EVOKED RESPONSES
Sukma Firdaus*, Achmad Arifin
Bidang Keahlian Teknik Elektronika, Program Pascasarjana Teknik Elektro,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
*
Email : firdaus09@mhs.ee.its.ac.id
Abstrak. Auditory evoked responses (AER) adalah representasi dari proses neurofisiologi di dalam otak akibat stimulus suara
pada sistem pendengaran. Sinyal AER merupakan sinyal nonstasioner, hal ini disebabkan karena otak selalu menghasilkan
respons dengan frekuensi yang tidak konstan disetiap waktu. Salah satu metode analisa yang dapat digunakan untuk sinyal
nonstasioner adalah analisa time-frequency. Analisa time-frequency yang digunakan dalam penelitian ini adalah continuous
wavelet transform (CWT). Dalam penelitian ini, dilakukan analisa terhadap rentang skala dengan magnitudo yang lebih
besar. Rentang skala tersebut adalah 20x10-2 hingga 80x10-2. Nilai magnitudo pada rentang skala tersebut lebih besar dari
pada sebelum dan sesudah stimulus. Hal tersebut juga terjadi pada subyek yang dikondisikan dengan mata terbuka. Terdapat
perbedaan pada kondisi mata tertutup dan mata terbuka, perbedaan tersebut adalah nilai magnitudo pada mata tertutup lebih
besar dari pada mata terbuka. Perubahan nilai magnitudo pada mata tertutup jauh lebih tegas berada pada daerah VI dan VII
dalam gambar plot hasil perhitungan CWT. Sedangkan pada mata terbuka, nilai magnitudo direntang tersebut lebih melebar.
Waktu respon tercepat terdapat pada perekaman ke-10 subyek 1 untuk kondisi mata terbuka dengan waktu tempuh sebesar
0.045 detik, sedangkan waktu respon paling lama terdapat pada perekaman ke-8 subyek 1 kondisi mata tertutup dengan
waktu tempuh sebesar 0.220 detik. Dari penelitian ini diperoleh, bahwa pendekatan analisa nonstasioner dengan
menggunakan CWT, mampu menunjukkan sifat kenonstasioneran dari sinyal AER.
Kata Kunci : AER, Sinyal Nonstasioner, Analisa Time-Frequency, CWT
I. PENDAHULUAN
Electroencephalogram (EEG) adalah alat noninvasif untuk mengukur aktifitas kelistrikan otak. EEG
dapat direkam di kulit kepala dan merupakan hasil
resultan dari kelistrikan otak. EEG dapat memberikan
informasi penting mengenai kesehatan pada sistem
saraf pusat [1]. Sinyal EEG memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi, nonstasioner dan nonlinier.
Selain hal tersebut, EEG merupakan sinyal dengan
nilai amplitudo yang sangat rendah dan memiliki
artifak-artifak serta memiliki noise yang sangat tinggi
[2]-[4]. Otak akan menghasilkan respon, ketika sistem
sensori menerima stimulus, hal ini disebut sebagai
evoked respon [5]. Apabila sistem pendengaran
menerima stimulus berupa suara, maka akan
memunculkan auditory evoked responses (AER). AER
mampu merepresentasikan proses neurofisiologi yang
terjadi di dalam otak akibat stimulus suara. Amplitudo
AER berkisar 10 mikro volt, nilai tersebut lebih
rendah dari sinyal EEG. Salah satu cara untuk
mengekstrak AER dalam rekaman EEG adalah dengan
menggunakan grand average [6]. Meskipun telah
melalui proses grand average, AER masih tetap
memiliki sifat-sifat dasar dari EEG, yaitu
nonstasioner. Dalam menganalisa sinyal AER dari
nonstasioner, diperlukan suatu pendekatan analisa
II. METODE
2.1 Perekaman AER
Sinyal AER merupakan sinyal dengan nilai
amplitudo yang sangat rendah, berkisar dalam orde
mikro volt. Penelitian ini menggunakan modul standar
instrumentasi EEG, yaitu modul BioPac MP 30.
Frekuensi sampling yang digunakan adalah 200 Hz,
dan besar penguatan sebesar 50.000 kali. Perekaman
dilakukan pada channel elektroda aktif di titik Cz,
elektroda referensi berada di titik Fpz, sedangkan titik
ground berada di daun telinga sebelah kanan [10].
Perekaman dilakukan pada dua orang subyek lakilaki, usia 28 dan 37 tahun dan tidak memiliki riwayat
kelainan sistem auditori. Pengukuran pada subyek
dilakukan sebanyak 10 kali, dengan dua kondisi yang
berbeda, yaitu mata tertutup dan mata terbuka. Pada
saat mata terbuka, subyek dibuat berkonsentrasi
dengan membaca buku. Stimulus suara yang
digunakan adalah nada murni dengan frekuensi
sebesar 1KHz, dengan volume sebesar 50 persen dari
volume maksimal audio stimulus sebesar 80 dB.
Perekaman sinyal berdurasi selama 10 detik. Stimulus
diberikan pada detik ke-4, dengan durasi selama 1
detik.
CWT { x ( t ) ; a, b} =
x ( t )
a ,b
t b (1)
dt
a
( t ) dt = 0
(2)
( t ) dt
(3)
2.2 Preprocessing
Rekaman sinyal AER berada didalam tingkat
kerandoman yang sangat tinggi, sehingga diperlukan
cara untuk mengekstrak sinyal AER dari background
kerandoman tersebut. Untuk mengekstrak sinyal AER
menggunakan grand average yang dilakukan pada 10
sinyal EEG yang di rekam pada tiap subyek untuk
semua kondisi [6]. Selain mengekstrak sinyal AER
dari kerandoman, diperlukannya suatu proses
pemfilteran. Hal ini dikarenakan noise yang menyertai
sinyal AER. Salah satu noise dalam perekaman adalah
diakibatkan dari frekuensi jala-jala sebesar 50 Hz.
Sehingga diperlukan filter bandpass, dengan
bandwidht sebesar 0.3 Hz hingga 30 Hz. Rentang
bandwidht filter dipilih karena domain frekuensi
sinyal EEG berada direntang tersebut, dan seperti
yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya
morlet ( t ) =
frekuensi
1
4
t2
2
e j0t
waktu
Gambar 1. Resolusi time-frequency dari wavelet
(4)
(a)
Stimulus dimulai
(b)
Stimulus dimulai
(c)
Gambar 3. (a). Sinyal AER Hasil Rekaman. (b). Sinyal Hasil Grand Avarage. (c). Sinyal Hasil Filtering.
IV. KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, diperoleh hasil rekaman
AER dengan dua kondisi, yaitu mata tertutup dan mata
terbuka. Sinyal AER di analisa menggunakan CWT
dengan memanfaatkan mother wavelet morlet. CWT
mampu menunjukkan perubahan nilai skala yang
terjadi pada saat stimulus diberikan. Hal tersebut
merupakan manifestasi dari perubahan nilai frekuensi,
dan memperlihatkan sinyal AER merupakan sinyal
yang nonstasioner. Pada saat stimulus diberikan,
rentang nilai skala 20x10-2 hingga 80x10-2 memiliki
nilai magnitudo yang lebih besar, hal serupa terjadi
juga pada kondisi subyek dengan mata terbuka. Tidak
terdapat perbedaan yang signifikan pada dua kondisi
subyek, hanya saja pada kondisi mata tertutup nilai
magnitudo lebih besar dari pada kondisi subyek
dengan mata terbuka. Waktu respon tercepat terdapat
pada perekaman ke-10 untuk subyek 1 dengan kondisi
mata terbuka, sedangkan waktu respon yang paling
lama terdapat pada subyek 1 dengan kondisi mata
tertutup pada perekaman ke-8. Sehingga pendekatan
nonstasioner dengan memanfaatkan CWT untuk sinyal
AER pada subyek normal, merupakan pendekatan
yang tepat untuk menganalisa sifat dari nonstasioner.
Kedepannya, penelitian ini dapat dilanjutkan
pada subyek yang memiliki ketidaknormalan, baik
dari segi gangguan fisiologi maupun psikologi dan
dapat menjadi alat dalam membetuk sistem BCI. Hal
ini dimungkinkan kerana sifat sinyal yang
nonstasioner, mampu untuk dilihat kemunculannya
dengan memanfaatkan analisa time-frequency.
Stimulus dimulai
(a)
IX
II
VI
III
VII
IV
VIII
XI
(b)
Gambar 4. (a). Sinyal AER Mata Tertutup (b). Koefisien CWT Mata Tertutup.
XII
Stimulus dimulai
(a)
IX
I
I
III
VI
IV
XI
VII
VIII
XII
(b)
Gambar 5. (a). Sinyal AER Mata Terbuka (b). Koefisien CWT Mata Terbuka.
(a)
IX
II
VI
III
IV
XI
VII
VII
I
(b)
Gambar 6. (a). Sinyal EEG Tanpa Stimulus (b). Koefisien CWT Tanpa Stimulus.
XII
Stimulus dimulai
(a)
10-2
Stimulus dimulai
(b)
Gambar 7. (a) Perhitungan waktu respon dari AER (b). CWT dari sinyal AER a.
Tabel 1. Waktu Respon AER
No
Subyek 1 Tertutup
Subyek 2 Terbuka
Subyek 2 Tertutup
0.06
0.090
0.180
0.100
0.140
0.195
0.150
0.145
0.055
0.120
0.180
0.115
0.170
0.125
0.080
0.095
0.180
0.080
0.150
0.115
0.160
0.120
0.135
0.125
0.110
0.085
0.160
0.170
0.185
0.220
0.110
0.065
0.080
0.180
0.155
0.130
10
Ratarata
0.045
0.185
0.180
0.090
0.119
0.140
0.148
0.115
0.05523
0.05077
0.03251
0.02981
Standar
Deviasi
PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]