Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PKN

NEOLIBERALISME DAN KEMERDEKAAN INDONESIA

Disusun Oleh :
Fenny Liliani

(130801315)

Agustinus Candra

(130801316)

Angelina Cynthia Dewi (130801318)


Beathrine Yumiko

(130801319)

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA


2014

NEOLIBERALISME DAN KEMERDEKAAN INDONESIA


1. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kemerdekaan Indonesia merupakan suatu kemerdekaan yang
didapatkan oleh masyarakat dengan perjuangan heroik untuk melawan
semua penjajah. Kemerdekaan itu diperjuangkan karena masyarakat
Indonesia menginginkan suatu kebebasan yang utuh, dimana melalui suatu
kebebasan, masyarakat dapat dengan leluasa menggunakan segala sesuatu
yang tersedia di alam tanpa ada batasan apapun. Kemerdekaan nasional
adalah suatu kebebasan yang didapatkan oleh masyarakat untuk
menjalankan urusan politik, ekonomi, dan sosial kita sendiri, namun
sejalan dengan konsep negara. Namun sangat disayangkan, seiring dengan
perkembangan zaman, kebebasan itu banyak disalah gunakan oleh
masyarakat dimana kaum yang berkuasa dapat menindas kaum yang
lemah, seperti paham neoliberalisme.
Paham neoliberalisme juga merupakan paham yang menganut
kebebasan individu. Namun, paham neoliberalisme mengajarkan bahwa
yang kuat akan menang, sedangkan yang lemah akan tertindas dan miskin.
Hal inilah yang sekarang terjadi pada bangsa Indonesia. Kemerdekaan
yang seharusnya merupakan suatu nilai dimana semua masyarakat bisa
mendapatkan

apa yang

ada secara rata, namun

dalam paham

neoliberalisme ini semua orang tidak bisa mendapatkan hak dan kewajiban
yang sama lagi. Neoliberalisme yang telah memasuki Indonesia ini
semakin menghilangkan arti kemerdekaan yang sebenarnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin melihat apakah
arti kemerdekaan Indonesia sesungguhnya yang telah diperjuangkan dan
diperebutkan masyarakat Indonesia dari penjajah apakah telah hilang dan
tergantikan dengan paham neoliberalisme yang juga menekankan
kebebasan namun menganut paham yang kuat akan berkuasa dan yang
lemah akan kalah.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka terdapat
beberapa rumusan masalah, yaitu :
1.2.1. Apakah arti kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya?
1.2.2. Apakah arti neoliberalisme?
1.2.3. Apakah neoliberalisme telah menggantikan kemerdekaan Indonesia
sesungguhnya?
1.2.4. Bagaimana pengaruh

neoliberalisme

terhadap

kemerdekaan

Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Bagi Penulis
1.3.1.1.
Menambah wawasan tentang pengaruh neoliberalisme
terhadap kemerdekaan Indonesia.
1.3.1.2.
Menuangkan pendapat penulis

terhadap

pengaruh

neoliberalisme dalam kemerdekaan Indonesia.


1.3.2. Bagi Masyarakat
1.3.2.1.
Sebagai referensi dalam pembuatan makalah.
1.3.2.2.
Membantu masyarakat untuk mengetahui

pengaruh

neoliberalisme terhadap kemerdekaan Indonesia saat ini.


1.3.2.3.
Sebagai bahan perbandingan terhadap makalah yang akan
dibuat pembaca.

2. PEMBAHASAN
2.1. Neoliberalisme
Neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap
kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan
bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi (Harvey,
2005). Neoliberalisme adalah suatu paham yang menggabungkan paham
liberalisme dan paham doktrin pasar bebas yang lebih menunjuk pada
tradisi ekonomi neo-klasik. Paham liberalisme lebih menekankan
kemerdekaan suatu masyarakat dan kebebasan masyarakat untuk dapat

melakukan apa yang menjadi tujuannya, sedangkan tradisi ekonomi neoklasik menekankan adanya pasar bebas yang dapat dilakukan oleh
masyarakat. Neoliberalisme lebih menekankan kebebasan suatu individu
untuk melakukan apapun, sehingga nilai neoliberalisme ini dapat
digunakan untuk menekan nilai-nilai yang dianggap membatasi suatu
kebebasan individu seperti nilai komunisme dan kediktatoran.
Rumusan dasar ini terlihat dalam tulisan-tulisan F. A. Hayek,
intelektual terdepan yang membela paham ini. Hayek menolak segala
bentuk intervensi negara karena dianggap membahayakan pasar dan
kebebasan politik. Baginya, kebebasan adalah tidak adanya coercion, dan
kebebasan yang paling utama adalah kebebasan ekonomi, yang berarti
kebebasan berusaha tanpa kontrol negara. Gray (1998) menyatakan,
karya-karya Hayek bertumpu pada liberalisme klasik, yang menjunjung
hak-hak individu dan keutamaan moral dari kebebasan individu,
keunggulan pasar bebas dan keharusan pemerintah yang terbatas di bawah
supremasi hukum.
Friedman (1962) memiliki pandangan sama. Dia menghormati
liberalisme abad 19, yang menekankan kebebasan individu dan
mendukung laissez faire sebagai cara untuk mengurangi peran negara.
Sebaliknya, dia menganggap liberalisme abad 20 seperti yang
berkembang di USA, terutama setelah 1930, adalah liberalisme yang
terdistorsi oleh intervensi negara. Menurut Friedman (1962), ancaman
utama kebebasan adalah pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, ruang
lingkup kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Tugas pokok pemerintah
adalah melindungi kebebasan melalui penegakan hukum dan ketertiban,
memperkuat kontrak-kontrak swasta, dan melindungi pasar yang
kompetitif. Di sini perlu digaris bawahi, perhatian utama Friedman adalah
kebebasan

dalam

konteks

competitive

capitalism (berfungsinya

korporasi-korporasi swasta dalam sistem berbasis pasar bebas), yakni

sebuah sistem kebebasan ekonomi, untuk kemudian menuju kebebasan


politik.
Paham ini secara praktis tertuang dalam doktrin Washington
Consensus, sebuah agenda teknokratis berisi daftar kebijakan, yang
pertama kali diperkenalkan oleh (eks) Direktur Bank Dunia, John
Williamson, untuk negara-negara Amerika Latin, yang menghadapi defisit
dan inflasi yang tinggi, pada tahun 1989. Disebut Washington Consensus,
karena merupakan kesepakatan kebijakan antara World Bank, IMF, dan
Kementerian Keuangan USA yang berpusat di Washington. Awalnya, ada
10 kata kunci dalam konsensus ini :
1. Disiplin fiskal, dengan menjaga defisit serendah-rendahnya,
karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan
2.
3.
4.
5.

pelarian modal.
Prioritas-prioritas belanja pemerintah
Reformasi perpajakan.
Liberalisasi keuangan.
Nilai tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus

mengadopsi nilai tukar yang kompetitif agar memacu ekspor.


6. Liberalisasi perdagangan, dengan meminimumkan hambatanhambatan tarif dan perizinan.
7. Penanaman modal asing harus dibuat seliberal mungkin, karena
dapat membawa masuk keuntungan modal dan keahlian dari
luar negeri.
8. Privatisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah.
9. Deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah
yang kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan
diskriminasi

terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang

memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat pemerintah di


level lebih tinggi.
10. Penghargaan terhadap hak milik harus ditegakkan, karena
hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat
mengurangi insentif untuk akumulasi modal
Dalam perkembangannya, ada penambahan 10 kata kunci baru :
1. Bank Sentral yang independen.

2. Reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola


sektor swasta.
3. Fleksibilitas tenaga kerja.
4. Pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan WTO dan harmonisasi
standar-standar nasional dengan standar-standar internasional.
5. Penguatan sistem keuangan nasional untuk memfasilitasi
liberalisasi.
6. Pembangunan berkelanjutan.
7. Perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring
pengaman sosial.
8. Strategi pengurangan kemiskinan.
9. Adanya agenda kebijakan pembangunan nasional.
10. Partisipasi demokrasi
(M. Beeson & I. Islam, 2006).
Tampak jelas, neoliberalisme mengagung-agungkan pasar di atas
segala-galanya. Karena, pasar dipandang memiliki cara, mekanisme, dan
kesucian sendiri untuk mengurusi dirinya secara spontan. Jauh-jauh hari,
sejarawan ekonomi Karl Polanyi menamakan pandangan ini untuk
kemudian dikritiknya, yakni pasar yang memiliki kemampuan mengatur
dirinya sendiri (self-regulating market), tanpa atau peranan negara
sekecil-kecilnya (minimal state).
Pandangan radikal ini memperoleh kritik keras. Para pengkritik
menganggap, penempatan pasar sebagai sesuatu yang terisolasi dari
kekuasaan politik, kurang lebih hanya mimpi belaka. Polanyi dalam
bukunya The Great Transformation, menyebutkan embeddedness, di
mana ekonomi bukan dunia yang otonom, tetapi secara historis
tersubordinatkan ke dalam politik dan sosial. Polanyi menolak selfregulating yang mengharuskan masyarakat tunduk kepada logika pasar.
Dia menentang fundamentalisme pasar, karena dianggapnya hanya ilusi.
Apa yang disebut self-regulating market, dengan menendang negara
keluar dari ekonomi, seperti dijanjikan penyanjung neoliberal, hanya
utopia.
2.2. Sejarah Neoliberalisme

Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di


Indonesia, yaitu oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi
Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof
ekonomi terkemuka pasca-Perang Dunia II Walter Euchen, Friedrich
von Hayek, dan Wilhelm Ropke. Mereka menuntut adanya peraturan yang
menjamin lancarnya persaingan bebas dalam kehidupan ekonomi seperti
ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak negara,
pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian
yang

tepat

mengenai

tanggung

jawab

perusahaan

dan

politik

perekonomian yang sesuai.


Secara umum, paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalisme
atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggris abad ke-17 M,
Thomas Hobbes dan John Locke. Aliran ini berkembang pesat pada abad
ke-18 M. Menurut dua filosof ini, dalam kodratnya manusia bukanlah
mahkluk altruistik atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung
pula tidak kooperatif atau bekerja sama dengan sesama anggota
masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale)
adalah mengutamakan kepentingan pribadi.
Dalam bukunya Leviathan, Thomas Hobbes mengatakan bahwa
manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
Semboyannya yang lain yang terkenal ialah a war of all against all.
Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu, harus ada
negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki
absolut. Bentuk kekuasaan absolut ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis
IX yang terkenal dengan semboyannya Le`etat est moi (negara adalah
saya).
Dengan jalan pikiran yang sama, John Locke membawa
liberalismenya ke tempat lain. Kebebasan, menurutnya, tak punya nilai
intrinsik. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia
menunjuk properti sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau
hidup bermasyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat

dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat. Lebih jauh baginya,


kehidupan sosial tak lebih daripada gelanggang persaingan bebas antar
individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang
ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur
tangan negara.
Berdasarkan pemikiran kedua filosof abad ke-17 itu, Adam Smith
(1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi.
Menurutnya, pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar. Di sini,
liberalisme, dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai pemeliharaan
kebebasan individu untuk berjual-beli dan saling bersaing dengan bebas
di pasar. Motivasi jual beli bukan kerja sama, melainkan kepentingan
pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap
orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing .
Dalam bukunya An Enquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of Nations (1776), Adam Smith mengatakan bahwa sebagai
mahkluk ekonomi, manusia cenderung memburu kenikmatan dan
keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Jika tabiat bawaan
manusia yang individualistik, egosentrik dan condong pada kebebasan ini
dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/negara, dengan
sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari faktor-faktor produksi,
pemerataan dan keadilan, kebebasan, dan dengan demikian inovasi dan
kreativitas dapat berkembang.
Bersumber dari pemikiran Adam Smith, pada akhir abad ke-18
bersamaan dengan berkobarnya Revolusi Perancis dan lahirnya Revolusi
Industri di Inggris, lahir pula dua aliran pemikiran yang dominan, yaitu
individualisme di bidang hukum dan antropologi filsafat, dan ide pasar
terbuka yang berkaitan dengan perkembangan industri. Menurut paham
inidividualisme, manusia yang lahir dengan bawaan bebas dan hidup
bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya. Paham ini sangat dominan
pada abad ke-20 dalam kehidupan politik, ekonomi, dan seni.

Aliran kedua berkenaan dengan berpindahnya pusat usaha dari


kaum merkantilis (pedagang) ke tangan kaum industrialis. Kaum industri
yang menguasai modal ini pantang berkoalisi seperti partai-partai politik,
dan hanya bisa membuat persekutuan modal dalam bentuk perseroan
terbatas. Semakin lama, persekutuan ini kian kuat dan mengancam
kehidupan kaum pekerja yang dilarang berserikat. Dari perkembangan
inilah, lahir badan-badan monopoli atau oligopoli yang sangat berkuasa.
Tetapi sebagai hasil dari perjuangan kaum sosialis, negara-negara industri
di Eropa memperkenankan kaum buruh membentuk serikat pekerja untuk
memperjuangkan nasibnya.
Pada awal abad ke-20, zaman keemasan individualisme ekonomi
mulai pudar. Perang Dunia I (1914-1918) mendorong negara-negara
kapitalis memberlakukan banyak aturan yang mengekang sistem pasar
bebas. Krisis ekonomi pada dekade 1920-an juga mendorong negaranegara Eropa untuk menyusun industrinya masing-masing dengan
berbagai proteksi. Pada tahun 1929, krisis hebat melanda kapitalisme
disusul dengan bayangan bangkitnya kembali Fasisme Jerman dan Italia.
Berbagai regulasi diberlakukan agar ekonomi rakyat tidak ambruk. Pada
masa inilah, gagasan ekonomi terpimpin atau yang semacam itu mulai
diterapkan di beberapa negara Eropa.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, seorang ahli ekonomi
terkenal, Karl Polanyi menerbitkan buku yang kemudian masyur The
Great Transformation (1944). Dia mengecam keras masyarakat industri
kapitalis yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada sistem pasar
bebas. Dengan mengakui mekanisme pasar sebagai satu-satunya penentu
nasib manusia dan kondisi alam lingkungannya, kata Polanyi,
kerusakan besar akan menimpa masyarakat. . Kerusakan itu tidak akan
terjadi jika kepentingan masyarakat tidak diabaikan di atas kepentingan
individu.
Pandangan Polanyi dan lain-lain berpengaruh besar di dunia,
ditopang lagi dengan Perang Dingin antara Blok Barat yang kapitalis

dengan Bolok Timur yang sosialis-komunis. Neo-liberalisme untuk


sementara waktu harus bertiarap.
Memasuki
dekade
1970an,

sistem

sosialisme

mulai

memperlihatkan kegagalan dan negara-negara industri mulai mengalami


krisis. Keyakinan akan keunggulan sistem pasar bebas mulai bertunas
kembali. Pada tahun 1974, Robert Nozick, seorang filosof politik
Amerika, menerbitkan buku Anarchy, State and Utopia yang kemudian
masyur dan dianggap sebagai tanda nyata lahirnya kembali liberalisme
dalam bentuknya yang baru. Dalam bukunya itu, Nozick mengatakan
bahwa tugas negara bukanlah memaksakan sistem dan pola tertentu bagi
kehidupan warga negara, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, dan
kebudayaannya.
Menurutnya,

gagasan

tentang

keadilan

dan

pemerataan

bertentangan dengan kodrat manusia yang menginginkan kebebasan


penuh. Negara karenanya tidak boleh melakukan intervensi atas apa yang
berlalu di pasar. Biarkan pemodal dengan modalnya saling bersaing.
Peranan negara dengan demikian harus ditekan seminimal mungkin dalam
kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Urusan negara yang
terpenting adalah menentukan kebijakan luar negeri. Berdasar pemikiran
Nozick, seorang ahli ekonomi terkenal dari Universitas Chicago,
Friedrich von Hayek dan para pengikutnya seperti Milton Friedman
mengembangkan pemikiran yang dikenal dengan sebutan ekonomi pasar
bebas atau neo-liberalisme.
Pada akhir 1970an, gagasan neo-liberalisme mulai tersebar luas
dan diterima banyak sarjana dan pemimpin negara maju. Antara lain
Ronald Reagan dan Margareth Tatcher. Tatcher sendiri adalah seorang
pengikut von Hayek, yang meyakini kebenaran teori Darwin tentang
survival of the fittest. Begitu terpilih jadi PM Inggris pada tahun 1979, ia
mencanangkan doktrin neo-liberalismenya yang dikenal dengan sebutan
TINA (There is No Alternative). Dalam doktrinnya itu, dikemukakan
keutamaan persaingan bebas dalam kehidupan manusia, termasuk

persaingan antar bangsa, negeri, perusahaan besar, dan umat berbeda


agama, serta persaingan antar individu dalam masyarakat
Persaingan bagi Tatcher adalah kebajikan tertinggi. Akibat-akibat
daripadanya tidak boleh dipandang buruk. Pasar adalah pusat kebijakan
dan kebajikan tertinggi, menggantikan peranan Tuhan. Sebagaimana
Tuhan pula, ia dapat menelurkan kebaikan dari sesuatu yang tampaknya
jahat dan buruk. Melalui kebijakannya itu, sektor publik dihancurkan.
Akibatnya, antara tahun 1979-1995, jumlah pekerja di Inggris dikurangi
dari 7 juta menjadi 5 juta. Sementara itu income yang diperoleh negara
dari pajak bukannya digunakan untuk kepentingan publik, melainkan
untuk menutupi hutang perusahan-perusahaan besar dan memberikan
suntikan modal baru agar bangkit kembali dari kebangkrutan.
2.3. Ciri-Ciri Neoliberalisme
Ada lima ciri pokok Neoliberalisme :
1. Kekuasaan pasar
Membebaskan usaha bebas atau usaha swasta dari ikatan
apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli
seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya.
2. Memangkas pembelanjaan pubil untuk layanan sosial
3. Mengurangi jaringan pengamanan bagi kaum miskin
Biaya perawatan jalanan, jembatan, persediaan air - lagilagi atas nama mengurangi peran pemerintah. Tentunya, mereka
tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.
4. Deregulasi
Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang
dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup
dan keamanan tempat kerja.
5. Privatisasi
Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa
milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri
kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan
bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi
yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama
berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang

jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus


membayar lebih untuk kebutuhannya.
6. Menghapus konsep Barang Publik atau Komunitas
Menggantikannya dengan tanggung-jawab individu.
Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari
solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan
dan keamanan sosial mereka - kemudian menyalahkan mereka, bila
gagal, karena malas.
2.4. Kemerdekaan Indonesia
Pada Maret 1945, Jepang membentuk sebuah komite untuk
kemerdekaan Indonesia. Setelah perang Pasifik berakhir pada tahun 1945,
di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang pada saat itu
sedang bulan Ramadhan.
Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno,
Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai
presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk
menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.
Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini
kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai 'aksi kepolisian' (Politionele
Actie), atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer. Belanda
akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949
sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah
mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutama
Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950,
menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia dan
membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi
presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai
mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian

menjadi lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Cina
dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi
militer

terhadap

negara

tetangga,

Malaysia

("Konfrontasi"),

dan

ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar.


Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang
menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah
lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang
segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang
kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah, serta
mengganti ideologi nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis.
Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan
lama di bawah Presiden Soekarno.
Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967, dengan
alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara
itu, kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto
berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak
komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang
sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan
akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga puluh dua tahun masa
kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan
Soekarno disebut Orde Lama.
Soeharto

menerapkan

ekonomi

neoliberal

dan

berhasil

mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia,


sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak
merata. Pada awal rezim Orde Baru, kebijakan ekomomi Indonesia
disusun oleh sekelompok ekonom lulusan Departemen Ekonomi
Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".
Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya

dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan


kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.
2.5. Neoliberalisme dan Kemerdekaan Indonesia
Sesuai dengan paham neoliberalisme yaitu paham yang menganut
kebebasan individu, dimana kebebasan individu menjadi hal yang
diutamakan. Hal ini mengakibatkan individualisme meningkat. Terlihat
dari kesenjangan sosial yang tampak pada kehidupan berbagai lapisan
masyarakat, dimana yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin
menjadi semakin miskin.
Sehingga, meskipun

negara

Indonesia

sudah

merdeka,

kesejahteraan hanya dirasakan oleh sebagian masyarakat yang memiliki


kekuasaan dan harta. Hal ini menunjukkan adanya ketidak merataan
kesejahteraan

dalam

masyarakat.

Dapat

disimpulkan

bahwa,

kemerdekaan yang ada sekarang bukanlah merupakan kemerdekaan yang


sesungguhnya, hanya bersifat teoritis, tidak sesuai dengan sila kelima
dalam Pancasila, yaitu tidak terciptanya keadilan sosial yang merata bagi
seluruh rakyat Indonesia.

3. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang sudah disampaikan, maka ada beberapa
kesimpulan mengenai neoliberalisme dan kemerdekaan Indonesia, yaitu :

1. Kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya adalah kemerdekaan yang


diperjuangkan oleh masyarakat untuk dapat bebas melakukan apapun
dan juga leluasa menggunakan segala sesuatu yang tersedia di alam
tanpa batas apapun.
2. Neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap
kemerdekaan

dan

kebebasan

individu

melalui

pasar

bebas,

perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan


pribadi.
3. Neoliberalisme di Indonesia semakin menggeser arti kemerdekaan
karena paham neoliberalisme mengutamakan kepentingan individu,
sehingga hanya

segelintir

masyarakat

yang

dapat merasakan

kesejahteraan, malah semakin mempertajam kesenjangan sosial,


sehingga sila ke-5 dalam Pancasila tidak diterapkan (ketidakmerataan
keadilan dan kesejahteraan sosial)
4. Pengaruh neoliberalisme terhadap kemerdekaan Indonesia adalah
menggeser arti kemerdekaan yang sesungguhnya, yang tidak sesuai
dengan sila-sila Pancasila, khususnya sila ke-5.
3.2. Saran
Kami menyarankan agar sebaiknya paham

neoliberalisme

dihapuskan, karena selain menggeser arti kemerdekaan bangsa Indonesia


yang sesungguhnya, paham neoliberalisme juga tidak sesuai dengan silasila Pancasila, khususnya sila ke-5.

DAFTAR PUSTAKA
Hayek, F.A. 1994. The Road to Serfdom. University of Chicago Press, Chicago.
Gray, J. 1998. Hayek on Liberty. Routledge, London.
Friedman, M. 1962. Capitalism and Freedom. The University of Chicago Press,
Chicago.
M. Beeson & I. Islam. 2006. Neo-liberalism and East Asia: Resisting the
Washington Consensus, dalam K. Hewison & R. Robison (eds.) East Asia
and the Trials of Neo-Liberalism. Routledge, London.

Anda mungkin juga menyukai