Anda di halaman 1dari 6

"Apakah kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah d

ari dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua? Aku,
Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berli
ma, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-sia
uw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!" kata Kiam-mo
Cai-li yang cerdik.
"Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!" Tee-tok membentak marah dan melangkah m
aju. "Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang
iblis betina seperti engkau dari muka bumi!"
"Tee-tok, buktikan omonganmu!" Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah ma
ju.
"Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami
pun tidak mau ketinggalan!" kata Pat-jiu Kai-ong mencela.
"Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun
tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!" Thian-te Te-it Cia
ng Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.
"Siancai, siancai...!" Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. "
Harap Cuwi(Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau sali
ng serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan
bocah yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu. Sudah jelas
bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lup
a bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka mari
lah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut da
n kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau m
encampuri, Bagaimana?" (17)
Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok.
"Aku pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk
tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kat
a-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Sin-tong. "Tentu saja harus juj
ur tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau meng
ambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap
sari kejantanannya juga harus berterus terang!"
Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyer
ang Thian-tok yang licik itu.
"Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, a
kan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cai-li mengejek T
hian-tok.
"Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!"
"Boleh! Siapa takut?" Wanita itu balas membentak.
"Siancai...!" Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benarbenar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita me
ndengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong."
Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebua
h arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.
"Sin-tong yang baik. Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh.
Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempuny
ai anak, kau mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda
lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu
yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di
istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia.
Marilah Sin-tong, Anakku!"
Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menun
duk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia deng
an jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau di
a mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh
jiwa enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menj
awab.
"Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebaga

i seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engk
au seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan ke
lak engaku akan menjadi raja Pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang?
Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup seng
sara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang
yang paling gagah di dunia ini!"
Kembali Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat me
mbunuh lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarka
n kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali
menundukkan mukanya.
"Anak ajaib, anak baik, Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, se
orang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama h
idupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku t
ekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali
mengangkat engkau sebagai muridku, Sin-tong."
"Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun h
atiku lemah menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan se
baya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takka
n kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong."
"Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapap
un dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali ke
padamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewari
si ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai du
nia kang-ouw, Sin-tong."
"Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor
satu dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi ca
lon manusia terpandai di kolong langit!"
"Siancai...siancai..! Kaudengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak meng
ajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak
mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil
murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan.
Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan bes
ar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah
murid Lam-hai Seng-jin, Sin-tong!" (18)
Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seper
ti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandan
g orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh
duka. "Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut si
apapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasa
n dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya
lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalka
n saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini."
"Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata Tee-tok yang berwatak
berangasan dan kasar.
"Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak Thian-tok.
"Siancai...sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seora
ng diantara kita secara sukarela. Karena itu, tentu kita semua ingin merampasnya
secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak
-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaikny
a kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa ya
ng keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak memiliki Sin-tong," kata Lam-hai S
eng-jin yang lebih sabar daripada yang lain.
"Mana bisa diatur begitu?" bantah Pat-jiu kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima
orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. "Lebih baik seorang lawan seo
rang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah
beristirahat. Begitu baru adil!"
"Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan
yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan
Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar

sebagai pemenang. "Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita
bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demiki
an, satu-satunya orang yang keluar sebagai pemenang, jelas dia telah lihai darip
ada yang lain."
Akhirnya Pat-jiu kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengelurkan sen
jata masing-masing, membentuk lingaran besar dan bergerak perlahan-lahan saling
lirik, siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapu
n juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!
Sin Liong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia men
jadi silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing
untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi S
in Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan o
rang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.
Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah setiap
orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika
Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiamnya, sepasang pedangnya ini m
embabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia sedan
g menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga sedang menyerang Gin-siauw
Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu ber
temu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat Thian-tok, sehingga seol
ah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kai-ong. Pertandingan kacau balau dan h
anya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang
tertentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawa
n yang manapun juga dan dia pun tidak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan
pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga meneka
n lawan apabila melihat ada seorang diantara mereka yang terdesak.
Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok"
tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu ra
ta-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah
dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah
mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu te
rseret ke dalam pertandingan kacau-balau itu! Terpaksa dia mempertahankan diri d
engan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kem
arahan meluap-luap.
Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang
laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang tumbuh dekat med
an pertandingan itu. Laki-laki itu memandang ke arah pertempuran dengan mata ter
belalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tang
an kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencorat-coret di atas
kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan s
edang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang
terheran-heran itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh t
ahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada baju
nya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Mer
ah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan j
enggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera hal
us, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihar
a sehingga mengkilap.
Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh ke
gembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakt
i itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yang sedang b
erkelebatan hampir tak tampak itu?
Sin Liong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang i
tu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu bahwa tujuh orang itu
telah ada yang terluka. Thian-he Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok
di pahanya sehingga terasa nyeri sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pun
daknya sehingga berdarah oleh sebatang di antara Siang-kiam di tangan Tee-tok, s
edangkan Lam-hai Seng-jin dan Gin-siauw Siucai juga telah mengadu tenaga dan ked
uanya tergetar samapi muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua orang i
ni tidak sampai mengalami luka dalam yang parah.

Sin Liong melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan cor
etannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranti
ng pohon, memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tub
uhnya melayang turun.
"Tontonan tidak bagus!" Terdengar dia berseru. "Tujuh orang tua bangka gila memp
erlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu sama s
ekali!"
Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantu
ng mereka itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan sin
gkang yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan un
tuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang masih dudu
k bersila. Dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing meli
ntangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagh yang baru muncu
l itu. Namun, tidak ada seorangpun diantara mereka yang mengenalnya, maka ketuju
h orang itu menjadi marah sekali (19)
"Bangsat kecil, engkau siapakah berani mencampuri urusan kami dan memaki kami?"
bentak Pat-jiu Kai-ong sambil mengusap pundaknya yang berdarah.
"Apa kau memiliki kepandaian maka berani mencela kami, tikus kecil?" bentak pula
Thian-he Te-it yang masih ngilu rasa pahanya, dan untung bahwa pahanya itu tida
k patah tulangnya.
Laki-laki itu melangkah maju menghampiri mereka dengan langkah tegap dan sikap s
ama sekali tidak takut, bahkan wajahnya itu berseri-seri memandang mereka seoran
g demi seorang. Kemudian, setelah berada di tengah-tengah sehingga terkurung, di
a berkata, "Tadinya aku hanya mendengar bahwa ada seorang anak baik terancam ole
h perebutan orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Ketika tiba disini dan melihat
lagak kalian, mau tidak mau aku masuk dan hatiku memang penasaran menyaksikan g
erakan kalian yang sungguh-sungguh masih mentah. Ilmu tongkat dia itu tentu Patmo-tung-hoat yang berdasarkan Ilmu Pedang Pat-mo-kiam-hoat," katanya sambil menu
ding ke arah Pat-jiu Kai-ong. Raja pengemis itu terkejut sekali melihat orang me
ngenal ilmu tongkatnya, padahal tadi mereka bertujuh bertanding dengan kecepatan
luar biasa, bagaimana orang ini dapat mengenal ilmu tongkatnya?
"Dan ilmu tongkat dia itu lebih lucu dan kacau lagi, meniru gerakan Kauw Cee Thi
an Si Raja Monyet, akan tetapi kaku dan mentah, tidak pantas menjadi gerakan Raj
a Monyet, pantasnya menjadi gerakan Raja Tikus!" Dia menuding arah Thian-tok.
"Brakkk!!" Batu besar yang berada di samping Thian-tok hancur berantakan karena
dipukul oleh tongkatnya. Dia marah sekali mendengar ucapan yang dianggapnya meng
hina itu. "Manusia lancang, berani kau menghina Thian-tok?" bentaknya dan tongka
tnya sudah diputar hendak menyerang.
Akan tetapi orang itu membentak, "Berhenti!" Dan aneh, suaranya demikian berwiba
wa sehingga Thian-tok sendiri sampai tergetar dan menghentikan gerakan tongkatny
a. "Aku melihat kalian masing-masing memiliki kepandaian khusus namun masih ment
ah semua. Aku tidak membohong dan kalau tidak percaya, marilah kalian maju seora
ng demi seorang, akan kuperlihatkan kementahan ilmu silat kalian yang kalian per
gunakan dalam pertandingan kacau balau tadi. Hayo siapa yang maju lebih dulu, ak
an kulayani dengan ilmu silat kalian sendiri!"
Ucapan ini lebih mendatangkan rasa heran dan tidak percaya daripada kemarahan, m
aka Pat-jiu Kai-ong melupakan pundaknya yang terluka, cepat dia sudah meloncat k
e depan, melintangkan tongkatnya di depan dada sambil berseru, "Nah, coba kaubuk
tikan kementahan ilmu tongkatku!" Setelah berkata demikian, Raja Pengemis ini me
nyerang, menggunakan tongkatnya untuk menusuk, kemudian gerakan ini dilanjutkan
dengan memutar tongkat ke atas menghantam kepala. Memang gerakan tongkatnya adal
ah gerakan pedang, dia ambil dari Ilmu Pedang Pa-mo-kiam-hoat. Hal ini adalah ra
hasianya, maka dia heran sekali mendengar orang tampan gagah itu mengenal ilmu t
ongkatnya dan sekaligus membuka rahasianya.
Enam orang tokoh yang lain adalah orang-orang yang telah terkenal, maka mereka m
enahan kemarahan dan menonton untuk melihat apakah orang yang tidak terkenal ini
benar-benar memiliki kepandaian aneh dan apakah benar-benar selihai mulutnya ya
ng amat sombong itu.
Serangan Pat-jiu Kiam-ong itu tidak ditangkis, akan tetapi tubuh orang itu tiba-

tiba saja lenyap! Semua orang kaget dan bengong melihat betapa tubuh orang itu t
ahu-tahu telah melayang turun dari atas pohon, di tangannya terdapat sebatang ca
bang pohon, yang daunnya telah dibersihkan. Demikian cepatnya dia tadi meloncat
sehingga tidak tampak, dan entah bagaimana cepatnya tahu-tahu dia telah membikin
sebatang tongkat yang ukurannya sama dengan tongkat yang dipegang Pat-jiu Kai-o
ng. Begitu dia turun, Pat-jiu Kai-ong telah menyerangnya dengan kemarahan meluap
.
"Nah, lihatlah. Bukankah ini Pat-mo-kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang k
au rubah menjadi Pat-mo-tung-hoat?" Dan orang itu pun kini mengimbangi permainan
ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dengan gerakan yang sama! Jurus demi jurus dimaink
an orang itu untuk menangkis dan balas menyerang, namun bedanya, serangannya jau
h lebih cepat dan lebih kuat tenaga sinkang yang menggerakkan tongkat itu! Tokoh
-tokoh lain hanya menduga-duga, mengira orang baru itu meniru gerakan Pat-jiu Ka
i-ong, akan tetapi Raja Pengemis ini sendiri mengenal gerakan orang itu yang buk
an lain adalah ilmu tongkatnya sendiri yang digubahnya sendiri! Dia menjadi bing
ung dan heran, apalagi serangan orang itu cepatnya melebihi kilat dan dalam bela
san jurus saja, tiba-tiba terdengar suara keras, tongkat di tangan Pat-jiu Kai-o
ng patah dan si Raja Pengemis ini sendiri terpelanting dan mukanya pucat sekali
karena tadi ujung tongkat lawannya telah menyambar dahinya tepat diantara mata d
an kalau dikehendakinya, tentu dia telah tewas, akan tetapi orang aneh itu hanya
mengguratnya saja sehingga kulit di bagian itu robek dan berdarah.
Tahulah dia bahwa dia telah berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepanda
ian yang jauh melampuinya, tahu pula bahwa nyawanya diampuni maka tanpa banyak c
akap dia lalu mundur dan berdiri dengan muka pucat dan mulut berbisik, "Aku meng
aku kalah!"
Tentu saja hal ini mengejutkan enam orang tokoh yang lain! Mereka tadi, dalam pe
rtandingan kacau balau, telah beradu senjata dengan Si Raja Pengemis, dan mereka
maklum bahwa selain ilmu tongkatnya amat lihai, juga tongkat itu sendiri merupa
kan senjata pusaka yang kuat menangkis senjata tajam, di samping tenaga sinkang
si Kakek Jembel yang amat kuat. Namun, dalam belasan jurus saja kakek jembel itu
mengaku kalah, tongkatnya patah dan diantara alisnya terluka, sedangkan tadinya
mereka mengira bahwa orang yang baru datang itu hanya meniru-niru ilmu silat Pa
t-jiu Kai-ong! (20)
"Si Jembel tua bangka memang tolol!" Tiba-tiba Thian-he Te-it Ciang Ham meloncat
ke depan, tombaknya melintang di tangannya, sedangkan tangan kirinya dikepal, t
angan kiri yang mengandung tenaga mukjijat dan terkenal dengan sebutan Kang-jiu
(Lengan Baja) yang kuat menangkis senjata tajam!
Orang itu tersenyum sabar. "Hemm, jadi tadi adalah Pat-jiu Kai-ong, ketua Pat-ji
u Kai-pang yang terkenal? Heran ilmunya masih serendah itu sudah berani malang m
elintang di Heng-san. Dan kau ini siapakah? Ginkangmu cukup lumayan akan tetapi
permainan tombakmu belum patut disebut Sin-jio (Tombak Sakti), dan pukulan itu,
tentu yang dinamakan Lengan Baja, sayangnya tidak cocok dengan sebutannya karena
terlalu lemah, hemm, terlalu lemah...!"
Muka Ciang Ham menjadi merah sekali saking marahnya. Sudah menjadi kebiasaannya
kalau dia lagi marah, matanya mendelik dan kumisnya yang jarang itu bergoyang-go
yang menurutkan bibir atasnya yang tergetar! "Si keparat sombong! Tahukah engkau
dengan siapa engkau berhadapan? Aku adalah Thian-he Te-it (Nomor Satu Sedunia)
ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan! Bersiaplah untuk mampus di tanganku!"
Kembali orang itu meloncat ke atas, kini semua orang yang sudah memperhatikan se
luruh gerak-geriknya melihat bahwa orang itu benar-benar memiliki ginkang yang s
ukar dipercaya. Hanya dengan mengenjot ujung kaki, tubuhnya melesat dengan kecep
atan yang luar biasa sekali, lenyap ke dalam pohon besar dan tak lama kemudian s
udah melayang turun membawa sebatang cabang yang panjangnya sama dengan tombak d
i tangan Ciang Ham, bahkan ujungnya juga sudah diruncingkan, entah bagaimana car
anya!
"Nah, coba mainkan ilmu tombakmu dan pukulan Lengan Bajamu yang masih mentah itu
."
Thian-he Te-it Ciang Ham bukan main marahnya. Sambil mengeluarkan gerengan keras
dia menerjang, tombaknya bergerak dahsyat sehingga mata tombak berubah menjadi

belasan banyaknya, semua mata tombak itu seolah-olah menyerang bagian-bagian ter
tentu dari lawannya! Namun orang itu pun menggerakkan tombak cabang pohon dengan
gerakan yang sama, bahakan mata "tombaknya" berubah menjadi dua puluh lebih, me
mbentuk bayangan tombak yang menyilaukan mata dan terjadilah pertandingan tombak
yang amat aneh karena gerakan mereka sama.
*****

Anda mungkin juga menyukai