Anda di halaman 1dari 10

berada lagi di sini, aku payah mencari obat.

Selamat tinggal, Sin-tong dan sekal


i lagi terima kasih."
"Selamat jalan, Lo-enghiong, semoga lekas sembuh."
Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh l
agi dan berkata, "Benar-benarkah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi,
Sin-tong?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab.
"Sin-tong, siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Aku disebut Sin-tong, biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega men
olak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."
Sin-hek-houw menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-ge
leng dan mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib..sayang..!" Dan dia mengepal
tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan menganggu bocah yang di
kaguminya itu.
Beberapa hari kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Liong,
makin banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di
dunia kang-ouw tentang dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Si
n Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali ti
dak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak
pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang
didengarnya itu.
*****
Beberapa pekan kemudian, pagi hari dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san
tampak berjalan seorang kakek seorang diri, menoleh ke kanan dan kiri seolah-ola
h menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu, kakek ini usianya tentu suda
h enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan wajah
nya membayangkan kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu menyungging s
enyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di k
aki Pegunungan Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat b
utut yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua
sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupn
ya serba kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kur
ang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu s
enang. Buktinya ketika dia mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka mulu
tnya dan bernyanyi pula! Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan
membuat setiap orang yang mendegarnya mengerutkan kening, karena selain aneh, ju
ga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya!
"Apa artinya hidup kalau hati tak senang?
Apa artinya hidup Kalau segala keinginan tak terpenuhi?
Puluhan tahun mempelajari ilmu
Bekal memenuhi segala kehendak
Berenang dalam lautan kesenangan
Matipun tidak penasaran!" (6)
Berkali-kali pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya
halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketuk
an tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung
tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendir
i tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi ton
gkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Ada
pun kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggal
kan bekas.
Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan
orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri d
ari 12 orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seoran
g wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan
pinggang ramping. 12 orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian

mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan
mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang k
ang-ouw melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak salah
, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sa-sin-hiap (13 Pendekar
Sakti) murid-murid utama dari Partai Besar Bu-tong-pai!
"Tahan dulu, para suheng!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke a
tas dan memperingatkan para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkat
a, "Lihat ini....!"
Tiga Belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jara
knya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang
.
"Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut.
"Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang.
"Dan jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis
Berlengan Delapan), tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita men
gejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata o
rang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka sep
erti harimau.
Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongka
t Pat-jiu kai-ong, maka tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata
masing-masing dan tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan keti
ka tiga belas orang itu mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari
cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu.
Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. T
iga belas orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita diantara mereka
mengomel lirih, "Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan
dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya me
lebihi iblis sendiri!"
"Sssssttt, Sumoi, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak d
ahulu, Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun ju
ga, tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia se
cara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan per
tempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua sutenya men
gangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut kepadanya?" Dia mel
intangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The Kwat Lin ini, terkenal berhati
keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan
apabila dia terhitung seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang terkenal di dunia
kang-ouw.
"Sumoi, kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu-tong-pai menana
m bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Kar
ena itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua
!"
Karena maklum bahwa dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suh
eng ini selain paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kw
at Lin mengangguk biarpun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia mer
asa tidak puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya. Cap-sha Si
n-hiap mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, disegani kawan ditakuti lawan, ma
sa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar?
Suara nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek
itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas
orang pendekar Bu-tong-pai itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka
, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di depan ka
kek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali.
Kakek pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan k
etika pandang matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak menyembunyikan ke
kagumannya. Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh
-eh, apakah kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian
? Aku seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"
"Harap Locianpwe tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah Pat-j
iu Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat. Locian

pwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"


Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga s
impatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru men
genal nama kakek sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi apak
ah benar mereka berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya seperti
iblis, karena kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah! (7)
****
Ha..ha..ha, sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyika
n diri. Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, bi
arpun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan c
antik," dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum, "Tidak keliru dugaan kalian ak
u adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang tong
kat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian menghadang perjal
ananku?"
"Kami adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah
terlanjur, maka percuma saja twa-suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya.
"Benar, kami adalah murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu den
gan hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka kart
u dan mengaku bahwa mereka dari Bu-tong-pai, berarti membawa-bawa nama perkumpul
an mereka.
"Ha..ha..ha, bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan
cantik sepanjang kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak p
ernah berurusan dengan Bu-tong-pai."
Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermus
uh, twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi karena dia maklum orang
macam apa adanya kakek di depannya ini, dan betapa Sin-tong yang mereka dengar
merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia dengan p
engetahuan yang tepat mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka tet
ap saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek dat
uk sesat ini bertemu dengan anak itu.
"Apa yang Locianpwe katakan memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai
, tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pa
i juga tidak berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami menden
gar berita bahwa diantara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat kepada
anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang berdiam di dal
am Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe sekarang sedang menuju
ke hutan itu?"
Mulai berubah wajah kakek itu mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tet
api sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembir
aannya dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.
"Hemmm, orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi
Sin-tong, kalian mau apakah?"
Tiga belas orang anak murid Bu-tong-pai itu sudah dapat "mencium" keadaan yang m
embuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya hal
us budi itu dan ramah ini mulai memperlihatkan "tanduknya" atau watak sesungguhn
ya.
"Locianpwe, kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak m
engganggu Sin-tong."
"Apamukah bocah itu?"
"Bukan apa-apa, Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak me
nolong orang tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban se
mua orang gagah di dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya."
Makin nampak perubahan hebat pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap d
an mulutnya menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suarany
a berubah kaku, ketus dan memandang rendah. "Anak-anak kurang ajar! Apakah Si Tu
a Bangka Kui Bho Sanjin yang mengutus kalian?"
"Guru kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini da
n mendengar akan Sin-tong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu

sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong,
kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya."
"Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku aka
n mencelakai Sin-tong?"
Tiga belas pendekar Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus
terang, maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang p
ula.
"Siapa yang tidak mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu ibl
is yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Hitam Tangan Darah)?" Tiba-tiba Kwat L
in berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. Para suhe
ngnya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam
hati mereka terkandung tuduhan ini.
Ilmu Hiat-ciang hoat-sut adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari o
leh kaum sesat karena ilmu ini membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimp
un kekuatan hitam dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-a
nak yang masih bersih darahnya! Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnak
an ilmu iblis ini, Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah,
otak dan sumsum seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari d
arah, otak dan sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya!. (8)
Tiba-tiba kakek itu tertawa lebar, "Hah-hah-hah-hah, memang benar! Dan satu-satu
nya bocah yang akan menyempurnakan ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan han
ya suka minum dan menghisap darah, otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku b
ukannya tidak suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!"
"Singggg! Singggg...!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga bel
as buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar
itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawa-tawa.
"Heh-heh, kalian mau coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian m
asih muda-muda harus mati, kecuali Nona manis. Andaikata Si Tua Bangka Kui Bhok
Sanjin berada disini sekalipun, dia juga tentu akan mampus kalau berani menentan
g Pat-jiu Kai-ong!"
"Serbu dan basmi iblis ini!" Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang
maju dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul de
ngan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehin
gga terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua set
an dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan kakek itu. Hebatnya, suar
a pekik dan tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar itu seketika seperti b
erubah menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan untuk beberapa detik mereka han
ya bengong memandang kakek itu dan jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut
.
Twa-suheng mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Saicu-ho
kang (Ilmu menggereng seperti singa berdasarkan khikang)!"
Seruan ini menyadarkan para sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinki
ng sehingga pengaruh Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan geraka
nnya.
"Sing-sing.... siuuuut.... trang-trang-trang..Heh-heh-heh!"
Gulungan sinar pedang-pedang yang menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai ju
rusan, dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar deng
an cepatnya oleh Pat-jiu kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika
merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedan
g mereka tertangkis tongkat. Hal ini menandakan bahwa Si kakek benar-benar amat
lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan b
utut dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ke
tajaman pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap
adalah pedang-pedang pusaka yang ampuh.
****

"Ha..ha..ha, inikah Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu-tong-pai yang
terkenal? Ha..ha, tidak seberapa!" Sambil menggerakan tongkatnya menangkis seti
ap sinar pedang yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek.
"Bentuk Sin-kiam-tin (Barisan Pedang Sakti)!" Teriak si Twa-suheng melihat betap
a kakek itu benar-benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat
ditangkis dengan mudahnya.
Tiba-tiba tiga belas orang pendekar itu merobah gerakan mereka, kini mereka tida
k lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung da
n mengelilingi kakek itu, sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan b
erantai yang susul menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu.
Diam-diam kakek itu terkejut. Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu
menyerangnya dari kedudukan tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan N
go-heng-kiam, namun dia sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat mengg
erakan tongkat secara otomatis untuk menangkis semua pedang yang datang menyamba
r. Akan tetapi sekarang, sukar sekali menentukan dari mana serangan akan datang,
dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing.
Marahlah Pat-jiu Kai-ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan
memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah m
ereka menggunakan Sin-kiam-tin dia tahu bahwa kalau dia tidak cepat mendahului m
ereka, dia bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui Bhok
San-jin, ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang demikian l
ihainya.
Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi
merah sekali, merah darah!
"Hati-hati terhadap Hiat-ciang Hoat-sut!" Si Twa-suheng berseru keras ketika mel
ihat perubahan warna tangan kiri kakek itu.
Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat da
ripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tanga
n kiri merah itu mendorong ke depan.
"Prak-prak...dessss!"
Tiga orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh ton
gkat, sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, rob
oh dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti te
rbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan mau
t yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan beta
pa hebatnya kalau kakek ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang bo
cah ajaib seperti Sin-tong!. (9)
Sepuluh orang pendekar Bu-tong-pai terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan
serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong
memekik dahsyat sambil bergerak menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh da
n tewas. Serangan ini diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pe
ngeroyoknya untuk membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat sep
erti itu dan akibatnya, dua belas orang diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-p
ai itu tewas semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup
tinggal The Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan
kini sambil tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat Lin.
Dapat dibayangkan betapa perasaan dara itu melihat dua belas orang suhengnya tel
ah tewas semua! Dua belas orang suhengnya yang selama ini berjuang sehidup semat
i dengannya, kini telah menjadi mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seol
ah-olah mayat dua belas orang itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri
tersenyum di depannya.
"Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru mengandung isak
tertahan. "Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke a
rah dada lawan dengan kebencian meluap-luap.
Namun dengan gerakan seenaknya kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping meng
hantam pedang yang menusuknya. "Krekkk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas
dari pegangan Kwat Lin! Dara itu membelalakan matanya dan melihat pandang mata
kakek itu kepadanya, melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba
dia membalikan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat u

ntuk membenturkan kepalanya pecah pada batang pohon itu! Kwat Lin melihat ancama
n bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, maka setelah yakin bahwa d
ia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat untuk me
mbunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.
"Bukkkkkk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak da
n tubuhnya berada dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan telah berada di
situ menghadangnya di depan pohon!
"Lepaskan aku!!" Kwat Lin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh kake
k itu, jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan langkah gon
tai, kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas pa
ra penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk dengan muka puc
at dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor kelinci muda ketakutan
menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.
Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat menggerakan tangan kananny
a, dengan dua buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri s
ambil mengerahkan sinkang. Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari
tangannya seperti itu apa lagi ubun-ubun kepalanya.
"Plakkk!"
"Aihhh....!" Kwat Lin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lump
uh. Ternyata kakek itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh
diri!
"Bretttt...bretttt....!" Tongkat kakek itu bergerak beberapa kali dan seperti di
sulap saja seluruh pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan ceraiberai, membuatnya menjadi telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan te
tapi tiba-tiba, seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara
ketawa menyeramkan, kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berd
ua bergulingan diatas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu!
Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak
ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan pe
rmohonan, semua usahanya meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua u
saha ini malah menyenangkan hati si Kakek. Seolah-olah seekor kucing yang menjad
i gembira dapat mempermainkan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya
, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya
!
Selama tiga hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkos
a, dihina, diejek. Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali dalam keadaan lebih banyak
yang mati daripada yang hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang t
ak mampu bergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Li
n melihat kakek itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memanda
ng kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas r
umput berdarah.
"Ha-ha-ha, sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh
diri, silahkan. Ha-ha-ha!"
Biarpun Kwat Lin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir
mati karena lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi sa
tu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untu
k berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat eng
kau mampus di tanganku!"
"Ha..ha..ha..ha! Kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datang sa
ja ke Hong-san, sampai jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempa
t itu meninggalkan Kwat Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malan
g ini menangis sesenggukan dia antara mayat-mayat dua belas suhengnya yang sudah
mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa badan wanita
muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat dua belas suhengn
ya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yan
g hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja enak-enak mempermainkannya. Benar
-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis sendiri.
Tiba-tiba Kwat Lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhn
ya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam

dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri
tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matan
ya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh
gigitan kakek iblis. "Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah u
ntuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang
hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!" Tiba-t
iba dia terhuyung mundur memandang wajah twa-suhengnya. Pria inilah sebetulnya y
ang sudah sejak dahulu mencuri hatinya.
"Twa Suheng......!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai me
mbusuk itu. "Jangan berduka, Twa-suheng....jangan menangis......" Dia berdiri se
sunggukan.
"Apa.....? Aku telanjang.....? Pakaianmu......?" Seperti orang gila yang bicara
dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana lu
ar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada
tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran.
"Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng......." Dia memandang wajah mayat twa-su
hengnya dan tertawa lagi. "Hi-hik, nah, begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawala
h para suheng sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pas
ti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..." Dia menangis lagi terisakisak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah
mengambil pedang twa-suhengnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antar
a pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian
Ketua Bu-tong pai sendiri, pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai b
unga Bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Mer
ah). Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki
melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan terhuyung-huyung karena tubuhnya ma
sih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak men
angis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanit
a yang bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak
dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang i
tu akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. D
ugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang meland
a diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi pe
rubahan pada ingatannya!
Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu
Kai-ong di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian
lain dari Pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegununga
n, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifat
nya berbeda.
Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama
dari pegunungan Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan waj
ah berseri dan harus diakui bahwa wajah wanita itu cantik manis sekali, mempunya
i daya tarik yang kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun. Tidak ada ker
iput mengganggu kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mem
punyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pec
ah, akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar
tajam, maka hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi raguragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali
berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata boneka!
Dengan langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan be
rgoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutar sebuah pa
yung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung
dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang seka
li, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sangg
ul dari mutiara dan emas.
Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, dib
eri warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau
harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga m
embungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari d
ada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun

ketat sekali!
Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit (tante girang), nam
un sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia yang terkenal sekali
di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-l
i (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk ora
ng yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya karena wanita yang sebenarny
a hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan
kekejaman yang sukar dicari bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik
penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang
terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh si
luman ini!
Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak a
kan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah
iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar bia
sa. Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki leren
g Jeng-hoa-san!
Tentu saja dia pun mendengar berita menggegerkan dunia kang-ouw akan adanya Sintong, Si Bocah ajaib dan mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar-debar penu
h ketegangan dan penuh birahi! Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjijat yan
g dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang
pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si
Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak Pegunungan Je
ng-hoa-san di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh meng
unjungi pegunungan itu. Perjalanan yang jauh karena biarpun sering kali Liok Si
ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewahny
a terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa
Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan Luliang-san, merupa
kan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang berputar, merupakan perangka
p maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak
dapat dikunjungi oleh manusia lain, terdapat sebuah tanah datar, tanah keras sem
acam pulau dan diatas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berj
uluk Kiam-mo Cai-li, bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi
orang-orang kepercayaannya. (10)
****
Dia disebut Cai-li (Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah p
uteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Liok Si telah mempelajari k
esusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar s
ebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siuc
ai! Akan tetapi, penyamarannya ketahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang
kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, jug
a Liok Si ini semenjak kecil digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi
setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan
kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, men
yerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehn
ya sebagai "bayaran". Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini
yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana
pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si P
embesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian min
ggat!
Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada y
ang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yan
g membunuh bangsawan itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah.
Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan ta
mpak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yan
g agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira
sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bo
cah ajaib itu.
"Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama

mungkin. Hemmm..."
Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia ters
enyum manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang
laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyam
bar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria
seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pri
a yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan rata-ra
ta berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan mat
ang hati!
"Aih-aihh... Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah N
go-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?"
Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisn
ya seperti golok hitam dan tebal, berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam-m
o Cai-li dari Rawa Bangkai?"
Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka berganti-ganti dengan b
erseri, mulunya tersenyum ketika menjawab, "kalau benar mengapa? Kalian ini siap
akah?"
"Kami adalah Kee-san Ngo-hohan (Lima Pendekar dari Gunung Ayam)".
Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi "tsk-tsk-tsk" dengan lidahnya tanda kagum. Seg
era dia menjura dan berkata manis. "Aih, kiranya lima pendekar yang namanya suda
h terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih,
terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku."
"Harap Toanio (Nyonya) tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu sia
pa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka t
erpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang."
"Ehm...! Maksud kalian?" Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat
.
"Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha unt
uk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar p
ula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik
Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong maka kami
hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf,
para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya.
Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah s
eorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah men
jadi kewajiban orang-orang gagah untuk melindunginya."
Kembali Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Terus terang saja, memang aku mendengar tenta
ng Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san
. Habis kalian mau apa?"
"Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, To
anio. Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangi
mu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!"
"Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan gagah bertemu dengan se
orang wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalau bermain senjata
mengadu nyawa!"
"Hemm, habis semestinya bagaimana?" tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan y
ang betapapun juga merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan
wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Sin-tong. (11)
Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan.
"Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih!"
"Perempuan hina!"
"Jalang!"
"Siluman betina"
Lima orang itu telah mencabut senjata masing-masing yaitu senjata golok besar ya
ng selama ini telah mengangkat nama mereka di dunia kang-ouw. Kelima orang pende
kar ini memang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan Ilmu Hoa-san-to-hoat yan
g terkenal, dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan darah
yang bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu menotok menggunakan tiga buah jari ta

ngan.
"Siaaaattt...singg...siang..."
"Ha-ha, bagus! kalian memang gagah sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau
bermain cinta, hi-hik!" Kiam-mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hitamnya b
erkembang terbuka. Payung itu merupakan senjata isimewa, terbuat dari baja yang
kuat dan kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lemas, n
amun kuatnya luar biasa dapat menahan bacokan senjata tajam. Adapun ujung payung
itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun da
pat digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.
"Trang-trang-trang...!!" Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis ol
eh payung dan karena kini tubuh wanita itu tertutup payung yang berkembang dan b
erputar-putar, maka sukarlah bagi lima orang itu untuk menyerangnya dari depan.
Mereka lalu berloncatan dan mengurung wanita itu.
"Hi-hik, hayo keroyoklah. Kalu baru kalian lima orang ini saja, masih terlampau
sedikit bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai dimana kekuatan kalian apakah patu
t untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!"
****

Anda mungkin juga menyukai