BAB 1 Dispepsia
BAB 1 Dispepsia
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran pencernaan,
khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut
bagian tengah ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh.
Dispepsia umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya
adalah pola atau gaya hidup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri
ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan
bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala komplikasinya. 1
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik
dan dyspepsia non organik atau dispesia fungsional. Dispepsia dapat disebut
dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia
fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak ada
kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.2
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum
ditemukan. Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. Data Depkes
tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan
pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%.3
1.2 Definisi
Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yaitu (Dys-) dan (Pepse) yang secara
harfiah dapat diterjemahkan sebagai pencernaan yang buruk (bad digestion). 4
Menurut Rome II dispepsia didefinisikan suatu keadaan yang ditandai oleh salah
satu atau lebih dari gejala utama area gastoduodenal berikut: nyeri
epigastrium,rasa terbakar di epigastrium,rasa penuh setelah makan, atau sensasi
cepat kenyang.5 Pasien yang sering (lebih dari sekali dalam seminggu) rasa panas
atau regurgitasi asam harus dipertimbangkan untuk memiliki gastroesophageal
reflux disease (GERD) sampai terbukti sebaliknya.6
1.3 Epidemiologi
Dispepsia yang oleh orang awam sering disebut dengan sakit maag
merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari. Sebagai contoh
dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya 25%
populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia tetapi
diperkirakan dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi umum. 3 Mengenai jenis
kelamin, ternyata baik lelaki maupun perempuan bisa terkena penyakit itu.
Penyakit itu tidak mengenal batas usia, muda maupun tua, sama saja. Di Indonesia
sendiri, survei yang dilakukan dr Ari F Syam dari FKUI pada tahun 2001
menghasilkan angka mendekati 50 persen dari 93 pasien yang diteliti. Tidak hanya
di Indonesia di luar negeri juga, banyak orang yang tidak peduli dengan dispepsia
itu. Mereka tahu bahwa ada perasaan tidak nyaman pada lambung mereka, tetapi
hal itu tidak membuat mereka merasa perlu untuk segera ke dokter.3
Padahal menurut penelitian masih dari luar negeri-ditemukan bahwa dari
mereka yang memeriksakan diri ke dokter, hanya 1/3 yang tidak memiliki ulkus
pada lambungnya atau dispepsia non-ulkus. Angka di Indonesia sendiri, penyebab
dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen
disebabkan oleh kanker lambung.3 Pada dispepsia fungsional, umur penderita
dijadikan pertimbangan, oleh karena 45 tahun ke atas sering ditemukan kasus
keganasan, sedangkan dispepsia fungsional diatas 20 tahun. Begitu pula wanita
lebih sering daripada laki-laki.3 Pada ulkus peptik perbandingan laki-laki dan
wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan.
1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena
bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya
dapat terjadi sendiri atau kombinasinya.Patofisiologinya yang dapat dibahas disini
adalah 1:
1.Sekresi Asam Lambung
Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim
untuk mencerna makanan. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar
2500ml cairan lambung yang mengandung zat, diantaranya adalah HCl dan
2
dan
glucagon-like
peptide.
Penelitian
telah
menunjukkan
fungsional memiliki ambang yang signifikan lebih rendah untuk sensasi distensi
lambung dan sensasi nyeri.
4.Gangguan akomodasi lambung
Pada keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus
dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Akomodasi
lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari
sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia fungsional terjadi
penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus dengan
pemeriksaan gastric scintigraphy dan ultrasound.
5.Helicobacter Pylori
Peran infeksi Helicobacter Pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya
dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.pylori pada dispepsia fungsional
sekitar 50% dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai ada
kecenderungan untuk melakukan eradikasi H.pylori pada dispepsia fungsional
dengan H.pylori positif yang gagal dengan pengobatan konstervatif baku.
6.Diet
Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia
fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan
karena adanya intoleransi terhadap beberapa makanan. Khususnya makanan
berlemak telah dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi
yang dilaporkan lebih besar dari 40% termasuk rempah-rempah, alkohol,
makanan pedas, coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan.
7.Faktor psikologis
Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan antara dispepsia
fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi
1.6 Diagnosis
Keluhan utama yang paling umum menjadi kunci untuk mendiagnosis
dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.
Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding
dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun,
dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifikasikan ke dalam ulcer-like
dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia ; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2
subklasifikasi
di
atas,
didiagnosis
sebagai
dispepsia
nonspesifik.
menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan
tanda-tanda bahaya.7,8,9
Anamnesis yang penting harus ditanyakan adalah riwayat minum obat
termasuk minuman yang mengandung alcohol dan jamu yang dijual bebas di
masyarakat. Hubungan dengan makanan tertentu perlu diperhatikan.10
Tanda dan gejala peringatan seperti disfagia, berat badan turun, nyeri
menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering,
hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan
penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan USG atau
CT scan untuk deteksi struktur peptic, adenokarsinoma gaster atau esophagus,
penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pancreas empedu.10,11
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stressor psikososial
misalnya: masalah anak, hubungan antar manusia, hubungan suami-istri,
pekerjaan dan pendidikan. Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa
orang. .10,11
Harus diingatkan gambaran khas dari beberapa penyebab dyspepsia:
i. Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok
dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid.
ii. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak
ditemukan pada ulkus duodenum.
iii. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk
setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada
yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner),
regurgitasi denga gejala perasaan asam pada mulut.
iv. Bila gejala dyspepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan
pada penyakit esophagus, gastritis erosif dan karsinoma.
v. Sebaliknya, bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering
terjadi pada ulkus duodenum.
vi. Pasien dipepsia fungsional lebih sering mengeluhkan gejala di luar
gastrointestinal, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai
timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian
atas [SCBA])
*Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
a. Postprandial distress syndrome
Kriteria diagnostik*, terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya
terpenuhi:
1) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan
dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2) Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi
makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
*Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan
terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1) Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan
atau bersendawa yang berlebihan
2) Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
b. Epigastric pain syndrome
7
tidak ditemukan tukak tetapi hanya tanda peradangan maka dapat dibuat
diagnosis dyspepsia bukan tukak.
iv. Ultrasonografi
USG merupakan saranan diagnostic yang tidak invasif. Alat ini tidak
menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi
pasien yang berat dapat dimanfaatkan.
USG bermanfaat apabila dugaan kea rah kelainan di traktus biliaris,
pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esophagus
dan lambung.
v. Manometri Esofago-gastro-duodenum
Dapat menemukan kelainan manometrik berupa gangguan fase III
migrating motor kompleks. Banyak ahli yang berpendapat bahwa saat ini
dyspepsia merupakan gangguan pengosongan lambung.
vi. Waktu pengosongan lambung
Dapat dilakukan scintigrafi atau dengan pellet radiopak. Pada dyspepsia
terdapat perlambatan pengosongan lambung 30-40%.
Ulkus peptikum
Gastroesophageal Reflux Disease
Gastroparesis
Gastric neoplasm, kanker esophageal atau kanker lambung
Penyakit traktus biliris (cholelithiasis maupun choledocholithiasis)
Pankreatitis
Malapsorpsi karbohidrat
Penyakit parasit usus
Dispepsia imbas obat (OAINS, eritromisin, steroid)
Gangguan sistemik (diabetes mellitus, gangguan tiroid dan paratiroid,
10
1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dispepsia bisa dibagi kepada cara farmako dan nonfarmako.
Pada pengobatan non-farmako, pengaturan diet merupakan peranan yang
terpenting. Dasar diet lambung ialah makan sedikit berulang kali, makanan yang
banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus
lembek, mudah dicerna, tidak merangsang dan kemungkinan dapat meneutralisir
asam HCL. Pemberiannya dalam porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan
pedas, masam dan alkohol.5
Pengobatan dengan cara farmako adalah seperti berikut5,6,10
i.
Antasida
Antasida akan meneutralisir sekresi asam HCL. Obat ini biasa digunakan
untuk sindroma dispepsia. Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid
akan meneutralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na
bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antacid jangan terusmenerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat
dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga
11
bersifat non-toksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena
terbentuk senyawa MgCl2.
ii.
Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan sekresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek
sitoprotektif.
iii.
Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dyspepsia organic
atau esensial seperti tukak peptic. Obat yang termasuk golongan antagonis
reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin dan famotidin.
iv.
Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah
omeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole.
v.
Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.
Sukralfat
berfungsi
meningkatkan
sekresi
prostaglandin
endogen,
yang
12
13
14
1.9 Pencegahan11
15
16
17
18