi Abdurrahman-Ali yang diprakarsai Yusuf
Hasyim yang bertujuan untuk merujukkan kedua pihak yang agak memanas itu. Di sini
Abdurrahman minta maaf dan mengajukan tiga usulan untuk menyelesaikan kemelut di NU.
Pertama, menolak permintaan Ali Yafie untuk mengundurkan diri. Sebab sebagai Wakil Rais
Aam yang menjalankan fungsi Rais Aam, ia dipilih oleh muktamar sehingga pengunduran
dirinya hanya bisa diterima melalui forum yang sama. Kedua, menerima pengunduran diri
Ghaffar Rahman dari jabatan Sekjen PB NU. Dan ketiga, kesalahan Ketua Umum cukup
diberi peringatan keras, tidak perlu pemecatan. Silaturahmi ini tampaknya cukup efektif,
sebab Ali sendiri menyatakan merasa cukup puas, sekalipun masih tetap menunggu
kelanjutannya.302 Lalu pada sebuah rapat gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah di PB NU,
yang membahas ketiga usulan Abdurrahman di atas, membuat keputusan Ghaffar dibebaskan
untuk sementara dari tugasnya, dan Abdurrahman diberi peringatan. Ali yang tidak hadir
dalam rapat itu ternyata merasa kurang puas. Ia menganggap vonis bebas tugas sementara
terlalu ringan, sebab baginya Ghaffar harus dipecat. Ali juga mempersoalkan tidak
ditindaknya pimpinan Yayasan Hasyimiyah yang jelas-jelas terlibat.303 Namun langkah
rekonsiliasi untuk sementara dapat dianggap tuntas, ketika pada 6 Desember Ali Yafie,
Abdurrahman Wahid, Ma'ruf Amin, dan Ihwan Sam (Wakil Sekjen PB NU) menandatangani
"Maklumat Pengurus Besar Nahdhatul Ulama", sebuah surat terbuka yang menyatakan
bahwa persoalan penerimaan bantuan dari YDBKS telah dianggap selesai, dan "... tetap
mengakui kedudukan KH Ali Yafie sebagai Wakil Rais Aam PB NU." Sementara itu Junaidi
Abdullah, Ketua Yayasan Hasyimiyah, dipecat dari jabatannya sebagai Katib Syuriyah PC
NU Tuban.304
Namun maklumat itu ternyata tidak berarti banyak ketika Ali Yafie kembali
mempergunakan masalah SDSB sebagai alasan untuk menolak hadir dalam Konferensi Besar
dan Musyawarah Nasional NU di Bandarlampung 12-26 Januari 1992. Rupanya, Ali

301

Lihat Jawa Pos, 22 Januari 1992.


Tempo, 23 November 1991.
303 Tempo, 7 Desember 1991.
304 Tempo, 14 Desember 1991.
302

122

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


beranggapan bahwa persoalan SDSB itu sah saja dibicarakan kembali dalam Konbes, sebab
maklumat tentang itu hanya diputuskan dalam sebuah rapat gabungan yang tingkatannya di
bawah Konbes.305 Ketidakhadiran Ali dalam konbes ini tak urung mengundang banyak
spekulasi. Karena itu, panitia konbes lalu mengutus KH Wahid Zaini, yang saat itu adalah
Ketua Rabithatul Ma'ahadil Islamiyah (RMI) untuk menemui Ali di Jakarta. Namun Ali tetap
menolak untuk berangkat dan hanya menitipkan surat yang harus disampaikan Wahid pada
forum Konbes dan Munas. Surat Ali inilah yang kemudian memberi Konbes Bandarlampung
bobot tersendiri. Dalam surat itu Ali mengulangi pernyataan pengunduran dirinya dengan
disertai 3 syarat yang jika dipenuhi ia bersedia tetap pada posisinya. Pertama, Sekjen Ghaffar
Rahman diberhentikan secara penuh. Kedua, harus ada bukti tertulis pengembalian dana
YDBKS yang sebesar 50 juta rupiah. Dan ketiga, Abdurrahman Wahid mesti diskors selama
masa satu tahun.306 Jika syarat pertama dan kedua cukup mudah untuk dipenuhi, maka tidak
demikian halnya dengan syarat ketiga. Rupanya hampir tidak ada seorang pun yang
menginginkan dijatuhkannya vonis seperti itu kepada Abdurrahman Wahid. Maka tampaknya
harus ditafsirkan bahwa dengan ketiga syarat itu KH Ali Yafie sebenarnya sedang mem-fait
accompli pengunduran dirinya pada Konbes.
Maka tidak ada pilihan lain, pada 25 Januari sebuah rapat pleno diadakan untuk
mencari siapa yang akan menjadi pengganti Ali.307 Dalam rapat yang dihadiri oleh 6 anggota
PB dan 24 wakil PW ini semula muncul nama Yusuf Hasyim dan Sahal Mahfudz sebagai
Rais Aam dan wakilnya. Namun datanglah manuver dari Abdurrahman Wahid yang menilai
bahwa Yusuf Hasyim bukan ulama melainkan zuama (pemimpin, administrator), sedangkan
kriteria Rais Aam haruslah ulama. Kejadian ini akhirnya memaksa Yusuf untuk mundur dari
pencalonan. Lalu setelah melalui serentetan perdebatan, naiklah nama KH Ilyas Ruchiyat
sebagai calon Rais Aam, sebab KH Sahal hanya bersedia dipilih sebagai Wakil Rais Aam.
Sebuah voting yang dilakukan kemudian memberikan 7 suara untuk Ilyas, 1 suara untuk
Sahal, dan masing-masing 1 suara untuk Yusuf, Fuad Hasyim, dan Usman Abidin.308 Selain
itu, Konbes juga menaikkan Ichwan Sam pada kursi Sekjen menggantikan Ghaffar. Tidak ada
perubahan yang terlalu prinsipil dengan naiknya Ichwan menggantikan Ghaffar, sebab
keduanya sama-sama pendukung Abdurrahman Wahid. Yang perlu dicatat khusus adalah
bahwa dengan mundurnya Ali Yafie maka inner circle NU mulai bersih dari kubu Idham. KH

305

Jawa Pos, 23 Januari 1992.


Tempo, 1 Februari 1992, h. 23.
307 Ibid., h. 25
308 Ibid., h. 26
306

123

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Ilyas sendiri dikenal sebagai seorang yang, sebagaimana Abdurrahman, netral dari tarikmenarik konflik ulama-politisi. Ia banyak digambarkan sebagai seorang yang low profile dan
selalu berpikir husnuddzan (positive thinking). Sehingga kalaupun ia tidak bisa mendampingi
dan mendukung Abdurrahman Wahid sebagaimana KH Achmad Siddiq, setidaknya ia tidak
akan menghalangi langkahnya. Sementara orang kedua di Syuriyah, KH Sahal Mahfudz pada
umumnya memiliki cara berpikir yang sama seperti Gus Dur. Dukungan Sahal kepadanya
dirumuskan dalam sebuah penilaian bahwa ia adalah seorang "eksponen yang punya
komitmen tinggi terhadap Khittah 1926 dan juga memiliki wawasan luas."309
Sebagai catatan akhir untuk bagian ini, pada pertengahan 1993 sejumlah tokoh muda
NU melemparkan otokritik bahwa NU dinilai semakin cenderung elitis dan kian jauh dari
massanya. Lontaran pendapat dari antara lain MM Billah ini lalu mengundang serangkaian
tanggapan. Sunyoto Usman310 misalnya, menganggap penilaian itu terlalu tergesa-gesa.
Sunyoto, dengan menunjuk beberapa program NU yang jelas-jelas diorientasikan pada
kepentingan warga seperti koperasi dan BPR-BPR, yakin bahwa NU masih memikirkan
kepentingan umat. Bahwa ada di antara program-program itu yang tersendat bahkan stagnan,
itu lain soal. Sementara Kacung Marijan311 menilai bahwa anggapan NU elitis ada benarnya
juga. Ia mengingatkan bahwa pemilihan nama Nahdhatul Ulama --bukan Nahdhatul Ummah,
misalnya-- menunjukkan bahwa elitisme adalah realitas yang diharuskan oleh ajaran yang
dianut NU, di mana ulama memperoleh kedudukan yang penting dan khas. Namun dalam
gerakan-gerakannya, NU sudah pasti populis.

Karena itu Kacung menyebutkan

kecenderungan NU sebagai elitisme populis. Arief Affandi312 menilai senada dengan Kacung.
Hanya saja elitisme NU juga dilihatnya muncul dalam perilaku politiknya. Bagi Arief,
persoalannya adalah karena pada saat ini NU masih berada pada masa transisi dalam sebuah
transformasi yang belum usai dari orientasi dan peran politik ke non-politik.
Terlepas dari penilaian para pengamat ini, maka otokritik tokoh-tokoh muda NU itu
mestinya dapat dipandang sebagai pertanda semakin matangnya komitmen terhadap Khittah.
Sebab salah satu pertimbangan NU kembali ke Khittah adalah bahwa orientasi politik yang
berlebihan ternyata telah membuat NU mengabaikan kepentingan warganya. Dan selama
sepuluh tahun ini hal tersebut coba dikoreksi.

309

Lihat Tempo, 1 Februari 1992, h. 24.


Sunyoto Usman, "Masihkah NU Potensial Populis?" dalam Jawa Pos, 7 Juni 1993.
311 Kacung Marijan, "NU: Antara Elitis dan Populis," dalam Jawa Pos, 8 Juni 1993.
312 Arief Affandi, "NU: Transformasi yang Belum Usai," dalam Jawa Pos, 9 Juni 1993.
310

124

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

Uji Coba Khittah

Bahwa setelah kembali ke Khittah, NU menanggalkan baju politik praktis, dapat


segera dipahami warga NU, namun tidak demikian halnya dengan netralitas NU terhadap
ketiga orpol dan membebaskan warga untuk menentukan orientasi politiknya sendiri.
Kesulitan itu muncul di kalangan massa NU. Massa NU yang paternalistik telah
terkondisikan untuk selalu meminta fatwa dan petunjuk dari ulama dalam menghadapi
persoalan hidup mereka, termasuk saat menentukan pilihan politik. Mereka cenderung selalu
berbuat dan bertindak secara kolektif dalam sebuah arahan yang jelas. Maka, pemberian
kebebasan kepada warga untuk menentukan pilihan politiknya sendiri adalah bertentangan
dengan pola pikir mereka yang paling esensial. Dan inilah yang terjadi setelah khitah.
Persoalannya terasa lebih sulit karena kurang dari tiga tahun setelah keputusan
kembali ke Khittah, warga NU sudah harus mengujicobakan "kebebasan" yang didapatnya
dalam Pemilu 1987. Sebagian warga NU justru merasa asing dalam suasana yang tanpa
arahan kolektif itu, sehingga mereka terdorong untuk terus mencarinya. Dalam konteks ini
secara kebetulan sekelompok politisi NU melakukan kampanye penggembosan PPP sambil,
langsung maupun tidak langsung, menyerukan warga menyeberang ke Golkar. Bagi warga
yang kebingungan, tak pelak inilah arahan yang mereka cari. Dan efek "arahan" yang
menyimpang dari garis netralitas yang telah dirumuskan itu ternyata tidak bisa dikatakan
singkat. Sekjen PB NU Ichwan Sam mengeluh bahwa hingga saat ini masih banyak warga
awam NU di daerah-daerah yang memiliki tafsir hitam-putih terhadap Khittah, bahwa "sudah
Khittah berarti meninggalkan PPP, masuk Golkar."313
Sebuah penelitian yang dilakukan Bambang Santoso Haryono di daerah-daerah basis
NU di Malang (1989) menyimpulkan bahwa masih banyak warga NU yang memiliki persepsi
negatif terhadap keputusan politik Muktamar 1984.314 Hal ini tidak terlepas dari banyaknya
kyai NU yang masih enggan meninggalkan aktivitas politik praktis dan yang--menggunakan
wibawanya sebagai ulama-- masih mencoba menggiring warga NU untuk mengikuti sikap
dan perilaku politiknya.

313

Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Drs. HM Ichwan Sam di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
Lihat Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU Terhadap Keputusan Politik (Thesis S-2 Fakultas Pasca Sajana
UGM, 1990).
314

125

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Haryono mengukur persepsi warga NU berdasarkan tiga variabel: orientasi nilai-nilai
keislaman, militansi organisasi, dan pendidikan. Dua variabel pertama dibagi dalam kategori
kuat, sedang, dan lemah. Lalu variabel ketiga dibagi dalam kategori pesantren dan nonpesantren. Hasilnya menunjukkan bahwa sedikit sekali warga yang memiliki persepsi bahwa
NU membebaskan warganya untuk memilih sendiri orientasi politik mereka. Hanya di
kalangan mereka yang memiliki militansi organisasi pada kategori kuat dan sedang, yang
berarti mereka yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang tinggi terhadap programprogram NU, terdapat mayoritas warga yang memiliki persepsi sesuai dengan yang
diinginkan yaitu dengan angka 72,58% dan 77,53%. Sementara di kalangan warga yang
berpendidikan non-pesantren, mereka yang memiliki persepsi benar menunjukkan angka
36,70%. Terbanyak dibandingkan dengan persepsi lain pada kalangan NU, namun bukan
mayoritas. Kelompok-kelompok lain kebanyakan memiliki persepsi orientasi ke Golkar.
Seperti mereka yang mempunyai orientasi nilai-nilai keislaman kuat, 45,21% menunjuk ke
Golkar, disusul PDI, 32,43%, lalu disalurkan bebas sebanyak 21,62%, dan pada urutan
terakhir, seperti pada semua kelompok kategori lain, menunjuk pada PDI sebanyak 1,35%.
Uniknya, justru di kalangan warga yang mempunyai kategori militansi organisasi rendah
persepsi bahwa warga NU sebaiknya menyalurkan aspirasi politiknya kepada PPP
menunjukkan angka cukup tinggi, yaitu sebanyak 56,76%.
Banyaknya warga yang condong ke Golkar untuk sebagian dapat dipandang sebagai
indikator akan signifikannya pengaruh aksi eksodus sejumlah tokoh-tokoh NU di PPP ke
Golkar di tahun 1987 terhadap pola pikir dan persepsi warga NU. Mereka yang memiliki
kecondongan ke Golkar ini pada umumnya memberikan alasan bahwa memilih Golkar adalah
lebih realistis dan lebih obyektif. Di samping bahwa memilih Golkar adalah lebih
bermanfaat, dan dengan memilih Golkar kita tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk
mendapatkan pelayanan dari aparat pemerintah. Sementara tentang PPP, kebanyakan (47%)
ternyata menilainya bukan lagi partai Islam. Sedangkan 46% memiliki persepsi bahwa PPP
masih merupakan partai Islam, dan sisanya 7% menyatakan ragu-ragu.315 Selanjutnya,
meskipun pada umumnya warga NU dapat segera memahami keputusan untuk meninggalkan
kepolitikan praktis, namun penilaian mereka terhadap keputusan tersebut masih agak negatif,
setidaknya sampai tahun 1989, saat berakhirnya periode sosialisasi Khittah. Haryono
menemukan bahwa hanya 53,5% warga yang menyatakan penilaian bahwa keputusan NU
untuk meninggalkan politik praktis adalah keputusan yang tepat. 34,4% menilai keputusan
315

Ibid., h. 107.

126

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


tersebut sama sekali tidak tepat, dan sisanya 12,1% menyatakan masih ragu-ragu.316 Angka
53,5% yang menilai tepat memang adalah yang terbesar dibandingkan dengan kedua angka
lainnya. Namun jika diasumsikan bahwa semestinya NU mampu menyamakan persepsi
seluruh warganya untuk menerima secara baik keputusan meninggalkan politik praktis itu,
maka angka tersebut masih dapat dikatakan kecil. Alasan yang dikemukakan oleh mereka
yang menilai bahwa keputusan itu tepat adalah:317
1.

Karena sebagai organisasi yang terjun dalam kegiatan politik praktis, di mana tokohtokoh NU terlalu lama bergaul dengan politik dan berpola hidup serba politik, tugastugas NU di bidang kemasyarakatan dan keagamaan banyak terkesampingkan.

2.

Seringnya tejadi kemelut dalam tubuh NU yang disebabkan oleh persaingan untuk
menjadi pimpinan dengan tujuan mendapatkan fasilitas dari pemerintah atau untuk
mengarahkan jalan ke kursi DPR/MPR maupun, dahulu, eksekutif.

3.

NU sebenarnya

kekurangan kader-kader

profesional

sehingga

tidak dapat

mempertahankan kekuasaan politik yang diperolehnya. Hal ini membuat kedudukan


NU menjadi lemah sekaligus menjadikannya sebagai permainan dalam arena politik
praktis.
Sementara mereka yang menilai tidak tepat agaknya didasari oleh pemikiran bahwa
banyak keuntungan yang terpaksa ditinggalkan NU setelah tidak lagi berpolitik. Itu berarti,
bagi mereka Khittah sebenarnya membawa kerugian terhadap NU. Pola pikir semacam ini
dikritik oleh Ichwan. Menurut Ichwan, adanya sementara kalangan, bahkan di dalam NU
sendiri, yang menilai NU mengalami kerugian setelah Khittah adalah karena mereka melihat
kondisi NU setelah kembali ke Khittah dengan "kacamata non-Khittah."318
Angka-angka di atas menggambarkan masih banyaknya warga yang mempunyai
persepsi cenderung negatif ternyata kian menguatkan asumsi bahwa masa yang telah berjalan
sebenarnya masih belum memadai bagi sosialisasi Khittah di kalangan mereka.

Konsekuensi Internal Khittah

316

Ibid., h. 113.
Ibid., h. 113
318 Wawancara Penulis dengan Ichwan Sam, op. cit.
317

127

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Keputusan Muktamar 1984 tentang Khittah NU dalam salah satu bagiannya
menyebutkan bahwa,

Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyah Diniyah yang membawakan
faham keagamaan, maka Ulama sebagai mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah Wal
Jamaah selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama
jalannya organisasi.319

Nama organisasi yang secara harfiah berarti kebangkitan ulama menggambarkan


bahwa ulama mempunyai kedudukan sentral. Namun Muktamar 1984 merasa perlu secara
eksplisit membuat penegasan tentang hal itu, adalah didasari tujuan yang cukup jelas pula.
Sejak peran ulama dalam NU sedikit demi sedikit tersisih oleh peran kelompok politisi. Maka
ketika NU kembali ke khitah dan memutuskan ditinggalkannya politik praktis, pengembalian
otoritas ulama dalam kepemimpinan NU menjadi salah satu konsekuensinya. Konsekuensi ini
memberi Muktamar 1982 sebuah sebutan retoris sebagai suatu "kebangkitan kembali ulama.
Sebuah retorika bersirat harapan yang hingga sekarang belum terwujud. Ketidakberhasilan itu
untuk sebagian dapat dijelaskan karena di dalam NU saat ini ternyata sedang berlangsung dua
macam proses yang satu sama lain sebenarnya agak berlawanan. Di satu sisi, NU ingin
mengembalikan otoritas ulama dalam teras kepemimpinannya, yang berarti bahwa ulama
sebagai kelompok elit kembali menjadi pembuat kebijakan utama yang nyaris tidak dapat
dibantah seperti lazim terjadi pada akar budaya NU. Sementara pada sisi lain NU juga
menunjukkan keinginan untuk mewujudkan kehendak demokratisasi masyarakat yang akan
dimulai dari konteks mikro NU. Konsern pada demokratisasi yang menseyogyakan
mekanisme bottom-up decision making itu tentu tidak dapat dikatakan sejalan dengan upaya
pemberian otoritas penuh kepada ulama yang menjadikan keputusan organisasi selain
mengalir dari atas ke bawah. Yang diperlukan NU akhirnya adalah membuat pola yang tepat
agar kedua proses itu bisa berjalan sekaligus dengan selaras. Namun yang selama ini terjadi,
keduanya selalu berjalan susul-menyusul.
Proses pengembalian otoritas ulama dimulai di Muktamar Situbondo, 1984. Tujuan
ini diamankan dengan dibuatnya tata cara baru dalam pemilihan pengurus dengan model
Ahlul halli wal 'Aqdi. Model pemilihan yang berasal dari ide Achmad Siddiq ini semula tidak
begitu disukai oleh kelompok muda NU, yang menginginkan tata cara lama berupa pemilihan
319

Lihat Keputusan Muktamar XVII NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khitthah Nahdlatul Ulama, Butir 7.

128

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


formatur dan selanjutnya memilih pengurus satu per satu tetap digunakan.320 Dalam tata cara
baru itu ditunjuk KH As'ad Syamsul Arifin sebagai ketua, dan ia selanjutnya menunjuk enam
orang kiai senior lainnya.321 Ketua dan para anggota Ahlulhalli wal 'Aqdi inilah yang
kemudian menyusun kepengurusan NU. Bahwa kemudian ada politicking yang diwarnai
vested interest tertentu dalam mekanisme semacam itu agaknya sudah dapat diduga.
Komposisi pengurus baru, khususnya Tanfidziyah, yang dibentuk ternyata tidak sesuai
dengan aspirasi kelompok muda NU, yang sebelumnya telah mengajukan usulan formasi
kepengurusan pada Ahlulhalli wal 'Aqdi. Beberapa figur yang diharapkan duduk dalam
pengurus harian turun ke pengurus pleno, atau sebaliknya.322 Yang paling mengejutkan, pada
jabatan Sekjen diletakkan Anwar Nurris, orang dekat As'ad. Ia adalah seorang yang kurang
begitu dikenal dalam arus baru kelompok muda NU, dan kurang dapat digolongkan sebagai
eksponen Khittah.323 Namun kendati Anwar dinilai bukan orang yang tepat untuk menduduki
salah satu posisi kunci di Tanfidziyah, keputusan itu mesti diterima. Sebuah gambaran betapa
upaya yang agak ekstrem bagi pengembalian otoritas ulama sebenarnya berimplikasikan
kurang terartikulasikannya aspirasi yang datang dari bawah.
Jika komitmen untuk mengembalikan peran ulama pada porsi yang semestinya lalu
dimanifestasikan sebagai dibukanya kesempatan bagi kelompok ulama untuk menguasai
semua struktur kepengurusan NU, hal itu sudah pasti akan mendatangkan reaksi balik yang
menghambatnya. Upaya yang terlalu ekstrem ke arah itu lalu, oleh arus baru NU, mulai
dibawa ke titik moderat, sekaligus dalam alur demokratisasi NU. Pada Muktamar 1989,
Abdurrahman Wahid berhasil mendesakkan dua usulan perubahan yang cukup penting.
Pertama, dirubahnya mekanisme pemilihan pengurus baru. Sistem Ahlulhalli wal 'Aqdi
ditinggalkan dan digunakan model formatur terpilih. Dalam cara ini, wewenang tokoh seperti
KH As'ad untuk mengendalikan sendiri proses pemilihan pengurus jadi berkurang, dan
dialihkan kepada utusan wilayah-wilayah dan cabang-cabang secara keseluruhan.324 Kedua,
dilakukan perombakan terhadap AD/ART NU, di mana Mustasyar yang sebelumnya
merupakan lembaga tersendiri disubordinasikan ke dalam lembaga Syuriyah. Rupanya,
anggota Mustasyar banyak dinilai melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya,
320

Lihat Arief Mudatsir, "Dari Situbondo Menuju NU Baru: Sebuah Catatan Awal," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h.
140.
321 Waktu itu, KH As'ad menunjuk KH Ali Maksum, KH Masykur, KH Sjansuri, KH Ali Hasan Ahmad, KH Romli, dan KH Roffi
Mahfudz sebagai anggota.
322 Ibid.
323 Bandingkan dengan Ghaffar Rahman dan Ichwan Sam, dua orang yang berturut-turut memegang jabatan Sekjen setelah
Anwar Nurris, yang pada tahun 1984 turut ambil bagian dalam Majelis 24.
324 Lihat Tempo, 2 Desember 1989.

129

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


sehingga dengan diletakkan di bawah Syuriyah, pelaksanaan tugas mereka akan selalu berada
di bawah koordinasi Rais Aam.
Perombakan itu praktis membawa hubungan antar struktur dalam NU semakin
mendekati bentuk ideal. Pada prinsipnya, secara formal lembaga tempat kiprah ulama di NU
adalah Syuriyah, yang merupakan pimpinan tertinggi. Jadi sebenarnya upaya yang paling
tepat dalam rangka mengembalikan peran ulama adalah dengan jalan mengefektifkan fungsi
Syuriyah yang terjadi selama ini, pelaksanaan peran Syuriyah sangat jauh dari apa yang
diatur secara mentereng dalam Pasal 30 ART NU bahwa Syuriyah adalah "pimpinan tertinggi
yang berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas, dan penentu kebijaksanaan
Nahdlatul Ulama. Dalam kenyataannya, Syuriyah lebih sering tampak tenggelam di balik
dominasi Tanfidziyah, yang mestinya tidak lebih dari pelaksana garis kebijaksanaan
Syuriyah. Dominasi Tanfidziyah ini sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu mengherankan,
mengingat lembaga ini sebagai pelaksana harian jalannya organisasi sudah tentu adalah yang
pertama bersinggungan dengan persoalan ekstern, dan karenanya memberikan respons yang
lebih awal daripada Syuriyah. Itulah sebabnya Tanfidziyah selalu tampak lebih menonjol.
Namun kelemahan pada sisi Syuriyah sendiri bukannya tidak menjadi penyebab bagi
persoalan disfungsi itu. Yang paling sering dikritik oleh kalangan ulama NU sendiri adalah,
orang-orang di Syuriyah pada umumnya kurang mampu mengantisipasi permasalahan yang
berkembang dalam masyarakat antara lain akibat penafsiran yang terlalu tekstual terhadap
kitab-kitab kuning yang menjadi acuan mereka. Ketidakmampuan ini sedikit banyak akhirnya
menimbulkan rasa inferior Syuriyah berhadapan dengan Tanfidziyah. Dengan demikian
persoalannya adalah berkaitan dengan kualitas personel Syuriyah. Hal ini rupanya disadari
betul oleh NU, sehingga perbaikan lalu diarahkan untuk mencapai kondisi "Syuriyah yang
percaya diri, dan Tanfidziyah yang tahu diri."325 Artinya peningkatan kualitas personal
Syuriyah dilakukan simultan dengan penumbuhan kesadaran pada sisi Tanfidziyah untuk,
dengan kelebihan yang mereka miliki, mengendalikan diri agar tidak berbuat di luar batas
wewenangnya sebagai pelaksana kebijaksanaan.
Empat bulan sebelum Muktamar Krapyak, kelemahan-kelemahan Syuriyah itu
dibicarakan dalam sebuah halaqah Syuriyah saat berlangsung Konferensi Wilayah NU Jawa
Timur di Lumajang. Halaqah ini menghasilkan sebuah rekomendasi penting bagi muktamar
yang setelah menganalisis kelemahan-kelemahan Syuriyah dalam tiga poin: wawasan dan

325

Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU, op. cit.

130

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


pengetahuan, sikap, dan kemampuan berorganisasi, merumuskan kriteria kapasitas yang
harus dimiliki oleh Syuriyah. Kriteria itu meliputi:326
1. Bidang keilmuan: a. Ilmu Naqliyah, meliputi aqidah, syari'ah, dan akhlaq. b. Ilmu
Kauniyah, meliputi ilmu kemasyarakatan (politik, ekonomi dan budaya), ilmu sejarah,
dan ilmu manajemen.
2. Sikap yang perlu dimiliki Syuriyah: Berwawasan rahmatan lil 'alamin sesuai dengan
risalah Rasul; tasamuh, tawazun, dan tawasuth, sesuai dengan Khittah 1926;
Mempunyai kepedulian terhadap perkembangan masyarakat dan lingkungan
hidupnya; Tanggap dan mampu merespons setiap tantangan yang ada di masyarakat.
Memiliki sikap kepeloporan, berani melakukan hal-hal baru yang lebih maslahat.
3. Kemampuan berorganisasi Syuriyah: Memiliki kemampuan memimpin dan
mengelola organisasi sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita jam'iyah; Mampu
memberikan pemecahan praktis terhadap masalah yang timbul dalam masyarakat;
Mampu menjabarkan dan mewujudkan tanggung jawab agama dalam setiap
perkembangan yang terjadi; Memiliki kemampuan membaca perubahan dan
kecenderungan yang terjadi dalam organisasi maupun masyarakat; Mampu membina
hubungan dengan berbagai pihak, ke dalam maupun ke luar.
Akan tetapi setelah hampir lima tahun berjalan, rumusan itu ternyata tidak berhasil
memberi perubahan yang terlalu berarti. Terlebih setelah meninggalnya KH Achmad Siddiq,
Syuriyah jadi terasa kembali sulit meletakkan diri pada superioritas yang semestinya.
Sepeninggal Achmad, praktis tidak ada figur ulama Syuriyah yang memiliki kualitas pribadi
cukup untuk mampu setidaknya mengimbangi Abdurrahman Wahid di Tanfidziyah. Di
samping masalah kualitas personel di atas, mekanisme pemilihan anggota inti PB agaknya
dapat dipandang sebagai penyebab lain sulitnya pengembalian supremasi Syuriyah, walaupun
tidak terlalu menentukan proses pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah yang
sama-sama dilakukan secara langsung; sedikit-banyak tentu menimbulkan efek rasa
kesepadanan antara keduanya. Karena itu lalu muncul pemikiran tentang perubahan tata cara
pemilihan pengurus. Pilihannya pasti bukan kembali pada konsep Ahlulhalli wal 'Aqdi yang
mengandalkan otoritas elit kyai senior dan terkesan kurang demokratis itu. Gagasan yang
muncul belakangan tampaknya adalah jalan tengah antara mekanisme Ahlulhalli dan
pemilihan langsung. Yakni, cukup para pengurus Syuriyah saja yang dipilih secara langsung

326

Lihat Aula No. 7 Tahun 1989, h. 20-22.

131

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dalam muktamar. Lalu Syuriyah yang telah terbentuk ini bersidang untuk memilih Ketua
Umum Tanfidziyah, atau menunjuk formatur yang akan menyusun kepengurusan
Tanfidziyah.327 Gagasan ini memang tampak cukup menarik, tapi rupanya masih belum bisa
diterapkan ketika hendak diujicobakan dalam Konferensi Wilayah NU Jawa Tengah pada
bulan April 1994, konsep itu ditolak oleh sebagian besar peserta konferensi yang justru masih
menginginkan Ketua Tanfidziyah PW NU juga dipilih langsung.328
Sementara itu sebuah gagasan lain yang cukup mengejutkan datang dari Abdurrahman
Wahid. Dalam sebuah seminar tentang peranan pesantren dalam meningkatkan etos kerja di
Cirebon tanggal 18 Juni 1993, ia mengemukakan pemikiran tentang perampingan organisasi
NU. Salah satu bagian dari gagasan perampingan itu adalah penghapusan jabatan Ketua
Umum. Perubahan semacam ini dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan
antara Syuriyah dan Tanfidziyah.329 Gambaran umum gagasan Abdurrahman ini adalah,
Syuriyah di bawah pimpinan Rais Aam benar-benar diefektifkan sebagai pembuat keputusan
tertinggi organisasi. Dan di bawahnya, Tanfidziyah yang dipimpin oleh seorang Ketua dan
beberapa wakilnya berfungsi semacam sebuah sekretariat yang menjalankan keputusankeputusan Syuriyah serta fungsi-fungsi administratif organisasi.
Pemikiran Abdurrahman Wahid yang memperoleh tanggapan positif dari intern NU
ini memang masih berada pada tataran konseptual yang harus diterjemahkan dalam rumusrumus operasional. Namun kalau gagasan itu memang hendak diterapkan, ia tentu
memerlukan perubahan AD/ART NU, yang hanya dapat dilakukan dalam forum muktamar
mendatang. Dan jika ini benar akan dilakukan, maka persoalan lain yang juga perlu
dipikirkan kembali adalah mekanisme pertanggungjawaban dalam tubuh NU. Selama ini
Ketua Umum Tanfidziyah menyampaikan laporan pertanggungjawabannya langsung di
hadapan forum muktamar. Ini tentu konsekuensi dari pemilihan Ketua Umum yang langsung
oleh muktamar. Akan tetapi sebagai pelaksana kebijaksanaan Syuriyah, adalah keharusan
Tanfidziyah, semestinya, untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya di depan
sidang Syuriyah yang memang khusus membahas tentang hal itu. Pola semacam inilah yang
belum ada dalam NU. Pasal 31 ART NU hanya mewajibkan Tanfidziyah menyampaikan
laporan secara periodik kepada Syuriyah tentang pelaksanaan tugasnya. Di sinilah perubahan
agaknya perlu dilakukan. Yang dibutuhkan adalah pengaturan secara eksplisit bahwa

327

Wawancara Penulis dengan Wakil Sekjen PB NU Ir. H Musthafa Zuhad di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
Ibid.
329 Lihat Aula, Juli 1993.
328

132

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Tanfidziyah (dalam hal ini Ketua Umumnya) bertanggung jawab kepada Syuriyah atas
pelaksanaan tugasnya. Tumbuhnya kondisi seperti ini tentu akan menjadi katalisator bagi
proses pengembalian supremasi Syuriyah, yang berarti perwujudan kembali otoritas ulama
dalam kepemimpinan NU tanpa berimplikasikan perbenturan dengan upaya demokratisasi.

Kesimpulan

Dilihat dalam dinamika internalnya, perjalanan NU selama satu dasawarsa ini adalah
sebuah pencaharian kapasitas diri yang paling tepat menurut semangat khitahnya. Bahwa
pencarian itu hingga saat ini belum juga menemukan hasil yang diharapkan, adalah
banyaknya permasalahan yang penyelesaiannya perlu diprioritaskan yang menjadi
penyebabnya. Salah satu permasalahan itu adalah masih belum adanya kesamaan persepsi
yang utuh dalam tubuh NU sendiri tentang konsep khitah, sekalipun rumusan tekstualnya
sudah sangat jelas. Ketidakseragaman persepsi ini disebabkan sekaligus oleh heterogenitas
yang cukup tinggi dalam tubuh NU di satu bagian, serta banyaknya pergulatan kepentingan
antara elit NU sendiri pada bagian lain.
Pergulatan kepentingan di kalangan elit itu seringkali membawa NU pada kondisi
tarik-menarik antara dua kelompok yang berseberangan: sayap politisi dan sayap ulama.
Sementara kelompok pembaharu NU yang moderat selalu berusaha agar NU tetap berada
pada posisi tengah antara tarik-menarik itu, maka polarisasi itu sendiri akhirnya membawa
imbas lain pada warga NU. Mereka hingga saat ini ternyata masih belum memiliki persepsi
yang tepat terhadap Khittah sebagaimana mestinya. Sosialisasi Khittah yang secara serius
dilakukan oleh inti kekuatan NU saat ini dipahami dengan tidak pas oleh warga, karena
sementara kalangan politisi NU, dalam kepentingannya masing-masing, kerap melakukan
distorsi informasi yang membelokkan persepsi mereka.
Namun tidak diragukan lagi, yang paling sulit adalah pencarian bentuk yang paling
tepat bagi pengembalian otoritas ulama dalam kepemimpinan NU. Persoalannya tentu ialah:
bagaimana bentuk supremasi ulama itu? Sebab pemberian otoritas penuh yang menyebabkan
kekuasaan tersentralisir pada elit ulama, sementara pada saat yang sama NU berkomitmen
pada demokratisasi, sudah pasti akan terasa sebagai ambivalensi. Selanjutnya, supremasi
ulama tentulah berindikasikan pengurangan yang cukup signifikan terhadap otonomi yang
133

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


terlalu besar, untuk tidak menyebutnya dominasi, di pihak Tanfidziyah. Ini pun bukan urusan
mudah. Sebab di samping karena berbagai kelebihan yang ada pada Tanfidziyah, pemekaran
otonomi itu telah berjalan sangat panjang sejak, sebagaimana telah dibingkai dalam Bab II,
Muktamar Banyuwangi 1934 yang diawali oleh prakarsa tokoh seperti KH Wahid Hasyim.
Akhirnya, segala kesulitan dalam pergulatan internal itu menjadi lebih rumit akibat
NU tidak pernah benar-benar dapat mengkonsentrasikan perhatian semata-mata di situ. Sebab
pada lingkup eksternal, perhatian itu juga dibutuhkan bagi upaya pembuktian NU akan
komitmen barunya, yang sudah pasti inheren dengan permasalahan-permasalahan. Bab V
berikut akan membahas dinamika eksternal itu.

BAB V
IMPLEMENTASI KHITTAH: DINAMIKA EKSTERNAL

134

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


BAB ini akan melihat bagaimana dinamika eksternal NU dalam implementasi
keputusan kembali ke Khittah 1926. Pertama akan didiskusikan tentang reorientasi politik
yang membawa NU pada dimensi baru gerakan politiknya, dengan dua makna penting:
meninggalkan politik praktis, dan melepaskan keterikatan dengan organisasi politik mana
pun. Akan dilihat pula posisi NU dalam dua pemilu, 1987 dan 1992. Selanjutnya, aktivitas
bidang garapan NU setelah tidak lagi terkonsentrasi pada politik praktis akan menjadi topik
bahasan, sebelum bab ini ditutup dengan tinjauan mengenai untung dan rugi NU pascaKhittah.

Dari Kuantitas ke Kualitas: Reorientasi Politik NU

Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari


keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan
perjuangan bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi yang aktif
dalam proses perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, serta ikut aktif
dalam penyusunan UUD 1945 dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan
bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap warganya untuk senantiasa aktif
mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang
diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya setiap warga Nahdlatul Ulama harus
menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan
dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan
(al-ukhuwah), toleransi (al-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan
sesama

umat

Islam

maupun

dengan

sesama

warga

negara

yang

mempunyai

keyakinan/agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan


bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, Nahdlatul Ulama senantiasa
berusaha secara sadar untuk menciptakan warga negara yang menyadari akan hak dan
kewajibannya terhadap bangsa dan negara.

135

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Nahdlatul Ulama secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan
organisasi kemasyarakatan mana pun juga.
Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak
politik yang dilindungi dengan undang-undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama
menggunakan hak-hak politiknya harus dilakukan secara bertanggung jawab, sehingga
dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat
hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.330
Kutipan panjang di atas adalah sebuah blueprint kepolitikan NU pasca-Khittah yang
dirumuskan dalam Muktamar 1984. Ada dua hal penting yang dipancangkan dalam rumusan
itu. Pertama, penegasan tentang dimensi baru gerakan politik NU, yang tidak lagi bermuatan
politik praktis kelembagaan. Dan kedua, penegasan netralitas NU terhadap setiap organisasi
politik.
Dimensi baru kepolitikan NU adalah resultansi dilakukannya reorientasi dari kuantitas
politik menuju kualitas politik.331 Makna reorientasi itu ialah, NU meninggalkan politik
praktis dan politik kelembagaan yang berkutat pada perhitungan berapa banyak perolehan
suara dalam pemilu, berapa banyak orang-orang NU yang duduk dalam suprastruktur politik,
dan seterusnya. Ukuran "sukses politik" NU kini bukan lagi segi kuantitatif semacam itu,
tetapi lebih pada sejauh mana pikiran-pikiran, konsep-konsep NU, serta para warga NU di
lembaga-lembaga politik yang ada bisa memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan
kualitas kehidupan bangsa dan negara. Tujuan NU kini adalah memiliki nilai komplementer
bagi usaha pembangunan bangsa.332 Lalu netralitas politik, artinya NU melepaskan afiliasinya
terhadap PPP untuk selanjutnya menjaga jarak yang sama terhadap ketiga OPP. Komitmen
itu secara konseptual sudah sangat jelas. Tapi implementasinya sudah pasti tidak akan
semudah ia dirumuskan. Seperti diakui oleh Abdurrahman Wahid, "merupakan statement
yang kompleks,... (meskipun) kelihatannya sederhana."333 Kompleksitas persoalannya segera
membayang secepat hal itu diputuskan. Naro, rupanya menyadari bahwa keluarnya NU dari
330

Keputusan Muktamar XXVII Nahdlatul Ulama No. O2/MNU-27/ 1981 tentang Khittah Nahdlatul Ulama, Butir 8.
Sementara pengamat dengan terburu-buru menafsirkan bahwa reorientasi yang dilakukan NU adalah reorientasi dari
peran politik menuju peran non-politik. Meskipun sampai batas tertentu ada benarnya, namun penafsiran seperti itu akan
menyulitkan untuk menemukan eksplanasi paling tepat manakala mereka menemukan masih adanya bobot politik dalam
gerakan NU kini.
332 Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Drs. HM Ichwan Sam di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
333 Lihat Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926," dalam Masyhur Amin dan Ismail Ahmad (eds.),
Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM, 1993), h. 152.
331

136

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


PPP berarti hilangnya sumber massa terbesar partai itu, di Pontianak 9 Januari 1985
menyatakan bahwa organisasi yang turut menandatangani deklarasi pembentukan PPP secara
yuridis formal tetap mempunyai hubungan dengan PPP.334 Yang dimaksud Naro tidak lain
tentu NU.
Maka Gus Dur merasa perlu menanggapi ucapan Naro itu. Seusai Rapat Gabungan
pengurus harian PB NU di Jombang, 11 Januari, ia menyatakan bahwa warga NU tidak
otomatis menjadi anggota PPP, sambil merujuk pernyataan Naro sendiri bahwa keanggotaan
PPP adalah stelsel aktif.335 Sementara Rapat Gabungan itu sendiri menghasilkan sebuah
keputusan yang menegaskan netralitas NU. SK PB NU No. 01/PBNU/I-1985 tentang
Pelarangan Perangkapan Jabatan mengatur bahwa semua pengurus harian NU di semua
tingkatan tidak boleh merangkap menjadi pengurus harian orpol mana pun. Batas waktu
pelaksanaan larangan itu adalah satu tahun untuk tingkat wilayah, dan dua tahun untuk
cabang. Keputusan itu belakangan dikukuhkan lagi dengan SK PB NU No. 72/A- II/04-d/
XI/1985.
Pada bulan berikutnya, delapan orang pengurus harian PB NU menemui Presiden
Suharto di Bina Graha336 untuk melaporkan hasil-hasil Muktamar 1984, termasuk penerimaan
asas tunggal yang dinyatakan semata-mata karena motivasi agama dan bukan politik.
Pembicaraan lain yang memperoleh aksentuasi dalam pertemuan itu adalah pandangan NU
bahwa Negara Republik Indonesia merupakan bentuk final bagi keseluruhan bangsa,
terutama umat Islam. Tentang netralitas NU, dikabarkan bahwa Suharto memberikan
tanggapan sangat positif, dan menyatakan harapanya agar sebagai perorangan warga NU
benar-benar bisa memasuki semua kekuatan sosial-politik lain.337
Pertemuan itu setidaknya dapat dipandang sebagai langkah pertama bagi rekonsiliasi
dengan pemerintah yang merupakan salah satu sub-tema Khittah. Bagi NU, perjalanan
selama lebih sepuluh tahun dalam PPP yang kadangkala menempatkannya sebagai oposan
pemerintah, sedikit-banyak tentu terasa sebagai deviasi dari pola pandangannya tentang
hubungan dengan penguasa. Di sisi pemerintah sendiri, pada saat yang nyaris bersamaan
334

Lihat Kompas, 10 Januari 1985.


Kompas 12 Januari 1985.
336 Kedelapan pengurus harian yang pada tanggal 14 Februari diterima Presiden itu adalah KH As'ad Syamsul Arifin
(Mustasyar Aam), KH Achmad Siddiq (Rais Aam), KH Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah --menurut ART 1984,
Tanfidziyah dipimpin oleh seorang Ketua, dan baru dalam ART 1989 disebut-sebut tentang Ketua Umum), HM Anwar Nurris
(Sekjen), H Mahbub Djunaedi (Wakil Ketua Tanfidziyah), KH Rodli Saleh (Wakil Rais Aam), KH Nadjib Wahab (Rais Syuriyah),
dan KH Hamid Widjaja (Katib Syuriyah).
337 Kompas, 15 Februari 1985.
335

137

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dengan retrospeksi politik NU, mulai muncul kecenderungan politik yang akomodatif
terhadap umat Islam, setelah sebelumnya antara kedua pihak terdapat hubungan yang
antagonistis bahkan menjurus ke arah konflik. Rupanya, pemerintah menyadari bahwa umat
Islam merupakan kekuatan politik yang potensial jika mereka dapat mengorganisir diri
sedemikian rupa. Sehingga pemerintah akhirnya dihadapkan pada dua pilihan: mengadakan
akomodasi terhadap Islam, atau menempatkan Islam sebagai kelompok yang berada di luar
sama sekali. Pemerintah mengambil pilihan pertama, sebab kalau yang kedua yang dipilih
konflik akan sulit dihindari, yang pada akhirnya membawa dampak yang besar dalam proses
pemeliharaan negara kesatuan.338
NU pastilah menyadari perkembangan itu, dan segera mendapati bahwa retrospeksi
dan reorientasi politiknya sedang memperoleh iklim makro yang tepat339 Maka rekonsolidasi
dengan pemerintah pun diakselerasi penuh. Di hadapan sekitar 10.000 warga NU pada HUT
ke-61-nya di Surabaya 28 April, Abdurrahman Wahid mengingatkan bahwa masih banyak
kaum muslim yang belum memahami masalah hubungan negara dan agama secara benar.
Mereka masih mempertentangkan Islam dengan negara. Maka adalah tugas warga NU untuk
mengoreksi kesalahpahaman itu.340 Lalu sambil terus mengulang-ulang bahwa NU secara
kelembagaan telah meninggalkan kegiatan politik praktis, Gus Dur menyatakan bahwa
operasionalisasi keputusan itu adalah netralitas NU terhadap orpol yang ada. Repetisi
terhadap penegasan itu barangkali memang diperlukan, karena sejumlah tokoh-tokoh NU
seperti Mahbub, KH As'ad, dan Anwar Nurris masih melakukan campur tangan dalam
persoalan PPP. Antara Maret dan Juni mereka melakukan serangkaian usaha untuk mendepak
Naro dari kepemimpinan PPP, atau minimal menggesernya dari posisi dominan, sambil
berusaha menempatkan orang-orang NU pada jabatan-jabatan kunci partai. As'ad bahkan
mengancam bahwa jika tidak ada perbaikan dalam kepemimpinan PPP, ia akan melarang
ulama NU berkampanye bagi partai itu dalam Pemilu 1987 kelak.341 Ketika semua usaha ini

338

Lihat Afan Gaffar, "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia, dalam M Imam Aziz, et.al (eds.), Agama,
Demokrasi, dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 105.
339 Kesesuaian langkah politik NU dengan rekayasa politik pemerintah kian terasa dengan ditetapkannya UU No. 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada tanggal 17 Juni, yang dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa "Organisasi
Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satusatunya asas," walaupun tetap dibebaskan untuk merumuskan
tujuan khas masing-masing. Lihat antara lain, 5 Undang-undang Baru di Bidang Politik (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985).
340 Kompas, 29 April 1985.
341 Tentang campur tangan sejumlah tokoh NU ini lihat antara lain Tempo 30 Maret 1985 dan 22 Juni 1985.

138

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


gagal, Mahbub yang mewakili As'ad mengeluarkan pernyataan bahwa dalam pemilu nanti
warga NU "tidak wajib berkampanye untuk PPP dan tidak pula wajib mencoblos PPP."342
Melihat gerak maju-mundur ini, Abdurrahman secara implisit memperingatkan para
elit NU agar membiarkan warga bebas menentukan pilihan politiknya sendiri, dan untuk
menjaga NU murni dalam netralitasnya. Ia juga mengingatkan bahwa KH As'ad sendiri yang
sejak sebelum Muktamar 1984 telah berbicara tentang netralitas NU.343 Tapi Mahbub lalu
menjawab bahwa NU tidak bisa begitu saja netral terhadap kebaikan dan keburukan. NU -yang ia maksud sebagai lembaga-- harus mempunyai pilihan, karena NU memiliki nilai-nilai
yang jadi patokan. Menurut Mahbub, "netralitas itu mengesankan kelemahan dan cenderung
mau enak-enakan,...melayang-layang, tidak punya pijakan baik di bumi maupun di langit."
Mahbub lebih menyukai istilah "bebas aktif (yang) punya pijakan, punya hitungan dan punya
risiko."344 Lalu tentang implikasi politik khitah, Mahbub dengan ilustratif menggambarkan
bahwa yang ditinggalkan NU dari dunia politik adalah "perolehan minimal" untuk menuju
"perolehan maksimal".345 Itu berarti NU mesti melakukan apa pun yang diharuskan oleh
upaya untuk mencapai perolehan maksimal itu. Dan akhirnya, jalan pikiran di atas kemudian
mengantarkan Mahbub dan kelompoknya pada apa yang kelak dikenal sebagai aksi
"penggembosan PPP", tanpa mengabaikan faktor determinan lain berupa kekecewaan
terhadap pimpinan PPP saat itu, khususnya Naro. Kekecewaan terhadap PPP inilah yang
memasuki tahun 1986 mulai disebut-sebut sebagai alasan utama ketika terjadi hijrah warga
NU ke Golkar secara demonstratif, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa
Tengah, misalnya, dari 77 cabang NU yang ada, sampai bulan Mei tinggal 8 cabang saja yang
masih jelas-jelas mendukung PPP.346 Pada umumnya mereka menganggap bahwa
kemenangan PPP di suatu daerah selama ini tidak membawa perbaikan apa pun, termasuk
sarana keagamaan. Yang banyak mengembangkan sarana itu justru adalah Golkar. Sedang
KH Ilyas Ruhiyat (yang sejak 1992 menjadi Pelaksana Rais Aam NU) memberikan alasan

342

Pelita, 31 Oktober 1985, sebagaimana dikutip dalam Kacung Marijan, Quo Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992),
h. 160.
343 Kompas, 4 November 1985.
344 Lihat Mahbub Djunaedi, 'Mubalig Dadap Tentang Netralitas NU," dalam Kompas, 20 Desember 1985.
345 Mahbub Djunaedi, "Khittah," dalam Tempo 25 Januari 1986, h. 76. Mahbub mengingatkan generasi baru NU agar tidak
lagi seperti generasi pendahulunya yang "... turun dari laut dengan biduk kecil seraya menenteng seikat ikan, cukup untuk
makan sehari semalam tapi tidak cukup untuk menambal bilik rumah yang rombeng. Anak-anak ini tidak bisa dibiarkan
sama seperti orang tuanya. Mereka mesti memandang laut dengan sinar mata yang baru, membawa pulang berton-ton
ikan yang sehat, mencegah binatang itu mati tua karena tidak ada tangan yang kuasa menangkapnya." Ibid.
346 Lihat Tempo, 31 Mei 1986.

139

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


bahwa yang selama ini menguntungkan NU adalah kerja sama dengan umara (pemerintah),
dan sekarang umara adalah identik dengan Golkar.347
Sebenarnya, tanpa manuver politik yang tendensius dari kelompok tertentu di NU
sekalipun, langkah-langkah politik obyektif NU pada umumnya memang lebih banyak
berimplikasi negatif terhadap PPP. Di Jawa Timur, SK PB NU No. 72 tahun 1985 tentang
pelarangan perangkapan jabatan banyak ditafsirkan sebagai 'perceraian' NU dari PPP. Lalu di
tahun 1986, PB NU mengeluarkan SK No. 92/1986 yang melarang pengurus harian NU serta
pengurus lembaga, lajnah, dan badan otonom di tingkat MWC dan Ranting untuk menjadi
komisaris orpol, maupun mewakilinya dalam berbagai tingkat aparatur pemilu. Akibat SK
ini, PPP Jawa Timur menjadi kedodoran. Hampir semua DPC PPP mengeluhkan sulitnya
mencari tenaga pengawas pemungutan suara dan Panwaslakcam. Di Bondowoso bahkan
terjadi kesulitan untuk mendapatkan orang bagi jabatan komisaris partai baik di tingkat
kecamatan maupun desa. Kesulitannya adalah karena di Jawa Timur pengurus harian PPP
lazimnya adalah orang-orang NU. Dan meskipun tentu tidak setiap orang adalah pengurus
harian NU, sehingga pasti ada yang bisa tetap aktif di PPP, namun di kalangan warga NU
ternyata berkembang kebencian terhadap Naro. Akibatnya, ulama NU yang diketahui menjadi
pengurus PPP langsung dicap sebagai antek Naro dan dijauhi masyarakat. Dalam konteks
inilah KH Syansuri Badawi (Tebuireng) menyalahkan PB NU, yang menurutnya telah
menyesatkan umat dengan segala macam larangan yang diberlakukan. Ia juga menyerukan
warga NU tetap di PPP, sebab rumah Islam adalah di PPP, yang meskipun asasnya adalah
Pancasila, namun AD/ART-nya masih menyebutkan untuk memperjuangkan Islam.348
Untuk menetralisir suasana, KH Achmad di bulan Juni mengumpulkan 250 ulama seJawa Timur, dan dalam kapasitasnya sebagai Rais Aam, ia membuat fatwa tentang pemilu.
Fatwa itu berisikan dua hal pokok: Pertama, warga NU tidak lagi wajib memilih PPP, dan
tidak dilarang memilih Golkar atau PDI. Kedua, mereka wajib menggunakan hak suaranya
dalam pemilu, dan diharamkan menjadi golput.349 Di bulan Oktober, fatwa itu dipublikasikan
sebagai sebuah buku "NU dan Pemilu," yang di samping diedarkan kepada warga NU juga
dikirimkan kepada 200 bupati di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan, yang wilayahnya
adalah basis NU.350

347

Ibid.
Lihat Tempo, 15 Februari 1986, h. 12.
349 Tempo, 19 Juli 1986.
350 Buku itu dikenal dengan 'buku kuning', diterbitkan di Yogyakarta. Lihat Tempo, 1 November 1986.
348

140

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Implikasi-implikasi negatif terhadap PPP itu sebenarnya juga diperuncing oleh sikap
Naro. Semakin mendekati pemilu, ia kian sering berbicara bahwa NU tetap di PPP, dan umat
NU adalah umat PPP. Bagi mereka yang kerap merasakan kekecewaan saat NU masih berada
di PPP, yang untuk sebagian besar adalah akibat tindakan Naro, maka ucapan-ucapannya
belakangan jadi terasa hipokrit dan berkesan hendak memperalat NU untuk menjamin
perolehan suara PPP. Barangkali jika Naro bersikap wajar dan menghargai keputusan NU,
maka NU pun akan bersikap wajar. Sebab ikatan historis mereka pastilah tidak begitu saja
dapat diputuskan. Namun semua perkembangan yang terjadi mendorong kelompok tertentu
dalam NU untuk membuktikan bahwa PPP akan sangat berbeda setelah ia ditinggalkan NU.
Bahkan Abdurrahman Wahid pun akhirnya melihat bahwa aksi penggembosan
terhadap PPP pada satu segi akan menguntungkan NU dalam usaha menegaskan eksistensi
dirinya. Sehingga ketika intensitas penggembosan itu meninggi, ia sama sekali tidak berusaha
lagi untuk mencegahnya, dan hanya sesekali, dengan tidak bersungguh-sungguh, membuat
pernyataan yang tidak terlalu berarti seperti bahwa aksi penggembosan itu adalah tindakan
individual orang-orang NU yang tidak puas dengan kepemimpinan PPP, dan bukan tindakan
NU.
Memasuki 1987, di Jawa Timur dan Jawa Tengah kampanye penggembosan mulai
dilakukan secara terkoordinir,351 yang dilaksanakan dengan intensif melalui pengajianpengajian dan ceramah-ceramah. Di Jawa Tengah, Ketua PW NU Buchori Masruri bersama
tokoh-tokoh berpengaruh antara lain KH Hamid Baidhowi aktif melakukan penggembosan.
KH Hamid bahkan memperluas cakupannya ke Jawa Timur. Di sini banyak ulama yang juga
pernah berguru kepada ayahnya, KH Baidhowi, sehingga ia cukup disegani. Di Jawa Timur
sendiri, kampanye penggembosan malahan bernada sangat retoris. Wakil Ketua GP Ansor
Jawa Timur, HM Shohib, berbicara bahwa "bukan NU yang keluar dari PPP. Tapi PPP yang
mencelat --terlempar-- dari NU. Biarlah dia tahu rasa. Biar jadi bonsai."352 Dan PPP dengan
sia-sia masih mencoba untuk unjuk gigi. Kehadiran KH Hamid yang membawa kharisma
ayahnya dianggap bukan persoalan bagi mereka. Ahadin Mintarwin, Sekretaris DPW PPP
Jawa Timur, mengacungkan apa yang dianggapnya sebagai kartu truf PPP: KH Amin Imron
yang adalah cucu KH Cholil (Bangkalan) kini tetap di PPP bahkan namanya masuk dalam
DCT. KH Cholil adalah guru sebagian besar ulama-ulama terkemuka di Jawa Timur dan
351

Di dua daerah itu penggembosan berjalan dalam intensitas yang sangat tinggi. Boleh jadi karena keduanya dalah
daerah-daerah basis utama NU. Ini tercermin dalam ucapan Mahbub bahwa NU yang dalam dua pemilu telah memompa
PPP pasti tahu persis di mana katup untuk menggemboskannya. Lihat Suara Pembaharuan, 1 April 1987.
352 Tempo, 7 Maret 1987.

141

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Jawa Tengah, termasuk KH Hasyim Asy'ari. Tapi upaya PPP sama sekali tidak berarti. Dan
di tengah keputusasaannya, Naro jadi seperti lepas kendali. Ia menantang NU: "Biar saja telur
busuk itu keluar dari partai. Terlalu lama dalam keranjang yang baik ini malahan akan
merusakkan telur-telur lain yang masih baik."353 Maka kampanye penggembosan lalu kian
tidak terbendung. Di Jawa Timur, mendekati pemilu tidak kurang dari 900 pengajian yang
dilakukan ulama-ulama NU menyerukan penggembosan. PPP yang merasa sangat tersudut
terpaksa mengeluhkan hal ini kepada Laksusda. Buntutnya, Kantor Sospol Kotamadya
Surabaya melarang 88 orang tokoh NU untuk berbicara di forum pengajian, dan Laksusda
meminta agar PW NU Jatim menghentikan penggembosan. Namun dengan segera tampak
bahwa larangan itu tidak bersungguh-sungguh. Atas rekomendasi Ditsosopol Jawa Timur,
beberapa waktu kemudian semua larangan itu dicabut kembali.354
Sementara itu di Jawa Barat 23 cabang NU bersepakat menyalurkan aspirasi lewat
Golkar, dan di Yogyakarta Ketua DPW PPP DIY Attabik Ali (putra KH Ali Maksum),
menyeberang ke Golkar. Tanggal 28 Maret di kota ini diadakan "Bahtsul Masail" tentang
pemilu oleh 11 orang kyai dari 11 pesantren terkemuka se-DIY.355 Hasil keputusan forum ini
antara lain mengajak warga NU untuk menjatuhkan pilihan dengan pertimbangan yang
matang dan kritis. Jangan sampai mereka terkecoh oleh kontestan yang membawa-bawa
nama Islam, serta harus memperhatikan mana kepemimpinan yang dapat membawa stabilitas
dan mana yang hanya membuat kemelut saja. Segala pertimbangan itu, bagi para kyai
tersebut, mengarah pada kesimpulan bahwa Golkar-lah yang pantas dipilih dalam pemilu.
Pada skala nasional, tokoh-tokoh teras PB NU yang paling intens melakukan penggembosan
selain Mahbub, yang tulisan-tulisannya tidak diragukan lagi adalah metode penggembosan
yang paling luas cakupannya, ialah Saiful Mujab, salah seorang Wakil Ketua Tanfidziyah,
dan KH Yusuf Hasyim, Rais Syuriyah.
Efek penggembosan sebenarnya sudah mulai terasa sejak masa kampanye pemilu.
Suasana kampanye PPP pada umumnya jauh lebih sepi jika dibandingkan dengan Pemilu
1982.356 Ini dapat dijelaskan karena sebagian besar massa yang mengikuti kampanye PPP

353

Tempo, 21 Maret 1987.


Lihat Kacung Marijan, op. cit., h. 168.
355 Kesebelas kyai yang menandatangani Bahtsul Masail itu adalah KH Attabik Ali, KH Nawawi, KH Masykur, KH Hasan
Tholabi, KH Humam, KH Barmawi, KH Zamrudin, KH Qathrul Azis, KH Muhasin Ihya, KH Mujab Mahalli, dan KH Jakfar.
Sebetulnya "Bahtsul Masail Masail" itu tidak pernah terjadi. Karena naskah "rumusan" itu hanya dimintakan tanda tangan
kiai-kiai di rumahnya masing-masing. Lihat Suara Karya, 2 April 1987.
356 Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta PT Grasindo, 1992) h.119.
354

142

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


adalah warga NU yang dikerahkan oleh para kyai, dan pengerahan semacam itu hampir tidak
ada lagi dalam Pemilu 1987.
Sedang kampanye PPP sendiri dapat dikatakan kurang efektif. Di daerah seperti Jawa
Timur, hampir separuh waktu kampanye digunakan oleh para jurkam untuk meng-counter
penggembosan terhadap partai mereka.357 Selanjutnya, kampanye-kampanye mereka pada
umumnya kesulitan mencari tema, setelah asas Islam yang dahulu menjadi andalan tidak lagi
dapat dipergunakan. Kunci persoalan akhirnya adalah pada program-program yang
ditawarkan. Namun di sini pun PPP kedodoran. Mereka jadi tampak mengada-ada tatkala,
misalnya, menyatakan hendak menghapus SPP. Atau seperti di Jawa Barat, PPP
berkampanye anti pengiriman TKW ke Arab Saudi. Padahal di sana terdapat kurang-lebih
dua juta orang yang memiliki hidup dari keluarganya yang menjadi TKW.358
Dengan kedua persoalan di atas, penggembosan oleh NU serta hilangnya tema
ideologis sebagai akibat diterapkannya asas tunggal Pancasila, ditambah lagi dengan
kepemimpinan partai yang terus-menerus dilanda kemelut dan konflik sehingga
mengakibatkan berpalingnya para pemilih rasional, maka kemerosotan perolehan suara PPP
dalam Pemilu 1987 bukan suatu yang luar biasa untuk diramalkan. Perhitungan akhir hasil
pemilu ini menunjukkan turunnya perolehan suara PPP di hampir semua daerah pemilihan.
Sedang total secara nasional, PPP memperoleh 15,96% suara, merosot tajam dari perolehan
di tahun 1982 yang sebesar 27,78%. Perolehan kursi di DPR pun merosot dari 94 di tahun
1982 menjadi 61 di tahun 1987. Penurunan ini akan tampak semakin parah jika dilihat bahwa
jumlah kursi di DPR telah dieskalasi dari 364 menjadi 400 kursi.359
Jika dapat disepakati bahwa kemerosotan itu adalah karena PPP ditinggalkan oleh
warga NU untuk sebagian besar, dan pemilih rasional yang beralih akibat kemelut internal
partai itu pada bagian yang lebih kecil, pertanyaan selanjutnya tentu ialah, ke mana
penyebaran pemilih-pemilih yang berpaling itu? Jawaban bagi pertanyaan ini agaknya harus
tetap jadi spekulasi. Namun adalah kenyataan bahwa Golkar mencatatkan kenaikan perolehan
suara yang cukup berarti, dari 64,34% di tahun 1982 menjadi 72,99% di tahun ini; sedangkan
PDI menunjukkan sedikit kenaikan dari 7,8% menjadi 11,01%.

357

Ibid.
Lihat Tempo, 5 Mei 1987.
359 Untuk angka-angka ini lihat Haris, op. cit., h. 120
358

143

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Sebagai contoh di Jawa Timur, di mana PPP menunjukkan penurunan sebesar 15,15%
dan sebelumnya kampanye penggembosan berjalan dalam intensitas paling tinggi. Perubahan
perolehan suara di provinsi ini, yang jumlah 19,1 juta orang pemilihnya adalah tertinggi
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, untuk setiap daerah-daerah tingkat II adalah
seperti ditunjukkan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Perubahan Perolehan Suara di Jawa Timur Naik/Turun 1987 dari 1982

================================================
Kabupaten/Kodya

PPP

Golkar PDI

================================================
Kodya Surabaya

8,75

2,39

Kodya Mojokerto

12,57 9,38

3,19

Kodya Malang

-13,39 8,00

5,39

Kodya Pasuruan

-18,45 12,42 6,03

Kodya Probolinggo

-6,81

8,04

-1,24

Kodya Madiun

-4,60

9,43

-4,83

Kodya Kediri

-13,01 13,59 -0,58

Kodya Blitar

-4,41

Kab Gresik

-24,06 24,30 -0,24

Kab Sidoarjo

-26,25 21,87 4,38

Kab Mojokerto

-13,95 11,34 2,61

Kab Jombang

-15,33 13,18 2,15

Kab Lamongan

-21,39 19,79 1,60

Kab Tuban

-8,30 4,28

4,02

Kab Bojonegoro

-11,94 11,05

0,89

6,29

-1,88

144

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Kab Madiun

-13.81 16.01 -2,20

Kab Ngawi

-5,43

6,80

-1,38

Kab Magetan

-6,33

8,11

1,78

Kab Ponorogo

-10,60 9,73

0,86

Kab Pacitan

-4,85

-1,49

Kab Kediri

-14,88 12,73 2,14

Kab Nganjuk

-14,35 15,24 -0,86

Kab Blitar

-11,02 10,20 0,82

Kab Tulungagung

-10,76 12,06 1,30

Kab Trenggalek

-18,51 16,64

1,88

Kab Malang

-11,78 10,46

1,32

Kab Pasuruan

-18,96 15,81

3,15

Kab Probolinggo

-19,40 20,01

-0,61

Kab Lumajang

-14,45 13,89

0,56

Kab Jember

-22,79 19,06

3,15

Kab Bondowoso

-24,33 23,67

0,67

Kab Situbondo

-17,82 17,00

0,83

Kab Banyuwangi

-15,23 12,57

2,66

Kab Pamekasan

-29,83 29,16

0,67

Kab Bangkalan

-21,26 20,58

0,68

Kab Sampang

-16,82 16,50

0,32

Kab Sumenep

-31,70 30,03

0,07

6,34

===============================================
Sumber : Kompas 6 Juni 1987

Tabel ini memberikan beberapa gambaran. Pertama adalah kecilnya kemungkinan


warga NU menyeberang ke PDI. Asumsi dasarnya ialah, sekalipun ada peluang bagi PDI
145

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


untuk menggaet NU namun terdapat hambatan psikis bagi warga NU untuk begitu saja
beralih menerima PDI. Citra PDI belum bisa lepas sama sekali dari PNI. Dan bagi kaum
santri di NU, citra PNI adalah citra abangan. Apalagi, dalam PDI terdapat unsur-unsur
Parkindo dan Partai Katolik. Di Jawa Timur, PDI menunjukkan kenaikan di 25 dari 36
Daerah Tingkat II. Yang terbesar terjadi di Kotamadya-kotamadya Surabaya, Mojokerto,
Malang, dan Probolinggo. Berarti, kenaikan suara PDI kebanyakan diperoleh dari masyarakat
pemilih perkotaan yang relatif rasional, yang tidak mengaitkan pilihan politiknya dengan
pertimbangan-pertimbangan primordial. Indikasi ini diperkuat pula oleh kenyataan bahwa di
daerah-daerah etnik Madura, yang tidak diragukan lagi adalah massa NU, yakni Bondowoso,
Situbondo, Pamekasan, Bangkalan, Sampang, dan Sumenep, kenaikan suara PDI berada pada
angka di bawah 1%.
Sebaliknya, di daerah-daerah etnik Madura itu pada umumnya PPP menunjukkan
kemerosotan terbesar, dan pada saat yang sama Golkar mencatat kenaikan terbesar. Misalnya
di Sumenep, yang menunjukkan angka prosentase pergeseran terbesar di Jawa Timur, PPP
menurun sebesar 31,70% dan Golkar naik 30,03%. Sementara di Kotamadya-kotamadya,
Golkar justru mengalami kenaikan yang relatif kecil antara 6,29% hingga 13,59%. Sehingga
gambaran kedua yang dapat dibuat ialah, mungkin sekali, yang untuk sebagian besar adalah
akibat aksi penggembosan, banyak warga NU yang telah mengalihkan suaranya dari PPP ke
Golkar.360
Boleh jadi mereka yang melakukan penggembosan sendiri tidak mengira bahwa
manuver politiknya akan membawa hasil sedemikian rupa. Dan sebentuk "balas jasa"
rupanya telah dipersiapkan untuk NU. Beberapa tokoh NU diangkat menjadi anggota MPR
Utusan Daerah, selain Abdurrahman Wahid yang diangkat sebagai anggota dari Utusan
Golongan. Mereka adalah Syaiful Mujab (DIY), yang sebelumnya adalah anggota MPR
mewakili PPP dan mantan Ketua DPW PPP DIY, KH Imron Hamzah (Jawa Timur), Wakil
Ketua DPRD Jawa Timur dari PPP pada periode lalu, dan HM Syah Manaf (DKI), Ketua

360

Polling pendapat yang dilakukan terhadap warga NU oleh mingguan Editor di tahun 1988 dan 1992 sedikit banyak
mendukung sinyalemen itu. Polling tentang pilihan warga NU ini pada tahun 1988 menunjukkan bahwa dalam Pemilu 1982,
80% warga NU memilih PPP, 13% Golkar, dan 0% PDI. Lalu pada Pemilu 1987, yang memilih PPP turun menjadi 56%, Golkar
naik menjadi 71%, dan PDI menjadi 3%. Lihat Editor, 2 Desember 1988. Sedang polling 1992 menunjukkan angka yang
hampir sama. 84,10 % warga NU dalam Pemilu 1982 memilih PPP, 12,13% memilih Golkar, dan 0% PDI. Dan pada Pemilu
1987 bergeser, PPP menjadi 42,34%, Golkar menjadi 51,35%. dan PDI 11,8%. Lihat Editor, 7 Maret 1992. Selanjutnya faktor
pemilih muda agaknya juga menentukan. Polling Tempo menunjukkan bahwa warga NU yang baru memilih dalam Pemilu
1987 sebanyak 54,22% memilih Golkar, 32,53% PPP, dan 4,82% PDI. Lihat Tempo,2 Mei 1987.

146

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Koordinator PPP DKI sampai tahun 1985.361 Ketiganya memiliki kesamaan: tidak serasi
dengan Naro, dan turut dalam aksi penggembosan.
Sementara itu, segera setelah pemilu NU mengupayakan rekonsiliasi internal. Tanggal
4 Juni KH Achmad mengundang semua tokoh NU yang menyebar di setiap PPP dalam
sebuah acara halal bi halal di Surabaya. Termasuk yang diundang adalah para aktivis
penggembosnya seperti Yusuf Hasyim dan Mahbub Djunaedi. Namun tokoh-tokoh NU di
PPP, seperti KH Syansuri Badawi dan Ketua DPW PPP Jawa Timur Sulaeman Fadeli
menolak hadir dalam pertemuan yang diwarnai dengan acara saling memaafkan ini.362
Selanjutnya, hasil-hasil pemilu rupa-rupanya kian meyakinkan kelompok politisi NU
akan potensi politik organisasinya. Bagi mereka sudah terbayang bahwa potensi itu akan
membuat NU selalu diperebutkan oleh setiap kontestan dalam pemilu-pemilu selanjutnya.
Maka lalu muncul gagasan tentang "Khittah Plus", yang merupakan buah pikiran Mahbub
yang paling kontroversial tentang NU. Dalam gagasannya ini, Mahbub mengajak warga NU
untuk memikirkan kemungkinan NU kembali menjadi partai politik. Menurutnya, apa yang
obyektif benar ditentukan di Situbondo dahulu belum tentu benar selamanya. Sah saja NU
melakukan think and rethink, agar tetap dinamis. Tentang hambatan berupa struktur politik
yang hanya memperkenankan tiga kekuatan politik, ia berargumen: "Bukankah negeri ini
sudah berulangkali mengalami penyempurnaan sistem politik yang tunduk pada
perkembangan dinamisasi masyarakat? Bukankah pernah ada pikiran multipartai, pernah ada
pikiran satu partai, pernah ada pikiran dwipartai, dan akhirnya sistem sekarang?363
Meskipun tampaknya tidak ada yang tak masuk akal dalam argumen Mahbub itu, namun
setidaknya terdapat dua persoalan yang membuat gagasan itu tidak populer. Pertama, ia
berhadapan dengan hambatan obyektif makro seperti yang telah disebutkan sendiri oleh
Mahbub, yang sulit untuk berubah dalam waktu dekat. Kedua, gagasan itu diartikulasikan
terlalu pagi, ketika NU masih sedang didominasi oleh semangat reorientasi politik yang
mengharuskan NU meninggalkan kegiatan politik praktis.
Serangkaian upaya lobbying Mahbub untuk meyakinkan gagasannya praktis tidak
berhasil. Bahkan Munas Alim Ulama NU di Cilacap, 15-18 November, sekalipun sempat
diwarnai perdebatan tentang itu, sama sekali tidak mencantumkan masalah Khittah Plus
Mahbub dalam agendanya. Dalam waktu singkat, gagasan Mahbub itu dengan segala
361

Lihat Tempo, 15 Agustus 1987.


Lihat Tempo, 13 Juni 1987.
363 Mahbub Djunaedi, "Khittah Plus," dalam Tempo, 7 Nopember 1987.
362

147

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


variannya, termasuk untuk menggeser Abdurrahman Wahid, segera terabaikan, setidaknya
untuk sementara.
Sedang Mahbub rupanya harus memikul risiko lain. Dalam Muktamar 1989 ia
termasuk orang yang oleh Abdurrahman disingkirkan dari pos-pos kunci dalam kepengurusan
harian PB NU. Namun berbeda dengan Anwar Nurris yang sama sekali terlempar, Mahbub
masih ditempatkan pada posisi yang tidak begitu menentukan sebagai anggota Mustasyar.
Rupanya, aksi penggembosan yang pada sisi tertentu berimplikasi positif bagi pembuktian
eksistensi diri NU masih dipandang sebagai jasa Mahbub yang untuk itu ia harus dihargai
semestinya.
Muktamar ini juga, mengambil pelajaran dari perjalanan selama lima tahun, akhirnya
merasa perlu memberikan pedoman bagi warga NU dalam menggunakan hak-hak politiknya.
Pedoman itu diakumulasikan dalam sembilan rumusan politik NU:
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan
menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur lahir-batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah
menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang
hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban
dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab,
menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran murni dan
moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang
disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan
masalah bersama.
148

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus nasional,
dan dilakukan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam
Ahlussunnah Wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalil apa pun, tidak boleh dilakukan dengan
mengorbankan kepentingan bersama dan memecah-belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan
dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga
di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul
Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan

timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang


memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan
mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat,
menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.364
Sebenarnya tidak ada yang baru dalam sembilan rumusan politik itu. Pada dasarnya ia
adalah penegasan kembali dalam detail terhadap blueprint kepolitikan NU yang diputuskan di
Situbondo. Untuk sebagian, rumusan politik itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa
dengan Khittah tidak lalu berarti NU menjadi pasif dan tidak terlibat dalam proses politik.
Pada bulan Agustus, tiga bulan sebelum muktamar, di depan program pelatihan kader NU
yang diadakan oleh Lakpesdam, Abdurrahman Wahid berbicara tentang peran politik NU. Ia
memastikan, sekalipun bukan orpol, NU bisa saja punya peran politik sebagaimana organisasi
politik maupun organisasi profesional lainnya, sebab NU selalu merasa terpanggil dalam
proses transformasi sosial yang tengah dialami bangsa Indonesia. Tapi peran politik setelah
Khittah tidak lagi identik dengan kekuasaan atau jabatan publik.365
Tentu lalu dapat dipertanyakan, dengan cara apa NU kini memainkan peran
politiknya? Khittah tidak diragukan lagi telah membawa NU pada kedudukan di luar politik
praktis yang tidak memungkinkannya terlibat dalam power politics. Tetapi, bahwasanya
proses politik memiliki sekaligus sisi formal dan informal masih membuka celah bagi peran
NU. Jika diamati, kepolitikan NU kini tampaknya mengambil model beyond politics yang
aksentuasinya bukan pada mekanisme formal. Cara yang dipakai untuk mempengaruhi

364

Keputusan Muktamar NU No. 06/MNU-28/1989 Tentang Masalah-masalah Kemasyarakatan (Pesan-pesan Muktamar),


Bab VI.
365 Lihat Kompas, 8 Agustus 1989.

149

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kebijakan publik, lepas dari persoalan efektivitas, sering disebut-sebut oleh Abdurrahman
sebagai "negosiasi di balik layar."
Kecenderungan inilah yang diamati Arbi Sanit.366 Ia melihat bahwa NU tetap hadir
dalam proses politik nasional dan lokal secara tidak resmi, melalui peran warganya yang
menjadi pengurus atau bukan, yang secara umum dapat disebut tokoh. Dengan menggunakan
lobi sebagai teknik utamanya, tokoh NU memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
warganya secara pragmatis dalam arti mengupayakan seoptimal mungkin diperolehnya
konsesi politis dari pihak-pihak dengan siapa tokoh tersebut melakukan interaksi, sehingga
kepentingan keagamaan dan kemasyarakatan yang menjadi pusat perhatian NU tetap
terlindungi. Dengan inilah agaknya dapat dijelaskan mengapa ketika menyatakan bahwa
ukuran sukses politiknya tidak lagi didasarkan pada kalkulasi kuantitatif berupa jabatanjabatan publik, pada saat yang sama ternyata NU masih terus memetik manfaat dari kehadiran
warganya dalam struktur politik, yang sebagian bahkan secara informal sengaja
diperjuangkan. Contoh yang paling jelas adalah ketika NU mendukung warganya untuk dapat
menempati posisi-posisi strategis di PPP ketika partai ini melaksanakan muktamar keduanya,
Agustus 1989. Ketika itu NU memperjuangkan Chalid Mawardi dan Karmani sebagai calon
pengganti Naro. Sekalipun usaha ini gagal, dan pengganti Naro tetap orang MI, tapi NU
berhasil menempatkan tiga orangnya (Sulaeman Fadeli, Karmani, dan Imam Sofwan) sebagai
anggota formatur di antara tujuh orang yang terpilih. Selanjutnya enam orang NU berhasil
duduk dalam kepengurusan harian PPP, termasuk Matori Abdul Jalil sebagai Sekjen. Jumlah
ini meningkat dibandingkan dengan kepengurusan Naro yang hanya mencantumkan lima
orang dari unsur NU. Sebaliknya, unsur MI dalam kepengurusan harian turun dari sembilan
menjadi tujuh. Diberitakan bahwa calon-calon NU telah memperoleh semangat dan motivasi
dari tiga orang kyai yang terus-menerus mendampingi selama muktamar.367 Kejadian ini
mendorong Syamsuddin Haris 368 untuk menyimpulkan bahwa NU sedang mengalami godaan
untuk kembali berpolitik, sehingga ia mengajukan hipotesis bahwa keputusan NU untuk
menarik diri dari kegiatan politik adalah keputusan sementara, yang cepat atau lambat akan
mengalami pengkajian ulang.
Sekalipun sampai tingkat tertentu sinyalemen ini ada benarnya, namun beberapa
keberatan dapat diajukan kepadanya. Pertama, seperti yang menjadi salah satu tesis kajian ini,
366

Arbi Sanit, "Politik NU Sebagai Organisasi Massa'. dalam S Sinansari Ecip (eds.), NU dalam Tantangan (Jakarta: Penerbit
Al Kautsar, 1989).
367 Lihat Editor, 9 September 1989.
368 Syamsuddin Haris, "NU dan Godaan Politik Menjelang Muktamar ke-28, dalam Kompas, 2 Oktober 1989.

150

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


NU tidak pernah memutuskan untuk membuang sama sekali dimensi politik dalam
aktivitasnya, dan karena itu frasa "godaan untuk kembali berpolitik" masih dapat
dipertanyakan relevansinya. Selanjutnya, kalaupun yang dimaksud adalah godaan untuk
kembali berpolitik praktis, maka asumsi Haris di atas pasti akan segera di-counter oleh NU
bahwa persoalan dalam muktamar PPP itu adalah keterlibatan individual orang-orang NU,
dan bukan NU sebagai organisasi. Kasus di atas agaknya lebih tepat jika dipahami sebagai
bagian dari mekanisme informal NU saat hendak turut ambil bagian dalam proses politik
yang sedang berjalan. Dan akhirnya, penyimpulan itu agaknya dibuat setelah keterlibatan
tokoh NU dalam PPP diamati di bawah lensa pengamatan yang membuatnya tampak lebih
besar dari makna riilnya. Sebenarnya, bukan hanya di PPP NU menunjukkan keterlibatan,
namun juga di Golkar seperti yang tercermin dari masuknya Slamet Effendy Yusuf, Ketua
GP Ansor, dalam jajaran DPP-nya, dan belakangan di PDI ketika di tahun 1993 seorang kyai
NU tercantum dalam formasi pengurus pusat partai ini.369 Bahwa di PPP keterlibatan NU
jauh lebih besar jika dibandingkan terhadap kedua OPP lainnya, tentu karena masih adanya
ikatan historis dan kesamaan tujuan tertentu yang tidak dapat begitu saja dinihilkan antara
NU dan PPP.
Dan siapa pun tidak akan meragukan bahwa PPP sebenarnya tahu persis arti penting
massa NU baginya. Karena itu, segera setelah perombakan formasi kepemimpinan partai,
yang nyaris menghapus sama sekali kubu Naro, PPP memulai langkah untuk kembali
merangkul pemilih potensialnya itu. Dalam mana kemudian PPP menemukan bahwa ia tidak
sendirian, sebab PDI dan terlebih lagi Golkar ternyata sedang melakukan hal yang sama.
Kunjungan Ismail Hasan Metareum, pengganti Naro, bersama sejumlah anggota DPP PPP
terutama yang dari NU seperti Matori dan Hamzah Haz, ke Muktamar Krapyak dapat
dipandang sebagai awal rekonsiliasi PPP dengan NU. Dalam dialognya dengan tokoh-tokoh
dan warga NU, Ismail mengatakan bahwa jika NU akan kembali mendukung PPP
sepenuhnya, maka pengurus dan seluruh keluarga besar PPP akan berterima kasih kepada
NU, sebab kelahiran PPP tidak terlepas dari dukungan warga NU. Ia menilai keputusan
kembali ke khitah yang membawa konsekuensi ditinggalkannya kepolitikan praktis sebagai
keputusan yang tepat. Tetapi bagaimana pun NU tetap merupakan kekuatan politik, dan
kekuatan itu diharapkannya bisa digunakan untuk mendukung PPP.370 Ismail ketika itu juga

369

Menjelang Pemilu 1987, Abdurrahman di depan massa PDI mengatakan bahwa jika ada warga NU yang aktif di PDI, ia
akan mendukung. Sebab PDI 'kan kecil, kayak anak yatim. Wajar kalau mengharap warga NUmendukung PDI." Lihat
Tempo, 21 Maret 1987.
370 Lihat Surabaya Post, 24 November 1989.

151

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


menyerahkan bantuan dari DPP untuk muktamar. Namun sebelum DIY kabarnya telah
membantu membangun saluran air sekaligus memasang blok beton di halaman kompleks
Pesantren Krapyak. Sementara DPP Golkar memberikan bantuan keuangan.371
Lontaran kekhawatiran Mahbub di tahun 1987 bahwa NU hanya akan seperti perawan
yang ditarik kian kemari oleh para kontestan di setiap pemilu,372 dengan segera terasa sangat
beralasan. Maka mengantisipasi diincarnya tokoh-tokoh NU oleh ketiga OPP, entah sebagai
vote getter maupun calon di lembaga legislatif, dalam Rapat Pleno PB NU, 18-29 Mei 1991,
dibahas rancangan SK PB NU tentang petunjuk menghadapi pemilu.373 Rancangan itu
mengatur antara lain bahwa warga NU, termasuk pengurus harian, boleh dicalonkan oleh
orsospol sebagai anggota MPR/DPR maupun DPRD. Namun begitu namanya tercantum
sebagai calon tetap, ia harus meninggalkan jabatannya di NU. Setelah pemungutan suara
selesai dan masuk ke lembaga legislatif, ia kembali memegang jabatannya. Lalu utusan PW
NU Jawa Timur mengusulkan agar begitu terpilih sebagai anggota badan legislatif sebaiknya
yang bersangkutan dibebaskan dari jabatannya. Akhirnya rapat memutuskan sebuah jalan
tengah: mereka yang menjabat sebagai pengurus harian dan terpilih dalam pemilu, dialihkan
ke jabatan yang tidak terlalu menentukan. Ketetapan ini juga berlaku bagi pengurus badan
otonom, lembaga, dan lajnah di lingkungan NU.
Dalam rapat pleno ini pula, Ketua PW NU Jawa Timur Mohammad Thohir
dikabarkan telah melobi peserta lain agar kasus keterlibatan Abdurrahman dalam Forum
Demokrasi dimasukkan dalam agenda sidang. Namun lobi ini tidak berhasil. Rupanya,
kebanyakan peserta sidang merasa khawatir jika persoalan FD dibicarakan, bisa saja
keterlibatan pengurus NU lainnya di ICMI dan MUI juga dipermasalahkan. Seperti
kebanyakan usaha untuk menyerang Abdurrahman Wahid dalam periode ini, keinginan untuk
mempersoalkan keterlibatannya dalam FD pun sebenarnya akan merikuhkan pengkritik itu
sendiri, dan cenderung akan gagal. Sebabnya adalah karena Abdurrahman Wahid sendiri
selalu konsisten akan kebebasan setiap warga NU untuk memilih saluran aspirasi politiknya
masing-masing. Sikap ini sulit diragukan bahkan oleh penentangnya yang paling keras
sekalipun. Ia, misalnya, tidak pernah mempersoalkan keterlibatan anggota PB dalam ICMI,
371

Tempo menyebutkan jumlah bantuan itu adalah sama seperti yang diberikan oleh PPP, yakni sebesar 5 juta rupiah. Lihat
Tempo, 2 Desember 1989. Namun Surabaya Post menyebutkan jumlah 25 juta, op. cit. Sulit dilakukan konfirmasi. Akan
tetapi mengingat kemampuan finansial Golkar yang jauh di atas PPP dan membandingkan dengan bantuan-bantuan Golkar
ke berbagai pesantren yang biasanya selalu dalam jumlah besar, maka angka yang disebutkan oleh Surabaya Post rasanya
lebih dapat diterima.
372 Mahbub Djunaedi, Khittah Plus, op. cit.
373 Tempo, 25 Mei 1991.

152

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


sekalipun ia pribadi menolak karena menilai ICMI mewakili pandangan bahwa untuk dapat
melakukan perubahan adalah sangat penting untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan, baik
sebagai pelaku langsung maupun hanya sebagai perumus kebijaksanaan dan/atau jalur
penetapan bagi personalia yang bergerak dalam pemerintahan. Pandangan ini terlalu
mementingkan keharmonisan hubungan dengan pemerintah, sehingga dikritiknya telah
menomorduakan segala hal, termasuk proses demokratisasi politik yang berintikan
perjuangan membangun struktur masyarakat yang lebih adil.374 Ia sendiri lebih
mengutamakan pengembangan kemampuan melakukan perubahan, tanpa harus masuk ke
dalam sistem kekuasaan. Dan inilah dasar pemikirannya tentang FD.
Konsistensi sikap di atas juga ditunjukkan oleh Abdurrahman berkaitan dengan
Pemilu 1992. Ia tidak bereaksi apa pun ketika di tahun 1990 sejumlah kecil tokoh PPP asal
NU menyeberang ke PDI, yang dalam pernyataan mereka dikatakan bahwa eksodus itu
membawa keinginan untuk memberi warna Islam, NU khususnya, pada PDI.375 Ia juga
membiarkan Chalid Mawardi, salah seorang Ketua Tanfidziyah, berkampanye untuk Golkar
di tahun 1992. Ketika Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah, Ircham AR, menyatakan bahwa
beberapa kyai NU yang pada Pemilu 1987 meninggalkan PPP dalam pemilu mendatang akan
pulang kandang", Abdurrahman Wahid tidak mempersoalkannya. Ia mempersilahkan warga
NU yang ingin pulang kandang untuk memilih PPP kembali.376
Tampaknya, Gus Dur meyakini bahwa kadar heterogenitas warga NU yang tinggi
membuat tidak mungkin untuk menyeragamkan hitungan dan cara langkah politik mereka
secara keseluruhan. Akan tetapi, bahwasanya sebagai apa yang disebut suatu jamaah dan
telah terformalisasi dalam sebuah jam'iyah, adalah keharusan bagi warga NU, di tengah
heterogenitas cara langkahnya, untuk tetap berada dalam satu arah langkah yang sama. Sebab
jika kesamaan arah itu tidak dimiliki NU, warga dan tokohnya yang menyebar di berbagai
orpol sulit untuk diidentifikasikan sebagai orang NU, yang akibat selanjutnya adalah
lemahnya solidaritas antar warga yang telah menyebar itu. Cara pandang inilah yang menjadi
alasan obyektif ketika Gus Dur pada 1 Maret 1992 melakukan apa yang oleh sebagian
pengamat disebut-sebut sebagai upaya political reallignment NU, dan oleh mereka yang
skeptis dinilai tidak lebih dari sekadar show of force seorang Abdurahman Wahid, sementara
oleh NU sendiri dinamakan sebagai Rapat Akbar 1992. Rapat akbar ini berasal dari gagasan
374

Tentang penilaian Abdurrahman Wahid yang cukup seimbang terhadap ICMI ini, lihat tulisannya, "NU, Pluralisme dan
Demokratisasi Langkah Panjang," dalam M Imam Aziz, et. al., op. cit., h. 221.
375 Lihat Tempo, 26 Mei 1990.
376 Lihat Kedaulatan Rakyat, 11 Januari 1992.

153

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Gus Dur yang justru disampaikannya pertama kali kepada Presiden saat diadakan pertemuan
empat mata di Jl. Cendana, 17 Oktober 1991. Berbekal lampu hijau dari Presiden, Gus Dur
segera mengatur langkah persiapan, yang dimulainya dengan menawarkan rencana rapat
akbar itu kepada sebuah Rapat Pleno PB NU, pertengahan Desember. Tetapi sebagian besar
peserta rapat yang dipimpin oleh Yusuf Hasyim itu ternyata menolak. Akibatnya, rencana itu
gagal dimasukkan sebagai program PB melalui Munas dan Konbes di Bandarlampung. Tapi
Gus Dur lalu membuat ancaman: jika PB NU tidak menyetujui gagasannya, ia akan berjalan
sendiri bersama para santri alumni Tebuireng serta sebagian warga NU.377 Rupanya ia sadar
betul akan kapasitasnya. Kalaupun ia melaksanakan gagasannya itu sendirian, orang pasti
akan tetap menganggapnya sebagai proyek NU dan bukan Abdurrahman Wahid pribadi. Jadi
baginya sendiri tidak ada bedanya baik PB NU menerima gagasan itu atau tidak, dan karena
itu PB NU tidak punya pilihan lain kecuali menerimanya. Jika tidak, PB nantinya hanya akan
menanggung akibat dari apa yang tidak dilakukannya, jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan.
Lalu atas usulan Hasyim Latief, salah seorang Rais Syuriyah, PB NU mengadakan
rapat pada 9 Februari, yang akhirnya memutuskan untuk menerima rencana Gus Dur itu.
Keputusan rapat ini jelas bukan merupakan penerimaan aklamatif terhadap gagasan rapat
akbar, sebab beberapa tokoh PB seperti Yusuf Hasyim dan Chalid Mawardi tetap menolak.
Rasanya lebih tepat untuk menyebut PB telah dihadapkan pada sebuah fait accompli yang
sampai kadar tertentu juga dilakukan Gus Dur terhadap pembantu-pembantu Presiden yang
bertanggungjawab atas politik dalam negeri. Andalannya tentu adalah izin dari Presiden,
meskipun hanya lisan.378 Namun rekomendasi dan izin resmi dari pejabat yang berkompeten
ternyata tidak begitu saja mudah didapat. Mendagri Rudini, Menko Polkam Sudomo, dan
dengan cara lebih lunak Mensesneg Murdiono, semula berkeberatan dengan rencana rapat
akbar itu. Alasan mereka adalah faktor pengamanan massa peserta rapat yang semula
direncanakan sejumlah dua juta orang, meskipun Pangab, Kassospol ABRI, dan Pangdam
Jaya telah menyanggupi pengamanan itu. Gus Dur mesti menunggu selama sembilan hari dari
19 hingga 28 Februari sejak ia mengajukan surat permohonan rekomendasi untuk
memperoleh izin, hingga keluarnya izin yang dimaksud dari Mabes Polri.379 Di tengah
377

Lihat Editor, 7 Maret 1992, h. 26.


Tidak begitu jelas mengapa Suharto dapat dengan mudah memberi izin. Namun sangat boleh jadi ia mengharapkan
bahwa Rapat Akbar NU akan membuat semacam pernyataan kebulatan tekad untuk mendukung pencalonannya kembali
sebagai presiden. Jika dugaan ini benar, Suharto mungkin kecewa, sebab rapat akbar ternyata tidak mengeluarkan
pernyataan semacam itu.
379 Tentang kronologis sulitnya rekomendasi dan izin pelaksanaan rapat akbar itu, lihat Editor, 7 Maret 1992, h. 18.
378

154

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


penantian itu Gus Dur suatu ketika membuat pernyataan yang agak konfrontatif bahwa jika
sampai tanggal 26 pemerintah tidak memberi izin, ia akan menganggap pemerintah memang
melarang, sambil memperingatkan bahwa jika rapat akbar dilarang maka yang rugi adalah
pemerintah sebab "rapat akbar ini lebih efektif daripada 1.000 kali penataran P-4."380 Namun
deadline ini tidak terlewati, karena pada tanggal 25 malam rekomendasi lisan dari Rudini
diperoleh, setelah lewat pertemuan segitiga Gus Dur, Rudini, dan Murdiono dibuat kompromi
mengenai jumlah peserta rapat akbar menjadi hanya 200 ribu orang.
Berbeda dengan proses perizinannya yang berbelit-belit, maka acara rapat akbar
dalam praktek, yang tidak dihadiri oleh Yusuf Hasyim dan tokoh-tokoh NU lain seperti
Anwar Musaddad, Usman Abidin dan Ali Yafie, sebenarnya berlangsung biasa-biasa saja.
Rapat Akbar NU '92 dimulai dengan pembacaan Al-Qur'an bersama-sama, dan diakhiri
dengan parade dakwah dari beberapa mubalig NU seperti KH Zainuddin MZ, serta tampilnya
beberapa penyair. Namun di sela-sela setiap acara, massa terus dipimpin untuk bersama-sama
membaca shalawat badar (pujian kepada Nabi yang khas NU). Dalam tradisi NU, shalawat
ini biasanya juga digunakan sebagai penegasan solidaritas dan rasa persatuan antar warga.
Sehingga tidak diragukan lagi, selama acara rapat akbar emosi warga telah digiring pada
suasana yang kondusif bagi penyatuan pandangan. Dan ketika titik kulminasi dicapai, sebagai
acara puncak rapat akbar ini, KH Buchori Masruri, Ketua PW NU Jawa Tengah, tampil
membacakan 5 pasal ikrar NU.381 Ikrar ini pada umumnya adalah penegasan terhadap
keputusan Situbondo, terutama sekali pandangan tentang hubungan Islam dan negara yang
dahulu oleh NU telah dirumuskan dengan sangat mengesankan bahwa, dalam bahasa KH
Achmad Siddiq ketika itu, Negara RI adalah bentuk final. Kedua, NU menegaskan
kesetiaannya kepada Pancasila dan UUD 1945 dan bertekad untuk bersungguh-sungguh
mengamalkan dan mengamankannya. Lalu ikrar itu juga membuat pernyataan kesiapan NU
untuk memasuki pembangunan nasional tahap kedua, sambil menyampaikan rasa syukur atas
hasil-hasil pembangunan selama ini. Selanjutnya NU juga menyatakan kesiapan untuk
mengikuti Pemilu 1992. Dan akhirnya ditutup dengan tekad NU untuk mengamankan SU
MPR 1993. Jelas ikrar itu, yang pada 26 Maret diserahkan kepada Presiden oleh sembilan
orang anggota teras PB NU, sama sekali tidak menyebut-nyebut soal dukungan terhadap
pencalonan kembali Suharto. Makna terpenting Rapat Akbar '92 pastilah sebagai peneguhan
solidaritas baru dan pencarian identifikasi diri NU yang juga baru, ketika warganya telah

380
381

Ibid.
Tempo, 7 Maret 1992.

155

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


semakin banyak menyebar dalam setiap orpol. Hal ini dapat menjelaskan, setidaknya untuk
sebagian, mengapa NU dapat melewati masa Pemilu 1992 tanpa gejolak apa pun dan tanpa
perlu ada rekonsiliasi pasca-pemilu seperti yang dilakukan pada bulan Juni 1987.
Manfaat lain yang dapat diambil bagi Abdurrahman sendiri adalah pembuktian akan
masih besarnya dukungan dalam tubuh NU terhadapnya, sekalipun tidak dapat dibuktikan
bahwa ia memang sejak awal telah menjadikan manfaat ini sebagai bagian dari tujuan Rapat
Akbar. Besarnya antusiasme warga terhadap event ini, baik yang dibuktikan dengan
kehadiran mereka di Parkir Timur Senayan tempat acara itu dilaksanakan maupun, terlebih
lagi, yang ditunjukkan dengan banyaknya warga yang kecewa karena tidak dapat mengikuti
rapat akbar akibat pembatasan yang dilakukan, akan memaksa para penentang Abdurrahman
Wahid dalam NU untuk berpikir dua kali sebelum menunjukkan perlawanan secara terbuka
terhadapnya.
Dan akhirnya, Rapat Akbar '92 juga telah menjadi indikator semakin akomodatifnya
inner circle kekuasaan Indonesia terhadap umat Islam. Adalah untuk pertama kalinya sejak
kebijaksanaan massa mengambang pemerintah mengizinkan sebuah ormas melakukan
pengerahan massa besar-besaran dalam suatu acara. Yang terjadi biasanya, pengerahan massa
semacam itu hanya diizinkan bagi OPP saat masa kampanye pemilu. Bahkan, Rapat Akbar
diselenggarakan tepat di hari pertama pelarangan yang diberlakukan Depdagri karena sudah
mendekati pemilu.382 Selanjutnya, bahwa rapat akbar ini berintikan pemberian legitimasi
terhadap kekuasaan negara, meskipun tanpa menyebut nama tertentu, telah menunjukkan
terjadinya proses saling memberi konsesi antara NU dan pemerintah. Dan melihat begitu
mudahnya Gus Dur memperoleh izin dari Suharto, tidak diragukan lagi bahwa, seperti
disinyalir oleh Feillard, ada harapan tertentu yang sedang diletakkan di pundak NU, dan,

...jelas akan merupakan bunuh diri bagi NU untuk berpaling ..Satu-satunya langkah
yang bisa dilakukan adalah mengakomodasi, berkompromi, dan bersikap sebagai pemain
yang baik. Kalau dilihat dari "kesehatan" NU yang kian membaik, sang Pemain, sejauh ini
terbukti telah berlaku sangat cerdik.383

382

Diberitahukan bahwa pemerintah-pemerintah daerah telah secara ketat melakukan pembatasan terhadap warga NU di
daerahnya yang hendak mengikuti rapat akbar. Lihat antara lain ibid., h. 23-24.
383 Andree Feillard, "Isyarat Politik Setelah Situbondo," dalam Editor, 7 Maret 1992, h. 31. Cetak miring dari Penulis, kalau
"sang Pemain" di situ dapat ditafsirkan sebagai Abdurrahman Wahid.

156

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Tetapi masalah pembatasan jumlah peserta Rapat Akbar rupanya masih menjadi
ganjalan bagi Gus Dur. Meskipun kompromi yang dibuat telah menetapkan jumlah peserta
hanya 200 ribu orang, pada awalnya Abdurrahman tetap memperkirakan rapat itu akan
dihadiri 700 ribu warga NU. Dan ketika, akibat pembatasan yang dilakukan secara konsisten
oleh aparat pemerintah sampai level terendah, jumlah peserta benar-benar hanya 200 ribu
orang atau bahkan sedikit di bawah itu, tak urung Gus Dur merasa kecewa. Setidaknya itu
tercermin dalam sebuah memo pribadi yang disampaikannya kepada Presiden.384 Dalam
memo ini Gus Dur mengulangi bahwa Rapat Akbar semula --dengan dua juta peserta-diharapkan sebagai pemberi legitimasi kepada NU untuk menata orientasi keagamaan kaum
muslimin Indonesia serta pemahaman mereka akan hubungan agama (Islam) dan negara.
Namun karena jumlah peserta Rapat Akbar jauh di bawah target semula, maka sasaran utama
NU untuk memperoleh legitimasi dari umat Islam tidak tercapai. Kegagalan legitimasi untuk
penataan orientasi keagamaan itu bisa mengakibatkan tanggung jawab akan pindah sematamata ke pundak pemerintah, tidak lagi menjadi beban NU. Bila pemerintah juga gagal
melakukan penataan itu --yang ditujukan untuk mengatasi isu sektarianisme yang
mengakibatkan munculnya sikap tertutup dan menekankan perbedaan yang membahayakan
persatuan-- Gus Dur mengkhawatirkan dalam tempo sepuluh tahun Pancasila akan kembali
terancam.
Bahwa memo itu akan mendatangkan tanggapan yang skeptis boleh jadi sudah dapat
diduga. Yusuf Hasyim, yang sejak semula tidak menyetujui Rapat Akbar, menuduh Gus Dur
telah "jalan sendiri" dengan membuat memo kepada Presiden. Karena isinya merupakan
evaluasi langkah NU, memo itu seharusnya dibicarakan dulu dalam rapat PB NU. Lalu
Amien Rais, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, secara kurang tepat menilai memo itu
insinuatif, provokatif, dan tendensius, sebab hal itu bisa ditafsirkan seolah-olah umat Islam
mempunyai kecenderungan sektarianisme dan eksklusivisme yang bisa memecah persatuan
bangsa.385 Penilaian ini terasa agak tergesa-gesa. Sudah tentu Gus Dur tidak hendak
mengatakan bahwa umat Islam memiliki kecenderungan demikian. Namun bahwa dalam
setiap kelompok masyarakat pasti ada sayap-sayap ekstrem yang mempunyai kecenderungan

384

Memo ini untuk sebagian dapat ditafsirkan sebagai keluhan kepada Suharto tentang pembantu-pembantu dan aparataparatnya, yang tidak bisa mengikuti secara persis irama politik akomodatif Suharto.
385 Lihat Tempo, 4 April 1992.

157

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


negatif tertentu, yang juga terjadi dalam tubuh umat Islam Indonesia, adalah hal yang tidak
dapat dipungkiri dan ditutup-tutupi.386
Terlepas dari kekecewaan Abdurrahman itu, Rapat Akbar sesungguhnya telah cukup
efektif bagi konsolidasi internal warga NU. Sehingga perbedaan aspirasi politik mereka yang
kian menyebar tidak menjadikan Pemilu 1992 sebagai suatu yang krusial bagi NU
sebagaimana yang terjadi dengan Pemilu 1987. Tapi itu juga membawa implikasi eksternal
lain: PPP masih sulit untuk mengembalikan massa NU yang dahulu telah meninggalkannya.
Pemilu 1992 tidak menunjukkan perubahan distribusi hasil yang terlalu besar dari Pemilu
1987. Di sini, PPP memang mencatat kenaikan prosentase perolehan suara, namun itu hanya
cukup untuk menambah satu kursi di DPR dari 61 kursi di tahun 1987 menjadi 62 kursi di
tahun 1992. Sementara itu secara total dalam DPR dan MPR hasil Pemilu 1992 terdapat
sejumlah 76 orang tokoh NU yang duduk di kursi anggota. Mereka menyebar sebagai wakil
dari PPP, Golkar, PDI, dan Utusan Daerah.387 Dalam perkembangan selanjutnya, penyebaran
warga NU semakin nyata ketika KLB PDI mencantumkan nama KH Khaliq Murad, seorang
tokoh NU yang cukup berpengaruh dari Pesantren Mranggen Semarang, sebagai salah
seorang Ketua DPP PDI. Hal ini tentu lalu dapat ditafsirkan bahwa hambatan psikologis
antara NU dan PDI sebagai akibat adanya sekat-sekat aliran santri-abangan-priyayi telah
mulai mencair. Namun dalam pada itu tidak sedikit pemerhati yang menangkap isyarat akan
menguatnya kembali politik aliran dalam pentas politik Indonesia. Mereka sepakat bahwa
terbentuknya ICMI serta naiknya Megawati, yang sulit disangkal telah membawa citra
Sukarno bahkan sukarnoisme, ke puncak pimpinan PDI adalah indikator ke arah itu. Lalu
bagaimanakah seharusnya fenomena-fenomena yang tampaknya berlawanan ini ditafsirkan?
Adalah kompetensi kajian lain yang lebih spesifik untuk menjawabnya.

Lapangan Baru Pasca-Khittah

Kalau ada kekeliruan terbesar yang telah dilakukan NU selama periode aktualisasi
peran politiknya, itu pastilah terabaikannya begitu banyak bidang garapan akibat aktivitas
yang terkonsentrasi pada politik semata-mata. Sehingga meskipun NU telah membukukan
catatan-catatan gemilang tentang prestasi politiknya, dalam banyak hal lain NU
386
387

Belakangan masalah memo ini diramaikan kembali karena tulisan Adam Swadrz. dalam buku A Nation in Waiting (1994).
Lihat Editor, 17 Oktober 1992.

158

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


sesungguhnya menyimpan sejumlah kelemahan. Masalah taraf perekonomian kebanyakan
warga yang masih lemah, atau masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia NU, adalah
contoh kelemahan itu. Kekeliruan ini mulai diperbaiki ketika politik tidak lagi menyita habis
perhatian NU. Cukup banyak sebenarnya bidang-bidang yang dibenahi NU sejak 1984.
Namun di sini hanya akan dilihat beberapa bidang garapan terpenting, seperti pengembangan
sumber daya manusia, penataan perekonomian warga, dan pendidikan. Pembahasan dalam
bagian ini sangat bersifat teknis dan terasa kurang menarik, namun maksud utamanya adalah
untuk membuat gambaran betapa NU telah mengambil manfaat yang cukup besar dari
ditinggalkannya kegiatan politik praktis yang memungkinkannya untuk juga memperhatikan
bidang-bidang lain.
Bidang yang nampaknya menjadi perhatian pertama dalam pembenahan NU adalah
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Boleh jadi sebabnya adalah karena setelah
Khittah kelompok cendekiawan mengorbit ke puncak struktur kewenangan NU, sehingga
wajar jika concern pada masalah sumber daya manusia terasa sekali. Hanya empat bulan
setelah Muktamar Situbondo, berdasarkan SK PB NU No. 16/A-V/04/IV/1985 pada tanggal 6
April 1985 di Jakarta didirikan Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia
(Lakpesdam), yang berada langsung di bawah PB NU. Lalu pada 30 November tahun
berikutnya, dalam acara Lokakarya Penataan Program NU DIY, berdiri badan dengan nama
yang sama tetapi akronimnya berbeda, LKPSM, di bawah PW NU DIY. Kedua badan ini
pada dataran konseptual melakukan kajian, penelitian, dan penerbitan yang mengarah pada
tujuan gerakan transformatif.
Sedang pada dataran aksi, secara simultan, dilakukan pelatihan dan pengembangan
masyarakat. Lakpesdam misalnya, di mana saat ini bekerja sebelas orang sarjana sebagai
tenaga profesional yang bekerja penuh, telah merintis pembuatan Pusat Dokumentasi NU.
Arsip-arsip lama NU, termasuk kitab-kitab klasik yang menjadi acuan utama NU, di samping
dikirim ke LIPI juga dikirim ke Lakpesdam. Di LIPI bahkan, bekerja sama dengan Monash
University, arsip-arsip itu telah disimpan dalam bentuk microfilm. Lakpesdam juga telah
ratusan kali melakukan fasilitasi dan pelatihan, dari tingkat pusat sampai ke tingkat terbawah,
terutama untuk mencetak kader-kader organisasi NU. Di samping itu juga pelatihan
keterampilan dan tenaga profesi yang dikaitkan dengan pilot project tertentu seperti
peternakan, pertanian, dan sebagainya.

159

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


BAB VI
PROSPEK NU

PERTANYAAN yang kiranya paling relevan saat orang berbicara tentang prospek
NU adalah, mungkinkah NU kembali menjadi partai politik? Atau setidaknya mungkinkah
NU kembali mempunyai afiliasi formal terhadap salah satu partai politik? Jawaban yang
paling mendekati kemungkinan sebenarnya bagi pertanyaan-pertanyaan itu, maupun
pertanyaan-pertanyaan lain berkaitan dengan prospek NU, hanya dapat ditemukan melalui
pengamatan yang sekaligus menggunakan lensa kultural dan lensa struktural.
Dalam perspektif kultural, satu hal yang mesti memperoleh aksentuasi ialah bahwa
NU adalah organisasi yang tidak dapat diharapkan konsisten dalam sikap-sikap, keputusankeputusan, dan pilihan politiknya, selama hal itu tidak berimpit dengan sejumlah ajaran
agama yang dianutnya.388 Ajaran agama itu adalah Islam menurut paham Ahlussunnah
Waljamaah. Dengan pemahaman ini maka setiap keputusan yang tidak memiliki kaitan
langsung dengan ajaran keagamaan itu baik tentang bentuk organisasi, afiliasi dengan parpol
tertentu, dan sebagainya, atau bahkan tentatif. Terutama sekali haruslah dipandang sebagai
keputusan yang temporer. Artinya, keputusan-keputusan itu diambil karena dipandang paling
menguntungkan menurut konteks makro yang ada. Jadi pertimbangannya sangatlah
pragmatis, dan sejauh tidak bertentangan dengan kaidah keagamaan yang diyakini dan yang
penegakannya dijadikan tujuan terawal NU. Itulah sebabnya, melihat ke masa lalu, NU dapat
menerima konsep Nasakom sambil pada saat yang sama tetap meneriakkan penentangannya
terhadap komunisme. Sikap NU terhadap komunisme adalah sikap politik yang berimpit
dengan pandangan keagamaan, dan karenanya NU tetap konsisten menolak ideologi atheistik
itu. Akan tetapi mengenai sikap terhadap konsep yang mengharuskannya berada dalam proses
politik yang di dalamnya dilibatkan pula orang-orang komunis, persoalannya bukan lagi
tentang sikap keagamaan namun semata-mata pertimbangan

politik murni. Di sini ada

persoalan survival. Sebab jika NU menolak konsep Nasakom, pastilah sebagai parpol ia akan
merasakan implikasi negatif penyederhanaan kepartaian yang dilakukan Sukarno. Namun
yang lebih penting, NU tentu tidak ingin melihat pentas politik nasional didominasi oleh
388

Lihat uraian selengkapnya tentang hal ini dalam Abdurrahman Wahid, Pendekatan NU Selalu Kultural," dalam Pelita, 10
November 1984.

160

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


orang-orang komunis yang selamanya dianggap sebagai lawan, kalau bukan musuh. Karena
itu NU memilih untuk melibatkan diri di sana. Dengan pemahaman yang sama dapat
dijelaskan bahwa keputusan tentang bentuk organisasi NU bukanlah hal yang berimpit
dengan pandangan keagamaan dan oleh sebab itu tidak bisa diharapkan adanya konsistensi
yang membuat keputusan itu permanen. Bentuk organisasi bagi NU seperti sering
dikemukakan dalam bab-bab terdahulu, tidak pernah dijadikan sebagai tujuan, apalagi tujuan
akhir. Ia lebih merupakan alat pencapaian tujuan, di mana secara kontekstual alat yang efektif
untuk hari ini belum tentu efektif hari esok, dan seterusnya. Sehingga bisa dipahami bahwa
perspektif kultural kemungkinan NU menjadi parpol kembali selalu ada. Tapi pertanyaan
selanjutnya tentu, seberapa besar kemungkinan itu?
Di sinilah lensa struktural harus mulai digunakan. Jika diamati, perubahan-perubahan
penting yang terjadi pada lingkup mikro NU sebagian besar, kalau bukan semuanya, sampai
tingkat tertentu sebenarnya adalah resonansi dari perubahan yang terjadi pada konteks makro
sistem politik Indonesia. Begitu pula keputusan untuk mengubah bentuk organisasinya
kembali menjadi jam'iyah diniyah. Setidaknya ada dua hal penting yang terjadi pada
kepolitikan nasional yang mendorong lahirnya keputusan itu. Satu yang akan disebut pertama
telah disadari betul oleh semua pemerhati politik Indonesia, bukan hanya NU, oleh karena hal
itu sudah berlangsung sejak Orde Baru lahir; sedang yang lain secara mengesankan telah
berhasil diantisipasi oleh NU sebelum dijadikan kebijaksanaan resmi. Dua hal itu adalah,
pertama, peran partai-partai politik telah diredusir sedemikian rupa sehingga aksesnya
terhadap proses pembuatan kebijaksanaan nasional menjadi sangat minim. Sementara jabatan
publik yang dapat dijangkau oleh parpol selain Golkar maksimal hanyalah kursi di lembaga
legislatif. Sehingga wujud sebagai parpol dipandang bukan lagi sebagai alat yang paling
efektif untuk mencapai tujuan bagi NU. Itulah sebabnya, sekalipun awalnya sedikit menolak,
NU dapat menerima kebijaksanaan fusi partai yang menempatkannya sebagai salah satu
unsur dalam PPP. Apalagi akhirnya rekayasa politik pemerintah hanya memperkenankan
adanya tiga OPP di Indonesia.
Kedua, yang muncul belakangan, pemerintah membuat kebijakan yang memisahkan
parpol dari ormas underbouw-nya, dan hanya memperkenankan parpol memiliki keanggotaan
perorangan. Itu berarti partai-partai hasil fusi 1973 tidak lagi relevan berbicara tentang unsur
dalam hal, misalnya, distribusi kepemimpinan internalnya maupun distribusi hasil perolehan
kursi di DPR. Hal itu hampir sepenuhnya berarti kerugian bagi NU sebagai unsur terbesar
dalam PPP. Maka pilihan terbaik bagi NU adalah keluar dari PPP, dan ini dilakukan beberapa
161

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


bulan sebelum pemerintah memberlakukan UU No. 3 Tahun 1985 yang memuat aturan di
atas. Jika asumsi di atas ini dapat disetujui, maka persoalan sejauh mana kemungkinan NU
kembali menjadi parpol atau secara formal berafiliasi ke parpol tertentu adalah ditentukan
oleh dinamika sistem politik Indonesia. Artinya, jika memang garis politik pemerintah yang
dimanifestasikan dalam undang-undang memperkenankan lahirnya partai politik baru, maka
sangat dimungkinkan NU akan tampil kembali sebagai parpol. Tentu saja jika itu didorong
oleh faktor determinan lain yakni jika pencapaian tujuan awal tentang penegakan Islam dalam
paham Ahlussunnah Wal Jamaah dipandang lebih efektif dengan kapasitas NU sebagai
parpol. Ketika semua faktor ini telah ada, muktamar tinggal lagi menjadi forum
konstitusional untuk memberikan legitimasi. Akan tetapi masalahnya, mungkinkah terjadi
perubahan dalam sistem kepartaian Indonesia, dan kalaupun terjadi perubahan mungkinkah
itu mengarah pada sistem yang memperkenankan lahirnya partai baru selain tiga yang telah
ada?
Sebuah teori tentang sistem kepartaian yang dikemukakan oleh Giovanni Sartori
agaknya dapat menjadi landasan bagi prediksi tentang itu. Sartori berpendapat bahwa sistem
kepartaian sebenarnya berjalan melalui tujuh tahap perkembangan, dengan gerak alamiah
seperti ayunan sebuah pendulum. Jika tidak ada faktor-faktor lain, suatu negara akan
mengikuti perkembangan itu.389 Ketujuh tahap perkembangan yang berjalan secara linear itu
adalah atomized party system, polarized-pluralism party system, moderate-pluralism party
system, two-party system, pre-dominant party system, hegemonic party system, dan singleparty system. Definisi masing-masing sistem ini secara singkat adalah sebagai berikut:

Atomized party system: terdapat banyak parpol tapi tak satu pun yang punya pengaruh
terhadap atau hubungan dengan parpol lain. Masing-masing hanya terikat pada satu
atau sekelompok orang pemimpin, sehingga hidup-matinya partai tergantung kepada
pemimpinnya.

Polarized-pluralism party system: terdapat lima atau enam parpol yang secara efektif
pada tingkat nasional membentuk struktur yang bipolar, yaitu sebagian parpol itu
membentuk koalisi pemerintahan, sementara sisanya membentuk koalisi oposisi.

Moderate-pluralism party system: terdapat maksimal lima parpol yang masing-masing


berkesempatan sama untuk memerintah (atau membentuk koalisi pemerintahan). Tiap

389

Teori Sartori ini adalah sebagaimana yang diikhtisarkan oleh Dr Riswanda Imawan, MA dalam kuliah "Sistem Kepartaian
dan Pemilu di Indonesia" di FISIPOL UGM, tanggal 24 Februari 1992. Pembahasan selanjutnya mengacu ke sini.

162

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


parpol menjadi elemen alternatif bagi pembentukan koalisi dan dalam tahap ini tak
satu pun partai bisa memperoleh suara mayoritas dalam pemilu.

Two-party system: sebenarnya bisa saja ada lebih dari dua parpol, tapi partai ketiga
dan seterusnya tidak cukup kuat untuk menantang salah satu atau kedua parpol besar
yang ada.

Pre-dominant party system: mulai tampak satu parpol yang terus-menerus


memenangkan mayoritas suara, sekalipun sudah mulai muncul open-market system
yang dengan itu sebenarnya suara-suara pemilih akan terdistribusi merata. Tapi suara
itu justru terpusat, sebab mulai muncul kesamaan-kesamaan kepentingan dalam
masyarakat.

Hegemonic party system: terdapat kompetisi antar parpol secara formal, tapi hanya
ada satu parpol yang menguasai tidak hanya pemilu tapi juga areal pembuatan
keputusan. Partai-partai lain berkedudukan sebagai partai kelas dua.

Single party system: di sini dikenal close-market system di mana satu partai
memonopoli sistem politik yang ada, dengan fungsi utama melaksanakan
kebijaksanaan yang dibuat pemerintah.
Perkembangan jumlah parpol, yang antara lain menentukan gerak dari satu bentuk

kepartaian ke bentuk kepartaian lain itu, adalah berbanding lurus dengan heterogenitas
masyarakat serta berbanding terbalik dengan faktor ideologi nasional. Artinya, semakin
heterogen masyarakat dan semakin lemah ideologi nasional maka parpol cenderung banyak.
Demikian sebaliknya. Heterogenitas masyarakat yang dimaksud adalah dari segi kultur dan
etnik. Akan tetapi ketika kepentingan kian beragam sehingga diperlukan semakin banyak
asosiasi kepentingan dan muncul kondisi cross cutting interest dan cross-cutting affiliation,
maka heterogenitas kultur dan etnik itu terabaikan, dan dalam hal ini masyarakat menjadi
homogen.
Secara alamiah, gerak pendulum akhirnya akan berhenti pada posisi menggantung
(vertikal), dan menunjuk pada two-party system. Sebab setelah pendulum sampai pada tahap
perkembangan single party system, arus balik modernisasi akan mendorongnya kembali ke
tengah. Dalam masyarakat yang kian modern single-party system sangat tidak ideal, oleh
karena kesadaran untuk memilih telah semakin besar.
Namun bagi Riswanda Imawan, gerak alamiah semacam itu sulit terjadi di Indonesia.
Sebab selain kedua faktor ideologi nasional dan heterogenitas masyarakat di atas, di
163

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Indonesia terdapat faktor ketiga berupa governmental intervention terhadap parpol yang akan
menihilkan arus balik modernisasi yang membawa pendulum ke tengah, sehingga ia tertahan
pada posisi single-party system.390 Jika Afan Gaffar sebagaimana dikemukakan dalam Bab I
di depan mengidentifikasikan sistem kepartaian di Indonesia saat ini sebagai hegemonic party
system, maka berdasarkan teori di atas perkembangan selanjutnya adalah menuju single party
system. Dan jika asumsi Riswanda bisa diterima, maka sistem ini akan relatif permanen di
Indonesia, setidaknya dilihat dari kondisi saat ini. Itu berarti akan segera muncul di Indonesia
apa yang oleh Sartori disebut sebagai cross-market system di mana satu partai tunggal
memonopoli proses politik yang sedang berlangsung, sementara partai lain kalaupun
diizinkan ada akan sangat tidak berarti apa-apa.
Dalam kondisi seperti ini, sudah pasti NU tidak akan berpikir untuk merubah diri
menjadi partai politik. Keseluruhan diskusi di atas akhirnya mengarah pada satu kesimpulan
bahwa adalah sangat kecil kemungkinan NU kembali menjadi partai politik di masa
mendatang. Sementara kemungkinan untuk memiliki afiliasi ke parpol masih sedikit ada, itu
pun kalau afiliasi terhadap partai tunggal yang memonopoli sistem politik dibenarkan.
Namun hal ini juga tidak begitu dapat diharapkan. Lebih mungkin NU tetap dalam
keadaannya saat ini, dan memaksimalkan pemanfaatan keuntungan yang dapat diambilnya
sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan yang berdiri di atas garis netralitas. Akan tetapi
prediksi ini rasanya mesti diikuti oleh pengakuan bahwa realitas politik sudah pasti tidaklah
sesederhana kalkulasi di atas kertas.

NU dan Muhammadiyah: Konvergensi Baru

Setelah terhadap pertanyaan tentang kemungkinan NU kembali menjadi parpol


ditawarkan jawaban, maka pertanyaan berikutnya yang juga memiliki relevansi dengan
prediksi tentang prospek NU, meskipun sedikit sekali atau bahkan mungkin sama sekali tidak
bermuatan politik, adalah bagaimana prospek hubungan NU dengan Muhammadiyah.
Hubungan yang selama berpuluh tahun telah menjadi persoalan krusial inilah yang selalu

390

Governmental intervention terhadap partai politik muncul di Indonesia menurut Riswandha adalah karena sekaligus dua
hal: pembangunan ekonomi yang bertitik berat pada model-model teknokratik dan peminjaman modal dari luar negeri
yang menuntut jaminan stabilitas politik dalam negeri serta kondisi partai-partai politik yang sedemikian rupa tergantung
kepada pemerintah.

164

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


menjadi tema sentral setiap kali baik NU maupun Muhammadiyah, atau pun pengamatpengamat netral yang berada di luar keduanya, berbicara tentang ukhuwah Islamiyah.
Kajian itu sulit, sebenarnya, untuk menemukan bangunan analisis yang kukuh untuk
membuat prediksi tentang hubungan NU dan Muhammadiyah. Akan tetapi perkembangan
sejak 1984 memberikan gambaran bahwa hubungan itu cenderung membaik. Baik NU atau
pun Muhammadiyah, setidaknya pada tingkat elit, tampaknya sama-sama berusaha secara
terus-menerus untuk menekan semakin banyak titik-titik kesamaan di mana mereka dapat
melakukan konvergensi, sambil secara simultan mencoba menafikan ganjalan berupa dilatasi
perbedaan-perbedaan yang selama ini telah menciptakan gap antara mereka. Kecenderungan
membaiknya hubungan ini boleh jadi adalah karena keduanya kini bergerak dalam dimensi
aktivitas yang sama. Jika dahulu perbedaannya sangat jelas ketika NU lebih banyak bergerak
di bidang politik praktis dan Muhammadiyah di bidang sosial-keagamaan, maka kini
keduanya sama-sama memiliki aksentuasi kegiatan dalam bidang yang disebut terakhir.
Dengan dimensi aktivitas yang kongruen itu NU dan Muhammadiyah memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing di mana mereka dapat saling mengisi.
Dalam pengamatan Nurcholish Madjid, kelemahan Muhammadiyah selama ini adalah
keterlepasan dari tradisi intelektual Islam yang menyebabkan terjadi "pemiskinan
intelektualisme beragama."391 Ini disebabkan oleh semangat kembali ke Al-Qur'an dan Hadits
yang oleh Muhammadiyah serta-merta diimpitkan dengan penolakan terhadap mazhabmazhab, yang sebenarnya adalah kristalisasi khazanah intelektual Islam yang sangat kaya di
masa silam. Sedangkan kelemahan NU adalah dalam hal metodologi. NU kalah dalam
pemikiran rasional dan dalam mengenali masalah aktual dalam masyarakat. Secara
karikaturis Nurcholish menggambarkan bahwa NU memiliki gudang dengan buku yang
sangat lengkap, tapi tanpa katalog sehingga buku-buku itu tidak dapat efisien
penggunaannya. Sedangkan Muhammadiyah mempunyai katalog yang baik dan sistematis,
tapi tidak ada buku. Di sinilah terbuka luas celah bagi kerja sama Muhammadiyah dan NU.
Oleh NU sendiri, langkah pendekatan dengan Muhammadiyah segera dimulai setelah
digariskannya perwajahan baru dalam muktamarnya yang ke-27. Sesaat setelah terpilih
sebagai Rais Aam, KH Achmad Siddiq menyatakan bahwa salah satu niatan NU dalam
semangat barunya adalah untuk "menggandeng Muhammadiyah". Pernyataan ini tak lama
kemudian mulai dicarikan rumusan operasionalnya. Bulan Januari 1985, rapat pertama
391

Lihat Tempo, 25 November 1989, h. 30.

165

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kepengurusan baru PB NU menggariskan perlunya langkah-langkah untuk mengakrabkan
hubungan dengan berbagai organisasi keagamaan Islam yang lain, khususnya dengan
kelompok terbesar di luar NU, yaitu Muhammadiyah. Selama ini ada gambaran yang bersekat
kaku antara NU dan Muhammadiyah, suatu gambaran stereotip yang berkaitan dengan kultur
dan gaya hidup masing-masing. Akibatnya, seolah ada dua sosok yang sangat berbeda.
Sebenarnya, dalam perbedaan itu pun terdapat manfaat yang bisa diambil. Perbedaan yang
berakar pada respons berlainan terhadap gerakan pembaharuan yang berusaha melakukan
purifikasi ajaran Islam itu sesungguhnya telah memberi NU dan Muhammadiyah masingmasing pengalaman yang berbeda-beda, dan dengannya mereka dapat saling melengkapi
ketika menghadapi problematika yang sama. Dalam alur logika ini Abdurrahman Wahid
berbicara

tentang

pengembangan

pemikiran

mengenai

"Islam

pasca

NU

dan

Muhammadiyah". Yakni suatu cara pandang kosmopolit yang tidak berangkat dari sekatsekat kelompok ketika melihat bangunan Islam secara utuh.
Lalu sebuah gagasan penting, yang meskipun tidak pernah terealisir tapi setidaknya
dapat menjadi shock therapy yang efektif, datang dari Yusuf Hasyim. Dalam seminar
"Menuju Satu Umat: Potensi dan Kendalanya" di Surabaya pada bulan Juli 1989, Yusuf
berbicara tentang gagasan keanggotaan ganda bagi warga NU dan Muhammadiyah, jika
persatuan kedua kelompok ini ingin direalisir secara lebih konkret.392 Sambil mengatakan
bahwa jika gagasan itu bisa diterima ia akan menjadi orang pertama yang menjadi anggota
NU sekaligus anggota Muhammadiyah, Yusuf berpendapat bahwa apabila persatuan NU dan
Muhammadiyah dapat terwujud, maka separuh dari persoalan umat Islam Indonesia telah
terselesaikan. Selama ini antara NU dan Muhanunadiyah tampaknya hanya dipisahkan oleh
masalah administratif dan organisasi semata-mata, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan
persoalan akidah. Untuk bisa menyatukan umat Islam, memang tidak perlu membubarkan
NU dan Muhammadiyah, sebab yang diperlukan adalah suatu forum bersama yang dapat
dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai problema yang mengganjal laju perjalanan umat
Islam. Amien Rais dalam seminar itu menyatakan persetujuannya terhadap usulan Yusuf
tersebut. Hanya saja sebelum sampai pada langkah keanggotaan ganda, perlu dipecahkan
terlebih dahulu berbagai hambatan yang selama ini menjadi halangan bagi ukhuwah NU dan
Muhammadiyah, misalnya perbedaan pandangan keagamaan dalam

hal

furu'iyah

(permasalahan cabang yang bukan permasalahan pokok). Secara teoretis kata Amien,

392

Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW
Mandala, 1992), h. 187.

166

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


masalah-masalah furu'iyah memang tidak usah menjadi penghambat, namun dalam realisasi
praktisnya masih sering menjadi sekat yang amat kaku terutama di kalangan bawah pada
masing-masing warga.393
Tapi rupanya bagi kelompok moderat yang kini dominan dalam tubuh NU, gagasan
keanggotaan ganda itu terlalu berlebihan. Mereka seperti biasanya tidak ingin NU berjalan
dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lainnya: divergensi yang parah antara NU dan
Muhammadiyah tidak perlu diatasi dengan kedekatan yang nyaris tanpa batas. Musthafa
Zuhad, misalnya, menilai bahwa gagasan keanggotaan ganda itu tidak realistis untuk
dilaksanakan, lepas dari persoalan perlu atau tidak perlu.394 Sementara dari Abdurrahman
Wahid jelas tidak akan bisa diperoleh persetujuan terhadap gagasan itu. Sekali tempo ia
pernah mengkritik usaha untuk menyusun kepemimpinan tunggal bagi umat Islam, baik
dalam bentuk langsung maupun tidak, yang dinilainya selalu membawa implikasi negatif bagi
umat. Implikasi negatif yang dimaksudkan boleh jadi adalah semacam legalisasi konflik,
perebutan hegemoni, dan seterusnya, seperti yang dicontohkan oleh kasus Masyumi ketika ia
dimaksudkan sebagai partai tunggal bagi umat Islam Indonesia. Menurut Abdurrahman
Wahid, yang diperlukan oleh umat adalah "upaya yang terus-menerus untuk mencari
konsensus melalui kepemimpinan yang beragam."395 Itu berarti, NU dan Muhammadiyah
tidak perlu sampai berpikiran tentang kondisi organisasional yang cross-cutted, dan lebih
baik mencari pola kerja sama dengan tetap mengindahkan, tanpa membesar-besarkan,
keragaman yang ada.
Dalam sebuah seminar nasional "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan
Keislaman" di Yogyakarta pada Januari 1993 Abdurrahman memberikan gambaran alternatif
pola kerja sama yang dapat digunakan oleh NU dan Muhammadiyah.396 Ia melihat bahwa
baik dalam Muhammadiyah maupun NU selalu ada polarisasi, kali ini dalam konotasi positif,
yang seringkali terjadi kekembaran antara polarisasi di NU dengan polarisasi di
Muhammadiyah. Misalnya pandangan tentang hubungan antara agama dan negara yang
secara umum memiliki dua cabang. Pertama, ada yang beranggapan bahwa Islam harus
diperankan secara eksplisit dalam kehidupan bernegara. Berarti sebagai kekuatan formal
393

Ibid., h. 188.
Wawancara Penulis dengan Ir. H Musthafa Zuhad, Wakil Sekjen PB NU, di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
395 Lihat Bab II
396 Makalah-makalah dan diskusi-diskusi dalam seminar yang menjadi momentum tersendiri bagi hubungan
Muhammadiyah dan NU ini, yang menampilkan 17 orang tokoh dan pakar dari kalangan NU dan Muhammadiyah serta dari
kalangan yang dianggap sebagai pengamat netral (sayangnya tidak menyertakan pula pengamat dari kalangan nonmuslim), telah didokumentasikan dalam sebuah buku. Lihat Yunahar Ilyas, et al., (eds.), Muhammadiyah dan NU:
Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993).
394

167

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Islam harus lahir, untuk selanjutnya dikembangkan dalam pemerintahan. Yang menjadi motif
dalam hal ini adalah pelaksanaan syari'ah sebagai undang-undang. Jadi pendekatan yang
digunakan adalah legal formalistik, di mana Islam harus diberlakukan sebagai hukum karena
ia memang adalah agama hukum.
Kedua, ada anggapan bahwa hukum itu adalah fikih yang merupakan bagian dari
syari'ah. Karena itu syari'ah tidak boleh direduksi menjadi hukum sebab ia adalah way of life
yang memiliki sisi formal dan sisi non-formal (moral, etika, dan lain-iain). Sehingga
walaupun tidak diundang-undangkan, ajaran Islam akan dilaksanakan oleh pengikutnya
melalui syari'ah dalam arti totalitas tersebut, bukan dalam arti legalisasi ajaran Islam dalam
undang-undang negara.
Polarisasi semacam itu selalu ada dalam NU dan Muhammadiyah. Dengan demikian
dalam NU ada dua pandangan, dan dalam Muhammadiyah juga ada dua pandangan yang
harus melakukan konvergensi adalah pandangan A di NU dengan pandangan A di
Muhammadiyah, serta pandangan B di NU dengan pandangan B di Muhammadiyah. Jadi
poros kerja samanya adalah A-A dan B-B, dan karenanya tidak perlu dan memang tidak
mungkin terjadi entitas antara NU dan Muhammadiyah. Dialognya pun menjadi bagaimana
pandangan A dengan A dan B dengan B bisa sering bertemu.397
Sebenarnya, ketika Yusuf Hasyim berbicara bahwa permasalahan NU dan
Muhammadiyah hanyalah pada hal administratif dan organisasi semata-mata, ia telah terlalu
menyederhanakan persoalan. Kalau saja masalahnya memang demikian sederhana, maka
ketika NU kembali ke wujud sebagai organisasi sosial-keagamaan, praktis hilanglah
penyebab kesenjangan antara kedua sayap utama umat Islam Indonesia itu. Berarti pula,
bukan hanya gagasan keanggotaan ganda, bahkan pemikiran untuk peleburan kedua
organisasi pun cukup relevan. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Perbedaan
antara NU dan Muhammadiyah mencakup pula perbedaan kultural, karena basis massanya
yang berbeda. Muhammadiyah mewakili kultur masyarakat kota, dan NU mewakili kultur
masyarakat pedesaan. Solusi bagi kesenjangan akibat perbedaan kultural itu sudah pasti
bukan peleburan, namun toleransi. Dan ini berpulang pada kedewasaan berpikir dan bersikap
masing-masing.

397

Lihat Ibid., h. 116-121, passim.

168

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Lalu perbedaan lain, yang jauh lebih signifikan daripada perbedaan furu'iyah yang
sebenarnya tidak cukup berarti untuk menyebabkan disharmoni, adalah berkaitan dengan
metode pengambilan keputusan hukum Islam. Muhammadiyah dengan ijtihadnya lebih suka
mencari rujukan langsung ke Al-Qur'an dan Hadits untuk itu. Sementara bagi NU, ijtihad
hanya boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai mujtahid yang tidak
setiap orang bisa sampai ke situ meski ia adalah ulama sekalipun. Oleh karena itu para ulama
NU lebih suka merujuk pada pendapat ulama terdahulu yang tercantum dalam kitab-kitab
yang diakui sah sebagai referensi dalam ilmu fikih mazhab Syafi'i ketika memutuskan hukum
atas suatu kasus. Perbedaan itulah yang menimbulkan kelemahan pada masing-masing
kelompok sebagaimana dalam penilaian Nurcholish Madjid yang dikutip di muka. Tidak
jarang NU gagal membuat keputusan atas kasus tertentu hanya karena tidak ada satu pun
kitab rujukan yang mengatur tentang hal itu, sementara mereka kurang berani untuk
melangkahi para mujtahid dengan merujuk langsung ke Al-Qur'an dan Hadits. Jika kegagalan
membuat keputusan hukum ini terjadi, maka kasus itu lalu diputuskan berada dalam status
mauquf (ditunda pemutusannya). Masalahnya, NU tentu tidak bisa terus-menerus menyikapi
begitu banyak masalah aktual hanya dengan memberinya status mauquf, sehingga misalnya
karena hukum bunga bank ditetapkan mauquf maka BPR Nusumma akhirnya semata-mata
berjalan di atas legitimasi fikih bahwa itu adalah pilihan yang lebih baik di antara dua pilihan
yang sama-sama buruk: menerapkan bunga bank atau membiarkan warga dalam jerat praktek
rentenir. Hal ini tentu tidak lagi memadai untuk mengantisipasi dinamika zaman.
Oleh karena itu dalam Munas Alim Ulama NU di Bandarlampung, Januari 1992,
diputuskan untuk membuka kembali kemungkinan dilakukannya istinbath.398 Secara leksikal,
istinbath mempunyai makna yang kurang-lebih sama dengan ijtihad. Keputusan ini
merupakan sebuah lompatan besar, di mana NU memulai tradisi baru penggunaan metode
kontekstual yang disebut manhaji. Metode ini berpedoman pada metode pemutusan hukum
(manhaj) yang digunakan para mujtahid yang menjadi referensi NU. Artinya, dengan metode
itu para ulama NU dimungkinkan mengambil keputusan hukum dengan merujuk langsung ke
Al-Qur'an dan Hadits. Tentu saja ini bukan persoalan sepele. Karena itu NU tetap membuat
batasan bahwa metode manhaji hanya boleh dilakukan secara kolektif, tidak boleh
perorangan, serta mengikutsertakan para pakar yang berkompeten dengan kasus yang
dihadapi. Di samping itu, setiap keputusan hukum harus mengandung diktum yang mudah
dipahami oleh orang awam, serta dilengkapi analisis masalah yang menerangkan rincian
398

Lihat Tempo, 1 Februari 1992, h. 30-31.

169

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


persoalan dan pemecahannya dengan bobot ilmiah yang memadai. Selanjutnya, keputusan itu
harus disertai pula dengan rumusan tindak lanjut dan jalan keluarnya. Batasan lain,
pembakuan metode ini tidak berarti ditinggalkannya metode qauli atau tekstual yang selama
ini digunakan NU. Itu berarti NU menggunakan cara pengambilan keputusan hukum yang
merupakan sintesa metode tekstual dengan metode kontekstual, atau metode qauli dengan
manhaji.
Prosedur pengambilan keputusan hukum itu digambarkan secara ringkas dan
sederhana oleh KH Ma'ruf Amin (Katib Syuriyah NU) meliputi empat tahap.399 Pertama,
dilihat apakah ada pendapat ulama terdahulu mengenai kasus yang dibahas. Ini disebut qaul.
Kalau ada, dan jumlah qaul itu hanya satu, maka pendapat satu-satunya itu yang dijadikan
keputusan. Kedua, bila jumlah qaul dalam kasus itu lebih dari satu, dan ada perbedaan
pendapat, maka dilakukan kompromi. Jika terpaksa, dilakukan apa yang disebut taqrir ijma'i;
yaitu upaya secara kolektif dalam menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa
pendapat. Di sini yang diutamakan adalah pendapat dua ulama mazhab Syafii yang terkenal,
yaitu Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Pilihan dalam prioritas selanjutnya adalah pendapat
yang didukung oleh mayoritas ulama. Ketiga, bila tidak ada qaul mengenai kasus yang
sedang dibahas, dilakukanlah ilhaq atau qiyas, yaitu menganalogikan masalah itu dengan
masalah serupa yang telah terjawab dalam salah satu kitab. Dan keempat, kalau ilhaq atau
qiyas itu tidak dapat dilakukan, barulah digunakan metode istinbath ijma'i, yaitu secara
kolektif, dengan merujuk langsung pada Al-Qur'an dan Hadits, menetapkan hukum di luar
pendapat-pendapat yang sudah ada.
Dengan dimulainya tradisi baru itu tidak bisa tidak NU telah melakukan reduksi
dalam prosentase yang cukup besar terhadap kesenjangan antara ia dengan Muhammadiyah.
Sehingga secara sederhana dapat diprediksikan bahwa sangat boleh jadi di masa-masa
mendatang akan semakin banyak penemuan titik-titik kesamaan yang sedikit demi sedikit
akan meminimalkan atau bahkan akhirnya mengeliminir disharmoni hubungan kedua pihak.
Dan akhirnya, dorongan ke arah konvergensi antara NU dan Muhammadiyah semakin
diperkuat oleh faktor eksternal berupa berkembangnya paham Syi'ah di Indonesia. Hal ini
sering disebut-sebut sebagai imbas suksesnya revolusi di Iran saat Khomeini berhasil
menjatuhkan Pahlevi. Akibatnya, paham Syi'ah yang menyemangati revolusi tersebut berhasil
mengembangkan daya tariknya di kalangan masyarakat Islam seluruh dunia, termasuk
399

Ibid., h. 31.

170

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Indonesia. Sejak dekade delapan puluhan, buku-buku karya ulama dan cendekiawan Syi'ah
banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga pemikiran-pemikiran mereka
banyak mempengaruhi generasi baru umat Islam Indonesia, terutama di kalangan terpelajar.
Persoalan ini pastilah memiliki implikasi tersendiri bagi hubungan NU dan Muhammadiyah.
Apa pun perbedaan yang ada di antara mereka, keduanya tetaplah sama-sama penganut
paham Sunni. Dan masuknya paham Syi'ah akan memberi mereka sebuah common problem.
Tentu saja, kondisi ini hanya akan bermakna positif, selama hal itu tidak membawa ekses
munculnya kesenjangan baru antara kelompok Sunni dan kelompok Syiah dalam tubuh umat
Islam Indonesia.

Hendak Ke Mana NU?

Sekalipun pertanyan di atas memaknakan perkiraan ke depan, akan tetapi jelas di


dalamnya secara substitutif terangkum satu pertanyaan: Apa yang telah dilakukan
Abdurrahman Wahid terhadap NU? Dengan lebih dahulu menjawab pertanyaan ini, outline
bagi gambaran prediktif hendak dibawa ke mana NU oleh Abdurrahman Wahid akan segera
terbentuk.
Apa yang telah dilakukan Abdurrahman Wahid? Pertanyaan retoris bernada sinisme
ini kerap dilontarkan oleh para pengritiknya sambil mereka menilai bahwa ia lebih banyak
berbicara daripada berbuat. Boleh jadi hal itu tidak terlalu salah, sebab selama dua periode
kepemimpinannya, Abdurrahman Wahid memang belum terlalu banyak menghasilkan
sesuatu yang tangible, yang antara lain sebenarnya disebabkan karena tidak banyak
pembantu-pembantunya yang mampu mengoperasionalkan konsep-konsepnya ke dalam
tataran aksi. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kondisi NU semasih dipimpin oleh
kalangan politisi, tuduhan ini terasa kurang relevan. Dan kalau diamati dengan jujur, akan
terlibat bahwa Abdurrahman Wahid telah banyak melakukan sesuatu yang esensial bagi NU.
Dialah yang telah mendorong NU untuk melakukan lompatan-lompatan transformatif yang
cukup berarti. Pada sisi ia jelas tidak tertandingi oleh pemimpin-pemimpin NU sebelumnya,
pasca-KH Wahid Hasyim. Sebagian dari transformasi yang dilakukannya telah sedikit
membuahkan hasil yang dapat terlihat, seperti kerja sama dengan pengusaha non-pribumi
yang menghasilkan BPR-BPR Nusuma, namun sebagian besar lainnya lebih bersifat

171

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


transformasi karakter NU yang karenanya tidak dapat membuahkan hasil yang begitu saja
kasat mata.
Satu yang terpenting adalah bahwa Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan NU dari
jerat eksklusivitas politiknya sendiri yang sektarian dalam segala konotasinya. Hal itu bukan
sekadar sesuatu yang kebetulan untuk menyebutnya semata-mata "manfaat positif Khittah",
tapi lebih merupakan bagian dari grand planning yang disusun bagi NU.400 Runtuhnya sekat
politik yang sempit itu telah membawa NU pada cakrawala yang lebih luas untuk lebih
mendahulukan penyelesaian persoalan bersama yang dihadapi seluruh bangsa daripada
sekadar berkutat dengan isu-isu yang spesifik Islam saja, meskipun yang disebut belakangan
ini tentu tidak bisa diabaikan pula. Dengan menyingkirkan cara pandang bahwa suatu
masalah tidak perlu turut dipikirkan NU hanya karena masalah itu tidak secara denotatif
"khas Islam" --tentang proyek industrialisasi Madura dan PLTN Muria misalnya-Abdurrahman Wahid telah sepenuhnya meletakkan NU secara integratif dalam wadah
bangsa,401 sebagaimana karakteristik yang ditunjukkannya di bawah kepemimpinan KH
Hasyim Asy'ari. Hal itu selanjutnya menghapuskan NU dari file "oposan" dalam format
politik nasional.
Selain itu, Abdurrahman Wahid telah memperbaharui rumusan hubungan antara
tradisionalitas yang dipegang NU dengan modernitas yang berada di hadapannya. Dalam
momentum Muktamar Situbondo ia berucap bahwa NU tidak pernah akan melepaskan jati
dirinya. Ia menggambarkan cita-citanya bagi NU: "Dalam intinya, saya ingin NU tetap yang
tradisional, tapi bisa memasakinikan dirinya sendiri."402 Dalam bahasa yang lebih ringkas ia
sedang merancang NU yang tradisional-kontekstual. Dengan demikian yang dibutuhkan
adalah kemampuan antisipatif yang optimal, dan di sinilah Abdurrahman Wahid
mengkontribusir perannya. Ia selama ini telah merubah aktualisasi kemampuan antisipatif
yang pada dasarnya sudah dimiliki NU dari sikap reaktif menjadi sikap responsif. Keduanya
tentu berbeda, sebab sikap reaktif mengesankan perilaku yang insidental dan mencakup
sesuatu hal secara parsial, sementara sikap responsif lebih didasari pertimbangan yang
matang dengan konsep yang jelas, meliputi hal yang lebih luas dan berjangka panjang.
Langkah NU untuk setahap demi setahap menampilkan diri sebagai kekuatan kultural yang
400

Menjelang Pemilu 1987 Abdurrahman Wahid menegaskan tujuannya ini, bahwa ia ingin NU meninggalkan masa lalu
yang sektarian dan bersisi untuk Islam saja, sementara sisi nasionalnya kurang dikembangkan. "Warga NU harus
memandang lebih luas, harus menjadi warga negara yang dinamis." Lihat Suara Pembaruan, 1 April 1987.
401 Cf: Seorang pengamat dari FISIP Unair, Dr Ramlan Surbakti, memberikan penilaiannya bahwa "Gus Dur inilah yang
membawa NU kembali ke arus bangsa." Lihat wawancara dengannya dalam Surabaya Post, 30 Januari 1994.
402 Lihat Tempo, 15 Desember 1994.

172

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


melakukan transformasi sosial tanpa merombak strukturnya, adalah contoh terpenting respons
positif NU terhadap ambivalensi kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam yang
menjadikan golongan ini tetap dibutuhkan sebagai kekuatan politik pada saat mereka
ditabukan sebagai gerakan politik formal.403
Dan yang tak kalah pentingnya, Abdurrahman Wahid telah merubah secara mendasar
perlakuan NU terhadap warganya. Jika dahulu warga diperlakukan lebih sebagai obyek, maka
di tangannya, NU mulai memandang warganya sebagai subyek. Semasa menjadi parpol
maupun ketika berfusi dalam PPP, NU seringkali hanya memperlakukan warganya sebagai
basis politik semata-mata. Sementara kepentingan umat ini, yang sedemikian rupa
paternalistiknya sehingga tidak memandang perlakuan NU yang pincang terhadap mereka itu
sebagai suatu yang perlu dipersoalkan, lebih banyak terabaikan. Lalu, hanya butuh waktu
empat bulan dari Muktamar 1984 bagi munculnya bukti bahwa di bawah kendali
Abdurrahman Wahid NU akan merubah caranya dalam meletakkan warga pada proporsi yang
semestinya, ketika di Jakarta dibentuk Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya
Manusia (Lakpesdam). Senada dengan LKPSM yang didirikan di Yogyakarta setahun
kemudian, lajnah ini telah melakukan serangkaian upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia di lingkungan warga NU untuk mengejar ketertinggalan kualitatif mereka dari warga
negara lainnya, yang selama ini seolah menjadi citra abadi para nahdhiyyin.
Jadi, setidaknya dalam ketiga hal mendasar di atas Abdurrahman Wahid telah
membawa NU kepada perwajahan baru. Pertama, tumbuhnya karakter inklusivistik NU
sambil pada saat yang sama meneguhkan kembali integralisasinya dalam kancah bangsa.
Kedua, aktualisasi kemampuan antisipatif NU ke dalam sikap responsif yang lebih bermakna
positif daripada sikap reaktif NU sebelumnya. Dan ketiga, perubahan cara pandang untuk
memperlakukan warga sebagai subyek dan tidak hanya obyek.
Dan sebagaimana lazimnya bahwa setiap proses selalu membutuhkan waktu, maka
begitu pulalah ketiga macam proses transformatif di atas. Kemudian karena sifatnya yang
mencakup hal-hal mendasar, waktu sepuluh tahun yang telah berjalan boleh jadi hanya bisa
dipandang sebagai tahapan awal bagi proses tersebut, dan karena itu, di sini dapat diajukan
hipotesis bahwa: Abdurrahman Wahid sedang membawa NU ke arah pematangan ketiga
perwatakan di atas.

403

Mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid tentang ambivalensi ini, lihat lagi bab III di muka.

173

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Lalu tentang gagasan Abdurrahman mengenai perubahan struktural dalam tubuh NU
di mana Tanfidziyah difungsikan sebagai sebuah kesekretariatan yang semata-mata
melaksanakan kebijakan Syuriyah, serta dihapusnya jabatan ketua umum struktur itu, menjadi
menarik perhatian, apalagi hal itu dilontarkan menjelang Muktamar 1994. Hal itu
memunculkan berbagai spekulasi, bahwa itu merupakan isyarat Abdurrahman bahwa ia
hendak mengundurkan diri dari Tanfidziyah. Apalagi ia pernah mengatakan: "saya tidak
tertarik lagi menangani masalah-masalah administratif."404 Persoalannya tentu adalah "posisi
apa yang sedang dipersiapkan Abdurrahman Wahid bagi dirinya dalam NU?" dan bukan
"apakah Abdurrahman Wahid akan keluar dari struktur kewenangan NU?". Sebab siapa pun
tahu bahwa kehadiran tokoh ini di inner circle NU adalah sebuah conditio sie qua non.
Apalagi sudah terlanjur ada citra bahwa Abdurrahman Wahid adalah NU dan NU adalah
Abdurrahman Wahid. Dan jika restrukturisasi yang direncanakan itu dimaksudkan untuk
menghilangkan dualisme kepemimpinan di NU, maka mestinya hal itu dapat diletakkan pada
alur tujuan mengefektifkan otoritas Syuriyah dan memfaktualkan Rais Aam sebagai pimpinan
tertinggi.
Lalu berangkat dari dua asumsi bahwa, pertama, Abdurrahman lebih dari sekadar
primus interpares di NU, dan kedua, kesulitan terwujudnya Syuriyah yang berotoritas selama
ini antara lain adalah karena keberadaan dia di Tanfidziyah, maka kiranya dapat dibuat
praduga bahwa sedang ada usaha dalam NU untuk mewujudkan Syuriyah dengan wewenang
yang efektif di bawah pimpinan Rais Aam KH Abdurrahman Wahid. Namun spekulasi ini
pupus, ketika gagasan itu tidak diagendakan dalam Muktamar Cipasung Desember 1994, dan
Abdurrahman Wahid sendiri akhirnya bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Umum
Tanfidziyah untuk yang ketiga kalinya.

404

Lihat Aula, Juli 1993, h. 14.

174

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


BAB VII
POSKRIPSI

NU: Proses Metamorfosis Jangka Panjang

"Kembali ke Khittah 1926" adalah sebuah titik kulminasi dalam sejarah NU, yang
nilainya barangkali hanya bisa ditandingi oleh peristiwa kelahirannya dahulu. Sementara
kontroversinya jelas tidak tertandingi oleh titik sejarah NU mana pun. Sedemikian rupa,
sehingga kontradiksi dalam tubuh organisasi ini selalu dibangun atas dasar semangat Khittah
1926. Itulah sebabnya ketika semua tokoh NU merujuk pada khittah, mereka bisa saja
mempunyai sikap yang berbeda, bahkan terkadang saling bertentangan, terhadap suatu hal
tertentu. Ini bisa sekaligus bermakna positif maupun negatif. Positif, sejauh perbedaan itu
menjamin kontinuitas dinamika NU. Dan negatif karena bisa saja orang luar menilai NU
tidak pernah benar-benar memiliki persamaan visi dan persepsi. Kendati demikian, Khittah
tidak diragukan lagi telah mendorong NU untuk melakukan serangkaian transformasi, yang
sebagian telah menunjukkan hasil yang signifikan, sementara sebagian lainnya masih berjalan
tersendat-sendat.
Pada lingkup internal, transformasi diarahkan pada tujuan untuk menemukan pola
distribusi kewenangan yang tepat untuk menjamin kembalinya supremasi ulama dalam NU
sebagaimana diseyogyakan oleh khittah. Proses ini hingga sekarang belum juga mencapai
hasil yang berarti, kecuali gambaran yang samar-samar tentang Syuriyah yang lebih
berotoritas serta Tanfidziyah dengan otonomi yang terkendali. Akan tetapi bagaimana
otoritas Syuriyah itu diwujudkan dan bagaimana otonomi Tanfidziyah dikendalikan, masih
belum ditemukan rumusan yang tepat, meskipun berbagai solusi alternatif telah ditawarkan
dan diujicobakan. Kegagalan menemukan rumusan yang tepat itu setidaknya disebabkan oleh
tiga hal. Pertama, upaya pengembalian supremasi dan otoritas ulama tidak pernah benarbenar dapat diakselerasi penuh, oleh karena adanya kekhawatiran bahwa ekses upaya itu akan
berbenturan dengan kehendak akan demokratisasi dalam tubuh NU.
Kedua, berkaitan dengan adanya kelemahan-kelemahan di kalangan ulama NU
sendiri. Sedikit sekali di antara mereka yang benar-benar memiliki kapasitas untuk
175

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


menegakkan supremasi ulama. Kebanyakan mereka masih terperangkap dalam pemahaman
yang tekstual terhadap kitab-kitab klasik acuan NU, sehingga sulit untuk bergerak lincah
mengikuti dinamika zaman tanpa berkesan reaktif dan oportunistis. Kelangkaan ulama yang
kapabel ini kian terasa sepeninggal KH Achmad Siddiq di tahun 1991. Barangkali KH Sahal
Mahfudz cukup mendekati kualitas KH Achmad, tapi semuanya menjadi tidak berarti ketika
ia berhadapan dengan KH Abdurrahman Wahid. Begitu pula KH Ilyas Ruchiyat, meskipun
sebenarnya cukup kapabel, namun tokoh ini terlalu low profile serta lebih banyak menahan
diri dan menghindari manuver-manuver yang mengejutkan. Dan ketiga, pengembalian
supremasi ulama, yang semestinya berarti pembesaran otoritas Syuriyah, haruslah
berimplikasikan pengurangan otonomi Tanfidziyah secara cukup besar. Dan persoalan ini
tidak pernah cukup sederhana sehingga dapat diselesaikan dengan segera. Masalahnya adalah
karena otonomi Tanfidziyah telah mengalami pemekaran selama kurun waktu yang cukup
lama, sehingga tidak mudah untuk begitu saja mengecilkannya kembali. Terlebih lagi,
Tanfidziyah yang merupakan pelaksana sehari-hari roda organisasi NU selalu lebih awal
bersinggungan dengan persoalan-persoalan pada konteks eksternal, sehingga oleh karenanya
mereka memiliki pemahaman yang lebih baik daripada Syuriyah tentang persoalan eksternal
itu. Dan akhirnya, pengurangan otonomi Tanfidziyah itu kian dipersulit oleh keberadaan
Abdurrahman Wahid di sana. Ia bukan saja mewarisi "darah biru NU", namun juga
kapasitasnya yang multidimensional telah menjadikan tokoh ini nyaris tak tersaingi dalam
bursa hegemoni NU.
Dengan ini agaknya mulai dapat dibuat simplifikasi jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan yang dirumuskan dalam buku ini:
Pertama, bagaimanakah dinamika NU dalam implementasi keputusan untuk kembali
ke Khittah 1926? Ke arah manakah dinamika itu berjalan?
Dalam lingkup internal, inti dinamika NU adalah transformasi ke arah pengembalian
supremasi ulama yang, seperti disebutkan di atas, hingga saat ini belum juga berhasil
menemukan formula terbaiknya. Selanjutnya pada lingkup eksternal, dinamika NU berkaitan
dengan reorientasi dari kuantitas menuju kualitas politik. Dan ini akan sekaligus menjawab
pertanyaan kedua: Bagaimanakah model kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi di
atas?
Tentang reorientasi politik NU, rupa-rupanya para pengamat mempunyai penilaian
yang berbeda-beda. Sebagian menilai bahwa NU pasca-Khittah adalah NU yang sama sekali
176

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


tidak berpolitik, sementara sebagian yang lainnya meyakini bahwa hanya aktivitas politik
praktis yang kini ditinggalkan NU, dan sisanya beranggapan bahwa NU pasca-Khittah masih
membingungkan: berpolitik atau tidak, dan bagaimana.
Kajian ini hendak menyimpulkan bahwa kepolitikan NU pasca-Khittah sebenarnya
telah cukup jelas. Sederhana saja, setelah kembali ke Khittah, NU sebagai organisasi
melepaskan concern-nya terhadap politik praktis dan kelembagaan yang didasarkan pada
kalkulasi kuantitatif. Persoalan itu diserahkan sepenuhnya kepada warga secara individual,
dan sebagai lembaga, NU berpolitik dalam arti yang lebih luas di dalam konteks sebuah
komitmen: bagaimana NU bisa menjadi kekuatan komplementer yang mampu memberikan
kontribusi yang optimal terhadap usaha peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian NU memandang bahwa keterkaitan organisasional dengan
orsospol mana pun menjadi tidak lagi relevan, kalau bukan malah membawa kerugian.
Karena itulah hubungan kelembagaannya dengan PPP lalu dilepaskan, dan NU mencoba
menjaga jarak yang sama terhadap ketiga OPP. Secara mengesankan hal ini ternyata selaras
dengan rekayasa politik Orde Baru. Sudah barang tentu "memberikan kontribusi yang
optimal" juga berarti NU berkehendak untuk memiliki pengaruh dalam proses pembuatan
keputusan baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal. Apalagi jika disetujui bahwa
sebagai kelompok kepentingan NU haruslah mampu mengartikulasikan kepentingan
warganya. Akses terhadap pembuatan kebijaksanaan publik ini ditempuh NU melalui
mekanisme informal dengan menggunakan lobbying sebagai teknik utamanya. "Beyond
politics", "politik tanpa panggung", "politik di balik layar", "politik makrifat", atau apa pun
namanya, yang pasti mekanisme formal tidak lagi menjadi bagian dari kepolitikan NU.
Hanya saja, kepolitikan semacam itu menyebabkan efektivitas pengaruh NU terhadap
proses politik yang sedang berjalan menjadi sulit diukur. Yang jelas, NU ternyata banyak
memanfaatkan peran warganya untuk tetap hadir dalam proses politik lokal maupun nasional
secara tidak resmi. Itulah sebabnya, meskipun menyatakan bahwa ukuran sukses politiknya
tidak lagi didasarkan pada kalkulasi kuantitatif, namun ternyata NU masih terus memetik
manfaat dari kehadiran serta aktivitas politik warganya dalam struktur politik. Tentang
aktivitas politik praktis warga NU ini, orang rupanya masih kerap mempersoalkannya. Bahwa
NU menyerahkan politik sebagai hak individual warganya, dengan mudah dapat dipahami
orang. Tapi bukankah itu juga berarti warga NU tidak dibenarkan lagi melakukan tindakan
politik praktis apa pun dengan diatasnamakan NU? Kenyataannya, tidak pernah benar-benar
dapat ditiadakan keterkaitan antara manuver-manuver politik tokoh-tokoh NU dengan NU
177

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


sendiri. Sebut saja usaha-usaha tokoh NU untuk merombak struktur kepemimpinan PPP, atau
bagaimana mereka terwakili dalam legislatif entah melalui ketiga OPP maupun sebagai
utusan golongan --semua ini dimungkinkan karena mereka adalah "orang NU", yang dengan
demikian berbuat atas nama NU.
Tentu sulit disangkal bahwa NU jadi terasa hipokrit dalam hal ini. Akan tetapi
penilaian ini sebenarnya tidaklah tepat. Hipokrisi terkesan ada dalam kepolitikan NU tidak
lain adalah karena "NU" memiliki dua dimensi, di mana seringkali terjadi kesalahan: orang
menilai penampakan NU dalam salah satu dimensi dengan ukuran yang seharusnya berlaku
untuk dimensi lainnya. Kedua dimensi itu ialah apa yang dalam bahasa NU disebut sebagai
jam'iyah dan jamaah. Jadi, "NU" bisa suatu ketika berarti "jam'iyah NU" dan pada ketika
yang lain berarti "jamaah NU". Dan inilah refuse explanation terhadap tuduhan hipokrisi NU.
Dalam Bab II disebutkan bahwa kelahiran NU di tahun 1926 sebenarnya lebih dari sekadar
penegasan formal terhadap mekanisme informal suatu komunitas yang berada dalam suatu
subkultur bernama Islam menurut kaidah Ahlussunnah wal Jamaah. Jauh sebelum dimensi
sebagai jam'iyah tampak, "NU" telah terlebih dahulu muncul dalam dimensi sebagai jamaah.
Kedua dimensi ini menjadikan NU sangat unik. Dalam dimensi sebagai jam'iyah, NU adalah
seperti lazimnya suatu organisasi formal di mana saat ini ia memiliki cara pandang yang
sangat jelas untuk tidak melakukan aktivitas politik praktis secara kelembagaan. Kalaupun
berpolitik, hal itu dilakukan dalam bingkai yang sangat lebar sebagai kekuatan sosial yang
komplementer dalam kehidupan kenegaraan. Mengacu pada dimensi ini, warga dan tokoh
NU tidaklah dibenarkan untuk menamakan dirinya orang NU", atau untuk dinamakan
demikian saat berpolitik praktis.
Akan tetapi dalam dimensi sebagai jamaah, NU tidaklah di-cover dalam suatu
kerangka formal melainkan dalam sebuah nilai kultural yang dianutnya. Berdasarkan dimensi
kedua ini, sebenarnya terdapat suatu "komunitas NU" yang tidak mesti selalu terkait dengan
NU sebagai organisasi resmi. Mereka adalah suatu kelompok masyarakat kultural yang diikat
oleh satu tradisi keagamaan yang sama, dengan kepentingan-kepentingannya sendiri, dan
dipimpin oleh tokoh-tokoh ulama yang dalam banyak hal menjadi panutan mereka. Tokohtokoh ulama tersebut tentu bisa, bahkan terkadang harus, berbuat atas nama komunitas
kultural yang mereka pimpin, tanpa terkait dengan organisasi formal NU. Dengan kata lain,
tokoh-tokoh NU tetap dibenarkan melakukan aktivitas kepolitikan praktis atas nama jamaah
NU, meski pada saat yang sama NU menyatakan bahwa hal itu sama sekali tidak
berhubungan dengan organisasinya dan semata-mata tindakan individual tokoh-tokoh yang
178

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


bersangkutan. Dimungkinkannya warga dan tokoh NU untuk berbuat di luar bingkai
kelembagaan formalnya, namun secara kultural tetap menamakan dirinya orang NU"
memang secara skeptis bisa tampak sebagai hipokrisi politik. Itulah persoalannya.
Selanjutnya, bagi jam'iyah NU, ditinggalkannya aktivitas politik praktis yang selama
berpuluh tahun nyaris menyita habis seluruh perhatiannya, telah membuka kemungkinan
dirambahnya berbagai aktivitas baru dalam banyak bidang sambil secara simultan melakukan
perbaikan terhadap bidang-bidang garapan lamanya yang sempat agak terbengkalai. Sudah
barang tentu hasil yang dicapai NU dalam bidang-bidang seperti ekonomi, pendidikan, dan
pengembangan sumber daya manusia sampai sejauh ini masih belum memuaskan, apabila
dibandingkan dengan Muhammadiyah misalnya. Namun sebagai langkah awal, berapa pun
kecilnya hasil yang dicapai tentu bukannya tidak bernilai. Apalagi jika diperhatikan bahwa
NU sampai tingkat tertentu telah melakukan terobosan dengan menempuh strategi baru yang
menghubungkan potensi umatnya dengan kekuatan strategis yang sebelumya tidak pernah
dilirik oleh ormas Islam lain termasuk Muhammadiyah. Dari terobosan ini antara lain lahirlah
BPR-BPR Nusumma. Langkah serupa juga dilakukan NU saat ia mengembangkan jaringan
hubungan yang luas dengan LSM-LSM, berbagai kelompok masyarakat di luar Islam, serta
kedekatan politik dengan militer yang tak kurang telah memberi NU keuntungan yang cukup
berarti.
Terobosan lain dilakukan dalam bidang syari'ah ketika NU melakukan switch dari
pandangan bahwa pemikiran keagamaan diterima sebagai konsumsi hasil menuju pandangan
yang menilainya sebagai suatu proses keilmuan. Ini adalah sebuah perubahan besar
setidaknya dilihat dari sudut pandang NU. Jika sebelumnya ijtihad dipandang telah ditutup
oleh kristalisasi pemikiran ulama-ulama terdahulu dalam mazhab-mazhab, maka sejak 1992,
akibat meningkatnya kompleksitas problema sosial, ulama NU mulai menerima penggunaan
metode kontekstual manhaji untuk melengkapi metode tekstual dalam memahami kitab-kitab
klasik dan untuk menjawab persoalan-persoalan aktual. Dilakukannya perubahan mendasar
yang telah menambah titik konvergensi NU dengan Muhammadiyah ini antara lain
dimungkinkan karena waktu dan pikiran yang dimiliki NU tidak lagi tersita oleh kegiatan
politik praktis. Dengan demikian perkembangannya selama ini telah memberikan gambaran
membaiknya prospek NU sebagai sebuah kelompok kepentingan.
Secara konseptual kemungkinan ini didukung oleh keyakinan Almond, yang dikutip
dalam Bab I, bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang merupakan salah satu elemen
179

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


penting pembangunan politik akan sangat bermakna positif bagi kelompok-kelompok
kepentingan, khususnya kelompok asosiasional seperti NU. Pasalnya adalah karena di
samping merombak struktur dan kultur suatu sistem politik, perubahan sosial dan ekonomi
juga akan meningkatkan arus informasi dan kontak antara setiap bagian masyarakat, serta
meningkatkan level pendidikan, kesehatan, dan status anggota masyarakat. Peningkatan level
pendidikan dan status sosio-ekonomik selanjutnya berkaitan erat dengan tingkat kesadaran
politik, partisipasi, dan perasaan kompetensi politik. Di sinilah peran kelompok-kelompok
kepentingan menjadi lebih signifikan.
Bagi NU sendiri, signifikansi perannya di masa mendatang lebih dimungkinkan pula
oleh besarnya massa yang dimiliki. Proses politik dan aktivitas pembangunan yang sedang
berjalan tentu tidak akan mengabaikan massa NU ini, apalagi dengan mulai bergesernya
strategi pembangunan ke arah bentuk people centered development. Terlebih lagi jika diakui
bahwa sebagian besar massa NU dengan taraf perekonomian yang masih rendah dan tingkat
pendidikan formal yang relatif rendah adalah mereka yang secara kualitatif masih sangat
perlu diperbaiki. Tentu adalah termasuk beban NU untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan
warganya itu serta untuk menghela mereka agar lebih cepat mengejar ketertinggalan dari
warga negara pada umumnya. Namun dengan itu pula NU mestilah bersiap-siap terhadap
kemungkinan bahwa ia akan menjadi salah satu kelompok subjek pembangunan yang
terpenting jika kelak pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua benar-benar
menuliskan "pengembangan sumber daya manusia" sebagai tema sentralnya.
Agenda terpenting selanjutnya bagi NU nantinya adalah menetapkan sasaran
paripurna kiprah NU yang terletak pada kaitan sasaran itu sendiri dengan jenis
masyarakat/bangsa yang diinginkan. Apakah jenisnya? Kalau masyarakat adil makmur
berdasarkan Pancasila, di manakah letak peranan Islam di dalamnya? Kalau sasarannya
masyarakat Islam, lalu bagaimanakah halnya dengan Pancasila sebagai ideologi nasional dan
falsafah hidup bangsa, yang mengikat semua warga negara tanpa memandang asal-usul etnis,
bahasa ibu, agama dan budaya masing-masing?

NU Dalam Peta Politisasi Islam Indonesia

180

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Kiranya sampailah saatnya untuk mencoba meletakkan NU dalam konteks arus
politisasi Islam di Indonesia merebak dalam beberapa tahun belakangan ini --sebuah
politisasi yang tak jelas arahnya, dan nyaris sama tak jelasnya siapa memanfaatkan siapa di
situ. Kajian ini berusaha untuk konsisten dengan rentangan yang telah ditetapkan sejak awal
untuk menjangkau periode 1984/1983 dalam perjalanan NU. Kendati begitu, discourse yang
menghangat justru di luar skup tersebut agaknya memang tidak semestinya terlupakan dalam
diskusi ini.
Kekhawatiran tentang politisasi Islam sebenarnya bukan barang baru, sebab hal itu
secara sporadis sudah mulai terlontarkan sejak awal pembentukan ICMI beberapa tahun lalu.
Hanya saja, kekhawatiran tersebut pada awalnya terasa kurang begitu relevan, dan orang
lebih suka memberi perhatian pada sinyalemen Abdurrahman Wahid bahwa ICMI akan
menyuburkan kembali sektarianisme politik di negeri ini, dan oleh karena itu ia menolak
untuk bergabung di sana --sesuatu yang dengan alasan berbeda juga dilakukan oleh Emha
Ainun Nadjib, misalnya. Akan tetapi di belakang hari kegelisahan dan kritik-kritik terhadap
politisasi Islam itu kian bermunculan, dan mulai diformat dalam argumentasi yang sistematis,
logis, dan, karena itu, tidak bernuansa agitatif dan memihak. Sehingga, sulit disangkal bahwa
tema tersebut memang merupakan salah satu persoalan krusial dalam wacana politik
Indonesia dewasa ini. Memang, akan tampak begitu tendensius sebab ketika orang berbicara
tentang politisasi Islam hampir dengan serta merta ICMI turut tertunjuk. Akan tetapi ini
bukannya tidak beralasan, sebab ICMI nyaris dimainkan sebagai manifestasi paling konkret
dari fenomena politisasi Islam itu, meski di sisi lain kehadiran organisasi ini memang bisa
dianggap sebagai salah satu indikasi bagaimana pola hubungan yang akomodatif antara Islam
dan pemerintah.
Ketika mengamati ICMI, ketika melihat gelagat organisasi ini serta caranya turut
ambil bagian dalam persaingan hegemoni pada anak tangga kedua (sebab sementara ini
hegemoni pada anak tangga teratas belum terbuka bagi persaingan) bersama kekuatankekuatan politik terpenting lainnya, terutama Golkar dan Angkatan Darat, orang dapat
menemukan sekali lagi penampakan pola patron-klien dalam sebuah proses politik. ICMI
dalam satu segi, diakui atau tidak, telah menjadi sebuah political vehicle yang mengantarkan
orang-orangnya ke kursi-kursi jabatan publik terutama di tingkat pusat. Sehingga, sejumlah
jabatan menteri dalam kabinet saat ini pun dipegang "orang ICMI", di samping muncul isu
"penghijauan" lembaga MPR/DPR. Kedekatan Habibie sebagai Ketua dengan innest circle
kekuasaan negeri adalah faktor utama yang memungkinkan hal itu. Dengan demikian, tidak
181

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


diragukan lagi bahwa ICMI, di samping Golkar dan Angkatan Darat, memang telah menjadi
pilihan terbaik ketika orang mencari akses ke jajaran elit kekuasaan. Dan, selanjutnya, tokohtokoh puncak ketiga kekuatan ini tampil sebagai penentu terpenting di bawah Presiden
Suharto terhadap hitam-putihnya wajah politik saat ini.405 Kesemua ini turut dimungkinkan
pula oleh karena di pihak lain pemerintah rupa-rupanya sedang membutuhkan suatu sumber
legitimasi baru bagi kekuasaannya, denga alasan apa pun. Tapi pertanyaannya tentu ialah,
mengapa ICMI? Atau dengan kata lain, mengapa Islam yang harus menjadi legitimasi baru
itu?
Adalah sebuah paradoks, kata Schwarz,406 bahwa ketika usaha pemerintah untuk
mengebiri umat Islam sebagai suatu kekuatan politik mulai membuahkan hasil di akhir 1970an dan awal 1980-an, maka popularitas Islam sebagai pranata sosial, etika dan spiritual
ternyata justru mulai meningkat. Sebab yang mendasarinya bisa bersifat keagamaan sematamata, dan bisa pula karena alasan yang bersifat politis. Sebab yang pertama berkaitan dengan
keinginan banyak kalangan masyarakat Islam Indonesia untuk menemukan dalam agama ini
suatu tempat pijakan yang kokoh di dalam sebuah dunia yang sedang mengalami modernisasi
dan perubahan secara pesat dan membingungkan ini. Mereka mencari cara untuk
mewujudkan Islam yang lebih relevan bagi kehidupan dunia modern. Baik paham Islam
tradisional maupun modernis segera menunjukkan daya tarik khasnya masing-masing dalam
alur kecenderungan ini.
Sementara itu pemerintah untuk melakukan depolitisasi di Indonesia telah mendorong
banyak orang untuk berpaling ke Islam. sebagai sebuah arena politik alternatif. Tren ini,
diamati oleh Adam Schwarz, tanpa terkecuali muncul pula di lingkungan kampus, di mana
aktivitas politik telah dibatasi sangat ketat sejak akhir 1970-an. Aktivitas politik mahasiswa
yang semula sangat marak tiba-tiba menjadi mati ketika pemerintah melakukan restriksi
terhadap kepolitikan kampus. Akibatnya, sebagian besar aktivitas mahasiswa bergeser ke
lingkungan masjid kampus, sebab bagaimana pun mereka membutuhkan saluran bagi aspirasi
politiknya dan selalu akan mencari saluran itu di mana pun mereka bisa. Masjid kampus
nyaris menjadi pilihan satu-satunya bagi kebutuhan itu, setidaknya dalam kurun waktu
tertentu. Dan yang lebih esensial, kecenderungan ini telah mendorong berkembang-pesatnya

405

Currently, in Indonesia," kata Dr Afan Gaffar, there is a common perception regarding the growing influence of "the
3H", that is Habibie, Hartono and Harmoko." Lihat Afan Gaffar, "Indonesia set for 1988," dalam Business Times, Week End,
March 25-26, 1995. March 25-26, 1995.
406 Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (Sidney: Allen & Unwin Pty Ltd. 1994), khususnya bab
"Islam: Coming in From The Cold?", h. 162. Uraian dalam beberapa paragraf berikut akan mengacu ke sini.

182

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


kelompok-kelompok studi Islam di kampus, dan resultansinya yang paling kasat mata antara
lain adalah semakin banyaknya mahasiswi yang mengenakan jilbab.
Islam telah merambah jauh ke dalam kalangan elit terpelajar, suatu kelas yang secara
tradisional dikenal sebagai priyayi, yang mengingatkan orang pada trikotomi santri-abanganpriyayi dalam karya klasik C. Geertz. Di sinilah muncul pembicaraan tentang santrinisasi
priyayi. Resultansi lebih jauh dari revivalisme Islam itu dengan demikian ialah munculnya
suatu kebanggaan untuk menonjolkan identitas keislaman di kalangan menengah ke atas,
kalangan yang dalam era sebelumnya hampir-hampir bersikap 'dingin' terhadap persoalanpersoalan keagamaan. Dengan segera menjadi jelaslah bahwa telah terjadi perubahan
komposisi sosial dalam komunitas Islam, dan ini menjadikan Islam tidak lagi bisa diabaikan
oleh penguasa. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah terasa begitu responsif
dan akomodatif terhadap umat Islam.407 Dan akhirnya, perkembangan yang paling bermakna
bagi Islam di Indonesia, dan juga yang paling kontroversial, adalah dukungan kuat dari
Presiden Suharto terhadap pembentukan ICMI, yang di akhir 1990-an menyeruak dari
kerumunan hingar-bingar revivalisme Islam, dan yang oleh Schwarz disebutkan sebagai
usaha serius yang pertama sejak jatuhnya Masyumi untuk menyatukan kelompok-kelompok
muslim Indonesia yang beraneka ragam di bawah satu bendera.408 Dan inilah sebenarnya
salah satu inti persoalan yang akan didiskusikan di bawah.
ICMI, meskipun di satu sisi adalah "a natural product of the process of Islamic
revivalism"409 rupanya telah menjadi suatu pilihan ketika sebuah sumber dukungan baru perlu
dicari saat pendukung terpenting Presiden Suharto, yakni militer, mulai tidak lagi dapat
diandalkan sebagai sandaran tunggal. ICMI dengan demikian ditempatkan sebagai sebuah
kekuatan penyeimbang, dan yang terjadi adalah penggalangan dukungan dari kalangan umat
Islam. Frase politisasi Islam adalah menunjuk ke sini.
Yang sangat menarik adalah, meskipun ICMI menawarkan banyak keuntungan bagi
siapa saja yang bergabung di dalamnya --tawaran yang memang banyak terbukti--, akan
tetapi ternyata tetap ada kalangan yang dengan eksplisit menolak untuk bergabung di sana,
seperti Abdurrahman Wahid. Latar belakang pemikiran tokoh ini menolak dalam ICMI telah
didiskusikan dalam Bab III dan V buku ini, dan karena itu yang perlu diulas lagi adalah

407

Lihat pengantar buku ini dari Afan Gaffar di muka, atau lihat "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia" dalam
M Imam Aziz, et. al. (eds.) Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia, 1993).
408 Schwarz, op. cit., h. 176
409 Ibid.

183

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


implikasi obyektif dari apa yang akan dibawa oleh penolakan itu. Satu hal yang jelas,
penolakan itu telah menimbulkan kesan (atau barangkali yang lebih tepat mengkondisikan
ini) NU telah menarik garis batas yang jelas dengan ICMI. Sekalipun beberapa tokoh NU,
seperti KH Ali Yafie, tidak menolak untuk masuk ICMI, namun figur sentral dalam
komunitas NU itu telah berbuat lain. Dan tak seorang pun yang akan menyangkal adanya
image bahwa Abdurrahman Wahid adalah NU dan NU adalah Abdurrahman Wahid.410 Jadi
faktanya sekarang ialah, sebagian besar komunitas NU, kalau bukan malah seluruhnya,
berada di luar ICMI.411 Dan itu di satu sisi bisa berarti NU cukup selamat dari tarikan arus
politisasi Islam. Pertanyaannya tentu, mengapa?
Untuk sebagian dapat dijelaskan bahwa sikap NU yang tak lagi menekankan pada
pendekatan legal-formalistik telah cukup efektif untuk menjaganya dari efek politisasi Islam
itu. Douglas Ramage412 suatu saat mengelaborasi pemikiran Gus Dur, bahwa "kalau NU terus
membiarkan dirinya terperangkap di dalam struktur politik formal yang secara ketat
dikendalikan oleh pemerintah, ia harus tergiring untuk melakukan penyesuaian dengan
keinginan penguasa". Dengan secara luwes menempatkan diri sebagai komplementer dengan
aksentuasi gerakan moral untuk aktualisasi sebuah masyarakat dengan "wawasan Islam" dan
bukan "struktur Islam", NU praktis berada di luar segmen "godaan ICMI". Dari sudut
tinjauan ini maka ICMI hanya menjadi hiburan" bagi mereka yang memiliki kecenderungan
legal-formalistik di kalangan umat Islam. Dengan adanya ICMI, mereka yang dicekam oleh
obsesi kelembagaan dalam aktualisasi Islam akan merasa bahwa Islam sudah berperan
penting dalam proses politik negeri ini, dan karena itu mereka tidak perlu lagi berpikir
macam-macam. Persoalannya, orang-orang dengan kecenderungan seperti itu masih belum
bisa dibilang sedikit hingga saat ini. Sehingga ICMI sedikit demi sedikit akan muncul sebagai
sebuah wajah tunggal gerakan politik umat Islam Indonesia. Dan ini, dilihat dari kacamata
tertentu, bisa membawa implikasi negatif di belakang hari.
Berangkat dari fakta bahwa lifebold ICMI yang terutama adalah patronase dari
penguasa, maka orang mesti mengambil asumsi bahwa patronase semacam ini sangatlah tidak
permanen. Ia berbeda dengan akar yang dibangun di bawah, yang lebih permanen
410

But dispite cracks in his NU support base, Wahid remains a very influental figure. He is widely respected not only within
the broad santri community but also by many non-santris and non-Muslims ... Wahid's view art worth spelling out".
Schwarz, op. cit., h. 185.
411 Lihat Syafii Anwar, "ICMI dan Politik: Optimisme dan Kekhawatiran", dalam Ulumul Quran, No.1, Vol. VI, tahun 1995, h.
7.
412 Douglas E. Ramage, "Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era Paska Asas
Tunggal", dalam Ellyasa KH Darwis (ed.) Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 105

184

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


dibandingkan dengan tempat bergantung di atas. Ketika berbicara tentang suksesi
kepemimpinan nasional, orang sebenarnya juga sedang memperbincangkan patronase yang
selama ini menjadi andalan ICMI. Jika suksesi kepemimpinan itu terjadi, dengan kata lain
jika terjadi perubahan politik yang sedemikian rupa sehingga menyebabkan ICMI kehilangan
patronnya, maka tak hanya ICMI, namun boleh jadi umat Islam Indonesia keseluruhan akan
merasakan dampak negatifnya. Momentum itu sangat boleh jadi begitu dinanti-nantikan oleh
saingan-saingan politik ICMI, dan segera akan dimanfaatkan oleh mereka untuk dengan
senang hati menghantamnya.413
Dan jika ICMI benar menjadi wajah tunggal gerakan politik Islam Indonesia, kejadian
itu akan menyebabkan keseluruhan umat Islam sangat terugikan. Tidak boleh tidak, harus ada
sekelompok umat Islam yang tetap berada di luar ICMI. Kelompok ini akan menjadi
cadangan bagi kaum muslimin di Indonesia, jika sebuah tragedi (semoga saja kalkulasi ini
salah) terjadi menimpa gerakan politik mereka. Sejauh ini, NU dapat diharapkan memenuhi
kriteria kelompok dimaksud.
NU hingga saat ini tetaplah perwujudan paling riil dari apa yang secara nominal
disebut umat Islam di Indonesia, selain Muhammadiyah. Dan NU menjadi siginifikan bagi
pembicaraan tentang politisasi Islam seperti diuraikan di atas, oleh karena ia memiliki
beberapa karakteristik yang tidak dimiliki secara sekaligus oleh organisasi Islam mana pun.
Karakteristik itu meliputi hal-hal berikut: pertama, NU memiliki akar kuat sampai ke lapisan
masyarakat terbawah. Kaum muslimin di pedesaan yang pada umumnya bekerja sebagai
petani, nelayan atau pedagang ritel kecil, dengan tingkat pendidikan dan penghasilan relatif,
serta merupakan kalangan mayoritas dibandingkan dengan kaum muslimin di perkotaan yang
berpendidikan dan berpenghasilan cukup dari pekerjaan mereka sebagai pegawai pemerintah
atau pedagang/pengusaha, masihlah memiliki identifikasi diri dan alamat kultural NU.
Kebanyakan mereka masih berpayung budaya paternalistik dengan figur sentral para kiyai
dan ulama pada level lokalnya masing-masing, dan dalam pola ketaatan santri-kyai yang
sampai tingkat tertentu masih cukup kental. Para kyai lokal itu untuk sebagian besar tetap
merupakan pendukung NU yang kuat.

413

Siapa saja yang potensial sebagai pesaing ICMI? inilah notasi Schwarz, "Non-Santri Muslim, still a sizeable faction do not
support the effort to raise Islam's political profile. The military, distrustful right from the beginning of ICMI aims, will surely
attempt to thwart any effort by modernists to transform the organization into the political entity. Non-Muslim, of course,
and especially the powerful ethnic-Chinese business community, also can be expected to oppose the broadening of ICMI
powers. But to date, all these groups have adopted a quiet, wait-and-see approach to ICMI." Lihat Schwarz, op. cit., h. 185

185

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Kedua, NU adalah satu-satunya organisasi yang memiliki massa besar riil yang
terbukti siap setiap saat untuk dimobilisasi. Bukti paling konkret dari sinyalemen ini adalah
ketika NU menyelenggarakan Rapat Akbar 1992. Siapa pun akan mengakui, betapa
antusiasnya warga NU terhadap acara itu, baik yang ditunjukkan dengan kehadiran mereka ke
sana, maupun dengan kekecewaan sebagai warga NU yang, oleh karena pembatasan yang
dilakukan pemerintah sampai pada aparat terbawahnya, tidak dapat menghadirinya. Di segi
ini, NU bahkan tak tertandingi oleh Golkar sekalipun. Sebab, meski Golkar terkadang
menunjukkan kemampuan memobilisasi massa, tetapi itu tidaklah memiliki korelasi positif
dengan loyalitas massa itu dengan Golkar. Jika sesekali dicoba diinventarisasi data-data dari
hadirin dalam pertemuan Golkar, dalam rangka apa pun, akan jelaslah bahwa sebagian besar
mereka adalah pegawai negeri, termasuk para guru. Mereka hadir bukan terutama karena
merasa ada "kewajiban moral" yang dilandasi loyalitas, tetapi lebih karena kehadiran karena
sedikit-banyak berkaitan dengan kondite mereka. Ini tentu bagian dari sebuah rasionalitas
politik, yang lepas dari pertanyaan tentang baik dan buruk. Tetapi setidaknya itu
menunjukkan bahwa NU mesti diletakkan pada peringkat teratas ketika orang berbicara
tentang kemampuan sebuah organisasi memobilisasi massa tanpa paksa.
Dan ketiga, NU adalah sebuah organisasi yang relatif mandiri dibandingkan
organisasi-organisasi lain. Jika disimak lagi kronologis lahirnya sebuah keputusan kembali ke
khitah di tahun 1984, akan tampak bahwa keputusan itu dibuat setelah melalui perdebatan
dan polemik yang panjang. Dan jika hal itu diletakkan dalam konteks perkembangan situasi
politik pada masanya, maka keputusan itu sesungguhnya adalah sebuah mandat bagi
perubahan sangat signifikan bagi intern-ekstern NU. Adalah sebuah prestasi yang sangat khas
bahwa NU dapat tetap tampil utuh setelah keputusan itu diambil, meski barangkali keutuhan
yang relatif dan tetap membutuhkan "rekonsiliasi" yang cukup melelahkan. Akan tetapi ini
menunjukkan bahwa NU menyimpan potensi kemandirian yang cukup besar, ketika
kebanyakan orsospol di Indonesia mengalami kemacetan-kemacetan, tak berkutik dalam
lingkaran kooptasi dan sangat bergantung pada negara. Dengan potensi ini, maka untuk tetap
berada di luar ICMI, dan juga setiap pilihan lain apa pun yang bermakna tidak mendekatmendekati patronase politik adalah yang terbaik bagi NU. Dengan cara inilah NU bisa tetap
menjaga kemandiriannya, dan dengan demikian ia semakin mampu mengaktualisasikan
komitmen kebangsaannya.

186

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


KEPUSTAKAAN

Afandi, Arief. "NU: Transformasi yang Belum Usai," dalam Jawa Pos, 9 Juni 1993.
Ali, Fachry. "Abdurrahman Wahid dan Kiai Ali Yafie," dalam Editor, 7 Maret 1992.
---------. Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta: PT Gramedia,
1986.
---------. "Seorang Asing di Tengah NU," dalam Tempo, 25 November 1989.
Almond, Gabriel A. "Interest Group and Interest Articulation," dalam Gabriel A. Almond
(ed.), Comparative Politics Today: A World View. Boston: Little, Brown and Company,
1974.
Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama. Sala: Jatayu, 1985.
---------. "Bandar Lampung: Puncak Ujian Khittah NU", dalam Jawa Pos, 28 Januari 1992.
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: CV Rajawali, 1986.
Anderson, Benedict R.O'G. "The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt (ed.),
Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1972.
Anwar, M Syafi'i. "ICMI dan Politik: Optimisme dan Kekhawatiran," dalam Ulumul Qur'an,
No. 1 Vol. VI, Tahun 1995.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Bineka Cipta, 1991.
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel Dakhidae. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980.
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1983.
Collier, David. "Overview of The Bureaucratic-Authoritarian Model," dalam David Collier
(ed.), The New Authoritarianism in Latin America. Princeton: Princeton University
Press 1979.

187

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia, alih bahasa TH Sumartana. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1986.
Dharwis, Elyasa KH (ed.). Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta, LKiS, 1994.
Dhofier, Zamakhsyari. "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar Kekuatan dan Pengaruh NU,"
dalam S. Sinansari Ecip (ed.), NU dalam Tantangan. Jakarta: Penerbit Al Kautsar,
1989.
----------. "KH A Wahid Hasyim Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban
Indonesia Modern", dalam Prisma, Agustus 1982.
---------. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982.
Djunaedi, Mahbub. "Khittah", dalam Tempo, 25 Januari 1986.
----------. "Khittah Plus", dalam Tempo, 7 November 1987.
----------. "Muballig Dadap Tentang Netralitas NU", dalam Kompas, 20 Desember 1985.
Fathoni, Khoirul dan Muhammad Zen. NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan
Muhammadiyah. Yogyakarta: MW Mandala, 1992.
Feillard, Andree. "Isyarat Politik setelah Situbondo," dalam Editor No. 25, 7 Maret 1992.
Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell
University Press, 1966.
Gaffar, Afan. "Indonesia Sets Tone For 1998", dalam Business Times, Weekend Edition,
March 25-26 1995.
----------. Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992.
----------. "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Politik Indonesia," dalam A.
Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo: CV Ramadhani,
1990.
----------. "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia", dalam M Imam Aziz, et. al.
(eds.), Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

188

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab
Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
Hagopian, Mark N. Regimes, Movements, and Ideologies. New York & London: Longman
Inc., 1978.
Haidar, Ali. "NU dan Tantangan Keulamaan", dalam Aula, Juli 1993.
__________ NU dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia,
1994.
Haris, Syamsudin. "NU dan Godaan Politik Menjelang Muktamar ke-28", dalam Kompas, 2
Oktober 1989.
__________. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: PT Grasindo, 1991.
Haryono, Bambang Santoso. Persepsi Warga NU terhadap Keputusan Politik Muktamar
Situbondo 1984. Thesis S-2 Fakultas Pasca Sarjana UGM, 1990.
Ilyas, Yunahar, et. al. (eds.). Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman.
Yogyakarta: LPPI UMY, 1993.
Jenkins, David. Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics 1975-1983. Ithaca:
Cornell Modern Indonesia Project, 1984.
Karim, M. Kusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut.
Jakarta: CV Rajawali, 1983.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam. Jakarta: Penerbit Mizan, 1997.
Lubis, Nuddin. "Jangan Berlarut-larut Warga NU Mengambang, dalam S. Sinansari Ecip
(ed.), NU dalam Tantangan. Jakarta: Penerbit Al Kautsar, 1989.
Maarif, A. Syafii. Dinamika Islam: Potret Perkembangan Islam di Indonesia. Yogyakarta:
Shalahuddin Press, 1983.
----------. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Madjid, Nurcholish. "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah", dalam Muntaha Azhari
dan AM Saleh (eds.) Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989

189

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


----------. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Malloy, James M. "Authoritarianism and Corporatism in Latin America: The Case of
Bolivia," dalam James M. Malloy (ed.), Authoritarianism in Latin America. Pittsburgh:
University of Pittsburgh Press, 1977.
---------: "Authoritarianism in Latin America: The Model Pattern", dalam James M. Malloy
(ed.), Authoritarianism in Latin America. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press,
1977.
Marijan, Kacung. "NU: Antara Elitis dan Populis", dalam Jawa Pos, 8 Juni 1993.
----------- Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992.
---------. "Respons NU Terhadap Pembangunan Politik Orde Baru, dalam Jurnal Ilmu Politik
No. 9.
Maschab, Mashuri. Kekuasaan Eksekutif di Indonesia. Jakarta: PT Bina Aksara, 1983.
Mas'oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1989.
Milne, R.S. "Teknokrat dan Politik di Negara-negara Asia Tenggara," dalam Prisma No. 3,
1984.
Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Mudatsir, Arief. "Dari Situbondo Menuju NU Baru: Sebuah Catatan Awal", dalam Prisma,
Nomor Ekstra 1984.
Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.
Mulkhan, A. Munir. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Yogyakarta: Sipress, 1992.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1983.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1980.
---------. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti, 1987.
190

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


O'Donnel, Guillermo. "Corporatism and The Question of The State, dalam James M. Malloy
(ed.), Authoritarianism in Latin America. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press,
1977.
----------. Modernization and Bureaucratic Authoritarianism. Berkeley: Institute of
International Science, University of California, 1979.
Perlmutter, Amos. Modern Authoritarianism. New Havens & London: Yale University Press,
1981.
Purwoko, Bambang. Perkembangan Partai Persatuan Pembangunan (1973-1986). Skripsi
FISIPOL-UGM, 1987.
Salisbury, Robert H. "Interest Groups," dalam Fred I. Greenstein dan Nelson W. Polsby
(eds.), Nongovernmental Polilics, Handbook of Political Science, Vol I. Massachussets:
Addison Wesley Publishing Company, 1975.
Sanit, Arbi. "Politik NU Sebagai Organisasi Masyarakat", dalam S. Sinansari Ecip (ed.), NU
dalam Tantangan. Jakarta: Penerbit Al Kautsar, 1989.
Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: lndonesia in The 1990s. Sidney: Alien & Unwin Pty
Ltd, 1994
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (eds.). Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES,
1989.
Sitompul, Einar Martahan. NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1989.
Subono, Nur Imam. Sebuah Studi Konflik Pemerintahan Korporatisme. Skripsi FISIP-UI,
1988.
Suharto. "Mengakhiri Tiga Penyelewengan", dalam Herbert Feith dan Lance Castles (eds.),
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, alih bahasa Min Yubhar. Jakarta: LP3ES,
1988.
Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967, alih bahasa Hasan Dasari. Jakarta:
LP3ES, 1988.
Surachmad, Winarno. Dasar dan Teknik Research. Bandung: CV Tarsito, 1975.

191

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


Suswanta. Masyumi dan PRRI: Analisis tentang Keterlibatan Beberapa Tokoh Masyumi
dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Skripsi Fisipol-UGM, 1993.
Thahir, H Anas, el. al. (eds.). Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia.
Surabaya: PC NU Kodya Surabaya, 1980.
Usman, Sunyoto. "Masihkah NU Potensial Populis?" dalam Jawa Pos, 7 Juni 1993.
Wafi, Ali Abdul Wahid. Perkembangan Mazhab dalam Islam, alih bahasa Rifyal Ka'bah.
Jakarta: Minaret, 1987.
Wahid, Abdurrahman. "Ada Kasus Gila dan Ada yang Gila Kasus, dalam Aula, November
1990.
---------. "Agama dan Demokrasi," dalam Th. Sumartana, et. al. (eds.), Spiritualitas Baru:
Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Penerbit lnterfidei, 1994.
--------- ."Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam," makalah yang
disampaikan pada acara Dies Natalis XX/Lustrum IV Universitas Islam Tribakti (UIT)
---------. "Gerakan Sempalan dan Proyek Rintisan," dalam Denny JA, et. al. (eds.), Agama
dan Kekerasan. Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1985.
--------- "Individu, Negara dan Ideologi," makalah yang disampaikan pada acara Sudjatmiko
Memorial Lecture, Jakarta 2 Februari 1994.
--------- "Kehidupan Beragama, Rekayasa Sosial dan Kemantapan Kehidupan Beragama,"
makalah, tempat dan tahun tak terlacak.
---------. "Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, dalam Prisma Nomor
Ekstra, 1984.
---------."Mencari Nilai-nilai Baru Dalam Paham Kebangsaan," makalah, tempat dan tahun
tak terlacak.
---------."Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama, makalah, tempat dan tahun
tak terlacak.
--------- "Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April
1984.
192

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia


--------- "Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926", dalam Masyhur Amin dan Ismail Ahmad
(eds.), Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik. Yogyakarta: LKPSM, 1993.
---------. "NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang", dalam M. Imam Aziz (ed.),
Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
--------- "Pesantren Sebagai Subkultur", dalam M Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan
Pembaharuan. Jakarta: P3M, 1988.
--------- "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (eds.), Islam
Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989.
--------- "Sejarah Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Sejarah," makalah yang
disampaikan pada acara seminar sehari Peringatan 30 Tahun Dekrit Presiden, Jakarta, 5
Juli 1989.
---------. "Upaya Bersama Menanggulangi Kemiskinan," naskah pidato di depan Sidang Raya
PGI XI, Surabaya, Oktober 1989.
Wasito, Heri. NU dalam Pemilu 1971. Skripsi Fisipol-UGM, 1989.
Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, alih bahasa B.B. Soendjojo. Jakarta:
P3PM, 1986.

KORAN DAN MAJALAH:

1. Aula (PW NU Jawa Timur).

8. Pelita.

2. Bangkit (LKPSM NU DIY).

9. Suara Karya.

3. Editor.

10. Suara Merdeka.

4. Forum Keadilan.

77. Suara Pembaharuan.

5. Jawa Pos.

12. Surabaya Post.

6. Kedaulatan Rakyat.

13. Tempo

7. Kompas.
193

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

194

Anda mungkin juga menyukai