Anda di halaman 1dari 7

MENGGALI POTENSI SUMBERDAYA LAUT INDONESIA

Prof Dr Yusni Ikhwan Siregar MSc, Dipl MS 1)


Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan UR
Kampus Bina Widya Panam, Pekanbaru Riau

MAKALAH
Disampaikan Pada Workshop Forum Rektor Indonesia
USU Medan 5-6 Maret 2015.

1)

Dosen Pada Fakultas Perikanan dan Kelautan, UR Pekanbaru Riau

MENGGALI POTENSI SUMBERDAYA LAUT INDONESIA


Prof Dr Yusni Ikhwan Siregar MSc, Dipl MS
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan UR
Kampus Bina Widya Panam, Pekanbaru Riau
1. Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dimana sebagian besar wilayahnya
terdiri dari laut, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki Sumber Kekayaan
Alam Laut (SKAL) yang menjanjikan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai
penggerak utama (prime mover) pembangunan nasional. Namun selama tigadasawarsa
pembangunan nasional, potensi di bidang kelautan (ekonomi kelautan) masih diposisikan
sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) serta tidak menjadi arus utama dalam
kebijakan pembangunan nasional.
Banyak kajian dan laporan tentang potensi kekayaan laut hayati dan non-hayati
Indonesia telah dipublikasikan mencakup:
1) Lautan Indonesia merupakan wilayah Marine Mega-Biodiversity terbesar di
dunia, memiliki 8.500 species ikan, 555 species rumput laut dan 950 species
biota yang berasosiasi dengan ekosistim terumbu karang
2) Laut Indonesia dan selat-selatnya merupakan alur transportasi Internasional
yang ramai, menghubungkan antara Benua Asia, pantai Barat Amerika dan
Benua Eropa
3) Tiga lempeng tektonik (lempeng Eurasia; Indo-Australia dan Lempeng
Pasifik), bertemu di wilayah Indonesia. Pertemuan lempeng tektonik tersebut
memicu terjadinya gunung api, serta gempa bumi. Secara bersamaan, keadaan
ini merupakan prasyarat pembentukan sumberdaya mineral, minyak bumi dan
gas di darat maupun laut
4) Arus laut dari Samudera Pasifik melewati Kepulauan Indonesia menuju
Samudera Hindia.

Karakteristik oseanografi khas Indonesia merupakan

indikator muncul dan lenyapnya El-nino dan La-nina, yang mempengaruhi


perubahan iklim global, dan berdampak pada kemarau panjang, banjir, gagal
panen, kebakaran hutan serta naik turunnya produksi perikanan

1.2 Potensi Sumberdaya Laut


Potensi sumberdaya kelautan terdiri atas: (1) Sumber daya dapat pulih (ikan dan
biota lainnya, terumbu karang, hutan mangrove, pulau-pulau kecil). (2) Sumber daya
tidak dapat pulih (minyak dan gas, bahan tambang dan mineral).(3) Energi kelautan
(gelombang, pasang surut, Ocean Thermal Energy Conversion, angin).(4) Jasa
lingkungan (media transportasi, komunikasi, iklim, keindahan alam, penyerap limbah).
Potensi kelautan Indonesia diperkirakan 1.2 trilliun USD, yang dapat menyerap
tenaga 40 juta tenaga kerja. Dari potensi tak tereksploitasi (sleeping potency), kontribusi
seluruh sektor kelautan (11 sektor)

terhadap PDB Indonesia terhitung 20 %.

Diperhitungkan sekitar Rp 300 trilliun potensi ini hilang dari illegal, unreported and
auregulated fishing (IUUF), yang merupakan kerugian besar bagi bangsa Indonesia.
Selanjutnya dikatakan 70% produk Indonesia dieksport melalui Negara Singapura
(Dahuri, 2014).
Ironis dan paradoksal dengan kekuatan potensi sumberdaya laut, pada
kenyataannya

geliat ekonomi sektor perikanan belum sesuai harapan. Masyarakat

nelayan Indonesia, sebagai pemangku kepentingan utama perikanan, masih tertinggal


dan menjadi masyarakat terpinggirkan, karena belum memperoleh keuntungan dan
manfaat dari pengelolaan sumberdaya laut.
Indonesia memiliki potensi dan kekayaan laut langsung seperti meliputi perikanan
(ikan pelagis dan demersal, udang, kekerangan, rumput laut). Potensi produk terpasarkan
langsung ini (market) terus menjadi peraup devisa yang terus meningkat. Disi lain,
potensi tak langsung bukan barang (non-market) pariwisata bahari masih perlu
dikembangkan, demikian juga potensi energi terbarukan (antara lain : arus laut, pasang
surut, gelombang laut, Ocean Thermal Energy Convertion), mineral di dasar laut, minyak
dan gas bumi, pelayaran, industri maritim, dan jasa kelautan, masih potensial untuk
dikembangkan. Diperkirakan potensi tersebut mencapai nilai US$ 171 milyard per tahun,
secara detail dapat dikemukakan sebagai berikut: Perikanan: US$ 32.000.000.000/th
(IPB, 1997), Wilayah pesisir: US$ 56.000.000.000/th (ADB 1997), Bioteknologi: US$
40.000.000.000/th

(PKSPL-IPB,

1997),

Wisata

Bahari:

US$

2.000.000.000/th

(DEPBUDPAR, 2000), Minyak bumi: US$ 21.000.000.000/th (ESDM 1999) dan


Transportasi laut: US$ 20.000.000.000/th. (Sutisna DH, 2012).
Potensi sumber daya perikanan menjanjikan besar baik dari segi kuantitas maupun
keanekaragamannya. Potensi lestari (maximum sustainable yield/MSY) sumber daya
perikanan tangkap diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Sedangkan potensi yang
dapat dimanfaatkan (allowable catch) sebesar 80% dari MSY yaitu 5,12 juta ton per
tahun. Namun demikian, telah terjadi ketidakseimbangan tingkat pemanfaatan sumber
daya perikanan antar kawasan dan antar jenis sumber daya. Di sebagian wilayah telah
terjadi gejala tangkap lebih (over-fishing) seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka,
sedangkan di sebagian besar wilayah Timur Indonesia tingkat pemanfaatannya masih di
bawah potensi lestari. (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Potensi dan Wilayah Pengelolaan Penangkapan (WPP) Ikan Indonesia.
(Sumber, DKP 2012).

2. Potensi dan Pengelolaan Sumberdaya Laut (SDL) Yang Berkelanjutan


Potensi sumberdaya laut baik hayati maupun non hayati belum sepenuhnya
dipahami

bangsa

Indonesia.

Untuk

memahami

potensi

laut perlu dukungan

penelitian/riset dasar dan terapan. Salah satu kekurangan kita adalah kurangnya upaya
riset oleh anak bangsa sendiri, sehingga tidak mampu memahami dan mengeksploitasi
potensi sumberdaya laut. Dari total 29668 artikel riset (SciVerse Scopus) kelautan
keterlibatan Institusi Riset Indonesia terhitung 11% dan periset Indonesia 14% (Lakitan,
B., 2012). Untuk itu pemerintah mendorong peneliti Indonesia untuk meningkatkan
intensitas dan produktivitas riset serta meningkatkan relevansi riset dengan pengelolaan
sumberdaya laut Indonesia.
Potensi dan kekayaan yang dimiliki begitu besar, namun bidang kelautan belum
mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dan masyarakat, dapat terlihat bidang
perikanan dan kelautan belum dijadikan pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan
Nasional. Sesungguhnya potensi yang ada di laut dapat diibaratkan sebagai Sleeping
Giant (raksasa sedang tidur). Untuk itu perlu kita bangunkan bagi peningkatan dan
kehidupan penghela ekonomi masyarakat Indonesia.
Potensi dan persoalan sumberdaya laut yang muncul akhir akhir ini adalah illegal
fishing, pencemaran laut dan perdagangan illegal di laut. Riset perlu diarahkan terkait
bioteknologi pemanfaatan biodiversitas laut, teknologi eksplorasi tambang nonhayati
(biogenic gases, energy). Namun

perlu menyeimbangkan antara pemanfaatan dan

keberlanjutan lingkungan sesuai dengan konsep blue economy yang menjadi perhatian
dunia.
3. Pendekatan Ekonomi Biru (Blue Economy)
Pembangunan kelautan hendaknya diarahkan untuk meraih empat tujuan secara
seimbang. Pertama, pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan (blue-economy).
Kedua, peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para nelayan. Ketiga,
pembudidayaan ikan, dan masyarakat kelautan

lainnya

yang berskala kecil.

Terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumber daya kelautan. Keempat, menjadikan


laut sebagai pemersatu dan tegaknya kedaulatan bangsa.

Sebagai bagian integral dari planet dan komponen mutlak penting kehidupan,
lautan berperan sentral. Faktanya lautan dan kawasan pesisir merupakan penyumbang
utama ekonomi global dan fundamental bagi masyarakat dunia melalui aktifitas ekonomi
langsung, provisi jasa-jasa lingkungan dan tempat tinggal bagi manusia. Lebih dari
40% manusia bermukim dalam kisaran 100 km dari pantai, 1 dari 20 kota besar dunia
terletak dekat ke

pantai dan hampir 700 juta manusia bermukim pada dataran

rendahsekitar 10 m di atas permukaan laut. Manusia telah ratusan tahun mengelola


pemanfaatan laut dan ekosistim pesisir, dan isu degradasi laut terkait dengan pencemaran,
lebih tangkap, destruksi habitat dan tergerusnya keanekaragaman hayati telah menjadi
isu pokok. Hal ini diperburuk oleh gejala perubahan iklim, kenaikan suhu laut dan
asidifikasi laut (UNEP 2011).
Semakin disadari pentingnya lautan dalam menopang sistim kehidupan manusia
yang mencakup jasa biologi, regulasi, kultur dan keindahan. Jasa ini berkontribusi
penting terhadap ekonomi ramah lingkungan (blue-green economy) sebagaimana
dianjurkan dalam RIO+20. Ekonomi hijau biru dimaksudkan sebagai suatu kerangka
integral pembangunan ekonomi dunia ke depan dari eksploitasi laut. Konsep ini
menghimpun proteksi dan restorasi ekosistem laut dan keanekaragaman hayatinya,
perubahan pengelolaan perikanan dan budidaya, pengembangan pasar karbon biru (blue
carbon market), pengelolaan pesisir dan laut terpadu (ICZM), adaptasi terhadap naiknya
paras muka laut, adopsi rosot karbon laut, dan pengelolaan dasar laut aktif (FAO 2011).
3.1 Konsep Ekonomi Hijau Biru (Blue-Green Economy)
Istilah ekonomi biru telah diperkenalkan dan digunakan oleh Negara Negara
Kepulauan Kecil Pasifik, yang menekankan upaya mereka akan pentingya konservasi dan
pengelolaan lestari sumberdaya alam dari ekosistem laut. Selanjutnya pertemuan di Apia
merupakan suatu kesempatan untuk lebih lanjut mengembangkan pemahaman tentang
tujuan Rio+20 dan konsep serta prioritas (RIO+ Pasific 2011).
Prioritas ekonomi biru berfokus pada tiga tujuan terkait laut yang telah
diidentifikasi oleh dan penting bagi Negara kepulauan:

1) peningkatan keuntungan yang diterima Negara kepulauan kecil dari pemanfaatan


sumberdaya dan ekosistem laut mereka.
2) mengurangi lebih tangkap yang melampaui MSY
3) membangun kealamiahan (resilience) ekosistem laut, dan terumbu karang,
terhadap dampak perubahan iklim dan pengasaman laut, diantara dampak lain.
Ekonomi biru merukanan konsep yang melampaui tujuan keberlanjutan, dimana
dalamnya mengandung prinsip ; (1) efisiensi alam (2) tanpa limbah; tidak meninggalkan
limbah-air limbah dari sesuatu menjadi makanan untuk yang lainnya (3) keterlibatan
aspek social, mencukupi sendiri, kesempatan kerja orang miskin (4) sistim produksi daur
ulang, generasi dan regenarasi tak habis, penyeimbangan produksi dan konsumsi dan (5)
innovasi dan adaptasi tiada akhir (6) Innovasi terbuka akhir produksi.
Relevansi ekonomi hijau pada ekosistem laut mencakup ; (1) penghijauan tidak
hanya meningkatkan kekayaan dalam

janka panjang , tapi juga meningkatan

pertumbuhan GDP, (2) ada kaitan jelas antara pengurangan kemiskinan dan proteksi dan
restorasi lebih baik dari habitat, sumberdaya perikanan laut dan keanekaragaman hayati
(UNEO, 2011).

Anda mungkin juga menyukai