Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan
hasil dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun
buatan manusia. Datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa
ditolak, meskipun kadang bisa dicegah atau dihindari. Konsep sehat
sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada
faktor-faktor di luar kenyataan klinis yang mempengaruhi terutama
faktor sosial budaya. Jadi, sangat penting menumbuhkan pengertian
yang benar pada benak masyarakat tentang konsep sehat dan sakit
karena dengan konsep yang benar maka masyarakat pun akan
mencari alternatif yang benar pula untuk menyelesaikan masalah
kesehatannya (Foster, 2006). Pengetahuan masyarakat tentang konsep
sehat dan sakit yang benar akan membuat masyarakat mengerti
bagaimana memberdayakan diri untuk hidup sehat dan kebiasaan
mereka untuk mempergunakan fasilitas kesehatan yang ada. Hal ini
merupakan dua dari empat grand strategy yang dilakukan Departemen
Kesehatan

untuk

mewujudkan

visinya

yaitu

memandirikan

masyarakat untuk hidup sehat dengan misi membuat masyarakat


sehat (Depkes RI, 2009).
Pemerintah sering dihadapkan pada berbagai masalah di bidang
kesehatan,

masalah

yang

cukup

menjadi

perhatian

para

ahli

belakangan ini adalah assessment faktor risiko penyakit tidak menular.


Salah satu penyebabnya adalah karena penyakit tidak menular
sekarang ini memperlihatkan tendensi peningkatan. Peningkatan
penyakit tidak menular ini banyak terjadi di negara berkembang
karena perkembangan ekonominya mulai meningkat. Karena itulah
maka terjadi peralihan bentuk penyakit yang harus dihadapi, yaitu
dari penyakit menular dan infeksi menjadi penyakit tidak menular dan
kronis.

Proses

tersebutlah

yang

kerap

dikenal

sebagai

transisi

epidemiologi (Bustan, 1997). Transisi penyakit di Indonesia mulai


ditandai dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak
menular yang dirawat inap di beberapa rumah sakit. Peningkatan ini
menempatkan penyakit tidak menular menjadi penyakit utama rawat
inap di berbagai fasilitas kesehatan. Karena itu seharusnya transisi
1 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

epidemiologi juga menyebabkan terjadinya transisi kebijakan yang


menyeluruh (Soegondo, 2004). Penyakit tidak menular sering disebut
sebagai

penyakit

kronis.

Penyakit

tidak

menular

memberikan

kontribusi bagi 60 persen kematian secara global. Di berbagai negara


yang termasuk negara berkembang, peningkatan penyakit ini terjadi
secara cepat dan memberikan dampak yang sangat signifikan pada sisi
sosial, ekonomi dan kesehatan. WHO sendiri memperkirakan bahwa
pada tahun 2020, penyakit tidak menular akan menyebabkan 73
persen kematian secara global dan memberikan kontribusi bagi
penyebab kematian secara global atau global burden of disease sebesar
60 persen. Permasalahannya adalah sekitar 80 persen dari penyakit
tidak

menular

ini

justru

terjadi

pada

negara-negara

dengan

pendapatan rendah atau yang sering disebut sebagai low and middle
income countries (Mirza, 2008).
Perubahan pola hidup manusia seperti gaya hidup, sosial
ekonomi,

urbanisasi

dan

industrialisasi

pada

akhirnya

akan

meningkatkan prevalensi penyakit tidak menular, khususnya penyakit


degeneratif. Kecenderungan untuk beralih dari makanan tradisional
menjadi makanan cepat saji dan berlemak, terutama di daerah urban
mengakibatkan

perubahan

penyakit

yaitu

menurunnya

penyakit

infeksi dan meningkatnya penyakit non infeksi (degeneratif). Hal ini


menunjukkan telah terjadi transisi epidemiologi. Tentu saja penyakit
ini akan menimbulkan suatu beban bagi pelayanan kesehatan dan
perekonomian suatu negara karena memerlukan biaya yang besar
untuk perawatannya (Bustan, 1997).
Di awali dari terjadinya bencana gempa bumi dengan kekuatan
6,8 SR (BMG) atau 8,9 SR (US Geological Survey) yang terjadi pada
tanggal 26 Desember 2004 pukul 07.58 WIB yang diikuti oleh
gelombang besar tsunami di sebagian besar wilayah pantai barat dan
utara propinsi NAD dan Sumut, telah menimbulkan berbagai masalah
kesehatan bagi korban dan penduduk setempat. Salah satu dari
masalah kesehatan tersebut adalah yang menyangkut ketahanan
pangan dan gizi.
Sebagai akibat ketersediaan dan distribusi bahan makanan yang
kurang

merata

yang

disebabkan

banyaknya

titik

pengungsi

meningkatkan risiko gizi kurang, yang berdampak pada peningkatan


kesakitan dan kematian, utamanya yang dialami oleh kelompok
2 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

penduduk risiko tinggi yakni bayi, balita, ibu hamil dan ibu menyusui
serta usia lanjut.
1.2.

Tujuan
Untuk mengetahui dan mengidentifikasi masalah-masalah kesehatan
masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

3 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

BAB II
PEMBAHASAN
A. Berdasarkan hasil Review Pelaksanaan LITBANG Bidang Kesehatan di
Daerah Provinsi Sumatera Utara
a. Dasar :
Surat Kepala Balibang Kesehatan Departemen Kesehatan RI No.
PR.04.02.0.1.2419, tanggal 12 Agustus 2005 perihal Permohonan
sebagai pembicara pada Rakornas Litbang Kesehatan, tanggal 24 26
Agustus 2005.
b. Maksud dan Tujuan
Memberikan gambaran umum pelaksanaan Litbang Kesehatan di
Provinsi Sumatera Utara dan sebagai masukan bagi Rakornas Litbang
untuk melahirkan kesepakatan mekanisme kerjasama Litbang
Kesehatan Pusat dan Daerah.
I.

Keadaan dan Masalah Kesehatan di Provinsi Sumatera Utara


Provinsi Sumatera Utara berdampingan dengan provinsi lain di
Sumatera, Prov. NAD, Riau, Sumatera Barat merupakan jalur lintas yang
sangat strategis dalam perdagangan antar provinsi dan manca negara,
oleh karena itu pengembangan dibidang kesehatan memiliki potensi
untuk ditingkatkan baik dari segi pelayanan kesehatan, maupun
pengembangan sarana dan prasarana kesehatan. Selain dari pada itu
Sumatera Utara dijadikan daerah transit, distribusi dan pemasaran
perdagangan narkoba dan manca negara melalui pelabuhan laut dan
bandara yang diteruskan ke daerah lain diluar Sumatera Utara. Akibat
posisi strategis ini memberikan dampak yang positif untuk
pengembangan bidang kesehatan dan dampak negatif yang mengganggu
kehidupan masyarakat, terutama dibidang kesehatan.
Ditinjau dari kependudukan, pada tahun 2004 Sumatera Utara
memiliki jumlah penduduk, pada tahun 2004 11.890.399 Jiwa dan
kepadatan penduduk 166 jiwa/km. Laju pertumbuhan penduduk pada
tahun 2004 adalah 1,142 %. Sedangkan derajat kesehatan masyarakat
juga mengalami peningkatan yaitu antara lain : Angka Kematian Bayi
(AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). Tahun 2004, AKB Sumatera Utara
36/1000 KH, AKI 330/100.000 KH, Status gizi balita tahun 2004,
adalah gizi lebih 1,8 %, gizi kurang 1,4 % dan gizi buruk 1,8 %.
Permasalahan bidang kesehatan di Propinsi Sumatera Utara yaitu
masih tingginya angka kematian Ibu, angka kematian bayi, angka BBLR
dan kekurangan energi protein. Pada tahun 2003 angka kematian ibu
345/100.000 KH, angka kematian bayi 34,5/1000 KH, Berat Badan
4 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

Lahir Rendah (BBLR) 6%, kekurangan energi protein 25%, hal ini
disebabkan tingkat pengetahuan dan kesdaran masyarakat tentang
Prilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masih rendah, prasarana dan
sarana kesehatan masih kurang merata dan cenderung terkonsentrasi
pada daerah perkotaan, masih terbatasnya tenaga medis khususnya
dokter 4 (empat) spesialis dasar pada beberapa Rumah sakit Umum
Daerah Kabupaten/Kota seperti spesialis anak, obgyn, bedah dan
penyakit dalam.
Cakupan sarana sanitasi dasar pada umumnya masih rendah,
dimana cakupan SAB Nasional sebesar 90 %, sedangkan SAB Propinsi
Sumatera Utara tahun 2003 sebesar 73 %, untuk cakupan daerah
pedesaan, cakupan SAB Nasional sebesar 80 %, sedangkan cakupan
SAB Propinsi Sumatera Utara masih dibawah cakupan SAB Nasional
yaitu sebesar 32,62 %. Disamping itu peralatan kesehatan kedokteran
umumnya sudah tidak layak pakai dan belum memenuhi standar sesuai
kelasnya. Puskesmas Keliling umumnya sudah tidak layak pakai karena
sudah berumur 10 tahun lebih.
II.

Masalah-masalah kesehatan di Provinsi Sumatera Utara antara lain :


Masih tingginya kematian ibu dan kematian bayi
Masih tingginya angka kesakitan dan kematian dari beberapa
penyakit.
Kurang
gizi,
penyakit
menular,
kesehatan
lingkungan,
penyalahgunaan obat, termasuk masalah manajemen pelayanan
kesehatan
Kurangnya prasarana dan sarana kesehatan dan SDM di bidang
Kesehatan.

III.

Pelaksanaan Litbang Kesehatan


Kegiatan penelitian di bidang kesehatan baru dimulai dan
dikembangkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun
2002, yang tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Departemen
Kesehatan. Dalam melakukan penelitian Dinas Kesehatan
bekerjasama dengan instansi lain seperti Fakultas Kesehatan
masyarakat USU, walaupun ada beberapa staf yang telah mampu
melakukan penelitian dibidang kesehatan tetapi belum berstatus
sebagai peneliti.
Sesuai UU 22/99 dan 32/2004 tentang Pemerintah Daerah telah
dibentuk Balitbangda, yang mempunyai tupoksi menyelenggarakan
Litbang untuk mendukung pembangunan daerah dan penyiapan
konsep kebijakan daerah, sesuai SK Gubernur SU hanya
Balitbangda yang dapat melakukan Litbang, kecuali yang bersifat

5 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

sangat teknis dan spesifik, itupun harus ada rekomendasi Balitbang


Propsu.
Dilandasi oleh UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Litbangkes
merupakan
kegiatan
ilmiah
bertujuan
menemukan
dan
mengembangkan informasi ilmiah dan teknologi baru untuk
mendukung pembangunan dibidang kesehatan. Hasil Litbangkes
diharapkan menjadi masukan dalam penetapan kebijakan kesehatan
( Evidence based policy ) dan program pembangunan kesehatan.
Dengan demikian Program Litbangkes menjadi bagian integral dalam
kegiatan pembangunan kesehatan, untuk tingkat Nasional, Provinsi
dan Kabupate/Kota sesuai dengan PP No. 39 tahun 1995, Presiden
memberikan mandat kepada Meteri Kesehatan untuk melakukan
pembinaan dan Koordinasi Litbangkes di tingkat Nasional, Provinsi
maupun Kabupaten/Kota, maka diperlukan sinergi antara
pelaksanaan
kewenangan
ditingkat
Nasional,
Provinsi,
Kabupaten/Kota sehingga kegiatan Litbangkes dapat dilakukan
secara terpadu, effektif dan efisien dengan mengutamakan pada
kebutuhan prioritas dan spesifik lokal. Tindak lanjut dari PP
tersebut Provinsi Sumatera Utara telah membentuk forum jaringan
kerjasama penelitian dan pengembangan bidang kesehatan
(Jarlitbangkes) pada tanggal 07 Maret 2003 Sk Gubsu No.
07/414.K/2003 dengan melibatkan unsur, Dinas
Kesehatan
Provinsi, Perguruan Tinggi Negeri/Swasta, lembaga penelitian
kesehatan dan kelompok pakar kesehatan lainnya yang ada di
Sumatera Utara.
Tugas pokok dan fungsi forum Jarlitbangkes ini adalah :
a. Mengkoordinasikan dan mengkomunikasikan kegiatan Litbang di Bid.
Kesehatan antara Pusat & Daerah
b. Memberikan masukan kepada Pimpinan Daerah mengenai kesehatan.
c. Mengarahkan & melakukan kegiatan penelitian terpadu di Bidang
Kesehatan
Kegiatan Forum Jarlitbangkes ini baru meliputi :
Mengadakan Rakorda setiap tahun mulai tahun 2003 dan 2004
dengan mengikut sertakan Balitbang/Bappeda Kab/Kota dan
Stake holder. Hasil yang dicapai adalah Tersusunnya agenda
Litbangkes yang akan dilaksanakan setiap tahun, tetapi pada
umumnya tidak dapat terrealisasi karena keterbatasan dana.
Penyelenggaraan seminar sehari tentang meningkatnya minat
masyarakat SU untuk berobat ke Luar Negeri pada tgl. 23 Des.
2004 yang lalu
Pada tahun 2005 dengan dukungan dana APBD Provinsi SU akan
mengadakan Penelitian tentang :

6 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

Faktor penyebab dampak meningkatnya minat masyarakat untuk


berobat ke Luar Negeri (tindak lanjut hasil seminar 2004).
Penanggulangan KEP (Kurang Energi Protein) pada anak Balita
melalui pemberdayaan keluarga miskin
IV.

Kendala dan Solusi


A. Kendala
1. Terbatasnya dana APBD untuk kegiatan Litbangkes
2. Jejaring Litbangkes masih lemah, padahal sudah banyak
instansi/institusi
dibidang
Litbang
seperti
Balitbang
Dep.Kesehatan,
Komnas
JPPKN,
Balitbangda,
Perguruan
Negeri/Swasta, Dewan Riset Daerah SU (DRD-SU), Forum
Jarlitbangkes SU & lain- lain
3. Belum ada konsep atau juklak Litbangkes yang dipedomani
daerah dalam menyusun Litbang Kesehatan yang prioritas (Rood
Map Prop/Kab/Kota menuju Indonesia Sehat 2010)
4. Kegiatan Litbangkes berjalan sendiri-sendiri tidak melibatkan
sektor-sektor lain
B. Solusi
1. Perlu diatur dalam per-undang-undang-an alokasi dana untuk
program dibidang kesehatan yang sumber dana APBN & APBD.
Peningkatan dana APBD seperti halnya untuk program bidang
pendidikan. Peningkatan kerjasama kegiatan Litbangkes antara
pusat dan daerah dengan sharing dana APBN & APBD & Joint
Research.
2. Membangun sistem jejaring (Net Working) yang mampu
mensinergikan kegiatan litbangkes antara pemerintah pusat,
daerah, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha, LSM, dan Stake Holder
lainnya. Dengan prinsip saling menguntungkan dan memberi
manfaat, kesinambungan, saling percaya, transparansi dan
akuntabilitas. Jejaring dapat dikembangkan sebagai bagian dari
strategi pelaksanaan litbangkes meliputi antara lain; untuk
pengembangan
kelembagaan,
program,
kegiatan,
SDM,
pendanaan, sarana serta meningkatkan jangkauan kegiatan dan
sasaran penelitian.
3. Melalui Rakornas ini dapat dirumuskan agenda atau kriteria
kegiatan litbangkes prioritas yang dapat dipedomani pusat dan
daerah
4. Kesehatan adalah tanggung jawab bersama oleh karena itu perlu
dilakukan kemitraan dengan sektor lain dalam pelaksanaan
litbangkes dan pemilihan riset prioritas seperti dengan sektor
lingkungan hidup, perindustrian, pertanian, pendidikan, sosial,
7 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

agama, keamanan dan lain-lain dengan prinsip keterbukaan,


keselarasan dan saling menguntungkan.
B. Salah satu masalah yang menjadi upaya pemerintah terkait dengan
uraian diatas yaitu RENCANA KERJA PENANGGULANGAN MASALAH GIZI
AKIBAT BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI DI PROPINSI NANGGROE ACEH
DARUSSALAM DAN SUMATERA UTARA oleh Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat DEPARTEMEN KESEHATAN RI pada tahun 2005.
Untuk mengatasi masalah gizi tersebut perlu disusun rencana kerja
penanggulangannya.
I.

TUJUAN
Tujuan Umum:
Memulihkan dan meningkatkan status gizi masyarakat dan korban
bencana.
Tujuan Khusus:
a. Terselenggaranya pelayanan tanggap darurat gizi
b. Tercegahnya kejadian luar biasa gizi buruk
c. Terpenuhinya kebutuhan gizi bagi masyarakat kelompok risiko
tinggi termasuk pengungsi
d. Pulih dan berfungsinya sarana dan prasarana pelayanan gizi

II.

SASARAN
1. Manusia
Seluruh anggota masyarakat korban bencana terutama bayi, balita,
ibu hamil, ibu menyusui dan lansia. Dari beberapa sumber data
yang diperoleh, diperkirakan jumlah pengungsi sebesar 704.000,
terdapat jumlah kelompok rawan gizi sebagai berikut:
Balita 0 59 bulan (12% penduduk)
84.480 Orang
Bayi 0 11 bulan (2% penduduk)
14.080 Orang
Anak balita 12 59 bulan (10% penduduk)
70.400 Orang
Bayi piatu + tidak diberi ASI (50% dari bayi)
7.040 Orang
Anak 12 24 bulan (25% dari balita)
17.600 Orang
Anak piatu 12 24 bulan (50% dari anak
8.800 Orang
12-24 bulan)
Anak usia

sekolah

6-12

penduduk)
Ibu hamil (2.4% penduduk)
Ibu menyusui (2% penduduk)
Usia lanjut (4.4% penduduk)

tahun(21%

147.840 Orang
16.896 Orang
14.080 Orang
30.976 Orang

8 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

2. Sarana dan prasarana gizi


Seluruh sarana dan prasarana gizi di daerah bencana berfungsi
kembali melalui puskesmas (159), puskesmas pembantu (462),
pondok bersalin desa (2508), dan pos kesehatan di 24 lokasi
pengungsian.
3. Lingkungan
Lingkungan fisik dan sosial mendukung ketahanan pangan dan gizi
bagi korban bencana berfungsi kembali.
III.

KEBIJAKAN
1. Pelayanan gizi bagi korban bencana diberikan secara cuma-cuma.
2. Mobilisasi, penyaluran dan distribusi sumber daya pangan dan
gizi dilakukan dalam waktu sangat segera dengan prosedur
khusus.
3. Setiap bantuan sumber daya pangan dan gizi baik dari dalam
maupun luar negeri dapat diterima melalui Departemen
Kesehatan
sepanjang
sesuai
dengan
kebutuhan,
tidak
bertentangan dengan peraturan, tidak mengikat dan dilakukan
tanpa syarat.
4. Penyelenggaraan pelayanan gizi dilakukan dengan lintas program
dan lintas sektor terutama dengan Departemen Sosial sebagai
penanggung-jawab penyediaan pangan.
5. Pelaksanaan pelayanan gizi diprioritaskan pada kelompok risiko
tinggi dan di lokasi yang strategis.

IV.

STRATEGI
1. Meningkatkan akses korban bencana terhadap pelayanan gizi
melalui pos kesehatan di 24 lokasi pengungsian, puskesmas dan
rumah sakit termasuk rumah sakit lapangan.
2. Mobilisasi semua potensi pemerintah dan masyarakat termasuk
swasta dalam pelayanan gizi.
3. Penguatan jejaring kerjasama dan koordinasi dengan berbagai
pihak.
4. Penyelenggaraan upaya kuratif, rehabilitatif gizi sejalan dengan
upaya preventif dan promotif.
5. Rehabilitasi dan rekonstruksi sistem pelayanan gizi hingga
berfungsi optimal.

V.

KEGIATAN
Jangka pendek (tahap tanggap darurat, 12 bulan)
Tujuan yang ingin dicapai adalah terselenggaranya pelayanan gizi
darurat sampai berfungsinya sarana pelayanan kesehatan. Pelaksana
adalah Tim Gizi Darurat yang dibentuk khusus oleh Departemen
9 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

Kesehatan dengan melibatkan lintas sektor terkait, Pemda dan LSM


dari dalam dan luar negeri. Kegiatan yang dilaksanakan mencakup:
a. Melindungi ibu menyusui agar tetap memberikan air susu ibu,
sebagai makanan terbaik untuk bayi, sejak lahir sampai anak
berusia 2 tahun atau lebih.
b. Menyediakan susu formula yang higienis bagi bayi piatu.
c. Menyediakan dan memberikan makanan pendamping air susu ibu
(MP-ASI) untuk bayi dan anak dibawah dua tahun.
d. Menyediakan dan memberikan makanan tambahan kepada anak
balita diatas dua tahun, anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui
dan usia lanjut.
e. Menyelenggarakan pelayanan gizi bagi orang sakit di tempat-tempat
perawatan.
f. Mengintegrasikan pemberian vitamin A dengan pelayanan
imunisasi campak bagi anak 6-59 bulan dan tablet besi dengan
pelayanan antenatal bagi ibu hamil.
g. Mencegah terjadinya kejadian luar biasa gizi buruk melalui
peningkatan koordinasi lintas program dan lintas sektor.
h. Melaksanakan surveillans gizi untuk mendapatkan informasi
terkini tentang perkembangan status gizi.
Jangka menengah (tahap rehabilitasi, 2 tahun)
Tujuannya adalah merehabilitasi sarana pelayanan gizi di puskesmas
dan jaringannya yang mengalami kerusakan ringan sampai sedang,
sehingga dapat melaksanakan pelayanan gizi sambil menunggu
pulihnya fungsi puskesmas secara permanen. Jumlah puskesmas
yang membutuhkan rehabilitasi adalah 20 puskesmas. Jumlah
puskesmas pembantu dan polindes yang membutuhkan rehabilitasi
sedang dihimpun. Kegiatan yang dilakukan mencakup:
a. Membersihkan dan melakukan perbaikan kecil bangunan
puskesmas (termasuk rumah dokter dan paramedis) dan
jaringannya yang rusak.
b. Melaksanakan pengadaan sarana dan prasarana pelayanan gizi
puskesmas dan jaringannya sesuai dengan kebutuhan dan standar.
c. Menempatkan petugas gizi bagi puskesmas yang membutuhkan
dengan cara PTT.
d. Menempatkan tenaga gizi di Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
e. Menyelenggarakan pelayanan gizi rutin yakni:
Pemantauan tumbuh kembang balita di puskesmas dan
posyandu
Penyuluhan ASI eksklusif dan pemberian susu formula yang
higienis bagi bayi piatu.

10 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

Pemberian PMT bagi bayi, balita, anak sekolah, ibu hamil, ibu
menyusui dan lansia.
Mengintegrasikan pemberian paket suplementasi gizi (vitamin A,
tablet besi, kapsul yodium dsb) dengan program yang terkait.
Memberikan pelayanan gizi buruk di lokasi pengungsian,
puskesmas dan fasilitas rujukannya.
Menyelenggarakan penyuluhan keluarga sadar gizi.
Jangka panjang (tahap rekonstruksi, 5 tahun)
Tujuannya adalah membangun dan memfungsikan kembali
puskesmas
dan
jaringannya
yang
rusak
sehingga
dapat
menyelenggarakan pelayanan gizi secara rutin. Jumlah puskesmas
yang membutuhkan pembangunan kembali adalah 57 puskesmas.
Jumlah pustu dan polindes yang membutuhkan rehabilitasi sedang
dihimpun. Kegiatan yang dilakukan mencakup:
a. Membangun kembali gedung puskesmas (termasuk rumah dokter
dan paramedis) dan jaringannya sesuai dengan rencana tata ruang.
b. Melaksanakan pengadaan sarana dan prasarana pelayanan gizi di
puskesmas dan jaringannya sesuai dengan kebutuhan dan standar.
c. Menempatkan petugas gizi di puskesmas sebagai tenaga tetap.
d. Menempatkan tenaga gizi di Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/Kota.
e. Memfungsikan kembali posyandu dalam bentuk pelatihan kader,
pengadaan logistik (buku KIA, timbangan, alat masak dan makan,
meja dan kursi) serta penyediaan biaya operasional posyandu.
f. Menyelenggarakan pelayanan gizi rutin di puskesmas yakni:
Pemantauan tumbuh kembang di puskesmas dan posyandu
Penyuluhan ASI eksklusif dan pemberian susu formula yang
higienis bagi bayi piatu.
Pemberian PMT bagi bayi, balita, anak sekolah, ibu hamil, ibu
menyusui dan lansia.
Pengintegrasian pemberian paket suplementasi gizi (vitamin A,
tablet besi, kapsul yodium dsb) dengan program yang terkait.
Pemberian pelayanan gizi buruk di puskesmas dan fasilitas
rujukannya.
Penyelenggaraan penyuluhan keluarga sadar gizi.
Hal lain yang menjadi kegiatan yang dilakukan pemerintah
Sumatera Utara yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya arti
kesehatan.
Prioritas:
1) Bekerjasama dengan Kab/Kota membangun prasarana dan sarana
kesehatan dalam rangka pembangunan SDM yang berkualitas yang
mampu memberi pelayanan kesehatan, menumbuhkan dan
11 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

mengembangkan perilaku hidup sehat pada masyarakat, baik


secara fisik maupun mental.
2) Meningkatkan upaya pemberantasan penyakit menular, tidak
menular dan pencegahan penyakit.
3) Pembinaan dan peningkatan upaya penyembuhan penyakit dan
pemulihan melalui pelayanan kesehatan dasar, pelayanan
kesehatan rujukan, pelayanan kesehatan khusus, akreditasi
sarana pelayanan kesehatan dan sertifikasi teknologi kesehatan
serta pelayanan kesehatan penunjang.
4) Peningkatan Sumber Daya Kesehatan melalui perencanaan
pemberdayagunaan tenaga kesehatan, pendidikan dan pelatihan,
pengembangan
sistem
pelayanan,
pengem-bangan
sarana,
prasarana dan dukungan logistik pelayanan kesehatan.
VI.

INDIKATOR KEBERHASILAN
Jangka pendek (tahap tanggap darurat):
a. Semua masalah gizi korban bencana termasuk gizi buruk dapat
ditangani sesuai standar
b. Kejadian luar biasa gizi buruk dapat ditekan (prevalensi gizi buruk
<5%)
c. Cakupan distribusi gizi mikro (vitamin A, tablet besi) mencapai
semua sasaran korban bencana
d. Ibu menyusui dapat memberikan ASI dan bayi piatu dapat terus
memperoleh susu formula yang higienis
Jangka menengah (tahap rehabilitasi)
a. Sistem pelayanan gizi (tenaga, sarana, prasarana, SKPG) di daerah
bencana dapat berfungsi baik
b. Masyarakat di daerah bencana yang membutuhkan pelayanan gizi
terlayani dengan baik
c. Angka prevalensi gizi buruk dan kematian akibat gangguan gizi
dapat terkendali
Jangka panjang (tahap rekonstruksi)
a. Rehabilitasi sarana dan prasarana pelayanan gizi di daerah
bencana dapat terlaksana
b. Sistem pelayanan gizi di daerah bencana berfungsi normal
c. Partisipasi masyarakat dalam penanggulangan masalah gizi
berbasis masyarakat berfungsi optimal.

VII.

PENGORGANISASIAN
1. Organisasi
Penanggungjawab program penanggulangan masalah gizi akibat
bencana adalah Direktorat Gizi Masyarakat dengan koordinasi
Koordinator Bidang Tenaga, Pelayanan Kesehatan dan Gizi yang
12 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

2.

3.

4.

5.

VIII.

merupakan bagian dari Tim Penanggulangan Masalah Kesehatan


Akibat Bencana di Pusat dan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
serta Sumatera Utara.
Tenaga Gizi
Pemanfaatan tenaga gizi pada tahap tanggap darurat
mengutamakan relawan, pada tahap rehabilitasi memanfaatkan
tenaga gizi PTT serta pada tahap rekonstruksi memanfaatkan
tenaga gizi PNS. Pada tahap rehabilitasi, minimal pada 6 bulan
pertama akan diperbantukan tenaga gizi dari pusat sebagai tenaga
pendamping.
Logistik Gizi
Mobilisasi penyaluran dan distribusi logistik gizi yang meliputi
susu formula, makanan pendamping air susu ibu (bubur dan
biskuit), pemberian makanan tambahan (anak balita diatas dua
tahun, usia sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, dan usia lanjut),
dan suplementasi zat gizi mikro (kapsul vitamin A, sirop
multivitamin dan tablet besi); utamanya pada tahap tanggap
darurat dilakukan dengan cara yang paling cepat. Untuk
kelancaran transportasi dilakukan pula kerjasama dengan
berbagai sektor terkait termasuk TNI.
Jejaring kerjasama dengan masyarakat termasuk LSM
Untuk keberhasilan program perlu diikutsertakan berbagai
potensi masyarakat termasuk swasta, baik bersifat perseorangan
maupun yang bergabung dalam organisasi seperti: organisasi
profesi (seperti PERSAGI, PDGMI, PERGIZI PANGAN), asosiasi gizi
(seperti ASDI) dan LSM yang berasal dari dalam maupun luar
negeri dalam bentuk jejaring.
Kerjasama Internasional
Bantuan luar negeri dalam rangka kerjasama internasional
dihimpun oleh Tim Penanggulangan Masalah Kesehatan. Untuk
koordinasi akan dilakukan pertemuan berkala dengan berbagai
donor terkait.

PEMBIAYAAN
Pembiayaan diperoleh dari APBN, APBD, donasi dan hibah,
realokasi pinjaman luar negeri bidang kesehatan dan partisipasi
masyarakat termasuk LSM. Pengelolaan dana dilakukan secara
transparan.

C. Program Kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF


Januari 2006
Dasar Kerjasama

13 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

Basic Cooperation Agreement (BCA) yang disepakati pada tanggal 17


November 1966 merupakan dasar dari kerjasama antara Pemerintah
dan UNICEF. Rencana Program Kerjasama (Country Programme
Action Plan CPAP) periode 2006-2010 akan dijabarkan dan
dilaksanakan sesuai dengan BCA. Program-program dan proyekproyek yang dijabarkan dalam dokumen ini telah disepakati oleh
Pemerintah dan UNICEF.
Situasi di Indonesia
Beberapa gambaran situasi yang ada di Indonesia terkait kerjasama
pemerintah dengan UNICEF yaitu diantaranya :
Perkembangan dan tantangan. Indonesia telah menunjukkan
kemajuan dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium
(Millennium Development Goals - MDGs) selama satu dekade terakhir,
terutama dalam pengurangan kemiskinan, perbaikan pendidikan dan
peningkatan melek huruf. Kemajuan di bidang lain agak lambat, yaitu
dalam hal penurunan prevalensi kurang gizi, perbaikan kesehatan
ibu, dan peningkatan akses pada air yang aman untuk dikonsumsi.
Tantangan lain adalah besarnya disparitas antar daerah misalnya
angka kematian balita yang berkisar antara 23 sampai 103 per seribu
kelahiran hidup. Tantangan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan
desentralisasi adalah dalam pelaksanaan hukum, kebijakan dan
standar nasional, terutama karena lemahnya kapasitas perencanaan
dan pengelolaan pelayanan masyarakat di sebagian kabupaten/kota
dari 440 kabupaten di 33 propinsi.
Kematian bayi dan balita. Dengan angka kematian balita sebesar 46
per 1000 kelahiran hidup dan kematian bayi sebesar 35 per 1000
kelahiran hidup, Indonesia telah mengarah pada pencapaian target
MDG. Namun angka tersebut masih cukup bervariasi antar propinsi
dan antar daerah perkotaan dan pedesaan. Angka kematian bayi dan
kematian neonatal masing-masing menyumbang 76 persen dan 45
persen terhadap angka kematian balita. Tiga penyebab utama
kematian bayi adalah komplikasi perinatal, infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) dan diare. Sekitar sepertiga kematian balita
dan separuh kematian bayi terjadi pada masa perinatal, hal ini
menunjukkan pentingnya peningkatan pelayanan selama masa
kehamilan dan persalinan. Penyebab utama kematian anak (umur 1-4
tahun) adalah ISPA, diare, penyakit yang ditularkan oleh vektor, dan
penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Status kesehatan. Program imunisasi telah menunjukkan kemajuan
sejak tahun 1990-an dengan cakupan imunisasi campak pada anak
berumur 12 23 bulan saat ini sebesar 72 persen. Namun demikian
cakupan imunisasi sangat bervariasi, dan kasus campak masih
sering terjadi. Untuk pertama kali sejak tahun 1996, kasus polio
14 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

kembali muncul di tahun 2005, yaitu sebanyak 236 kasus dari


Januari sampai September. Cakupan DPT3 juga masih rendah,
sehingga masih terdapat sekitar 1,7 juta anak berumur 12-23 bulan
belum diimunisasi. Satu dari 5 kabupaten memiliki resiko tinggi
terhadap tetanus maternal dan neonatal. Malaria menyerang sampai
20 persen penduduk, terutama di daerah bagian timur. Dari 30 juta
kasus yang terjadi setiap tahun, hanya 10 persen yang mendapatkan
perawatan di fasilitas kesehatan.
Status gizi makro. Sekitar separuh dari kematian bayi dan anak
secara tidak langsung disebabkan oleh kekurangan gizi, yang
biasanya didahului oleh kurangnya berat badan bayi baru lahir.
Secara nasional angka balita dengan berat badan kurang
(underweight) telah mengalami penurunan dari 37,5 persen (1989)
menjadi 27,5 persen (2003). Tetapi di wilayah timur angka tersebut
masih melebihi 40 persen, yang menunjukkan tingginya disparitas.
Angka balita pendek (stunting) dan kurus (wasting) masih cukup
tinggi, masing-masing sebesar 34 dan 16 persen. Pemberian ASI
eksklusif juga rendah di Indonesia (40 persen dalam 6 bulan
pertama), terutama disebabkan oleh praktek pemberian makanan
tambahan terlalu dini dan meningkatnya jumlah ibu yang bekerja.
Kekurangan gizi mikro. Meskipun 73 persen rumah tangga telah
mengkonsumsi garam beryodium dengan cukup di tahun 2003 (naik
dari 50 persen di tahun 1995), masih ada sebanyak 58 juta penduduk
beresiko kekurangan yodium. Survey nasional juga memperlihatkan
tingginya angka anemia gizi besi di kalangan ibu hamil (40 persen)
dan perempuan usia subur (28 persen). Indonesia telah berhasil
dalam menghapuskan xerophthalmia, namun kekurangan vitamin A
masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Angka kematian ibu masih tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran
hidup jika dibandingkan dengan rata-rata di negara-negara Asia
Timur sebesar 110 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab utama
kematian ibu adalah perdarahan, eklampsia, komplikasi karena
aborsi, gangguan penyulit kelahiran dan infeksi. Satu dari empat
persalinan masih mengandalkan tenaga persalinan tradisional.
Bencana Tsunami. Pada tanggal 26 Desember 2004, terjadi gempa
bumi berkekuatan 9.1 skala Richter di pantai Sumatera,
menimbulkan gelombang tsunami yang menghancurkan propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dan daerah pantai di Sumatera
Utara, terutama pulau Nias. Tsunami tersebut dan gempa bumi
kedua pada tanggal 28 Maret 2005 di Sumatera Utara telah
menyebabkan 167,242 orang dinyatakan meninggal atau hilang di
propinsi NAD dan Sumatra Utara. Jumlah yang meninggal atau
hilang ini adalah sekitar 5 persen dari 4,4 juta penduduk NAD.
15 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

Jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal dan harta benda


diperkirakan mencapai 889,764 di NAD dan Sumatera Utara.
Kerusakan paling dahsyat terjadi di daerah pantai, dimana banyak
timbul korban jiwa, hancurnya infrastuktur, pemukiman, fasilitas
sosial seperti sekolah, fasilitas kesehatan, dan gedung-gedung
pemerintah, serta menewaskan ribuan aparat pemerintah.
Kerjasama 2001-2005 dan pengalaman yang diperoleh
Diantaranya :
Dukungan dan bantuan selama empat bulan pertama bagi upayaupaya pemerintah untuk pemulihan di NAD dan Sumatera Utara
mencapai hasil-hasil berikut: lebih dari 1 juta anak diimunisasi
campak dan diberi vitamin A; perbekalan kesehatan dan kebersihan
diserahkan kepada sekitar 200.000 orang; air bersih diberikan
kepada 103.000 orang pengungsi; fasilitas sanitasi diberikan kepada
53.000 orang; bahan-bahan ajar disediakan untuk setengah juta
anak; sebagian besar anak kembali ke sekolah; dan lebih dari 16.000
anak terdaftar dan menerima pelayanan psikososial dan bantuan
untuk melacak keberadaan keluarga mereka. Program Kerjasama juga
mendukung pengembangan rencana rekonstruksi Pemerintah di
bidang pendidikan, kesehatan, air dan sanitasi.
Rencana Program
Sasaran Program Kerjasama
Program Kerjasama telah menetapkan visi dan strategi utama yang
akan digunakan sebagai panduan bagi pelaksanaan program
kerjasama 2006-2010. Program kerjasama ini sejalan dengan
komitmen lembaga PBB di Indonesia - sebagaimana dijabarkan dalam
United Nations Development Assistance Framework (UNDAF) 20062010, yaitu untuk mendukung Pemerintah dalam mewujudkan
Tujuan Pembangunan Milenium (MDG). Program kerjasama ini akan
mendukung Pemerintah dalam mewujudkan hak-hak anak dan
mempercepat pencapaian tujuan dan target Program Nasional bagi
Anak Indonesia (PNBAI) dan MDG di tahun 2015. Program
kerjasaman juga tidak bisa dipisahkan dari Rencana Strategis Jangka
Menengah UNICEF (MTSP) 2006-2009, yakni rencana yang
menggambarkan misi dan mandat organisasi tersebut untuk
menanggapi perkembangan internasional dan berbagai perubahan
yang berpengaruh terhadap anak dan perempuan, serta pergeseranpergeseran yang terjadi dalam konteks internasional dan dalam tubuh
PBB sendiri.
Respon terhadap Tsunami. Sesuai dengan UNDAF, Rencana Kerja
Program Kerjasama Pemerintah Indonesia-UNICEF ini merupakan
respon aktif terhadap bencana Tsunami di Nagroe Aceh Darusallam
dan Sumatera Utara. Kegiatan yang terkait dengan program
16 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

kerjasama di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara dirinci


dalam empat komponen program. Dengan ditetapkannya Rencana
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat
Aceh dan Nias Sumatera Utara, UNICEF berkomitmen untuk
bekerjasama dengan mitra-mitra PBB dan pihak lain untuk
mengembangkan strategi pemulihan yang lebih komprehensif dan
mendorong pencapaian target-target MDG, serta mendukung rencana
rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut. Hal ini didasari oleh besarnya
dan skala bencana, kompleksitas usaha pemulihan, dan volume
bantuan internasional. Strategi ini dapat memberikan landasan bagi
rencana program kerjasama di NAD dan Sumatera Utara untuk
beberapa tahun ke depan.
Strategi lintas-sektor
Strategi Lintas Program dalam Program Kerjasama salah satu
diantaranya adalah :
Kesiapan menghadapi bencana, tanggap darurat dan pemulihan.
Program kerjasama ini akan meningkatkan kemampuan dalam
merespon keadaan darurat melalui kesiapan perencanaan yang dan
penyediaan kebutuhan. Di Aceh dan Sumatra Utara, program ini
akan membantu Pemerintah memulihkan dan memperbaiki
pelayanan sosial kepada perempuan dan anak-anak, dan dalam
mengembangkan pendekatan-pendekatan yang telah terbukti berhasil
dengan baik di daerah lain di Indonesia.
Komponen Program
Salah satu diantara seluruh komponen program yang dijalankan
yaitu :
Program Kesehatan dan Gizi
Fokus wilayah. Proyek kesehatan ibu dan bayi baru lahir akan
dilaksanakan di kabupaten-kabupaten terpilih di 13 propinsi.
Pencegahan penyakit malaria akan memberikan manfaat terhadap
lebih setengah juta rumah tangga di kawasan timur dan 3.5 juta
rumah tangga di pulau Sumatra.
Program Kerjasama akan tetap memfokuskan perhatiannya pada
program gizi mikro di kabupaten-kabupaten yang konsumsi garam
beryodiumnya rendah, dan pemberian vitamin A. Pencegahan
kekurangan zat besi akan di-integrasikan dengan program kesehatan
sebelum kehamilan dan waktu pemeriksaan kehamilan, dan juga
dengan program pencegahan malaria di daerah endemis (NAD dan
wilayah timur Indonesia). Departemen Kesehatan akan dibantu dalam
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang sudah ada, seperti distribusi
vitamin A, garam beryodium, dan pemberian prioritas pada pelayanan
kesehatan masyarakat.

17 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

Hasil. Prioritas bidang kesehatan dan gizi sejalan dengan apa yang
disebutkan dalam Rencana Strategis Jangka Menengah 2006-2010,
sebagai berikut:
Proyek-proyek: Program kerjasama 2006-2010 akan melaksanakan 4
proyek, yaitu Proyek Kesehatan dan Proyek Gizi secara nasional, dan
Proyek Kesehatan Dasar dan Perbaikan Gizi untuk NAD dan Sumatra
Utara.
Kedua proyek kesehatan akan meng-fokus terutama pada kesehatan
ibu dan bayi baru lahir, baik untuk proyek lokal maupun nasional,
dilaksanakan dalam kerja sama dengan pemerintah dan mitra
lainnya. Keduanya akan berusaha memperbaiki status kesehatan ibu
dan gizi anak yang menurun melalui dampaknya pada masalah berat
badan lahir rendah. Kedua proyek gizi akan tetap difokuskan pada
advokasi dan dukungan untuk peningkatan akses pada penambahan
gizi mikro dan praktek pemberian makanan yang tepat pada anak,
serta memperhatikan masalah pengobatan kecacingan, gizi remaja
dan pengamatannya oleh masyarakat, dan manajemen gizi buruk,
terutama di Aceh dan Sumut. Komponen cross-cutting dari proyek ini
adalah proyek yang direncanakan untuk revitalisasi sistem kesehatan
berbasis masyarakat dan peningkatan akses pada penanganan yang
berdampak besar, seperti vaksinasi, gizi mikro dan pembagian
kelambu, pemeriksaan kehamilan yang tepat dan rujukan untuk
kedaruratan kebidanan, penyuluhan kesehatan, dan inisiatif lain
untuk meningkatkan kualitas air bersih dan kebersihan, penanganan
gizi buruk ditingkat rumah tangga dan perkembangan anak usia dini.
Proyek ini akan menangani baik sisi hilir maupun sisi muara dari
lambatnya kemajuan pencapaian target MDG ke-5 dan ke-6, dan akan
difokuskan pada ketimpangan rasio kematian bayi dalam angka
kematian balita.
Mitra utama program kesehatan dan gizi: adalah Departemen
Kesehatan, direktorat, subdirektorat serta pusat-pusat penelitiannya
(Litbangkes and Puslitbang Gizi), Bappenas, Dinas-dinas kesehatan
provinsi dan kabupaten, LSM, dan PKK. Badan pemerintah lain
adalah Badan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik,
Departemen Sosial, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
Dalam Negeri, Departemen Agama, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Menteri Pemberdayaan Perempuan, dan Menkokesra,
serta Badan POM. Kemitraan dengan WHO, UNFPA, akan
ditingkatkan
melalui
inisitif
program-bersama.
Mitra
yang
mendukung pemerintah dalam pengembangan kebijakan adalah
WHO, UNFPA, WFP, bank bank pembangunan multi-lateral , badanbadan bilateral dan berbagai lembaga non-pemerintah internasional
lainnya. Proyek yang didanai secara multilateral dan bilateral akan
18 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

menjadi mitra dalam aktifitas- aktifitas khusus. Kemitraan kuat


antara AusAID, DFID, GTZ and UNICEF dalam kesehatan ibu dan
anak kini sedang dikembangkan, dan diharapkan bahwa kemitraan
dengn lembaga US-CDC akan dikembangkan untuk membantu
kegiatan pemberantasan malaria. Bantuan USAID dalam pemberian
vitamin A melalui HKI akan melengkapai aktifitas program kerjasama
ini. Partisipasi akan masih dilanjutkan dengan kelompok mitra-mitra
yang berminat untuk dalam bidang kesehatan ibu dan anak di
Indonesia. Program ini juga akan bekerja sama dengan berbagai mitra
LSM dalam bidang tertentu, seperti dengan PATH untuk imunisasi,
dan Frontier for Health dalam pengembangan Posyandu, HKI dan
beberapa LSM lokal untuk pemberian vitamin A, dan Koalisi Untuk
Fortifikasi Makanan (KFI) untuk gizi mikro. Kerjasama juga akan
dilakukan dengan pihak perguruan tinggi dan organisasi profesi,
seperti SEAMEO TropMed, untuk bantuan dalam riset akademis.
Mitra lain dalam rekonstruksi Aceh meliputi beberapa LSM besar.
Dalam gizi masyarakat dan perkembangan dini anak, UNICEF sangat
tergantung pada UNOps untuk bantuan dalam semua aspek
konstruksi posyandu dan polindes.
Manajemen Program
Koordinasi program. Koordinasi, pengelolaan dan tinjauan program
akan dilakukan pada tingkat nasional oleh Bappenas dan
Departemen Dalam Negeri, dan pada tingkat propinsi dan kabupaten
oleh tim dari KHPPIA, yang terdiri dari pemerintah daerah, UNICEF
dan perwakilan dari LSM. BRR akan mengkoordinasikan usaha
pemulihan dan pembangunan di NAD dan Sumatra Utara. Di tingkat
nasional,
tanggung jawab
untuk
melakukan
perencanaan,
pengelolaan dan monitoring program sektoral ada pada Kelompok
Kerja (Pokja) yang terdiri dari perwakilan departemen terkait, lembaga
pemerintah dan non-pemerintah, dan UNICEF. Pokja tersebut
dikoordinasikan oleh Bappenas. Di tingkat propinsi dan kabupaten,
tanggung jawab perencanaan, pengelolaan dan monitoring terletak
pada kantor pemerintah sektoral, seperti kantor dinas kesehatan dan
lain-lain, yang akan bekerja sama dengan kantor cabang UNICEF.
Pada level ini, seluruh aktifitas sektoral dikoordinasikan oleh KHPPIA,
dibawah pimpinan Bappeda, yang melaporkan kepada Dirjen Bangda
Depdagri dan berhubungan juga dengan kantor cabang UNICEF.

19 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas beberapa hal yang dapat kami simpulkan
yaitu :
Masalah kesehatan masyarakat merupakan masalah yang sangat
penting dan perlu diperhatikan dengan baik
Masalah kesehatan masyarakat perlu ditangani dengan baik dan
diprogramkan dengan baik pula oleh pihak Pemerintah, mulai dari
Pemerintah Pusat, Provinsi, Kota maupun Daerah
Masalah kesehatan merupakan tanggung jawab bersama oleh
karena itu perlu dilakukan kemitraan dengan sektor lain dalam
pelaksanaan penanganannya.
Rencana kerja penanggulangan

masalah

gizi

akibat

bencana

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan dan


Strategi Penanggulangan Masalah Kesehatan yang telah disusun.
Pelaksanaannya memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak yang
terkait. Diharapkan dengan dilaksanakannya berbagai kegiatan yang
telah

diuraikan,

masalah

gizi

dapat

ditanggulangi

dengan

sebaikbaiknya.

B. SARAN
Diharapkan makalah ini bisa memerikan masukan bagi siapa saja
yang membacanya dan dapat memberikan sedikit pengerahuan dan
sentuhan sehingga dapat memberi dorongan dan motivasi kepada kita
untuk

membantu

dalam

menangan

masalah-masalah

kesehatan

masyarakat yang ada di negara kita pada umumnya dan daerah kita
sendiri pada khususnya, sehinga kami menyarankan agar teman-teman

20 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

membaca dan memahami isi makalah ini sehinga menjadi bekal dalam
menjalani kehidupan di masyarakat.

21 Masalah Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai