Anda di halaman 1dari 19

1.

Pendahuluan
VPN (Virtual Private Network) adalah teknologi untuk menghubungkan dua
atau lebih jaringan lokal yang berbeda lokasi melewati jaringan publik (internet) yang
ternekripsi. Oleh karena itu banyak SP (Service Provider) menyediakan layanan VPN
untuk memenuhi kebutuhan para pelanggannya, untuk menghubungkan jaringan lokal
dari pusat dengan cabang-cabang yang ada di berbagai daerah selama berada dalam
jangkauan SP yang tersebut, sehingga pelanggan tidak perlu membangun infrastruktur
independen untuk menghubungkan jaringan pusat dengan cabang, cukup dengan
berlangganan layanan VPN pada SP yang dipilih.
Teknologi VPN terus berkembang untuk memberikan keuntungan bagi SP dan
pelanggan. Teknologi yang sekarang banyak diterapkan oleh SP adalah MPLS VPN
Layer 3, yaitu penyediaan layanan VPN yang melintasi jaringan MPLS milik SP.
MPLS VPN Layer 3 memudahkan SP untuk mengembangkan jaringannya, karena
jika pelanggan bertambah, konfigurasi dan pengaturan cukup dilakukan pada koneksi
fisik antara pelanggan tersebut dengan perangkat jaringan SP yang ada di depannya
dan tidak akan mempengaruhi pelanggan-pelanggan lain. Kemudian jika dilihat dari
sudut pandang bisnis SP, teknologi MPLS VPN Layer 3 juga memberikan keuntungan
karena SP dimungkinkan membuat tiap jalur pelanggannya berbeda secara virtual
serta dapat melayani banyak pelanggan secara virtual di router PE (Provider Edge),
sehingga tidak perlu membeli satu router PE untuk melayani satu pelanggan.
Layanan virtual tersebut diciptakan oleh Cisco dengan nama Multi-VRF
(Virtual Routing Forwarding) yaitu sebuah layanan atau fitur pada router Cisco untuk
melakukan routing VPN dalam jaringan MPLS VPN Layer 3. Serta mampu
melakukan overlap alamat IP yang memungkinkan dua VPN berbeda untuk saling
berhubungan meskipun memiliki alamat IP yang sama persis sehingga tidak akan
terjadi konflik alamat IP pada jaringan SP. Selain itu dapat dibuat routing table yang
virtual pada router PE (Provider Edge). Dimana router milik SP yang berhubungan
langsung dengan router milik pelanggan memiliki beberapa routing table yang
berfungsi untuk mengarahkan VPN satu dengan VPN lainnya meskipun memiliki
alamat IP yang sama pada sisi gateway milik client [1].
2. Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu yang menggunakan teknologi MPLS VPN Layer 3
dilakukan oleh Gartner Research di California, Amerika Serikat. Gartner Research
mengadakan analisis perbandingan Layer 2 VPN (Frame Relay dan ATM) dengan
MPLS VPN dan mengapa perusahaan besar disarankan untuk melakukan migrasi
jaringan VPN mereka ke MPLS VPN. MPLS VPN memberikan keuntungan dalam
hal penghematan biaya implementasi, memberikan keamanan yang sebanding dengan
Layer 2 VPN, serta MPLS VPN mampu memisahkan data dan jaringan perusahaan
satu dengan lainnya secara virtual meskipun melintasi infrastruktur publik. Perbedaan
yang mendasar antara MPLS VPN dengan L2VPN adalah kontrol MPLS VPN berada
di Layer 3 OSI. MPLS VPN memisahkan jalur setiap pelanggannya, MPLS VPN
mampu menyembunyikan struktur alamat Core Network dan VPN di dalamnya.
Gartner Research menyatakan bahwa sangatlah tidak mungkin jaringan di luar Core
Network melakukan penyusupan ke dalam Core Network dan VPN di dalamnya
dengan cara merusak mekanisme MPLS [2].
Penelitian selanjutnya yang menggunakan teknologi Multi-VRF dilakukan
1

oleh PT. ASINDO (Anugrah Sentosa Informatika Indonesia) di Jakarta. PT ASINDO


menangani proyek PT. Indosat Tbk. untuk melakukan upgrade jaringan WAN pada
sisi Data Core Network (DCN) area Outer Java (OJ) dari teknologi X.25 menjadi
MPLS. PT. ASINDO menerapkan jaringan MPLS pada sisi DCN dan memisahkan
jalur-jalur Base Station Controller (BSC) setiap kota menggunakan VRF. VRF
diaktifkan antara router-router BSC dengan router PE milik PT. Indosat untuk
memudahkan maintenance dan monitoring jaringan PT. Indosat yang kompleks.
Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini adalah, VRF memudahkan maintenance
dan monitoring jaringan PT. Indosat Tbk. yang kompleks. Karena jika terjadi
gangguan pada salah satu VRF, maka VRF lainnya tidak akan terpengaruh dan tetap
berjalan sebagaimana mestinya [3].
VPN (Virtual Private Network) ialah koneksi secara logical yang
menghubungkan dua titik melalui jaringan pubik. Koneksi logical tersebut bisa
merupakan layer 2 ataupun layer 3 dalam basis OSI Layer. Begitu juga dengan
teknologi VPN yang dapat diklasifikasikan atas Layer 2 VPN atau Layer 3 VPN.
Secara konsep, baik Layer 2 VPN ataupun Layer 3 VPN ialah sama, yaitu
menambahkan delivery header dalam paket data yang menuju ke alamat tujuan.
Untuk Layer 2 VPN, delivery header berada di Layer 2. Sedangkan untuk Layer 3,
delivery header berada di Layer 3. ATM dan Frame Relay adalah contoh dari Layer 2
VPN. GRE, L2TP, MPLS, dan IPSec adalah contoh dari Layer 3 VPN [4].
MPLS (Multi Protocol Label Switching) adalah teknologi penyampaian paket
pada jaringan backbone berkecepatan tinggi yang menggabungkan beberapa
kelebihan dari sistem komunikasi circuit-switched dan paket-switched sehingga
menghasilkan performa yang lebih baik dibandingkan IP routing biasa. Protokol
routing berada pada network layer dalam OSI Layer, sedangkan MPLS berada di
antara layer kedua dan ketiga, sehingga MPLS sering juga disebut berada dalam
Layer 2,5 karena MPLS menggabungkan teknik switching di layer dua dengan
routing di layer tiga [5]
MPLS VPN berfokus pada tautan antara Provider's Edge router (PE) dan
Costomer's Edge router (CE). Router CE terhubung langsung ke router PE
sedemikian rupa sehingga lalu lintas data dienkapsulasi untuk dikirim ke routerrouter CE yang lain. Router CE memberitahukan rute-rute VPN kepada semua
perangkat yang ada dalam jaringan miliknya agar saling terhubung. MPLS VPN
terdiri dari beberapa site yang saling berhubungan dengan MPLS provider core
network. Pada setiap site terdapat satu atau beberapa router CE yang terhubung pada
satu atau beberapa router PE. Router PE menggunakan Border Gateway ProtocolMultiprotocol (MP-BGP) untuk berkomunikasi secara dinamis antar router PE.
Semua alamat IP yang digunakan dalam jaringan inti MPLS VPN harus eksklusif dan
berbeda dengan alamat IP yang dimiliki oleh pelanggan VPN. Setiap router CE harus
mampu untuk mengirim paket-paket data ke router PE yang berhadapan langsung.
Alamat-alamat IP yang ada pada router-router PE tidak boleh ada yang sama dengan
alamat IP milik pelanggan VPN [1].
Karakter MPLS VPN, diantaranya berfokus pada OSI Layer 3 dan berbasis
peer model, sehingga memiliki skalabilitas yang tinggi, mudah untuk dibangun, dan
mudah untuk dimanajemen dibanding VPN konvensional. MPLS VPN memisahkan
lalu lintas jaringan dengan routing table yang unik, yang disebut Virtual Routing
Forwarding Tables (VRFs) pada setiap jaringan VPN milik pelanggan. Sehingga
setiap user pada sebuah VPN tidak akan bisa melihat lalu lintas jaringan diluar
VPNnya. Pemisahan lalu lintas jaringan terjadi tanpa proses tunneling ataupun
enkripsi, karena sudah dibangun langsung di dalam jaringan Service Provider [1].
2

Virtual Routing and Forwarding (VRFs) adalah elemen utama dari teknologi
MPLS VPN. VRF adalah routing table independen pada router PE. VRF berisi ruterute jaringan yang tersedia untuk mencapai site-site yang ada diseberang milik
masing-masing pelanggan VPN. VRF menggunakan teknologi CEF (Cisco Express
Forwarding), sehingga seluruh jaringan VPN harus mengaktifkan CEF. Setiap router
PE dapat memiliki satu VRF atau lebih. Sehingga sejak awal MPLS VPN sudah
diprogram untuk menentukan sebuah paket data yang memiliki sebuah alamat tujuan
untuk dikirim ke VRF yang bersangkutan saja, tidak ke VRF yang lain. Oleh karena
routing pada router PE harus independen atau terpisah antar pelanggan VPN, maka
setiap VPN harus memiliki routing table masing-masing seperti pada Gambar 1. Satu
interface pada router PE yang mengarah ke router CE hanya bisa menangani satu
VRF saja supaya setiap paket data yang diterima di dalam VRF tidak ambigu, tetapi
memang diarahkan oleh VRF tersebut. [6]

Gambar 1 Ilustrasi VRF di dalam router PE [6]

Gambar 1 menunjukkan fungsi utama dari Multi-VRF (Virtual Routing


Forwarding), yaitu mengimplementasikan beberapa routing table yang independen di
dalam sebuah router tanpa mengganggu kinerja MPLS VPN. Setiap VRF maupun
global routing table memiliki arahan dan fungsinya masing-masing. Penerapan VRF
pada jaringan enterprise, global routing table dapat digunakan untuk mendukung
berfungsinya jalur jaringan reguler serta membuat jaringan VPN yang sifatnya
menumpang untuk dijalankan secara bersamaan. [6]
3. Metode Penelitian
Metode perlu diterapkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang
sistem yang dibangun dalam penelitian ini. Metode yang dipakai adalah metode
Cisco PPDIOO, yaitu Prepare, Plan, Design, Implement, Operate, and Optimize
seperti Gambar 2. Metode inti dikenal sebagai siklus hidup jaringan komputer
(network life cycle) dan sudah diterapkan di perusahaan berskala kecil hingga besar.

Gambar 2 Metode PPDIOO

Sistem yang dibagun dalam penelitian ini adalah jaringan Service Provider
MPLS VPN Layer 3 yang dibangun di laboratorium komputer milik FTI-UKSW,
menggunakan perangkat router Cisco dan PC sesungguhnya untuk diteliti bagaimana
kinerja VPN pada Cisco Multi-VRF yang diaktifkan di dalamnya. Metode PPDIOO
diterapkan di dalam penelitian ini, karena mencakup semua hal yang perlu dilakukan
dari persiapan sebelum sistem dibuat, hingga apa yang perlu dilakukan setelah sistem
berhasil diterapkan. Penjelasan dirinci secara berurutan, dan teratur dengan tujuan
menghasilkan sistem sesuai harapan.
Tahapan yang pertama, Prepare adalah tahap untuk menentukan tujuan dari
pembangunan sistem, yaitu membuktikan dan melakukan analisis bagaimana MultiVRF dapat melakukan overlap IP, menghubungkan VPN satu dengan lainnya
melewati jaringan MPLS dengan cara membangun jaringan tiruan MPLS VPN Layer
3 di laboratorium komputer milik FTI-UKSW.
Tahapan yang kedua, Plan dimana sistem direncanakan. Sesuai izin yang
diberikan oleh FTI-UKSW, lama waktu membangun sistem dan penelitian
menggunakan perangkat jaringan yang sesungguhnya di ruang laboratorium CTC-1
adalah tiga minggu (16 April - 7 Mei 2012) selama libur trimester. Perangkat jaringan
yang digunakan sebagian besar adalah milik FTI-UKSW yang sudah diijinkan untuk
dipakai, antara lain, lima router Cisco 2801 milik FTI-UKSW, dua router Cisco 1841
milik FTI-UKSW, tiga interface WIC-2T milik FTI-UKSW, dua kabel serial
DCE/DTE milik FTI-UKSW, satu kabel console milik FTI-UKSW, delapan kabel
Fast Ethernet milik FTI-UKSW, empat PC milik FTI-UKSW, dan satu Laptop.
Tahapan yang ketiga, Design topologi jaringan. Desain dibuat cukup fleksibel
bilamana ada perubahan atau penambahan perangkat baru, jangan sampai menggangu
sistem secara keseluruhan. Gambar 6 adalah desain topologi jaringan yang dibangun.

Gambar 3 Desain Topologi MPLS VPN Layer 3

Gambar 3 adalah topologi dari jaringan yang diimplementasi. Topologi terbagi


menjadi tiga jaringan yang berbeda, yaitu jaringan MPLS Cloud milik Service
Provider, jaringan vpnDKV, dan jaringan vpnTI. MPLS Cloud terdiri dari tiga router
Cisco 2801 (PE1, P, dan PE2) yang dihubungkan dengan kabel serial DCE/DTE.
Ketiga router dikonfugrasi menggunakan MPLS sebagai jaringan backbone.
Kemudian, jaringan vpnDKV dan vpnTI masing-masing memiliki dua site, yaitu A
dan B. Masing-masing site memiliki sebuah router yang berfungsi sebagai CE yang
akan berhubungan langsung dengan PE. Jalur vpnDKV dikonfigurasi untuk terpisah
dengan vpnTI dengan mengaktifkan VRF pada PE1 dan PE2, sehingga vpnTI tidak
akan bisa melihat apa yang terjadi di dalam vpnDKV. Meskipun ada kesamaan alamat
IP di masing-masing site, tidak akan terjadi gangguan transmisi data karena routing
table vpnTI dan vpnDKV sudah dibedakan dengan mengaktifkan VRF (Virtual
Routing Forwarding).
Tahapan yang keempat, Implementing dimana topologi jaringan pada Gambar
3 di implementasi secara keseluruhan di dalam lab. CTC1 milik FTI-UKSW. Seluruh
router ditata secara rapih pada networking rack. Selanjutnya seluruh interface yang
dibutuhkan diberi alamat IP sesuai dengan topologi yang ada pada Gambar 6. Setelah
itu, Implementasi dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah implementasi
jaringan Service Provider dan tahap kedua adalah implementasi jaringan vpnDKV
dan vpnTI.
Jaringan Service Provider dikonfigurasi untuk berkomunikasi dengan protokol
OSPF 1 di dalam area 0. Sehingga router PE1, P, dan PE2 dapat saling menegnali
jaringannya masing-masing dan memasukkan rute jaringannya ke dalam global
routing table masing-masing. Setelah PE1, P, dan PE2 terhubung dengan OSPF 1 area
0, protokol BGP diaktifkan. BGP (Border Gateway Protocol) perlu diaktifkan untuk
koneksi MP-BGP (Multiprotocol BGP) antara PE1 dengan PE2 dalam bertukar vpnv4
prefix masing-masing VPN.

Kode Program 1 Hasil Konfigurasi BGP 100 pada PE1


router bgp 100
no synchronization
neighbor 192.168.100.3 remote-as 100
neighbor 192.168.100.3 update-source Loopback0
no auto-summary

Kode Program 1 adalah hasil konfigurasi protokol BGP dengan autnonomous


number 100 diaktifkan di PE1. BGP 100 pada PE1 diatur untuk berhubungan dengan
Loopback0 PE2 dengan alamat 192.168.100.3/32. Setelah BGP antara PE1 dan PE2
berhasil dibangun (established) dalam hasil pemeriksaan #show ip bgp
neighbor maka MPLS di dalam Service Provider diaktifkan.
MPLS diaktifkan pada setiap interface yang menghubungkan PE1, P, dan PE2.
Tujuan diaktifkan MPLS, agar setiap paket data yang melintasi jaringan SP diberi
label (tag) untuk dikirimkan ke next hop berikutnya. Kode Program 2 menujukkan
hasil dari konfigurasi mengaktifkan MPLS pada interface Se0/2/0 dan Se0/2/1 di
router P.
Kode Program 2 Hasil Konfigurasi MPLS pada Router P
ip cef
mpls label protocol ldp
mpls ldp router-id Loopback0 force
interface Serial0/2/0
description ***CONNECTION TO PE1***
bandwidth 100000
ip address 192.168.2.2 255.255.255.0
mpls ip
interface Serial0/2/1
description ***CONNECTION TO PE2***
bandwidth 100000
ip address 192.168.3.1 255.255.255.0
mpls ip
clock rate 128000

Berikutnya, VRF (Virtual Routing and Forwarding) dikonfigurasi pada router


PE1 dan PE2. Pada penelitian ini dibuat dua VRF, VRF dengan nama vpnDKV untuk
pelanggan VPN DKV dan VRF dengan nama vpnTI untuk pelanggan VPN TI. VRF
diaktifkan dengan maksud untuk memisahkan routing table antara vpnTI dengan
vpnDKV. VRF dikonfigurasi bersama dengan nilai Route Distinguisher (RD) dan
Route Target (RT) yang digunakan untuk memberi tanda vpnv4 prefix masing-masing
VRF. Jadi, VRF vpnDKV diberi nilai RD 100:1 dan VRF vpnTI diberi nilai RD 100:2
seperti pada hasil konfigurasi pada Kode Program 3.
Kode Program 3 Hasil Konfigurasi VRF, RD, dan RT pada PE1 dan PE2
ip vrf vpnDKV
rd 100:1
route-target
route-target
!
ip vrf vpnTI
rd 100:2
route-target
route-target

export 100:1
import 100:1

export 100:2
import 100:2

Setelah VRF dibuat pada PE1 dan PE2, maka masing-masing interface yang
ada dalam PE1 dan PE2 dikonfigurasi untuk meneruskan paket data sesuai topologi.
Fa0/1 pada PE1 dikonfigurasi meneruskan (forwarding) paket data untuk vpnDKV,
Fa0/0 pada PE1 dikonfigurasi meneruskan paket data untuk vpnTI. Pada PE2, Fa0/0
dikonfigurasi untuk meneruskan paket data vpnDKV dan Fa0/1 untuk meneruskan
paket data untuk vpnTI seperti Kode Program 4.

Kode Program 4 Hasil Konfigurasi VRF Forwarding pada PE2


interface FastEthernet0/0
description ***CONNECTION TO CE2_VPN-DKV-B***
bandwidth 100000
ip vrf forwarding vpnDKV
ip address 192.168.4.1 255.255.255.0
speed 100
full-duplex
!
interface FastEthernet0/1
description ***CONNECTION TO CE2_VPN-TI-B***
bandwidth 100000
ip vrf forwarding vpnTI
ip address 192.168.5.1 255.255.255.0
speed 100
full-duplex

VRF tersebut belum mengenali jaringan pada sisi Client Edge (CE) masingmasing VPN, sehingga diperlukan Static Routing untuk menambahkan rute jaringan
kedalam masing-masing VRF routing table. Rute jaringan yang perlu ditambahkan
adalah sesuai Gambar 6. Pada Kode Program 5 ditunjukkan cara konfigurasi
penambahan Static Routing masing-masing VPN yang terhubung dengan PE1. Setelah
static routing masing-masing VRF pada PE1 dan PE2 dikonfigurasi, maka untuk
memeriksa apakah routing table masing-masing VRF sudah terbentuk, digunakan
perintah #show ip route vrf <vpnDKV | vpnTI>.
Kode Program 5 Konfigurasi Static Route vpnDKV dan vpnTI pada PE1
ip
ip
ip
ip

route
route
route
route

vrf
vrf
vrf
vrf

vpnDKV 192.168.10.0 255.255.255.0 192.168.1.1


vpnDKV 202.147.192.1 255.255.255.255 192.168.1.1
vpnTI 192.168.10.0 255.255.255.0 192.168.6.1
vpnTI 202.147.192.1 255.255.255.255 192.168.6.1

MP-BGP (Multiprotocol BGP) juga perlu diaktifkan pada PE1 dan PE2.
Fungsi dari MP-BGP adalah membuat sub-tunnel khusus untuk masing-masing VRF
yang dipakau untuk membawa vpnv4 prefix milik vpnDKV dan vpnTI. Pada Kode
Program 6 ditampilkan hasil konfigurasi MP-BGP pada PE1. BGP 100 pada PE1
bertukar address-family vpnv4 dengan BGP tetangganya (PE2) yang memiliki alamat
192.168.100.3.
Kode Program 6 Konfigurasi MP-BGP pada PE1
router bgp 100
address-family vpnv4
neighbor 192.168.100.3 activate
neighbor 192.168.100.3 send-community both
exit-address-family

Setelah MP-BGP dikonfigurasi pada PE1 dan PE2, langkah berikutnya adalah
menyuntikkan routing table VRF vpnDKV dan vpnTI yang static dan connected.
Langkah konfigurasi adalah sama untuk VRF vpnDKV dan VRF vpnTI pada router
PE1 dan PE2 seperti pada Kode Program 7.
Kode Program 7 Konfigurasi redistribute MP-BGP vpnDKV pada PE1
PE1(config)#router bgp 100
PE1(config-router)#address-family ipv4 vrf vpnDKV
PE1(config-router-a)# redistribute connected
PE1(config-router-a)# redistribute static

Kode Program 7 adalah langkah konfigurasi redistribute routing protocol.


Routing protocol milik VRF vpnDKV dari CE1_VPN_DKV-A di redistribute ke arah
PE1 untuk diubah menjadi MP-BGP. Setelah MP-BGP pada PE1 dan PE2 selesai
dikonfigurasi maka, jaringan Service Provider sudah selesai dikonfigurasi.
Selanjutnya masing-masing CE diaktifkan dan dikonfigurasi untuk mengenali
jaringan VPN yang ada di seberang dengan cara Static Routing, menambahkan alamat
jaringan VPN yang ada di seberang via interface di ingress PE.
7

Kode Program 8 Static Route pada CE1_VPN_DKV-A


ip route 192.168.4.0 255.255.255.0 192.168.1.2
ip route 192.168.11.0 255.255.255.0 192.168.1.2
ip route 202.147.192.2 255.255.255.255 192.168.1.2

Kode Program 8 adalah penambahan static route pada CE1_VPN_DKV-A.


192.168.4.0/24 adalah koneksi menuju VRF vpnDKV pada PE2 via 192.168.1.2.
192.168.11.0 adalah jaringan lokal CE2_VPN_DKV-B via 192.168.1.2.
202.147.192.2 adalah Loopback0 milik router CE2_VPN_DKV-B via 192.168.1.2
Kode Program 9 Static Route pada CE2_VPN_DKV-B
ip route 0.0.0.0 0.0.0.0 192.168.4.1

Kode Program 9 adalah static route pada router CE2_VPN_DKV-B. ip


route 0.0.0.0 0.0.0.0 192.168.4.1, memiliki arti router
CE2_VPN_DKV-B mengirim semua alamat IP dalam semua subnet mask yang
dimiliki ke next hop 192.168.4.1 (PE2). Sekarang, koneksi antara CE1_VPN_DKV-A
dengan CE2_VPN_DKV-B sudah dibangun dan dapat diperiksa dengan perintah
#ping <ip address>.
VPN Server dibangun mengguanakan Cisco Easy VPN Server Wizard melalui
aplikasi manajemen jaringan Cisco Configuration Professional 2.5. VPN server
vpnDKV ditemapatkan pada router CE2_VPN_DKV-B, sedangkan VPN server
vpnTI ditempatkan pada router CE1_VPN_TI-A. Fungsi dari VPN server ini adalah
melayani dial-up VPN, sehingga setiap paket data yang dikirimkan dari CE1 ke CE2
dan sebaliknya dienkripsi. Metode enkripsi yang dipakai adalah IPsec tunnel sebagai
standar enkripsi VPN. Gambar 3 adalah tampilan status Cisco Easy VPN server pada
router CE1_VPN_TI-A.

Gambar 3 Tampilan Status Easy VPN Server di Router CE1_VPN_TI-A

Cisco VPN Client 5.0 adalah aplikasi yang digunakan untuk dial-up VPN dari
PC milik pelanggan VPN ke VPN server milik pelanggan tersebut, sehingga terbentuk
jalur virtual atau tunneling IPsec/UDP dimana semua data yang dikirim dienkripsi
menggunakan metode IPsec. Cisco VPN Client 5.0 akan ditanam pada PC
192.168.11.2/24 milik vpnDKV dan PC 192.168.10.2/24 milik vpnTI. Tampilan dari
Cisco VPN Client 5.0 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Tampilan Cisco VPN Client 5.0

Tahapan metode penelitian yang kelima adalah Operate, dimana uji coba
sistem dilakukan secara realtime antara vpnDKV, vpnTI, dan SP. Monitoring juga
dilakukan untuk mengetahui kinerja sistem, kelebihan, dan kekurangannya untuk
dikumpulkan. Dalam tahap operate dilakukan analisis cara kerja Cisco Multi-VRF.
Tahapan metode penelitian yang terakhir adalah Optimize. Pada tahapan ini,
seluruh kekurangan yang sudah ditemukan dicarikan solusinya supaya sistem dapat
bekerja lebih baik, kinerja sistem meningkat, dan mengurangi kesalahan yang
mungkin terjadi.
4. Hasil dan Pembahasan
Hasil implementasi jaringan Cisco MPLS VPN Layer 3 yang dibangun di lab.
CTC-1 milik FTI-UKSW dibahas dengan memfokuskan pada kinerja jaringan MPLS
VPN Layer 3 milik SP. Uji coba sistem dilakukan dengan cara download dari web
server (HTTP) masing-masing VPN sehingga dapat diketahui kelebihan dan
kekurangan sistem yang dibangun.
Pembahasan yang pertama adalah cara kerja jaringan MPLS VPN Layer 3
yang telah diimplentasi. Pada IPv4 prefix dikirim oleh salah satu VPN dari CE1
menuju ke VPN di CE2, diperlukan Route Distinguisher dan Route Target untuk
mengarahkan IPv4 prefix tersebut.

Gambar 5 Cara Kerja VRF, RD, dan RT

Prefix-prefix VPN yang melintasi jaringan MPLS VPN Core dihantarkan


menggunakan Multiprotocol BGP (MP-BGP). Sewaktu MP-BGP menghantarkan prefix-prefix IPv4 di dalam jaringan Service Provider (SP) diperlukan konsep Route
Distinguisher (RD) yang berfungsi untuk menandai setiap pelanggan dan membuat
setiap prefix pelanggan menjadi unik dengan menambahkan nilai RD. Karena prefix
9

setiap pelanggan berbeda setelah diberi nilai RD, maka overlap alamat IP dapat
dilakukan tanpa terjadi gangguan di dalam jaringan SP. Sebagai contoh hasil dari
prefix milik vpnDKV 192.168.10.1/24 yang sudah disipi nilai RD 100:1 adalah
100:1:192.168.10.1/24. Prefix IPv4 yang sudah disisipi nilai RD disebut vpnv4 prefix.
Bila vpnTI dan vpnDKV memiliki alamat IP yang sama dalam jaringan lokal
mereka dan mengirimkan prefix IPv4 tersebut ke dalam jaringan SP tidak akan
menjadi masalah. Sebab setelah prefix-prefix IPv4 tersebut memasuki PE1 disisipi
nilai RD menjadi vpnv4 prefix sesuai topologi. Sebagai bukti, vpnv4 prefix milik
vpnDKV adalah 100:1:192.168.10.1/24 dan vpnv4 prefix milik vpnTI adalah
100:2:192.168.10.1/24, sehingga meskipun memiliki alamat IP yang sama, jaringan
inti SP tetap menganggapnya berbeda.
Route Target (RT) berfungsi untuk mengendalikan komunikasi data antara site
VPN yang satu dengan lainnya. RT adalah BGP extended community yang
mengarahkan jalur mana yang harus dipakai untuk mengimpor (import) dan
mengekspor (export) MP-BGP ke VRF yang seharusnya. Pada Gambar 5, vpnDKV
dan vpnTI memiliki nilai RT Import dan RT Export yang berbeda di dalam router
PE1.
Melakukan operasi RT Export berarti menambahkan BGP extended
community ke dalam rute vpnv4 yang dikirimkan dari VRF ke dalam MP-BGP.
Melakukan operasi RT Import berarti VRF menerima rute vpnv4 dari MP-BGP
kemudian dicocokan dengan nilai RT atau BGP extended community yang ada di
dalam VRF untuk diterima. Jika nilai RT cocok, maka vpnv4 prefix diubah menjadi
IPv4 prefix dan dimasukkan ke dalam routing table VRF tersebut, namun jika nilai
RT tidak cocok dengan yang dimiliki VRF, maka vpnv4 prefix tersebut dibuang
(dropped). Pada Gambar 6 ditunjukkan bahwa RT mengendalikan vpnv4 prefix
masing-masing pelanggan dari PE1 menuju PE2 supaya jalurnya tetap terpisah secara
virtual meskipun melewati media fisik yang sama.
Route Propagation adalah alur IPv4 prefix dari CE1 menuju ke CE2 yang
melewati protokol-protokol yang berbeda. Sebagai contoh jika CE1_VPN_TI-A
mengirim IPv4 prefix menuju CE2_VPN_TI-B, maka Route Propagation yang terjadi
digambarkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Tahap-tahap Route Propagation

Pada Gambar 6, CE1_VPN_TI-A mengirim data ke PE1 menggunakan Static


Route, PE1 menerima rute IPv4 kemudian rute IPv4 tersebut dimasukkan kedalam
VRF routing table vpnTI. Selanjutnya rute IPv4 tersebut diberi nilai RD (Route
10

Distinguisher) 100:1 oleh PE1 menjadi rute vpnv4 yang kemudian di "redistribute" ke
MP-BGP. Lalu, BGP (internal BGP) bertugas menangani rute vpnv4 tersebut untuk
didistribusikan ke PE2 yang ada di dalam jaringan MPLS Service Provider.
Kemudian PE2 melepas nilai RD 100:1 yang ada pada rute vpnv4 yang diterimanya,
lalu diubah menjadi rute IPv4 untuk dimasukkan ke dalam VRF routing table vpnTI.
Rute IPv4 inilah yang dikirimkan menuju CE2_VPN_TI-A menggunakan Static
Route.
Packet forwarding adalah cara dari paket IP diarahkan untuk melintasi
jaringan MPLS VPN dengan diberi nilai-nilai label MPLS oleh router PE1, P, dan
PE2. Sebagai contoh proses yang terjadi saat paket IP dari CE1_VPN_TI-A melintasi
MPLS VPN menuju CE2_VPN_TI-B seperti pada Gambar 7.

Gambar 7 Proses paket IP melintasi MPLS VPN

Berdasarkan Gambar 7, Paket IP 202.147.192.1/32 dari CE1_VPN_TI-A


dikirim ke VRF vpnTI yang ada di PE1. PE1 menerima IPv4 prefix kemudian
melakukan redistribute ke MP-BGP, diberi nilai RD 100:2 dan label 20 sehingga
berubah menjadi vpnv4 prefix 100:2:202.147.192.1/32. Nilai-nilai label dapat dilihat
pada Kode Program 4.4 sampai dengan 4.6. Lalu BGP yang ada pada ingress PE,
dalam hal ini PE1 mengirim vpnv4 prefix tersebut ke router P dengan memberi label
16. Kemudian router P meneruskan vpnv4 prefix tersebut ke PE2 dengan label 17.
Setelah vpnv4 prefix diterima oleh PE2, PE2 menghapus nilai label dan RD sehinggan
vpnv4 prefix diubah menjadi IPv4 prefix 202.147.192.1/32 untuk selanjutnya
dimasukkan ke dalam VRF vpnTI routing table.
Pembahasan yang kedua adalah hasil pengujian sistem, dimana komunikasi
data yang sesungguhnya terjadi antara pelanggan VPN dan jaringan Service Provider
untuk mengetahui keunggulan dan kekurangan dari sistem yang sudah
diimplementasi. Pengujian dilakukan dengan cara melakukan ping dan trace route
untuk mengetahui apakah jaringan sudah terhubung dan jalur mana saja yang dilewati,
serta menguji download sebuah file yang ada pada web server masing-masing
pelanggan VPN saat tidak memakai IPsec tunneling dan saat memakai IPsec
tunneling.
Pengujian pertama pada VPN TI tanpa mengaktifkan IPsec Tunneling. Untuk
mengetahui apakah jaringan vpnTI sudah terhubung, maka dilakukan operasi ping
dari PC 192.168.11.5/24 dengan tujuan PC 192.168.10.2/24 seperti pada Gambar 8.

11

Gambar 8 Hasil Ping 192.168.10.2

Berdasarkan Gambar 8, jaringan vpnTI sudah terhubung dengan RTT (round


trip time) rata-rata 21ms yang berarti paket ICMP cukup cepat untuk mengalir dari PC
192.168.11.5/24 ke PC 192.168.10.2/24 dan sebaliknya. Berikutnya untuk mengetahui
rute dan jumlah hop yang dilewati untuk mecapai tujuan PC 192.168.10.2/24 dari PC
192.168.11.5/24 digunakan perintah Tracert seperti pada Gambar 13

Gambar 9 Hasil Tracert vpnTI dari 192.168.11.5 ke 192.168.10.2

Berdasarkan gambar 9, paket data dari PC 192.168.11.5 melewati 6 hop untuk


mencapai alamat tujuan yaitu 192.168.10.2. Namun alamat IP jaringan Service
Provider belum tersembunyi, karena tidak diaktifkannya IPsec Tunneling.
Untuk menguji kecepatan, PC 192.168.11.5/24 melakukan download sebuah
file yang ada pada web server (WAMP) 192.168.10.2/24 tanpa mengaktifkan IPsec
tunneling. Gambar 10 menunjukkan proses download menggunakan browser Firefox
3.5.

Gambar 10 Proses Download vpnTI tanpa IPsec Tunneling

Berdasarkan Gambar 10, kecepatan download yang diperoleh vpnTI adalah


14,2KBps. Kecepatan seperti ini tidak dapat diandalkan untuk melakukan download
file dengan ukuran yang besar, karena membutuhkan waktu yang lama serta tidak
dapat diandalkan oleh pelanggan vpnTI.
Pengujian sistem berikutnya dilakukan pada vpnTI dengan mengaktifkan
IPsec tunneling. Untuk melakukan IPsec tunneling, PC 192.168.11.5/24 melakukan
dial-up VPN ke VPN server yang ada pada router CE1_VPN_TI-A dengan alamat
192.168.10.1/24 menggunakan aplikasi Cisco VPN Client 5.0 seperti pada Gambar
11.

Gambar 11 Autentikasi Cisco VPN Client utnuk Dial-up VPN

12

Kemudian untuk memeriksa apakah IPsec tunnel sudah aktif dalam jaringan
vpnTI. Maka dijalankan perintah tracert dari PC 192.168.11.5/24 menuju PC
192.168.10.2/24 seperti pada Gambar 12.

Gambar 12 Hasil tracert dari 192.168.11.5 ke 192.168.10.2


dengan mengaktifkan IPsec tunnel

Pada Gambar 12, hasil tracert hanya menampilkan dua hop saja yaitu router
CE1_VPN_TI-A 192.168.10.1 (VPN server) dan PC 192.168.10.2 (tujuan), berarti
IPsec tunneling sudah aktif di dalam jaringan vpnTI. Alamat IP jaringan Service
Provider juga telah disembunyikan oleh IPsec tunnel.
Selanjutnya untuk uji kecepatan, PC 192.168.11.5/24 melakukan download
sebuah file yang ada pada web server (WAMP) 192.168.10.2/24 dengan mengaktifkan
IPsec tunneling. Gambar 13 menunjukkan proses download menggunakan browser
Firefox 3.5.

Gambar 13 Proses Download vpnTI dengan IPsec Tunneling

Karena proses enkripsi dilakukan dalam IPsec tunneling, kecepatan download


menurun dari 14,2KBps (tanpa IPsec tunneling) menjadi 13,5KBps. Menurunnya
kecepatan pasti tidak akan memuaskan pelanggan VPN, karena dibutuhkan waktu
yang lama untuk download file dari web server.
Berikutnya pengujian sistem pada sisi vpnDKV tanpa mengaktifkan IPsec
Tunelling. Untuk mengetahui apakah jaringan vpnDKV sudah terhubung, maka
dilakukan operasi ping dari PC 192.168.10.2/24 ke PC 192.168.11.2/24 seperti pada
Gambar 14.

Gambar 14 Hasil Ping 192.168.11.2

Berdasarkan Gambar 14, jaringan vpnDKV sudah terhubung. Hasil RTT


(round trip time) rata-rata 21ms yang berarti paket ICMP cukup cepat untuk mengalir
dari PC 192.168.10.2/24 ke PC 192.168.11.2/24 dan sebaliknya.
Berikutnya untuk mengetahui rute dan jumlah hop yang dilewati untuk
mecapai tujuan PC 192.168.11.2/24 dari PC 192.168.10.2/24 digunakan perintah
Tracert seperti pada Gambar 15.

13

Gambar 15 Hasil Tracert vpnDKV dari 192.168.10.2 ke 192.168.11.2

Berdasarkan Gambar 15, paket data dari PC 192.168.10.2 melewati 6 hop


untuk mencapai alamat tujuan yaitu 192.168.11.2. Namun alamat IP milik Service
Provider masih muncul karena IPsec tunelling belum diaktifkan.
Untuk menguji kecepatan pada vpnDKV, PC 192.168.10.2/24 melakukan
download sebuah file yang ada pada web server (WAMP) 192.168.11.2/24 tanpa
mengaktifkan IPsec tunneling. Gambar 16 menunjukkan proses download
menggunakan browser FireFox 3.5.

Gambar 16 Proses Download vpnDKV

Berdasarkan Gambar 16, dapat dilihat kecepatan download vpnDKV tanpa


mengaktifkan IPsec tunneling adalah 4,5Kbps. Hasil ini lebih lambat dari vpnTI dan
tidak akan memuaskan pelanggan vpnDKV. Dengan kecepatan yang hanya 4,5KBps
dibutuhkan waktu yang lama untuk download file yang berukuran besar.
Pengujian sistem berikutnya dilakukan pada vpnDKV dengan mengaktifkan
IPsec tunneling. PC 192.168.10.2/24 melakukan dial-up VPN ke VPN server yang
ada pada router CE2_VPN_DKV-B dengan alamat 192.168.11.1/24 menggunakan
aplikasi Cisco VPN Client 5.0. Tetapi berdasarkan usaha penelitian yang sudah
dilakukan, vpnDKV gagal dalam melakukan dial-up VPN, muncul keterangan "The
remote peer is not responding." seperti pada Gambar 17.

Gambar 17 Remote Peer is Not Responding (vpnDKV)

Gambar 17 menunjukkan terjadinya kegagalan vpnDKV dalam mengaktifkan


IPsec tunnel. Kegaglan ini bukan berdasarkan kesalahan konfigurasi, namun adanya
bottle neck di dalam jaringan Service Provider yang akan dijelaskan di bagian akhir.
Untuk menilai kinerja VPN pada Cisco Multi-VRF dilakukan pengukuran dari
beberapa parameter Network Peroformance Parameters (NPMs). Parameter yang
dipakai antara lain reliability, jitter, packet loss, dan bandwidth [7]. Setelah semua
data tentang parameter-paramater tersebut terkumpul, maka dapat ditentukan hasil
penilaian kinerja jaringan yang telah diimplementasi.
Pertama,
analisis
menggunakan parameter reliability. Reliability adalah nilai seberapa stabil jaringan
14

dapat diandalkan dalam menyediakan layanan kepada pelanggannya. Dalam


penelitian ini, nilai reliability setiap interface pada setiap router dapat dilihat dengan
perintah #show interface [FastEthernet {number} | Serial
{number}] | include reliability. Nilai reliability penuh pada
perangkat Cisco adalah 255/255. Perintah ini dijalankan pada setiap router untuk
didata berapakah nilai reliability masing-masing interface [1].
Hostname
CE1_VPN_DKV-A
CE1_VPN_TI-A
PE1
P
PE2
CE1_VPN_DKV-B
CE1_VPN_TI-B

Tabel 1 Nilai Reliability setiap Interface


Fa0/0
Fa0/1
Se0/2/0
Se0/2/1
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
255/255
-

Se0/3/0
255/255
255/255
-

Berdasarkan Tabel 1 nilai reliability yang didapat pada semua interface adalah
255/255. Berarti semua interface berfungsi penuh dan tidak pernah down atau mati
selama waktu pengambilan nilai reliability dilakukan.
Parameter uji yang kedua adalah jitter. Jitter adalah variasi delay yang
diakibatkan oleh panjang antrian paket-paket data dalam proses reassemble paketpaket data ketika tiba di tujuan akhir pengiriman. Pada dasarnya, jika nilai jitter
semakin bertambah maka kecepatan jaringan akan terasa melambat. Jitter terbagi
menjadi empat kategori berdasarkan nilainya, antara lain excellent dengan nilai jitter
<75ms. Good dengan nilai jitter antara 75ms sampai 125ms. Average dengan nilai
jitter antara 75ms sampai 125ms. Poor dengan nilai jitter antara 125ms sampai 225ms
[8].
Dalam jaringan MPLS VPN yang telah diimplementasi, metode yang
digunakan untuk mengukur nilai jitter masing-masing VPN adalah menggunakan "IP
SLA ICMP Path Jitter" pada router CE masing-masing VPN. IP SLA ICMP Path
Jitter adalah operasi dari Ciso IOS untuk mengukur nilai jitter setiap titik, mengukur
packet loss, dan mengukur delay [8]. Langkah-langkah mengaktifkan IP SLA ICMP
Path Jitter untuk mengukur nilai jitter dapat dilihat pada Kode Program 10.
Kode Program 10 IP SLA Path Jitter pada CE2_VPN_TI-B
ip sla monitor 1
type pathJitter dest-ipaddr 202.147.192.1 source-ipaddr 202.147.192.2 num-packets 20
request-data-size 32
timeout 1000
owner Mr. Jeffrey
tag COBA vpnTI
frequency 20
ip sla monitor schedule 1 life forever start-time now

Kode Program 10 adalah hasil konfigurasi IP SLA monitor 1 untuk memonitor


Path Jitter dari 202.147.192.2 menuju ke 202.147.192.1 dengan jumlah paket
sebanyak 20 paket. Ukuran setiap paket adalah 32 byte dengan aturan timeout
1.000ms. IP SLA yang dijalankan adalah milik Mr. Jeffrey serta diberi tanda (tag)
COBA vpnTI. Pengiriman paket data dilakukan terus menerus dengan frekuensi
setiap 20 detik. Hasil dari PathJitter dapat dilihat dengan perintah #show ip sla
monitor statistic 1. Hasil dari monitor IP SLA akan muncul berupa statistik
seperti pada Kode Program 11
Kode Program 11 Hasil Statistik dari IP SLA Monitor 1 pada CE2_VPN_TI-B
CE2_VPN_TI-B#show ip sla moni stat

15

Round trip time (RTT)


Index 1
Latest RTT: 80 ms
Latest operation start time: *00:11:55.751 UTC Fri Mar 1 2002
Latest operation return code: OK
---- Path Jitter Statistics ---Hop IP 192.168.5.1:
Round Trip Time milliseconds:
Latest RTT: 18 ms
Number of RTT: 20
RTT Min/Avg/Max: 7/18/39 ms
Jitter time milliseconds:
Number of jitter: 14
Jitter Min/Avg/Max: 3/14/32 ms
Packet Values:
Packet Loss (Timeouts): 0
Out of Sequence: 0
Discarded Samples: 0
Hop IP 192.168.6.1:
Round Trip Time milliseconds:
Latest RTT: 80 ms
Number of RTT: 20
RTT Min/Avg/Max: 51/80/136 ms
Jitter time milliseconds:
Number of jitter: 19
Jitter Min/Avg/Max: 1/18/49 ms
Packet Values:
Packet Loss (Timeouts): 0
Out of Sequence: 0
Discarded Samples: 0
Operation time to live: Forever

Kode Program 10 adalah hasil dari Path Jitter dari CE2_VPN_TI-B menuju
CE2_VPN_TI-A. Dapat dilihat, hanya dua hop yang muncul yaitu 192.168.5.1 dan
192.168.6.1 karena alamat IP yang berada di dalam Service Provider MPLS Cloud
berada dalam Layer 3, sedangkan IP SLA ICMP Path Jitter berjalan di dalam Layer
2. Berdasarkan nilai jitter yang didapat, pada hop 1 nilai jitter adalah 14ms berarti
masuk dalam kategori excellent. Pada hop 2 nilai jitter yang didapat adalah 19ms
berarti masuk dalam kategori excellent.
IP SLA ICMP Path Jitter akan diaktifkan di router CE1_VPN_DKV-A
menuju CE1_VPN_DKV-B tanpa IPsec tunneling, CE1_VPN_TI-B menuju
CE1_VPN_TI-A tanpa IPsec tunneling, dan CE1_VPN_TI-B menuju CE1_VPN_TIA dengan mengaktifkan IPsec tunneling. Hasil nilai-nilai jitter didata pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil dari IP SLA ICMP Path Jitter.
Hostname
CE1_VPN_DKV-A
CE1_VPN_TI-B
CE1_VPN_DKV-A
dengan IPsec
CE1_VPN_TI-B
dengan IPsec

Jitter di Hop 1
18ms
14ms
-

Jitter di Hop 2
46ms
19ms
-

Kategori
Excellent
Excellent
-

(tidak diketahui/
terenkrispi)

221ms

Poor

Tabel 2 menujukkan nilai jitter dari masing-masing VPN. Saat IPsec tunneling
tidak diaktifkan, kedua VPN memiliki jitter dalam kategori Excellent. Namun saat
IPsec tunneling diaktifkan nilai jitter meningkat drastis hingga msuk dalam kategori
Poor.
Parameter uji yang ketiga adalah packet loss. Packet loss adalah paket data
yang gagal dikirim. Semakin banyak jumlah packet loss, maka akan menimbulkan
masalah dalam jaringan. Packet Loss dibagi menjadi empat kategori berdasarkan nilai
prosentase paket yang gagal dikirim. Kategori pertama adalah Excellent dengan
16

prosentase 0% packet loss, kedua adalah Good dengan prosentase antara 0% sampai
3% packet loss, ketiga adalah Average dengan prosentase antara 3% sampai 15%
packet loss, keempat adalah Poor dengan prosentase 15% sampai 25% packet loss [8].
Pada pengujian jitter, telah dilakukan mekanisme monitor IP SLA ICMP Path
Jitter, dimana hasil statistik menunjukkan nilai jitter dan packet loss. Sehingga hasil
monitor packet loss yang terjadi saat pengiriman data dari router CE1_VPN_DKV-A
menuju CE1_VPN_DKV-B tanpa IPsec tunneling, CE1_VPN_TI-B menuju
CE1_VPN_TI-A tanpa IPsec tunneling, dan CE1_VPN_TI-B menuju CE1_VPN_TIA dengan mengaktifkan IPsec tunneling. didata pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Monitoring Packet Loss
Hostname
Packet Loss
CE1_VPN_DKV-A
0%
CE1_VPN_TI-B
0%
CE1_VPN_DKV-A dengan IPsec
CE1_VPN_TI-B dengan IPsec
1%

Kategori
Excellent
Excellent
Excellent

Tabel 3 menunjukkan prosentase packet loss dari masing-masing VPN. Pada


waktu IPsec tidak diaktifkan, vpnTI dan vpnDKV tidak memiliki packet loss dan
masuk dalam kategori Excellent. Saat IPsec diaktifkan, vpnTI mengalami 1% packet
loss yaitu terdapat dua paket data yang gagal didekripsi, namun prosentase packet loss
hanya sebesar 1% maka masuk di dalam kategori Excellent.
Parameter uji yang keempat adalah latency. Latencey disebut juga One-Way
Delay, adalah total waktu tunda (delay) yang dibutuhkan sebuah paket data yang
diakibatkan oleh proses transmisi dari titik asal ke titik tujuan. Nilai Latency dibagi
menjadi empat kategori, antara lain excellent yang memiliki delay lebih kecil dari
150ms. Good dengan nilai delay antara 150ms sampai 300ms. Poor dengan nilai
delay antara 300ms sampai 400ms. Unaceptable dengan nilai delay diatas 450ms.
Jadi, semakin kecil nilai latency,maka jaringan akan terasa semakin cepat [8]
Oleh karena rute masing-masing VPN dalam jaringan yang telah
diimplementasi (jalur saat mengirim paket dan menerima paket kembali) tidak akan
berubah, maka nilai latency adalah separuh dari nilai Round Trip Time (RTT).
Sehingga berikut adalah hasil rata-rata dari nilai latency masing-masing VPN yang
didata pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil Rata-rata Latency Masing-masing VPN
Rata-rata Latency 2
Nama VPN
Rata-rata RTT
vpnTI
21ms
11ms
vpnDKV
21ms
11ms
vpnTI dengan IPsec
357ms
178,5ms
vpnDKV dengan IPsec
-

Kategori
Excellent
Excellent
Good
-

Berdasarkan Tabel 4, nilai rata-rata latency saat jaringan VPN berjalan normal
tanpa enkripsi IPsec tunneling adalah dibawah 150 ms, sehingga termasuk dalam
kategori excellent. Namun setelah IPsec tunneling diaktifkan, nilai latency menjadi
bertambah drastis seperti yang terjadi pada vpnTI. Hal ini terjadi karena adanya
proses enkripsi dan dekripsi dari setiap paket data yang dikirim dan diterima pada
jaringan IPsec vpnTI. Meskipun latency pada jaringan vpnTI bertambah drastis, hasil
perhitungan masih tergolong dalam kategori Good. Sedangkan nilai latency pada
jaringan vpnDKV dengan IPsec tunneling tidak ada, karena terjadi kegagalan dalam
mengaktifkan IPsec tunneling yang disebabkan kecepatan jaringan yang terlalu
lambat. Hal ini besar kemungkinan terjadi karena adanya bottle neck pada jaringan
Service Provider.
17

Bottle Neck pada jaringan Service Provider dicurigai terjadi karena lambanya
kecepatan yang diterima oleh vpnTI dan vpnDKV. Kecurigaan ini perlu dibuktikan,
salah satunya dimulai dari memeriksa media penghubung router PE1, P, dan PE2.
Ketiga router milik Service Provider ini dihubungkan menggunakan kabel Serial
DCE/DTE lalu ditancapkan pada modul WIC-2T. WIC-2T adalah dua port
asynchronous/synchronous serial network module berkecepatan rendah, maksimal
128Kbps [9]. Sedangkan koneksi antara SP dengan setiap CE menggunakan Fast
Ethernet yang berkecepatan maksimal 100Mbps. Sehingga bottle neck terjadi di
dalam jaringan SP sepeti pada Gambar 18.

Gambar 18 Bottle Neck pada Jaringan Service Provider

Dari hasil pengujian download yang sudah dilakukan pada vpnTI dan
vpnDKV pada Tabel 1, kecepatan download vpnTI dan vpnDKV tidak akan melebihi
128Kbps. Hal ini disebabkan modul WIC-2T yang dipakai oleh router PE1, P, dan
PE2 di dalam jaringan Service Provider hanya mampu menangani transfer data
dengan kecepatan maksimal 128Kbps.
Tabel 5 Hasil pengujian download vpnTI dan vpnDKV
Kecepatan download
Kecepatan download
Nama VPN
(KBps)
(bps)
vpnTI
14,2
113.600
vpnDKV
4,5
36.000
vpnTI dengan
13,5
108.000
IPsec
vpnDKV dengan
IPsec

Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui kelemahan jaringan Service Provider


yang telah diimplementasi. Kelemahannya adalah terjadinya bottle neck yang
disebabkan rendahnya kecepatan yang mampu dihantarkan oleh media penghubung
(WIC-2T) antara PE1, P, dan PE2. Kemudian, dari Tabel 1 dapat dihitung prosentase
pemakaian bandwidth oleh vpnTI dan vpnDKV, sehingga dapat diketahui apakah
jaringan yang sudah diimplementasi efektif atau tidak.
Mengingat keterbatasan modul WIC-2T yang dipakai di dalam jaringan
Service Provider hanya mampu melakukan transmisi data 128Kbps [9], maka untuk
menentukan efektifitas kinerja jaringan ini dilakukan dengan perhitungan prosentase
pemakaian bandwidth masing-masing VPN. Hasil dari prosentase pemakaian
bandwidth tertera pada Tabel 6.

18

Tabel 6 Hasil prosentase pemakaian bandwidth vpnTI dan vpnDKV


Kecepatan download
Nama VPN
Prosentase pemakaian
bandwidth
(bps)
vpnTI
113.600
88,75%
vpnDKV
36.000
28,12%
vpnTI dengan
108.000
84,38%
IPsec
vpnDKV dengan
IPsec

Berdasarkan Tabel 6, vpnTI mengkonsumsi 88,75% dari bandwidth yang


tersedia di dalam Service Provider MPLS Cloud. Sedangkan vpnDKV mengkonsumsi
28,12% dari bandwidth yang tersedia. Sehingga vpnTI memngkonsumsi bandwidth
jauh lebih banyak dari vpnDKV meskipun keduanya memiliki kecepatan yang lambat,
namun vpnTI memiliki prosentase yang lebih besar dalam konsumsi bandwidth.
5. Simpulan
Berdasarkan analisis kinerja VPN pada Cisco Multi-VRF yang telah dibangun
di lab. CTC1 milik FTI-UKSW, maka dapat ditarik kesimpulan, diantaranya multiVRF dapat diterapkan dalam jaringan MPLS VPN Layer 3. Masing-masing VPN
memiliki routing table yang independen, yaitu VRF vpnTI dan VRF vpnDKV.
Overlap alamat IP dapat dilakukan dalam jaringan MPLS VPN Layer 3, sehingga
vpnTI tidak akan bisa menyeberang ke vpnDKV dan sebaliknya. Berdasarkan hasil
analisis reliability, jitter, latency, dan prosentase pemakaian bandwidth jaringan tidak
melebihi batas toleransi NPMs (Network Performance Parameters), walaupun
ditemukan bottle neck di dalam MPLS Cloud milik Service Provider yang
menggunakan Serial Module WIC-2T dengan kecepatan maksimum 128Kbps.
6. Daftar Pustaka
[1] Cisco Systems., 2007., Cisco VPN Solutions Center : MPLS Selection User Guide
[2] Pultz, Richard., 2004., Analysis of MPLS-Based IP VPN Security: Comparison to
Traditional L2VPNs such as ATM and Frame Relay, and Deployment Guidelines.
[3] Seno, Rahardianto., 2010., Perancangan dan Penerapan Teknologi Multi Protocol
Label Switching Pada Jaringan Telekomunikasi Indosat Oleh Pt. Anugrah
Sentosa Informatika Indonesia., Iskandar, M. Yudhi, Mota, Miftah A.
[4] Bollapragada, Vijay., 2005., IPsec VPN Design., Khalid, Mohhamed., Wainner,
Scott.
[5] Fitzgerald, Denis., 2012., Business Data Communications & Networking 11th
Edition.
[6] Ghein, Luc De., 2007., MPLS Fundamentals.
[7] Lee , Hyo-Jin dkk., 2007., QoS Parameters to Network Performance Metrics
Mapping for SLA Monitoring.
[8] Cisco Systems., 2008., Cisco IOS IP SLA Configuration Guide Release 12.4
[9] Cisco Systems., 2011., Cisco Packet Tracer 5.3.3.0019.

19

Anda mungkin juga menyukai