Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama

: An. F

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 7 tahun

Hubungan dg orang tua

: Anak kandung

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Alamat

: Jati Mulyo

Tanggal masuk perawatan : 7 Januari 2016


Tanggal pemeriksaan

: 7 Januari 2016

B. ANAMNESA
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal, jam 10:00 di Ruang Anak RS.
Ahmad Yani Metro
Keluhan Utama :
Kejang
Keluhan Tambahan : Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Ahmad Yani Metro dengan keluhan kejang
2x karena obat habis 5 hari SMRS, pasien tidak demam. Kejang berlangsung
selama kurang lebih 15 menit. Pasien mendadak memejamkan mata dan tak
lama kemudian seluruh tubuh pasien kejang lalu kaku selama 15 menit.
Saat kejang, pasien tidak sadarkan diri. Pasien merasakan lemas, pegal, dan
merasa mengantuk sesaat setelah kejang. Menurut ibu pasien, kejang pertama
terjadi saat pasien berusia 8 bulan. Pada saat pasien berusia 6 bulan mulai

muncul gejala tidur lama, susah untuk dibangunkan, dan sering lemas. Saat itu
sudah berobat di Puskesmas dan pasien tidak kejang lagi, akan tetapi pasien
menjadi hiperaktif. Sewaktu SD, pasien menjadi lambat dalam mengikuti
pelajaran, meski tidak pernah tinggal kelas dan tidak bisa diam saat belajar di
kelas. Pasien mempunya riwayat sepsis saat kelahirannya yang ditolong bidan.
Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala, hipertensi, DM, maupun
sakit jantung. Pasien sudah pernah menjalani pemeriksaan EEG tidak ada
kelainan. Ibu pasien pernah menderita epilepsi, akan tetapi sudah sembuh saat
berusia 5 tahun. Pasien susah untuk bergaul dengan orang lain. Daya ingat
pasien menurun dan pasien menjadi suka tidak nyambung ketika di ajak
ngobrol. Saat ini, kondisi pasien sudah lebih tenang dan kalem. Sepanjang
tahun 2015, pasien kambuh kejang 2x. Hingga saat ini, rutin kontrol minimal
sebulan sekali ke RS.
.
Riwayat Penyakit Dahulu :

Hipertensi

: Tidak ada

Diabetes mellitus

: Tidak ada

Trauma kepala

: Tidak ada

Sakit kepala sebelumnnya

: Tidak ada

Kegemukan

: Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :


Ibu pasien menderita epilepsi saat berumur 1 tahun. Kejang sembuh saat ibu
berusia 5 tahun.
Riwayat Kelahiran / Pertumbuhan / Perkembangan :
Pasien diberikan obat luminal, pasien menjadi tidak kejang lagi, akan tetapi
pasien menjadi agak hiperaktif. Pasien menjadi lambat dalam mengikuti pelajaran dan
daya ingat pasien menurun, meski tidak pernah tinggal kelas

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present
Keadaan umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos mentis

Suhu

: 36,5o C

Frekuensi Nadi

: 92x / menit

Frekuensi Nafas

: 24x/menit

Berat Badan

: 14 Kg

Status Gizi

: Baik

b. Status Generalis
Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil diameter


3 mm bulat isokhor, refleks cahaya (+).

Leher

: Trakea lurus di tengah, KGB tidak teraba membesar

Thorax
Inspeksi

: Bentuk dan gerak dada simetris, tidak ada retraksi.

Palpasi

: Ictus cordis teraba di Intercostalis 5 kiri

Perkusi

: Sonor / sonor

Auskultasi

: BJ I-II tidak murni, reguler, gallop S3 (-), murmur (-), batas


jantung

Paru

: vocal fremitus, vocal resonance, vesicular breathing sound


kanan sama dengan kiri, suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)

Abdomen
Hepar

: tidak teraba

Lien

: tidak teraba

Ekstremitas

: Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada

D. STATUS PSIKIATRI
Tingkah laku

: Tenang

Perasaan hati

: Hipothym

Orientasi

: Cukup

Daya ingat

: Kurang

E. STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran

: Compos Mentis, E4M6V5, GCS 15

Sikap tubuh

: Berjalan

Cara berjalan

: Normal, tidak ada kesulitan saat berjalan

Gerakan abnormal

: Tidak ada

Kepala
Bentuk

: Normocephali

Simetris

: Simetris

Pulsasi

: Teraba pulsasi a.temporalis +/+

Nyeri tekan

: Tidak ada

Leher
Sikap

: Normal

Gerakan

: Bebas

Vertebra

: Tidak ditemukan kelainan

Nyeri tekan

: Tidak ada

Gejala Rangsang Meningeal


Kaku kuduk

(-)

Kernig test

: (-) / (-)

Lasegue test

: (-) / (-)

Brudzinsky I

: (-) / (-)

Brudzinsky II

: (-) / (-)

Refleks Patologis
Hoffman trommer

: (-) / (-)

Babinski

: (-) / (-)

Chaddock

: (-) / (-)

Oppenheim

: (-) / (-)

Gordon

: (-) / (-)

Schaefer

: (-) / (-)

Rosolimo

: (-) / (-)

Mendel Bechterew

: (-) / (-)

Klonus paha

: (-) / (-)

Klonus kaki

: (-) / (-)

Sensibilitas
Eksteroseptif

Nyeri
Suhu
Taktil

: (+) / (+)
: Tidak dilakukan
: (+) / (+)

Propioseptif

Vibrasi
Posisi
Tekan dalam

: Tidak dilakukan
: (+) / (+)
: (+) / (+)

Koordinasi dan keseimbangan

Test romberg
Test tandem
Test fukuda
Disdiadokinesis
Rebound phenomenon
Dismetri

: Tidak dapat dilakukan


: Tidak dapat dilakukan
: Tidak dapat dilakukan
: Tidak dapat dilakukan
: Tidak dapat dilakukan
: Tidak dapat dilakukan
5

Tes telunjuk hidung


Tes telunjuk telunjuk
Tes tumit lutut

: Tidak dapat dilakukan


: Tidak dapat dilakukan
: Tidak dapat dilakukan

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Lengkap
- Leukosit
- Eritrosit
- Hb
- Ht
- MCV
- MCH
- MCHC
- Trombosit

: 20,74 10^3/uL
: 5,00 10^3/uL
: 11,3 g/dL
: 34,8 %
: 70,6 fL
: 22,6 pg
: 31,5 g/dL
: 362.000

H. DIAGNOSIS
Status Epileptikus
I. DIAGONSIS BANDING
-

J. TERAPI
Non medikamentosa
-

Edukasi pada keluarga mengenai penyakit epilepsy karena epilepsy


termasuk penyakit kronis

- Edukasi pada keluarga mengenai pentingnya minum obat teratur dan kontrol
rutin bulanan.

Medikamentosa
-

IVFD RL 10 tpm
Inj. Ondansentron 2 x 0,9 mg
Inj. Ampicilin 2 x 400 mg
PCT 3 x cth I
Asam valproat 2 x 500 mg p.o

K. PROGNOSA
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Epilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
dengan gejala tunggal yang khas, yakni serangan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Epilepsi berasal dari kata
Yunani epilambanien yang berarti serangan dan menunjukan bahwa sesuatu dari
luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi dapat
didiagnosis setelah mengalami satu kali kejang, jika seseorang berada dalam kondisi
dimana mereka memiliki risiko tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang pada
epilepsi mungkin berhubungan dengan trauma otak atau kecenderungan keluarga
tetapi kebanyakan penyebab epilepsi tidak diketahui.
Bangkitan Epilepsi adalah akibat cetusan sinkron sekumpulan neuron
abnormal, hiperaktif, berulang, akibat instabilitas dari membran neuron yang
disebabkan oleh kelebihan neuron eksitatorik atau berkurangnya neuron inhibitorik.
Epidemiologi
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien
baru terdiagnosis per 10.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat
epilepsi adalah 2 per 100.000 kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang
atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Data dari WHO menyebutkan
bahwa dari banyak studi menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000
penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Meskipun
di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai
suatu negara berkembang yang berpenduduk berkisar 220 juta, maka diperkirakan
jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan
pengobatan berkisar 1,8 juta.

Penilitian

epidemiologi

tentang

insiden

dan

prevalensi

terjadinya

psikopatologi diantara serangan kejang masih sedikit. Namun penelitian yang ada
memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem psikiatri di antara
pasien-pasien epilepsi dibandingkan pada pasien tanpa epilepsi.
Epilepsi

di

Negara

berkembang

sekitar

80-90%

diantaranya

tidak

mendapatkan pengobatn apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak


dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi pada anak berusia dibawah 2
tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut diatas 65 tahun (81/100.000 kasus).
Epilepsi lobus temporal memiliki 3 efek fungsi kognitif ditandai dengan
sklerosis hipokampus, kejang fokal dengan tanda kepribadian lobus temporal sebelah
medial. Hipokampus dan sekitarnya adalah komponen terbesar dalam sistem
frontotemporal.

Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi

desak ruang,

gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap
sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome
dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan
anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi
serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid)
meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron,
ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya
serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya
mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam

masa haid, kehamilan dan menopause.

Perubahan kadar hormon ini

dapat

mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.


Secara sederhana etiologi epilepsi dapat dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik.
2. Simtomatik: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural
pada otak, misalnya cedera, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik,
kelainan neurodegeneratif.

Klasifikasi
Klasifikasi menurut Etiologi
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau
gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau
pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau
sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus
alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Klasifikasi Umum
10

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada
tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe
serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
-

Dengan gejala motorik

Dengan gejala sensorik

Dengan gejala otonom

Dengan gejala psikis

b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)


-

Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

Gangguan kesadaran saat awal serangan

c. Serangan umum sederhana


-

Parsial sederhana menjadi tonik-klonik

Parsial kompleks menjadi tonik-klonik

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik

2. Serangan umum
a. Absens (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).

11

Klasifikasi ILAE tahun 1981 ini (lihat tabel 1) lebih mudah digunakan untuk
para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu : serangan fokal yaitu
bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak. Dan serangan
umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua
belahan otak.
Tabel 1. Klasifikasi Epilepsi menurut ILAE 1981
CLASSIFICATION OF SEIZURES
1. Partial seizures
a. Simple partial seizures (with motor, sensory,
autonomic, or psychic signs)
b. Complex partial seizures
c. Partial seizures with secondary generalization
2. Primarily generalized seizures
a. Absence (petit mal)
b. Tonic-clonic (grand mal)
c. Tonic
d. Atonic
e. Myoclonic
3. Unclassified seizures
a. Neonatal seizures
b. Infantile spasms

Patogenesis
Epileptogenesis adalah proses transformasi saraf yang normal kepada saraf
yang hipereksitibilitas. Ini disebabkan oleh akibat terjadi trauma, strok, atau infeksi.
Akibat daripada kerusakan jaringan otak yang disebabkan oleh perkara tadi, terjadi
reorganisation atau sprouting syaraf yang belum rusak. Akibat daripada proses ini,
eksitabilitas syaraf berubah menjadikan seseorang itu lebih senang untuk mendapat
kejang. Selain daripada terjadi kerusakan otak dan menyebabkan berubahnya struktur

12

saraf, epilepsi juga disebabkan oleh faktor genetik dimana terjadi perubahan pada
fungsi ion channel. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis
metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas
serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan
normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila
mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
-

Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter


GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan

asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,


dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan
epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun
jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti
pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron
yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak.
Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses
sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari
jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

13

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat

(inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,


disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata
memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik.
-

Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan


impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi
sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan
oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi
didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :

Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis


(fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron
akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu
sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan
menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,
hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan

14

serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya


eksitasi selesadimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia
basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi
spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti.

Dulu

dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena


kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi
bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.

Pada keadaan tertentu

(hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls dapat


berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan
disebut status epileptikus.

Manifestasi Klinis
Gambaran serangan epilepsi secara klinis tergantung pada fungsi daerah otak
yang tersangkut lepas muatan listrik epileptis, sehingga dapat dijumpai bermacam
gejala. Epilepsi lobus temporalis mempunyai simtomatologi tersendiri dan sering
bersifat kompleks. Serangan epilepsi lobus temporalis dapat menjelma sebagai suatu
serangan sederhana apabila lepas muatan listrik fokus epileptogen tidak terlampau
keras atau meluas, misalnya serangan oditoris, olfaktoris dan sebagainya. Apabila
lepas muatan listrik meluas dan menyangkut daerah yang

lebih luas maka

simtomatologi akan lebih kompleks misalnya berupa halusinasi, gejala otonom,


psikomotor, reaksi afektif, otomatisme dan sebagainya yang disertai perubahan
kesadaran dan amnesi mengenai serangan.
Faktor Pencetus
Beberapa pencetus terjadinya epilepsi adalah sebagai berikut:
1. Cahaya
Cahaya tertentu dapat merangsang terjadinya serangan; epilepsi ini
disebut sebagai epilepsi fotosensitif atau fotogenik. Epilepsi jenis ini berkaitan

15

dengan epilepsi umum idiopatik. Pada remaja, 18% di antaranya bersifat


fotosensitif. Cahaya yang mampu merangsang terjadinya serangan adalah
cahaya yang berkedip-kedip dan/atau yang menyilaukan. Keadaan demikian ini
sering terjadi pada anak berumur 6 12 tahun. Prinsip fotosensitif dipakai
untuk pemeriksaan elektro-ensefalografi ialah dengan memberi rangsangan
cahaya berkedip-kedip (photic stimulation)
2. Kurang tidur
Kurang tidur maupun pola tidur yang tidak teratur dapat merangsang
terjadinya serangan. Diduga bahwa kurang tidur dapat menurunkan ambang
serangan yang kemudian memudahkan terjadinya serangan. Dengan demikian
kepada penderita perlu ditekankan untuk tidur secara teratur dan terjaga jumlah
jam tidurnya. kurang tidur dapat memperberat dan memperlama serangan.
Fenomena ini dapat digunakan untuk stimulasi penderita sebelum dilakukan
pemeriksaan EEG.
3. Faktor makan dan minum
Faktor makan dan minum sehari-hari dapat menjadi masalah pada
penderita epilepsi : makan dan minum harus teratur, jangan terlalu lapar, terlalu
haus, dan sebaliknya: jangan terlalu kenyang, terutama terlalu banyak minum.
Hipoglikemia dapat memicu terjadinya serangan. Hipoglikemia maupun
hiperglikemia dapat memunculkan serangan pada orang yang tidak mengalami
epilepsi. Sementara itu ada penderita yang sensitif terhadap mentega, coklat,
atau keju.
4. Suara tertentu
Suara tertentu dapat merangsang terjadinya serangan. Epilepsi jenis ini
disebut epilepsi audiogenik atau epilepsi musikogenik. Suara dengan nada
tinggi atau berkualitas keras dapat menimbulkan serangan. Begitu mendengar
suara yang mengejutkan maka penderita langsung mengalami serangan yang
sangat mendadak sehingga mengejutkan orang lain.

16

5. Reading dan eating epilepsy


Reading epilepsy berarti serangan dirangsang oleh kegiatan membaca.
Bahan yang dibaca dapat berupa bacaan biasa (berita, cerita) maupun bacaan
yang memberi persoalan sehingga penderita harus berpikir. Eating epilepsy
menunjukkan bahwa serangan terjadi pada saat penderita mengunyah makanan.
Ada yang berpendapat bahwa faktor pencetusnya bukan kegiatan mengunyah
tetapi bahan makanan yang dikunyah.
6. Lupa dan/atau enggan minum obat
Penderita epilepsi harus diberitahu secara jelas bahwa lupa dan/atau
enggan minum OAE dapat menimbulkan serangan dan bahkan serangan yang
muncul dapat lebih lama atau lebih berat. Lupa minum obat paling sering
terjadi pada penderita yang minum obat dengan dosis tunggal. Sebaliknya,
minum obat 2 atau 3 kali sehari dapat menimbulkan rasa bosan sehingga
penderita enggan minum obat.
7. Drug abuse
Kokain, dengan berbagai bentuk konsumsi. dapat menimbulkan
serangan

dalam

waktu

beberapa

detik,

menit,

atau

jam

sesudah

mengkonsumsinya. Serangan sebagai akibat kokain ini dapat disertai dengan


serangan jantung. Amfetamin dan metilfenidat sering diberikan pada penderita
attention deficit disorder and hyperactivity (ADHD) dan narkolepsi. Apabila
kedua jenis obat ini diminum tanpa pengawasan dokter maka dapat
menimbulkan gangguan tidur, bingung, dan gangguan psikiatrik. Hal ini apabila
terjadi pada penderita epilepsi akan mudah terjadi serangan karena penderita
lupa minum obat. Disamping itu secara primer epilepsi merupakan salah satu
kontra-indikasi untuk pemberian metilfenidat. Narkotika tidak berkaitan secara
langsung dengan munculnya serangan pada epilepsi. Narkotika menyebabkan
penderita epilepsi lupa untuk minum obat. Bila narkotika dikonsumsi dalam
dosis besar dapat mengurangi penyediaan oksigen ke otak; ini dapat
menimbulkan serangan. Sementara itu, hipoksia dapat menimbulkan status
epileptikus.

17

Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
- Karakteristik bangkitan: bentuk, gejala (sebelum, sewaktu dan setelah),
suasana, waktu, durasi, frekuensi (progresif/tidak), stereotipik / tidak,
faktor pencetus.
Usia pertama kali mengalami bangkitan.
Adakah defisit neurologis progresif?
Riwayat (perinatal, tumbuh kembang, penyakit penyebab, keluarga).

2. Pemeriksaan Fisik
- Umum
- Neurologis
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaaan
memungkinkan. Pemeriksaan ini mencakup:
1. Pemeriksaan electro-encephalography (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan
sutau bangkitan. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik

atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila:


Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat

disbanding seharusnya misal gelombang delta.


Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk,
dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi
tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal
gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),

18

epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku /


tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
2. Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)
Pemeriksaan CT scan dan MRI meningkatkan kemampuan
dalam mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi
tinggi berbagai macam lesi patologik dapat terdiagnosis secara noninvasif.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Penatalaksanaan
Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.
Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan
terjadinya serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi
obat antiepilepsi. Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian,
kurang lebih 30-50% pasien tidak berrespon terhadap monoterapi. Tujuan pengobatan
epilepsi dengan obat antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan
efek buruk yang minimal (yang dapat ditoleransi).
Prinsip-prinsip Terapi Obat Antiepilepsi :
1. Menentukan diagnosis yang tepat
Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang
terdiagnosis epilepsi mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan
meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada
kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi.
2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi
Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien
dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan (lihat tabel
2) Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut

19

Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang
selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.
Tabel 2. Keputusan Pemberian OAE setelah Kejang Pertama.

A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada
masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todds postical paresis
f. Status epileptikus

B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk
keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko
dari pengobatan obat antiepilepsi. Pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan
mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan
spikes sentrotemporal.

20

f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian

Pemberian OAE setelah Kejang >2 kali


Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih
membutuhkan pengobatan. Pada pasien yang mengalami kejang pertama namun tidak
ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang yang
kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang
pertama. Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun
pertama. Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan
epilepsi. Adapun obat-obat yang sesuai (lihat tabel 3).

Tabel 3. Obat-obat Anti Epilepsi

21

Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan
terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang
biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek
samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat
ditoleransi.
Untuk meminimalkan efek samping (lihat tabel 4) pada pemberian awal ini,
obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan
secara bertahap sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan.
Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali
pada kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang,
proses titrasi dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.
Tabel 4. Berbagai Efek Sampiang dari OAE
Obat

Dosis

Dosis yang Dosis

Frekuens Efek samping

awal

paling

maintenanc

(mg/hari)

umum

e (mg/hari)

pemberia

(mg/hari)

22

(kali/hari
)

Fenitoin

200

300

100-700

1-2

Hirsutisme, hipertrofi
gusi, distres lambung,
penglihatan

kabur,

vertigo, hiperglikemia,
anemia makrositik

Karbamazepin

200

600

400-2000

2-4

Depresi

sumsum

tulang,

distress

lambung,

sedasi,

penglihatan

kabur,

konstipasi, ruam kulit

Okskarbazepin 150-600

900-1800

900-2700

2-3

Gangguan GI, sedasi,


diplopia,
hiponatremia,

ruam

kulit

Lamotrigin

12,5-25

200-400

100-800

1-2

Hepatotoksik,
sindrom

ruam,
steven-

johnson, nyeri kepala,


pusing,

penglihatan

kabur

Zonisamid

100

400

400-600

1-2

Somnolen,

ataksia,

kelelahan,

anoreksia,

pusing,

batu

ginjal,

leukopenia

23

Ethosuximid

500

1000

500-2000

1-2

Mual, muntah, BB ,
konstipasi,

diare,

gangguan tidur

Felbamat

1200

2400

1800-4800

gg.

GI,

BB

anoreksia,

nyeri

kepala,

insomnia,

hepatotoksik

Topiramat

25-50

200-400

100-100

Faringitis,
BB

insomnia,

konstipasi,

mulut kering, sedasi,


anoreksia

Clobazam

10

20

10-40

1-2

Clonazepam

2-8

1-2

Mengantuk,
kebingungan,

nyeri

kepala, vertigo, sinkop

Fenobarbital

60

120

60-240

1-2

Sedasi,

distress

lambung

Pirimidon

125

500

250-1500

1-2

Tiagabin

4-10

40

20-60

2-4

Mulut kering, pusing,


sedasi,
terhuyung,
kepala,

langkah
nyeri
eksaserbasi

kejang generalisata

24

Vigabatrin

500-1000

3000

2000-4000

1-2

Gabapentin

300-400

2400

1200-4800

Leukopenia,mulut
kering,

penglihatan

kabur,

mialgia,

penambahan

berat,

kelelahan

Pregabalin

150

300

150-600

2-3

Valproat

500

1000

500-3000

2-3

Levetiracetam

1000

2000-3000

1000-4000

Mual, hepatotoksik

Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah
diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek
merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang
direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3

25

minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus
dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal.
Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer
gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.
c) Politerapi
Kombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang: mempunyai
mekanisme aksi berbeda, efek samping relatif ringan, indeks terapi lebar, dan
interaksi obat terbatas atau negatif. Kombinasi obat hanya dipakai apabila semua
upaya monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini pertama tidak
menolong, obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap
diteruskan, sementara obat yang lain diganti diganti dengan obat dari kelompok lini
kedua.
Apabila obat lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik obat
pertama. Sebaliknya, obat lini kedua tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak
juga efektif. Apabila upaya tersebut di atas gagal, kasus tersebut mungkin tergolong
dalam epilepsi refrakter, kasus epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat
antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada kasus itu, atau dipertimbangkan untuk
tindakan bedah.
Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter
makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus temporalis
bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami operasi terbebas
dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE. Pendekatan teknik
operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi, dan reseksi multilobular
pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.

26

Prognosis
Di dalam prognosis epilepsi terdapat dua hal penting, ialah kesempatan untuk
mencapai remisi serangan serta kemungkinan terjadinya kematian secara prematur.
Data yang lengkap dan teliti tentang kedua hal tadi sangat penting untuk menentukan
terapi secara rasional maupun pemberian penyuluhan ataupun nasihat secara tepat.
Penelitian tentang prognosis epilepsi belum memberi hasil yang pasti karena masalah
metodologi dan adanya fakta bahwa epilepsi merupakan ekspansi dari sekian banyak
sindrom dengan faktor penyebab yang berbeda.
Risiko kematian pada epilepsi masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini
disebabkan oleh metodologi yang berbeda serta sebab-sebab kematian pada epilepsi
yang bervariasi sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kematian tadi secara
langsung disebabkan oleh epilepsi. Dari suatu penelitian epidemiologik, frekuensi
status epileptikus tiap tahuin di Amerika Serikat berkisar antara 102.000-152.000,
dengan 55.000 kematian sebagai akibat dari status epileptikus. Prognosis: sekitar 4069% penderita epilepsi psikomotor akan terkontrol dengan baik.
Daftar Pustaka
1.

Departemen saraf RSPAD Gatot Soebroto. Pengenalan dan penatalaksanaan


kasus-kasus neurologi. Jakarta : Departemen saraf RSPAD Gatot Soebroto,
2007. h. 63-71.

2. Papadakis MA, Mcphee SJ. Current medical diagnosis & treatment. USA :
McGraw-Hill, 2015. p. 960-6.
3. Hauser SL, Josephson SA. Harrisons neurology in clinical medicine. 2 nd
edision. . USA : McGraw-Hill, 2010. p. 222-33.
4. Foldvary N, Nashold B, Mascha E, Seizures outcome after temporal
lobectomy for temporal lobe epilepsy: a Kaplan-Meier survival analysis.
Neurology 2000 Feb;54(3):630-4.

27

5. Martini FH, Nath JL. Fundamentals of anatomy and phisiology. 8 th ed. San
Fransisco :Pearson International, 2009. p 569-77.
6. Danielson NB, Guo JN, Blumenfeld H. The default mode network and altered
consciousness in epilepsy. Behaviour Neurology 2011;24(1):5565.
7. Sadler RM. The syndrome of mesial temporal lobe epilepsy with hippocampal
sclerosis: clinical features and differential diagnosis. Advances in Neurology
2006;97(1):2737.

28

Anda mungkin juga menyukai