Anda di halaman 1dari 46

PRESENTASI KASUS BESAR

STEMI Recent Infark Anterior


Congestive Heart Failure

Pembimbing:
dr. Abraham Avicenna, Sp. JP

Disusun oleh:
Suci Nuryanti

G4A014076

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2015LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS BESAR

STEMI Recent Infark Anterior


Congestive Heart Failure

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh :

Suci Nuryanti

G4A014076

Pada tanggal, November 2015


Mengetahui
Pembimbing,

dr. Abraham Avicenna, Sp. JP

I.

PENDAHULUAN

Infark adalah kerusakan sel ireversibel dan nekrosis jaringan atau kematian
jaringan yang disebabkan karena iskemia yang berlangsung lebih dari 30 sampai
45 menit. Bagian miokardium yang mengalami infark akan meberhenti
berkontraksi secara permanen (Price, 2005).
STEMI (ST-segment elevation myocardial infarction) adalah salah satu jenis
serangan jantung karena penebalan dinding otot jantung yang disebabkan karena
terputusnya aliran darah ke salah satu bagian dari jantung dan dinyatakan dengan
adanya elevasi segmen ST (Farissa, 2012).
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.Di
Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang
lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika
Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di
Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung, di RS
Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500 pasien berobat jalan dan
sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Meskipun terapi gagal jantung
mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian dalam 5-10 tahun tetap
tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal jantung lanjut dan 5-10% dari
pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan (Oemar, 2004).
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin
meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang
utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan
hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar
62% pada pria dan 42% wanita (Oemar, 2004).

II.

STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama

Tn. W

Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Agama
Tgl. Masuk RS

:
:
:
:
:
:

50 tahun
Laki-laki
Karangtengah 05/06 Cilongok
Pegawai PDAM
Islam
19 September 2015

Tgl Periksa

22 September 2015

Ruang

Asoka

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan alloanamnesis)


1. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan utama

: Sesak nafas

b. Onset

: 4 jam SMRS

c. Kuantitas

: Sesak nafas dirasakan hilang timbul

d. Kualitas

: Sesak nafas dapat mengganggu aktivitas

e. Faktor memperingan

: Sesak nafas berkurang jika tidur dengan

menggunakan 3-4 bantal di kepala.


f. Faktor memperberat

: Sesak nafas bertambah berat setelah

aktivitas .
g. Keluhan penyerta

: Nyeri dada sebelah kiri, berdebar-debar,

keringat dingin, kedua kaki bengkak, batuk tidak berdahak.


Pasien datang ke RSMS (Rumah Sakit Margono Soekarjo) dengan
sesak nafas. Keluhan ini dirasakan sejak 4 jam SMRS yang dirasakan
hilang timbul. Sesak nafas terutama dirasakan bila beraktivitas seperti
berjalan atau tidur dengan posisi kepala sejajar alas tidur. Pasien merasa
lebih nyaman saat tidur dengan menggunakan 3-4 bantal di kepala. Selama
tidur di malam hari, pasien sering tiba-tiba terbangun karena sesak nafas,
sesak nafas tidak tergantung pada cuaca maupun emosi. Sesak nafas tidak
disertai dengan bunyi ngik-ngik, dan tidak berkeringat malam. selain itu
pasien juga mengeluhkan berdebar-debar, keringat dingin, kedua kaki
bengkak.
Pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri, bertambah berat
ketika beraktivitas, untuk mengurangi nyeri dada tersebut pasien istirahat

namun nyeri dada tidak berkurang. Keluhan pertama kali muncul saat
pasien bangun tidur. Keluhan disertai keringat dingin dan mual.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama

: diakui 2x yakni bulan agustus


tahun 2015

b. Riwayat hipertensi

: diakui sejak 3 tahun yang lalu,


terkontrol dengan meminum obat
amlodipin 1x5mg

c. Riwayat DM

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

: diakui rawat ICCU bulan agustus


tahun 2015

e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal

g. Riwayat sakit kuning

: disangkal

h. Riwayat operasi

: diakui (operasi pemasangan ORIF


tahun 2011)

3. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan yang sama

: disangkal

b. Riwayat hipertensi

: disangkal

c. Riwayat DM

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat alergi

: disangkal

4. Riwayat Sosial Ekonomi


a. Pekerjaan
Pasien bekerja sebagai petugas PDAM yang banyak menghabiskan
waktunya di kantor. Kehidupan ekonomi keluarganya berkecukupan.
Pasien merupakan pasien BPJS non PBI (Askes).
b. Keluarga
Pasien tinggal di rumah bersama istri dan dua orang anaknya yang
berjenis kelamin laki-laki. Hubungan keluarga dikatakan harmonis.
c. Diet

Pasien makan 3 kali sehari dengan jumlah dan jenis makanan


bervariasi. Pasien menyenangi jeroan, dan makanan bersantan.
d. Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok dan jarang berolahraga.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran
Vital Sign

:
:
:

Tinggi Badan

Tampak sakit, sedang


Compos mentis
TD : 160/100 mmhg
N : 80x/menit
RR : 28 x/menit
S : 36,5 OC
170 cm

Berat Badan

IMT

72 kg
24,9

Status Generalis
1.

Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala
Rambut

:
:

Mesochepal, simetris, venektasi temporal (-)


Warna rambut kecoklatan akibat di semir, tidak mudah
rontok, distribusi merata

2.

3.
4.
5.

Pemeriksaan Mata
Palpebra
Konjunctiva
Sklera
Pupil
Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan Mulut

:
:
:
:
:
:
:

Edema (-/-), ptosis (-/-)


Anemis (-/-)
Ikterik (-/-)
Reflek cahaya (+/+), isokor 3 mm
Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), rinore (-/-)
Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibirkering (-), lidah
kotor (-), tremor (-),ikterik (-)

6.

Pemeriksaan Leher
Trakea
Kelenjar Tiroid
Kel. Limfonodi
JVP

:
:
:
:

Deviasi trakea (-)


Tidak membesar
Tidak membesar, nyeri tekan (-)
Meningkat (5+4 CmH2O)

Pemeriksaan Dada

.
6

Paru-paru

Inspeksi
:
Hemithorax dextra =
8. Pemeriksaan Abdomen
sinistra
Inspeksi
: datar, supel
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Ketinggalan gerak (-)
Perkusi
: Pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi
: Vocal fremitus apex dextra = sinistra
Palpasi
: Undulasi (-), Nyeri tekan (-)
Jantung
Vocal
basalpembesaran
dextra = sinistra
Hepar
: fremitus
tidak teraba
Lien Inspeksi : tidak
teraba
pembesaran
IctusSIC
cordis
tampak di SIC VI satu jari lateral
Perkusi
: Batas paru: hepar
V LMCD
LMCS, P.Parasternal(-), P.Epigastrium(-)
Auskultasi
: Apex : SD vesikuler +/+
9
PalpasiBasalPemeriksaan
IctusEkstremitas
cordis
: SD: vesikuler
+/+ teraba di SIC VI satu jari lateral
Superior
: Akral dingin (-/-), sianosis (-/-), edem (-/-), reflek
kuat angkat
Rbh basal +/+LMCS,
; Rbk parahiler
-/- ;(-)
wh. parahiler -/fisiologis(+/+) N, reflek patologis (-/-)
Perkusi : Akral
: Batas
Inferior
dinginjantung
(-/-), sianosis (-/-), edem (+/+), reflek
Kanan atas
SIC
II LPSD(-/-)
fisiologis(+/+)
N, reflek
patologis

Auskultasi

Kanan bawah

SIC IV LPSD

Kiri atas

SIC II LPSS

Kiri bawah

SIC VI satu jari lateral LMCS

S1 > S2 reguler, Gallop(-), Murmur (-)


A1 < A2 ; P1 < P2 ; T1 > T2 ; M1 > M2

10. Pemeriksaan Limphonodi : Tidak teraba


11. Pemeriksaan turgor kulit : < 2 detik
12. Pemeriksaan Akral

: Hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium 20 September 2015
Pemeriksaan
Haemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
Ureum darah
Kreatinin darah
Asam Urat
GDS
Natrium
Kalium
Clorida

Hasil
13,9 L
7670
39 L
4,3 juta L
196.000
89,4
32,1 H
35,9
0,9
3,3
0,4 (L)
59,3
29,2
6,9
25,7
0,83
7,3 H
77
139
3,7
105

Foto Thorax tanggal 20 September 2015

Interpretasi:
Trakhea di tengah.
Cor

: CTR 61%, apeks jantung tampak melebar ke latero-kaudal

Pulmo

: Tak tampak bercak pada kedua lapang paru

Kesan

: cardiomegali (LV).

EKG tanggal 19 September 2015

Interpretasi:
Irama sinus
HR

: 84 x/m

Aksis

: normoaksis

PR

: tidak ada AV Block

QRS

: terdapat LBBB

ST

: ST elevasi V1-V6 (Infark anterior)

: Inverted

: Q patologis di V1-V5 (old infark anterior)

10

E. DIAGNOSIS KERJA
-

STEMI Recent Infark Anterior


Congestive Heart Failure
diagnosis etiologi
: hipertensi, STEMI Recent Infark Anterior
diagnosis anatomi
: Left Ventricle Hypertrophy
diagnosis fungsional : NYHA IV

F. TERAPI
No

Tanggal

.
1.

19 September 2015

Terapi
O2 3-4 lpm
IVFD RL 20 tpm
Inj.Ranitidin 2x1 A
Inj. Furosemid 3x1 amp
P.O aspilet 80 mg,1 x 1 tab
P.O digoxin 1 x 1/2 tab (1 tab = 0,025 mg)
P.O ISDN 5 mg,3 x 1 tab SL
Konsul Sp.JP :
Terapi lanjut
Digoxin stop
Inj.Ceftriaxone 1x2 gram
Inj. Spironolakton 1x25 mg
Simvastatin 1x20 mg

2.

20 September 2015

Ramipril 1x5 mg
O2 3 lpm
IVFD RL 10 tpm
P.O aspilet 1x80 mg
Klopidogrel 1x1 tab
Nitrokaf R 2X1 caps
Simvastatin 1x20 mg
Ramipril 1x5 mg
Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
Ambroxol 3x1 tab

11

Inj. Furosemid 2x 1 amp


3.

21 September 2015

Inj. Spironolakton 1x25mg


O2 3 lpm
IVFD RL 10 tpm
P.O aspilet 1x80 mg
Klopidogrel 1x1 tab
Nitrokaf R 2X1 caps
Simvastatin 1x20 mg
Ramipril 1x5 mg
Inj. Ceftriaxone 1x2 gr (H.2)
Ambroxol 3x1 tab
Inj. Furosemid 2x 1 amp 1 x 1 amp

4.

22 September 2015

Inj. Spironolakton 1x25mg


O2 3 lpm
IVFD RL 10 tpm
P.O aspilet 1x80 mg
Klopidogrel 1x1 tab
Nitrokaf R 2X1 caps
Simvastatin 1x20 mg
Ramipril 1x5 mg
Inj. Ceftriaxone 1x2 gr (H.3)
Ambroxol 3x1 tab
Inj. Furosemid 1 x 1 amp
Inj. Spironolakton 1x25mg

5.

23 September 2015

Besok pulang
O2 3 lpm
IVFD RL 10 tpm
P.O aspilet 1x80 mg
P.O Klopidogrel 1 x 1
Nitrokaf R 2X1 caps
Simvastatin 1x20 mg
Ramipril 1x5 mg
Inj. Ceftriaxone 1x2 gr (stop)

12

Cefadroxil 2x500 mg
Ambroxol 3x1 tab
Inj. Furosemid 1x 1 amp 1 0 0 tab
Inj. Spironolakton 1x25mg
BLPL
G.

PROGNOSIS
a. Ad vitam

: ad malam

b. Ad functionam

: dubia ad malam

c. Ad sanationam

: dubia ad malam

Catatan Perkembangan Pasien di Bangsal


Ruang ASOKA
Tanggal

20-92015

Riwayat
penyakit dan
pemeriksaan
fisik
Sesak nafas dan
kedua kaki
bengkak
KU: sedang/CM
TD:
120/80mmHg
N: 78x/menit
RR: 28x/menit
S: 36oC
Mata: CA-/-, SI
-/Thorak: simetris
+, retraksi -, SD
ves +/+, ronkhi
+/+, Wheezing
-/- Cor S1>S2
murmur
(-),
gallop (-)
Abdomen:
I: datar
A:
BU
(+)

Pemeriksa
an
penunjang
Tidak ada

Diagnosis

- STEMI
Recent
Infark
Anterior
- Congestive
Heart
Failure
NYHA IV

Terapi dan
penatalaksanaa
n
-

13

O2 3 lpm
IVFD RL 10
tpm
P.O aspilet
1x80 mg
Klopidogrel
1x1 tab
Nitrokaf R
2X1 caps
Simvastatin
1x20 mg
Ramipril 1x5
mg
Inj.
Ceftriaxone
1x2 gr
Ambroxol
3x1 tab
Inj.
Furosemid 2x
1 amp
Inj.

21-92015

22-92015

normal
Per: timpani
Pal: supel
Ekstrimitas
(inferior) : edema
+/+ minimal,
akral dingin -/Sesak nafas, dada Tidak ada
berdebar-debar
dan kedua kaki
bengkak
KU: sedang/CM
TD:
160/130mmHg
N: 72x/menit
RR: 24x/menit
S: 36,4oC
Mata: CA-/-, SI
-/Thorak: simetris
+, retraksi -, SD
ves +/+, ronkhi
+/+, Wheezing
-/- Cor S1>S2
murmur
(-),
gallop (-)
Abdomen:
I: datar
A:
BU
(+)
normal
Per: timpani
Pal: supel
Ekstrimitas
(inferior) : edema
+/+ minimal,
akral dingin -/Keringat dingin
Tidak ada
dan sesak bila
berjalan
KU: sedang/CM
TD:
150/100mmHg

14

Spironolakton
1x25mg

- STEMI
Recent
Infark
Anterior
- Congestive
Heart
Failure
NYHA IV

- STEMI
Recent
Infark
Anterior
- Congestive
Heart

O2 3 lpm
IVFD RL 10
tpm
P.O aspilet
1x80 mg
Klopidogrel
1x1 tab
Nitrokaf R
2X1 caps
Simvastatin
1x20 mg
Ramipril 1x5
mg
Inj.
Ceftriaxone
1x2 gr (H.2)
Ambroxol
3x1 tab
Inj.
Furosemid 2x
1 amp 1 x 1
amp
Inj.
Spironolakton
1x25mg

O2 3 lpm
IVFD RL 10
tpm
P.O aspilet
1x80 mg
Klopidogrel
1x1 tab

23-92015

N: 72x/menit
RR: 24x/menit
S: 36,3oC
Mata: CA-/-, SI
-/Thorak: simetris
+, retraksi -, SD
ves +/+, ronkhi
+/+, Wheezing
-/- Cor S1>S2
murmur
(-),
gallop (-)
Abdomen:
I: datar
A:
BU
(+)
normal
Per: timpani
Pal: supel
Ekstrimitas
(inferior)
:
edema
+/+
minimal, akral
dingin -/Keringat dingin,
Tidak ada
cepat lelah dan
sesak berkurang
KU: sedang/CM
TD:
180/140mmHg
N: 80x/menit
RR: 22x/menit
S: 36,5oC
Mata: CA-/-, SI
-/Thorak: simetris
+, retraksi -, SD
ves +/+, ronkhi
+/+, Wheezing
-/- Cor S1>S2
murmur
(-),
gallop (-)
Abdomen:

15

Failure
NYHA IV

- STEMI
Recent
Infark
Anterior
- Congestive
Heart
Failure
NYHA IV

Nitrokaf R
2X1 caps
Simvastatin
1x20 mg
Ramipril 1x5
mg
Inj.
Ceftriaxone
1x2 gr (H.3)
Ambroxol
3x1 tab
Inj.
Furosemid 1
x 1 amp
Inj.
Spironolakton
1x25mg
Besok pulang

O2 3 lpm
IVFD RL 10
tpm
P.O aspilet
1x80 mg
P.O
Klopidogrel 1
x1
Nitrokaf R
2X1 caps
Simvastatin
1x20 mg
Ramipril 1x5
mg
Inj.
Ceftriaxone
1x2 gr (stop)
Cefadroxil
2x500 mg
Ambroxol

I: datar
A:
BU
(+)
normal
Per: timpani
Pal: supel
Ekstrimitas
(inferior) : edema
+/+ minimal,
akral dingin -/-

16

3x1 tab
Inj.
Furosemid 1x
1 amp 1 0
0 tab
Inj.
Spironolakton
1x25mg
BLPL

III.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infark Miokard Akut


1. Definisi
Infark adalah kerusakan sel ireversibel dan nekrosis jaringan atau
kematian jaringan yang

disebabkan karena iskemia yang berlangsung

lebih dari 30 sampai 45 menit. Bagian miokardium yang mengalami infark


akan meberhenti berkontraksi secara permanen (Price, 2005).
STEMI (ST-segment elevation myocardial infarction) adalah salah
satu jenis serangan jantung karena penebalan dinding otot jantung yang
disebabkan karena terputusnya aliran darah ke salah satu bagian dari
jantung dan dinyatakan dengan adanya elevasi segmen ST (Farissa, 2012).
2. Etiologi
Penyakit Jantung Koroner terjadi akibat penyumbatan sebagian
atau total, satu atau lebih pembuluh darah koroner. Akibat adanya
penyumbatan ini, terjadi gangguan pasokan suplai energi kimiawi ke otot
jantung (miokard), sehingga terjadilah gangguan keseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan (Price, 2005).

17

Ganbar 3.2. Gambar adanya trombus pada pembuluh darah

Gambar 3.3. Gambar terjadinya hambatan pada aliran darah akibat adanya

trombus

3. Faktor Resiko
Infark Miokard Akut lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan
dengan wanita. Penyakit jantung koroner merupakan salah satu faktor
resiko yang sering terjadi pada infark miokard, selain itu faktor resiko
yang menyebabkan infark miokard seperti hipertensi, dislipidemia,
diabetes. Sejumlah faktor resiko lain yang berkaitan dengan gaya hidup
pada penyakit jantung koroner juga dapat menjadi faktor resiko dari infark
miokard seperti stres, obesitas, merokok, dan kurangnya aktivitas fisik
(Price, 2005).
Infark Miokard Akut dengan elevasi gelombang ST ( STEMI )
pada pemeriksaan Ekokardiografi umumnya terjadi jika aliran darah

18

koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak


aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat
yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu, STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri ini dicetuskan
oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Price,
2005).
4. Patofisiologi
Patofisiologi Infark miokard akut sering terjadi pada orang yang
memiliki satu atau lebih faktor resiko seperti : obesitas, merokok,
hipertensi dan lain-lain. Faktor-faktor ini disertai dengan proses kimiawi
terbentuknya lipoprotein di tunika intima yang dapat menyebabkan
interaksi fibrin dan patelet sehingga menimbulkan cedera endotel
pembuluh darah korner. Interaksi tersebut menyebabkan invasi dan
akumulasi lipid yang akan membentuk plak fibrosa.
Timbunan plak menimbulkan lesi yang dapat menimbulkan
tekanan pada pembuluh darah dan apabila ruptur dapat terjadi thrombus.
Thrombus yang menyumbat pembuluh darah menyebabkan aliran darah
berkurang, sehingga suplay O2 yang diangkut dara ke jaringan
miokardium berkurang yang berakibat penumpukan asam laktat. Asam
laktat

yang

endokardium

meningkat
yang

menyebabkan

menyebabkan

nyeri

dan

perubahan

perubahan

elektro

pH

fisiologi

endokardium, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan sistem


konduksi jantung sehingga jantung mengalami disritmia. Iskemik yang
berlangsung lebih dari 30 menit menyebabkan kerusakan otot jantung
yang ireversibel dan kematian otot jantung (infark).
Miokardium yang mengalami kerusakan otot jantung atau nekrosis
tidak lagi dapat memenuhi fungsi kontraksi dan menyebabkan keluarnya
enzim dari intrasel ke pembuluh darah yang dapat dideteksi dengan
pemeriksaan laboratorium. Infark Miokard adalah kematian sel-sel
miokardium yang terjadi akibat kekurangan oksigen berkepanjangan. Hal
ini adalah respons letal terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak
teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit

19

mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk


menghasilkan ATP secara aerobis lenyap, dan sel tidak dapat memenuhi
kebutuhan energinya (Corwin, 2000).
Tanpa ATP, pompa natrium-kalium berhenti dan sel terisi ion
natrium dan air yang akhirnya menyebabkan sel pecah (lisis). Dengan lisis,
sel mencederai sel-sel disekitarnya. Protein-protein intrasel, yang
mencederai sel-sel disekitarnya mulai mendapat akses ke sirkulasi
sistematik dan ruang intersfitium dan ikut menyebabkan edema dan
pembengkakan intersfitium disekitar sel miokardium. Akibat kematian sel,
tercetus reaksi peradangan. Di tempat peradangan,terjadi penimbunan
trombosit dan pelepasan faktor-faktor pembekuan. Terjadi degranulasi sel
mast yang menyebabkan pelepasan histamin dan berbagai prostagtandin.
Sebagian bersifat vasokonstriktif dan sebagian merangsang pembekuan
(tromboksan) (Corwin, 2000).
Efek Infark Miokard

pada

depolarisasi

jantung.

Dengan

dilepaskannya berbagai enzim intrasel dan ion kalium serta penimbunan


asam laktat, jalur-jalur hantaran listrik jantung terganggu. Hal ini dapat
menyebabkan hambatan depolatisasi atrium atau ventrikel, atau timbulnya
suatu disritmia (Corwin, 2000).
Efek Infark Miokard pada kontraktilitas jantung dan tekanan darah.
Dengan matinya sel-sel otot, dan karena pola listrik jantung berubah, maka
pemompaan

jantung

menjadi

kurang

terkoordinasi

sehingga

kontraktilitasnya menurun. Volume sekuncup menurun sehingga terjadi


penurunan tekanan darah sitemik (Corwin, 2000).
Walaupun sebagian individu tidak memperlihatkan tanda-tanda
jelas Infark Miokard, biasanya pasien yang terkena AMI akan merasakan
nyeri dengan awitan yang mendadak, timbul mual yang berkaitan dengan
nyeri yang hebat, perasaan lemas yang berkaitan dengan penurunan aliran
darah ke otot otot rangka. Kulit yang dingin dan pucat akibat
vasokonstriksi simpatis, pengeluaran urine berkurang karena penurunan
aliran darah ginjal serta peningkatan aldosteron dan ADH, Takikardi akibat
dari peningkatan stimulasi simpatis jantung, serta keadaan mental berupa
rasa cemas bear disertai perasaan mendekati kematian (Corwin, 2000).
5. Penegakan Diagnosis (Alwi, 2006)
20

a. Kriteria Diagnostik
Seseorang dikatakan mengalami serangan IMA, jika didapati 2
dari 3 kriteria berikut :
1) Nyeri dada khas infark. Nyeri dada akibat IMA biasanya
berlangsung lebih dari 20 menit, retrosternal, bisa di tengah atau di
dada kiri, menjalar ke rahang, punggung atau lengan kiri. Rasa
nyeri ini dapat digambarkan oleh pasien sebagai rasa tertekan
benda berat, diremas-remas, rasa terbakar atau ditusuk-tusuk.
Kadangkala rasa nyeri ini terasa di daerah epigastrium, sehingga
sering disalah interpretasikan sebagai dispepsia. Keluhan nyeri
dada seringkali diikuti keringat dingin, rasa mual dan muntah, rasa
lemas, pusing, rasa melayang, bahkan pingsan karena rangsang
parasimpatis.

Jika

gejala-gejala

ini

timbul

tiba-tibadengan

intensitas yang tinggi, kecurigaan terhadap IMA harus pikirkan.


Pada pasen yang sudah diketahui menderita penyakit jantung
koroner, peningkatan kualitas nyeri dada merupakan indikasi
adanya plak atheroma yang tidak stabil yang dapat memburuk
menjadi IMA. Pada pasen DM, usia lanjut, dan perempuan,
keluhan mungkin tidak khas, seperti sesak napas, nyeri ulu hati,
mual, muntah dan nyeri dada atipikal.
2) Perubahan EKG. Perubahan EKG yang terjadi berupa perubahan
segmen ST (baik elevasi ataupun depresi) dengan cut off point >
0,2 mV pada infark dinding anterior, septal dan lateral, atau > 0,1
mV pada infark dinding inferior, posterior dan RV; minimal pada 2
lead yang berkaitan)
3) Kenaikan ensim jantung. Kenaikan enzim jantung lebih dari nilai
normal (CKMB > 2 kali nilai normal; Troponin T > 0,1)
(Rampengan, 2007).
b. Anamnesis
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala utama pasien
IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
1) Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.
2) Sifat nyeri : rasa sakit,seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
21

3) Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang


bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke
lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
5) Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan
sesudah makan.
6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,
cemas dan lemas.
c. Pemeriksaan Fisik
1)
Tampak cemas
2)
Tidak dapat istirahat (gelisah)
3)
Ekstremitas pucat disertai keringat dingin
4)
Takikardia dan/atau hipotensi
5)
Brakikardia dan/atau hipotensi
6)
S4 dan S3 gallop
7)
Penurunan intensitas bunyi jantung pertama
8)
Split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
9)
Peningkatan suhu sampai 38C dalam minggu pertama.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) Elektrokardiogram
Gambaran khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar,
elevasi segmen ST dan inversi gelombang T. Walaupun mekanisme
pasti dari perubahan EKG ini belum diketahui, diduga perubahan
gelombang Q disebabkan oleh jaringan yang mati, kelainan segmen St
disebabkan oleh injuri otot dan kelainan gelombang T karena iskemia.
2) Laboratorium
a) CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari.
b) cTn : ada dua jenis, yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari,
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
c) Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai
puncak dalam 4-8 jam.
d) Ceratinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali
normal dalam 3-4 hari.

22

e) Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila


ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali
normal dalam 8-14 hari.
6. Tatalaksana
a. Nitrat
Nitrat meningkatkan pemberian D2 miokard dengan dialatasi arteri
epikardial tanpa mempengaruhi, resistensi arteriol arteri intramiokard.
Dilatasi terjadi pada arteri yang normal maupun yang abnormal juga
pada pembuluh darah kolateral sehingga memperbaiki aliran darah
pada daerah isomik. Toleransi sering timbul pada pemberian oral atau
bentuk lain dari nitrat long-acting termasuk pemberian topikal atau
transdermal. Toleransi adalah suatu keadaan yang memerlukan
peningkatan dosis nitrat untuk merangsang efek hemodinamik atau
anti-angina. Nitrat yang short-acting seperti gliseril trinitrat
kemampuannya terbatas dan harus dipergunakan lebih sering.
Sublingual dan jenis semprot oral reaksinya lebih cepat sedangkan
jenis buccal mencegah angina lebih dari 5 am tanpa timbul toleransi
(Kasiman, 1992).
b. Beta- Bloker
Beta Bloker tetap merupakan pengobatan utama karena pada
sebagian besar penderita akan mengurangi keluhan angina. Kerjanya
mengurangi denyut jantung, kontasi miokard, tekanan arterial dan
pemakaian O2. Beta Bloker lebih jarang dipilih diantara jenis obat
lain walaupun dosis pemberian hanya sekali sehari. Efek samping
jarang ditemukan akan tetapi tidak boleh diberikan pada penderita
dengan riwayat bronkospasme, bradikardi dan gagal jantung
(Kasiman, 1992)..
c. Ca-antagonis
Kerjanya mengurangi beban jantung dan menghilangkan spasma
koroner, Nifedipin dapat mengurangi frekuensi serangan anti-angina,
memperkuat efek nitrat oral dan memperbaiki toleransi exercise.
Merupakan pilihan obat tambahan yang bermanfaat terutama bila
23

dikombinasi dengan beta-bloker sangat efektif karena dapat


mengurangi efek samping beta bloker. Efek anti angina lebih baik
pada pemberian nifedipin ditambah dengan separuh dosis beta-bloker
daripada pemberian beta-bloker saja.
Jadi pada permulaan pengobatan angina dapat diberikan betabloker di samping sublingual gliseril trinitrat dan baru pada tingkat
lanjut dapat ditambahkan nifedi-pin. Atau kemungkinan lain sebagai
pengganti beta-bloker dapat diberi dilti azem suatu jenis ca-antagonis
yang tidak merangsang tahikardi. Bila dengan pengobatan ini masih
ada keluhan angina maka penderita harus direncanakan untuk terapi
bedah koroner. Pengobatan pada angina tidak stabil prinsipnya sama
tetapi penderita harus dirawat di rumah sakit. Biasanya keluhan akan
berkurang bila ca-antagonis ditambah pada beta-bloker akan tetapi
dosis harus disesuaikan untuk mencegah hipertensi. Sebagian
penderita sengan pengobatan ini akan stabil tetapi bila keluhan
menetap perlu dilakukan test exercise dan arteriografi koroner.
Sebagian penderita lainnya dengan risiko tinggi harus diberi nitrat i.v
dan nifedipin harus dihentikan bila tekanan darah turun. Biasanya
kelompok ini harus segera dilakukan arteriografi koroner untuk
kemudian dilakukan bedah pintas koroner atau angioplasti (Kasiman,
1992).
d. Antipletelet dan antikoagulan
Segi lain dari pengobatan angina adalah pemberian antipletelet
dan antikoagulan. Cairns dkk 1985 melakukan penelitian terhadap
penderita angina tak stabil selama lebih dari 2 tahun, ternyata aspirin
dapat menurunkan mortalitas dan insidens infark miokard yang tidak
fatal pada penderita angina tidak stabil. Pemberian heparin i.v juga
efeknya sama dan sering diberikan daripada aspirin untuk jangka
pendek dengan tujuan menstabilkan keadaan penderita sebelum
arteriografi. Terdapat obat-obatan pada angina pektoris tak stabil
secara praktis dapat disimpulkan sebagai berikut:

24

1) Heparin i.v dan aspirin dapat dianjurkan sebagai pengobatan rutin


selama fase akut maupun sesudahnya.
2) Pada penderita yang keadaannya cenderung tidak stabil dan belum
mendapat pengobatan, beta-bloker merupakan pilihan utama bila
tidak ada kontra indikasi. Tidak ada pemberian kombinasi betabloker dengan ca-antagonis diberikan sekaligus pada permulaan
pengobatan.
3) Pada penderita yang tetap tidak stabil dengan pemberian betabloker dapat ditambah dengan nifedipin.
4) Pengobatan tunggal dengan nifedipin tidak dianjurkan.
7. Penatalaksanaan STEMI
a. Oksigen
b. Suplemen oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
c. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi oembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG juga
diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.
d. Morfin
Sangat efektif untuk mengurangi nyeri dada dan merupan
analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI.
Diberikan dengan dosis 2-4mg dan dapat diulang dengan interval 515 menit sampai dosis total 20mg.
e. Beta Bloker
Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 25 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 kali
permenit, tekanan sistolik\ >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan
ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma.

25

f. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibody. Manfaat mencakup harganya yang murah dan
insidens perdarahan intracranial yang rendah.
8. Komplikasi (Isselbacher, 2000).
a. Aritmia supraventrikular
Takikardia sinus merupakan aritmia yang paling umum dari tipe
ini. Jika hal ini terjadi sekunder akibat sebab lain, masalah primer
sebaiknya diobati pertama. Namun, jika takikardi sinus tampaknya
disebabkan oleh stimulasi simpatik berlebihan, seperti yang terlihat
sebagai bagian dari status hiperdinamik, pengobatan dengan
penghambat beta yang relatif kerja singkat seperti propanolol yang
sebaiknya dipertimbangkan.
b. Gagal jantung
Beberapa derajat kelainan sesaat fungsi ventrikel kiri terjadi
pada lebih dari separuh pasien dengan infark miokard. Tanda klinis
yang paling umum adalah ronki paru dan irama derap S3 dan S4.
Kongesti paru juga sering terlibat pada foto thoraks dada. Peningkatan
tekanan pengisian ventrikel kiri dan tekanan arteri pulmonalis
merupakan temuan hemodinamik karakteristik, namun sebaiknya
diketahui bahwa temua ini dapat disebabkan oleh penurunan
pemenuhan diastolik ventrikel dan / atau penurunan isi sekuncup
dengan dilatasi jantung sekunder. Diuretik sangat efektif karena
mengurangi kongesti paru-paru dengan adanya gagal jantung sistolik
dan / diastolik.
c. Sistole prematur ventrikel
Depolarisasi prematur yang jarang dan sporadik terjadi pada
hampir semua pasien dengan infark dan tidak memerlukan terapi.
Sementara dulu, ekstrasistole ventrikel distolik yang sering, multifokal
atau dini secara rutin diobati, terapi farmakologik sekarang disediakan
untuk pasien dengan aritmia ventrikel yang lama atau simptomatik.
Terapi antiaritmia profilaktik dengan tiadanya takiaritmia ventrikel

26

yang penting secara klinis, dikontra indikasikan karena terapi seperti


itu dapat dengan jelas meningkatkan mortalitas selanjutnya.

B. Congestive Heart Failure


1. Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kondisi saat jantung tidak mampu
memompa darah ke seluruh tubuh seperti keadaan normal, ditandai dengan
keadaan klinis gangguan struktur atau fungsi jantung, mengarah ke
dyspneu dan kelelahan saat istirahat atau dengan aktivitas. Gagal jantung
kongestif bukanlah diagnosis yang berdiri sendiri, selalu ada etiologi
(sindrom klinis) yang kemudian membawa ke keadaan gagal jantung.
Etiologi terbanyak di antaranya adalah penyakit arteri koroner (CAD),
hipertensi yang tidak terkontrol, penyakit katup jantung, kardiomyopathy
idiopatik, dan kardiomyopathy karena inflamasi myokarditis atau kelainan
inflitrasi lain. Kardiomyopathy toksik karena kokain, amfetamin, efedrin,
dan kemoterapi juga dapat menjadi penyebab permasalahan (Francis dan
Tang, 2003).
Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya
hanya ada jika disertai dengan peninggian volume diastolik secara
abnormal. Gagal jantung kongestif biasanya disertai dengan kergagalan
pada jantung kiri dan jantung kanan (Hauser et al, 2005).

27

Gagal jantung kongestif tejadi ketika volume darah pulmonal


meningkat sehingga sirkulasi pulmonal menjadi kongestif oleh darah.
Keadaan kongesti ini terjadi karena peningkatan tekanan end diastolik
ventrikel kiri. Peningkatan end diastolik ventrikel kiri ini menjadi
penyebab utanma gagal jantung kongestif dekompensata. Gejala yang
kemudian muncul adalah dyspneu, kelelahan, ortopneu, dan paroksismal
nocturnal of dyspneu (PND) (Baker, 2005).

28

2. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dan segala jenis penyakit
jantung

kongenital

maupun

didapat.

Mekanisme

fisiologis

yang

menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan


beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktilitas
miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal (preload)
meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir
(afterload) meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark
miokardium dan kardiomiopati (Oemar, 2004).
Ada 5 mekanisme fisiologis yang dapat berjung menjadi gagal jantung
kongestif, di antaranya adalah (Baker, 2005):
a. Penurunan kekuatan miokardium ventrikel kiri yang menyebabkan
penurunan ejeksi darah dari ventrikel kiri ini. Penyebab akut: iskemia
myokardium,

infark

myokardium,

sindrom

sepsis,

contusio

myocardium, kelebihan beta blocker atau kelebihan Ca channel blocker.


Pnyebab kronik: cardiomiyopathy dilatasi karena infeksi virus, multipel
infark myocardium, konsumsi alkohol berlebih, dan agen kemoterapi
tertentu seperti adriamisin. Overload tekanan dalam jangka yang lama
seperti hipertensi dan stenosis aorta yang kemudian dapat menyebabkan
hipertrofi dan kelemahan myokardium.
b. Venous return dengan volume yang tinggi yang menyebabkan
peningkatan tekanan end diastolik ventrikel kiri.
c. Perubahan pengisian pasif ventrikel kiri yang normalnya berhubungan
dengan tekanan yang tinggi, menyebabkan peningkatan tekanan volume
end diastolik ventrikel kiri.
d. Adanya beban besar ke ventrikel kiri yang menyebabkan ventrikel kiri
tidak dapat meng-ejeksikan darah dengan baik
e. Penurunan fungsi jantung karena kondisi tertentu lain, seperti
bradikardi atau takikardi berat, tamponade pericardium, ventricular
septal defect, regurgitasi mitral.
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui
penekanan sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi
sistemik dan infeksi paru-paru, serta emboli paru. Disritmia akan
mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan listrik

29

yang memulai respons mekanis, respons mekanis yang sinkron dan efektif
tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respon
tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh yang meningkat. Emboli paru secara mendadak akan
meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan, memicu
terjadinya gagal jantung kanan. Penanganan gagal jantung yang efektif
membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme
fisiologis penyakit yang mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang
memicu terjadinya gagal jantung (Price dan Wilson, 2005).
3. Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor.The
New York Heart Association (NYHA) membagi gagal jantung menjadi 4
kelas, berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha
yang dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut (Oemar,
2004):
a. Kelas I: Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan
aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan
sesak napas.
b. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
c. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan
dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.
d. Kelas IV:Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup
melakukan kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada
walaupun saat beristirahat
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) heart failure guidelinesmelengkapi klasifikasi NYHA untuk
menggambarkan perkembangan penyakit dan dibagi menjadi 4 stage, yaitu
(Kumar, 2007):
1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki
penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
2. Stage B pasien memiliki penyakit jantung struktural tetapi tidak
memiliki gejala-gejala dari gagal jantung

30

3. Stage C pasien memiliki penyakit jantung structural dan memiliki


gejala-gejala dari gagal jantung
4. Stage D pasien memiliki gagal jantung berat yang menuntut intervensi
khusus.
4. Patofisiologi

5. Penegakan Diagnosis
Gambar 3.1. Patofisiologi dan Simptomatologi
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
CHF
dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG,
foto toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler (Goroll, 2009).
a. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi
diastolik dan karakteristik forward orbackward, left or right heart
failure. Kriteria diagnosis gagal jantung menurut Framingham Heart
Study(Goroll, 2009) :
1) Kriteria mayor :

31

a) Paroksismal nocturnal dispneu


b) Ronki paru
c) Edema akut paru
d) Kardiomegali
e) Gallop S3
f) Distensi vena leher
g) Refluks hepatojugular
h) Peningkatan tekanan vena jugularis
2) Kriteria minor :
a) Edema ekstremitas
b) Batuk malam hari
c) Hepatomegali
d) Dispnea deffort
e) Efusi pleura
f) Takikardi (120x/menit)
g) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Kriteria mayor dan minor : Penurunan berat badan 4,5 kg dalam
5 hari pengobatan. Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua
kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium Darah
a) Pemeriksaan darah lengkap
b) Kimia klinik (SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, natrium, kalium,
klorida, kolesterol total, LDL, HDL)
2) Elektrokardiogram
Dalamkasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat
menunjukkan bukti MI (Miocardium Infark) atau iskemia, namun
alam kasus noncardiogenic, EKG biasanya normal.
3) Radiologi (Davis, 2006).
a) Foto thoraks
Fungsi utama pemeriksaan foto thoraks adalah mengetahui
ukuran dan bentuk siluet jantung, serta edema di dasar paruparu. Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu atau
lebih pada ruang-ruang di jantung, menghasilkan pembesaran
pada jantung. Pemeriksaan radiologi memberikan informasi
berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya, distensi vena
pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang efusi pleura,
begitu

pula

keadaan

vaskuler

pulmoner

dan

mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.


b) Computed Tomography

32

dapat

CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis


rutin dan manajemen gagal jantung kongestif.Multichannel CT
scan berguna dalam menggambarkan kelainan bawaan dan
katup, namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi magnetik
(MRI)

dapat

memberikan

informasi

yang

sama

tanpa

mengekspos pasien untuk radiasi pengion.


c) Echocardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal
dari evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang
diketahui atau diduga. Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan
kelainan katup primer dan sekunder dapat dinilai secara akurat.
Ekokardiografi Doppler mungkin memainkan peran berharga
dalam menentukan fungsi diastolik dan dalam menegakkan
diagnosis HF diastolik.Dua dimensi dan Ekokardiografi Doppler
dapat digunakan untuk menentukan kinerja sistolik dan diastolik
LV(ventrikel kiri), cardiac output (fraksi ejeksi), dan tekanan
arteri pulmonalis dan pengisian ventrikel. Echocardiography
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit katup
penting secara klinis.
6. Tatalaksana
Penatalaksanaan penderita

dengan

gagal

jantung

meliputi

penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.


Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan untuk
mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan
secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi (Lee,
2005).
a. Non Farmakalogi (Lee, 2005):
1) Anjuran umum :
a) Edukasi: terangkan hubungan

keluhan,

gejala

dengan

pengobatan.
b) Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan
seperti biasa. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang
masih bisa dilakukan.
c) Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
2) Tindakan Umum :

33

a) Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung


ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter
pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
b) Hentikan rokok
c) Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada
yang lainnya.
d) Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama
20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal
jantung ringan dan sedang).
e) Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi
akut.
b. Farmakologi (Lee, 2005; Gillespie, 2005; Rodeheffer, 2005).
Terapi farmakologik terdiri atas panghambat ACE, Antagonis
Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron, -blocker, vasodilator
lain, digoksin, obat inotropik lain, anti-trombotik, dan anti-aritmia.
1) Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan
paling sedikit diuretik reguler dosis rendah. Permulaan dapat
digunakan loop diuretik atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik,
dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena, atau
kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik hemat kalium,
spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi
mortalitas pada pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat
(klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung sistolik.
2) ACE
inhibitor,
bermanfaat
untuk
menekan
aktivitas
neurohormonal, dan pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi
sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah,
dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
3) Beta blocker, bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian
dimulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu
dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan
bila keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas fungsional II dan
III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau
metaprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat
ACE dan diuretik.

34

4) Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada


intoleransi terhadap ACE ihibitor.
5) Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi
atrial, digunakan bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta
blocker.
6) Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk
pencegahan emboli serebral pada penderita dengan fibrilasi atrial
dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan
pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli,
trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus intrakardiak
dan aneurisma ventrikel.
7) Antiaritmia tidak direkomendasikan

untuk

pasien

yang

asimptomatik atau aritmia ventrikel yang menetap. Antiaritmia klas


I harus dihindari kecuali pada aritmia yang mengancam nyawa.
Antiaritmia klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi aritmia atrial
dan tidak dapat digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
8) Antagonis kalsium dihindari. Tidak diperkenankan menggunakan
kalsium antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pada
gagal jantung.
9) Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi
preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien
dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak
sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi
menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga
dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi.keseimbangan
antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan.
Kekurangannya

adalah

teleransi

terutama

pada

pemberian

intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 24 jam.


7. Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui.
Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi
yaitu (Hauser et al, 2005):
a. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%

35

b. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%


c. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
d. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

36

IV.
A.

PEMBAHASAN

ANAMNESIS
Pasien datang ke RSMS (Rumah Sakit Margono Soekarjo) dengan
sesak nafas. Keluhan ini dirasakan sejak 4 jam SMRS yang dirasakan
hilang timbul. Sesak nafas terutama dirasakan bila beraktivitas seperti
berjalan atau tidur dengan posisi kepala sejajar alas tidur. Pasien merasa
lebih nyaman saat tidur dengan menggunakan 3-4 bantal di kepala.
Selama tidur di malam hari, pasien sering tiba-tiba terbangun karena
sesak nafas, sesak nafas tidak tergantung pada cuaca maupun emosi.
Sesak nafas tidak disertai dengan bunyi ngik-ngik, dan tidak
berkeringat malam. selain itu pasien juga mengeluhkan berdebar-debar,
keringat dingin, kedua kaki bengkak dan batuk tidak berdahak.
Pasien juga mengeluh nyeri dada sebelah kiri, bertambah berat
ketika beraktivitas, untuk mengurangi nyeri dada tersebut pasien istirahat
namun nyeri dada tidak berkurang. Keluhan pertama kali muncul saat
pasien bangun tidur. Keluhan disertai keringat dingin dan mual.
Pasien Tn. W mengalami sesak nafas yang dirasakan bertambah
bila beraktivitas. Hal ini menunjukkan adanya dyspnea deffort. Selain
itu, pasien juga merasa lebih enak bila tidur dengan bantal tinggi, yang
menunjukkan adanya orthopnea. Selama tidur, pasien sering terbangun
tiba-tiba karena merasa sesak nafas (paroxysmal nocturnal dyspnea).
Bersamaan dengan itu, kedua tungkai pasien pun membengkak. Dyspnea
deffort, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, edema tungkai, yang
merupakan gejala dan tanda klasik dari gagal jantung kongestif.
Pasien ini juga mengalami gejala angina yang merupakan salah satu
kriteria diagnosis serangan infark miokard, yaitu nyeri dada khas infark
berlangsung lebih dari 20 menit di dada kiri atau tengah dan menjalar ke
punggung. Keluhan nyeri dada diikuti keringat dingin, rasa mual dan
rasa lemas.
Angina pectoris adalah suatu sindrom klinis dimana klien mendapat
serangan dada yang khas.yaitu seperti ditekan atau terasa berat didada

37

yang sering kali Menjalar kelengan kiri. Sakit dada tersebut biasanya
timbul pada waktu klien melakukan suatu aktifitas dan segera hilang bila
klien menghentikan aktifitas (Sanjoyo, 2005).
B.

PEMERIKSAAN FISIK
Kesimpulan Pemeriksaan Fisik Tn. W
a.
b.
c.
d.

Tekanan darah
Nadi
JVP
Paru

: 160/100 mmHg
: 80 x/m
: 5+3 cm
: Suara dasar vesikuler (+/+), Rhonki basah
halus (-/-), Rhonki basah kasar (-/-),
Wheezing (-/-)

e. Cor
1) Inspeksi
2) Palpasi
3) Perkusi

: Ictus cordis nampak pada SIC VI 1 jari lateral


LMCS
: Ictus cordis teraba di SIC VI 1 jari lateral LMCS,
tidak kuat angkat
: batas jantung kanan atas SIC II LPSD
batas jantung kiri atas SIC II LPSS
batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
batas jantung kiri bawah SIC VI 1 jari lateral

LMCS
4) Auskultasi
: S1>S2, murmur (-), gallop (-)
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang karena sesak
nafas dan ditemukan tanda-tanda gagal jantung kongestif berupa
peningkatan tekanan vena jugularis, pembesaran konfigurasi jantung,
serta pitting edema minimal pada ekstremitas inferior. Tekanan darah
pada pasien ini tinggi dan pasien mempunyai riwayat hipertensi terkontrol
sebelumnya, yang kemungkinan menjadi salah satu factor resiko pasien
mengalami CHF. Oleh karena itu, dilakukan pemeriksaan EKG dan foto
toraks pada pasien ini.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan konfigurasi jantung yang
membesar dengan tingginya tekanan vena sistemik. Tanda fisik overload
cairan atau kongesti yang dapat ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung kronik antara lain ronkhi basah pada auskultasi paru, tanda efusi
pleura, distensi/peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali,
edema perifer, bergesernya perabaan ictus cordis ke arah lateral dan
38

bising ejeksi sistolik di tepi kiri sternum akibat regurgitasi mitral akibat
dilatasi masif lumen ventrikel dan atrium kiri, serta gallop S3 pada
auskultasi akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri pada
penurunan fungsi ventrikel kiri akibat dilatasi. Gangguan perfusi perifer
terutama pada pasien gagal jantung tingkat lanjut dengan penyakit
penyerta anemia, dapat dilihat melalui pemeriksaan ekstremitas yang
teraba dingin, pucat, sianosis, dan pemanjangan waktu pengisian kapiler
(Carson et al., 2013). Pada pemeriksaan fisik pasien ini, ditemukan semua
tanda tersebut, kecuali asites, hepatomegali, bising ejeksi sistolik, gallop,
dan tanda-tanda anemia.

C.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorim

39

Pemeriksaan
Haemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Kimia Klinik
Ureum darah
Kreatinin darah
Asam Urat
GDS
Natrium
Kalium
Clorida

Hasil
13,9 L
7670
39 L
4,3 juta L
196.000
89,4
32,1 H
35,9
25,7
0,83
7,3 H
77
139
3,7
105

Kriteria serangan infark miokard yaitu kenaikan enzim jantung.


Kenaikan enzim jantung lebih dari nilai normal (CKMB > 2 kali nilai
normal; Troponin T > 0,1), CK-MB meningkat secara serial dan
kemudian turun dengan perbedaan dua hasil pemeriksaan lebih dari 25%,
CK-MB 10 13 U/L atau lebih dari 5% dari total aktivitas CK, pada dua
pemeriksaan berbeda waktu minimal 4 jam didapatkan peningkatan
aktivitas CK-MB lebih dari 50%, pada satu pemeriksaan CK-MB
didapatkan peningkatan dua kali lipat nilai normal, lebih dari 72 jam
didapatkan peningkatan Troponin T atau I, atau LDH-1 > LDH-2.
Pada hasil laboratorium Tn. W belum dilakukan pemeriksaan
enzim jantung yang sangat penting untuk mengetahui adakah kerusakan
pada otot jantung yang bisa membantu menegakan diagnosis infark
miokard akut.
2. EKG

40

Seseorang dikatakan mengalami STEMI anterior jika pada EKG


didapat elevasi segmen ST > 0,1mV minimal pada VI-V4/V5. Hasil
gambaran EKG Tn. W menunjukkan adanya elevasi segmen ST >0,1mV
pada lead V1-V3.

3. Rontgen Thorax

41

Sedangkan dari foto toraks, ditemukan CTR 61%, apeks jantung


tampak melebar ke latero-kaudal, tak tampak bercak pada kedua lapang
paru, kesan cardiomegali (LV).
Pemeriksaan ekokardiografi dapat digunakan untuk menilai fungsi
sistolik dan diastolik pasien gagal jantung kronik. Selain itu pemeriksaan
ekokardiografi dapat digunakan untuk mencari kemungkinan penyebab
utama gagal jantung lain, misalnya iskemia, kardiomiopati, gangguan katup
jantung dan sebagainya. Pada pemeriksaan ekokardiografi dapat ditemukan
bukti disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan fraksi ejeksi <45%, fraksi
pemendekan (fractional shortening) <30% dan dilatasi seluruh ruangan
jantung.
Rencana diagnostic yang dapat dilakukan selanjutnya adalah
pemeriksaan biomarker jantung, seperti BNP (brain natriuretic peptide)
dan NT Pro-BNP (N-terminal pro-brain natriuretic peptide), selain untuk
kepentingan diagnosis, dapat juga digunakan untuk pemantauan hasil terapi
dan menilai prognosis (Sliwa et al., 2012).

42

D.

ASSESMENT
Pasien yang kami laporkan dikatakan mengalami serangan infark
miokard dengan didapatkan 2 dari 3 kriteria serangan infark miokard ,
karena ada nyeri dada khas infark, yaitu nyeri dada menjalar hingga ke
punggung

disertai

mual,

muntah,

dan

keringat

dingin,

EKG

memperlihatkan elevasi ST >0,1mV pada lead V1-V4.


Pasien juga mengalami Congestive heart failure berdasarkan kriteria
Framingham yaitu diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria
mayor atau satu kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Pasien memenhi
dengan terdapatnya kriteria mayor yakni paroksismal nokturnal dispneu,
peningkatan tekanan vena jugularis, kardiomegali, dan kriteria minor
meliputi edema ekstremitas, dan dispnea deffort.

V.

KESIMPULAN

1. Diagnosis kasus ini adalah STEMI recent infark anterior dan Congestive Heart
Failure (NHYA II) Didasarkan oleh anamnesis, yaitu sesak napas, nyeri dada,
43

dada berdebar-debar, lemah, dan kaki bengkak. Pemeriksaan fisik ditemukan


adanya edema inferior, peningkatan JVP, dan pembesaran konfigurasi jantung
Pemeriksaan EKG didapatkan adanya iskemik anterior,dan LVH.
2. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien ini ekokardiografi untuk
menentukan kemungkinan adanya kelainan katup jantung. Selain itu, perlu
dilakukan pemeriksaan tambahan lainnya meliputi pemeriksaan enzim
jantung, fungsi hati, ginjal, dan elektrolit untuk menilai keberhasilan
pengobatan dan efek samping.
3. Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus ini adalah pemberian diuretik
furosemid dan spironolakton, antibiotik ceftriaxone, pengontrol heart rate
digoksin, antikoagulan aspilet, ISDN, klopidogrel, prevensi dan terapi jangka
panjang angina pectoris nitrokaf, agen dislipidemik simvastatin, ACE Inhibitor
ramipril, sefalosporin cefadroxil, dan untuk menangani batuk ambroxol.
4. Prognosis angka kelangsungan hidup pasien dengan gagal jantung kongestif
NYHA IV dengan angka kematian 5 tahunan sebesar 70-90 %.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI. Hal: 1616.

44

Baker, Keith. 2005. Congestive Heart Falure and its Pharmacological


Management. HST. 151.1-7
Carson

MP. Peripartum cardiomyopathy. Emedicine online


http://emedicine.medscape.com/article/153153-overview.

2013.

Corwin, J Elizabet. 2000. Patofisiologi. Jakarta: FKUI.


Farissa, Inne Pratiwi. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut STElevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi
Reperfusi. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran UNDIP. Francis, Gary
S., dan Wilson Tang. 2003. Pathophysiology of Congestive Heart Failure.
MedReviewsLLC. Vol 4. S15-20
Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older
patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
Hauser K, Longo B, Jameson F. 2005. Harrisons principle of internal medicine,
ed XVI
Isselbacher, J Kurt. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
Volume 3. Jakarta : EGC.
Kasiman, Sutomo at all. 1992. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit
Jantung
Koroner.
www/portalkalbe/files/cdk/files/44_PatofisiologidanPenatalaksanaanJantu
ngKoroner
Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW, editors.
Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York:
Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
Oemar, Hamed. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : balai penerbit fakultas
kedokteran universitas indonesia. hal. 7-12.
Pearson, G.D., Veille, J.C., Rahimtoola, S., Hsia, J., Oakley, C.M., Hosenpud,
J.D., Ansari, A., Baughman, K.L. 2000. Peripartum cardiomyopathy:
National Heart, Lung, and Blood Institute and Office of Rare Diseases
(National Institutes of Health) workshop recommendations and review.
JAMA. 283:11831188.
Price, Sylvia A dan Lorraine M.Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC.hal.633-640.

45

Rampengan, Starry H. & Eko Antono. 2007. Infark Miokard Ventrikel Kanan.
Jurnal Kardiologi Indonesia. Vol. 28 (6):445-453.
Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
Sanjoyo,

Raden.

2005.

SISTEM

KARDIOVASKULER.

Available

at

www.fk.undip.ac.id download in 10 Mei 2009.


Sliwa K, et al. 2012. Position statement on current state of kowledge on aetiology,
diagnosis, management, and therapy of peripartum cardiomyopathy: a
position statement from the Heart Failure Association of the European
Society of Cardiology Working Group on Peripartum Cardiomyopathy.
European Journal Heart Failure;12:767-78.

46

Anda mungkin juga menyukai