Anda di halaman 1dari 3

Sensus Penduduk 2010 memperlihatkan bahwa remaja yang berusia 10-19 tahun berjumlah

43.5 juta atau 18% dari jumlah penduduk. Isu kesehatan reproduksi dan seksual remaja
menjadi penting bagi pembangunan nasional mengingat besarnya populasi penduduk remaja
tersebut dan dampak jangka panjang yang dapat ditimbulkan dari persoalan kesehatan
reproduksi danseksual remaja. Sementara, penduduk remaja kita saat ini masih rentan
terhadap masalah kesehatan reproduksi dan seksual, seperti perkawinan remaja, pengetahuan
kesehatan reproduksi dan seksual yang rendah, kehamilan di usia muda, kehamilan tidak
diinginkan, penyakit menular seksual seperti HIV dan AIDS, aborsi yang tidak aman,
maupun kekerasan berbasis gender. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010,
sebanyak 41,9% usia perkawinan pertama berada pada kelompok usia 15-19 tahun, 33,6%
berada pada kelompok usia 20-24 tahun.
Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja relatif masih rendah sebagaimana
ditunjukkan oleh hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2007. Sebanyak
13% remaja perempuan tidak tahu tentang perubahan fisiknya dan hampir separuhnya
(47,9%) tidak mengetahui kapan masa subur seorang perempuan. Yang memprihatinkan,
pengetahuan remaja tentang cara paling penting untuk menghindari infeksi HIV masih
terbatas. Hanya 14% remaja perempuan dan 95% remaja laki-laki menyebutkan pantang
berhubungan seks, 18% remaja perempuan dan 25% remaja laki-laki menyebutkan
menggunakan kondom serta 11% remaja perempuan dan 8% remaja laki-laki menyebutkan
membatasi jumlah pasangan (jangan berganti-ganti pasangan seksual) sebagai cara
menghindari HIV/ AIDS. Sementara, data dari Kemenkes tahun 2010 menunjukkan bahwa
hampir separuh (47,8%), kasus AIDS berdasarkan usia juga diduduki oleh kelompok usia
muda (20-29 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku seks beresiko terjadi pada usia
remaja. Oleh karena itu, rendahnya pengetahuan tersebut menjadikan pendidikan kesehatan
reproduksi dan seksual penting untuk diberikan. Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai
pendidikan seksualitas di sekolah, Utomo, Donald, & Hull (2012) menunjukkan bahwa
pendidikan seksualitas meskipun tidak diberikan dalam mata pelajaran khusus, namun telah
diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran Pendidikan jasmani, kesehatan, dan olah
raga (Penjaskesor), Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Pendidikan Agama. Meskipun
pendidikan seksualitas tersebut telah diberikan di sekolah, Holzner dan Oetomo (2004)
menyoroti kelemahan pendidikan seksualitas yang selama ini menggunakan wacana seks bagi
kaum muda tidak sehat dan berbahaya. Dalam survei yang dilakukan di Karawang, Sukabumi
dan Tasikmalaya juga menunjukkan bahwa 60% responden perempuan usia 1524 tahun
telah menerima pendidikan kesehatan reproduksi, namun mayoritas dari mereka (70%)
menyatakan materi yang diberikan adalah bahaya dari seks. Pendidikan seksualitas semacam
ini tidak memberdayakan kaum muda untuk memahami seksualitasnya dan menghindari
perilaku seks yang beresiko bagi kesehatan reproduksi dan seksualnya.
Berdasarkan ICPD, Programme of Action, para. 7.41, pendidikan seksualitas bagi kaum muda
haruslah memberikan informasi yang membantu mereka memahami seksualitasnya dan
melindungi mereka dari kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, dan risiko
infertilitas, dengan juga mengedukasi remaja lakilaki agar menghargai otonomi remaja

perempuan dan berbagi tanggung jawab dengan remaja perempuan dalam hal seksualitas dan
reproduksi. Tulisan ini berargumen bahwa pendekatan pendidikan kesehatan reproduksi dan
seksual yang diberikan di sekolah cenderung memandang aspek kesehatan reproduksi dan
seksual remaja menjadi terbatas pada fenomena biologis semata dan cenderung
mengkonstruksikan seksualitas remaja sebagai hal yang tabu dan berbahaya yang dikontrol
terutama melalui wacana moral, dan agama.Hal ini mengakibatkan materi yang diberikan
tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan remaja dan kurang sesuai dengan realitas perilaku
seks dan resiko seksual yang dihadapi remaja. Tulisan ini memfokuskan pada pendidikan
seksualitas yang diberikan di sekolah di kota-kota besar dan menengah di Indonesia karena
sekolah dapat secara strategis menjangkau remaja diperkotaan yang sebagian besar
bersekolah.
Menurut Donovan (1998), pendidikan seksualitas memiliki tujuan utama untuk memberikan
informasi kepada remaja untuk memberdayakan mereka dalam membangun nilai dan
keterampilan berelasi yang memampukan mereka membuat keputusan yang bertanggung
jawab untuk menjadi orang dewasa yang sehat secara seksual. Fine dan McClelland
(2006),menyatakan bahwa dalam pendidikan seksualitas perlu mendiskusikan hasrat seksual
agar siswa dapat membangun subyetivitasnya dan tanggung jawabnya sebagai makhluk
seksual. Hal ini berarti perlunya melihat remaja sebagai makhluk seksual daripada
menegasikan seksualitas mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas. IPPF (2010)
menawarkan konsep pendidikan seksualitas yang komprehensif berbasiskan hak yang
ditujukan agar remaja memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang
mereka butuhkan untuk menentukan dan menikmati seksualitas mereka baik secara fisik
maupun psikis,secara individual maupun dalam berelasi. Dalam kerangka pendidikan IPPF
tersebut, pemberian informasi saja tidaklah cukup, remaja perlu diberikan kesempatan agar
dapat mengembangkan keterampilan untuk membangun sikap dan nilai yang positif terhadap
seksualitas mereka.
Pendidikan seksualitas yang komprehensif juga perlu memperhatikan konteks sosial budaya
tempat program diimplementasikan (UNFPA, 2010). Terkait dengan hal tersebut, berbeda
dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, penelitian ini menggunakan kerangka
pendidikan seksualitas yang komprehensif yang tidak hanya melihat isi pendidikan
seksualitas (lihat Utomo, Donald, & Hull, 2012; Holzner dan Oetomo, 2004) atau adaptasi
pendidikan seksualitas dengan konteks budaya masyarakat, terutama agama (Bennett, 2007),
namun penelitian ini melihat pula (1) Norma budaya terkait seksualitas; (2) Pendidikan,
informasi, dan layanan yang tersedia bagi remaja di sekolah dan pandangan penyedia layanan
tersebut tentang kesehatan reproduksi dan seksual remaja; (3) Pandangan remaja terhadap
kebutuhan pendidikan seksualitas bagi mereka.

Daftar Rujukan:

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010,


Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010. (internet) 2010, [diakses 23 Maret 2013].
Tersedia di: http://www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/download/TabelRiskesdas2010.pdf.
2. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Genre Goes To
School: Yang Muda Harus Berencana. (internet) 2012, [diakses 10 April 2013]. Tersedia
di: http://www.bkkbn. go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?List=f933abed-2814-41559570ed3d2276b169&View=752bdf84 -8082-49ce-8654-7d312f11c5db&ID=7
3. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI, 2010.
4. Utomo I, McDonald P, Hull T. Improving Reproductive Health Education in the
Indonesian National Curriculum. Gender and Reproductive Health Study Policy Brief No.
2. Canberra: Australian National University; 2012.
5. Holzner BM, Oetomo D. Youth, sexuality and sex education messages in Indonesia: issues
of desire and control. Reproductive Health Matters 2004; 12, 23: 40-49.
6. Hidayana IM, Noor IR, Pakasi D. Hak seksual perempuan dan HIV/AIDS. Laporan
Penelitian untuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Depok: Puska Gender dan
Seksualitas FISIP UI, 2010.
7. International Conference on Population and Development (ICPD), yang ditandatangani
pada tahun 1994 oleh 179 negara termasuk Indonesia, untuk berkomitmen melaksanakan
ICPD programme of action. (internet) [diakses 25 Maret 2013]. Tersedia di:
http://www.un.org/popin/icpd/ conference/offeng/poa.html.
8. Donovan P. School-based sexuality education: the issues and challenges. Family Planning
Perspectives 1998; 30, 4: 188-193.
9. Fine M, McClelland SI. Sexuality education and desire: still missing after all these years.
Harvard Educational review 2006; 76, 3: 297-337.
10. IPPF Framework For Sexuality Education. London: IPPF, 2010.
11. UNFPA. Comprehensive Sexuality Education: Advancing Human Rights, Gender
Equality and Improved Sexual and Reproductive Health. Bogota: UNFPA, 2010.
12. Bennett LR. Zina and the enigma of sex education for Indonesian Muslim youth. Sex
Education 2007; 7, 4: 371-386.

Anda mungkin juga menyukai