A. IDENTITAS
Nama
: An. F
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 7 tahun
: Anak kandung
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Alamat
: Jati Mulyo
: 7 Januari 2016
B. ANAMNESA
Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal, jam 10:00 di Ruang Anak RS.
Ahmad Yani Metro
Keluhan Utama :
Kejang
Keluhan Tambahan : Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Ahmad Yani Metro dengan keluhan kejang
2x karena obat habis 5 hari SMRS, pasien tidak demam. Kejang berlangsung
selama kurang lebih 15 menit. Pasien mendadak memejamkan mata dan tak
lama kemudian seluruh tubuh pasien kejang lalu kaku selama 15 menit.
Saat kejang, pasien tidak sadarkan diri. Pasien merasakan lemas, pegal, dan
merasa mengantuk sesaat setelah kejang. Menurut ibu pasien, kejang pertama
terjadi saat pasien berusia 8 bulan. Pada saat pasien berusia 6 bulan mulai
muncul gejala tidur lama, susah untuk dibangunkan, dan sering lemas. Saat itu
sudah berobat di Puskesmas dan pasien tidak kejang lagi, akan tetapi pasien
menjadi hiperaktif. Sewaktu SD, pasien menjadi lambat dalam mengikuti
pelajaran, meski tidak pernah tinggal kelas dan tidak bisa diam saat belajar di
kelas. Pasien mempunya riwayat sepsis saat kelahirannya yang ditolong bidan.
Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala, hipertensi, DM, maupun
sakit jantung. Pasien sudah pernah menjalani pemeriksaan EEG tidak ada
kelainan. Ibu pasien pernah menderita epilepsi, akan tetapi sudah sembuh saat
berusia 5 tahun. Pasien susah untuk bergaul dengan orang lain. Daya ingat
pasien menurun dan pasien menjadi suka tidak nyambung ketika di ajak
ngobrol. Saat ini, kondisi pasien sudah lebih tenang dan kalem. Sepanjang
tahun 2015, pasien kambuh kejang 2x. Hingga saat ini, rutin kontrol minimal
sebulan sekali ke RS.
.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi
: Tidak ada
Diabetes mellitus
: Tidak ada
Trauma kepala
: Tidak ada
: Tidak ada
Kegemukan
: Tidak ada
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos mentis
Suhu
: 36,5o C
Frekuensi Nadi
: 92x / menit
Frekuensi Nafas
: 24x/menit
Berat Badan
: 14 Kg
Status Gizi
: Baik
b. Status Generalis
Mata
Leher
Thorax
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Sonor / sonor
Auskultasi
Paru
Abdomen
Hepar
: tidak teraba
Lien
: tidak teraba
Ekstremitas
D. STATUS PSIKIATRI
Tingkah laku
: Tenang
Perasaan hati
: Hipothym
Orientasi
: Cukup
Daya ingat
: Kurang
E. STATUS NEUROLOGIS
Kesadaran
Sikap tubuh
: Berjalan
Cara berjalan
Gerakan abnormal
: Tidak ada
Kepala
Bentuk
: Normocephali
Simetris
: Simetris
Pulsasi
Nyeri tekan
: Tidak ada
Leher
Sikap
: Normal
Gerakan
: Bebas
Vertebra
Nyeri tekan
: Tidak ada
(-)
Kernig test
: (-) / (-)
Lasegue test
: (-) / (-)
Brudzinsky I
: (-) / (-)
Brudzinsky II
: (-) / (-)
Refleks Patologis
Hoffman trommer
: (-) / (-)
Babinski
: (-) / (-)
Chaddock
: (-) / (-)
Oppenheim
: (-) / (-)
Gordon
: (-) / (-)
Schaefer
: (-) / (-)
Rosolimo
: (-) / (-)
Mendel Bechterew
: (-) / (-)
Klonus paha
: (-) / (-)
Klonus kaki
: (-) / (-)
Sensibilitas
Eksteroseptif
Nyeri
Suhu
Taktil
: (+) / (+)
: Tidak dilakukan
: (+) / (+)
Propioseptif
Vibrasi
Posisi
Tekan dalam
: Tidak dilakukan
: (+) / (+)
: (+) / (+)
Test romberg
Test tandem
Test fukuda
Disdiadokinesis
Rebound phenomenon
Dismetri
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Lengkap
- Leukosit
- Eritrosit
- Hb
- Ht
- MCV
- MCH
- MCHC
- Trombosit
: 20,74 10^3/uL
: 5,00 10^3/uL
: 11,3 g/dL
: 34,8 %
: 70,6 fL
: 22,6 pg
: 31,5 g/dL
: 362.000
H. DIAGNOSIS
Status Epileptikus
I. DIAGONSIS BANDING
-
J. TERAPI
Non medikamentosa
-
- Edukasi pada keluarga mengenai pentingnya minum obat teratur dan kontrol
rutin bulanan.
Medikamentosa
-
IVFD RL 10 tpm
Inj. Ondansentron 2 x 0,9 mg
Inj. Ampicilin 2 x 400 mg
PCT 3 x cth I
Asam valproat 2 x 500 mg p.o
K. PROGNOSA
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Ad sanam
: dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Epilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
dengan gejala tunggal yang khas, yakni serangan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Epilepsi berasal dari kata
Yunani epilambanien yang berarti serangan dan menunjukan bahwa sesuatu dari
luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi dapat
didiagnosis setelah mengalami satu kali kejang, jika seseorang berada dalam kondisi
dimana mereka memiliki risiko tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang pada
epilepsi mungkin berhubungan dengan trauma otak atau kecenderungan keluarga
tetapi kebanyakan penyebab epilepsi tidak diketahui.
Bangkitan Epilepsi adalah akibat cetusan sinkron sekumpulan neuron
abnormal, hiperaktif, berulang, akibat instabilitas dari membran neuron yang
disebabkan oleh kelebihan neuron eksitatorik atau berkurangnya neuron inhibitorik.
Epidemiologi
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien
baru terdiagnosis per 10.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat
epilepsi adalah 2 per 100.000 kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang
atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Data dari WHO menyebutkan
bahwa dari banyak studi menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000
penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Meskipun
di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai
suatu negara berkembang yang berpenduduk berkisar 220 juta, maka diperkirakan
jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan
pengobatan berkisar 1,8 juta.
Penilitian
epidemiologi
tentang
insiden
dan
prevalensi
terjadinya
psikopatologi diantara serangan kejang masih sedikit. Namun penelitian yang ada
memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem psikiatri di antara
pasien-pasien epilepsi dibandingkan pada pasien tanpa epilepsi.
Epilepsi
di
Negara
berkembang
sekitar
80-90%
diantaranya
tidak
Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi
desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap
sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome
dan Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan
anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi
serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid)
meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron,
ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya
serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya
mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam
dapat
Klasifikasi
Klasifikasi menurut Etiologi
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau
gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simptomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau
pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau
sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus
alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Klasifikasi Umum
10
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada
tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe
serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
-
2. Serangan umum
a. Absens (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
11
Klasifikasi ILAE tahun 1981 ini (lihat tabel 1) lebih mudah digunakan untuk
para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu : serangan fokal yaitu
bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak. Dan serangan
umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua
belahan otak.
Tabel 1. Klasifikasi Epilepsi menurut ILAE 1981
CLASSIFICATION OF SEIZURES
1. Partial seizures
a. Simple partial seizures (with motor, sensory,
autonomic, or psychic signs)
b. Complex partial seizures
c. Partial seizures with secondary generalization
2. Primarily generalized seizures
a. Absence (petit mal)
b. Tonic-clonic (grand mal)
c. Tonic
d. Atonic
e. Myoclonic
3. Unclassified seizures
a. Neonatal seizures
b. Infantile spasms
Patogenesis
Epileptogenesis adalah proses transformasi saraf yang normal kepada saraf
yang hipereksitibilitas. Ini disebabkan oleh akibat terjadi trauma, strok, atau infeksi.
Akibat daripada kerusakan jaringan otak yang disebabkan oleh perkara tadi, terjadi
reorganisation atau sprouting syaraf yang belum rusak. Akibat daripada proses ini,
eksitabilitas syaraf berubah menjadikan seseorang itu lebih senang untuk mendapat
kejang. Selain daripada terjadi kerusakan otak dan menyebabkan berubahnya struktur
12
saraf, epilepsi juga disebabkan oleh faktor genetik dimana terjadi perubahan pada
fungsi ion channel. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis
metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas
serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan
normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila
mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
-
13
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :
Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,
14
Dulu
Manifestasi Klinis
Gambaran serangan epilepsi secara klinis tergantung pada fungsi daerah otak
yang tersangkut lepas muatan listrik epileptis, sehingga dapat dijumpai bermacam
gejala. Epilepsi lobus temporalis mempunyai simtomatologi tersendiri dan sering
bersifat kompleks. Serangan epilepsi lobus temporalis dapat menjelma sebagai suatu
serangan sederhana apabila lepas muatan listrik fokus epileptogen tidak terlampau
keras atau meluas, misalnya serangan oditoris, olfaktoris dan sebagainya. Apabila
lepas muatan listrik meluas dan menyangkut daerah yang
15
16
dalam
waktu
beberapa
detik,
menit,
atau
jam
sesudah
17
Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
- Karakteristik bangkitan: bentuk, gejala (sebelum, sewaktu dan setelah),
suasana, waktu, durasi, frekuensi (progresif/tidak), stereotipik / tidak,
faktor pencetus.
Usia pertama kali mengalami bangkitan.
Adakah defisit neurologis progresif?
Riwayat (perinatal, tumbuh kembang, penyakit penyebab, keluarga).
2. Pemeriksaan Fisik
- Umum
- Neurologis
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaaan
memungkinkan. Pemeriksaan ini mencakup:
1. Pemeriksaan electro-encephalography (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan
sutau bangkitan. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
hemisfer otak.
Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
18
19
Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang
selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.
Tabel 2. Keputusan Pemberian OAE setelah Kejang Pertama.
A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :
a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)
b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada
masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todds postical paresis
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk
keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko
dari pengobatan obat antiepilepsi. Pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan
mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan
spikes sentrotemporal.
20
f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian
21
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan
terapi untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang
biasanya terjadi pada permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek
samping ini cenderung menurun pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat
ditoleransi.
Untuk meminimalkan efek samping (lihat tabel 4) pada pemberian awal ini,
obat-obat tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan
secara bertahap sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan.
Jika efek buruk tidak dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali
pada kadar sebelumnya yang dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang,
proses titrasi dimulai kembali dengan menaikkan dosis yang lebih kecil.
Tabel 4. Berbagai Efek Sampiang dari OAE
Obat
Dosis
awal
paling
maintenanc
(mg/hari)
umum
e (mg/hari)
pemberia
(mg/hari)
22
(kali/hari
)
Fenitoin
200
300
100-700
1-2
Hirsutisme, hipertrofi
gusi, distres lambung,
penglihatan
kabur,
vertigo, hiperglikemia,
anemia makrositik
Karbamazepin
200
600
400-2000
2-4
Depresi
sumsum
tulang,
distress
lambung,
sedasi,
penglihatan
kabur,
Okskarbazepin 150-600
900-1800
900-2700
2-3
ruam
kulit
Lamotrigin
12,5-25
200-400
100-800
1-2
Hepatotoksik,
sindrom
ruam,
steven-
penglihatan
kabur
Zonisamid
100
400
400-600
1-2
Somnolen,
ataksia,
kelelahan,
anoreksia,
pusing,
batu
ginjal,
leukopenia
23
Ethosuximid
500
1000
500-2000
1-2
Mual, muntah, BB ,
konstipasi,
diare,
gangguan tidur
Felbamat
1200
2400
1800-4800
gg.
GI,
BB
anoreksia,
nyeri
kepala,
insomnia,
hepatotoksik
Topiramat
25-50
200-400
100-100
Faringitis,
BB
insomnia,
konstipasi,
Clobazam
10
20
10-40
1-2
Clonazepam
2-8
1-2
Mengantuk,
kebingungan,
nyeri
Fenobarbital
60
120
60-240
1-2
Sedasi,
distress
lambung
Pirimidon
125
500
250-1500
1-2
Tiagabin
4-10
40
20-60
2-4
langkah
nyeri
eksaserbasi
kejang generalisata
24
Vigabatrin
500-1000
3000
2000-4000
1-2
Gabapentin
300-400
2400
1200-4800
Leukopenia,mulut
kering,
penglihatan
kabur,
mialgia,
penambahan
berat,
kelelahan
Pregabalin
150
300
150-600
2-3
Valproat
500
1000
500-3000
2-3
Levetiracetam
1000
2000-3000
1000-4000
Mual, hepatotoksik
Penggantian Obat
Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :
a) Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah
diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat
antiepilepsi kedua harus segera dipilih.
b) Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek
merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai
berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang
direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3
25
minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus
dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal.
Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer
gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan.
c) Politerapi
Kombinasi optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang: mempunyai
mekanisme aksi berbeda, efek samping relatif ringan, indeks terapi lebar, dan
interaksi obat terbatas atau negatif. Kombinasi obat hanya dipakai apabila semua
upaya monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini pertama tidak
menolong, obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap
diteruskan, sementara obat yang lain diganti diganti dengan obat dari kelompok lini
kedua.
Apabila obat lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik obat
pertama. Sebaliknya, obat lini kedua tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak
juga efektif. Apabila upaya tersebut di atas gagal, kasus tersebut mungkin tergolong
dalam epilepsi refrakter, kasus epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat
antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada kasus itu, atau dipertimbangkan untuk
tindakan bedah.
Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil
sama sekali, maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa
terakhir, tindakan operatif untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter
makin banyak dikerjakan. Operasi yang paling aman adalah reseksi lobus temporalis
bagian anterior. Lebih kurang 70-80% penderita yang mengalami operasi terbebas
dari serangan, walaupun diantaranya harus minum obat OAE. Pendekatan teknik
operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak, hemisferektomi, dan reseksi multilobular
pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.
26
Prognosis
Di dalam prognosis epilepsi terdapat dua hal penting, ialah kesempatan untuk
mencapai remisi serangan serta kemungkinan terjadinya kematian secara prematur.
Data yang lengkap dan teliti tentang kedua hal tadi sangat penting untuk menentukan
terapi secara rasional maupun pemberian penyuluhan ataupun nasihat secara tepat.
Penelitian tentang prognosis epilepsi belum memberi hasil yang pasti karena masalah
metodologi dan adanya fakta bahwa epilepsi merupakan ekspansi dari sekian banyak
sindrom dengan faktor penyebab yang berbeda.
Risiko kematian pada epilepsi masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini
disebabkan oleh metodologi yang berbeda serta sebab-sebab kematian pada epilepsi
yang bervariasi sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kematian tadi secara
langsung disebabkan oleh epilepsi. Dari suatu penelitian epidemiologik, frekuensi
status epileptikus tiap tahuin di Amerika Serikat berkisar antara 102.000-152.000,
dengan 55.000 kematian sebagai akibat dari status epileptikus. Prognosis: sekitar 4069% penderita epilepsi psikomotor akan terkontrol dengan baik.
Daftar Pustaka
1.
2. Papadakis MA, Mcphee SJ. Current medical diagnosis & treatment. USA :
McGraw-Hill, 2015. p. 960-6.
3. Hauser SL, Josephson SA. Harrisons neurology in clinical medicine. 2 nd
edision. . USA : McGraw-Hill, 2010. p. 222-33.
4. Foldvary N, Nashold B, Mascha E, Seizures outcome after temporal
lobectomy for temporal lobe epilepsy: a Kaplan-Meier survival analysis.
Neurology 2000 Feb;54(3):630-4.
27
5. Martini FH, Nath JL. Fundamentals of anatomy and phisiology. 8 th ed. San
Fransisco :Pearson International, 2009. p 569-77.
6. Danielson NB, Guo JN, Blumenfeld H. The default mode network and altered
consciousness in epilepsy. Behaviour Neurology 2011;24(1):5565.
7. Sadler RM. The syndrome of mesial temporal lobe epilepsy with hippocampal
sclerosis: clinical features and differential diagnosis. Advances in Neurology
2006;97(1):2737.
28