PRESENTAN
JUDUL
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya berkat dan karunia-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan
Sari
Pustaka
dengan
Judul
DISPEPSIA
FUNGSIONAL PADA ANAK. Sari Pustaka ini disusun sebagai salah satu
persyaratan bagi peserta didik dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Kesehatan
Anak FK UNSRI Palembang.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Hasri Salwan, Sp. A (K) dan dr. Achirul Bakri, Sp. A (K)
selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan
saran-saran dalam penyusunan Sari Pustaka ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Rismarini, Sp. A (K) selaku Kepala Bagian Kesehatan Anak FK
UNSRI/RSMH Palembang.
2. dr. Aditiawati, Sp. A (K) selaku Ketua Program Studi Kesehatan Anak FK
UNSRI/RSMH Palembang.
3. dr. Hasri Salwan, Sp. A (K) dan dr. Achirul Bakri, Sp. A (K) selaku
pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah memberikan banyak
bimbingan dan saran-saran dalam penyusunan Sari Pustaka ini.
4. Seluruh staf pengajar PPDS Kesehatan Anak FK UNSRI/RSMH Palembang
yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan kepada penulis.
5. Seluruh teman sejawat residen atas support, kerjasama dan kebersamaannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Sari Pustaka ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan
Sari Pustaka ini.
Penulis juga mengharapkan Sari Pustaka ini dapat menambah wawasan dan
bermanfaat bagi kita semua.
Palembang, Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........i
LEMBARAN PENGESAHAN SARI PUSTAKA...ii
KATA PENGANTAR.........iii
DAFTAR ISI........iv
DAFTAR GAMBARv
DAFTAR TABEL........vi
BAB I
PENDAHULUAN.........1
BAB II
DISPEPSIA
2.1 Batasan dan Klasifikasi Dispepsia..3
2.2 Epidemiologi Dispepsia Fungsional...5
BAB III
BAB IV
BAB V
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1.1
Gambar 3.1.2
Gambar 3.1.3
Gambar 3.1.4
DAFTAR TABEL
Tabel 1Kriteria ROMA III untuk dispepsia fungsional
Tabel 2Kriteria ROMA III untuk postprandial distress syndrome
Tabel 3Kriteria ROMA III untuk epigastric pain syndrome
Tabel 4Diagnosis banding dispepsia fungsional
BAB I
PENDAHULUAN
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (dys : sulit dan pepsis : pencernaan)
yang berarti pencernaan yang tidak baik. Dispepsia merupakan nyeri kronis atau
berulang yang mengacu pada nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas
meliputi nyeri epigastrium, perasaan cepat kenyang (tidak dapat menyelesaikan
makanan dalam porsi yang normal), rasa penuh setelah makan, kembung, sendawa,
anoreksia, mual, muntah, heartburn, regurgitasi.1,2 Dispepsia terbagi menjadi dua
jenis, yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila
penyebabnya telah diketahui dengan jelas dan kebanyakan pasien dengan keluhan
dispepsia pada saat pemeriksaan tidak ditemukan kelainan organik yang dapat
menjelaskan keluhan tersebut seperti chronic peptic-ulcer disease, gastrooesophageal reflux, malignancy, dan sekitar 60% keluhan-keluhan tersebut tidak
dapat dijelaskan, keadaan ini disebut fungsional, atau non-ulcer dyspepsia. Pasien
dengan penyebab yang jelas tidak dimasukkan dalam kategori dispepsia fungsional.3
Dispepsia fungsional merupakan suatu kelainan gastrointestinal dengan
prevalensi cukup tinggi, ditandai dengan gejala yang berasal dari daerah perut bagian
atas tanpa kelainan organik. Dispepsia fungsional terjadi kronik dan berulang-ulang
serta mempunyai gejala kompleks, meliputi rasa nyeri atau tidak nyaman perut
bagian atas, perut terasa penuh, cepat kenyang, perut kembung, sendawa dan mual.4,5
Dispepsia fungsional pada anak dan remaja berusia di atas 5 tahun yang
mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan mual setidaknya dalam waktu satu
bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia fungsional dan 35% peradangan mukosa.1
Berdasarkan AAP subcommittee menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan
remaja mengalami nyeri perut setiap minggu dan menurut penelitian yang dilakukan
Di Lorenzo pada tahun 2005 ditemukan anak-anak dengan dispepsia fungsional
sekitar 3% sampai 17 % dimana 2 % - 4 % anak-anak tersebut dibawa berobat ke
dokter anak umum, 30 % berobat ke dokter anak konsultan dan hanya sekitar 5 % 10 % merupakan dispepsia organik. 6
Kriteria diagnosis dispepsia fungsional dibedakan berdasarkan gejala dan
berdasarkan Kriteria ROMA III. Menurut ROME III tahun 2006, dispepsia fungsional
harus memenuhi semua kriteria yang dialami sekurang-kurangnya satu kali seminggu
selama minimal dua bulan sebelum diagnosis ditegakkan, terjadi pada saluran cerna
bagian atas, berulang-ulang dan tidak terbukti adanya kelainan organik.6,7
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Penanganan
dispepsia fungsional dapat dilakukan dengan non farmakologi dan farmakologi.
Beberapa pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan
Helicobacter pylori, Itoprid, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum
didukung bukti adalah antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,
reseptor AH2, misoprostol, golongan prokinetik, selective serotonin-reuptake
inhibitor, sukralfat, dan antidepresan.8,9
Penelitian yang dilakukan oleh Mahadeva pada tahun 2011 menemukan
bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah
BAB II
DISPEPSIA
2.
3.
perut
fungsional
bukan
merupakan
diagnosis
tetapi
Berdasarkan
AAP
terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi Hp. Pada anak di bawah 4 tahun
sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atas 4
tahun kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak.10,11,12
BAB III
PATOFISIOLOGI DAN MANIFESTASI KLINIS DISPEPSIA
3.1
17
intrinsik
3.1.2
Hipersensitivitas viseral
mekanisme
perubahan
perifer.
Sensasi
viseral
cepat
setelah
rangsangan
kemoreseptor
usus.
Hal
ini
dimodulasi
oleh
mekanisme
sentral.
Bagian
Disfungsi Autonom
Disfungsi
persarafan
vagal
diduga
berperan
dalam
3.1.5
Faktor Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah
sitokin antiinflamasi (Il-10, TGF-). Penurunan sitokin antiinflamasi
dapat meyebabkan peningkatan sensitisasi pada usus. Selain itu
polimorfisme genetik berhubungan dengan protein dari sistem
reuptake synaptic serotonin serta reseptor polimorfisme alpha
adrenergik yang memengaruhi motilitas dari usus.3
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional
gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada
kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang
menarik. Pada pasien gangguan gastrointestinal fungsional terjadi
hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal.3
3.1.7
Faktor Psikososial
Penyelidikan atas pengaruh psikososisal mengungkapkan
bahwa stres adalah faktor yang mempengaruhi dispepsia fungsional.
Emosi labil memberikan kontribusi terhadap perubahan fungsi
gastrointestinal. Hal ini merupakan akibat dari pengaruh pusat di
enterik. Stres adalah faktor yang diduga dapat mengubah gerakan dan
aktivitas
sekresi
traktus
gastrointestinal
melalui
mekanisme-
neuroendokrin.3
Anak-anak dengan gangguan fungsi gastrointestinal lebih
lazim disebabkan karena kecemasan pada diri mereka dan orang tua
terutama ibu. Satu studi menyatakan bahwa stres atau kecemasan
dapat mengaktifkan reaksi disfungsi otonomik traktus gastrointestinal
yang dapat menyebabkan gejala sakit perut berulang.3,22
3.1.8
fungsional.
Dengan
melihat,
mencium
bau
atau
3.2.2
tahun
1991,
para
pakar
gastroenterologi
anak
b.
gastritis
karena
Helicobacter
pylori,
duodenitis,
c.
Kriteria ROMA II
Kriteria ROMA II dirumuskan pada pertemuan tahun 1999.
Dirumuskan dalam pertemuan tersebut bahwa untuk ulkus seperti
dispepsia fungsional gejala yang dominan adalah nyeri epigastrium.
Untuk dismolitas seperti dispepsia fungsional, gejala yang dominan
adalah ketidaknyamanan perut seperti perut terasa penuh, cepat
kenyang, perut kembung atau mual. Pengelompokan subgroup dari
gejala
yang
predominan
dilakukan
agar
dapat
lebih
baik
terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2.
Tidak
ditemukan
bukti
adanya
kelainan
struktural
yang
3.3
e.
f.
g.
h.
peptikum)
Infeksi (contohnya parasit)
Penyakit eosinofilik ( esophagitis, gastritis, enteropati)
Penyakit kandung empedu ( kolelitiasis, kolesistitis, kista
koledokus)
Kelainan pankreas ( pankreatitis akut atau kronik,
pseudokista)
Hepatitis kronik
Inflammatory bowel disease (Chron disease)
Benda asing
i.
j.
k.
l.
BAB IV
PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN TATALAKSANA DISPEPSIA
FUNGSIONAL
indikasi.
Pengobatan Farmakologis
Pengobatan dispepsia fungsional mengenal beberapa obat,
yaitu :
a. Antasida
Antasida
secara
langsung
akan
menetralisir
keasaman,
yang semuanya
dapat
merangsang sekresi
asam
sfingter
esophagus
yang
lebih
bawah.
Sekresi
e. Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan
prostaglandin
endogen,
yang
selanjutnya
memperbaiki
Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah
refluks dan memperbaiki asam lambung.
g. Antidepresan
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat
anti depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional,
karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan
factor kejiwaan seperti cemas dan depresi. Contoh dari obat ini
adalah
golongan
trisiclic
antidepressants
(TCA)
seperti
ambang
dan
toleransi
nyeri,
dan
bersifat
mengurangi
gejala
dispepsia
fungsional
karena
a.
b.
dan
menghindari
keadaan
yang
potensial
c.
d.
pemberiannya.
Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman
yang beralkohol, kopi serta merokok.
4.3.2
meliputi
pemeriksaan
laboratorium,
radiologis,
dalam
lambung
dan
kemungkinan
dapat
Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier dapat dilakukan :
a. Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan
bagi penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami
penderita dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.
b. Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah
lama dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika
kembali ke masyarakat.
BAB V
RINGKASAN
Dispepsia fungsional adalah sindrom yang mencakup salah satu atau lebih
gejala-gejala seperti perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa
terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal
mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Dispepsia secara klasik
terbagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional
diklasifikasikan kembali menjadi postprandial distress syndrome dan epigastric pain
syndrome (Kriteria Roma III). Selain itu, juga dibagi menjadi ulcer-like dyspepsia
dan dysmotility-like dyspepsia. Hingga tahun 2012, penelitian-penelitian mengenai
patomekanisme dispepsia berfokus pada upaya mengurai mekanisme patofisiologis
yang disebabkan abnormalitas fungsi motorik lambung, infeksi Helicobacter pylori,
dan faktor-faktor psikososial, khususnya terkait gangguan cemas dan depresi.
Seiring dengan bertambah maju ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran
terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit saluran pencernaan yang disebabkan
Helicobacter pylori (Hp), maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang
dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan tidak dijumpai perbedaan karakteristik
gejala sakit perut pada kelompok yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi Hp.
Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar disebabkan kelainan organik, sedangkan
pada usia di atas 4 tahun kelainan fungsional merupakan penyebab terbanyak
Diagnosis dispepsia hendaknya lebih ditekankan pada upaya mengeksklusi
penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifik organik yang mungkin, bukan
menggali karakteristik detail gejala-gejala dispepsia yang dikemukakan pasien.
Diagnosis dispepsia fungsional dilakukan berdasarkan Kriteria Roma III.
Pengobatan untuk dispepsia fungsional masih belum jelas. Beberapa
pengobatan yang telah didukung oleh bukti ilmiah adalah pemberantasan
Helicobacter pylori, Itoprid, PPI, dan terapi psikologi. Pengobatan yang belum
didukung bukti adalah antasida, antispasmodik, bismuth, terapi diet, terapi herbal,