Anda di halaman 1dari 35

LEMBARAN PENGESAHAN SARI PUSTAKA

PRESENTAN
JUDUL

: dr. Jayanthi Mandasari Nasution


: Dispepsia Fungsional

Palembang, Februari 2015


Pembimbing

Dr. Hasri Salwan, Sp. A (K)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya berkat dan karunia-Nya
penulis

dapat

menyelesaikan

Sari

Pustaka

dengan

Judul

DISPEPSIA

FUNGSIONAL PADA ANAK. Sari Pustaka ini disusun sebagai salah satu
persyaratan bagi peserta didik dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Kesehatan
Anak FK UNSRI Palembang.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Hasri Salwan, Sp. A (K) dan dr. Achirul Bakri, Sp. A (K)

selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan
saran-saran dalam penyusunan Sari Pustaka ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Rismarini, Sp. A (K) selaku Kepala Bagian Kesehatan Anak FK
UNSRI/RSMH Palembang.
2. dr. Aditiawati, Sp. A (K) selaku Ketua Program Studi Kesehatan Anak FK
UNSRI/RSMH Palembang.
3. dr. Hasri Salwan, Sp. A (K) dan dr. Achirul Bakri, Sp. A (K) selaku
pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan banyak
bimbingan dan saran-saran dalam penyusunan Sari Pustaka ini.
4. Seluruh staf pengajar PPDS Kesehatan Anak FK UNSRI/RSMH Palembang
yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan kepada penulis.
5. Seluruh teman sejawat residen atas support, kerjasama dan kebersamaannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Sari Pustaka ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan
Sari Pustaka ini.
Penulis juga mengharapkan Sari Pustaka ini dapat menambah wawasan dan
bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, Februari 2015

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........i
LEMBARAN PENGESAHAN SARI PUSTAKA...ii
KATA PENGANTAR.........iii
DAFTAR ISI........iv
DAFTAR GAMBARv
DAFTAR TABEL........vi
BAB I

PENDAHULUAN.........1

BAB II

DISPEPSIA
2.1 Batasan dan Klasifikasi Dispepsia..3
2.2 Epidemiologi Dispepsia Fungsional...5

BAB III

PATOFISIOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN


DIAGNOSIS BANDING DISPEPSIA FUNGSIONAL
3.1 Patofisiologi Dispepsia Fungsional
3.3.1 Gangguan Motilitas dari Saluran Pencernaan
3.3.2 Hipersensitif viseral
3.3.3 Disfungsi Autonom
3.3.4 Aktivitas Mioelektrik Lambung
3.3.5 Pengaruh Flora Bakteri
3.3.6 Faktor Genetik
3.3.7 Faktor Psikososial
3.3.8 Diet da Faktor Lingkungan
3.2 Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional
3.2.1 Manifestasi Klinis Berdasarkan Gejala
3.2.2 Kriteria Diagnostik Berdasarkan Kriteria ROMA
3.2.2.1 Sejarah Kriteria ROMA
3.3 Diagnosis Banding Dispepsia Fungsional

BAB IV

PEMERIKSAAN PENUNJANG, PENCEGAHAN, DAN


PROGNOSIS DISPEPSIA FUNGSIONAL
4.1 Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional
4.1.1 Penatalaksanaan Non Farmakologis
4.1.2 Penatalaksanaan Farmakologis
4.2 Pencegahan Dispepsia Fungsional
4.3 Prognosis Dispepsia Fungsional

BAB V

RINGKASAN

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1.1
Gambar 3.1.2
Gambar 3.1.3
Gambar 3.1.4

Pembagian Anatomi Lambung


Histologi Lambung
Persarafan dinding usus
Mekanisme Dispepsia akibat Stres

DAFTAR TABEL
Tabel 1Kriteria ROMA III untuk dispepsia fungsional
Tabel 2Kriteria ROMA III untuk postprandial distress syndrome
Tabel 3Kriteria ROMA III untuk epigastric pain syndrome
Tabel 4Diagnosis banding dispepsia fungsional

BAB I
PENDAHULUAN

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (dys : sulit dan pepsis : pencernaan)
yang berarti pencernaan yang tidak baik. Dispepsia merupakan nyeri kronis atau
berulang yang mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas
meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan
makanan dalam porsi yang normal), rasa penuh setelah makan, kembung, sendawa,
anoreksia, mual, muntah, heartburn, regurgitasi.1,2 Dispepsia terbagi menjadi dua
jenis, yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila

penyebabnya telah diketahui dengan jelas dan kebanyakan pasien dengan keluhan
dispepsia pada saat pemeriksaan tidak ditemukan kelainan organik yang dapat
menjelaskan keluhan tersebut seperti chronic peptic-ulcer disease, gastrooesophageal reflux, malignancy, dan sekitar 60% keluhan-keluhan tersebut tidak
dapat dijelaskan, keadaan ini disebut fungsional, atau non-ulcer dyspepsia. Pasien
dengan penyebab yang jelas tidak dimasukkan dalam kategori dispepsia fungsional.3
Dispepsia fungsional merupakan suatu kelainan gastrointestinal dengan
prevalensi cukup tinggi, ditandai dengan gejala yang berasal dari daerah perut bagian
atas tanpa kelainan organik. Dispepsia fungsional terjadi kronik dan berulang-ulang
serta mempunyai gejala kompleks, meliputi rasa nyeri atau tidak nyaman perut
bagian atas, perut terasa penuh, cepat kenyang, perut kembung, sendawa dan mual.4,5
Dispepsia fungsional pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang
mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya dalam waktu satu
bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35% peradangan mukosa.1
Berdasarkan AAP subcommittee menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan
remaja mengalami nyeri perut setiap minggu dan menurut penelitian yang dilakukan
Di Lorenzo pada tahun 2005 ditemukan anak-anak dengan dispepsia fungsional
sekitar 3% sampai 17 % dimana 2 % - 4 % anak-anak tersebut dibawa berobat ke
dokter anak umum, 30 % berobat ke dokter anak konsultan dan hanya sekitar 5 % 10 % merupakan dispepsia organik. 6
Kriteria diagnosis dispepsia fungsional dibedakan berdasarkan gejala dan
berdasarkan Kriteria ROMA III. Menurut ROME III tahun 2006, dispepsia fungsional
harus memenuhi semua kriteria yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu
selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan, terjadi pada saluran cerna
bagian atas, berulang-ulang dan tidak terbukti adanya kelainan organik.6,7
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Penanganan
dispepsia fungsional dapat dilakukan dengan non farmakologi dan farmakologi.
Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan
Helicobacter pylori, Itoprid, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum
didukung bukti adalah antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,
reseptor AH2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake
inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.8,9
Penelitian yang dilakukan oleh Mahadeva pada tahun 2011 menemukan
bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah

dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang


hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh
diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter
terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan
gangguan psikiatris.1,6
Tujuan pembuatan sari pustaka tentang dispepsia fungsional ini adalah untuk
mengetahui lebih mendalam tentang dispepsia fungsional dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan terjadinya dispepsia fungsional sehingga pencegahan terjadinya
dispepsia fungsional dapat dilakukan, mengetahui pembagian dispepsia fungsional
berdasarkan Kriteria ROMA serta gejalanya sehingga diharapkan dispepsia
fungsional dapat ditatalaksana secara cepat dan tepat.

BAB II
DISPEPSIA

2.1 BATASAN DAN KLASIFIKASI DISPEPSIA


Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (dys : sulit dan pepsis :
pencernaan) yang berarti pencernaan yang tidak baik. Dispepsia merupakan
nyeri kronis atau berulang yang mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman
pada perut bagian atas meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang
(tidak dapat menyelesaikan makanan dalam porsi yang normal), rasa penuh
setelah makan, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah, heartburn,
regurgitasi.1,2 Dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan
dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui
dengan jelas dan kebanyakan pasien dengan keluhan dispepsia pada saat

pemeriksaan tidak ditemukan kelainan organik yang dapat menjelaskan


keluhan tersebut seperti chronic peptic-ulcer disease, gastro-oesophageal
reflux, malignancy, sekitar 60% keluhan-keluhan tersebut tidak dapat
dijelaskan, keadaan ini disebut fungsional, atau non-ulcer dyspepsia. Pasien
dengan penyebab yang jelas tidak dimasukkan dalam kategori dispepsia
fungsional.3
Dispepsia fungsional adalah bagian dari nyeri perut yang kronis dan
berulang yang dapat menggambarkan gejala yang beragam, terdiri dari gejala
kelainan organik dan kelainan fungsional.1 Nyeri perut kronis merupakan
gejala gastrointestinal yang umum pada anak-anak. Berdasarkan pengertian
dari Apley dan Nash, nyeri perut kronis terjadi lebih dari tiga episode yang
terjadi tiga bulan dan mempengaruhi aktivitas anak sehari-hari. Berikut adalah
yang termasuk kelainan gastrointestinal :6
1. Kelainan gastrointestinal organik

2.

3.

a. kelainan asam lambung ( esophagitis, gastritis, dan ulkus peptikum)


b.
Infeksi (contohnya parasit)
c.
Penyakit eosinofilik ( esophagitis, gastritis, enteropati)
d.
Penyakit kandung empedu ( kolelitiasis, kolesistitis, kista koledokus)
e.
Kelainan pankreas ( pankreatitis akut atau kronik, pseudokista)
f.
Hepatitis kronik
g.
Inflammatory bowel disease (Chron disease)
h.
Benda asing
i.
Kelainan bedah (intususepsi, apendisitis)
j.
Malabsorbsi karbohidrat)
k.
Konstipasi
l.
Tumor
Kelainan organik bukan kelainan gastrointestinal
a. Infeksi pernapasan
b.
Infeksi saluran kemih (pyelonephritis, sistitis)
c.
Obstruksi ureteropelvic junction
d.
Nefrolithiasis
e.
Diabetes mellitus
f.
Sickle cell disease
g. Trauma
Kelainan gastrointestinal fungsional
a. Irritable bowel syndrome
b.
Migrain abdominal
c.
Dispepsia fungsional
d.
Sindrom nyeri perut fungsional
Nyeri

perut

fungsional

bukan

merupakan

diagnosis

tetapi

menggambarkan berbagai gejala. Berdasarkan pembagian nyeri perut kronis

pada anak dispepsia fungsional termasuk dalam kelainan gastrointestinal


fungsional. Menurut ROME III tahun 2006, dispepsia fungsional harus
memenuhi semua kriteria di bawah ini yang dialami sekurang-kurangnya satu
kali seminggu selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan:6,7
a. Nyeri yang persisten atau berulang atau perasaan tidak nyaman yang
berasal dari perut bagian atas (di atas umbilikus).
b. Nyeri tidak hilang dengan defekasi atau tidak berhubungan dengan suatu
perubahan frekuensi buang air besar atau konsistensi feses.
c. Tidak ditemukan kelainan organik.

2.2 EPIDEMIOLOGI DISPEPSIA FUNGSIONAL


Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak tidak jelas diketahui.
Dispepsia fungsional merupakan manifestasi nyeri perut berulang terbanyak
kedua setelah IBS (Irritable Bowel Syndrome).

Berdasarkan

AAP

subcommittee menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja


mengalami nyeri perut setiap minggu dan menurut penelitian yang dilakukan
Di Lorenzo pada tahun 2005 ditemukan anak-anak dengan dispepsia
fungsional sekitar 3% sampai 17 % dimana 2 % - 4 % anak-anak tersebut
dibawa berobat ke dokter anak umum, 30 % berobat ke dokter anak konsultan
dan hanya sekitar 5 % - 10 % merupakan dispepsia organik. 6
Rerksppaphol mengemukakan pada anak dan remaja berusia di atas 5
tahun yang mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya
dalam waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan
35% peradangan mukosa.1
Penelitian di Italia dengan menggunakan kriteria Rome II menyatakan
prevalensi dispepsia fungsional 0.3% dari seluruh kunjungan anak ke pusat
pelayanan primer.10 Penelitian di Amerika Utara menyatakan12.5% sampai
15.9% anak berusia 4 sampai 18 tahun dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan
tersier karena keluhan nyeri perut merupakan dispepsia fungsional.6
Seiring dengan bertambah maju ilmu pengetahuan dan alat-alat
kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit saluran pencernaan
yang disebabkan Helicobacter pylori (Hp), maka diperkirakan makin banyak
kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak
dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang

terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi Hp. Pada anak di bawah 4 tahun
sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atas 4
tahun kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.10,11,12

BAB III
PATOFISIOLOGI DAN MANIFESTASI KLINIS DISPEPSIA

3.1

PATOFISIOLOGI DISPEPSIA FUNGSIONAL


Patofisiologi dispepsia dapat diketahui apabila diketahui dahulu
anatomi, histologi, fisiologi lambung dan system persarafan gastrointestinal.
a. Anatomi lambung
Lambung adalah organ pencernaan yang paling melebar, dan terletak
di antara bagian akhir dari esofagus dan awal dari usus halus. 13 Lambung
merupakan ruang berbentuk kantung mirip huruf J, berada di bawah
diafragma, terletak pada regio epigastrik, umbilikal, dan hipokondria kiri
pada regio abdomen.14
Secara anatomik, lambung memiliki lima bagian utama, yaitu
kardiak, fundus, badan (body), antrum, dan pilori (gambar 3.1.1). Kardia
adalah daerah kecil yang berada pada hubungan gastroesofageal
(gastroesophageal junction) dan terletak sebagai pintu masuk ke lambung
Fundus adalah daerah berbentuk kubah yang menonjol ke bagian kiri di
atas kardia. Badan (body) adalah suatu rongga longitudinal yang
berdampingan dengan fundus dan merupakan bagian terbesar dari
lambung. Antrum adalah bagian lambung yang menghubungkan badan
(body) ke pilorik dan terdiri dari otot yang kuat. Pilorik adalah suatu
struktur tubular yang menghubungkan lambung dengan duodenum dan
mengandung spinkter pilorik.15

Gambar 3.1.1 Pembagian daerah anatomi lambung


b. Histologi Lambung
Dinding lambung tersusun dari empat lapisan dasar utama, sama
halnya dengan lapisan saluran cerna secara umum dengan modifikasi
tertentu yaitu lapisan mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan
serosa.15
1. Lapisan mukosa terdiri atas epitel permukaan, lamina propia, dan
muskularis mukosa. Epitel permukaan yang berlekuk ke dalam
lamina propia dengan kedalaman yang bervariasi, dan membentuk
sumur-sumur lambung disebut foveola gastrika. Epitel yang
menutupi permukaan dan melapisi lekukan-lekukan tersebut adalah
epitel selapis silindris dan semua selnya menyekresi mukus alkalis.
Lamina propia lambung terdiri atas jaringan ikat longgar yang
disusupi sel otot polos dan sel limfoid. Muskularis mukosa yang
memisahkan mukosa dari submukosa dan mengandung otot polos.14
2. Lapisan sub mukosa mengandung jaringan ikat, pembuluh darah,
sistem limfatik, limfosit, dan sel plasma. Sebagai tambahan yaitu
terdapat pleksus submukosa (Meissner).15
3. Lapisan muskularis propia terdiri dari tiga lapisan otot, yaitu (1)
inner oblique, (2) middle circular, (3) outer longitudinal. Pada
muskularis propia terdapat pleksus myenterik (auerbach). Lapisan
oblik terbatas pada bagian badan (body) dari lambung.14

4. Lapisan serosa adalah lapisan yang tersusun atas epitel selapis


skuamos (mesotelium) dan jaringan ikat areolar. Lapisan serosa
adalah lapisan paling luar dan merupakan bagian dari viseral
peritoneum.15

Gambar 3.1.2 Histologi Lambung


c. Fisiologi Lambung
Setiap hari lambung mengeluarkan sekitar 2 liter getah lambung.
Sel-sel yang bertanggung jawab untuk fungsi sekresi, terletak di lapisan
mukosa lambung. Secara umum, mukosa lambung dapat dibagi menjadi
dua bagian terpisah : (1) mukosa oksintik yaitu yang melapisi fundus dan
badan (body), (2) daerah kelenjar pilorik yang melapisi bagian antrum.
Sel-sel kelenjar mukosa terdapat di kantong lambung (gastric pits), yaitu
suatu invaginasi atau kantung pada permukaan luminal lambung. Variasi
sel sekretori yang melapisi invaginasi ini beberapa diantaranya adalah
eksokrin, endokrin, dan parakrin. 16
Ada tiga jenis sel tipe eksokrin yang ditemukan di dinding kantung
dan kelenjar oksintik mukosa lambung (Gambar 2.3.3), yaitu :
1. Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan
mukus yang encer.
2. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama (chief cell) dan sel
parietal. Sel utama menyekresikan prekursor enzim pepsinogen.
3. Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan faktor intrinsik.

Oksintik artinya tajam, yang mengacu kepada kemampuan sel ini


untuk menghasilkan keadaan yang sangat asam.
Semua sekresi eksokrin ini dikeluarkan ke lumen lambung dan
mereka berperan dalam membentuk getah lambung (gastric juice ).16
Menurut Price dan Wilson pada tahun 2006, pengaturan sekresi
lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik dan intestinal. Fase
sefalik sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk lambung, yaitu
akibat melihat, mencium, memikirkan atau mengecap makanan. Fase
sefalik ini menghasilkan sekitar 10 % dari sekresi lambung normal yang
berhubungan dengan makanan. Fase gastrik dimulai saat makanan
mencapai antrum pilorus. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian
dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang
sekresi. Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari dua pertiga sekresi
lambung total setelah makan, sehingga merupakan bagian terbesar dari
total sekresi lambung harian yang berjumlah sekitar 2.000 ml. Dan fase
intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum. 17
Pada periode interdigestif (antar dua waktu pencernaan) sewaktu
tidak ada pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung
dalam kecepatan lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut
pengeluaran asam basal (basic acid output, BAO) dan dapat diukur
dengan pemeriksaan sekresi cairan lambung selama puasa 12 jam. Sekresi
lambung normal selama periode ini terutama terdiri dari mukus dan hanya
sedikit pepsin dan asam. Tetapi rangsangan emosional kuat dapat
meningkatkan BAO melalui saraf parasimpatis (vagus) dan diduga
merupakan salah satu penyebab ulkus peptikum.

17

d. Sistem Saraf Gastrointestinal


Sistem saraf gastrointestinal atau enteric nervous system (pleksus
saraf intrinsik) adalah jaringan sel-sel saraf yang saling berhubungan.
Terdapat dua jaringan serat saraf yang membentuk pleksus di saluran
pencernan yaitu pleksus mienterikus (Aurbach) yang terletak di antara
lapisan otot polos longitudinal dan sirkuler, dan pleksus submukosa
(Meissner) yang terletak di submukosa.16,18,19 Kedua pleksus ini dikenal
sebagai pleksus intrinsic atau sistem saraf enterik karena terletak di dalam

dinding saluran pencernaan dan terdapat di seluruh pencernaan dari


esophagus sampai anus. Pada manusia sistem ini terdiri dari 100 juta
neuron sensorik, interneuron, dan neuron motorik yang sama banyaknya
dengan jumlah neuron di seluruh medulla spinalis sehingga dapat
dianggap sebagai bagian system saraf pusat yang berperan dalam
pengaturan fungsi gastrointestinal. Saluran pencernaan tidak seperti organ
lain karena memiliki sistem saraf intramural yang mengandung neuron
sebanyak neuron di korda spinalis, sehingga saluran ini cukup untuk
mengatur fungsinya sendiri. 16,18,19
Pleksus-pleksus intrinsik mempengaruhi semua fase aktivitas
saluran pencernaan. Melalui persarafan sel-sel otot polos serta sel-sel
eksokrin dan endokrin saluran pencernaan, pleksus intrinsik secara
langsung mempengaruhi motilitas saluran pencernaan, sekresi getah
pencernaan, dan sekresi hormon pencernaan. Jaringan saraf

intrinsik

terutama bertanggung jawab mengkoordinasikan aktivitas lokal di dalam


saluran pencernaan. Aktivitas saraf intrinsik dapat dipengaruhi oleh
pleksus ekstrinsik.16 Pleksus mienterikus merupakan rantai-rantai linier
dari banyak neuron yang saling berhubungan yang meluas ke seluruh
panjang traktus gastrointestinal. Pleksus ini terutama berperan pada
pengaturan aktivitas motorik di sepanjang usus. Bila pleksus dirangsang,
efeknya yang terutama adalah :18
1. peningkatan kontraksi tonik atau tonus dinding usus
2. peningkatan intensitas kontraksi ritmis
3. sedikit peningkatan kecepatan irama kontraksi
4. peningkatan kecepatan konduksi gelombang eksitatoris di
sepanjang dinding usus, menyebabkan pergerakan gelombang
peristaltik yang lebih cepat

Gambar 3.1.3 Persarafan dinding usus


Berdasarkan penjelasan anatomi, histologi dan fisiologi lambung
diatas, patofisiologi dispepsia fungsional sebagai berikut :
3.1.1

Gangguan motilitas dari saluran pencernaan


Gangguan motilitas dari saluran pencernaan yaitu perlambatan
dari masa pengosongan lambung dan gangguan motilitas lain. Pada
dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan
hipomotilitas antrum hingga 50% kasus.20
Stres mengakibatkan gangguan motilitas gastrointestinal. Pada
pasien dispepsia fungsional terjadi gangguan motilitas dibandingkan
dengan kontrol yang sehat, dari 17 penelitian kohort yang di teliti
tahun 2000 menunjukkan keterlambatan esensial pengosongan
lambung pada 40% pasien dispepsia fungsional. Gastric scintigraphy
ultrasonography dan barostatic measure menunjukkan terganggunya
distribusi makanan didalam lambung, dimana terjadi akumulasi isi
lambung pada perut bagian bawah dan berkurangnya relaksasi pada
daerah antral. Dismolitas duodenum adalah keadaan patologis yang
dapat terjadi pada dispepsia fungsional, dimana terjadi gangguan
aktivitas mioelektrikal yang merupakan pengatur dari aktivitas
gerakan gastrointestinal.20

3.1.2

Hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik


akibat gastrointestinal hipersensitif terhadap rangsangan, merupakan
salah satu hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Fenomena ini
berdasarkan

mekanisme

perubahan

perifer.

Sensasi

viseral

ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri


dirasakan. Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan dengan
peningkatan sinyal dari usus.3,8
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan
disfungsi pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas
serabut aferen lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala
dispepsia. Dispepsia fungsional juga ditandai oleh respon motilitas
yang

cepat

setelah

rangsangan

kemoreseptor

usus.

Hal

ini

mengakibatkan rasa mual dan penurunan motilitas duodenum.3


Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait dengan
mekanisme sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik
menunjukkan bagian otak yang terlibat dalam afektif, kognitif dan
aspek emosional terhadap rasa sakit yang berhubungan dengan pusat
sistem saraf otonom. Kemungkinan bahwa perubahan periperal pada
gastrointestinal

dimodulasi

oleh

mekanisme

sentral.

Bagian

kortikolimbikpontin otak adalah bagian pusat terpenting dalam


persepsi stimuli periperal. 3,8

Gambar 3.1.4 Mekanisme dispepsia akibat stres


3.1.3

Disfungsi Autonom
Disfungsi

persarafan

vagal

diduga

berperan

dalam

hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional.


Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan,
sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat
kenyang.3
3.1.4

Aktivitas Mioelektrik Lambung


Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional,
tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.21

3.1.5

Pengaruh Flora Bakteri


Infeksi Hp menyebabkan dispepsia fungsional. Penyelidikan
epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi Hp pada pasien dengan
dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat

mengenai pengaruh Hp terhadap dispepsia fungsional. Diketahui


bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel
neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan
menurunkan kadar somatostatin.21
3.1.6

Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah
sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF-). Penurunan sitokin antiinflamasi
dapat meyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu
polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem
reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha
adrenergik yang memengaruhi motilitas dari usus.3
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional
gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada
kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang
menarik. Pada pasien gangguan gastrointestinal fungsional terjadi
hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal.3

3.1.7

Faktor Psikososial
Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan
bahwa stres adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional.
Emosi labil memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi
gastrointestinal. Hal ini merupakan akibat dari pengaruh pusat di
enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah gerakan dan
aktivitas

sekresi

traktus

gastrointestinal

melalui

mekanisme-

neuroendokrin.3
Anak-anak dengan gangguan fungsi gastrointestinal lebih
lazim disebabkan karena kecemasan pada diri mereka dan orang tua
terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa stres atau kecemasan
dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal
yang dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang.3,22

3.1.8

Diet dan Faktor Lingkungan


Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus
dispepsia

fungsional.

Dengan

melihat,

mencium

bau

atau

membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung


yang banyak mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena
faktor nervus vagus, dimana ada hubungannya dengan faal saluran
cerna pada proses pencernaan. Nervus vagus tidak hanya merangsang
sel parietal secara langsung tetapi efek dari antral gastrin dan
rangsangan lain sel parietal.21

3.2 MANIFESTASI KLINIS DISPEPSIA FUNGSIONAL


3.2.1 Manifestasi Klinis Berdasarkan Gejala
Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan
atau gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni:10
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like
dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat,
serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. 23
Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga
bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin
disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada
beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada

penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi


nafsu makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut
kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu,
atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai
penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka
penderita harus menjalani pemeriksaan. 23
Gejala klinis dispepsia fungsional harus dapat dibedakan dengan
sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik yang
mempunyai tanda peringatan (alarm symptoms) seperti berikut :23
a. Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilicus
b. Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
c. Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
d. Nyeri timbul tiba-tiba
e. Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
f. Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
g. Disertai perdarahan saluran cerna
h. Terdapat disuria
i. Berhubungan dengan menstruasi
j. Terdapat gangguan tumbuh kembang
k. Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
l. Terjadi pada usia < 4 tahun
m. Terdapat organomegali
n. Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi
o. Kelainan perirectal yaitu fisura, ulserasi

3.2.2

KRITERIA DIAGNOSTIK BERDASARKAN KRITERIA ROMA


3.2.2.1 SEJARAH KRITERIA ROMA
Kriteria ROMA I
Pada

tahun

1991,

para

pakar

gastroenterologi

anak

mengadakan pertemuan untuk membahas kriteria ROMA I, mereka


menyimpulkan dispepsia mewakili sakit perut persisten atau berulang

atau ketidaknyamanan perut yang berpusat di perut bagian atas yang


terdiri dari tiga kategori, yaitu :
a.

Dispepsia dengan penyebab yang diketahui yang bila


diobati akan menunjukkan perbaikan, seperti ulkus
peptikum kronis, refluks esophagitis, keganasan atau
penyakit pankreas
Dispepsia dengan kelainan yang belum pasti, seperti

b.

gastritis

karena

Helicobacter

pylori,

duodenitis,

gastroparesis idiopatik, disritmia lambung atau dismolitas


usus halus
Dispepsia tanpa diketahui penyebabnya

c.

Ketiga kategori tersebut disimpulkan bahwa dispepsia


dibagi dua yaitu dispepsia dengan kelainan yang diketahui
dan dispepsia tanpa kelainan atau dispepsia fungsional
Gejala dispepsia fungsional dijelaskan sebagai gejala kronis

atau nyeri perut berulang atau ketidaknyamanan perut yang berpusat di


perut bagian bawah sedikitnya selama 3 bulan. Gejala dapat timbul
25%. Kalsifikasi dari dispepsia fungsional ini tidak termasuk irritable
bowel syndrome (IBS), gastroesophageal reflux disease (GERD),
penyakit traktus bilier atau aerofagia.
Selanjutnya dispepsia fungsional dibagi menjadi tiga yaitu
kelompok, yaitu :
a. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia)
yang ditandai dengan gejala nyeri yang berpusat di bagian
medial kuadran atas abdomen, dan biasanya gejala hilang dengan
pemberian antasida atau makanan, serta sering terbangun di
malam hari.
b. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like
dyspepsia) ditandai dengan gejala tidak nyaman ataupun
mengganggu tetapi tidak nyeri, disertai rasa penuh, cepat
kenyang, kembung, ataupun mual.
c.

Dispepsia non spesifik bila keluhan yang timbul tidak memenuhi


kriteria baik ulcer like dyspepsia maupun dysmotility-like
dyspepsia

Kriteria ROMA II
Kriteria ROMA II dirumuskan pada pertemuan tahun 1999.
Dirumuskan dalam pertemuan tersebut bahwa untuk ulkus seperti
dispepsia fungsional gejala yang dominan adalah nyeri epigastrium.
Untuk dismolitas seperti dispepsia fungsional, gejala yang dominan
adalah ketidaknyamanan perut seperti perut terasa penuh, cepat
kenyang, perut kembung atau mual. Pengelompokan subgroup dari
gejala

yang

predominan

dilakukan

agar

dapat

lebih

baik

mengidentifikasi gangguan patofisiologi yang mendasari dan untuk


pengobatan yang tepat.
Dalam konsensus Roma II, dispepsia fungsional didefinisikan
sebagai dispepsia yang berlangsung sebagai berikut : sedikitnya terjadi
dalam 12 minggu, tidak harus berurutan dalam rentang waktu 12
minggu terakhir, terus menerus atau kambuh (perasaan sakit atau
ketidaknyamanan) yang berpusat di perut bagian atas dan tidak
ditemukan atau bukan kelainan organik (pada pemeriksaan endoskopi)
yang mungkin menerangkan gejala-gejalanya.
Gambaran klinis dari dispepsia fungsional adalah riwayat kronik,
gejala yang berubah-ubah, riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang
tidak responsive dengan obat-obatan dan dapat juga ditunjukkan
letaknya oleh pasien, dimana secara klinis pasien tampak sehat.

Kriteria ROMA III


Pada tahun 2006 diadakan pertemuan di ROMA untuk
merumuskan kriteria ROMA III. Pada orang dewasa, subtipe dispepsia
fungsional sebelumnya dihapuskan dan diganti dengan dua subtipe
baru, yaitu sindrom gangguan postprandial dan dan sindrom nyeri
epigastrium. Untuk anak-anak juga dieliminasi kriteria dispepsia
fungsional sebelumnya.
Berikut adalah kriteria dispepsia fungsinal berdasarkan kriteria
ROMA III :
Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya

terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2.

Tidak

ditemukan

bukti

adanya

kelainan

struktural

yang

menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat


endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA]).

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya


dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Tabel 1. Kriteria ROMA III untuk dispepsia fungsional

a. Postprandial distress syndrome


Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah
makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali
seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu
menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa
kali seminggu.
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya

dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul


sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual
setelah makan atau bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
Tabel 2. Kriteria ROMA III untuk postprandial distress syndrome

b. Epigastric pain syndrome


Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah
epigastrium dengan tingkat keparahan moderat atau sedang,
paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada
selain daerah perut bagian atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angina
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis
kelainan kandung empedu dan sfingter Oddi
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya
dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul
sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa
menjalar ke daerah retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan


makan, namun mungkin timbul saat puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah
makan.
Tabel 3. Kriteria ROMA III untuk epigastric pain syndrome

3.3

DIAGNOSIS BANDING DISPEPSIA FUNGSIONAL


Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab lain
dispepsia berhasil disingkirkan. Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada
upaya mengeksklusi penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifik organik
yang mungkin, bukan menggali karakteristik detail dan mendalam dari gejalagejala dispepsia yang dikeluhkan pasien.
Diagnosis banding kelainan gastrointestinal yaitu :
1. Kelainan gastrointestinal organik
a. kelainan asam lambung ( esophagitis, gastritis, dan ulkus
b.
c.
d.

e.

f.
g.
h.

peptikum)
Infeksi (contohnya parasit)
Penyakit eosinofilik ( esophagitis, gastritis, enteropati)
Penyakit kandung empedu ( kolelitiasis, kolesistitis, kista
koledokus)
Kelainan pankreas ( pankreatitis akut atau kronik,
pseudokista)
Hepatitis kronik
Inflammatory bowel disease (Chron disease)
Benda asing

i.
j.
k.
l.

Kelainan bedah (intususepsi, apendisitis)


Malabsorbsi karbohidrat)
Konstipasi
Tumor

2. Kelainan organik bukan kelainan gastrointestinal


e. Infeksi pernapasan
f.
Infeksi saluran kemih (pyelonephritis, sistitis)
g.
Obstruksi ureteropelvic junction
h.
Nefrolithiasis
i.
Diabetes mellitus
j.
Sickle cell disease
k. Trauma
3. Kelainan gastrointestinal fungsional
l. Irritable bowel syndrome
m.
Migrain abdominal
n.
Dispepsia fungsional
o.
Sindrom nyeri perut fungsional

BAB IV
PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN TATALAKSANA DISPEPSIA
FUNGSIONAL

PEMERIKSAAN PENUNJANG DISPEPSIA FUNGSIONAL


Pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian:
1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan
leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir
atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus
sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu
keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma
kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pancreas).
2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
3. Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari
lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah
mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter
pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai
diagnostik sekaligus terapeutik.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi
Helicobacter pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar

indikasi.

4.2 PENATALAKSANAAN DISPEPSIA FUNGSIONAL


Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa
pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah : pemberantasan Hp,
Itoprid, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum didukung bukti
adalah antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal, reseptor
AH2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake inhibitor,
sukralfat, dan antidepresan. Penanganan dispepsia fungsional dapat dilakukan
dengan non farmakologi dan farmakologi.
4.2.1 Pengobatan Non farmakologi
Pengobatan non farmakologi dispepsia fungsional diantaranya
dengan cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi
farmakologi. Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan
yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi, alkohol, dan merokok.
Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi
intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk menghindari makan
yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan
makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif
pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan
terapi perilaku.
4.2.2

Pengobatan Farmakologis
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat,
yaitu :
a. Antasida
Antasida

secara

langsung

akan

menetralisir

keasaman,

peningkatan pH, atau secara reversibel mengurangi atau

menghalangi sekresi asam lambung oleh sel untuk mengurangi


keasaman di perut. Rasa pedih terasa ketika asam klorida lambung
mencapai saraf di mukosa saluran cerna. Lalu saraf tersebut
mengirim sinyal rasa sakit ke sistem saraf pusat. Hal ini terjadi
pada bagian saraf yang terkena asam. Golongan ini mudah didapat
dan murah. Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung.
Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat, Al(OH)3,
Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak
dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis
untuk mengurangi nyeri. Magnesium trisiklat merupakan adsorben
nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare
karena terbentuk senyawa MgCl2.
b. Antikolinergik
Kerja obat ini tidak spesifik, Obat yang agak selektif adalah
pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang
dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% sampai 43%.
Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
c. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan ini adalah famotidin, ranitidin, simetidin dan nizatidin.
Obat cepat diserap setelah pemberian per oral. Efek reseptor AH2
pada sekresi asam tergantung pada dosis dan konsentrasi.
Penghambat reseptor AH2 secara kompetitif manghambat aksi
histamin pada reseptor histamine H2 pada sel parietal lambung.
Sel parietal memiliki reseptor untuk histamin, asetilkolin dan
gastrin,

yang semuanya

dapat

merangsang sekresi

asam

hidroklorida ke dalam lumen gaster. Penghambat reseptor H2


menghambat sekresi asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin.
Efek penghambat reseptor H2 pada sekresi asam tergantung pada
dosis dan konsentrasi.
Reseptor AH2 kecil pengaruhnya terhadap otot polos lambung dan
tekanan

sfingter

esophagus

yang

lebih

bawah.

Sekresi

gastrointestinal yang lain tidak banyak berkurang. Terdapat


perbedaan potensial yang sangat jelas dari efikasinya dibanding

obat lain dalam mengurangi sekresi asam.


d.

Proton Pump Inhibitor


Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium
akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk
golongan PPI adalah omeprazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

e. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan
prostaglandin

endogen,

yang

selanjutnya

memperbaiki

mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan meningkatkan


sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
(sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi
mukosa saluran cerna bagian atas.
f.

Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah
refluks dan memperbaiki asam lambung.

g. Antidepresan
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat
anti depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional,
karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan
factor kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari obat ini
adalah

golongan

trisiclic

antidepressants

(TCA)

seperti

amitriptilin. Amitriptilin bekerja pada berbagai daerah di saluran


pencernaan dan otak. Amitriptilin menurunkan hipersensitivitas
viseral dengan menurunkan rangsangan saraf sensorik askending
dari perifer atau dengan meniadakan efek peningkatan mediator
inflamasi lainnya melalui reseptor 5HT. Amitriptilin dapat
memfasilitasi atau meningkatkan efek dari inhibisi desending
modulasi nyeri sentral, opioid, serotonergik, atau noradrenergik.
Amitriptilin bekerja pada area yang memproses nyeri pada otak
sehingga menurunkan nyeri viseral dan kemungkinan juga

persepsi nyeri. Karena efek-efek terhadap Amitriptilin bila


digunakan pada dosis penuh dapat mengobati gangguan kejiwaan,
dan karena itu dapat mengobati gangguan kejiwaan bersamaan
pada pasien dengan dispepsia fungsional dan dapat mengobati
stres yang berhubungan dengan eksaserbasi gejala dispepsia
fungsional yang berhubungan dengan kecemasan sekunder dengan
efek ansiolitik. Amitriptilin dosis rendah telah diusulkan sebagai
pengobatan alternative untuk pasien dengan dispepsia fungsional
karena amitriptilin mengurangi sensitivitas dari saraf perifer,
meningkatkan

ambang

dan

toleransi

nyeri,

dan

bersifat

antikolinegik. Amitriptilin memiliki sifat antinociceptive, efek


analgesic perifer pada tingkat mekanoreseptor viseral dan serat
saraf aferen. Amitriptilin juga dapat mempengaruhi motilitas
gastrointestinal dan sekresi berdasarkan efek serotonergik,
noradrenergik, atau antikolinergik. Amitriptilin memiliki potensi
untuk

mengurangi

gejala

dispepsia

fungsional

karena

meningkatkan ketersediaan 5-HT (pro-motilitas) tidak hanya di


tingkat sistem saraf pusat, tetapi juga di tingkat enterik. Reseptor
kappa-opioid agonis berguna untuk dispepsia fungsional karena
efek antinociceptive, efek antikolinergik, perlambatan transit
gastrointestinal, relaksasi fundus, efek sedasi dan analgesik.

4.3 PENCEGAHAN DISPEPSIA FUNGSIONAL


Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut :
4.3.1

Pencegahan Primer (Primary Prevention)


Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor
resiko dispepsia bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor
resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan
(Health Promotion) kepada masyarakat mengenai :

a.

Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana


mengenali

b.

dan

menghindari

keadaan

yang

potensial

mencetuskan serangan dispepsia.


Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan

c.

sosioekonomi dan gizi dan penyediaan air bersih.


Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan.
Makanan yang diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai
dengan umur bayi. Susu yang diberikan juga diperhatikan porsi

d.

pemberiannya.
Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman
yang beralkohol, kopi serta merokok.

4.3.2

Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)


Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini
dan pengobatan segera (Early Diagmosis and Prompt Treatment).
a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat.
Evaluasi klinik meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik,
laboratorik serta pemeriksaan penunjang yang diperlukan,
misalnya endoskopi atau ultrasonografi. Pemeriksaan dini yang
diperlukan

meliputi

pemeriksaan

laboratorium,

radiologis,

endoskopi dan USG.


b. Pengobatan segera (Prompt treatment)
1. Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet
tersebut adalah makan sedikit berulang kali, makanan yang
banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan
yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang
peningkatan

dalam

lambung

dan

kemungkinan

dapat

menetralisir asam HCL.


2. Perbaikan keadaan umum penderita
3. Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan
nutrisi.
4. Penjelasan penyakit kepada penderita.
4.3.3

Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier dapat dilakukan :
a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan
bagi penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami
penderita dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah
lama dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika

kembali ke masyarakat.

4.4 PROGNOSIS DISPEPSIA FUNGSIONAL


Penelitian yang dilakukan oleh Mahadeva et al. di tahun 2011
menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas
hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik.
Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh
individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien
dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki
kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris.

BAB V
RINGKASAN

Dispepsia fungsional adalah sindrom yang mencakup salah satu atau lebih
gejala-gejala seperti perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa
terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Dispepsia secara klasik
terbagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional
diklasifikasikan kembali menjadi postprandial distress syndrome dan epigastric pain
syndrome (Kriteria Roma III). Selain itu, juga dibagi menjadi ulcer-like dyspepsia
dan dysmotility-like dyspepsia. Hingga tahun 2012, penelitian-penelitian mengenai
patomekanisme dispepsia berfokus pada upaya mengurai mekanisme patofisiologis
yang disebabkan abnormalitas fungsi motorik lambung, infeksi Helicobacter pylori,
dan faktor-faktor psikososial, khususnya terkait gangguan cemas dan depresi.
Seiring dengan bertambah maju ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran
terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit saluran pencernaan yang disebabkan
Helicobacter pylori (Hp), maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang
dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik
gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi Hp.
Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan
pada usia di atas 4 tahun kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak
Diagnosis dispepsia hendaknya lebih ditekankan pada upaya mengeksklusi
penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifik organik yang mungkin, bukan
menggali karakteristik detail gejala-gejala dispepsia yang dikemukakan pasien.
Diagnosis dispepsia fungsional dilakukan berdasarkan Kriteria Roma III.
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa
pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan
Helicobacter pylori, Itoprid, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum
didukung bukti adalah antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,

reseptor AH2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake


inhibitor, sukralfat, dan antidepresan. Penanganan dispepsia fungsional dapat
dilakukan dengan non farmakologi dan farmakologi.

Anda mungkin juga menyukai