Anda di halaman 1dari 3

Komitmen Anti Korupsi

Posted by: usep saefurohman on: Februari 5, 2010

• In: Politik
• Comment!

Abdi Kurnia Djohan


(Ketua Lembaga Dakwah Al-Azhar)

Di manakah peran ormas-ormas Islam ketika banyak elemen masyarakat sibuk menyoroti
persoalan korupsi di negara ini? Pada peringatan hari antikorupsi sedunia, 9 Desember lalu,
hanya segelintir ormas Islam yang hadir memberikan dukungan kepada gerakan antikorupsi.
Sementara itu, sebagian besar lainnya tidak diketahui di mana rimbanya. Tapi, yang paling
mudah ditebak, ormas Islam lebih tertarik kepada isu-isu klasik yang tidak pernah berubah dari
tahun ke tahun.

Ormas Islam merasa asyik memperdebatkan isu liberalisme pemikiran Islam yang sesungguhnya
hanya bermaksud mengalihkan perhatian umat Islam kepada persoalan yang bersifat remeh-
temeh. Lebih parah lagi, sebagiannya lebih menikmati situasi perdebatan internal mengenai
implementasi sunah Nabi SAW di level ibadah ketimbang pelaksanaan sunah Nabi SAW di
tataran muamalah.

Mengapa ormas-ormas Islam cenderung abai dengan gerakan antikorupsi? Lebih tajam lagi,
mengapa ormas-ormas Islam terkesan seperti autis yang asyik dengan dunianya sendiri dan
terkadang melontarkan emosi tanpa sebab kepada orang lain? Survei yang dilakukan oleh PPIM
UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan fakta tidak adanya korelasi antara kesalehan ritual yang
dilakukan oleh umat Islam di Indonesia dengan kesalehan sosial.

Dalam sebuah keterangan yang dimuat di situs Jaringan Islam Liberal, penanggung jawab survei
bahkan menyimpulkan kemungkinan kuatnya anggapan di kalangan umat Islam bahwa korupsi
tidak mengapa asalkan shalat dan puasa jalan terus. Walaupun dalam beberapa hal, kita boleh
tidak sependapat dengan beberapa hasil survei UIN tentang keislaman di Indonesia karena
alasan-alasan tertentu, tapi dalam kasus survei tentang keterkaitan kesalehan ritual dan kesalehan
sosial sepertinya kita perlu memberikan perhatian khusus.

Pasalnya, fakta yang terjadi memang demikian. Betapa banyak kelompok umat Islam yang
begitu menggandrungi studi sunah Nabi SAW, namun pola interaksi di antara sesama mereka
dan terhadap umat Islam yang lain justru meremehkan sunah Nabi SAW itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan gerakan antikorupsi, ormas-ormas Islam belum melakukan upaya
signifikan untuk menyosialisasikan pemahaman antikorupsi ke tengah-tengah umat Islam.
Sebagai contoh yang sederhana, materi khotbah Jumat yang disampaikan di masjid-masjid jarang
menyinggung kesadaran antikorupsi. Apalagi, untuk mengupayakan pengembangan kajian fikih
antikorupsi (fiqhul hisbah) di berbagai forum keilmuan.
Belum terlihatnya upaya mendukung gerakan antikorupsi itu juga dapat dicermati dari belum
meratanya pemahaman ormas-ormas Islam terhadap korupsi itu sendiri. Hal itu setidaknya
terungkap dalam sebuah pertemuan lembaga-lembaga dakwah se-DKI beberapa waktu lalu, yang
membahas penyaluran dana bantuan pembinaan mental di wilayah DKI Jakarta.

Dari pandangan yang dikemukakan seputar bantuan pemerintah daerah tersebut, sebagian besar
ormas Islam belum bisa membedakan antara keuangan publik dan sedekah. Terminologi bantuan
pemerintah masih dipandang sebagai sedekah yang pertanggungjawabannya bersifat moral.
Padahal, sekiranya dicermati lebih teliti, walaupun berada di wilayah agama, sedekah juga
mempunyai dimensi pertanggungjawaban publik. Secara doktriner, ditemukan bukti bahwa
terdapat sanksi yang sangat tegas bagi pelaku penyalah guna sedekah atau wakaf yang selama ini
berkeliaran di tengah-tengah umat Islam.

Amal saleh
Persoalan kemampuan mengontekstualisasi doktrin (das sollen) ke dalam fakta (das sein)
agaknya masih menjadi masalah utama ormas-ormas Islam dan juga umat Islam. Persoalan
tersebut kemudian merembet kepada persoalan mengaktualisasikan doktrin menjadi kenyataan.
Lalu, terungkap ketidakmampuan ormas-ormas Islam dalam merespons gelombang antikorupsi
di Tanah Air. Namun, selain dari kedua persoalan itu, ormas-ormas Islam dan umat Islam
mempunyai persoalan dengan niat berpolitik yang selama ini agaknya perlu diluruskan kembali.

Motivasi politik umat Islam, termasuk di dalamnya ormas-ormas Islam dan parpol-parpol Islam,
selama ini cenderung ingin memperkuat persoalan formalitas keagamaan. Perpolitikan umat
Islam, sampai abad modern ini, masih berkutat pada persoalan formalisasi syariat atau
sekularisasi syariat. Sampai saat ini, belum pernah muncul ke hadapan publik kekuatan politik
Islam yang mengedepankan konsepsi iman dan amal saleh dalam berpolitik. Umat masih
menunggu apa dan bagaimana interpretasi kontekstual tentang amal saleh yang hendak
ditampilkan oleh kekuatan politik Islam. Secara sederhana, dapat dipahami bahwa kekuasaan
merupakan buah dari amal saleh yang dilakukan oleh umat Islam. Setidaknya, itulah yang
disebutkan dalam Alquran surah Annur (24) ayat 55, “Dan, Allah telah berjanji kepada orang-
orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-
sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa.” Dengan menonjolkan sisi amal saleh, sebenarnya politik
Islam mampu meraih dukungan publik tanpa perlu memperbesar hasrat untuk berkuasa.

Persoalan niatan berpolitik itu pada gilirannya akan mendorong munculnya kreativitas dalam
berpolitik. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sampai saat ini, manuver politik Islam masih
berkisar pada persoalan yang sama sejak dahulu. Politik Islam kehilangan imajinasi kreatifnya
untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Ormas-ormas Islam dan parpol-parpol
Islam belum mampu menjadi teladan yang baik, yang bisa dibanggakan oleh bangsa ini. Dalam
kaitannya dengan pemberantasan korupsi, itu bisa dilihat belum munculnya sebuah ormas Islam
atau kekuatan sosial-politik Islam yang dapat menjadi teladan penegakan budaya antikorupsi.

Masalah niatan politik itu tidak bisa dilepaskan dari mentalitas politik Islam yang mempunyai
preferensi yang demikian kuat terhadap kekuasaan. Politik Islam cenderung terjebak pada
anggapan bahwa kekuasaan merupakan parameter kemenangan politik Islam sebagai orientasi
politik. Padahal, ketika rapat BPUPKI tahun 1945, para founding fathers dari kelompok Islam
menegaskan relasi yang sangat erat antara amal saleh, dasar negara yang berasaskan Islam, dan
kontinuitas bangsa.

Mentalitas kekuasaan itu semakin kuat. Dalam beberapa rezim, politik Islam untuk beberapa
kelompok mendapatkan keuntungan tertentu dari kekuasaan. Akibatnya, ciri khas kesederhanaan
dari politik Islam menjadi luntur persis sebagaimana sering dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad
sendiri. Dalam perkembangannya, mentalitas kekuasaan itu sering direproduksi dalam berbagai
momentum keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai