Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran pencernaan,
khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut
bagian tengah ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh.
Dispepsia umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya
adalah pola atau gaya hidup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri
ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan
bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala komplikasinya. 1
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik
dan dyspepsia non organik atau dispesia fungsional. Dispepsia dapat disebut
dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia
fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada
kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.2
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum
ditemukan. Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. Data Depkes
tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan
pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%.3
1.2 Definisi
Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yaitu (Dys-) dan (Pepse) yang secara
harfiah dapat diterjemahkan sebagai pencernaan yang buruk (bad digestion). 4
Menurut Rome II dispepsia didefinisikan suatu keadaan yang ditandai oleh salah
satu atau lebih dari gejala utama area gastoduodenal berikut: nyeri
epigastrium,rasa terbakar di epigastrium,rasa penuh setelah makan, atau sensasi
cepat kenyang.5 Pasien yang sering (lebih dari sekali dalam seminggu) rasa panas
atau regurgitasi asam harus dipertimbangkan untuk memiliki gastroesophageal
reflux disease (GERD) sampai terbukti sebaliknya.6

1.3 Epidemiologi
Dispepsia yang oleh orang awam sering disebut dengan sakit maag
merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari. Sebagai contoh
dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya 25%
populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia tetapi
diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi umum. 3 Mengenai jenis
kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena penyakit itu.
Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama saja. Di Indonesia
sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI pada tahun 2001
menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang diteliti. Tidak hanya
di Indonesia di luar negeri juga, banyak orang yang tidak peduli dengan dispepsia
itu. Mereka tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung mereka, tetapi
hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera ke dokter.3
Padahal menurut penelitian masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari
mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus
pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri, penyebab
dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen
disebabkan oleh kanker lambung.3 Pada dispepsia fungsional, umur penderita
dijadikan pertimbangan, oleh karena 45 tahun ke atas sering ditemukan kasus
keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20 tahun. Begitu pula wanita
lebih sering daripada laki-laki.3 Pada ulkus peptik perbandingan laki-laki dan
wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan.
1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena
bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya
dapat terjadi sendiri atau kombinasinya.Patofisiologinya yang dapat dibahas disini
adalah 1:
1.Sekresi Asam Lambung
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim
untuk mencerna makanan. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar
2500ml cairan lambung yang mengandung zat, diantaranya adalah HCl dan
2

pepsinogen. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan,


tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena cairan
lambung karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang merupakan
faktor pelindung lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa
tidak enak di perut.
2.Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan
pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus),
gangguan akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu
dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah atau duapertiga kasus dispepsia
fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus
dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu
hati. Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia
dan merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam dispepsia fungsional.
Gangguan pengosongan lambung dan fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub
kelompok pasien dengan dispepsia fungsional. Sebuah studi meta-analisis
menyelidiki dispepsia fungsional dan ganguan pengosongan lambung, ditemukan
40% pasien dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5
kali dari pasien normal.
3.Hipersensitivitas viseral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009). Beberapa pasien dengan dispepsia
mempunyai ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak
terbatas pada distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap
stres, paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti
kolesitokinin

dan

glucagon-like

peptide.

Penelitian

telah

menunjukkan

hipersensitivitas terhadap distensi lambung sebanyak 50% pasien dengan


dispepsia fungsional, jika dibandingkan dengan kontrol, pasien dengan dispepsia

fungsional memiliki ambang yang signifikan lebih rendah untuk sensasi distensi
lambung dan sensasi nyeri.
4.Gangguan akomodasi lambung
Pada keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus
dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Akomodasi
lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari
sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi
penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus dengan
pemeriksaan gastric scintigraphy dan ultrasound.
5.Helicobacter Pylori
Peran infeksi Helicobacter Pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.pylori pada dispepsia fungsional
sekitar 50% dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai ada
kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.pylori pada dispepsia fungsional
dengan H.pylori positif yang gagal dengan pengobatan konstervatif baku.
6.Diet
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia
fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan
karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan. Khususnya makanan
berlemak telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi
yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah, alkohol,
makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan.

7.Faktor psikologis
Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan antara dispepsia
fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi

fungsi gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan


adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual setelah stimulus
stres sentral. Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi
otonom dan motilitas masih kontroversial.
1.5 Manifestasi Klinis
Karena bervariasi nya jenis keluhan dan kuantitas/kualitasnya pada setiap
pasien, maka disarankan untuk mengklasifikasi dispepsia fungsional menjadi
beberapa subgrup berdasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.
7

Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcer-like dyspepsia) yang


ditandai dengan gejala nyeri yang berpusat di bagian medial kuadran atas
abdomen, dan biasanya gejala hilang dengan pemberian antasida atau

makanan, serta sering terbangun di malam hari.


Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)
ditandai dengan gejala tidak nyaman ataupun mengganggu tetapi tidak

nyeri, disertai rasa penuh, cepat kenyang, kembung, ataupun mual.


Dispepsia non spesifik bila keluhan yang timbul tidak memenuhi kriteria
baik ulcer like dyspepsia maupun dysmotility-like dyspepsia.

1.6 Diagnosis
Keluhan utama yang paling umum menjadi kunci untuk mendiagnosis
dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.
Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding
dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun,
dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke dalam ulcer-like
dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia ; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2
subklasifikasi

di

atas,

didiagnosis

sebagai

dispepsia

nonspesifik.

Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara


dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan

menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan
tanda-tanda bahaya.7,8,9
Anamnesis yang penting harus ditanyakan adalah riwayat minum obat
termasuk minuman yang mengandung alcohol dan jamu yang dijual bebas di
masyarakat. Hubungan dengan makanan tertentu perlu diperhatikan.10
Tanda dan gejala peringatan seperti disfagia, berat badan turun, nyeri
menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering,
hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan
penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan USG atau
CT scan untuk deteksi struktur peptic, adenokarsinoma gaster atau esophagus,
penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pancreas empedu.10,11
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stressor psikososial
misalnya: masalah anak, hubungan antar manusia, hubungan suami-istri,
pekerjaan dan pendidikan. Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa
orang. .10,11
Harus diingatkan gambaran khas dari beberapa penyebab dyspepsia:
i. Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok
dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid.
ii. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak
ditemukan pada ulkus duodenum.
iii. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk
setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada
yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner),
regurgitasi denga gejala perasaan asam pada mulut.
iv. Bila gejala dyspepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan
pada penyakit esophagus, gastritis erosif dan karsinoma.
v. Sebaliknya, bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering
terjadi pada ulkus duodenum.
vi. Pasien dipepsia fungsional lebih sering mengeluhkan gejala di luar
gastrointestinal, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai

riwayat pemakaian psikotropik. Pemeriksaan fisik untuk menemukan


organomegali, tumor abdomen, asites, jaundice tetap penting
dikerjakan untuk menyingkirkan penyakit organic.
Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of
Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional seperti
berikut:
Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi*, bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a.
b.
c.
d.
2.

Rasa penuh setelah makan yang mengganggu


Perasaan cepat kenyang
Nyeri ulu hati
Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan

timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian
atas [SCBA])
*Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
a. Postprandial distress syndrome
Kriteria diagnostik*, terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya
terpenuhi:
1) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
*Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1) Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan
atau bersendawa yang berlebihan
2) Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
b. Epigastric pain syndrome
7

Kriteria diagnostik*, terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya


terpenuhi:
1) Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan
tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam
seminggu
2) Nyeri timbul berulang
3) Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah
perut bagian atas/epigastrium
4) Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5) Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan
kandung empedu dan sfingter Oddi
*Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1) Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke
daerah retrosternal
2) Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun
mungkin timbul saat puasa
3) Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
Untuk pemeriksaan penunjang bisa dilakukan seperti berikut10,11,12
i. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, setidak-tidaknya perlu diperiksa
darah, urine dan tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan
tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti
kemungkina menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita
dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran
pencernaan perlu diperiksa penanda tumor, misalnya dugaan karsinoma
kolon perlu diperiksa CEA, dugaan kearah karsinoma pancreas perlu
diperiksa CA 19-9.
ii. Radiologi

Pemeriksaan radiologi banyak menunjang diagnosis sesuatu penyakit di


saluran makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan ini terhadap
saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda.
Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltic di esophagus yang
menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pylorus, sehingga sedikit barium yang
masuk ke intestine.
Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar
yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang teisi kontras media.
Bentuk niche dari tukak jinak umumnya regular, semisirkuler, dengan dasar
licin.
Kanker lambung secara radiologis akan tampak massa yang ireguler, tidak
terlihat peristaltic di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah.
Pankreatitis akut difoto polos abdomen, yang akan terlihat ganda seperti
terpotongnya usus besar, atau tampak dilatasi dari intestine terutama di
yeyunum yang disebut Sentinel loops.
iii. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dari saluran makan bagian atas akan banyak
membantu diagnosis. Yang perlu diperhatikan ada tidaknya kelainan di
esophagus, lambung, dan duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan
warna mukosa, lesi tumor jinak atau ganas.
Kelainan di esofgus yang sering ditemukan dan perlu diperhatikan di
antaranya ialah: esophagitis, tukak esophagus, varises esophagus, tumor
jinak atau ganas yang umunya lokasinya di bagian distal esophagus. Lokasi
kelainan di lambung yang terbanyak ialah di sekitar angulus, antrum, dan
prepilorus, di antaranya berupa gastritis, tukak lambung, tumor jinak atau
ganas.
Kelainan di duodenum yang sering ditemukan ialah tanda peradangan
(duodenitis), tukak yang lokasinya terbanyak di bulbus dan pars desenden.
Bila pada endoskopi ditemukan tukak baik di esophagus, lambung maupun
di duodenum, maka dapat dibuat diagnosis dispepsi tukak. Sedangkan bila

tidak ditemukan tukak tetapi hanya tanda peradangan maka dapat dibuat
diagnosis dyspepsia bukan tukak.
iv. Ultrasonografi
USG merupakan saranan diagnostic yang tidak invasif. Alat ini tidak
menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi
pasien yang berat dapat dimanfaatkan.
USG bermanfaat apabila dugaan kea rah kelainan di traktus biliaris,
pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esophagus
dan lambung.
v. Manometri Esofago-gastro-duodenum
Dapat menemukan kelainan manometrik berupa gangguan fase III
migrating motor kompleks. Banyak ahli yang berpendapat bahwa saat ini
dyspepsia merupakan gangguan pengosongan lambung.
vi. Waktu pengosongan lambung
Dapat dilakukan scintigrafi atau dengan pellet radiopak. Pada dyspepsia
terdapat perlambatan pengosongan lambung 30-40%.

1.7 Diagnosis Banding13


a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Ulkus peptikum
Gastroesophageal Reflux Disease
Gastroparesis
Gastric neoplasm, kanker esophageal atau kanker lambung
Penyakit traktus biliris (cholelithiasis maupun choledocholithiasis)
Pankreatitis
Malapsorpsi karbohidrat
Penyakit parasit usus
Dispepsia imbas obat (OAINS, eritromisin, steroid)
Gangguan sistemik (diabetes mellitus, gangguan tiroid dan paratiroid,

gangguan jaringan ikat)


k. Penyakit iskemik usus
l. Kanker organ-organ perut, terutama kanker pancreas
m. Nonulcer dyspepsia
Tabel Diagnosis banding dispepsia fungsional dan prevalensinya 14

10

1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dispepsia bisa dibagi kepada cara farmako dan nonfarmako.
Pada pengobatan non-farmako, pengaturan diet merupakan peranan yang
terpenting. Dasar diet lambung ialah makan sedikit berulang kali, makanan yang
banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus
lembek, mudah dicerna, tidak merangsang dan kemungkinan dapat meneutralisir
asam HCL. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan
pedas, masam dan alkohol.5
Pengobatan dengan cara farmako adalah seperti berikut5,6,10
i.
Antasida
Antasida akan meneutralisir sekresi asam HCL. Obat ini biasa digunakan
untuk sindroma dispepsia. Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid
akan meneutralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na
bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antacid jangan terusmenerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat
dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga
11

bersifat non-toksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena
terbentuk senyawa MgCl2.
ii.
Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan sekresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.
iii.
Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dyspepsia organic
atau esensial seperti tukak peptic. Obat yang termasuk golongan antagonis
reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin dan famotidin.
iv.
Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole.
v.
Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat

berfungsi

meningkatkan

sekresi

prostaglandin

endogen,

yang

selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mucus dan


meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif(site
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna
bagian atas (SCBA).
vi.
Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dyspepsia
fungsional dan refluks esophagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
bersihan asam lambung (acis clearance).
Alur penatalaksanaan dispepsia menurut National Institute for Clinical
Excellence 2004 adalah seperti gambar di bawah.6

12

National Institute for Clinical Excellence 2004 juga merekomendasikan


alur penatalaksanaan untuk kasus dyspepsia seperti: (1)dispepsia idiopatik ;
(2)dispepsia dengan refluks gastroesofageal ;(3) dispepsia dengan ulcer lambung;
(4) dispepsia dengan ulcer duodenm dan;(5) dispepsia non-ulcer.6

13

14

1.9 Pencegahan11

15

1. Atur pola makan


2. Olahraa teratur
3. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pangosongan isi
lambung (coklat, keju, dan lain-lain)
4. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang,
melon, semangka, dan lain-lain)
5. HIndari makanan yang terlalu pedas.
6. Hindari minuman dengan caffeine dan alcohol.
7. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat antiinflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen,
dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk
mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.
8. Pengelolahan stress psikologi.
1.10 Komplikasi13,19
Penderita dyspepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya
komplikasi. Salah satunya komplikasi yaitu luka di dinding lambung yang dalam
atau lebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila
keadaan dispepsia ini terus terjadi luka akan semakin mendalam dan dapat
menimbulkan komplikasi perdarahan saluran cerna yang ditandai dengan
terjadinya muntah darah, di mana merupakan petanda yang timbul. Awalnya
penderita akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu yang
artinya sudah ada perdarahan awal. Tapi komplikasi yang paling dikwatirkan
adalah terjadinya kanker lambung yang mengharuskan operasi dijalankan.
Skema22

16

1.11 Edukasi dan Pencegahan


a. Atur pola makan
b. Olahragaa teratur
c. Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pangosongan isi
lambung (coklat, keju, dan lain-lain)
d. Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang,
melon, semangka, dan lain-lain)
e. Hindari makanan yang terlalu pedas.
f. Hindari minuman dengan caffeine dan alcohol.
g. Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat antiinflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan
ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri
karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.
h. Pengelolahan stress psikologi.

17

1.12. Kriteria Merujuk


Pasien dyspepsia harus dirujuk ke dokter spesialis terkait jika ditemukan
tanda dan gejala di bawah ini :23
1. Jika pasien mengalami gejala dan tanda bahaya (alarming features) seperti
berikut: perdarahan saluran cerna, sulit menelan, nyeri saat menelan, anemia
yang tidak bisa dijelaskan sebabnya, perubahan nafsu makan, dan penurunan
berat badan, atau ada indikasi endoskopi. Segera rujuk pasien ke spesialis
gastroenterologi atau rumah sakit dengan fasilitas endoskopi.
2. Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada kelainan jantung, segera rujuk ke
spesialis jantung.
1.13. Prognosis
Pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih
rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik.Tingkat
kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia
fungsional.penelitian lebih lanju mengungkapkan bahwa pasien dispepsia
fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan
tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris. 23
Statistik menunjukkan kira-kira 20% pasien dengan dyspepsia akan
berlanjutan menjadi ulcer duodenum lambung, 20% menjadi irritable bowel
syndrome dan 1% menjadi kanker. Untuk dispepsia fungsional atau dispepsia nonulcer (gastritis atau erosi superfisial) yang mempunyai prognosis menjadi buruk
berkisar antara 5-40%.

18

Anda mungkin juga menyukai