Anda di halaman 1dari 8

"Perempuan rendah!

" Orang pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya
menyambar dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu terhenti di tengah udara karena tela
h terikat oleh sebuah benda hitam panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah
mengudar gelung rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pin
ggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saj
a keistemewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai
cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama dari Kee-san ngo-hohan! S
ebelum orang ini sempat menarik goloknya, tangan kiri Kiam-mo Cai-li bergerak me
nghantam tengkuk orang itu dengan tangan miring.
"Krekk!" Laki-laki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia t
elah terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih
dapat melihat dan mendengar.
Empat orang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar
lagi, bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan Sam-ci-ti
am-hoat yang ampuh!
Namun orang yang mereka keroyok itu tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap se
rangan golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan
ujung rambut yang panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan meny
ambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan kepanik
an saja karena memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.
"Mampuslah!" Orang ke dua yang menyerang dengan golok ketika goloknya ditangkis,
cepat dia "memasuki" lowongan dan berhasil mengirim totokan. Karena tempat terb
uka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya di bag
ian dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu, meng
hadapi lawan yang amat tangguh, pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan
sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak sep
erti itu.
"Cusss...!" tiga buah jari tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar,
tapi dia hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama se
kali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata, "Ihh, kau bersemangat ben
ar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hihik!"
Tentu saja pendekar ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu akan tetap
i juga penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah ga
gal. Tadi jelas dia telah menotok jalan darah yang amat berbahaya di dada wanita
itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan menyindirny
a dan dianggap dia mencolek dada?
Dengan marah dia menerjang lagi bersama tiga orang sutenya. "Sudah cukup, sudah
cukup, rebah dan beristirahatlah kalian!" Tiba-tiba payung itu tertutup kembali,
berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar men
desak empat orang itu, kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan dan berturut
-turut tiga orang lagi roboh terkena totokan ujung rambut wanita sakti itu. Sepe
rti orang pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memanda
ng dengan mata terbelalak namun tidak menggerakan kaki tangan mereka!
Orang termuda dari mereka kaget setengah mati melihat betapa empat orang suhengn
ya telah roboh. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebe
ncian meluap dia memaki, "Perempuan hina, pelacur rendah, siluman betina, aku ta
kkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!" (12)
"Aihhh... kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku
!" Golok itu tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan s
ebelum laki-laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut tela
h membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan libatan ra
mbut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu menggerakk
an kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan tahu-tahu kedua per
gelangan lengan orang itu pun sudah terbelit rambut yang seolah-olah hidup seper
ti ular-ular hitam yang kuat.
"Nah, kesinilah, Tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu dihajar agar tidak suka
memaki lagi!"
Laki-laki itu sudah membuka mulut hendak memaki lagi, akan tetapi libatan rambut
pada lehernya makin erat sehingga dia tidak dapat bernapas, kemudian rambut itu

menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu
sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada ya
ng membusung dan perut yang mengempis dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi
yang aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat, dan n
apasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar.
"Aihhh, kau perlu diberi sedikit hajaran, Tampan!"
Empat orang pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengeria
n betapa wanita itu kini mendekatkan muka sute mereka yang termuda, kemudian mem
buka mulut dan mencium mulut sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur ke
luar itu. Mereka melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sa
kit, mata sute mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mul
ut pria itu dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh empat or
ang pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah meng
gunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang terjulur k
eluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidah itu!
Mereka berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang m
ereka melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wa
jah sute mereka makin pucat dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangka
n kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas karena darah
yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan me
mindahkan ciuman mulutnya ke leher si Pemuda.
Dapat dibayangkan betapa kaget empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut sute
mereka penuh warna merah darah!
"Sute...!!!" Mereka berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mer
eka.
Sute mereka meronta-ronta seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke
arah para suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan k
etika wanita itu kelihatan jelas menghisap-hisap lehernya ternyata bahwa urat be
sar di lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wa
nita itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di leher itu!
Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan
akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pingsan karena
kehilangan banyak darah, takut dan ngeri. Kiam-mo Cai-li melepaskan libatan ramb
utnya dan tubuh itu terguling roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas tere
ngah-engah.
'Sute...!" Kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat bet
apa wanita itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk men
jilati darah yang masih belepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya
kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia
mendekati empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian.
*****
Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap
darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak -gerak dan sekali
renggut saja pakaian empat orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit be
rdiri, dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka paka
iannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari! Sampai dia bertelanjang
bulat sama sekali di depan empat orang itu yang membuang muka dengan perasaan ng
eri dan sebal!
"Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan
kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan ci
nta kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian."
"Cih, siluman betina! Kauanggap kami ini orang-orang apa? Kami adalah murid Hoasan-pai yang tidak takut mati. Seribu kali lebih baik mampus daripada memenuhi s
eleramu yang terkutuk melayani nafsu berahimu yang menjijikan!" kata empat orang
itu saling susul dan saling bantu.
Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian mela
yani aku sampai mampus!"
Dia lalu membungkuk dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggu

nakan kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa tempat di punggung dan tengku
k pria ini.
Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak
mampu mengerahkan sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggeta
rkan tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukany
a menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya terengah-engah. Tiga or
ang pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian. (13)
Tiba-tiba wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga o
rang itu dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga
orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. mereka me
lihat Sute mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita it
u penuh gairah nafsu! Dengan mata terbelalak mereka melihat betapa wanita itu me
nyambutnya dengan kedua lengan terbuka, bergulingan di atas rumput dan tampak be
tapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang l
ebar ke leher Sute mereka! Mereka bertiga terpaksa memejamkan mata agar tidak us
ah menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa
Sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh racun yang digura
tkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa Sute
mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh w
anita itu yang seperti telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menghis
ap darahnya sepuas hatinya.
Dapat diduga lebih dahulu bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang
sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturu
t-turut oleh Kiam-mo Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan
tempat itu sambil menjilat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar k
erling ke arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas
dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat diinginkan.
Lima orang Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh
mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang te
rjebak ke sarang laba-laba dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh lab
a-laba, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu
saja.
Kwa Sin Liong, atau yang lebih terkenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pag
i hari itu seperti biasa setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat-obata
n dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah orang-orang dusun yang membut
uhkan bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita.
Sin tong mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang sakit y
ang mereka derita, menyiapkan obat-obat untuk mereka semua dengan hati penuh bel
as kasihan. Semua ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandan
g kepada bocah itu dengan sinar mata penuh kagum dan pemujaan. Baru bertemu dan
memandang wajah Sin-tong itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderit
aan sakit mereka.
Seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah bocah penuh kasih sayang itu yang
meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini sebenarnya terjadi
karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa bocah itu akan dapat menyembuhkan pe
nyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah merupakan obat yang manjur.
Dan bocah ajaib itu memang bukanlah seorang dukun yang menggunakan kemujijatan d
an sulap atau sihir untuk mengobati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan
yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga atau akar obat yang memang tepat meng
andung khasiat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.
Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka s
emua. Juga Sin Liong, bocah ajaib itu, berhenti sebentar mengumpulkan dan memili
h obat yang akan dibagikan karena mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan t
etapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan m
enggeleng-geleng kepala.
"Aihh, kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan
dipantangnya demi mencapai kesenangan!" kata Sin Liong.
"Huh-ha-ha, benar sekali, Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melak
ukan apapun juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini!" Ter

dengar jawaban dan tahu-tahu disitu telah berdiri Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanju
tan kata-katanya, tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kal
i ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak sin
ar hitam berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan roboh
lah berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong, roboh dan be
rkelojotan kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke dalam k
epala mereka!
"Hi-hi-hik, kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong lihat ini!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan tau-tahu di situ telah berdiri seora
ng wanita cantik yang bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li! Dia menudingkan payung h
itamnya yang tertutup itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan de
ngan mata terbelalak memandang lima orang teman mereka yang telah tewas.
"Cuat-cuat-cuat...!" Dari ujung payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan bertur
ut-turut, enam orang dusun yang masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi
, leher mereka ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payun
g itu!
****
Sejenak Sin Liong terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di se
belah kanan dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas
orang dusun yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berdera
i dan dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian
kepada Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, "Kalian ini manusia atau iblis? Kali
an berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh orang-orang tak b
erdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang." Bocah itu memandang kepada sebe
las mayat dan sesenggukan menangis.
"Hi-hi-hik, Sin-tong yang baik, apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku d
atang bukan untuk membunuhmu," kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa b
ocah ajaib itu menangis dan membayangkannya ketakutan. (14)
Sin Liong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya masih berder
ai turun namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan, "Kau ma
u bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut!"
"Ha-ha-ha! Benar hebat! Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa menangis?" Pat-ji
u Kai-ong menegur.
"Apa kau menangisi kematian orang-orang tak berharga itu?" Kiam-mo Cai-li menyam
bung.
"Mereka sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang ka
lian lakukan, aku menangis karena melihat kesesatan dan kekejaman kalian."
Dua orang tokoh sesat itu terbelalak heran saling pandang kemudian mereka tering
at kembali akan niat mereka terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti dikom
ando saja lalu tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan he
ndak menubruk Sin-Liong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedik
itpun tidak membayangkan rasa takut!
"Desss......!" Karena gerakan mereka berbarengan, disertai rasa khawatir kalau-k
alau keduluan oleh orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong sudah lebih dekat de
ngan Sin-tong, Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Si
n-tong karena dia kalah dulu, melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua
tangannya ke arah Pat-jiu Kai-ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanit
a iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika ada angin pa
nas menyambar, maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sin-tong dan bergerak me
nangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakkang!
Sejenak mereka saling berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih dulu dapat men
guasai dirinya lalu tertawa, "Ha-ha-ha, lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi
makin gagah saja!"
"Pat-jiu Kai-ong, selama ada aku disini, jangan harap kau akan dapat merampas Si
n-tong dari tanganku!" Wanita itu berkata dan memandang tajam, siap menghadapi k
akek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu.
"Aha, Kiam-mo Cai-li, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya un

tuk menyempurnakan ilmuku..."


"Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Kai-ong, dan
betapa mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap dar
ah, otak dan sumsumnya. Jangan Sin-tong!"
"Hemmmm, kau mau menang sendiri. Apa kaukira aku tidak tahu mengapa kau menghend
aki Sin-tong? Dia masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak akan memuaskan hatimu.
Apa sukarnya bagimu mencari orang-orang muda yang kuat dan menyenangkan?"
"Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk mempe
rebutkannya dengan kepandaian!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencoba kepandaian Wanita Pandai dari
Rawa Bangkai!"
Liok Si, Si Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapan men
ahan kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, maka sambil berteriak
keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, yaitu payung hit
am yang tangkainya sebatang pedang runcing itu.
"Trakkk!" Pat-jiu Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran daua
tenaga raksasa membuat keduanya terpental lagi ke belakkang dan Pat-jiu Kai-ong
cepat meloncat ke depan, tongkatnya berubah menjadi segulungan sinar hitam yang
menyambar ganas.
"Trakk! Trakkk!!"
Dua kali senjata payung dan tongkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke b
elakkang. Diam-diam mereka berdua terkejut sekali dan maklum bahwa dalam hal ten
aga sakti, kekuatan mereka berimbang. Sebelum mereka melanjutkan pertandingan me
reka, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang tajam karena berturut-turu
t ditempat itu telah muncul lima orang kakek yang melihat cara munculnya dapat d
iduga tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti setan-setan, tidak
dapat didengar atau dilihat lebih dahulu, tahu-tahu sudah berdiri di situ sambi
l memandang ke arah Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li dengan bermacam sikap. Ke
tika dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh per
hatian mereka terkejut sekali. Biarpun diantara lima orang itu ada yang belum pe
rnah mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka, kedua orang datuk golongan h
itam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia
kang-ouw yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai orang-orang sakti.
Sementara itu, ketika melihat dua orang kakek dan nenek tadi bertanding mempereb
utkan dirinya, Sin Liong menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat
yang penuh damai ini di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal penuh ketentra
man dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia
ketika terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang le
bih hebat lagi di mana sebelas orang dusun yang sama sekali tidak berdosa dibunu
h begitu saja oleh dua orang itu. Maka dia lalu duduk di atas batu, bersila dan
tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap
tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul lima orang aneh itu, dia pun tidak membu
at reaksi apa-apa kecuali memandang dengan penuh perhatian namun dengan sikap sa
ma sekali tidak mengacuhkan. (15)
Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi bes
ar dengan muka merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam-kok, kelihatan gag
ah sekali, di punggungnya tampak dua batang pedang menyilang, matanya lebar alis
nya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa, "Ha-ha-ha, kiranya bukan hany
a orang gagah saja yang tertarik kepada Sin-tong, juga iblis-iblis berdatangan s
ungguhpun tentu mempunyai niat lain!" Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada
Kiam-mo Cai-li dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua orang itu dengan teran
g-terangan. Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang-k
oan Houw, akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan Tee-tok (Racun Bumi) kar
ena selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, juga dia
amat ganas menghadapi lawan tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat
jujur dan blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa pura-pura lagi. Ilmu silatnya
tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegerkan dunia persilatan a
dalah ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan Kilat) dan Ilm

u Pedangnya Ban-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang
yang tahu dimana tempat tinggalnya karena memang dia seorang perantau yang muncu
l dimana saja secara tak terduga-duga seperti kemunculannya sekarang ini di Huta
n Seribu Bunga.
"Huhh, bekas Suteku yang tetap goblok!" kata orang kedua. "Masa masih tidak meng
erti apa yang dikehendaki dua iblis ini. Jembel busuk itu tentu ingin menghisap
darah dan otak Sin-tong untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Hiat-Ciang Hoat-sut."
"Sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan S
in-tong? Hayo kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu ma
lu untuk menyangkal!" Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang ka
kek yang beberapa tahun lebih tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee-tok seba
gai bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya
seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan
gerak-geriknya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadan
g-kadang menggaruk-garuk kepala atau pantatnya, matanya liar memandang ke kanankiri. Inilah dia tokoh hebat yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit), bekas suhen
g Tee-tok yang memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal racun sesuai den
gan nama dan julukannya, juga dia adalah seorang pemuja Kauw Cee Thian atau Cee
Thian Thaiseng, Si Raja Monyet itu, yaitu sebatang tongkat yang dia beri nama Ki
m-kauw-pang seperti tongkat Si Raja Monyet. Juga dia telah menciptakan ilmu sila
t tangan kosong yang meniru gerak-gerik seekor monyet yang diberinya nama Sin-ka
uw-kun (Ilmu Silat Monyet Sakti). Seperti juga Tee-tok, dia tidak mempunyai temp
at tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi nama aslinya, yaitu Bhong Se
k Bin.
"Hemmm, setelah ada aku disini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat ses
uka hati sendiri!" kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya
seperti ujung pedang menusuk. Orang ini bernama Ciang Ham julukannya Thian-he T
e-it, Sedunia Nomor satu! Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua da
ri Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secu
an.
Di tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terk
enal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal sebagai seorang ahli
bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas
seperti biasa dipakai oleh seorang ahli silat dan setiap gerak-geriknya menunju
kkan bahwa dia telah mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah daging di tu
buhnya.
Orang ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya 50 t
ahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah ked
ua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauwpit alat
tulis pena panjang. "Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini,
tidak sangka bertemu dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua
), Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li, terimalah
hormatku."
Pat-jiu Kai-ong sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam-mo
Cai-li tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kat
a menentang dari tiga orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan k
ata-kata orang berpakaian sastrawan yang tampan ini. Maka dia pun membalas pengh
ormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali dia be
rtanya, "Harap maafkan, akan tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang te
ntu memiliki ilmu kepandaian bun dan bu (Sastra dan silat) yang tinggi ini?"
Laki-laki itu tersenyum dan menjawab halus, "Saya yang rendah dinamakan orang Gi
n-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang yang suka bersunyi di Beng-san
."
Kiam-mo Cai-li kembali menjura, tersenyum dan berkata, "Aihhh, sudah lama sekali
saya telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat ti
nggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir dan sudah lama pu
la mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san. Mudah-mudahan saja saya ak
an berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi tamu Gin-siauw
Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu
sopan santun!" Ucapan terakhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh pe

rtama yang kasar-kasar tadi.


Orang ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun le
bih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim
(Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya di
goyang-goyang mengipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Huta
n Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang
merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pe
meluk Agama To)! (16)
Amat sempurna,
namun tampak tak sempurna,
tampak tidak lengkap,
sungguhpun kegunaannya tiada kurang
Terisi penuh,
namun tampaknya meluap tumpah,
tampaknya kosong,
sungguhpun tak pernah kehabisan
Yang paling lurus,
kelihatan bengkok,
yang paling cerdas,
kelihatan bodoh,
yang paling fasih,
kelihatan gagu.
Api panas dapat mengatasi dingin,
air sejuk dapat mengatasi panas,
Sang Budiman, murni dan tenang
dapat memberkati dunia!"
"Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah Lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), buk
an? Sajak-sajak To-tek-kheng agaknya telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!"
kata Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek.
Tosu itu berkata, "Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seoran
g tosu miskin dan bodoh."
"Ah, jangan merendah, Totiang," kata Kiam-mo Cai-li, "Siapa orangnya yang tidak
tahu bahwa biarpun Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun
memiliki sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya me
nggunakan pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya."
"Siancai! Pujian kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah. Tee-tok
Siangkoan Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar. "Apa apaan semua kepur
a-puraan yang menjemukan ini? Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami be
rlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan tentu s
ebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!"
"Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?" Patjiu Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun je
las bahwa dia merasa tak senang.
"Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud y
ang sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpu
n kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untu
k menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempu
nyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang tidak perna
h menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi mel
alui suaranya yang nyaring.
"Tee-tok, jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan S
in-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas,
kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk kepentingan pribadi
masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya?"

*****

Anda mungkin juga menyukai