Anda di halaman 1dari 4

BAB III

ANALISIS KASUS
Pasien perempuan Nn.T usia 23 tahun datang ke poliklinik THT RSAY pada pukul
10.00 WIB dengan diagnosis tuli sensorineural auris dextra dengan otitis ekterna
auris dextra dan tonsilofaringitis kronik. Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan tes penala, spekulum telinga dan
pemeriksaan orofaringeal direct. Dari anamnesis didapatkan keluhan utamanya
telinga kanan berdengung sejak 1 bulan yang lalu dan rasa tidak nyaman serta penuh
yang menyertai. Riwayat kebiasaan sering mengorek telinga dilakukan pasien sejak 2
bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik hidung tidak ditemukan kelainan. Sedangkan pada
pemeriksaan fisik telinga dengan menggunakan spekulum telinga didapatkan ostium
autikus eksterna dextra menyempit dan hiperemis namun gendang telinga masih
dapat dilihat dan tampak utuh (intake). Pada pemeriksaan garpu tala ditemukan tes
rinne +/+ yang berarti telinga kanan dan kiri dapat normal atau tuli sensorineural.
Pada tes webber ditemukan lateralisasi ke telinga kiri (Telinga sehat) yang berarti
telinga kanan mengalami tuli sensorineural. Pada tes schwabach ditemukan telinga
kanan memendek telinga kiri sama dengan pemeriks yang berarti telinga kanan
mengalami tuli sensorineural. Dari pemeriksaan penala ini disimpulkan bahwa telinga
kanan mengalami tuli sensorineural, sementara telinga kiri normal.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien ini adalah pemeriksaan audiometri nada
murni dan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry). Tujuan pemeriksaan
tersebut untuk mengetahui lebih lanjut tingkat/ambang batas pendengaran seseorang,
jenis gangguannya serta menilai fungsi pendengaran dan fungsi N VIII. Selain itu,
pemeriksaan tersebut juga bertujuan untuk membedakan tuli koklea dan tuli
retrokoklea.

28

Terapi yang dianjurkan pada pasien ini adalah hanya dengan menggunakan hearing
protection dan alat bantu dengar. Terapi tidak dilakukan dengan pemberian terapi
medikamentosa, karena tuli sensorineural tidak dapat diperbaiki dengan terapi medis
atau bedah tetapi dapat
disebabkan

oleh

distabilkan. Namun terapi pada tuli sensorineural yang

penyakit

metabolik

tertentu

(diabetes,

hipotiroidisme,

hiperlipidemia, dan gagal ginjal) atau gangguan autoimun (poliartritis dan lupus
eritematosus) dapat diberikan pengobatan medis sesuai penyakit yang mendasarinya.
Diagnosis otitits eksterna auris dextra pada kasus ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis gejala klinis dan pemeriksaan fisik pasien. Sebelumnya telinga tersebut
dibersihkan dengan cotton buds karena terasa gatal yang kemungkinan telah terjadi
trauma ringan yang menyebabkan perubahan kulit liang telinga. Telinga kiri terasa
tidak enak dan terdapat gangguan pendengaran (pendengaran dirasakan berkurang).
Hal ini sesuai dengan gejala otitis eksterna, yaitu nyeri pada liang telinga, gangguan
pendengaran dan rasa tidak enak pada liang telinga. Pada pemeriksaan telinga kanan
pasien didapatkan adanya tanda-tanda perandangan meatus akustikus eksternus kanan
yaitu adanya edema dan hiperemi liang telinga. Tidak ditemukan adanya sekret pada
liang telinga.
Pada otitis eksterna, pengobatannya amat sederhana tetapi membutuhkan kepatuhan
penderita terutama dalam menjaga kebersihan liang telinga. Pembersihan liang
telinga dengan mengorek-ngorek telinga dengan benda asing seperti cotton bud tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan trauma atau iritasi. Penatalaksanaannya dapat
diberikan obat tetes telinga yang mengandung neomisin, polimiksin B dan
korikosteroid juga dapat menjadi pilihan. Kadang- kadang diperlukan obat antibiotik
sistematik.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan rasa mengganjal pada tenggorokannya tampak
disertai nyeri. Pasien memiliki riwayat sakit tenggorokan yang hilang timbul selama
satu tahun terakhir. Jika sedang kambuh, pasien mengatakan radang tenggorokan

29

disertai demam dan nyeri menelan. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya
pembesaran tonsil T2/T1 yang hiperemis, permukaan tidak rata dan pelebaran kripte
pada kedua tonsil. Tampak juga dinding faring yang hiperemis dengan permukaan
kasar dengan bekas kripta yang mulai membentuk parut.
Dari

anamnesa

dan pemeriksaan

fisik diatas,

pasien

didiagnosa

sebagai

tonsilofaringitis kronis. Tidak adanya pseudomembran yang mudah berdarah saat


diangkat, dan kelainan otot seperti miokarditis atau kelumpuhan otot napas, dapat
menyingkirkan diagnosa tonsilitis difteri. Untuk membedakan dengan Angina Plaut
Vincent dilakukan pemeriksaan higiene mulut. Dimana biasanya pada Angina Plaut
Vincent, higiene mulut penderita buruk yang dapat berupa gigi dan gusi yang mudah
berdarah, hiperemis pada mukosa mulut dan faring, mulut berbau dan pembesaran
kelenjar submandibula. Pada penderita ini hal tersebut tidak ditemukan sehingga
diagnosa Angina Plaut Vincent dapat disingkirkan. Pada mononukleosis infeksiosa
keluhan disertai pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguional. Serta
gambaran darah yang khas berupa adanya leukosit mononukleosis dalam jumlah
besar, serta kemampuan serum penderita untuk beraglutinasi terhadap sel darah
merah domba (reaksi Paul Bunnel). Pada penderita hal tersebut diatas tidak
ditemukan, sehingga diagnosis Mononukleosis infeksiosa dapat disingkirkan.
Riwayat kejadian yang berulang pada anamnesis, dan ditemukannya kripte yang
melebar pada pemeriksaan fisik menunjukan proses yang kronis.
Terapi yang direncanakan untuk penderita ini adalah tonsilektomi. Hal ini sesuai
dengan indikasinya, yaitu infeksi berulang 4 kali dalam setahun dalam 3 tahun
terakhir, dan hipertrofi tonsil hingga menimbulkan keluhan mengganjal dan dirasa
mengganggu. Penderita ini belum dapat dilakukan tonsilektomi karena sedang berada
dalam keadaan infeksi pada liang telinga dan mengalami gangguan pendengaran,
sehingga diharapkan untuk menyelesaikan pengobatan pada kelainan telinganya
terlebih dahulu.. Oleh karena itu penderita diterapi dulu dengan antibiotik untuk
mengobati infeksi dan vitamin C untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita.

30

Pada pasien ini diusulkan pemeriksaan swab tenggorok dan tes kepekaan kuman
sehingga dapat diberikan antibiotika sesuai dengan sensitivitas kuman yang
ditemukan.
Bila kondisi pasien sudah lebih membaik dapat dilakukan tindakan tonsilektomi.
Untuk tindakan operatif ini perlu diberikan KIE yang jelas kepada penderita, dan bila
setuju untuk dilakukan tindakan, maka perlu dilakukan pemeriksaan lab dan
dikonsulkan ke anestesi.
Terapi faringitis tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah bakteri
maka diberikan antibiotik dan bila penyebabnya adalah virus maka cukup diberikan
analgetik dan pasien cukup dianjurkan beristirahat dan mengurangi aktivitasnya.
Dengan pengobatan yang adekuat umumnya prognosis pasien dengan faringitis
adalah baik dan umumnya pasien biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

31

Anda mungkin juga menyukai