Slavoj iek dan Ulrich Baer. Foto oleh Nosa Normanda
Tanggal 8 Oktober lalu saya mendapatkan kesempatan untuk
menonton ceramah Slavoj iek (baca: /tjitjek/) di New York University cabang Washington DC. iek, seperti yang banyak hipster tahu, adalah filsuf dan provokator yang menggunakan media-media kontemporer untuk berdakwah, dari media sosial sampai film. Ia menjadi sangat terkenal karena gaya bicaranya yang bukan hanya ngotot, tapi juga penuh anekdot pornografi. iek tahu bahwa semua orang pasti tertarik dengan penyimpangan seksual karena, layaknya psikoanalis sejati, ia percaya semua orang menyimpangbahkan semakin lurus dan moralis seseorang, semakin menyimpang pula alam bawah sadarnya. Namun hari itu saya datang bukan buat belajar filsafat hibrida Hegelian-Lacanian, politik kiri, atau memahami pandanganpandangan jorok filsuf nyentrik terpopuler dekade ini. Saya datang dengan minat dan niat penonton teater, atau penonton standing comedian. Terus terang saja, saya ngefans dengan beliau sejak saya
nonton The Perverts Guide to The Cinema. Ia filsuf pertama yang
saya tahu, yang mampu dengan begitu apik mengejawantahkan teori-teori sulit filsafat dan psikoanalisis dengan cara yang familiar. Sejak itu saya membaca sedikit buku beliau dan mengikuti kuliah umum beliau di Youtube, termasuk mengunduh film-film beliau yang lain. Dari situ saya menyukai beliau bukan sebagai ilmuan atau filsuf, tapi sebagai seorang performer. Benar saja, menonton iek secara live jauh lebih berasa daripada menontonnya lewat layar komputer; seperti datang ke acara kawinan teman lebih berasa daripada nonton videonya. Ide-ide yang ia sampaikan sudah pernah saya dengar semua dari film dan kuliahkuliah umumnya, namun ada contoh-contoh anekdot baru yang ia gunakan yang sangat menghibur saya. Ia tahu benar cara menaruh lelucon di antara omongan politik dan filsafat, dan sangat terasa ia menghindari pembicaraan filsafat abstrak Hegel, Marx dan Lacan untuk memaparkan ide-idenya pada penonton luas. Pola ceramah, moderasi dan diskusibahkan pertanyaan penanyahampir sama dengan kuliah umumnya yang lain setahun terakhir ini, hingga saya sempat merasa jangan-jangan ini pertunjukan yang dilatih dengan skrip menggunakan aktor-aktor profesional. Tulisan ini adalah semacam review pertunjukan dan perenungan yang ingin saya bagi dengan anda. Babak I: Hajar Sponsornya Auditorium NYU cabang Washington DC di McPherson Square itu layaknya auditorium kampus-kampus Internasional di Jakarta. Ada sekitar 200 tempat duduk menghadap sebuah podium untuk penceramah dan dua bangku plus meja kecil untuk moderator dan pembicara. Ketika bangku sudah penuh, pintu depan di sebelah kanan terbuka dan masuklah orang-orang penting: pejabat kampus, Duta Besar Slovenia, akademisi cantik berbaju biru yang sepertinya usher untuk pembicara, moderator sekaligus dosen NYU Ulrich Baer dan tentunya Slavoj iek.
Seperti di semua video kuliah umum di Youtube-nya, iek selalu
menjadi yang paling gembel di antara para pejabat dan orang penting tadi. Kalau saya tidak tahu wajahnya dan dia jalan-jalan di luar gedung, besar kemungkinan ia saya sangka gelandangan Amerika dengan berewok dan kaos tipisnya yang kumal itu. Seperti semua acara diskusi dengan undangan seminar internasional, maka acara dibuka dengan sambutan Dubes Slovenia, dan perwakilan sponsor. Ini bagian formal yang saya tunggu-tunggu untuk cepat berakhir tapi penting untuk sedikit dipaparkan sebagai konteks penghinaan yang akan terjadi selanjutnya. Pak Dubes Slovenia, Boo Cerar, tentu memuji iek sebagai salah satu orang Slovenia paling terkenal di dunia. Sponsor acara ini adalah Goethe Institute dan Iconoclash, sebuah lembaga yang dibentuk oleh EUNIC (European Union National Institute for Culture). Perwakilan sponsor (yang saya lupa namanya) bicara soal bagaimana iek membela nilai-nilai adiluhung Eropa seperti egalitarian dan kebebasan. Iconoclash sendiri dibuat sebagai reaksi Uni Eropa atas ditembaknya kartunis-kartunis Charlie Hebdo. Diharapkan iek bisa bicara soal pentingnya kebebasan dan nilainilai luhur di Eropa. Terakhir, moderator memperkenalkan iek sebagai penjaga kesadaran Eropaorang yang mengkritik politik Kanan dan Kiri UniEropa dan karenanya salah satu yang membuat keseimbangan dalam pemikiran kontemporer Eropa. Moderator mengakhiri pembukaan dengan memperkenalkan tema hari itu: More Alienation Please! A Critique of Cultural Violence. (Tolong Tambah Alienasi! Kritik terhadap Kekerasan Kultural.) Maka naiklah sang filsuf menyimpang ke atas podium. Lalu ia mulai dengan mengucapkan terima kasih karena telah diundang dan, seperti subjudul bagian ini, ia mulai melancarkan kritik bertubi-tubi pada mereka yang telah mengundangnya. Pada Dubes Slovenia, ia berkata bahwa walaupun ia menghormati sang Dubes yang telah
mengundangnya, tapi ia sangat anti dengan kebijakan luar negeri
Slovenia yang menurutnya terlalu pro dengan Kapitalisme Global: frasa yang menjadi musuh utama iek dalam hampir semua ideidenya. Yang kedua ia hajar adalah perwakilan Uni Eropa. iek menolak diberi gelar pembela nilai-nilai adiluhung Eropa, karena menurutnya tidak ada yang adiluhung dari kebebasan yang digadang Eropa. Kritik terkerasnya adalah pada peristiwa Charlie Hebdo, yang menjadi dasar dibentuknya Institusi Iconoclash yang mensponsori kedatangannya kali ini. Dia memberikan dua contoh tentang kemunafikan Uni Eropa soal ini. Pertama soal ide kebebasan yang berstandar-ganda. Opini-opini yang menghina Islam dibiarkan saja, tapi tidak ada opini yang mempermainkan, misalnya, holocaust Yahudi atau kekejaman Israel pada Palestina. Padahal umat muslim pun sedang mengalami banyak perang dan penindasan seperti era holocaust, khususnya di Palestina. Ia bicara seakan-akan ia sendiri muslimtapi tentunya muslim yang menyimpang. Selain itu, iek juga mengkritik keras pertunjukan yang diadakan para pemimpin Eropa, ketika mereka pawai membela Charlie Hebdo Januari lalu. Di foto pawai dari sudut lain yang tidak diblow-up media, sangat terlihat bahwa mereka (para pemimpin Eropa), mengatur foto itu untuk pencitraan bahwa mereka dekat dengan rakyat dan nilai-nilai Eropa. Padahal di kenyataannya, hanya segelintir orang yang ada di belakang merekaitupun kemungkinan besar kebanyakan intel. Mereka juga dijaga ketat oleh para ajudannya dan polisi yang mengelilingi mereka, di luar frame kamera. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mewakili Eropa mereka toh takut dengan rakyatnya sendiri.
Seakan belum cukup mengkritik sponsor, iek mulai menyerang
penonton. Empat hari sebelum peringatan hari Colombus di Amerika, ia bilang: Waktu saya ke Montana untuk mengunjungi rumah kelahiran sutradara favorit saya, David Lynch, saya bertemu orang Native American. Salah seorang dari mereka bilang pada saya, Kami sebenarnya lebih suka dipanggil dengan sebutan Indian, karena itu adalah monumen kegoblokan orang kulit putih. Untuk yang belum tahu, dulu Colombus mengira ia berlabuh di India, dan menyebut penduduk asli Amerika sebagai orang India (Indian). Setelah itu ia membantai para penduduk asli tersebut dengan senapan dan wabah cacar. Seorang kawan dari Peru yang juga ikut menonton saat itu, bilang pada saya, Mungkin hanya iek yang mampu diundang dari jauh, dibayar mahal, dan menghina-hina yang mengundang. Inilah yang saya maksud dengan pertunjukan standing comedian filsafat.
Babak II: Kami Butuh Lebih Banyak Alienasi!
Dalam banyak kuliah umumnya, biasanya iek tidak bisa dikekang oleh tema. Apapun ToR yang diberikan, apapun temanya, ia bisa tiba-tiba membicarakan sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya. Tapi kali ini ia ikut dengan tema utama soal alienasi dan kekerasan kultural. Tentunya, dengan cara yang sangat tidak disangka penyelenggara: ia menyerang pemikiran kiri dan kanan Eropa. Dengan ceracaunya yang penuh semangat dan tanpa henti, sesungguhnya agak sulit untuk mengikuti arus pikirannya yang cenderung impromptu. Permasalahan pertama adalah soal kekerasan kultural. iek melihat bahwa kekerasan kultural yang terjadi hari ini adalah karena sistem modernisme-patron yang dilakukan Barat (Eropa dan Amerika) pada negara-negara dunia ketiga. Pasca kemenangan perang dingin, Barat merasa paling tahu apa yang terbaik untuk negara-negara dunia ketiga, tanpa memikirkan efek jangka panjangnya. Golongan kanan dengan liberalisme dan kapitalisme globalnya membebaskan negara-negara tiran seperti Iraq, Libya, dan Mesir, meninggalkan sebuah ruang vakum untuk diambil orangorang yang jauh lebih jahat daripada tiran sebelumnya (mirip seperti Indonesia yang dibebaskan dari Soekarno untuk masuk ke mulut Soeharto, mengubah Nasakom menjadi Stalinist). Intervensi Amerika telah berhasil membuat mimpi buruk negara ekstrim fasis muslim jadi kenyataan. Negara Islam teroris yang tadinya cuma propaganda, jadi sungguhan ada hari ini. Sementara itu golongan kiri dengan idealisme dan romantisme humanismenya melakukan kekerasan kultural dalam bentuk yang berbedadengan cinta kasih dan stereotipe yang terlalu banyak. Mereka bukan hanya mengajak negara-negara barat untuk menerima pengungsi, tapi juga untuk ikut berubah bersama pengungsi itu, untuk meningkatkan toleransi hingga mengubah sendi-sendi individualisme barat. Stereotipe yang mendasari rasa
kasihan ini sudah mengakar, semenjak antropolog-antropolog Barat
membuat laporan sentimental tentang keterbelakangan suku pedalaman di abad 19.
Ilustrasi Gary Larson
Buat iek ini sangat tidak sehat, karena mereka melakukan
kesalahan tradisi humanisme barat yang merasa tahu akan jajahannya. Mereka meromantisasi nilai-nilai timur, kekeluargaan, serta keislaman, dan mengacuhkan kenyataan bahwa semua manusia punya sisi individual dan negara harus mengakomodir sisi Individual itu. Saya membaca laporan [di Jerman], bahwa Perempuan muslim berhak memakai penutup, burka, atau entah apa sebutannya di sini [AS], pemerintah memperbolehkan mereka. Tapi masalahnya, bagaimana kalau muslimah itu tidak mau pakai penutup? Laporan yang saya baca menunjukkan bahwa di Jerman ada 2000 lebih kasus per tahun, tentang gadis-gadis muslim yang diancam [keluarganya], bahkan diancam akan dibunuh demi kehormatan keluarga. Pemerintah Jerman sampai harus membuka rumah pengasingan. Seperti yang biasa diberikan untuk perlindungan saksi. Mereka diberikan identitas baru, nama baru, agar bisa bertahan Lalu terjadi lagi kejadian tidak menyenangkan di Berlin, sekelompok gay yang tergabung dalam sebuah organisasi hendak menolong [pengungsi] Muslim, tapi akibatnya malah mereka dipukuli oleh orang-orang Muslim itu.
iek tidak berusaha memprovokasi Islamophobia. Ia adalah
pendukung keras kemerdekaan Palestina. Yang ia ingin katakan
adalah harus ada negosiasi kebudayaan, ada batas-batas antara
aku dan yang liyan yang dibentuk oleh peraturan negara. Ketika pengungsi masuk ke Eropa, mereka harus negosiasi ulang kebudayaannya, dan mengikuti standar kehidupan yang sudah dibangun Eropa berdasarkan prinsip individualisme antar orang Eropa. Dengan kata lain, pengungsi harus dianggap sebagai sesama manusia Eropa yang boleh diacuhkan atau diakrabi tanpa embel-embel kasihan. Kamu lihat masalah saya di sini, saya rasa ini batasan saya ini menjijikan menyedihkan sekali moralisasi sentimental ini. Oo, mereka kan pengungsi, apa anda tak punya hati, dst Tidak. Khususnya di negara saya [Slovenia], kalau ada orang di jalan wawancara saya, saya tidak suka diwawancara tapi kalau mereka tanya sama saya, Maukah anda memberi ruang di apartemen anda untuk pengungsi ini? Saya akan bilang, Tidak. Saya benci orang yang numpang-numpang. Saya bahkan nggak memperbolehkan keluarga saya buat numpang-numpang di apartemen saya. Tapi ini bukan masalah simpati, ini masalah tugas sederhana. Saya bilang, tapi saya siap untuk menyisihkan setengah penghasilan saya untuk membantu mereka.
Tugas sederhana. Inilah kata kunci dari ceracau panjang iek.
Sebagai seorang yang mengaku kiri radikal, ia mendukung dibukanya gerbang untuk pengungsi selebar-lebarnya tapi di saat yang sama ia menekan agar Eropa juga mengontrol adaptasi pengungsi pada setting barunyakalau perlu Uni Eropa membuka pos penerimaan pengungsian di perbatasan untk memastikan pengungsi tahu aturan di negara suakanya. Ia ingin diasingkan dari romantisisme seperti kekuatan komunitas, kewajiban warga negara pada komunitasnya dan lain sebagainya. Ia ingin negara mengurus hak individual untuk bisa jadi individualis. Karena menjamin hak hidup dan kebebasan adalah tugas sederhana mesin bernama negara yang harusnya tak perlu lagi diurus dengan sentimental. Kita tidak perlu politik pengertian, kita lebih perlu politik ambiljarak dan tak-acuh tapi sopan, katanya. Babak III: Universalisme Jadi sebenarnya apa yang iek bicarakan? Secara konkrit, apa masalahnya dan apa pemecahannya? Tentunya iek tidak bicara konkrit sama sekalikarena ia filsuf, kalau konkrit bisa-bisa ia
dianggap sosiolog atau antropolog. Keabstrakan adalah ciri khas
filsafat. Karena itu sepertinya kesimpulannya mau tak mau harus abstrak pula. Tapi saya akan coba menuliskan abstraksi ini sekonkret mungkin. Masalah utama yang diajukan adalah bagaimana menangani kekerasan kultural? Apakah dengan pengertian dan toleransi? Tidak juga, karena pengertian seringkali balik jadi ego dan kesok-tahuan akan yang liyan, atau dalam bahasa yang lebih akrab: stereotipe. Yang diperlukan adalah aturan main yang jelas dan tegas, yang berdasarkan universalisme. Universalisme yang diajukan iek berbeda dengan pandangan umum bahwa universalisme itu bias kepentingan, dan dikendalikan oleh hegemon. iek mengadopsi metodologi Marx dalam melihat universalisme antar manusia dalam isi dan bentuknya yang terus berdialektik. Misalnya Hak Asasi Manusia, pada awalnya dideklarasikan untuk menjamin hak warga negara (bentuk) tapi sebenarnya sangat bias pria borjuis kulit putih (isi). Bentuknya palsu sebagai kulit luar eksploitasi, tapi bisa diambil oleh manusia lain: perempuan mengambilnya jadi feminisme, orang kulit berwarna mengambilnya jadi multikulturalisme, semua bisa mengambil bentuk HAM dan mengganti isinya demi kepentingan dan konteksnya sendiriinilah universalisme yang telah teruji. Bahwa SEMUA manusia butuh HAM, bukan cuma pria borjuis kulit putih. Universalisme ini harus menjadi dasar dari semua dogma kemanusiaan dan bersifat sederhana dan totaliter tanpa tedeng aling-aling. Hal seperti pemerkosaan, pembunuhan, pemaksaan kehendak pada orang lain, dan pelanggaran HAM lain harus bisa langsung dipermasalahkan secara legal formal tanpa perlu diperdebatkanterlepas apapun latar budaya dan pembenaran si pelaku. Universalisme harus mengasingkan kita dari hal-hal yang semestinya tak perlu kita pusingkan seperti hak dasar atas kesehatan, pendidikan, agama atau hukum.
Universalisme ini harus masuk ke logika-dalam sosial, bukan hanya
jargon-jargon kebudayaan yang dipakai sebagai alat politik atau gimmick ekonomi. Ia harus menjadi, dalam bahasa iek, metaaturan, yang hadir dibalik komunikasi simbolik manusia. Ia tidak perlu terkatakan, tapi dilakukan. Seperti rayuan ketika ingin hubungan seks, yang dikatakan dengan simbol-simbol demi norma kesopanan dan tidak langsung ke inti tujuannya untuk mendapatkan seks. Ia harus menjadi tata cara absolut untuk mendapatkan tujuan. Ini adalah bentuk perjuangan, bukan sesuatu yang harus diberikan apalagi dipaksakan. iek selalu punya masalah dengan kebebasan posmodern dimana banyak manusia dipaksa atau digurui untuk bebas, yang mengakibatkan psikologi terbalik, kekosongan dan kebingungan. Inilah yang menurutnya dasar yang membentuk, misalnya, ISIS atau gerakan-gerakan fundamentalisme lain yang justru merindukan keterkungkungan dan alienasi. Kesimpulan yang saya tarik sangat sederhana. Dalam masa pasar global saat ini, universalisme menjadi sangat jelas dan harusnya bisa diakses semua orang. Hari ini sudah mungkin membuat sebuah isu lokal menjadi sangat global, mem-blow up pelanggaranpelanggaran HAM serta menuntut hak untuk menjadi manusia. Dari Palestina sampai Lumajang, dari Kongo sampai Papua, sentimentalisme dan empati itu sudah harus raib menjadi tugas sederhana sehari-hari. Hingga pada akhirnya, antara kau dan aku akan selalu ada jarak aman yang dinamakan hak individual, yang diatur oleh institusi yang kita biayai bersama bernama negara.