Anda di halaman 1dari 12

Cedera kepala

Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik.
Etiologi
Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari
setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari
tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma kepala
dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, dan
lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.2
Anatomi Kepala
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue
atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.

Gambar 2.1 Lapisan cranium

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit kepala
akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak
rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.

C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi
dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi

oleh pia mater.


D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dan memiliki berat sekitar 1,4 kg pada orang
dewasa. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum
dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.

Lobus
parietalis
Lobus
frontalis
Lobus
oksipitalis
Lobus
temporalis
Gambar 2.2 Lobus Otak

E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada

kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari.
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

snell

a. cerebri anterior
a. carotis interna
a. cerebri media
a. cecerbri posterior
a. basilaris
a. vertebralis

Gambar 2.3 Perdarahan otak

Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda
keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala

dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasideselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).

Gambar 3. Coup dan countercoup


Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.

Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan
apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed. Fraktur tengkorak
basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendelatulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari

ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau
compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena
duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera. Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat
dirumah sakit untuk pengamatan.
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural,
dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara
umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan
koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara
tabula interna dan duramater. Paling sering terletak di regio temporal atau temporal parietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal dari
arteri, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang,
hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau
fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau
9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan
ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya
biasanya masih terbatas.
Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan
arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks

serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang
mendasari hematoma subdural akut biasanya lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi
yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.

Klasifikasi Cedera Kepala


Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau
pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat
menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada
protuberans tulang tengkorak.
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur
dapat berupa garis/ linear, menyebar dari satu titik (stelata) dan dapat juga berupa fraktur
depress atau nondepress. Fraktur atap tengkorak dapat berupa fraktur tertutup dan terbuka
yang mana fraktur tertutup secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan
fraktur terbuka memerlukan tindakan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon
verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya cedera kepala
dikelompokkan menjadi:

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Manifestasi Klinis
Tingkat kesadaran pasien adalah hal terpenting dalam mengevaluasi pasien cedera kepala.
Glascow Coma Scale (GCS) merupakan alat bantu yang dipakai untuk menentukan derajat
cedera kepala. GCS dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eye opening (E), motor response (M), dan
verbal response (V).
Glasgow Coma Scale
Glasgow Coma Scale

Nilai

Respon membuka mata (E)


Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun


Respon verbal (V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun


Respon motorik (M)

Mengikuti perintah
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat
rangsangan

6
5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi

abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

Pasien trauma kepala memiliki riwayat satu ataupun kombinasi dari cedera kepala primer,
bergantung pada derajat dan mekanisme trauma yang terjadi. Tipe cedera kepala primer adalah
cedera kulit kepala, fraktur tengkorak, fraktur basis cranii, kontusio, perdarahan intrakranial,
perdarahan subarachnoid, perdarahan intraventrikuler, hematom epidural, hematom subdural,
cedera penetrasi, dan cedera akson difus.
Pada neonatus, perlu ditanyakan adanya riwayat caput succedaneum dan sefalhematom
untuk mengetahui adanya scalp injury yang terjadi saat persalinan. Caput succedaneum ditandai
adanya penonjolan kulit kepala neonatus yang menyilang garis sutura, sedangkan sefalhematom
ditandai adanya perdarahan subperiosteal dan dibatasi secara tegas oleh garis sutura.
Untuk mengetahui adanya fraktur cranii, perlu ditanyakan saat kejadian trauma,
mekanisme cedera, progresivitas gejala yang terjadi akibat cedera tersebut. Fraktur tulang
tengkorak dapat bersifat linier, comminuted, depressed, dan steleate.
Pada fraktur basis kranii, pasien memiliki riwayat terbentur pada belakang kepala,
penurunan kesadaran, kejang, mual, muntah dan defisit neurologis. Tanda patognomonis trauma
basis cranii adalah adanya Battle sign, raccoon eyes, dan CSF otorrhea dan rhinorrhea.
Terjepitnya saraf kranial optikus terjadi pada 1-10% pasien fraktur basis kranii.
Kontusio terjadi akibat cedera kepala primer pada lobus temporalis dan frontalis. Hal ini
karena pada daerah tersebut terdapat protuberantia kalvaria. Terdapat gejala penyimpangan
neurologis progresif sekunder akibat edema serebral lokal, infark, dan/atau pembentukan-lambat
hematom.
Hematom epidural terjadi akibat adanya laserasi pada arteri atau vena pada daerah antara
tulang tengkorak dan lapisan duramater. Hematom terbentuk 6-8 jam bila lesi berasal dari arteri
atau lebih dari 24 jam bila berasal dari vena setelah cedera kepala. Lokasi hematom biasanya
pada lobus temporalis, frontalis, dan oksipitalis. Pasien biasanya mengalami lucid interval, yaitu
suatu periode dimana pasien dalam keadaan sadar yang terjadi antara penurunan kesadaran
dengan adanya defisit neurologis. Lucid interval lebih sering terjadi pada dewasa dibandingkan
pada anak-anak. Defisit neurologis terjadi akibat adanya kompresi, akibat ekspansi hematom,
pada lobus temporalis dan/atau pada batang otak.
Hematom subdural terjadi pada daerah antara lapisan duramater dan korteks serebrii. Lesi ini
terjadi akibat robekan pada bridging vein atau adanya laserasi pada arteri korteks akibat cedera

akselerasi-deselerasi. Lesi ini juga dapat disebabkan trauma akibat persalinan, biasanya terjadi
pada 12 jam kehidupan yang ditandai adanya kejang (shaken baby syndromes), fontanel yang
menonjol, peningkatan lingkar kepala, anisokor, dan gagal nafas.
Perdarahan intraventrikuler biasanya terjadi pada trauma minor dan dapat sembuh spontan.
Perdarahan masif dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif, terutama bila terjadi pada level
foramen Monroe dan aquaduktus Sylvii.
Perdarahan subarachnoid adalah bentuk perdarahan yang umum terjadi pada trauma kepala.
Perdarahan disebabkan adanya gangguan pada pembuluh darah kecil pada korteks serebrii.
Lokasi lesi biasanya pada sepanjang falx serebrii atau tentorium dan lapisan luar korteks. Gejala
klinis yang biasanya terjadi adalah mual, muntah, sakit kepala, gelisah, demam, dan kaku kuduk.
Cedera akson difus terjadi akibat gaya akselerasi-deselerasi yang tejadi secara terus-menerus
yang mengakibatkan gangguan pada jalur akson-akson kecil. Area yang umumnya terganggu
adalah ganglia basalis, talamus, nukleus hemisfer profunda, dan korpus kolosum. Pasien
biasanya memberikan gejala klinis berupa perubahan status mental dan adanya perpanjangan
status vegetatif. Pada pemeriksaan CT-scan biasanya didapatkan adanya petekie.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat


5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitUrat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan
patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
2. dari 20 cc di daerah infratentorial
3. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
4. tanda fokal neurologis semakin berat
5. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
6. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
7. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
8. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
9. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
10. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

Anda mungkin juga menyukai