Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
VISUM ET REPERTUM
(Visa et Reperta para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu
menyelesaikan pelajarannya di negeri Belanda atau di Indonesia, maupun atas sumpah khusus seperti
tercantum dalam pasal 2, mempunyai daya bukti yang syah dalam perkara-perkara pidana, selama Visa
et Reperta tersebut berisi keterangan mengenai hal-hal yang diamati oleh dokter itu pada benda yang
diperiksa.)
VER turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan
dan jiwa manusia. VER menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis yang
tertuang dalam bagian hasil pemeriksaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti
barang bukti.
JENIS JENIS VISUM ET REPERTUM
Dalam KUHAP pasal 133 ayat (1) disebutkan bahwa:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.
Berdasarkan apa yang tercantum dalam pasal tersebut, maka VER juga dapat dikategorikan
sebagai berikut:
BERDASARKAN KORBAN
BERDASARKAN KASUS
BERDASARKAN JENISNYA
VER luka
VER penganiayaan
VER keracunan
VER kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT)
Selain VER yang berkaitan dengan tubuh manusia seperti tersebut di atas, ada satu lagi jenis
visum et repertum, yaitu visum et repertum psikiatri. Tubuh manusia yang biasa diperiksa untuk
kepentingan peradilan tersebut berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan visum et
repertum psikiatri menyangkut keadaan jiwa/mental tersangka atau terdakwa dalam suatu tindak
pidana.
Meskipun jenisnya bermacam macam, nama resminya tetap Visum et Repertum tanpa
embel embel lain.
TATA CARA PERMINTAAN VISUM ET REPERTUM
Secara umum, permintaan VER harus dilakukan secara tertulis dan diserahkan oleh
peyidik kepada dokter pemeriksa bersamaan dengan korban yang akan diperiksa, baik itu korban
hidup maupun korban mati.
KUHAP pasal 133 ayat (2):
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
Pada prakteknya, hal ini mudah saja dikerjakan pada korban mati. Namun, pada korban hidup,
pada umumnya korban akan pergi ke dokter terlebih dahulu untuk mendapat pertolongan baru
kemudian melapor ke polisi. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan
lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa
surat permintaan visum et repertum (SPVR) korban luka akan datang "terlambat" dibandingkan
dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat
diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et
repertum. Kerjasama yang baik antara dokter/penyedia layanan kesehatan dengan penyidik dapat
mengurangi keterlambatan datangnya surat permintaan visum et repertum.
STRUKTUR DAN ISI VISUM ET REPERTUM
Sampai saat ini, belum ada standarisasi terhadap bentuk VER, sehingga secara umum
bentuk VER terserah kepada dokter pemeriksa. Namun, ada ketentuan umum yang harus
dipenuhi dalam pembuatan VER:
a. Diketik di atas kertas dan berkepala surat instansi pemeriksa,
b. Bernomor dan bertanggal,
c. Mencantumkan kata "Pro Justitia" di bagian atas (kiri atau tengah),
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,
e. Tidak
menggunakan
singkatan
terutama
pada
waktu
mendeskripsikan
temuan
pemeriksaan,
f.
Tidak menggunakan istilah asing. Bila tak dapat dihindari maka berikan pula penjelasannya
dalam bahasa Indonesia.
j.
Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum (instansi). Apabila ada lebih
dari satu instansi peminta (misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM) dan keduanya
berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masingmasing "asli".
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan
sebaiknya hingga 30 tahun.