Anda di halaman 1dari 11

Iman, Ibadah dan Mujahadah

PRINSIP KE-3 

“Iman yang tulus, ibadah yang benar dan mujahadah akan membuahkan cahaya dan kelezatan
yang Allah percikan ke dalam hati siapa saja yang la kehendaki. Akan tetapi ilham, lintasan hati,
kasyaf, dan mimpi tidak termasuk dalil-dalil syar’i dan tidak pula diperhitungkan (dianggap),
kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.”

Iman yang benar berarti mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal
dengan anggota badan. Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata, “Kesepakatan para
sahabat, tabi’in, dan generasi sesudah mereka yang kami ketahui, mengatakan bahwa iman
adalah ucapan, perbuatan, dan niat, salah satu di antara ketiganya tidak mencukupi kecuali
dengan yang lain.” Imam Ahmad berkata, “Karena itu, menurut ahlusunah ungkapan yang
mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuat termasuk syiar-syiar Sunah.”

Nash-nash Al-Quran dan hadits yang menunjukkan pengertian di atas sangat banyak dan
terkenal. Mereka sepakat bahwa orang yang mengikrarkan keimanan dengan lisannya secara
nyata, namun mendustakan dengan hatinya, tidak termasuk mukmin. Orang seperti inilah yang
disebut munafik, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, Dan di antara sebagian
manusia ada segolongan yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir."
Padahal mereka tidak termasuk orang-orang yang beriman (Al-Baqarah: 8 ). Dalam firman-Nya
yang lain Allah menjelaskan bahwa bagi mereka disediakan azab yang lebih berat daripada orang
yang jelas-jelas menentang (kufur), dengan memasukkan mereka pada tingkatan neraka yang
paling rendah, Sesungguhnya orang-orang munafik berada pada tingkatan yang paling rendah
dari neraka (An-Nisa‘: 145).

Para ulama sepakat bahwa pengakuan dengan hati saja tidak cukup untuk merealisasikan makna
iman. Karenanya, pengakuan harus diikuti ikrar dengan lisan. Fir’aun dan kaum-nya mengakui
kebenaran Musa dan Harun a.s. namun mereka adalah kafir. Allah Swt. berfirman tentang
perkataan Musa kepada Fir’aun, Sesungguhnya kamu (Fir’aun) telah mengetahui bahwa tidak
ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu, kecuali Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi
sebagai bukti yang nyata (Al-Isra’: 102). Orang-orang Ahli Kitab dahulu mengenal dan
mengakui Nabi kita Saw., namun mereka tidak beriman kepadanya. Allah berfirman, Orang-
orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mengenal-nya (Muhammad) sebagaimana
mengenal anak-anak mereka sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka tidak
beriman (Al-An’am: 20). Bahkan iblis juga mengenal Allah, tetapi ia tetap menjadi pemimpin
orang-orang kafir.

Para ulama sepakat bahwa apabila seorang hamba telah membenarkan dengan hatinya, dan
mengikrarkan dengan lisannya, namun menolak untuk beramal, maka ia termasuk orang yang
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhak mendapatkan ancaman siksa yang Allah
sebutkan dalam kitab suci-Nya dan diberitahukan oleh Rasul-Nya Saw. Selain itu, ia juga
mendapat hukuman di dunia.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlusunah bahwa dengan melihat rahmat dan janji
Allah, iman yang mencakup pembenaran, pernyataan, dan amal menjadikan seseorang masuk
surga dan tidak kekal di neraka.

Sedangkan menurut pandangan hukum dunia, iman adalah cukup dengan mengikrarkan dua
kalimat syahadat. Siapa yang mengikrarkan keduanya diberlakukanlah hukum dunia kepadanya.
la dituntut komitmen dengan konsekuensi-konsekuensinya, mendapat hak-haknya, dan ia tidak
dihukum sebagai kafir, kecuali apabila melakukan ucapan maupun perbuatan yang merusak
syahadatnya. Prinsip ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw., Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Jika mereka
mau mengatakannya, artinya mereka telah menjaga darah dan harta-harta mereka dari
(tindakan)ku kecuali dengan haknya (HR. Muslim).

Jika Anda telah memahami ini, maka ketahuilah bahwa iman yang benar adalah mencakup ketiga
makna di atas, tanpa terpisah-pisah. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang
beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak
ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, Mereka itulah orang-
orang yang benar (Al-Hujurat: 15).

Ibadah yang benar adalah buah dari keimanan yang benar. Para ulama mendefinisikan bahwa
ibadah adalah sebuah kata yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, berupa
ucapan dan perbuatan lahir maupun batin. Ibadah adalah tujuan yang dicintai dan diridhai Allah
Swt. dan untuk itulah Allah menciptakan makhluk-Nya, Sesungguhnya Aku tidak menciptakan
jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku (Adz-Dzariyat: 56). Untuk tujuan itu pula
Allah mengutus rasul-rasul-Nya, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada seorang rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu,”
maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya (An-Nahl: 36). Dan Kami tidak
mengutus seorang rasul pun sebelum kamu,. melainkan Kami wahyukan kepadanya,
“Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’:
25) Allah menjadikan ibadah itu sebagai sesuatu yang harus tetap dilakukan oleh Rasul-Nya
sampai mati. Allah berfirman, Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang al-yaqin (kematian) (Al-
Hijr: 99).

Secara keseluruhan, agama termasuk ibadah berdasarkan hadits Jibril yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim. Hanya, ibadah yang diperintahkan mencakup dua makna sekaligus,
yaitu kerendahan dan kecintaan. Ibadah mengandung makna puncak kehinaan dan kecintaan
kepada Allah Swt., Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai A-lah mendatangkan
keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (At-Taubah: 24).

Jika ibadah yang benar adalah ibadah yang mencakup makna-makna di atas, maka ibadah itu
tidak benar dan tidak diterima di sisi Allah apabila belum dilakukan oleh hamba sesuai dengan
syariat Allah. Demikian itu karena Allah tidak menerima amal perbuatan maupun ucapan,
kecuali yang disyariatkan dan diperintahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah Swt. tidak
akan menerima ibadah-ibadah baru yang diada-adakan oleh hamba-hamba-Nya. Rasulullah Saw.
bersabda, Barangsiapa membuat hal-hal yang baru (yang tidak termasuk) dalam agama kami,
maka ia tertolak. Dalam riwayat lain, Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
dalam ajaran agama kami, maka ia tertolak. Dalam riwayat yang lain, Sesungguhnya setiap
yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat).

Ibadah yang benar tidak mungkin diwujudkan dan dicapai kecuali dengan mujahadatun nafs
wal hawa (bersungguh-sungguh mengendalikan diri dan memerangi nafsu). Allah Swt.
berfirman, Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
menyertai orang-orang yang berbuat baik (Al-’Ankabut: 69). Orang yang memahami ayat ini
secara proporsional, tepat, mengetahui maknanya, dan mengamalkan konsekuensinya, akan
memperoleh kebaikan yang sangat banyak.

Rasulullah telah menjelaskan hakikat mujahadah ini dengan sabdanya, Mujahid adalah
seseorang yang berjihad melawan diri dan hawa nafsunya (HR. Ahmad). Berjihad melawan diri
adalah mengarahkannya kepada perintah Allah dalam segala hal, di antaranya berjihad melawan
setan dan musuh.

Langkah pertama dalam mujahadah adalah beriman kepada Allah, mengesakan-Nya, dan
mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw. Dalam lingkungan Islam terkadang orang tidak
menyadari bahwa masalah ini termasuk dalam bab mujahadah, sehingga ia tidak perlu
menyebutnya. Ini jelas kesalahan besar. Sesuatu yang paling besar adalah jika seseorang mampu
beralih dari kekafiran menuju keimanan atau menyatakan imannya pada lingkungan yang
menentang iman dan melecehkan pemeluknya. Allah berfirman, Dan barangsiapa beriman
kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (At-Taghabun: 11). Langkah
kedua adalah menjalankan kewajiban-kewajiban sesuai dengan waktunya, seperti: shalat, puasa,
zakat, haji, nikah, bermuamalah, dan lain-lain. Langkah yang ketiga adalah secara tertib
menjalankan ibadah-ibadah sunah, berupa: shalat, sedekah, puasa, haji, doa, zikir, dan membaca
Quran. Selanjutnya langkah keempat adalah mengendalikan diri untuk selalu melaksanakan hal-
hal yang bersifat azimah (ibadah-ibadah dalam bentuknya yang ideal) serta mentarbiahkannya
dengan amal-amal berat yang bermanfaat, seperti: khalwat (menyendiri), diam kecuali dalam
hal-hal yang mewajibkan berbicara, begadang malam untuk beribadah, shalat, tilawah, zikir,
lapar karena melakukan puasa pada hari-hari yang disunahkan, dan amal-amal lain yang
disyariatkan. Langkah kelima adalah perenungan diri, hati, menyingkap penyakit-penyakit hati,
dan mengobatinya. Inilah langkah terakhir dalam mujahadah, sekaligus merupakan salah satu
hasilnya yang utama. Dua langkah terakhir inilah yang mendominasi pembahasan dan
pembicaraan banyak kalangan tentang mujahadah.

Iman yang benar lagi sempurna, ibadah yang sahih sesuai dengan petunjuk syara’, dan
mujahadah yang terbingkai dengan kaidah dan ajaran syara’, akan menghasilkan pengaruh besar
yang tampak pada diri manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syahid
Hasan Al-Hanna, "…cahaya dan kenikmatan yang Allah percikan ke dalam hati siapa saja, yang
la kehendaki di antara hamba-hamba-Nya." Cahaya (nur) adalah hal yang diisyaratkan dalam
firman Allah Swt., Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami
berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu
memandang baik apa yang telah mereka kerjakan (Al-An’am: 122).

Hakikat dan pengaruh iman telah diungkapkan oleh Sayid Qutub dalam tafsirnya, “Seseorang
akan mendapati cahaya ini didalam hatinya, sehingga ia mendapatkan kejelasan dalaim segala
urusan, hal, dan kejadian. Mendapatkan kejelasan dalam jiwa, dan niat-niatnya, lintasan-lintasan
hatinya, langkah, serta geraknya. Mendapatkan kejelasan dalam segala hal yang terjadi di
sekitarnya, baik yang berupa sunatullah, aktivitas-aktivitas manusia, niat, dan langkah-langkah
mereka, yang tampak maupun yang tersembunyi. Mendapatkan tafsir berbagai peristiwa dan
sejarah dalam jiwa dan akalnya, serta dalam realitas kehidupan di sekitarnya, seakan-akan ia
membaca buku. Seseorang yang telah mendapatkan cahaya ini dalam hatinya akan mendapatkan
kecemerlangan dalam lintasan-lintasan hati, perasaan, dan kemauannya, sehingga ia pun
mendapatkan kenikmatan dan kesejukan dalam hati, suasana, dan masa depannya. Ia akan
mendapatkan kelembutan dan kemudahan dalam mengatur segala urusan dan mengeluarkan
keputusan, serta dalam menghadapi maupun melewati kejadian. Ia akan mendapatkan
ketenangan, kepercayaan, dan keyakinan dalam segala situasi dan kapan pun juga.” ‘"

Cahaya yang mempunyai pengaruh luas dalam diri manusia dan menghasilkan banyak hal
menakjubkan yang tampak dalam kehidupan seorang mukmin yang tercerahkan ini,
kemungkinan terbentuknya telah ditunjukkan oleh Al-Quran dan Sunah, dinyatakan oleh para
ulama, dan didukung oleh kejadian-kejadian yang nyata. Karena itu Imam Syahid Hasan Al-
Banna rahimahullah menyebutkannya dalam prinsip ini sebagai pengakuan akan kebenarannya,
sekaligus memberi bingkai syar’i agar orang-orang yang tidak mendapatkan pencerahan dari
sumber-sumbernya, karena hanya mendapat bisikan nafsu dan inspirasi setan, tidak melampaui
batas.

Pada kesempatan yang sama, beliau tidak mengabaikan hal-hal yang memang seharusnya
dikatakan, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami syariat dan tidak
mengetahui dalil-dalil yang benar. Karena itu Imam Syahid mengatakan, “Akan tetapi ilham,
lintasan hati, kasyaf, dan mimpi tidak termasuk dalil-dalil syar’i dan tidak pula diperhitungkan
(dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-
nashnya.”

Agar kebenaran dalam masalah ini menjadi jelas, harus diberi keterangan dan penjelasan. Karena
itu, kami coba terangkan:

Pertama, ilham

Ilham adalah pengaruh yang Allah berikan dalam jiwa seseorang sehingga mendorongnya untuk
mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. la merupakan salah satu jenis wahyu yang Allah
khususkan bagi siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki. 

Allah Swt. berfirman,


Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya (Asy-Syams: 7-8).

Rasulullah Saw. berdoa,

Ya Allah ilhamkanlah kepadaku kebenaran dan lindungilah akim dari keburukan jiwaku (HR.
Turmudzi). 

Ilham lebih umum daripada tahdits karena ilham berlaku umum bagi orang-orang yang beriman
sesuai dengan tingkat imannya. Setiap mukmin mendapatkan ilham kebenaran dari Allah Swt.
sesuai dengan tingkat keimanannya. Adapun tahdits, Rasulullah Saw. telah menjelaskan dalam
sabdanya, ”Jika ada orang yang muhadats dari umatku, maka Umar-lah orangnya” (HR.
Bukhari dan Muslim).

Bentuk ilham yang banyak dikenal, antara lain berupa pesan yang diberikan ke dalam hati
seorang mukmin, melalui pembicaraan malaikat dengan ruhnya. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, Sesungguhnya malaikat mempunyai hasrat di hati
anak Adam, demikian juga setan. Hasrat malaikat berupa ajakan untuk kebaikan dan
membenarkan ancaman Allah Swt., sedangkan hasrat setan adalah ajakan untuk melakukan
kejahatan dan mendustakan janji Allah, – kemudian beliau membaca firman Allah – "Setan itu
menjanjikan kefaqiran kepadamu dan memerintahkan perbuatan yang keji, sedangkan Allah
menjanjikan ampunan dan anugerah kepadamu.” (HR. Turmudzi). 

Allah Swt. berfirman, (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “
Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah
beriman.” (Al-Anfal: 12).

Sebebagian ulama menafsirkan ayat ini dengan "Wahai malaikat kuatkanlah hati orang-orang
yanng beriman dan berilah kabar gembira kepada mereka dengan kemenangan.” Sebagian yang
lain mengatakan, “Hadirlah wahai malaikat bersama orang-orang mukmin di medan perang.”
Kedua penafsiran itu sama-sama benar, karena malaikat memang hadir bersama orang-orang
mukmin di medan perang dan meneguhkan hati

mereka. Termasuk kategori pesan ini adalah nasihat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada hati
hamba-hambanya yang mukmin, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Imam Ahmad dari sahabat Nawwas bin Sam’an dari
Nabi Muhammad Saw. Bahwa beliau bersabda, Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan
berupa sebuah jalan yang lurus. Pada kedua sisi jalan tersebut terdapat dua dinding yang
masing-masing mempunyai pintu yang terbuka. Pada masing-masing pintu terdapat gorden, ada
penyeru di ujung jalan, dan ada pula penyeru di atas jalan. Jalan yang lurus adalah Islam,
kedua dindingnya adalah batas-batas Allah, dan pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang
diharamkan oleh Allah. Tidak ada

seorang pun yang melanggar suatu batas di antara batas-batas Allah, kecuali bila ia
menyingkap gorden itu. Penyeru yang berada pada ujung jalan adalah Kitabullah, sedangkan
penyeru yang berada di atas jalan adalah penasihat dari Allah dalam hati orang yang beriman.
Penasihat yang ada dalam hati orang-orang yang beriman itulah ilham Ilahi dengan perantaraan
malaikat.  

Termasuk ilham adalah firasat, yaitu cahaya yang Allah berikan ke dalam untuk membedakan
antara haq dan batil dan antara yang jujur dan dusta. Allah berfirman, Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi mutawasimin (orang-
orang yang memperhatikan tanda-tanda) (Al-Hijr: 75). Menurut Mujahid r.a. yang dimaksud
mutawasimin adalah mutafarisin (orang-orang yang diberi firasat). Imam Turmudzi
meriwayatkan dari Abi Sa’id r.a. dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, Takutlah kalian kepada
firasat orang mukmin, karena ia memandang dengan cahaya Allah Azza wa Jalla. Kemudian
beliau membaca, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Kami) bagi mutawasimin (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda)." (Al-
Hijr: 75).

Firasat ada tiga macam:

1. Firasat imaniyah, yaitu firasat orang-orang yang beriman. Jenis ini selalu tegak di atas
kebenaran.

2. Firasat riyadhiyah, ialah firasat yang dihasilkan melalui lapar, begadang, dan menyendiri.
Demikan itu terjadi karena jiwa terbebas dari penghalang-penghalangnya, maka firasat dan
kasyaf akan didapatkan sesuai dengan tingkat kebebasan-nya dari penghalang tersebut.

3. Firasat khalqiyah, ialah firasat yang para dokter menulis tentangnya. Mereka mencoba
menghubungkan antara sifat-sifat fisik dengan sifat-sifat psikis karena memang ada kaitan yang
dikehendaki hikmahnya oleh Allah. 

Dua jenis firasat yang terakhir ini bisa dimiliki oleh siapa saja, baik mukmin maupun kafir, tidak
menunjukkan keiman-an dan kewalian, serta tidak menyingkap tentang kebenaran yang
bermanfaat maupun jalan yang lurus. ‘”

Kedua, khawathir

Khawathir jamak khatir yaitu sesuatu yang terlintas dalam hati berupa rencana atau perintah.
Apabila baik, maka itu merupakan bagian dari cahaya dan pengaruh iman, serta petunjuk adanya
taufik dari Allah. Namun apabila sebaliknya, maka ia merupakan tipu daya dan bisikan setan,
sebagaimana disebutkan dalam hadits sujud sahwi, Hingga setan melintas antara seseorang dan
hatinya, dan dalam hadits Ibnu Abbas r.a., Ketika Nabi berdiri untuk melaksanakan shalat, tiba-
tiba melintas suatu lintasan dalam hatinya. Maka orang-orang munafik pun mengomentari
bahwa beliau mempunyai dua hati. 

Ketiga, kasyaf

Imam 1bnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Mukasyafah yang benar adalah ilmu-ilmu yang
Allah munculkan di hati hamba-Nya. Dengan ilmu itu Allah Swt. memperlihatkan kepadanya
hal-hal yang tersembunyi bagi orang lain. Terkadang Allah Swt. membantu seseorang untuk
memilikinya, tapi terkadang menghalanginya dengan membuatnya lupa dan
menyembunyikannya dari orang itu dengan kabut yang membuat hatinya keras, itulah setipis-
tipis penghalang. Dengan mendung yang lebih tebal dari kabut, atau dengan tutup yang menjadi
penghalang paling tebal.”

Penghalang paling tipis terkadang dialami oleh para nabi a.s. Sebagaimana sabda Nabi Saw.,
Sesungguhnya hatiku berkabut dan sesungguhnya aku beristigfar kepada Allah sebanyak seratus
kali dalam sehari (HR. Muslim). 

Penghalang yang berupa mendung terjadi pada orang-orang mukmin. Sedangkan penghalang
yang berupa tutup terjadi pada orang-orang yang didominasi oleh kemalangan. Allah Swt.
berfirman, Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutup hati mereka (Al-Muthafifin: 14). Ibnu Abbas dan lainnya mengatakan bahwa ia adalah
dosa dan dosa menutupi hati hingga menjadi tertutup seluruhnya.

Kasyaf yang benar adalah jika seorang Muslim mengetahui kebenaran yang dibawa oleh
Rasulullah Saw. dan diturunkan dalam kitab-kitab suci secara jelas dalam hatinya. Kemudian ia
dedikasikan kehendak hatinya kepadanya dan senantiasa bersamanya dalam segala kondisi.
Inilah kesimpulan yang benar, bila tidak demikian maka itu adalah tipuan yang buruk. Demikian
itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan mukasyafat hati, salah satu sumber kasyaf ketika hati
jernih, berjalan di atas jalan yang lurus, serta menjauhi bid’ah dan kesesatan. Adapun kasyaf
penglihatan dan pendengaran, yang dimaksud oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam prinsip
ini, Ibnu Qayyim rahimahullah telah mengklasifikasikannya menjadi tiga jenis: kasyaf rahmani,
yang khusus bagi orang-orang yag beriman, kasyaf nafsani, dan kasyaf syaithani, yang
dijelaskan dalam pernyataannya, “Adapun kasyaf juz’i yaitu yang dapat dimiliki oleh orang-
orang mukmin dan orang-orang kafir, juga oleh orang-orang baik maupun orang-orang jahat,
seperti: mengetahui apa yang ada di rumah seseorang, tongkat di tangannya, di bawah
pakaiannya, atau jenis kelamin janin yang ada dalam kandungan istrinya. Adapun yang tidak
terlihat oleh seorang hamba berupa hal-hal yang sangat jauh, terkadang berasal dari setan atau
dari dirinya sendiri. Karena itulah, maka hal itu bisa terjadi pada orang-orang kafir, seperti
orang-orang yang melakukan kemaksiatan, penyembah api, dan salib. 

Ibnu Shayyad dapat mengetahui apa yang disembunyikan oleh Nabi, kemudian Rasulullah Saw.
berkata kepadanya, "Engkau ini hanyalah sebagian dari teman para dukun." Nabi menerangkan
bahwa kasyaf yang dimilikinya termasuk kasyaf perdukunan dan hal itu mungkin. Demikian pula
Musailamah Al-Kadzab, betapapun kekafiran yang dilakukannya, ia mampu menceritakan
kepada para pengikutnya tentang apa yang dilakukan oleh salah seorang dari mereka di
rumahnya, dan apa yang dikatakannya kepada istrinya. Setanlah yang memberikan kabar
kepadanya, untuk menyesatkan manusia. Demikian pula Al-Aswad Al-Unsi dan Harits Al-
Mutanabbi yang memberontak pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, serta orang-
orang semisal mereka yang hanya diketahui oleh Allah. Kita telah mengetahui dan orang-orang
juga telah menyaksikan kasyaf dari para pendeta penyembah salib.

Contoh kasyaf rahmani adalah kasyaf dari Abu Bakar r.a., ketika beliau berkata kepada Aisyah
r.a. bahwa sesungguhnya istrinya mengandung janin perempuan. Kasyaf Umar r.a. ketika beliau
berkata, “Wahai pasukan naiklah ke gunung.” Kasyaf-kasyaf ini termasuk kasyaf para wali
Allah.  

Kesimpulannya, Said Hawwa menjelaskan bahwa kasyaf adalah sesuatu yang mungkin terjadi,
orang-orang yang melakukan perjalanan spiritual menuju Allah dapat mencapainya. Ia
merupakan salah satu wujud anugerah Allah Swt. sekaligus sebagai ujian dari-Nya. Tapi kita
semua komitmen dengan nash, bukan dengan kasyaf. Kasyaf tidak bisa digunakan sebagai dasar
untuk menetapkan keyakinan baru dan tidak pula untuk menambah nash-nash yang ada. Umat
tidak diwajibkan beribadah dengannya. Mereka tidak harus mempercayai pemiliknya, walaupun
ia termasuk orang yang jujur. Hal itu karena hatinya tidak ma’shum berkaitan dengan masalah
gaib. Selain itu, kemungkinan terjadi ilusi juga sangat besar. Karena kasyaf terkadang menjadi
ujian bagi seseorang atau sekelompok orang, maka ia kadang menurunkan derajatnya.

Dengan batas-batas ini, jelaslah kedudukan kasyaf dalam syariat Allah, dan kita memahami
maksud dari ungkapan Imam Syahid Al-Banna rahimahullah bahwa ia tidak termasuk dalil-dalil
hukum syar’i dan tidak diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan
dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya. 

Keempat, mimpi-mimpi dalam tidur

Jika benar, ia merupakan salah satu pengaruh iman dan tingkatan hidayah. la termasuk bagian
dari kenabian, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, Mimpi yang
baik adalah bagian dari empat puluh enam bagian nubuwah (Shahih Bukhari dan Muslim).

Mimpi adalah permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada kejujuran orang yang
bermimpi. Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur perkataannya.
Ketika zaman semakin dekat, hampir tidak ada kesalahan dalam mimpi yang baik, sebagaimana
disabdakan oleh Nabi Saw, Demikian itu karena semakin jauhnya masa dari kenabian dan
pengaruhnya. Karena itu, orang-orang mukmin mengambil ganti dengan mimpi. Adapun pada
masa kuatnya cahaya kenabian, dengan cahayanya yang terang, menjadikan mereka tidak
membutuhkan mimpi-mimpi itu. Nabi Saw. bersabda, Tidak ada lagi bagian dari nubuwah
selain mubasyirat. Ada yang bertanya, ”Apa itu mubasyirat, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab “Ia adalah mimpi baik yang dialami sendiri oleh seorang Muslim atau diimpikan
oleh orang lain." (HR. Bukhari). 

Jika mimpi-mimpi kaum Muslimin sama, maka tidak dapat didustakan. Nabi telah mengatakan
kepada para sahabatnya ketika mereka bermimpi melihat lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir
di bulan Ramadhan. Beliau Saw. bersabda, Saya melihat mimpi kalian sudah saling memperkuat
bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Karena itu,
barangsiapa di antara kalian yang hendak mencari-carinya maka lakukanlah pada sepuluh hari
terakhir (HR. Bukhari).

Sebagaimana kasyaf, mimpi juga terbagi menjadi tiga bagian: rahmani, nafsani, dan syaithani.
Nabi Saw. bersabda, Mimpi ada tiga, yaitu mimpi dari Allah, mimpi penyedihan setan, dan
mimpi dengan melihat kembali apa yang pernah terjadi pada dirinya saat ia terjaga. 
Mimpi yang menjadi sebab datangnya petunjuk adalah mimpi yang khususnya datang dari Allah.
Mimpi para nabi adalah wahyu, karena mimpi ini terpelihara dari setan. Inilah yang diyakini oleh
umat. Karena itulah maka nabiyullah Ibrahim a.s. melaksanakan perintah menyembelih putranya,
Ismail berdasarkan mimpi itu.

Adapun mimpi selain para nabi, disesuaikan dengan wahyu yang jelas. Jika sesuai, bisa diterima.
Jika tidak, tidak boleh diamalkan. Apabila ditanyakan, "Bagaimana pendapat kalian tentang
mimpi yang baik atau mimpi-mimpi orang banyak yang sepakat atas sesuatu?” Kami menjawab,
“Jika memang demikian, maka tidak mungkin menyalahi wahyu, bahkan pasti sesuai dengannya,
untuk menyadarkannya atau menyadarkan akan masuknya suatu permasalahan khusus dalam
hukum wahyu, sedangkan orang yang bermimpi tidak menyadari bahwa hal itu termasuk di
dalamnya, sehingga dengan mimpi itu ia menjadi tersadarkan.”’ 

Selanjutnya kaum Muslimin sepakat bahwa mimpi bagi selain para nabi tidak boleh dijadikan
sebagai sumber hukum dan perundang-undangan. Jika mereka bertanya, “Apabila seseorang
bermimpi melihat Nabi Saw. padahal setan tidak mungkin menyerupainya, kemudian beliau
Saw. memerintahkan suatu hal yang bertentangan dengan syariat’?” Kita katakan kepadanya,
“Engkau sedang berangan-angan.” Ia tidak boleh bertindak berdasar mimpinya itu, apalagi
mimpi-mimpi yang lain?

Barangsiapa menginginkan mimpi yang benar, maka hendaklah ia berusaha untuk selalu jujur,
makan yang halal, memperhatikan perintah dan larangan, tidur dalam keadaan suci sepenuhnya,
menghadap kiblat, dan zikir kepada Allah hingga tertidur. Jika demikian, insya Allah mimpinya
tidak berdusta. 

Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena saat itu merupakan waktu
turunnya Allah ke langit dunia, saat dekatnya rahmat dan ampunan, serta diamnya setan-setan.
Kebalikannya adalah mimpi pada sepertiga malam yang pertama, saat setan-setan dan ruh-ruh
syaithaniyah bergentayangan. Ubadah bin Shamit r.a. berkata, “Mimpi seorang mukmin adalah
kalam Allah kepada hamba-Nya pada waktu tidur.”

Kesimpulannya, ilham, khawathir, kasyaf, dan mimpi merupakan pengaruh cahaya iman, jika
keluar dari seorang mukmin yang jujur. Banyak bukti-bukti lahiriah dan pengalaman batin yang
menguatkan akan hal itu. Ia adalah karamah dari Allah bagi mereka, di samping juga merupakan
ujian untuk menguji keteguhan dan konsistensi dalam keimanan. 

Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Imam. Syahid Al-Banna rahimahullah, ia


bukan termasuk dalil-dalil hukum syar’i, karena dalil-dalil hukum syar’i disyaratkan bahwa
sumbernya ma’shum, sementara di sini tidak ada ke-ma’shum-an, karena tidak ada ke-ma’shum-
an yang dapat ter-bukti secara syar’i berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul Saw., atau
berdasarkan ijmak kaum Muslimin. Padahal di sini tidak ada sedikit pun dari semua itu.

Meskipun demikian, apabila karamah-karamah itu berasal dari Allah Swt. maka tidak mungkin
bertentangan dengan syariat. Adapun jika berasal dari diri sendiri dan setan, maka ia tidak dapat
dipercaya, karena sedikit sekali yang sesuai dengan syariat atau konsisten pada masalah yang
diridhai. Imam Syahid mengatakan, “Semua karamah itu tidak dianggap, kecuali dengan syarat
tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nash-nya.” Wallahu a’lam. 

Kenikmatan yang lahir dari keimanan dan kesahihan ibadah, serta mujahadah yang baik, adalah
kenikmatan hakiki yang dirasakan oleh jiwa orang yang beriman, sebagaimana lidah merasakan
lezatnya makanan, seperti disebutkan dalam banyak hadits-hadits sahih, di antaranya sabda
Rasulullah Saw., Akan merasakan lezatnya iman orang yang ridha bahwa Allah sebagai Tuhan-
nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw. sebagai rasulnya (HR. Muslim). Tiga hal,
barangsiapa seluruhnya ada dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan nikmatnya iman.

Dalam riwayat lain, akan merasakan nikmatnya iman, orang yang lebih mencintai Allah dan
Rasul-Nya daripada selain keduanya, jika seorang mencintai sahabatnya, ia tidak mencintai-nya
kecuali karena Allah Swt., dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah Allah Swt.
menyelamatkan diri darinya, sebagaimana ia tidak mau dimasukkan dalam neraka. 

Para ulama berkata, “Makna kenikmatan iman adalah merasa nikmat dalam melakukan ketaatan
dan memikul beban dalam mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan hal itu
daripada tujuan-tujuan duniawi, kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya Swt. dengan
menjalankan ketaatan kepadanya dan meninggalkan kedurhakaan terhadap-Nya, di samping juga
mencintai Rasulullah Saw.”

Menurut saya, semua itu tidak mungkin dicapai kecuali oleh orang yang hatinya telah
bersenyawa dengan iman, sehingga kenikmatan iman mampu mendominasi hatinya. Karena itu,
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa iman memberikan kenikmatan yang berkaitan dengan rasa dan
selera. Keraguan dan syubhat tidak akan hilang dari hati, kecuali apabila seseorang telah
mencapai keadaan seperti ini. Iman benar-benar telah bersenyawa dengan hatinya, hingga ia
merasakan kelezatannya dan menemukan kenikmatannya.”’ 

Rasa inilah yang dijadikan Heraclius sebagai dalil akan benarnya kenabian, saat ia bertanya
kepada Abu Sufyan, "Adakah seorang di antara pengikut Muhammad yang murtad karena marah
kepada agamanya?” “Tidak," jawab Abu Sufyan. Heraclius pun berkomentar, “Demikianlah
iman, ketika ia telah bersenyawa dengan keceriaan hati."

Kenikmatan hakiki yang selalu bergelora inilah yang telah dibuktikan oleh para sahabat r.a.,
salafusaleh, dan orang-orang yang melakukan interaksi yang benar dengan Allah Swt. serta
dengan agama-Nya yang terakhir. Jika kami hendak memuat contoh-contohnya, tentu akan
menghabiskan buku berjilid-jilid. Kami cukupkan dengan tiga contoh saja dari tiga orang sahabat
yang telah mengungkapkan hakikat kenikmatan itu, sebab berbagai pengorbanan yang telah
mereka lakukan. Mereka itu adalah:

1. Bilal bin Rabah r.a.

Ketika disiksa diterik panas matahari untuk memaksanya kafir, sementara ia hanya bisa
mengucap, “Ahad, Ahad.” Ia campur pahitnya siksaan dengan manisnya iman. Ia telah
bersenyawa dengan kenikmatan iman. Demikian juga saat menjelang kematiannya, ketika
keluarganya mengatakan alangkah susahnya, tapi beliau sendiri justru mengatakan, duhai
alangkah senangnya karena besok saya akan menjumpai kekasih-kekasihku, Muhammad dan
para sahabatnya. Bercampurlah pahitnya kematian dengan nikmatnya pertemuan itu, itulah
kenikmatan iman.

2. Seorang sahabat yang kudanya dicuri pada suatu malam, saat ia sedang shalat. Ia melihat saat
pencuri itu mencuri kudanya, namun ia tidak memutuskan shalatnya. Ketika ditanya tentang hal
itu ia menjawab, “Apa yang sedang aku lakukan lebih besar dari itu.” Ini tidak lain karena
kenikmatan iman.

3. Dua orang sahabat yang diperintahkan Rasulullah Saw. sebagai penjaga malam pada sebuah
peperangan. Salah seorang tidur, sedangkan yang lain menunaikan shalat. Tiba-tiba ada mata-
mata dari pihak musuh datang. Melihatnya, mata-mata itu melepaskan anak panah dan
mengenainya. Namun demikian sahabat ini tetap meneruskan shalatnya dan tidak
menghentikannya. Mata-mata itu melepaskan panah yang kedua dan mengenainya pula, namun
ia tidak memutuskan shalatnya. Kemudian dilepaslah kepadanya anak panah yang ketiga dan
mengenainya. Pada panah yang ketiga inilah ia baru membangunkan sahabatnya. Ia berkata
“Kalaulah bukan karena kekhawatiranku terhadap keselamatan kaum Muslimin, tentu aku tidak
menghentikan sholat-ku.” Hal itu tidak dilakukannya kecuali karena besarnya kenikmatan yang
ia rasakan dalam shalat, hingga menghilangkan rasa sakit akibat anak panah yang mengenai
dirinya. –

Muhadats: orang yang benar dugaannya seolah-olah ada yang membisikinya.– edt.

——-
Detil referensi berupa kitab-kitab yang dijadikan rujukan khususnya yang memuat hadits-hadits
dan perkataan ulama, tersedia pada buku yang berjudul: Syarah Ushul ‘Isyrin, Menyelami
Samudra 20 Prinsip Hasan Al-Banna, karya Abdullah bin Qasim Al-Wasyli, Cetakan ke-2, Era
Intermedia, Solo, Indonesia, 2005

Anda mungkin juga menyukai