Anda di halaman 1dari 7

Kebijakan dan Pertumbuhan Ekonomi

Apakah kebijakan ekonomi mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang suatu bangsa?


Jika kebijakan ekonomi sangat mempengaruhi pertumbuhan jangka panjang, hal
tersebut seperti mengkerdilkan isu ekonomi lain. Artikel ini membahas pertumbuhan
perkapita bermanfaat hanya jika produktivitas kapital setelah pajak dan tingkat
pemasukan cukup tinggi untuk mengikuti pertumbuhan populasi. Dikarenakan
produktivitas modal dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi, kebijakan menentukan bukan
hanya pada tingkat pertumbuhan, melainkan juga terhadap keberlangsungan
pertumbuhan.
Walaupun negara non-industri dianggap sebagai negara berkembang, kurang dari
setengah dari negara ini menunjukkan pertumbuhan GDP per kapita selama tiga-empat
dekade terakhir. Pertumbuhan signifikan memiliki arti bahwa terjadi tren yang cukup
kuat berdasarkan variasi tahun ke tahun untuk menyatakan adanya kenaikan tren.
Ditemukan hanya 41 dari 87 negara berkembang memiliki pertumbuhan per kapita
positif secara signifikan setelah periode perang. Sebaliknya, semua negara anggota
Organization for Economic Co-Operation and Development memiliki pertumbuhan per
kapita positif selama periode ini.
Implikasi pertumbuhan per kapita nol atau minus sangat membahayakan. Beberapa
negara di benua Afrika memiliki pendapatan per kapita sangat rendah, dengan
penurunan tajam 16 dari 37 negara berpenghasilan rendah selama 1965-1987. Selain itu,
negara di Sub-Sahara Afrika dan Amerika Latin juga dihadapkan dengan pendapatan per
kapita minus. Rerata pendapatan perkapita seluruh negara berkembang pada 1980
adalah 0,1%. Dibandingkan dengan ekonomi Asia Timur yang berkembang sangat
pesat, apakah kebijakan ekonomi memainkan peranan penting dalam pertumbuhan
ekonomi tetap menjadi pentanyaan.
Beberapa literatur ekonomi menyebut kebijakan memiliki dampak penting dalam
pertumbuhan. Pendapat ini mungkin terlihat logis, tetapi terdapat setidaknya dua
kemungkinan bahwa pernyataan tersebut mungkin salah. Pertama, pertumbuhan dapat
ditentukan dari faktor yang tidak berhubungan dengan kebijakan ekonomi, seperti

kebudayaan. Kedua, produksi ekonomi tidak akan mungkin tercapai tanpa faktor nonekonomi, seperti perkembangan teknologi.
Peran Kebudayaan
Teori bahwa pertumbuhan dan pemasukan relatif bergantung pada kultur telah menjadi
konsep yang cukup kuat. Terdapat korelasi kuat antara pertumbuhan atau tingkat
pendapatan dengan karakteristik non-ekonomi suatu bangsa, seperti iklim, etnis Eropa,
atau agama Protestan. Kesuksesan bangsa Asia Timur berkaitan dengan karakteristik
kultur yang menguntungkan pertumbuhan, termasuk sistem etnis Confusius. Pendapat
lebih lanjut disampaikan ekonom Michael Porter bahwa sekumpulan praktik bisnis,
perilaku korporat, kecelakaan geografis, karakteristik sosial dan institusional, serta
perilaku pemerintah menjadi keuntungan kompetitif bagi suatu bangsa.
Generalisasi dapat mudah diperoleh mengenai kebudayaan dan pertumbuhan didasari
beberapa teori. Pertama, korelasi antara karakteristik kultural dan tingkat penghasilan
menyiratkan fakta bahwa industrialisasi terkonsentrasi secara geografis. Secara alami,
tetangga secara geografis memiliki banyak kemiripan karakteristik budaya. Terdapat
alasan logis mengapa industrialisasi menjadi fenomena yang tidak merata. Hal tersebut
dikarenakan produksi industri cenderung menumpuk di zona tertentu yang
menguntungkan produsen. Perbedaan kebijakan ekonomi juga menentukan awal dari
ketimpangan ini.
Kebudayan juga menjadi alasan perbedaan tingkat pertumbuhan karena didapatkan
perbedaan pertumbuhan ekonomi negara satu dengan yang lain. Republik Korea
memiliki pertumbuhan ekonomi sangat sulit antara 1913-1950 tetapi tumbuh 4% per
kapita selama 1950-1989. Kultur sangat lambat berubah, tetapi kinerja pertumbuhan
tidak. Korelasi koefisien tingkat pertumbuhan untuk 5 tahun berikut juga sangat rendah
selama periode pascaperang. Sebagai tambahan, negara dengan kultur yang mirip tetapi
memiliki kebijakan berbeda menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat berbeda,
seperti kasus Korea Utara dan Korea Selatan.

Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi


Pertumbuhan ekonomi dipercaya juga dipengaruhi oleh perubahan teknologi yang
bergantung pada faktor nonekonomi, seperti penemuan sains dibandingkan dengan
kebijakan politik. Menurut Solow, total produksi bergantung pada tenaga kerja dan
kapital. Suplai tenaga kerja bergantung pada tingkat pertumbuhan populasi yang
diasumsikan tidak berhubungan dengan faktor ekonomi. Output dapat meningkat
dengan peningkatan pendapatan per kapita secara kontinyu. Investasi lebih tinggi atau
lebih efisien akan meningkatkan hasil sewaktu (akselerasi temporer), tetapi tidak
meningkatkan pertumbuhan secara permanen. Karena tingkat dan efisiensi investasi
adalah satu-satunya faktor yang berhubungan dengan kebijakan ekonomi, hal ini
mengindikasikan bahwa kebijakan memiliki luaran satu waktu dan tidak memengaruhi
tingkat pertumbuhan.
Mengapa perubahan teknologi tidak responsif terhadap kebijakan? Jika perubahan
teknologi responsif terhadap kebijakan, hal ini mengindikasikan perubahan teknologi
akan berbanding lurus dengan input ekonomi yang besar. Tetapi karena input meningkat
secara relatif dengan jumlah pekerja, output tambahan akan turun ke nol, dengan
demikian akumulasi input bukan merupakan sumber pertumbuhan per kapita. Maka dari
itu, kebijakan ekonomi tidak dapat mempengaruhi perubahan teknologi dan
pertumbuhan secara keseluruhan.
Keterbatasan suplai tenaga kerja pada pertumbuhan ekonomi mirip dengan input lain,
yaitu sumber daya alam. Sejak zaman Thomas Maltus, keraguan pertumbuhan kontinyu
atas suplai sumber daya yang terbatas, seperti agrikultur dan hidrokarbon telah
diungkapkan. Menurut analisis Solow, keterbatasan ini dapat dicegah dengan perubahan
teknologi yang meningkatkan produktivitas tanah dan sumber daya alam lainnya.
Namun, perubahan teknologi juga masih tidak berhubungan dengan kebijakan ekonomi.
New growth literature menantang pendapat bahwa investasi tidak dapat dijadikan
sumber pertumbuhan. Menurut pandangan New Growth Literature, produktivitas kapital
akan menurn seiring dengan meningkatnya rasio tenaga kerja. Pentingnya cetak biru
teknologi merupakan investasi awal untuk produksi tak terbatas. Peningkatan kapasitas

individu dalam pendidikan dan pelatihan juga penting untuk meningkatkan


produktivitas dalam investasi bidang teknologi.
Akumulasi input produksi juga dipengaruhi kebijakan. Walaupun jumlah populasi
bervariasi dalam rentang yang sempit, kontribusi produktif dari tenaga kerja dapat
ditingkatkan melalui investasi di bidang pendidikan, pelatihan, dan kesehatan. Investasi
pada bidang sumber daya manusia ini, secara konsep tidak berbeda dengan investasi
pada kapital fisik, seperti perkebunan dan mesin. Selanjutnya, pengetahuan mengenai
teknologi yang dianggap sebagai insentif ekonomi dalam analisis pertumbuhan
tradisional juga dapat dianggap sebagai kapital dalam bidang peneltian dan
pengembangan. Walaupun negara berkembang menggunakan teknologi dari negara
maju, penyesuaian tetap harus dilakukan terhadap kondisi lokal.
Bagaimana Kebijakan Mempengaruhi Pertumbuhan?
Pandangan mengenai teknologi dan sumber daya manusia melalui kacamata
pertumbuhan adalah pemerintah harus mensubsidi investasi yang tepat, yang dapat
memberikan manfaat belajar sambil bekerja terhadap produktivitas teknologi dan
tenaga kerja. Namun, informasi masih terbatas mengenai sektor yang memberikan
manfaat produktivitas besar, banyak adaptasi teknologi asing yang tidak diperlukan.
Pemerintah juga sering mengadakan pengeluaran berlebih dengan cara menaikkan pajak
dan inisiasi sektor swasta.
Peran positif pemerintah dapat dicapai dengan cara menciptakan atmosfir baik untuk
investasi asing maupun domestik. Setiap investasi diberikan insentif sehingga dapat
meningkatkan kapasitas produksi. Untuk mencapai hal ini diperlukan hak properti yang
jelas, pajak penghasilan rendah, penentuan harga pasar, dan iklim makroekonomi yang
stabil. Pada iklim seperti ini, sektor swasta dapat bertindak cepat sesuai dengan
kesempatan pasar. Tingkat investasi sehat akan menciptakan kesempatan investasi baru,
di saat investor mempelajari teknologi baru selama masa investasi. Kemajuan teknologi
cenderung mengurangi keterbatasan tenaga kerja dan sumber daya alam.
Sebaliknya, tingginya pajak penghasilan dari investasi baru akan menurunkan tingkat
investasi. Rendahnya tingkat investasi akan menyebabkan kecilnya kesempatan untuk
mempelajari dan mengadaptasi teknologi baru. Tingkat investasi rendah juga akan

memperberat masalah degradasi lingkungan. Misalnya, jika insentif investasi teknologi


konservasi tanah kurang, maka teknologi primitif akan dipakai. Teknologi primitif dapat
menyebabkan gundulnya hutan dan erosi tanah. Pada negara dengan iklim politik tidak
stabil dan sistem kepemilikan tradisional masih diterapkan, hak properti pribadi dan
pajak biasanya tinggi. Hal ini terjadi pada Sub-Sahara Afrika. Banyak dari negara
Afrika mengalami penggundulan hutan.
Teori pertumbuhan juga menyebutkan kemungkinan perkembangan negara bergantung
pada keadaan saat pertumbuhan ekonomi dimulai. Pada permulaan investasi, misalnya
pada pembangunan infrastruktur pasar dan menciptakan wirausaha elite atau tenaga
kerja berpendidikan, dibutuhkan kapital yang cukup besar. Negara miskin seperti Sub
Sahara Amerika mungkin akan terus mengalami kemiskinan dikarenakan tidak memiliki
kapital awal yang memadai. Untuk keluar dari jebakan ini, dibutuhkan bantuan asing.
Bahkan strategi bantuan asing kurang bermanfaat jika tidak dibarengi dengan kebijakan
pertumbuhan yang menunjang. Bahkan, kemajuan awal dapat melambat karena tingkat
pendidikan dan infrastruktur rendah dari awal serta

kesukaran untuk melakukan

penghematan.
Pemerintah juga memainkan peranan positif dalam penanaman modal pada sektor yang
tidak diinvestasi sektor swasta, seperti ekonomi pasar, sistem legal, sistem distribusi
listrik, pendidikan, jalan raya, penyediaan air, dan sistem distribusi elektrik. Investasi
pemerintah pada sektor tersebut akan meningkatkan produktivitas penanaman modal
swasta dan meningkatkan insentif investor swasta. Investasi publik pada kertea api dan
jalan tol sangat esensial bagi pertumbuhan negara. Kurangnya investasi pada area
transportasi sangat menghambat perkembangan negara, seperti Myanmar. Kurangnya
transpotasi publik juga menyebabkan kurangnya produktivitas modal asing di Nigeria.
Hal tersebut dikarenakan perusahaan terpaksa menyediakan generator listrik sendiri dan
sistem pengolahan air.
Pertumbuhan dan Efisiensi
Kebijakan yang menyebabkan inefisiensi, input yang lebih banyak dari output,
menyebakan pengurangan output satu waktu, tetapi tidak menurunkan tingkat
pertumbuhan secara permanen. Perhitungan kerugian satu waktu ini jarang mencapai

lebih dari 2% dari GDP. Kebijakan inefisien, seperti kontrol harga dan suku bunga, tarif
impor tinggi atau kuota impor restriktif, perbedaan tingkat pajak tidak kritikal untuk
prospek jangka panjang suatu negara. Namun, pendapat ini tidak benar. Menurut
pespektif pertumbuhan, output yang kurang terhadap input mengindikasikan tidak
terdapat sisa modal untuk investasi selanjutnya. Berkurangnya modal investasi secara
permanen akan mengurangi tingkat pertumbuhan. Kerugian akibat kebijakan inefisien
akan mengorbankan kesejahteraan jangka panjang suatu negara,
Kebijakan inefisien, seperti subsidi, kontrol harga, dan intervensi perdagangan
mengindikasikan investasi dikendalikan pada aktivitas dengan tingkat pengembalian
ekonomi yang rendah sehingga menurunkan rerata produktivitas investasi. Dengan
perkembangan tenaga kerja yang pesat, seperti pada negara berkembang, kurangnya
produktivitas investasi mengindikasikan peningkatan penghasilan yang cukup, seiring
dengan peningkatan populasi. Kurangnya penghasilan tidak mengembalikan modal awal
sehingga ekonomi tetap terpuruk. Sebaliknya, kebijakan efisien mengarahkan pada
aktivitas investasi dengan tingkat pengembalian tingi. Dengan tingkat investasi yang
tinggi, penghasilan berlebih dapat digunakan untuk reinvestasi, sehingga siklus
pertumbuhan dapat berkembang dengna baik.
Bentuk kebijakan inefisien yang umum terjadi di negara berkembang adalah kebijakan
yang mengalihkan sumber daya ke ekonomi bawah tanah. Hal ini termasuk penerapan
pajak tinggi pada sektor formal yang cenderung memaksa produksi bawah tanah
sehingga dapat bebas pajak. Alokasi kuantitatif terhadap input dengan harga subsidi
mengundang investasi pada item input. Kontrol sistem finansial yang dikombinasikan
dengan makroekonomi yang tidak stabil cenderung menarik sumber daya pada spekulai
dan rekayasa keuangan. Ekonomi informal atau tradisional memiliki peranan penting
disini, karena dapat membatasi kerusakan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah.
Sebagai contoh, pemerintahan Idi Amin membuat kebijakan ekonomi sehingga output
dari sektor formal Uganda turun menjadi 2% pertahun, tetapi hal ini masih dibarengi
dengan pertumbuhan sektor informal yang bertahan pada angka petumbuhan 3.4% per
tahun.
Bukti bahwa kebijakan inefisien menyebabkan efek permanen pada pertumbuhan sangat
penting. Banyak penelitian telah membuktikan intervensi perdagangan cenderung

menyebabkan petumbuhan menurun. Banyak juga yang menyebutkan konsumsi


pemerintah yang tinggi, seperti penerapan pajak tinggi dan penghamburan biaya yang
tidak produktif berhubungan dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah.
Instabilitas makro, seperti inflasi tinggi atau naik turun juga berhubungan dengan
pertumbuhan lambat. Represi dan instabilitas politik juga mengurangi tingkat
pertumbuhan.
Responsivitas pertumbuhan terhadap kebijakan ekonomi menyiratkan terdapatnya
harapan untuk mengembalikan buruknya pertumbuhan ekonomi yang dialami hampir
seluruh negara berkembang pada tahun 80an. Institusi multilateral seperti World Bank
dan IMF dapat berkontribusi untuk kebangkitan pertumbuhan dengan menyediakan
modal untuk mereformasi kebijakan pemerintah yang inefisien, pencapaian stabilitas
makroekonomi, serta penciptaan infrasturktur publik.

Anda mungkin juga menyukai