Anda di halaman 1dari 15

1

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Sejarah dan perkembangan wayang di Indonesia.
Tugas makalah ini disusun dan disajikan sebagai tugas UAS mata kuliah Musik
Bambu (Pengetahuan Wayang)
Saya berharap dengan disusunya tugas ini dapat memberikan pengetahuan tentang
wayang umumnya kepada orang lain dan khususnya kepada penulis sendiri.

Bandung, 05 Januari 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, wayang adalah boneka tiruan
yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan
tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan
oleh seseorang yang disebut dalang. Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Sunda,
wayang didefinisikan sebagai boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat dari kulit
atau pun kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan wayang berasal dari
bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung penerangan.
Seni Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua di
Indonesia. Pada masa pemerintahan Raja Balitung pertunjukan wayang telah ada, hal tesebut
ditemukan pada prasasti Balitung tahun 907 Masehi. Sejarah perkembangan seni wayang di
Indonesia, yaitu pada abad ke-4 orang-orang Hindu datang ke Indonesia, melalui jalur
perdagangan. Pada kesempatan tersebut orang-orang Hindu membawa ajarannya dengan
Kitab Weda dan epos cerita maha besar India yaitu Mahabharata dan Ramayana dalam bahasa
Sanskrit. Kemudian ,Abad ke-9, bermunculan cerita-cerita dengan bahasa Jawa kuno dalam
bentuk kakawin yang bersumber dari cerita Mahabharata atau Ramayana, yang telah
diadaptasi.
Berhubungan dengan itu, makalah ini akan memaparkan hasil studi pustaka yang telah
kami lakukan, meliputi; sejarah seni wayang/asal-usul wayang di Indonesia, jenis-jenis
wayang, serta nilai-nilai yang terkandung dari pertunjukan seni wayang.
Adapun hal yang melatarbelakangi studi pustaka dan analisis Seni Wayang ini adalah
sebagai wujud apresiasi kami sebagai penikmat seni terhadap budaya tradisional, yang kian
hari semakin tersisih oleh budaya asing. Semoga dengan penyusunan makalah ini, kita
menyadari keindahan dan keagungan budaya tradisional yang harus kita lestarikan, kita jaga
dan kita banggakan sebagai kekayaan budaya bangsa.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini, maka itu
kami menanti adanya kritik membangun dari pembaca guna perbaikan pada makalahmakalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana seni wayang masuk dan berkembang di Indonesia?


2. Mengapa jenis wayang di Indonesia berbeda-beda?
3. Apa yang kita peroleh dari pertunjukan seni wayang?
C. Batasan Masalah
Seni wayang masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang Hindu, dari India
melalui cerita epos Ramayana dan Mahabarata. Seni wayang yang berkembang di Indonesia,
meliputi; wayang golek Jawa Barat, wayang kulit Jawa Tengah, wayang orang, dan
wayang jamblung.
Dalam pertunjukan seni wayang tersirat pesan-pesan moral, agama,pendidikan,bahkan
kritikan terhadap pemerintah yang diilustrasikan ke dalam cerita tokoh-tokoh pewayangan.
D. Tujuan
1. Menganalisis perbedaan yang terdapat pada seni wayang terbagi kedalam beberapa jenis.
2. Mengetahui sakralitas pertunjukan wayang, sebagai budaya tradisional bangsa.
3. Mengapresiasi setiap keunikan dari pertunjukan seni wayang.
E. Manfaat
1. Mengenal dan mengapresiasi salah satu budaya tradisional, yaitu seni wayang.
2.

Meningkatkan kecintaan terhadap kesenian tradisional, terutama yang berasal dari daerah
sendiri.

BAB II
LANDASAN TEORI
Kata apresiasi secara leksikografis berasal dari bahasa Inggris apreciation, yang
berasal dari kata kerja to Apreciate, yang menurut kamus Oxford berarti to judge value of;

understand or enjoy fully in the right way; dan menurut kamus webstern adalah to estimate
the quality of to estimate rightly tobe sensitevely aware of. Jadi secara umum mengapresiasi
adalah mengerti serta menyadari sepenuhnya, sehingga mampu menilai secara semestinya.
Dalam kaitannya dengan kesenian, apresiasi berarti kegiatan mengartikan dan
menyadari sepenuhnya seluk beluk karya seni serta menjadi sensitif terhadap gejala estetis
dan artistik sehingga mampu menikmati dan menilai karya tersebut secara semestinya. Dalam
apresiasi, seorang penghayat sebenarnya sedang mencari pengalaman estetis. Sehingga
motivasi utama yang muncul dari diri penghayat seni adalah motivasi untuk mencari
pengalaman estetis.
Pengalaman estetis menurut Albert R. Candler adalah kepuasan kontemplatif atau
kepuasan intuitif. Sedangkan Yakob Sumardjo menjelaskan

pengalaman seni adalah

keterlibatan aktif dengan kesadaran yang melibatkan kecendekiaan, emosi, indera dan intuisi
manusia dengan lingkungan (benda seni) (2000, 161). Dalam proses pengalaman estetis unsur
perasaan dan intuisi lebih menonjol dibandingkan nalar; itulah sebabnya maka dalam proses
tersebut penghayat seni seolah kehilangan jati dirinya karena seluruh kehidupan perasaannya
larut ke dalam obyek seni, dan inilah yang disebut dengan empati.
Proyeksi perasaan tersebut bersifat subyektif dan sekaligus obyektif. Artinya subyektif
karena penghayat menemukan kepuasan atau kesenangan dari obyek seninya dan obyektif
karena proyeksi perasaan itu berdasarkan nilai-nilai yang melekat pada benda seni tersebut.
Kualitas seni yang ada dalam karya tersebut mengalirkan pengalaman secara dinamis dan
akhirnya mendatangkan kepuasan. Kualitas suatu karya biasanya muncul karena adanya pola
yang jelas yang terjalin pada unsur/elemen seni sehingga membentuk sebuah struktur.
Seorang apresian dalam melakukan penghayatan dan penilaian terhadap sebuah karya tidak
bisa dilepaskan dari persoalan persepsi yang muncul ketika berhadapan dengan karya
tersebut.
Sebagian besar faktor mengenai persepsi yang berpengaruh dalam pembentukan
persepsi adalah kualitas pribadi pengamat dan bukan kualitas obyek. Apapun kualitas obyek
maknanya sangat tergantung pada kualitas pribadi pengamat. Makna yang merupakan pola
dalam rangka pembentukan persepsi diperlukan untuk menyeleksi dan memahami lingkungan
serta untuk mengembangkan bahasa dan proses berpikir. Dalam kaitannya dengan seni, istilah
bahasa bisa diartikan adalah ungkapan hasil proses perasaan dan pikiran melalui elemen dan
strukturnya untuk menyampaikan pesan.

Dalam kaitannya dengan apresiasi terhadap karya seni, ada sejumlah faktor yang
mempengaruhi apresiasi seseorang ,yaitu;
1.
2.
3.
4.
5.

Kemauan dan minat,


Sikap terbuka,
Kebiasaan,
Peka atau sensitif
Kondisi mental.
Kemauan dan minat diperlukan untuk menikmati karya; sebab tanpa kemauan dan
minat apresiasi tidak akan berhasil. Kepekaan menangkap gejala unsur seni dengan segala
perubahannya merupakan suatu tuntutan, karena kepekaan seseorang akan membantu
menelusuri sumber kreasi dan sumber estetik suatu karya.sehingga dengan demikian
akan memperlancar menangkap makna yang tersirat dari yang tersurat sebuah karya.
Kondisi mental dalam rangka apresiasi adalah, intensitas seseorang dalam melakukan
penghayatan. Kurangnya intensitas karena adanya gangguan psikhis akan menyebabkan
apresiasi tidak maksimal.
Karya seni menghadirkan perasaan untuk direnungkanan oleh penghayat sehinga
karya itu dapat dilihat dan didengar atau dengan pelbagai cara penerimaan melalui simbol
bukan melalui kesimpulan gejala. Oleh karena itu, suatu bentuk yang ekspresif adalah suatu
bentuk yang dapat dipahami dan dibayangkan secara menyeluruh maksud yang
dikandungnya, ataupun juga kualitas seluruh aspek yang ada di dalamnya, sehingga bisa
menggambarkan secara menyeluruh dalam beberapa hal yang berbeda yang dipunyai elemenelemen tersebut dalam pelbagai hubungan analoginya.
Setiap karya seni tidak tumbuh dari sesuatu kekosongan, melainkan tumbuh diantara
dan dari perjalanan sejarah serta dalam suatu konteks sosial budaya, maka sebenarnya sebuah
karya seni merupakan rekaman peristiwa yang dikomunikasikan oleh seniman kepada
pembaca (penonton, pendengar). Oleh karena itu struktur karya seni baru dapat dipahami
sepenuhnya bila kita melihat karya itu sebagai suatu tanda atau lambang kehihudapan. Jadi
jelaslah bahwa selain fungsinya sebagai sarana untuk mengekspresikan segala sesuatu yang
tak tampak tapi ada dalam diri manusia, karya seni sebagai simbol juga berfungsi sebagai
media untuk berkomunikasi.
Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan ungkapan yang
simbolis. Manusia tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung
kecuali melalui pelbagai simbol dan simbol ini mempunyai unsur pembebasan dan perluasan

pemandangan. Artinya, sebuah ide jika sudah dinyatakan dengan menggunakan simbol maka
ide itu menjadi sesuatu yang multi interpretable. Bisa ditafsirkan dengan pelbagai makna.
Manusia merupakan homo creator, artinya bahwa manusia adalah mahluk yang selalu
berkreasi. Untuk menuangkan kreasinya manusia harus selalu berkarya. Hal itu karena selain
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, alam sekeliling ini tidak ada arti apapun bila tidak ada
karya dan sentuhan kreasi manusia.
Menurut Soren Kierkegaard, salah seorang filsuf existensialis, mengatakan bahwa
hidup manusia mengalami tiga tingkatan, yaitu estetis, etis dan religius Dengan kehidupan
estetis manusia mampu menangkap dunia dan sekitarnya yang mengagumkan. Kemudian dia
menuangkannya kembali rasa kekaguman tersebut dalam karya seni. Dalam tingkatan etis,
manusia mencoba meningkatkan kehidupan estetisnya dalam bentuk tindakan manusiawi,
yaitu bertindak bebas dan mengambil keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada
sesama. Dan akhirnya, manusia semakin sadar bahwa hidup mesti mempunyai tujuan. Segala
tindakan kemudian dipertanggung jawabkan kepada yang lebih tinggi, Tuhan Yang Maha Esa.
Bahasa adalah alat komunikasi atau alat penghubung antar manusia, tanpa ada alat
untuk berkomunikasi maka interaksi antar manusia itu tidak akan pernah terjadi. Dalam
kaitan dengan alat komunikasi maka istilah bahasa dapat berujud bahasa tulis/lisan, bahasa
isyarat, misalnya bunyi peluit, morse; bahasa gerak tubuh, misalnya gerak tangan polisi
pengatur lalulintas, tarian atau bahasa bentuk, misalnya gambar, termasuk di dalamnya adalah
lukisan.

Bahasa sebagai alat komunikasi bersifat umum dan universal. Bila sifat itu dilihat dari
fungsinya maka bahasa berfungsi sebagai:

1. Untuk tujuan praktis, yaitu komunikasi antar manusia.


2. Untuk tujuan artistik, yaitu ketika manusia mengolah bahasa guna mengungkapkan
kebenaran intuitif. Intuisi adalah suatu jenis kebenaran yang hanya dapat ditangkap lewat

perasaan dan penghayatan, lewat sejumlah gambaran kongkret inderawi atau biasa disebut
imajinasi.
3. Untuk tujuan filologis, yakni tatkala kita mempelajari naskah, kuno, latar belakang sejarah,
kebudayaan dan lain-lain.
4. Untuk menjadi kunci dalam mempelajari pengetahuan lainnya (Gorys Keraf, 1976: 14).
Jika proses ekspresi seni dianggap sebagai sebuah peristiwa komunikasi, maka karya
seni rupapun dapat dianggap sebagai bahasa, sehingga setiap elemen rupa dan rekayasa
sturkturnya yang ada dalam sebuah karya rupa adalah identik dengan kata dan gramatika.
Lukisan sebagai bahasa simbolis memang menciptakan situasi yang simbolis, artinya penuh
tanda tanya tentang hal-hal yang diungkap maksud dan arti yang dikandung dalam
simbolnya. Dalam situasi simbolis maka sebuah lukisan bukan bermaksud menerangkan atau
menguraikan sesuatu. Sebab sesuatu yang simbolis bila diterangkan atau diberi penjelasan
mendetail akan berkurang atau bahkan kehilangan daya simbolisnya.
Namun ada kalanya bahasa rupa tidak digunakan dalam maknanya yang simbolis,
tetapi memang untuk menjelaskan gejala-gejala visual yang sangat nyata, bilamana
diterangkan secara verbal maupun dengan bahasa yang lain akan tidak efektif atau bahkan
memungkinkan mengalami pendistorsian maksud /makna.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa, karya seni sebagai bahasa memiliki 2(dua) potensi,
yaitu potensi sebagai bahasa simbolik dan potensi sebagai bahasa rupa, gerak dan suara
secara denotatif. Dalam rangka mengkomunikasikan gagasannya, potensi mana yang dipilih
oleh seniman untuk dimasukkan dalam karyanya sangatlah tergantung pada tujuan
komunikasinya. Ketika muncul kesadaran bahwa eksistensi kita menjadi lebih berarti bila kita
berkomunikasi dengan lingkungan, maka saat itulah kita memerlukan alat komunikasi; dan
alat tersebut bernama bahasa.
Dalam artian yang luas, bahasa tidaklah sekedar ucapan, tetapi lebih pada sifatnya
yang simbolik. Dan dalam kaitannya yang simbolik tersebut bahasa dapat berupa gerak,
bunyi, warna, garis dan pendek kata segala hal yang dapat dipersepsi oleh manusia lewat
indera dan telah memberikan dampak psikhologis, kemudian ditafsirkan arti dan maknanya.
Itulah saya lebih setuju bahwa karya seni adalah sebuah re interpretasi dari interpretasi
kultural. Karya seni adalah tafsir dari tafsir, sehingga kehadirannya bukanlah dari kekosongan
belaka, bukan suatu perbuatan yang asal-asalan.
Wujud sebuah karya seni pada dasarnya adalah representasi pengalaman pengalaman
estetis seorang seniman ketika dia mencoba mencari jawaban atas apa yang ada dibalik gejala
yang ditangkap oleh inderanya . Oleh karena itu dalam melihat sebuah karya seni masalah

bentuk dan isi karya adalah masalah yang saling berkait. Bentuk adalah segala hal yang
membicarakan faktor intrinsik karya, mulai unsur, struktur, simbol, metafora dan lain
sebagainya. Sedangkan persoalan isi mempertanyakan nilai kognitif-informatif, nilai emosiintuisi, nilai gagasan, dan nilai nilai hidup manusia.
Ada dua pendapat tentang keberadan nilai dalam sebuah karya seni. Ada yang
bependapat bahwa nilai seni sebuah karya terletak pada benda dan senimannya; Namun dapat
pula pencarian hakekat seni dilakukan dari aspek penerima seni; Artinya nilai sebuah karya
seni tidak terletak pada bendanya atau penciptanya, akan tetapi kepada penerimanya. Kalau
dilihat dari kaca mata komunikasi maka bukan komunikator dan media yang membuat sebuah
pesan itu berarti dan bermanfaat akan tetapi adalah interpretasi komunikanlah yang
menjadikan pesan itu bermakna.

BAB III
PEMBAHASAN
A.

Sejarah Wayang di Indonesia


Wayang, merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa
pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang
terdapat pada prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat
itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.

Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud
tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber
aslinya telah hilang, di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah hyang, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman
dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun merti desa agar panen berhasil atau pun
agar desa terhindar dari segala malapetaka. Pada tahun 898 910 M wayang sudah menjadi
wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang
tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara
(menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di zaman
Mataram Hindu ini, Ramayana dari India berhasil dituliskan dalam Bahasa Jawa kuna (kawi)
pada masa raja darmawangsa, 996 1042 M.
Prasasti berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah; Royal Tropical Institute,
Amsterdam, contoh prasasti ini dapat dilihat dalam lampiran buku Claire Holt Art in
Indonesia: Continuities and Changes,1967 terjemahan Prof.Dr.Soedarsono(MSPI-2000-hal
431). Tertulis sebagai berikut:
Dikeluarkan atas nama Raja Belitung teks ini mengenai desa Sangsang, yang ditandai
sebagai sebuah tanah perdikan, yang pelaksanaannya ditujukan kepada dewa dari serambi
di Dalinan. Lagi setelah menghias diri dengan cat serta bunga-bunga para peserta duduk di
dalam tenda perayaan menghadap Sang Hyang Kudur. Untuk keselamatan bangunan suci
serta rakyat pertunjukan (tontonan) disakilan. Sang Tangkil Hyang sang (mamidu), si Nalu
melagukan (macarita) Bhima Kumara, serta menari (mangigal) sebagai Kicaka; si Jaluk
melagukan Ramayana; si Mungmuk berakting (mamirus) serta melawak (mebanol), si Galigi
mempertunjukkan Wayang (mawayang) bagi para Dewa, melagukan Bhimaya Kumara.
Pentingnya teks ini terletak pada indikasi yang jelas bahwa pada awal abad ke-10,
episode-episode dari Mahabharata dan Ramayana dilagukan dalam peristiwa-peristiwa ritual.
Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang berhubungan dengan Bima boleh jadi telah
dipertunjukan sebagai sebuah teater bayangan (sekarang: wayang purwa). Dari mana asalusul wayang, sampai saat ini masih dipersoalkan, karena kurangnya bukti-bukti yang
mendukungnya. Ada yang meyakini bahwa wayang asli kebudayaan Jawa dengan
mengatakan karena istilah-istilah yang digunakan dalam pewayangan banyak istilah bahasa
Jawa.
Dr.G.A.J.Hazeu, dalam detertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th
1897 di Leiden, Negeri Belanda) berkeyakinan bahwa pertunjukan wayang berasal dari
kesenian asli Jawa. Hal ini dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan banyak

10

menggunakan bahasa Jawa misalnya, kelir, blencong, cempala, kepyak, wayang. Pada
susunan rumah tradisional di Jawa, kita biasanya akan menemukan bagian-bagian ruangan:
emper, pendhapa, omah mburi, gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit
(pringgitan), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang. Bagi orang Jawa dalam membangun
rumahpun menyediakan tempat untuk pergelaran wayang. Dalam buku Over de Oorsprong
van het Java-ansche Tooneel - Dr.W Rassers mengatakan bahwa, pertunjukan wayang di
Jawa bukanlah ciptaan asli orang Jawa. Pertunjukan wayang di
Jawa, merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada
pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.
Dr.N.J. Krom sama pendapatnya dengan Dr. W. Rassers, yang mengatakan
pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat, oleh karena itu ia
menduga bahwa wayang merupakan ciptaan Hindu dan Jawa. Ada pula peneliti dan penulis
buku lainnya yang mengatakan bahwa wayang berasal dari India, bahkan ada pula yang
mengatakan dari Cina. Dalam buku Chineesche Brauche und Spiele in Europa - Prof G.
Schlegel menulis, bahwa dalam kebudayaan Cina kuno terdapat pergelaran semacam wayang.
Pada pemerintahan Kaizar Wu Ti, sekitar tahun 140 sebelum Masehi, ada pertunjukan
bayang-bayang semacam wayang. Kemudian pertunjukan ini menyebar ke India, baru
kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Untuk memperkuat hal ini, dalam majalah
Koloniale Studien, seorang penulis mengemukakan adanya persamaan kata antara bahasa
Cina Wa-yaah (Hokian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), artinya pertunjukan bayangbayang, yang sama dengan wayang dalam bahasa Jawa.
Meskipun di Indonesia orang sering mengatakan bahwa wayang asli berasal dari
Jawa/Indonesia, namun harus dijelaskan apa yang asli materi wayang atau wujud wayang dan
bagaimana dengan cerita wayang. Pertanyaannya, mengapa pertunjukan wayang kulit,
umumnya selalu mengambil cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata? Dalam papernya
Attempt at a historical outline of the shadow theatre Jacques Brunet, (Kuala Lumpur, 27-30
Agustus 1969), mengatakan, sulit untuk menyanggah atau menolak anggapan bahwa teater
wayang yang terdapat di Asia Tenggara berasal dari India terutama tentang sumber cerita.
Paper tersebut di atas mencoba untuk menjelaskan bahwa wayang mempunyai banyak
kesamaan terdapat di daerah Asia terutama Asia Tenggara dengan diikat oleh cerita-cerita
yang sama yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata dari India. Sejarah penyebaran
wayang dari India ke Barat sampai ke Timur Tengah dan ke timur umumnya sampai ke Asia
Tenggara.

11

Di Timur Tengah, disebut Karagheuz, di Thailand disebut Nang Yai & Nang Talun, di
Cambodia disebut Nang Sbek & Nang Koloun. Dari Thailand ke Malaysia disebut Wayang
Siam. Sedangkan yang langsung dari India ke Indonesia disebut Wayang Kulit Purwa. Dari
Indonesia ke Malaysia disebut Wayang Jawa. Di Malaysia ada 2 jenis nama wayang, yaitu
Wayang Jawa (berasal dari Jawa) dan Wayang Siam berasal dari Thailand.
Mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi
sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di
masa raja erlangga sampai di zaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai
menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu
saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya
menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun
lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di zaman awal majapahit wayang
digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti kertas jawi ini ) dan sudah dilengkapi
dengan pelbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai
globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh
agama hindu yang membuat naik-nya pamor tokoh dewa yang kini ditempatkan berada
di atas hyang
Abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa sekularisasi wayang tahap satu
dengan mulai disusunnya pelbagai mythos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan
langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini
pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas
berdirilah kerajaan demak (1500-1550 M) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan
dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang
yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya
prabangkara (zaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan
(di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut
hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan bertema sara).
Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk
kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata
menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita raden
patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana
pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang,
dan gunungan.
Sunan kudus kebagian tugas men-dalang suluk masih tetap dipertahankan, dan
ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang

12

semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya
digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak
mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan selain wayang purwa sang ratu
juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keratin.
Sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang
damarwulan zaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang
kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin
ditata : raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai
praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain.
Sunan kudus juga memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga
menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog
pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin
bekembang.
Panembahan senapati menambahkan pelbagai tokoh burung dan hewan hutan dan
rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak
pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan
berbentuk nyempurit dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru : cakil, tokoh
raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma,
pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa
tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk).
Setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut
merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut buta prapatan atau buta rambutgeni.
pelbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari zaman mataram islam
sampai zaman sekarang dengan munculnya ide-ide nyeleneh para dalang pelbagai peralatan
elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula
dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru
karawitan dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin
sulit dihakimi mana yang cerita pakem dan mana carangan.
B. Wayang Golek
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan
lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari
wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun
demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus
membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan
pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad

13

ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak
yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini
tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari
kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai
wayang golek.
1. Jenis-jenisWayangGolek
Ada tiga jenis wayanggolek, yaitu: wayanggolekcepak, wayanggolekpurwa, dan
wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera
babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon.Wayang golek purwa adalah wayang
golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa
Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang
Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk
membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang
golek dengan kehidupan modern.Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuan dadan di
kembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.

BAB IV
SIMPULAN
Karya seni sebagai bahasa memiliki dua potensi, yaitu potensi sebagai bahasa
simbolik dan potensi sebagai bahasa rupa, gerak dan suara secara denotatif.
Setiap karya seni tidak tumbuh dari sesuatu kekosongan, melainkan tumbuh diantara dan dari
perjalanan sejarah serta dalam suatu konteks sosial budaya, maka sebenarnya sebuah karya
seni merupakan rekaman peristiwa yang dikomunikasikan oleh seniman kepada pembaca
(penonton, pendengar).
Salah satu karya seni yang berkembang di Indonesia adalah seni wayang, yang
merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang paling tua. Pada masa pemerintahan Raja
Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang, yaitu yang terdapat pada prasasti

14

Balitung dengan tahun 907 Masehi, yang mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal
adanya pertunjukan wayang.
Wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud
tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber
aslinya telah hilang,
Seni wayang yang terkenal di Indonesia ada tiga, yaitu wayang golek, wayang kulit
dan wayang orang.

DAFTAR PUSTAKA
Yunus Abidin, M.Pd. dkk. (2010). Kemampuan Berbahasa Indonesia. Bandung: CV.
Maulana Media Grafika.
Saefudin, Ahmad. 2010. Teknik Pembuatan Makalah [Online]. Tersedia
http://teraskita.wordpress.com/2010/10/27/teknik-pembuatan-makalah/ [27 Oktober 2010].
Ghozaliash, achmad. 2013. Identitas Nasional [Online]. Tersedia
http://achmadghozaliash.blogspot.com/2013/04/identitas-nasional.html [April 2010].

15

Zaimar,okke.Wayanggolek[onlone].Sttaff.ui.ac.id/system/files/users/okke.ksz/publicatio
n/golek.okz.pdf

Anda mungkin juga menyukai