BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi
kedua di dunia setelah Brazil (Hitipeuw, 2011). Fakta tersebut menunjukkan
tingginya keanekaragaman sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia.
Keanekaragaman sumber daya alam hayati ini meliputi keanekaragaman
tanaman buah dan sayur. Meskipun Indonesia kaya akan buah dan sayur,
hampir seluruh penduduk Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah.
Hal ini disebabkan karena penduduk Indonesia masih menganggap kalau
mengonsumsi buah dan sayur hanya sebagai pelengkap. Berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2007 diketahui bahwa sebanyak 93,6% penduduk Indonesia
kurang mengonsumsi buah dan sayur dan pada Riskesdas tahun 2013
menunjukkan hasil yang tidak berbeda yaitu, sebesar 93,5% penduduk
Indonesia kurang konsumsi buah dan sayur.
Kurangnya konsumsi buah dan sayur dapat mengakibatkan tubuh
kekurangan asupan serat. Rata-rata konsumsi serat penduduk Indonesia hanya
sebesar 10,5 gram per hari, sementara kebutuhan yang dianjurkan adalah 30
gram setiap harinya (Astawan dan Kasih, 2008). Hal tersebut menunjukkan
kalau penduduk Indonesia baru memenuhi 35% dari kebutuhan serat yang
dianjurkan untuk dikonsumsi.
Salah satu sumber serat yang sering diabaikan adalah kulit pisang.
Hasil riset yang dilakukan oleh Dole Nutrition Research Laboratory (2013)
yang tergabung dalam North Carolina Research Campus menunjukkan bahwa
kulit pisang mengandung serat 2,3 kali lebih banyak dibandingkan daging
buah pisang. Menurut Tabel Komposisi Pangan Indonesia (Persagi, 2009),
dalam 100 gram pisang kepok mengandung 5,7 gram serat sedangkan
kulitnya mengandung serat sebesar 18,1 (%bk) (Koni, 2009).
Serat yang terdapat dalam kulit pisang salah satunya berupa pektin.
Menurut Simmond dalam Safitri (2013), kadar pektin dalam kulit pisang 4
kali lebih besar daripada daging buahnya. Secara umum, kulit pisang yang
sudah matang memiliki kandungan pektin 10-21 (%bk) dan untuk buah
pisang sebesar 0,7-1,2 (%bk) (Mohapatra dkk., 2010). Sedangkan kadar
pektin kulit pisang kepok adalah 10,96% (Tuhuloula, dkk. 2013). Kandungan
pektin yang tinggi ini mendukung kulit pisang untuk diolah menjadi jelly.
Dalam pembuatan jelly, kandungan pektin dalam bahan baku sangat penting
karena kepadatan struktur jelly dipengaruhi oleh kadar pektin. Jika semakin
tinggi kadar pektin, maka semakin padat jelly yang dihasilkan.
Kualitas jelly juga sebanding dengan jumlah gula yang ditambahkan
karena gula akan memengaruhi terbentuknya gel. Kadar gula yang terlalu
rendah mengakibatkan struktur gel tidak terbentuk kuat karena mengikat
banyak air sehingga jelly menjadi lunak. Sebaliknya, kadar gula yang terlalu
tinggi menyebabkan terjadinya kristalisasi pada jelly. Gula yang diperlukan
untuk mendapatkan gel yang baik adalah 60-65% (Meyer, 1973; Muchji,
1988 dalam Sulardjo dan Santoso, 2012).
Berdasarkan penelitian Santoso dkk. (2006) tentang jelly jonjot labu
kuning dengan perlakuan penambahan gula sebesar 55%, 60%, 65%,
menunjukkan bahwa penambahan gula yang terbaik adalah 60%. Sedangkan,
pada penelitian Sulardjo dan Santoso (2012) tentang jelly rambutan dengan
penambahan gula pasir sebanyak 55%, 60%, 65%, 70%, 75%, menunjukkan
bahwa penambahan gula yang disukai panelis adalah 65%.
Selain untuk memberikan rasa manis dan membentuk tekstur,
penambahan gula juga berfungsi dan terlibat dalam pengawetan (Dwiari dkk.,
2008). Hasil penelitian Sundari dan Komari (2010) tentang formulasi selai
pisang raja bulu dengan tempe, menunjukkan bahwa, selai dapat bertahan
selama 7 hari. Jika di dalam bahan makanan ditambahkan gula dengan
konsentrasi tinggi, maka sebagian air yang terdapat di dalamnya akan terikat
oleh gula. Pada kondisi ini, mikroorganisme sulit tumbuh karena tidak dapat
menggunakan air yang terikat pada zat padat seperti gula (Dwiari, dkk. 2008).
Padahal, mikroorganisme juga memerlukan air untuk mempertahankan
hidupnya. Dengan demikian, perkembangan mikroorganisme dapat dihambat
sehingga jelly dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Berdasarkan
uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan penambahan
gula pasir yang tepat dalam pembuatan jelly kulit pisang kepok sehingga
diperoleh kualitas jelly yang baik dan umur simpan yang lama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil rumusan
masalah apakah ada pengaruh penambahan gula pasir terhadap umur simpan
jelly kulit pisang kepok?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui umur simpan
Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi perlakuan terbaik jelly kulit pisang kepok berdasarkan
uji daya terima.
b. Mengidentifikasi umur simpan jelly kulit pisang kepok.
c. Menganalisis pengaruh penambahan gula pasir terhadap umur simpan
E. Keaslian Penelitian
Dari penelusuran peneliti, penelitian mengenai umur simpan jelly kulit
pisang kepok (Musa balbisiana Colla) berdasarkan penambahan gula pasir
belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian lain yang memiliki
hubungan dengan penelitian ini adalah :
1.
2.
Lempeng Total.
Pengaruh Konsentrasi Gula Pasir terhadap Kualitas Jelli Rambutan yang
dilakukan oleh Sulardjo dan Agus Santoso pada tahun 2012 dengan
perlakuan penambahan gula 55%;60%;65%,70%;75%. Perbedaan dengan
penelitian ini terdapat pada variabel bebas dan terikatnya. Variabel bebas
penelitian Sulardjo dan Agus Santoso adalah penambahan gula pasir dan
variabel terikat adalah mutu organoleptik sedangkan variabel bebas
peneliti adalah penambahan gula pasir dan variabel terikat adalah mutu
mikrobiologi yang ditentukan oleh Angka Lempeng Total.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Pisang
sampai 1.000 meter di atas permukaan laut yang bertipe iklim basah. Curah
hujan berkisar antara 1.000-3.000 mm/tahun. Tanaman pisang lebih baik
ditanam di tempat terbuka, tetapi tidak tahan terhadap tiupan angin karena
daunnya mudah sobek (Satuhu dan Supriyadi, 1994).
Berdasarkan taksonominya, tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut.
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa spp.
1. Jenis Pisang
Jenis-jenis tanaman pisang yang terdapat di Indonesia jumlahnya
mencapai ratusan. Secara garis besar, jenis pisang dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis sebagai berikut.
a.
dianyam untuk dibuat tas dan sandal (Satuhu dan Supriyadi, 2008).
Pisang Buah (Musa paradisiaca Linn.)
Pisang ini paling banyak yang ditemui. Pisang buah dapat
dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu
1) Pisang yang dapat dimakan langsung setelah masak seperti
pisang ambon, pisang susu, pisang mas dan sebagainya.
2) Pisang yang dapat dimakan setelah diolah terlebih dulu misalnya
pisang tanduk, pisang kapas dan sebagainya.
3) Pisang yang dapat dimakan langsung setelah masak ataupun
diolah terlebih dulu seperti pisang kepok dan pisang raja.
10
2. Morfologi
a. Akar
Tanaman pisang berakar rimpang dan tidak mempunyai akar
tunggang yang berpangkal pada umbi batang. Akar dapat .tumbuh
sampai kedalaman 75-150 cm (Satuhu dan Supriyadi, 2008).
b. Batang
Batang pisang sebenarnya terletak di dalam tanah, yakni
berupa umbi batang. Di bagian atas umbi batang terdapat titik
tumbuh yang menghasilkan daun dan nantinya akan tumbuh bunga
pisang sedangkan yang berdiri tegak di atas tanah dan sering
dianggap batang merupakan batang semu. Batang semu terbentuk
dari pelepah daun panjang yang saling menutupi dengan kuat dan
kompak sehingga bisa berdiri tegak. Tinggi batang semu berkisar
3,5-7,5 meter (Satuhu dan Supriyadi, 2008).
c. Daun
Pada umumnya, daun pisang berbentuk panjang, lonjong dan
lebar. Bagian bawah daun tampak berlilin dan tepiannya tersusun
10
11
11
12
makanan ternak seperti ayam, kambing, sapi dan kerbau. Padahal jika diteliti
lebih dalam, kulit pisang mempunyai kandungan gizi yang tidak kalah
baiknya dengan buah pisang itu sendiri.
Kulit pisang memiliki kandungan karbohidrat yang cukup besar yaitu
18,50% sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber karbohidrat
alternatif. Karbohidrat yang terdapat dalam kulit pisang berbentuk pati, serat
kasar dan gula reduksi. Kusmartono dan Wijayanti (2012) menyatakan kalau
kandungan gizi kulit pisang hampir setara dengan kandungan gizi susu sapi.
Kadar kalsium kulit pisang dapat menyamai kalsium susu sapi karena kalsium
pada kulit pisang mencapai 715 mg/100 gram kulit pisang. Fungsi utama
kalsium adalah mengisi kepadatan tulang dan membentuk gigi. Selain itu,
juga berperan dalam mengatur pembekuan darah, sebagai katalisator reaksireaksi biologi dan kontraksi otot (Almatsier, 2004).
Kulit pisang kaya akan lutein. Lutein adalah suatu senyawa antioksidan yang dapat melindungi fungsi penglihatan, terutama dari penyakit
katarak. Lutein dikenal sebagai satu-satunya anti-oksidan yang berkaitan
dengan kejadian katarak. Lutein juga melindungi kulit dari radiasi sinar
ultraviolet (Siagian, 2003). Zat gizi lain yang banyak terdapat pada kulit
pisang adalah potassium. Mineral ini diperlukan untuk membangun otot,
mengontrol aktivitas jantung dan mengatur keseimbangan asam-basa tubuh.
Pada kulit pisang juga terdapat triptofan (Marchione, 2013). Triptofan
adalah salah satu asam amino penyusun protein yang bersifat esensial bagi
manusia. Di dalam tubuh, triptofan berfungsi sebagai prekursor pembentuk
12
13
serotonin, yaitu zat kimia pembawa pesan antar-neuron yang berperan dalam
menenangkan dan meningkatkan suasana hati serta mengurangi depresi. Hasil
penelitian yang telah dilakukan tim dari University of Taiwan menunjukkan
bahwa mengkonsumsi 2 buah kulit pisang selama 3 hari berturut-turut dapat
meningkatkan kadar serotonin sebesar 15% (Haider, 2013).
Selain itu, kulit pisang merupakan sumber serat yang sangat baik.
Hasil riset yang dilakukan oleh Dole Nutrition Research Laboratory (2013)
yang tergabung dalam North Carolina Research Campus menunjukkan bahwa
kulit pisang mengandung serat 2,3 kali lebih banyak dibandingkan daging
buah pisang pada umumnya. Menurut Tabel Komposisi Pangan Indonesia
(Persagi, 2009), dalam 100 gram pisang kepok mengandung 5,7 gram serat
sedangkan kulitnya mengandung serat sebesar 18,1(%bk) (Koni, 2009). Serat
dibedakan menjadi serat kasar dan serat pangan. Serat kasar adalah bagian
pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam kuat dan basa kuat sedangkan
serat pangan adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim-enzim pencernaan usus halus manusia (Anonim, 2009). Kadar serat
kasar dalam suatu makanan dapat dijadikan indeks kadar serat pangan, karena
umumnya di dalam serat kasar ditemukan sebanyak 0,2 - 0,5 bagian jumlah
serat pangan (Muchtadi, 1983). Berdasarkan kelarutannya terhadap air, serat
pangan terdiri dari serat pangan larut air dan tidak larut air. Serat berfungsi
untuk mencegah konstipasi, mencegah kegemukan, menjaga kesehatan sistem
kardiovaskular dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
13
14
Tabel 2.1 Komposisi zat gizi kulit pisang per 100 gram
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kandungan
Jumlah
68,90
18,50
2,11
0,32
715
117
1,6
0,12
17,5
18,1
Air (g)
Karbohidrat (g)
Lemak (g)
Protein (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)
Serat (%bk)*
C. Jelly
Jelly adalah sejenis makanan berbentuk semi padat yang terbuat dari
sari buah-buahan yang dimasak dengan gula sampai mengental. Pengentalan
dilakukan sampai kadar zat padatan terlarutnya tidak kurang dari 65% saat
diukur dengan hand refractometer. Bila kadar padatan terlarut terlalu tinggi,
akan menghasilkan jelly dengan sifat yang lekat (Desrosier, 2008). Menurut
Cruess (1958) dalam Sulardjo dan Santoso (2012) jelly yang sempurna adalah
mempunyai warna yang menarik, jernih, berkilau, tembus pandang,
mempunyai bentuk yang tetap dan bersifat kukuh serta mempunyai aroma
dan flavor mendekati buah segar.
14
15
5.
Cemaran logam
a. Timbal (Pb)
b. Tembaga (Cu)
c. Seng (Zn)
d. Timah (Si)
e. Cemaran Arsen (As)
Cemaran mikroba
a. Angka lempeng total
b. Bakteri coliform
c. E. coli
d. Salmonella
e. Staphylococcus
Satuan
Persyaratan
Semi padat
Normal
Normal
Normal
Kenyal
% b/b
Min. 20
Negatif
Sesuai SNI No. 01-02221987 dan revisinya
Sesuai SNI No. 01-02221987 dan revisinya
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Maks. 0,5
Maks.5,0
Maks. 20
Maks. 40
Maks. 0,1
Koloni/g
APM/g
APM/g
Maks. 104
Maks. 20
<3
Negatif/25 g
Maks. 102
Koloni/g
15
16
aereus
f. Kapang dan khamir
Koloni/g
Maks. 50
16
17
nya gula yang ditambahkan tergantung pada kandungan pektin dan asam.
Semakin tinggi kandungan pektin pada buah maka, semakin banyak gula
yang ditambahkan. Sedangkan semakin asam rasa buahnya semakin
sedikit gula yang ditambahkan dan makin kurang asamnya semakin
banyak gula yang ditambahkan.
Selama pendidihan larutan gula dengan adanya asam akan terjadi
proses hidrolisis dan menghasilkan gula reduksi yang dikenal sebagai
gula invert. Gula invert sangat berguna dalam pembuatan jelly karena
dapat mencegah dan menghambat kristalisasi sukrosa dalam subtrat yang
sangat kental (Desrosier, 2008). Dalam perdagangan, dikenal istilah jelly
grade yaitu, jumlah gula yang diperlukan 1 lb pektin untuk membentuk
gel (Winarno, 2004). Misalnya, pada grade pektin 80 berarti diperlukan
80 lb gula untuk membentuk jelly setiap 1 lb pektin. Gula juga ikut
memengaruhi bentuk jelly yang dihasilkan.
c. Keasaman
Tingkat keasaman buah ikut memengaruhi jelly karena asam
diperlukan untuk menarik pektin dari sari buah sehingga akan mengokohkan jaringan gel yang terbentuk. Asam juga berfungsi sebagai penjernih
jelly yang dihasilkan. Jenis asam yang sering digunakan dalam pembuatan jelly adalah asam sitrat yang banyak terdapat dalam genus Citrus
(jeruk-jerukan) seperti lemon, limau dan jeruk nipis. Buah yang kurang
asam perlu ditambahkan air perasan lemon atau air jeruk nipis pada saat
memulai pemasakan (Dwiari dkk., 2008).
Derajat keasaman dapat diukur menggunakan kertas pH atau pHmeter. Semakin kecil nilai pH berarti semakin asam. Pembentukan jelly
17
18
terjadi pada rentang pH 2,5 sampai 3,4, tetapi pH yang paling optimum
adalah 3,2 (Satuhu, 1994). Pengaruh pH terhadap pembentukan gel
adalah semakin rendah pH, semakin keras gel dan jumlah pektin yang
diperlukan semakin sedikit. Jika pH di atas 3,5, jelly terbentuk lemah
karena mengalami sineresis yaitu keluarnya air dalam gel pada suhu
kamar (Winarno, 2004) sedangkan jika penambahan asam berlebihan,
mencapai pH di bawah 3,2, mengakibatkan jelly tidak terbentuk karena
pektin akan diubah menjadi asam pektat.
2. Pembuatan Jelly
Pada prinsipnya, hampir semua jenis buah dapat dibuat jelly,
terutama buah yang mengandung pektin tinggi. Buah yang digunakan
sebaiknya buah yang sudah tua tetapi belum terlalu matang dan tidak ada
tanda-tanda kebusukan. Selain buah-buahan, kulitnya pun dapat diolah
menjadi jelly. Proses pembuatan jelly dari kulit buah sebagai berikut :
a. Tahap pembuatan sari kulit buah
Pada tahap ini, kulit buah dikupas dan dicuci sampai bersih dengan
air mengalir. Potong kecil-kecil kulit buah lalu asam sitrat dan air dengan
perbandingan kulit buah dan air adalah 1:1 (Kusmiati, 2012). Setelah itu,
rebus hingga mendidih selama 30 menit kemudian diamkan selama 12
jam dan saring pelan-pelan. Cairan yang diperoleh dibiarkan selama 1
jam sampai semua kotoran mengendap sehingga diperoleh sari kulit buah
yang jernih (Margono dkk.,1993).
b. Tahap pembuatan jelly
Untuk membuat jelly, pada sari kulit buah ditambahkan gula pasir
dan asam sitrat bila pH belum mencapai 3,2 (Satuhu, 1994). Masak sari
kulit buah dengan api sedang. Pemasakan dilakukan sampai zat padatan
18
19
dipanaskan.
Terbentuk gumpalan lunak bila satu sendok teh cairan yang
dimasak ditaruh ke dalam piring berisi air. Saat diangkat bentuk
digunakan tepat maka titik akhir kekentalan jelly akan tercapai pada suhu
104,4 sampai 105,8C (Satuhu, 1994).
c. Tahap pengemasan
Segera setelah titik akhir kekentalan tercapai, singkirkan buih-buih
di permukaan jelly yang terbentuk selama pengolahan. Jelly yang sudah
matang dituangkan dalam botol atau wadah lainnya yang sudah steril.
Tutup botol dengan rapat kemudian lakukan pasteurisasi dengan cara
pengukusan selama 30 menit (Satuhu, 1994).
D. Umur Simpan
Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam
kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu
tertentu (Floros dan Gnanasekharan (1993) dalam Herawati (2008)). Sedangkan Kilcast dan Subramaniam (2000) mendefinisikan umur simpan sebagai
19
20
kurun waktu selama suatu produk makanan akan tetap aman, mempertahankan karakteristik sifat sensori, kimia, fisik dan mikrobiologi yang
diinginkan, serta sesuai dengan keterangan pelabelan informasi zat gizi,
ketika disimpan pada kondisi tertentu. Umur simpan produk pangan biasa
dituliskan sebagai :
20
21
sebelum dikonsumsi,
Penanganan konsumen.
Semua faktor di atas dapat bekerja dengan cara yang interaktif dan
sering tidak terduga serta kemungkinan interaksinya harus diteliti. Interaksi
dari faktor intrinsik dan ekstrinsik mampu menghambat atau merangsang
sejumlah proses yang dapat membatasi umur simpan. Proses ini dapat
diklasifikasikan menjadi proses mikrobiologi, kimia, fisik dan time-related.
1. Perubahan Mikrobiologi
Pertumbuhan mikroorganisme spesifik selama penyimpanan
tergantung dari beberapa faktor yaitu
Jumlah awal mikroba saat mulai penyimpanan,
Sifat fisik-kimia makanan seperti kelembaban, pH dan adanya
bahan pengawet.
Metode yang digunakan dalam pengolahan makanan,
Lingkungan eksternal makanan seperti komposisi udara dan suhu
penyimpanan.
2. Perubahan Deteriorasi Kimia
Deteriorasi adalah penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya.
Banyak deteriorasi berasal dari reaksi di dalam makanan atau reaksi dari
komponen makanan dengan lingkungan eksternal, contohnya oksigen.
Ketengikan adalah faktor penting dalam makanan yang mengandung
lemak dan dapat terjadi melalui mekanisme yang berbeda-beda, contohnya reaksi lipolitik atau hidrolitik dan reaksi oksidatif. Pada daging,
21
22
22
23
23
24
E. Kerangka Teori
Mutu
Organoleptik
Kulit pisang
Gula pasir
Mutu Fisik
Asam sitrat
Pembuatan jelly
Mutu Jelly
Kulit Pisang
Umur simpan
jelly kulit
pisang
Mutu Kimia
Suhu
Mutu
Mikrobiologi
Waktu
Keterangan
: Diteliti
Tidak diteliti
24
=
=
25
F.
Kerangka Konsep
Pembuatan jelly
Mutu mikrobiologi
Umur Simpan
Gambar 2.7 Kerangka konsep penelitian
25