Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi
kedua di dunia setelah Brazil (Hitipeuw, 2011). Fakta tersebut menunjukkan
tingginya keanekaragaman sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia.
Keanekaragaman sumber daya alam hayati ini meliputi keanekaragaman
tanaman buah dan sayur. Meskipun Indonesia kaya akan buah dan sayur,
hampir seluruh penduduk Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah.
Hal ini disebabkan karena penduduk Indonesia masih menganggap kalau
mengonsumsi buah dan sayur hanya sebagai pelengkap. Berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2007 diketahui bahwa sebanyak 93,6% penduduk Indonesia
kurang mengonsumsi buah dan sayur dan pada Riskesdas tahun 2013
menunjukkan hasil yang tidak berbeda yaitu, sebesar 93,5% penduduk
Indonesia kurang konsumsi buah dan sayur.
Kurangnya konsumsi buah dan sayur dapat mengakibatkan tubuh
kekurangan asupan serat. Rata-rata konsumsi serat penduduk Indonesia hanya
sebesar 10,5 gram per hari, sementara kebutuhan yang dianjurkan adalah 30
gram setiap harinya (Astawan dan Kasih, 2008). Hal tersebut menunjukkan
kalau penduduk Indonesia baru memenuhi 35% dari kebutuhan serat yang
dianjurkan untuk dikonsumsi.

Salah satu sumber serat yang sering diabaikan adalah kulit pisang.
Hasil riset yang dilakukan oleh Dole Nutrition Research Laboratory (2013)
yang tergabung dalam North Carolina Research Campus menunjukkan bahwa
kulit pisang mengandung serat 2,3 kali lebih banyak dibandingkan daging
buah pisang. Menurut Tabel Komposisi Pangan Indonesia (Persagi, 2009),
dalam 100 gram pisang kepok mengandung 5,7 gram serat sedangkan
kulitnya mengandung serat sebesar 18,1 (%bk) (Koni, 2009).
Serat yang terdapat dalam kulit pisang salah satunya berupa pektin.
Menurut Simmond dalam Safitri (2013), kadar pektin dalam kulit pisang 4
kali lebih besar daripada daging buahnya. Secara umum, kulit pisang yang
sudah matang memiliki kandungan pektin 10-21 (%bk) dan untuk buah
pisang sebesar 0,7-1,2 (%bk) (Mohapatra dkk., 2010). Sedangkan kadar
pektin kulit pisang kepok adalah 10,96% (Tuhuloula, dkk. 2013). Kandungan
pektin yang tinggi ini mendukung kulit pisang untuk diolah menjadi jelly.
Dalam pembuatan jelly, kandungan pektin dalam bahan baku sangat penting
karena kepadatan struktur jelly dipengaruhi oleh kadar pektin. Jika semakin
tinggi kadar pektin, maka semakin padat jelly yang dihasilkan.
Kualitas jelly juga sebanding dengan jumlah gula yang ditambahkan
karena gula akan memengaruhi terbentuknya gel. Kadar gula yang terlalu
rendah mengakibatkan struktur gel tidak terbentuk kuat karena mengikat
banyak air sehingga jelly menjadi lunak. Sebaliknya, kadar gula yang terlalu
tinggi menyebabkan terjadinya kristalisasi pada jelly. Gula yang diperlukan

untuk mendapatkan gel yang baik adalah 60-65% (Meyer, 1973; Muchji,
1988 dalam Sulardjo dan Santoso, 2012).
Berdasarkan penelitian Santoso dkk. (2006) tentang jelly jonjot labu
kuning dengan perlakuan penambahan gula sebesar 55%, 60%, 65%,
menunjukkan bahwa penambahan gula yang terbaik adalah 60%. Sedangkan,
pada penelitian Sulardjo dan Santoso (2012) tentang jelly rambutan dengan
penambahan gula pasir sebanyak 55%, 60%, 65%, 70%, 75%, menunjukkan
bahwa penambahan gula yang disukai panelis adalah 65%.
Selain untuk memberikan rasa manis dan membentuk tekstur,
penambahan gula juga berfungsi dan terlibat dalam pengawetan (Dwiari dkk.,
2008). Hasil penelitian Sundari dan Komari (2010) tentang formulasi selai
pisang raja bulu dengan tempe, menunjukkan bahwa, selai dapat bertahan
selama 7 hari. Jika di dalam bahan makanan ditambahkan gula dengan
konsentrasi tinggi, maka sebagian air yang terdapat di dalamnya akan terikat
oleh gula. Pada kondisi ini, mikroorganisme sulit tumbuh karena tidak dapat
menggunakan air yang terikat pada zat padat seperti gula (Dwiari, dkk. 2008).
Padahal, mikroorganisme juga memerlukan air untuk mempertahankan
hidupnya. Dengan demikian, perkembangan mikroorganisme dapat dihambat
sehingga jelly dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Berdasarkan
uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan penambahan
gula pasir yang tepat dalam pembuatan jelly kulit pisang kepok sehingga
diperoleh kualitas jelly yang baik dan umur simpan yang lama.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil rumusan
masalah apakah ada pengaruh penambahan gula pasir terhadap umur simpan
jelly kulit pisang kepok?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui umur simpan

jelly kulit pisang kepok berdasarkan

penambahan gula pasir.


2.

Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi perlakuan terbaik jelly kulit pisang kepok berdasarkan
uji daya terima.
b. Mengidentifikasi umur simpan jelly kulit pisang kepok.
c. Menganalisis pengaruh penambahan gula pasir terhadap umur simpan

jelly kulit pisang kepok.


D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini menambah pengetahuan peneliti tentang pengolahan kulit
pisang kepok menjadi produk yang lebih bermanfaat seperti jelly. Peneliti
juga memperoleh pengalaman baru dalam membuat jelly yang berbahan
2.

dasar kulit pisang kepok.


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk
meningkatkan nilai ekonomi kulit pisang kepok dan mengurangi
limbahnya dengan diolah menjadi jelly.

E. Keaslian Penelitian
Dari penelusuran peneliti, penelitian mengenai umur simpan jelly kulit
pisang kepok (Musa balbisiana Colla) berdasarkan penambahan gula pasir
belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian lain yang memiliki
hubungan dengan penelitian ini adalah :

1.

Analisis Kualitatif Permen Jelly Kulit Pisang Masak Sehari (Musa


paradisiaca Linn) yang dilakukan oleh Ria Safitri pada tahun 2013
dengan proporsi sari kulit pisang dan gula 40%:60%, 50%:50%,
60%:40%. Perbedaan dengan penelitian ini terdapat pada variabel bebas
dan terikatnya. Variabel bebas penelitian Ria Safitri adalah proporsi sari
kulit pisang dengan gula dan variabel terikat adalah mutu organoleptik
sedangkan variabel bebas peneliti adalah penambahan gula pasir dan
variabel terikat adalah mutu mikrobiologi yang ditentukan oleh Angka

2.

Lempeng Total.
Pengaruh Konsentrasi Gula Pasir terhadap Kualitas Jelli Rambutan yang
dilakukan oleh Sulardjo dan Agus Santoso pada tahun 2012 dengan
perlakuan penambahan gula 55%;60%;65%,70%;75%. Perbedaan dengan
penelitian ini terdapat pada variabel bebas dan terikatnya. Variabel bebas
penelitian Sulardjo dan Agus Santoso adalah penambahan gula pasir dan
variabel terikat adalah mutu organoleptik sedangkan variabel bebas
peneliti adalah penambahan gula pasir dan variabel terikat adalah mutu
mikrobiologi yang ditentukan oleh Angka Lempeng Total.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Pisang

Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia


Tenggara termasuk Indonesia. Tanaman ini kemudian menyebar luas hampir
merata ke seluruh dunia, dimulai dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan
Teduh sampai ke Hawai, lalu menyebar ke barat melalui Samudera Atlantik,
Canary Islands sampai Benua Amerika (Satuhu dan Supriyadi, 2008).
Indonesia mempunyai varietas tanaman pisang lebih banyak daripada
negara lain. Menurut Suhartanto dkk. (2010) yang tergabung dalam tim
peneliti RUSNAS Buah Unggulan Indonesia, jumlah plasma nutfah pisang
Indonesia mencapai 324 nomor koleksi, yang terdiri dari 163 nomor koleksi
dari hasil eksplorasi dan introduksi sedangkan 161 nomor koleksi berasal dari
pemuliaan mutasi. Tanaman pisang dapat tumbuh baik di seluruh wilayah
Indonesia karena iklim tropis Indonesia cocok untuk pertumbuhan tanaman
pisang. Oleh sebab itu, produksi pisang dapat berlangsung sepanjang tahun
tanpa mengenal musim.
Hasil data Kementerian Pertanian R.I menunjukkan jika produktivitas
pisang Indonesia pada tahun 2011 sebesar 6.132.695 ton dan pada tahun 2012
produksinya meningkat sebesar 2,25% menjadi 6.270.813 ton. Jumlah
produksi tersebut, menempatkan Indonesia di urutan ketujuh dunia sebagai
negara penghasil pisang tahunan (Anonim, 2012). Produksi pisang di
Kalimantan Selatan pada tahun 2012 sebesar 696.689 kuintal atau 23% dari
total produksi buah-buahan provinsi (BPS, 2013).
Jenis tanah yang paling baik untuk bertanam pisang adalah tanah liat
yang mengandung kapur atau tanah alluvial dengan pH tanah 4,5-7,5.
Tanaman pisang dapat tumbuh baik di dataran rendah hingga dataran tinggi

sampai 1.000 meter di atas permukaan laut yang bertipe iklim basah. Curah
hujan berkisar antara 1.000-3.000 mm/tahun. Tanaman pisang lebih baik
ditanam di tempat terbuka, tetapi tidak tahan terhadap tiupan angin karena
daunnya mudah sobek (Satuhu dan Supriyadi, 1994).
Berdasarkan taksonominya, tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut.
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa spp.
1. Jenis Pisang
Jenis-jenis tanaman pisang yang terdapat di Indonesia jumlahnya
mencapai ratusan. Secara garis besar, jenis pisang dapat dikelompokkan
menjadi tiga jenis sebagai berikut.
a.

Pisang Hias (Heliconia indica Lamk.)


Pisang hias merupakan jenis tanaman pisang yang tidak
diambil buahnya. Sesuai dengan namanya, pisang jenis ini hanya
dijadikan tanaman hias. Pisang hias dibagi dua yaitu, pisang kipas
dan pisang-pisangan. Tanaman pisang kipas dan pisang-pisangan
ditunjukkan pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2.

Gambar 2.1 Tanaman pisang kipas


(Sumber : Morad, 2013 )

Gambar 2.2 Tanaman pisang-pisangan


(Sumber : Kementan, 2013)
b. Pisang Serat (Musa textilis Noe.)
Pisang serat juga tidak diambil buahnya melainkan diambil
seratnya. Pisang ini disebut juga dengan pisang manila karena
diduga berasal dari Manila, Filipina. Sedangkan di Indonesia dikenal
dengan nama pisang abaka. Pada awal abad ke 16, penduduk asli
daerah Cebu, Filipina memanfaatkan serat pisang ini untuk bahan
pakaian sehingga dinamakan Musa textilis. Pisang serat tumbuh di
daerah tropis dengan udara panas dan agak lembap. Tanaman ini

biasanya tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 500 meter di


atas permukaan air laut (Satuhu dan Supriyadi, 1994). Pisang serat
ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Tanaman Pisang Serat


(Sumber : Litbang Deptan, 2014)
Pisang serat siap dipanen bila kuncup bunga telah keluar,
artinya, pisang siap dipotong untuk diambil seratnya. Serat yang
diperoleh tergolong cukup kuat dan tahan lama terhadap air tawar
maupun air laut sehingga cocok dijadikan sebagai tali kapal, tali
tambang dan tali untuk kail. Serat pisang ini juga dapat dipintal atau
c.

dianyam untuk dibuat tas dan sandal (Satuhu dan Supriyadi, 2008).
Pisang Buah (Musa paradisiaca Linn.)
Pisang ini paling banyak yang ditemui. Pisang buah dapat
dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu
1) Pisang yang dapat dimakan langsung setelah masak seperti
pisang ambon, pisang susu, pisang mas dan sebagainya.
2) Pisang yang dapat dimakan setelah diolah terlebih dulu misalnya
pisang tanduk, pisang kapas dan sebagainya.
3) Pisang yang dapat dimakan langsung setelah masak ataupun
diolah terlebih dulu seperti pisang kepok dan pisang raja.

10

4) Pisang yang dimakan sewaktu masih mentah seperti pisang


kluthuk atau pisang biji. Biasanya pisang ini dibuat rujak.
Beberapa jenis pisang buah ditunjukkan pada Gambar 2.4 dan
Gambar 2.5.

Gambar 2.4 Pisang kepok


(Sumber : Sunpride, 2012)

Gambar 2.5 Pisang mas


(Sumber : Antarajatim, 2013)

2. Morfologi
a. Akar
Tanaman pisang berakar rimpang dan tidak mempunyai akar
tunggang yang berpangkal pada umbi batang. Akar dapat .tumbuh
sampai kedalaman 75-150 cm (Satuhu dan Supriyadi, 2008).
b. Batang
Batang pisang sebenarnya terletak di dalam tanah, yakni
berupa umbi batang. Di bagian atas umbi batang terdapat titik
tumbuh yang menghasilkan daun dan nantinya akan tumbuh bunga
pisang sedangkan yang berdiri tegak di atas tanah dan sering
dianggap batang merupakan batang semu. Batang semu terbentuk
dari pelepah daun panjang yang saling menutupi dengan kuat dan
kompak sehingga bisa berdiri tegak. Tinggi batang semu berkisar
3,5-7,5 meter (Satuhu dan Supriyadi, 2008).
c. Daun
Pada umumnya, daun pisang berbentuk panjang, lonjong dan
lebar. Bagian bawah daun tampak berlilin dan tepiannya tersusun

10

11

rata. Daun diperkuat oleh tangkai yang panjangnya sekitar 30-40 cm


(Satuhu dan Supriyadi, 2008).
d. Bunga
Bunga pisang atau sering disebut jantung pisang keluar dari
ujung batang. Susunan bunga tersusun atas daun-daun pelindung
berwarna merah yang saling menutupi. Bunga-bunganya terletak
pada tiap ketiak di antara daun pelindung dan membentuk sisir.
Bunga pisang termasuk bunga berumah satu, letak bunga betina di
bagian pangkal, sedangkan letak bunga jantan berada di tengah
(Rukmana, 2006 dalam Hidayat, 2013).
e. Buah
Buah pisang tersusun dalam tandan yang terdiri atas beberapa
sisir dan tiap sisir terdapat 6 sampai 22 buah pisang tergantung
varietasnya. Buah pisang umumnya tidak berbiji dan bersifat triploid
kecuali pada pisang kluthuk yang memiliki biji dan bersifat diploid
(Rukmana, 2006, dalam Hidayat, 2013).
B. Kulit Pisang
Kulit pisang adalah bahan sisa atau limbah dari buah pisang. Menurut
Besse (2002) dalam Kusmartono dan Wijayanti (2012) jumlah kulit pisang
sekitar sepertiga bagian dari buah pisang yang belum dikupas sedangkan,
bobotnya mencapai 40% dari buahnya (Hanum dkk., 2012). Dengan
demikian, dalam setiap pengolahan pisang baik dalam skala besar ataupun
kecil akan menghasilkan limbah kulit pisang yang cukup besar. Namun,
besarnya limbah organik ini belum diimbangi dengan pemanfaatan yang
maksimal. Sebagian besar kulit pisang hanya dibuang dan sisanya dijadikan

11

12

makanan ternak seperti ayam, kambing, sapi dan kerbau. Padahal jika diteliti
lebih dalam, kulit pisang mempunyai kandungan gizi yang tidak kalah
baiknya dengan buah pisang itu sendiri.
Kulit pisang memiliki kandungan karbohidrat yang cukup besar yaitu
18,50% sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber karbohidrat
alternatif. Karbohidrat yang terdapat dalam kulit pisang berbentuk pati, serat
kasar dan gula reduksi. Kusmartono dan Wijayanti (2012) menyatakan kalau
kandungan gizi kulit pisang hampir setara dengan kandungan gizi susu sapi.
Kadar kalsium kulit pisang dapat menyamai kalsium susu sapi karena kalsium
pada kulit pisang mencapai 715 mg/100 gram kulit pisang. Fungsi utama
kalsium adalah mengisi kepadatan tulang dan membentuk gigi. Selain itu,
juga berperan dalam mengatur pembekuan darah, sebagai katalisator reaksireaksi biologi dan kontraksi otot (Almatsier, 2004).
Kulit pisang kaya akan lutein. Lutein adalah suatu senyawa antioksidan yang dapat melindungi fungsi penglihatan, terutama dari penyakit
katarak. Lutein dikenal sebagai satu-satunya anti-oksidan yang berkaitan
dengan kejadian katarak. Lutein juga melindungi kulit dari radiasi sinar
ultraviolet (Siagian, 2003). Zat gizi lain yang banyak terdapat pada kulit
pisang adalah potassium. Mineral ini diperlukan untuk membangun otot,
mengontrol aktivitas jantung dan mengatur keseimbangan asam-basa tubuh.
Pada kulit pisang juga terdapat triptofan (Marchione, 2013). Triptofan
adalah salah satu asam amino penyusun protein yang bersifat esensial bagi
manusia. Di dalam tubuh, triptofan berfungsi sebagai prekursor pembentuk

12

13

serotonin, yaitu zat kimia pembawa pesan antar-neuron yang berperan dalam
menenangkan dan meningkatkan suasana hati serta mengurangi depresi. Hasil
penelitian yang telah dilakukan tim dari University of Taiwan menunjukkan
bahwa mengkonsumsi 2 buah kulit pisang selama 3 hari berturut-turut dapat
meningkatkan kadar serotonin sebesar 15% (Haider, 2013).
Selain itu, kulit pisang merupakan sumber serat yang sangat baik.
Hasil riset yang dilakukan oleh Dole Nutrition Research Laboratory (2013)
yang tergabung dalam North Carolina Research Campus menunjukkan bahwa
kulit pisang mengandung serat 2,3 kali lebih banyak dibandingkan daging
buah pisang pada umumnya. Menurut Tabel Komposisi Pangan Indonesia
(Persagi, 2009), dalam 100 gram pisang kepok mengandung 5,7 gram serat
sedangkan kulitnya mengandung serat sebesar 18,1(%bk) (Koni, 2009). Serat
dibedakan menjadi serat kasar dan serat pangan. Serat kasar adalah bagian
pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam kuat dan basa kuat sedangkan
serat pangan adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim-enzim pencernaan usus halus manusia (Anonim, 2009). Kadar serat
kasar dalam suatu makanan dapat dijadikan indeks kadar serat pangan, karena
umumnya di dalam serat kasar ditemukan sebanyak 0,2 - 0,5 bagian jumlah
serat pangan (Muchtadi, 1983). Berdasarkan kelarutannya terhadap air, serat
pangan terdiri dari serat pangan larut air dan tidak larut air. Serat berfungsi
untuk mencegah konstipasi, mencegah kegemukan, menjaga kesehatan sistem
kardiovaskular dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

13

14

Komposisi zat gizi kulit pisang menurut Balai Penelitian dan


Pengembangan Industri, Surabaya (1982) dapat dilihat di Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi zat gizi kulit pisang per 100 gram
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kandungan

Jumlah
68,90
18,50
2,11
0,32
715
117
1,6
0,12
17,5
18,1

Air (g)
Karbohidrat (g)
Lemak (g)
Protein (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)
Serat (%bk)*

Sumber : Zuhrina (2011)


* Koni (2009)

C. Jelly
Jelly adalah sejenis makanan berbentuk semi padat yang terbuat dari
sari buah-buahan yang dimasak dengan gula sampai mengental. Pengentalan
dilakukan sampai kadar zat padatan terlarutnya tidak kurang dari 65% saat
diukur dengan hand refractometer. Bila kadar padatan terlarut terlalu tinggi,
akan menghasilkan jelly dengan sifat yang lekat (Desrosier, 2008). Menurut
Cruess (1958) dalam Sulardjo dan Santoso (2012) jelly yang sempurna adalah
mempunyai warna yang menarik, jernih, berkilau, tembus pandang,
mempunyai bentuk yang tetap dan bersifat kukuh serta mempunyai aroma
dan flavor mendekati buah segar.

14

15

Dalam pembuatan jelly, bahan utama yang diperlukan adalah pektin,


gula dan asam. Bila dipanaskan pada kondisi tertentu, perpaduan bahan-bahan
tersebut akan membentuk struktur serabut halus atau gel yang menyebabkan
jelly menjadi kental atau pekat. Namun, pemanasan tidak boleh berlebihan
karena akan merusak pektin (Dwiari, dkk., 2008).
Syarat mutu jelly menurut SNI yang ditetapkan oleh Departemen
Perindustrian R.I No. 01-3552-1994 bisa dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Syarat mutu jelly menurut SNI 01-3552-1994
No
Kriteria Uji
1. Keadaan
a. Bentuk
b. Bau
c. Rasa
d. Warna
e. Tekstur
Gula jumlah (dihitung
2.
sebagai sakarosa)
3. Bahan tambahan makanan
a. Pemanis buatan
b. Pewarna tambahan
c. Pengawet
4.

5.

Cemaran logam
a. Timbal (Pb)
b. Tembaga (Cu)
c. Seng (Zn)
d. Timah (Si)
e. Cemaran Arsen (As)
Cemaran mikroba
a. Angka lempeng total
b. Bakteri coliform
c. E. coli
d. Salmonella
e. Staphylococcus

Satuan

Persyaratan
Semi padat
Normal
Normal
Normal
Kenyal

% b/b

Min. 20

Negatif
Sesuai SNI No. 01-02221987 dan revisinya
Sesuai SNI No. 01-02221987 dan revisinya
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg

Maks. 0,5
Maks.5,0
Maks. 20
Maks. 40
Maks. 0,1

Koloni/g
APM/g
APM/g

Maks. 104
Maks. 20
<3
Negatif/25 g
Maks. 102

Koloni/g

15

16

aereus
f. Kapang dan khamir

Koloni/g

Maks. 50

1. Bahan Pokok Pembentuk Jelly


a. Pektin
Pektin adalah senyawa polisakarida kompleks dalam buah yang
dapat membentuk larutan koloid dalam air. Dalam kondisi yang cocok,
pektin mampu membentuk gel bersama dengan gula dan asam. Jumlah
pektin yang diperlukan untuk pembentukan gel tergantung pada kualitas
pektin. Kadar pektin kurang dari 1% biasanya sudah cukup untuk pembentukan struktur gel yang memuaskan (Desrosier, 2008).
Kandungan pektin sangat penting dalam pembuatan jelly. Pektin
secara alami banyak terkandung dalam buah yang sudah matang dengan
kadar yang berbeda-beda tergantung jenis buahnya. Sedangkan dalam
buah yang masih muda yang ada adalah protopektin. Selama proses
pematangan buah, protopektin akan diubah menjadi pektin secara
enzimatis. Pada proses pematangan lebih lanjut, pektin berubah menjadi
asam pektat. Selain secara enzimatis, pengubahan protopektin menjadi
pektin dapat dilakukan dengan cara memasaknya bersama asam sehingga
buah yang belum matang juga bisa diolah menjadi jelly (Satuhu, 1994).
b. Gula Pasir (Sukrosa)
Bahan lain yang berperan penting dalam menentukan kualitas jelly
adalah gula. Gula adalah karbohidrat sederhana yang memiliki rasa
manis dan dapat terlarut dalam air. Penambahan gula yang terlalu banyak
mengakibatkan terjadi kristalisasi pada permukaan gel sedangkan bila
gula yang ditambahkan sedikit atau kurang, maka akan terbentuk gel
yang lunak (Muchtadi, 1989 dalam Sulardjo dan Santoso, 2012). Banyak-

16

17

nya gula yang ditambahkan tergantung pada kandungan pektin dan asam.
Semakin tinggi kandungan pektin pada buah maka, semakin banyak gula
yang ditambahkan. Sedangkan semakin asam rasa buahnya semakin
sedikit gula yang ditambahkan dan makin kurang asamnya semakin
banyak gula yang ditambahkan.
Selama pendidihan larutan gula dengan adanya asam akan terjadi
proses hidrolisis dan menghasilkan gula reduksi yang dikenal sebagai
gula invert. Gula invert sangat berguna dalam pembuatan jelly karena
dapat mencegah dan menghambat kristalisasi sukrosa dalam subtrat yang
sangat kental (Desrosier, 2008). Dalam perdagangan, dikenal istilah jelly
grade yaitu, jumlah gula yang diperlukan 1 lb pektin untuk membentuk
gel (Winarno, 2004). Misalnya, pada grade pektin 80 berarti diperlukan
80 lb gula untuk membentuk jelly setiap 1 lb pektin. Gula juga ikut
memengaruhi bentuk jelly yang dihasilkan.
c. Keasaman
Tingkat keasaman buah ikut memengaruhi jelly karena asam
diperlukan untuk menarik pektin dari sari buah sehingga akan mengokohkan jaringan gel yang terbentuk. Asam juga berfungsi sebagai penjernih
jelly yang dihasilkan. Jenis asam yang sering digunakan dalam pembuatan jelly adalah asam sitrat yang banyak terdapat dalam genus Citrus
(jeruk-jerukan) seperti lemon, limau dan jeruk nipis. Buah yang kurang
asam perlu ditambahkan air perasan lemon atau air jeruk nipis pada saat
memulai pemasakan (Dwiari dkk., 2008).
Derajat keasaman dapat diukur menggunakan kertas pH atau pHmeter. Semakin kecil nilai pH berarti semakin asam. Pembentukan jelly

17

18

terjadi pada rentang pH 2,5 sampai 3,4, tetapi pH yang paling optimum
adalah 3,2 (Satuhu, 1994). Pengaruh pH terhadap pembentukan gel
adalah semakin rendah pH, semakin keras gel dan jumlah pektin yang
diperlukan semakin sedikit. Jika pH di atas 3,5, jelly terbentuk lemah
karena mengalami sineresis yaitu keluarnya air dalam gel pada suhu
kamar (Winarno, 2004) sedangkan jika penambahan asam berlebihan,
mencapai pH di bawah 3,2, mengakibatkan jelly tidak terbentuk karena
pektin akan diubah menjadi asam pektat.
2. Pembuatan Jelly
Pada prinsipnya, hampir semua jenis buah dapat dibuat jelly,
terutama buah yang mengandung pektin tinggi. Buah yang digunakan
sebaiknya buah yang sudah tua tetapi belum terlalu matang dan tidak ada
tanda-tanda kebusukan. Selain buah-buahan, kulitnya pun dapat diolah
menjadi jelly. Proses pembuatan jelly dari kulit buah sebagai berikut :
a. Tahap pembuatan sari kulit buah
Pada tahap ini, kulit buah dikupas dan dicuci sampai bersih dengan
air mengalir. Potong kecil-kecil kulit buah lalu asam sitrat dan air dengan
perbandingan kulit buah dan air adalah 1:1 (Kusmiati, 2012). Setelah itu,
rebus hingga mendidih selama 30 menit kemudian diamkan selama 12
jam dan saring pelan-pelan. Cairan yang diperoleh dibiarkan selama 1
jam sampai semua kotoran mengendap sehingga diperoleh sari kulit buah
yang jernih (Margono dkk.,1993).
b. Tahap pembuatan jelly
Untuk membuat jelly, pada sari kulit buah ditambahkan gula pasir
dan asam sitrat bila pH belum mencapai 3,2 (Satuhu, 1994). Masak sari
kulit buah dengan api sedang. Pemasakan dilakukan sampai zat padatan

18

19

terlarut mencapai 65% yang diukur menggunakan refraktometer (Cruess,


1958 dalam Santoso dkk., 2006). Pemasakan juga dapat dihentikan
setelah titik kekentalan jelly tercapai (Satuhu, 1994). Tanda-tanda
kekentalan jelly sebagai berikut.
Timbul gelembung-gelembung pada permukaan sari buah yang

dipanaskan.
Terbentuk gumpalan lunak bila satu sendok teh cairan yang
dimasak ditaruh ke dalam piring berisi air. Saat diangkat bentuk

gumpalan tidak berubah.


Bila garpu dicelupkan ke dalam cairan yang dimasak kemudian
diangkat, cairan tersebut tidak jatuh dan padat.
Sebagai perkiraan, bila perbandingan pektin, gula dan asam yang

digunakan tepat maka titik akhir kekentalan jelly akan tercapai pada suhu
104,4 sampai 105,8C (Satuhu, 1994).
c. Tahap pengemasan
Segera setelah titik akhir kekentalan tercapai, singkirkan buih-buih
di permukaan jelly yang terbentuk selama pengolahan. Jelly yang sudah
matang dituangkan dalam botol atau wadah lainnya yang sudah steril.
Tutup botol dengan rapat kemudian lakukan pasteurisasi dengan cara
pengukusan selama 30 menit (Satuhu, 1994).
D. Umur Simpan
Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam
kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu
tertentu (Floros dan Gnanasekharan (1993) dalam Herawati (2008)). Sedangkan Kilcast dan Subramaniam (2000) mendefinisikan umur simpan sebagai

19

20

kurun waktu selama suatu produk makanan akan tetap aman, mempertahankan karakteristik sifat sensori, kimia, fisik dan mikrobiologi yang
diinginkan, serta sesuai dengan keterangan pelabelan informasi zat gizi,
ketika disimpan pada kondisi tertentu. Umur simpan produk pangan biasa
dituliskan sebagai :

Best before date


Produk masih dalam kondisi baik dan masih dapat dikonsumsi beberapa
saat setelah tanggal yang tercantum terlewati.
Use by date
Produk tidak dapat dikonsumsi setelah tanggal yang tercantum terlewati
karena produk tersebut sangat mudah rusak oleh mikroba sehingga
berbahaya bagi kesehatan manusia.
Banyak faktor yang dapat memengaruhi umur simpan dan dapat

digolongkan menjadi faktor intrinsik dan ekstrinsik (IFST (1993) dalam


Kilcast dan Subramaniam (2000)).
1. Faktor intrinsik adalah sifat-sifat dari produk akhir, yang meliputi
Aktivitas air (water activity, aw),
pH dan total asam
Potensi redoks (Eh),
Ketersediaan oksigen,
Zat gizi,
Jumlah mikroflora alami dan mikroba yang masih hidup,
Biokimia alami dari produk seperti enzim dan reaktan kimia,
Penggunaan bahan pengawet dalam produk, misalnya garam.
Faktor intrinsik dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan mentah serta
formulasi dan struktur produk.
2. Faktor ekstrinsik adalah faktor-faktor pada produk akhir yang terjadi
ketika distribusi makanan yang meliputi
Waktu dan suhu selama pengolahan,
Pengendalian suhu selama penyimpanan dan distribusi,

20

21

Kelembaban relatif (RH), paparan cahaya (seperti ultraviolet dan


infra merah), jumlah mikroba di lingkungan selama pengolahan,

penyimpanan dan distribusi,


Komposisi atmosfer dalam kemasan,
Perlakuan suhu misalnya pemanasan kembali dan pemasakan

sebelum dikonsumsi,
Penanganan konsumen.
Semua faktor di atas dapat bekerja dengan cara yang interaktif dan
sering tidak terduga serta kemungkinan interaksinya harus diteliti. Interaksi
dari faktor intrinsik dan ekstrinsik mampu menghambat atau merangsang
sejumlah proses yang dapat membatasi umur simpan. Proses ini dapat
diklasifikasikan menjadi proses mikrobiologi, kimia, fisik dan time-related.
1. Perubahan Mikrobiologi
Pertumbuhan mikroorganisme spesifik selama penyimpanan
tergantung dari beberapa faktor yaitu
Jumlah awal mikroba saat mulai penyimpanan,
Sifat fisik-kimia makanan seperti kelembaban, pH dan adanya
bahan pengawet.
Metode yang digunakan dalam pengolahan makanan,
Lingkungan eksternal makanan seperti komposisi udara dan suhu
penyimpanan.
2. Perubahan Deteriorasi Kimia
Deteriorasi adalah penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya.
Banyak deteriorasi berasal dari reaksi di dalam makanan atau reaksi dari
komponen makanan dengan lingkungan eksternal, contohnya oksigen.
Ketengikan adalah faktor penting dalam makanan yang mengandung
lemak dan dapat terjadi melalui mekanisme yang berbeda-beda, contohnya reaksi lipolitik atau hidrolitik dan reaksi oksidatif. Pada daging,

21

22

reaksi oksidatif dapat membatasi umur simpannya sedangkan proses


enzimatik mempersingkat umur simpan buah-buahan dan sayuran.
Hidrolisis kimia terjadi pada produk yang mengandung bahan
pemanis yang kuat sehingga dapat mengurangi rasa manisnya dan
pencoklatan non-enzimatik dapat terjadi pada banyak makanan melalui
reaksi Maillard. Perubahan kimia dapat juga terjadi diakibatkan paparan
cahaya, contohnya kehilangan warna dalam warna makanan alami,
ketengikan dan munculnya off-flavor pada susu dan makanan ringan.
3. Perubahan Deteriorasi Fisik
Perpindahan kelembaban adalah penyebab utama dari perubahan
deteriorasi fisik pada makanan. Hal ini mudah terlihat pada produk
makanan segar melalui hilangnya kelembaban sehingga produk menjadi
layu dan mengkerut sedangkan, pada produk kering, seperti sereal dan
biskuit dapat kehilangan kerenyahannya melalui penyerapan kelembaban.
Pada produk makanan beku, perpindahan kelembaban dapat menyebabkan freezer burn, yaitu keadaan makanan yang mengkristal atau muncul
bintik-bintik es pada permukaan makanan. Freezer burn terjadi ketika
makanan terkena udara sehingga molekul air menguap dan makanan
menjadi kering dan teroksidasi.
Perubahan fisik pada makanan kemasan, kadang-kadang ditambah
dengan reaksi kimia yang juga dapat membatasi karakteristik sifat sensori
umur simpan, sebagai contoh, perubahan permeabilitas dengan waktu
dapat mengubah keseimbangan atmosfer dalam kemasan sehingga
menimbulkan efek mikrobiologi dan kimia. Perpindahan komponen

22

23

kimia dari bahan pengemas dapat mencemari makanan dan berdampak


serius terutama pada produk dengan umur simpan yang lama.
4. Perubahan Deteriorasi yang Terkait Waktu (Time-related)
Deteriorasi dapat terjadi pada suhu tinggi dan bertekanan. Suhu
pertumbuhan minimum berbagai mikroorganisme pembusuk dan patogen
sangat penting untuk diketahui karena pengendalian suhu yang efektif
dapat mencegah kontaminasi mikroba dan pembusukan. Peningkatan
suhu umumnya meningkatkan laju reaksi kimia yang dapat menyebabkan
kerusakan.
Pada makanan yang mengandung sirup gula, peningkatan suhu
akan mengubah karakteristik kristalisasinya. Namun, hal yang sebaliknya
terjadi pada roti, peningkatan suhu dapat mengurangi proses bread
staling, yaitu proses perubahan fisik-kimia komponen di dalam roti yang
terjadi selama penyimpanan. Staling menyebabkan crumb (bagian dalam
roti) berubah kering, keras tetapi rapuh dan crust (kulit roti) menjadi
lembek dan kerenyahannya menurun. Roti yang telah mengalami staling
dapat dikembalikan teksturnya dengan memanaskan roti pada suhu 65100C (Syamsir, 2011).

23

24

E. Kerangka Teori

Mutu
Organoleptik

Kulit pisang
Gula pasir

Mutu Fisik

Asam sitrat
Pembuatan jelly

Mutu Jelly
Kulit Pisang

Umur simpan
jelly kulit
pisang

Mutu Kimia
Suhu
Mutu
Mikrobiologi

Waktu

Keterangan

: Diteliti
Tidak diteliti

24

=
=

25

F.

Kerangka Konsep

Penambahan gula pasir

Pembuatan jelly

Mutu mikrobiologi

Umur Simpan
Gambar 2.7 Kerangka konsep penelitian

25

Anda mungkin juga menyukai