Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
santri
Pribumisasi Islam
Kolom Gus Dur:
Pribumisasi Islam
Temu Muka:
Alissa Wahid
Artikel Utama
Islam Nusantara
di Simpang Jalan
Teras
abik!
Awalnya, ide untuk menerbitkan
majalah bukanlah prioritas utama dalam
kegiatan komunitas ini. Maklum, kerja
komunitas seringkali terhalangi oleh jumlah
tenaga yang mengurusnya. Sebenarnya ide
banyak bermunculan dan bertumpah ruah ketika
kegiatan diskusi berlangsung. Namun selalu saja
ada halangan dari komunitas yang berisikan
manusia-manusia fleksibel ini untuk
mengeksekusi ide tersebut. Hingga pada
akhirnya, kebulatan tekad dalam menyuarakan
gagasan perdamaian dan toleransi mampu
menggerus kemalasan tersebut.
Ditambah lagi belum ada satu majalah pun
yang membahas gagasan seorang tokoh,
khususnya Gus Dur, secara utuh. Namun kalau
pun ada, majalah seperti itu hanya sebatas edisi
khusus yang membahas satu tokoh saja. Di mana
pada edisi berikutnya akan terputus karena
tuntutan untuk membahas tokoh lain yang
berbeda.
Kami berkomitmen untuk terus
menerbitkan majalah yang benar-benar khusus
menyuarakan gagasan Gus Dur sebagai tema
utama. Manusia kosmopolit ini benar-benar
mayapada yang tak ada habisnya untuk dibedah.
Mulai dari gagasan tentang kemanusiaan,
keilmuan, aktivisme, politik, hingga keislaman
yang diperjuangkan Bapak Pluralisme ini selalu
menarik untuk dikaji. Untuk itu, majalah digital
yang terbit perdana ini mengangkat tema besar
dari gagasan Gus Dur yang berasal dari
tulisannya, Pribumisasi Islam.
Di tengah melajunya modernitas ini,
gagasan Pribumisasi Islam menjadi menarik
untuk ditampilkan kembali. Saat ini, masyarakat
modern mulai menampakkan karakter
materialistiknya. Jiwa konsumtif dan praksis
melanda orang-orang yang dikerubungi oleh
kemajuan teknologi. Di tengah kebisingan yang
merajalela itu, manusia-manusia ini merasa sepi
dan kosong. Lantas kebanyakan dari mereka
mencari pelarian. Salah satu pelarian itu ialah
pencarian pencerahan dan penyegaran lewat
agama. Agama dianggap mampu mengisi
kekosongan jiwa manusia yang tidak pernah
puas dan selalu mempertanyakan apa tujuan
hidup.
Dari kecenderungan yang praktis tersebut,
mereka kemudian memaknai agama secara
terbatas. Maka masuklah semangat mengaji
Islam secara tekstual. Tak jarang hal itu
digunakan oleh beberapa pihak untuk
mempenetrasi ide-ide puritan dan radikal.
2
Majalah Santri Gus Dur
DAFTAR ISI
hal
Artikel Utama
Pribumisasi Islam
Islam Nusantara
di Simpang Jalan
Artikel Utama
Pribumisasi Islam
vis a vis Arabisasi
Majelis Redaksi Majalah
Santri Gus Dur
Pemimpin Redaksi: Agung
Hidayat Aziz
Tim Redaksi: Muhammad
Autad An Nasher,
Mohammad Pandu,
Laelatul Badriyah, Ahmad
Sarjoko
Design & Layouter:
Joko Jejak,
Muhammad Aziz
Dharmawan
Artistik:
Latif Amin
Tim Alih Bahasa:
Rifqi Fairuz,
Mujiburohman,
Mukhammad Faisol Amir,
Nurul Huda, Dahlia Arikha
S, Laela Badra, Rifqiya
Hidayatul Mufidah, Andi
Triswoyo.
hal...19
Artikel Lepas
Inspirasi dari
Gus Dur hal...24
Kita
Butuh
Islam
Ramah
Bukan
Islam
Marah
Tamu Muka:
hal
29
Alissa Wahid
Gusdurian ada
karena ada Gus Dur
Review Buku:
Dongeng tentang
32 Legenda Gus Dur
Gus Dur
hal
Puisi
hal
37
34
Pribumisasi Islam
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
gama (Islam) dan
budaya mempunyai
independensi masingmasing, tetapi
keduanya mempunyai wilayah
tumpang tindih. Bisa
dibandingkan dengan
independensi antara filsafat
dan ilmu pengetahuan. Orang
tidak bisa berfilsafat tanpa
ilmu pengetahuan, tetapi tidak
bisa dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan adalah filsafat. Di
antara keduanya terjadi
tumpang tindih dan sekaligus
perbedaan-perbedaan.
Agama (Islam)
bersumberkan wahyu dan
memiliki norma-normanya
sendiri. Karena bersifat
normatif, maka ia cenderung
menjadi permanen. Sedangkan
budaya adalah buatan manusia,
karenanya ia berkembang
sesuai dengan perkembangan
zaman dan cenderung untuk
selalu berubah. Perbedaan ini
tidak menghalangi
kemungkinan manifestasi
kehidupan beragama dalam
bentuk budaya. Maka
muncullah tari 'seudati', cara
hidup santri, budaya
menghormati kyai dan
sebagainya, dengan wawasan
budaya dari agama secara
langsung diterima dan
dilaksanakan oleh masyarakat
tanpa mempersoalkan dalilnya.
Umat Islam abangan yang
menjauhi 'ma lima' (mabuk,
berjudi, mencuri, berbuat
amoral, mengisap ganja) belum
tentu dengan alasan
4
Majalah Santri Gus Dur
5
Majalah Santri Gus Dur
6
Majalah Santri Gus Dur
7
Majalah Santri Gus Dur
pustakamuhibbin.blogspot.com
8
Majalah Santri Gus Dur
9
Majalah Santri Gus Dur
menutup kemungkinan
produktivitas akibat beban
bunga hutang, sebagaimana
praktek rentenir. Adapun bunga
bank (interest) yang
dimaksudkan sebagai biaya
administrasi dan sekedar untuk
pengembalian modal kepada
penanam uang bisa ditolerir
selama tidak mengganggu
produksi. Dengan kata lain,
keuntungan yang diperkirakan
dari pengusahaan uang
pinjaman itu lebih besar
daripada tingkat suku bunga
yang harus dibayarkan,
sehingga tidak ada unsur
eksploitasi.
Pendekatan Sosio-Kultural
Ada sebuah soal yang sangat
penting setelah pembicaraan
seputar soal pemahaman nash
di atas, yaitu pendekatan sosiokultural. Sosial-budaya adalah
perkembangan budaya dalam
konteks kemasyarakatan. Saat
ini masyarakat Indonesia
sedang mengalami transisi dari
masyarakat feodal/agraris
menuju masyarakat modern.
Perkembangan yang terjadi
ternyata bersifat dualistik; di
satu pihak telah tercapai
modernitas, termasuk upaya
menciptakan infra-struktur
ekonomi, dan perilaku di segaia
bidang telah lebih rasional,
sampai terkadang dengan
mengorbankan norma-norma
agama, tetapi di pihak lain
perilaku feodal masih
dipergunakan sebagai alat
untuk mencari akar ke masa
lampau. Dalam situasi
perkembangan dualistik
menuju modernitas (keadaan
sarwa-modern) ini, maka
hukum Islam akan berfungsi
dengan baik apabila ia
dikaitkan dengan perubahan
pada struktur masyarakat itu
sendiri.
Dengan demikian, sasaran
10
Majalah Santri Gus Dur
menyesatkan. Pendekatan
politik selalu mempersoalkan
segi kelembagaan, Sedangkan
pendekatan kultural berbicara
tentang perilaku masyarakat
dan usaha pencerahan.
Kemudian persoalannya
mengaitkan lembaga dengan
perilaku masyarakat adalah
persoalan mempengaruhi
perilaku lembaga. Di sinilah
letak peranan dari pendekatan
sosio-kultural. Sementara itu
kalangan yang tampak
menggebu-gebu dengan
pendekatan struktural sering
terjerumus dalam pembicaraan
tentang perilaku budaya suatu
lembaga, bukan bagaimana
merombaknya. Apalagi
perincian yang dikemukakan
dalam rangka pendekatan
struktural itu ternyata adalah
cara-cara sosial budaya. Dus,
sebenarnya telah terjadi
kerancuan semantik.
Pendekatan sosio-kultural
menyangkut kemampuan orang
Islam untuk memahami
masalah-masalah dasar yang
dihadapi bangsa, dan bukan
berusaha memaksakan
agendanya sendiri. Kalau yang
terakhir ini terjadi, maka yang
berlangsung sebenarnya
hanyalah proses pelarian
(eskapisme). Umat Islam
menuntut syarat-syarat yang
terlalu idealistik untuk menjadi
muslim yang baik. Lalu tidak
diakuilah kemusliman orang
yang tidak mampu memenuhi
syarat-syarat itu, seperti orangorang yang baru bisa
melaksanakan ibadah haji dan
zakat sementara belum mampu
melaksanakan shalat dan puasa
dengan baik. Kecenderungan
formalisasi ajaran Islam dalam
kehidupan masyarakat dan
Islamisasi dalam bentuk
manifestasi simbolik ini jelas
tidak menguntungkan karena
hanya akan menimbulkan
11
Majalah Santri Gus Dur
12
Majalah Santri Gus Dur
Jembatan Baru
Salah satu persoalan yang
sangat perlu pemecahan adalah
keterpisahan antara dua
komponen dalam sistem
keyakinan Islam yaitu
keyakinan akan keimanan yang
sangat pribadi, sebagaimana
yang tercantum dalam Rukum
Iman dan dimensi sosialnya
sebagaimana tercantum dalam
Rukun Islam. Pada dimensi
individu ukuran keimanan
bersifat sangat pribadi dan
merupakan urusan seseorang
dengan Allah sendiri (hablun
minallah). Sedang pada
dimensi sosialnya syahadat
yang tampak bersifat sangat
pribadi itu ternyata
berwawasan sosial, arena
pengucapannya harus dilakukan
di muka orang banyak, seperti
dalam persaksian perkawinan.
Apalagi tentang Rukun Islam
yang lain. Shalat, apalagi
berjamaah, berfungsi
mencegah perbuatan keji dan
munkar, yang berarti
berorientasi menjaga
ketertiban masyarakat.
Sementara zakat telah jelas
sebagai ibadah sosial, puasa
adalah keprihatinan sosial dan
ibadah haji adalah saat
berkumpulnya kaum muslimin
dari segala penjuru dengan
berbaju ihram yang sama tanpa
memandang pangkat dan
kedudukan.
Persoalannya kini adalah
bagaimana dimensi pribadi ini
bisa diterjemahkan secara
sosial. Karena di dalam Islam
ternyata mungkin untuk
menjadi mukmin yang baik dan
sekaligus menjadi makhluk
asosial dan sebaliknya bisa
terbentuk pula sikap hidup
yang begitu sosial tetapi tanpa
keimanan. Usaha
menjembatani kedua bentuk
keberagamaan yang ekstrem ini
adalah sebuah keharusan,
13
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Utama
Islam Nusantara
di Simpang Jalan
Oleh: Agung Hidayat Aziz
edatangan Islam
di Nusantara
memulai babak
baru dalam
sejarah peradaban Asia
Tenggara. Islam
memengaruhi bentuk
peradaban mapan di
Nusantara yang
semulanya bercorak
Hindu-Budha.
Perubahan ini
berlangsung dari
berbagai aspek mulai
ekonomi, politik hingga
sosial masyarakatnya.
Pengaruh Islam ini
menarik banyak peneliti
untuk menelusuri jejak
kedatangan Islam di
Indonesia. Penelitianpenelitian tersebut
menghasilkan banyak
teori tentang awal mula
Islam di Indonesia.
Beragam gagasan
tersebut membuat
simpul rumit yang
terkadang tidak mampu
menggambarkan secara jelas
kapan dan di mana Islam di
Nusantara ini bermula.
Sebagian dari penelitian hanya
mengandalkan fakta yang baur
serta interpretasi dari
penemuan bukti-bukti berupa
makam, tempat ibadah,
maupun surat-surat yang
bercerita soal Islam telah
masuk ke Indonesia.
Salah satu teori paling
populer menyebutkan, paruh
14
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Utama
institusi politik Islam, yakni
kerajaan, berkedudukan di
sana. Dugaan bahwa Islam
masuk pada abad 7 atau 8
Masehi pun muncul. Tampaknya
ini sebagai reaksi dari banyak
teori sebelumnya, Islam tidak
melulu datang karena ingin
mendirikan semangat
berinstitusi seperti yang di
atas. Serta keyakinan akan
kontak antara Nusantara
dengan peradaban Islam sudah
terjadi sejak permulaan dinasti
kekhalifahan Umayyah.
Ragam teori juga
mengatakan dari manakah
awalnya pengaruh Islam di
Nusantara ini berasal. Mulai
dari teori Persia, Hadramaut,
India maupun Cina hingga Arab.
Pemahaman dari manakah
Islam berawal juga akan
memberikan konsekuensi Islam
manakah yang dominan
nantinya atau berkontribusi
besar bagi penyebaran Islam di
Nusantara. Jika menilik asalnya
dari India misalnya atau Arab,
maka besar kemungkinan
tradisi Sunni sudah masuk.
Sementara jika melihat teori
Persia, Islam yang masuk ke
tanah air pastilah terpengaruh
budaya Syiah. Gagasan
semacam ini tampaknya
mengandung muatan agenda
pengaruh akan suatu budaya
luar terhadap Islam di
Nusantara.
Namun, kita tidak perlu
ambil pusing atau berdebat
kusir soal siapa yang mula-mula
mengawali dakwah Islam di
kepulauan Asia Tenggara ini.
Bukti-bukti memang
menampakkan banyak saluran
penyebaran gagasan Islam di
Nusantara. Mulai dari saluran
perdagangan, perkawinan,
pendidikan, maupun pengaruh
politik. Nusantara ialah
kawasan yang diuntungkan dari
15
Majalah Santri Gus Dur
tersebut di ranah
persinggungan dua peradaban
besar. Islam bersanding dengan
rasionalitas ala Barat yang
diwarisi Byzantium dan Roma
dari Yunani kuno. Serta adab
ketimuran dan kejayaan
spiritualisme di Timur oleh
Persia dan Hindustan. Islam
sukses menggarap semua hasil
kebudayaan dari peradaban
tersebut dan menciptakan
suatu peradaban baru yang
kaya intelektualitas,
menyegarkan dan penuh
diskursus ilmu pengetahuan.
Islam pada masa keemasan
peradabannya ialah salah satu
pencapaian terbaik peradaban
umat manusia dari berbagai
segi, mulai dari filsafat,
teknologi, medis, sains dan
astronomi.
Karena begitu
komprehensif, Islam mengalami
kontak dengan Nusantara
dengan berbagai aspek
pendekatan. Hal ini
dikarenakan pula beragamnya
aktor yang bermain membuat
Islam dapat masuk dengan
cukup mudah. Mulai dari
pedagang, sarjana atau
cendekiawan maupun hubungan
bilateral institusi politik Islam
di luar Nusantara. Islam
melakukan kontak dengan
Nusantara sebagai peradaban
baru yang maju pada saat itu.
Masyarakat dalam peradaban
Islam yang berbudaya tinggi
dan berselera kekinian,
sehingga muncul tawaran,
apakah masyarakat Nusantara
mau menjadi bagian dari
peradaban ini?
Namun apakah sebegitu
pasifnya Nusantara ini,
sehingga harus takluk pada
banyak kebudayaan dari
peradaban Islam tersebut?
Tentu tidak. Perubahan yang
dibawa oleh Islam dan
Artikel Utama
penyebarannya seperti yang
kita ketahui tidak sekali jadi.
Namun berulang-ulang,
bergelombang dan mempunyai
fase. Bentuknya pun tidak
linear, melainkan timbal-balik
dan berkelanjutan antara
Nusantara dan peradaban Islam
itu sendiri.
Bentuk-bentuk kontak itu
berimplikasi pada berbagai
perubahan yang diterima
masyarakat Nusantara, sadar
maupun tidak. Akulturasi
hingga asimilasi budaya terjadi,
tergantung dari penyesuaian
suatu daerah terhadap
penyerapannya terhadap Islam,
sebagai agama yang
menawarkan nilai-nilai yang
menyegarkan. Kondisi
penyesuaian tersebut
dipengaruhi oleh bagaimana
suatu daerah di Nusantara
berkontak awal dengan Islam,
pendekatan yang hadir, kondisi
geografis, kedekatan dengan
pusat peradaban dan
perdagangan internasional,
serta lama hubungan kontak
tersebut. Dengan kata lain, kita
mungkin akan melihat
perbedaan antara penyerapan
budaya Islam masyarakat
pesisir dan pedalaman di
Nusantara ini. Islam hadir
sebagai wujud kontemporer
dan komprehensif yang
memberikan perspektif
menyegarkan dari berbagai
aspek, salah satunya aspek
budaya di Nusantara.
Sehingga baru-baru ini saja
terdapat wacana akan Islam
Nusantara di Indonesia.
Penggunaan frasa tersebut
tampaknya belum jelas, apakah
akan digunakan sebagai
konsep, alat pengkaji persoalan
atau lebih jauh lagi sebagai
suatu ideologi. Apakah
pewacanaan Islam Nusantara
dipahami sebagai Islam khas
16
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Utama
Apakah ide Islam Nusantara
yang digelontorkan NU akan
identik dengan tradisi pondok
pesantren dan wujud
kesantrian? Mengingat bentuk
Islam di Nusantara ini sangat
beragam. Bagaimana pula
promosi penyebaran Islam ala
Wali Songo yang sangat Jawa
itu ditaruh dalam konsepsi ide
ini?
Bagaimana pula kacamata
NU melihat perkembangan
Islam di berbagai daerah
seperti sejarah dialektika dan
sufisme di Aceh, khazanah
tarekat di bagian Barat
Sumatera, komunitas Islam di
Lombok, budaya masyarakat
Melayu dan Islam, serta entitas
Islam di Timur Nusantara yang
jarang dijangkau dalam
diskursus Islam Nusantara ini?
Bagaimana merangkai yang
demikian untuk dapat
menentukan arah Islam
Nusantara? Jangan-jangan Islam
Nusantara hanya agenda reaktif
saja. Yakni sebagai tindakan
preventif terhadap Islam
radikal yang tidak sesuai
dengan cita rasa dan norma
adat tanah air yang mulai
meresahkan, sehingga perlu
konsepsi besar yang mampu
merangkul sebagal jenis Islam
di Bumi Indonesia ini.
Pribumisasi Islam, antara jalan
Agama dan Budaya
Jika Islam Nusantara
melihat entitas keunikan Islam
Artikel Utama
berpakaian di Nusantara ini
yang juga menutup aurat sepeti
memakai sarung misalnya.
Contoh kecil inilah salah satu
semangat yang ditawarkan
pribumisasi Islam.
Suatu alat dan cara
memandang Islam ini juga
dapat ditawarkan dan
dikembangkan di mana saja di
seluruh belahan bumi ini.
Pribumisasi Islam tidak
mengenal kata final, ia adalah
suatu proses di mana Islam
tengah tumbuh dan
berkembang di berbagai
daerah. Sebagai sebuah
metode, nantinya diharapkan
dapat menjadi Islam dengan
berbagai wajah. Ia dapat
menjadi Islam Afrika, Islam
Amerika, Islam Latin, Islam
Tionghoa, Islam Malaysia dan
Islam lainnya. Hal ini sebagai
konsekuensi dari Islam sebagai
agama yang rahmatan
lilalamin dengan nilainya yang
universal. Sehingga nilai
universal itu akan mengisi
banyak ruang parsial dan
menciptakan beragam wajah.
Di samping itu, juga mampu
mengakomodir gagasan dan
kearifan lokal yang telah
tumbuh di masyarakat. Namun
tetap mengimani nilai dan
semangat Islam yang sama.
Islam yang mengutamakan
perdamaian, persatuan,
www.santrigusdur.com
18
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Utama
Pribumisasi Islam
via a vis Arabisasi
Oleh: Sarjoko
rabisasi Islam atau
Islamisasi Arab?
Pertanyaan ini muncul
dalam sebuah diskusi
kecil yang diikuti penulis
beberapa waktu yang lalu.
Kedua pertanyaan itu memakai
babon kata yang sama, yaitu
kata Islam dan Arab, tetapi
memiliki makna yang sangat
jauh berbeda. Arabisasi Islam
berkonotasi meletakkan segala
sesuatu yang terkait dengan
Arab pada Islam. Sementara
Islamisasi Arab bisa dimaknai
sebagai proses peletakan dasar
Islam pada sebuah wilayah atau
negara bernama Arab.
Salah satu poin yang
diangkat dalam diskusi kecil
tersebut adalah maraknya artis
yang berhijrah dan kini
mengisi berbagai kajian Islam
di berbagai kesempatan. Salah
satu ciri orang berhijrah,
sebagaimana dilakukan para
artis, adalah dengan menyisipi
beberapa kosakata
19
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Utama
Arabisasi yang berkedok islamisasi perlu dikritik
karena membawa ketegangan dan membuat agama
seolah-olah hanya mengakomodir kepentingan satu
kebudayaan tertentu, dalam hal ini budaya Arab.
lokal yang lebih dimengerti.
Kedua sikap ini bisa memicu
terjadinya xenosentrimse dan
chauvinisme radikal, yang
justru mencederai semangat
agama Islam sebagai rahmat
bagi semesta. Pemaksaan
penerapan atau penolakan
budaya tertentu dalam
beragama membuat citra
agama sebagai institusi yang
penuh kasih dan sayang patut
dipertanyakan.
20
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Utama
agama memberikan ruhnya di
dalam tradisi tersebut.
Selama ini orang terjebak
dalam dalil naqli (tekstual)
tanpa melihat konteks dalam
memahami ajaran Islam. Dalam
memahami sunah Rasul
misalnya, orang hanya
membaca teks dalam hadis,
kemudian memahaminya
sebagai ajaran Islam. Padahal
tidak semua yang disampaikan
Rasulullah kepada para sahabat
waktu itu relevan dengan
budaya di luar Arab. Akibatnya,
banyak di antara kita, bahkan
sebagian juru dakwah yang
populer saat ini, menganggap
tradisi berjenggot, berjubah,
bahkan menunggang kuda
adalah sunah Rasul yang
mempunyai sisi keharusan
untuk ditiru. Pada tahap yang
paling radikal adalah
menganggap gandum serta
kurma sebagai sunah Rasul
karena kedua jenis makanan
tersebut setiap hari dikonsumsi
oleh Nabi Muhammad SAW.
Padahal, beberapa tradisi yang
disebutkan adalah bagian dari
kultur masyarakat Arab yang
tidak ada sangkut pautnya
dengan ajaran atau substansi
dari agama Islam. Meniru
tradisi tersebut karena pilihan
dalam berpenampilan dan
pilihan menu konsumsi adalah
hak seseorang, sama seperti
Namun mengatakan
bahwa berjubah,
berjenggot, berkuda
dan memakan gandum
atau kurma sebagai
bagian dari ajaran
Islam tentu perlu
untuk diluruskan dan
dikritisi.
Pribumisasi sebagai
Rekonsiliasi
Masuknya Islam ke semua
lini kehidupan harus ditunjang
dengan semangat pribumisasi
yang telah sekian lamanya
diterapkan oleh para juru syiar
Islam di negara ini. Pribumisasi
Islam bukan berarti menolak
atribut Arab untuk berislam,
malahan pribumisasi Islam
merupakan sikap dewasa
seseorang dalam beragama.
Memahami Islam dari kacamata
pribumisasi Islam ialah melihat
Islam sebagai bagian yang
terpisah dari budaya setempat
awal di mana Islam lahir. Islam
adalah sebuah nilai yang dapat
diaplikasikan pada seluruh
kebudayaan yang ada di dunia
ini, dengan berbagai penyesuaian-penyesuaian yang perlu
untuk dilakukan, tanpa menafikan ajaran-ajaran fundamental yang tak bisa diganggu
gugat.
Maka tidak perlu ada
ketakutan jika pribumisasi
Islam adalah upaya dearabisasi
secara total sebagaimana
dituduhkan oleh beberapa
kalangan. Sampai-sampai ada
tuduhan jika Islam Nusantara
sebagai salah satu bentuk dari
pribumisasi Islam akan
mengganti kain kafan dengan
kain batik, bacaan salat dengan
bahasa Jawa dan lain sebagainya. Kekhawatiran semacam itu
21
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Utama
kemunculannya. Sikap Islam
dalam berinteraksi dengan
budaya lokal ini seharusnya
menjadi rujukan bagi penganutnya, terutama bagi mereka
yang menamakan diri sebagai
juru syiar, agar melakukan hal
yang sama. Bukan justru
melakukan pemaksaan tradisi
yang membuat citra Islam
sebagai agama rahmat bagi
semesta menjadi kabur.
Sikap Islam dalam
berinteraksi dengan budaya
setidaknya memiliki tigapola
(Ali Sodiqin dalam Khoiro
Ummatin: 2014). Pertama
adalah dengan menyempurnakan budaya lokal tersebut
(tahmil). Islam tidak melarang
budaya Arab pra Islam yang
masih dilestarikan, akan tetapi
mengambilnya sebagai bagian
dari ajaran agama Islam.
Misalnya adalah tradisi penanggalan kalender kamariah atau
hijriah. Kedua adalah dengan
memodifikasi budaya setempat
(taghyir) seperti pada ritual
haji. Haji yang mulanya
digunakan bangsa Arab pra
Islam untuk menyembah
berhala-berhala diubah
menjadi ritual untuk mendekatkan diri pada Allah dan
menjadi salah satu rukun Islam.
Sikap yang terakhir adalah
dengan menghapus tradisi
tersebut (tahrim) karena tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip
fundamentalisme agama,
misalnya adalah tradisi
penguburan hidup-hidup anak
perempuan.
Ketiga prinsip tersebut
sejatinya telah dipraktekkan
oleh para juru syiar Islam di
masa lampau. Beberapa juru
syiar yang dikenal sebagai
walisanga menerapkan ajaran
Islam yang ramah terhadap
lokalitas, sehingga agama Islam
dapat diterima oleh sebagian
besar masyarakat tanpa melalui
22
Majalah Santri Gus Dur
Jika pribumisasi
Islam bisa menjadi
nilai dasar seseorang
dalam memandang
sebuah interaksi
agama dan budaya,
tidak akan ada lagi
klaim bidah dari
golongan tertentu
yang mencederai
semangat Islam
sebagai agama
universal.
dalam memandang sebuah
interaksi agama dan budaya,
tidak akan ada lagi klaim
bidah dari golongan tertentu
yang mencederai semangat
Islam sebagai agama universal.
Bidah adalah klaim yang
membenturkan pertemuan
agama dan budaya, yang
seakan-akan membuat agama
sama sekali menolak adanya
budaya di luar ajaran Islam
awal. Sebaliknya, perjumpaan
agama dengan budaya
setempat bisa menjadi
alternatif dalam menanamkan
prinsip-prinsip agama di dalam
masyarakat, sekaligus
menambah khazanah kekayaan
budaya dalam Islam.[]
Sarjoko. Penulis adalah
mahasiswa Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Sunan
Kalijaga dan pegiat Komunitas
Santri Gus Dur. Ngeksis di akun
Instagram @sarjokooo
Dahaga bacaan
yang ramah?
GRATIS!
Ramah kantong,
ramah pikir
Pindai ini
Scan it!
Unduh versi
pdf-nya https://goo.gl/Vp8WWB
Bacaan Hari Jumat
Buletin SANTRI
Berlangganan hubungi:
08995178392
Inspirasi dari
Pemikiran Gus Dur
Oleh: Marzuki Wahid
H
H
Islam-Arab versus
Islam-Indonesia
24
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Lepas
Mina, Muzdalifah, dan lain-lain
kini telah mengalami perubahan secara signifikan ketimbang
masa Rasulullah dulu karena
perkembangan teknologi dan
kebutuhan manusia sekarang.
Inilah keresahan Gus Dur melalui
pertanyaan kritisnya yang saya
kutip di atas.
Islam-serba Arab itulah
paradigma orang Islam yang
(kebetulan) hidup di Indonesia. Identitas dasarnya adalah
Islam (yang dalam pandangan
mereka adalah Arabisme). Untuk
menjadi Islam, Indonesia dengan
seluruh kebudayaannya harus
di-arab-kan. Jika Indonesia tidak
bisa diarabkan, maka mereka
membuat identitas keislaman
sendiri secara eksklusif di dalam
sistem kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia disebutnya bidah (bukan bagian dari
ajaran Islam) dan semua bidah
adalah menyimpang dan sesat.
Paradigma ini tentu cenderung
eksklusif dalam kebudayaan
Indonesia, bahkan dalam banyak
hal terjadi konflik kebudayaan.
hambatan dan ancaman. Cercaan dan stigma sesat, menyimpang, sinkretis, belum
sempurna, dan sejenisnya biasa
dilekatkan oleh kelompok Islam
lain yang merasa sempurna dan
lebih benar, Islam Waktu Lima.
Lagi-lagi, ini adalah pergulatan
klaim kebenaran yang biasa
terjadi sepanjang sejarah antara
25
Majalah Santri Gus Dur
26
Majalah Santri Gus Dur
Artikel Lepas
kok, diduplikasi, dan diplagiat
secara sempurna dari Islam Arab.
Asumsi paradigma Islam di
Indonesia adalah bahwa Islam
itu Arab dengan seluruh darah
daging kebudayaannya, sejak
kelahiran hingga perkembangan
dewasa ini. Di Indonesia, Islam
hanya menumpang, singgah,
dan menjadi orang lain
yang--apabila bisa akan--menguasai Indonesia. Indonesia harus
diislamkan, artinya diubah dan
diganti dengan Islam Arab atau
pseudo-Arab: menjadi negara
Islam, secara simbolik menyebut
Syariat Islam, berbahasa Arab
atau kearab-araban, pakaian
kearab-araban, dan sejenisnya.
Islam model ini tidak ramah
dengan kebudayaan lokal, malah
cenderung memusuhinya.
Negara Pancasila
27
Majalah Santri Gus Dur
28
Majalah Santri Gus Dur
Temu Muka
Alissa Wahid:
29
Majalah Santri Gus Dur
Temu Muka
Itu yang kita sebut 9 nilai
utama Gus Dur
Sementara peran atau posisi
Keluarga GUSDUR (Ciganjur)
dalam GUSDURian, terutama
Mbak Alissa sendiri itu
bagaimana?
Keluarga Ciganjur
mendirikan Yayasan Bani
Abdurrahman Wahid.
GUSDURian induknya adalah
Yayasan Bani Abdurrahman
Wahid. Karena jaringan
GUSDURian adalah tempat
berkumpul para GUSDURian
yang sifatnya komunitas seperti
masyarakat, sehingga tidak ada
legalitas formalnya. Untuk
memback-up legalitas
formalnya yaitu Yayasan Bani
Abdurrahman Wahid. Karena
kami merasa nilai, pikiran, dan
perjuangan Gus Dur itu harus
dilanjutkan, salah satunya bagi
kami adalah mensuport
kelompok-kelompok
masyarakat yang memang
berusaha melanjutkan
perjuangan Gus Dur. Salah satu
hasilnya adalah Jaringan
GUSDURian itu. Yang didirikan
sebetulnya tidak hanya oleh
keluarga Ciganjur saja, tetapi
oleh murid-murid senior Gus
Dur, seperti Mas Imam (Imam
Aziz-Ketua PBNU), Mas Zastro
(Zastro al-Ngatawi-LESBUMI
NU).
Oh iya mbak, gagasan-gagasan
Gus Dur itu kan banyak.
Pastinya ada prioritas
tersendiri dari Jaringan
GUSDURian terhadap gagasan
belum.
Kalau boleh tahu, sejak
lahirnya Jaringan GUSDURian
sendiri, kia-kira apa saja yang
telah dilakukan JGD baik di
level internasional, nasional,
maupun lokal?
Di tingkat internasional pada
tahun 2015 GUSDURian sudah
menjadi bagian dari gerakan
masyarakat sipil global dalam
kampanye aksi 2015 yang
terkait dengan sustainable
development goals (SDGs). Jadi
bagaimana meningkatkan
partisipasi publik dalam
pencapaian target-target
pembangunan dunia. Termasuk
kampanye suara rakyat untuk
pembangunan itu, sebetulnya
bagian dari kampanye global
seluruh dunia. GUSDURian juga
menjadi bagian dari network
dialog antar iman se-Asia.
Kemarin, waktu Asian Our
Fellowship, salah satu materi
atau tema yang saya bawa
adalah memperkenalkan
GUSDURian ke dunia
internasional. Itu di 14 kota di
Amerika.
Di tingkat nasional
GUSDURian tahun ini
meluncurkan gerakan anti
korupsi khusus untuk
pesantren. Jadi kita melakukan
halaqah nasional alim ulama
untuk pemberantasan korupsi,
di mana akhirnya keluar fatwa.
Dan setelah itu kita melakukan
halaqah daerah di 9 kota. Di
Pontianak, Padang, Makassar,
Lampung, Cimahi, Pati, Banten,
Surabya, Pacitan. Selain itu
30
Majalah Santri Gus Dur
Temu Muka
GUSDURian masuk di dalam
aliansi-aliansi masyarakat sipil.
Misalnya untuk gerakan save
KPK.
Yang dilakukan di tingkat
lokal itu banyak sekali.
Misalnya Komunitas GUSDURian
Temanggung aktif membantu
desa-desa yang kekeringan saat
ini. Teman-teman GUSDURian
di Jember, di sana kan ada Mba
Ciciek Farha dan Mas
Suporaharjo (Pendiri Tanoker
Ledokombo Jember) yang
mendampingi anak-anak
keluarga TKI. Kemudian temanteman di komunitas-komunitas
lintas Iman juga banyak sekali
seperti di Purwokerto. Malang
punya gerakan menulis untuk
perdamaian. Yang terakhir
kegiatan bersama, kalau tahun
2015 kemarin, kita punya
beberapa kampanye serentak.
Kampanye yang pertama bulan
Januari tahun 2015. Kita
peluncuran aksi 2015 suara
rakyat untuk pembangunan di
55 kota. Kemudian peringatan
hari perdamaian internasional,
ada 22 kota yang
menyelenggarakan aksi
mengkampanyekan
perdamaian, dan yang terakhir
hari toleransi tanggal 16
November kemarin di mana 50
kota menyelenggarakan festival
film toleransi.
Banyak sekarang ini sebuah
gerakan atau komunitas yang
awalnya bergerak pada isu
sosial, pendidikan,
kebangsaan, kemudian
berubah menjadi gerakan
politik praktis. Lalu
bagaimana mbak kaitannya
GUSDURian dengan gerakan
politik praktis itu sendiri?
Sejak awal Jaringan
GUSDURian dibuat untuk
merawat nilai pemikiran dan
perjuanagn Gus Dur di ranah
31
Majalah Santri Gus Dur
Yang paling
penting adalah
mengikuti
prinsip-prinsip
yang diajarkan
oleh Gus Dur
yakni
ketauhidan,
kemanusiaan,
keadilan,
kesetaraan,
pembebasan,
persaudaraan,
kesederhanaan,
kesatriaan, dan
kearifan lokal.
Review Buku
Artikel
Lepas
Dongeng tentang
32
Majalah Santri Gus Dur
Artikel
ReviewLepas
Buku
undangan untuk diskusi,
seminar, simposium dan
sejenisnya, Gus Dur lebih
dulu mencari tahu siapa
saja pembicaranya. Lalu
mempelajari pikiranpikiran, perspektif dan
gagasannya melalui
karya-karya maupun
ceramahnya. Nah, dari
membaca semua itu,
Gus Dur menangkap apa
yang akan disampaikan
para pembicara itu
kelak, Gus Mus lantas
menirukan Gus Dur,
Paling-paling tak jauh
dari itu-itu juga.
Dari cerita Gus Mus
tentang misteri Gus Dur
tersebut, lantas Kiai
Husein merefleksikannya
dengan teori baraah
al-istihlal dalam kitab
Al-Jauhar al-Maknun,
salah satu kitab
Dok. Istimewa
balaghah atau sastra
Arab yang biasa dikaji
dengan Kiai Husein, Gus Mus
di pesantren. Teori ini
menceritakan bagaimana ia tibamemaparkan tentang kebiasaan
tiba menjadi seorang penyair.
seorang pembicara yang
Awalnya saya diminta oleh
mengawali pikirannya dengan
Gus
Dur membaca puisi di
mengungkap substansi yang
TIM (Taman Ismail Marzuki).
akan disampaikannya kemudian.
Padahal, saya hanya orang
Semacam pendahuluan yang
me-resume seluruh isi. Jadi, bisa desa dan santri sarungan yang
tak mengerti sastra dan puisi,
dikatakan bahwa apa yang akan
kok diminta tampil di ibu
disampaikan seorang pembicara
kota? ujar Gus Mus. Pada saat
sudah termuat dalam kata
itu Gus Dur memang sedang
pengantarnya. Hal inilah yang
menjabat sebagai ketua Dewan
sudah dipahami Gus Dur sejak
Kesenian Jakarta (DKJ). Gus
dulu.
Mus diminta tampil oleh Gus
Bagi Kiai Husein, Gus Mus
Dur sebab ia perlu seorang
adalah sosok yang tepat untuk
penyair yang bisa membacakan
menggambarkan Gus Dur secara
puisi berbahasa Arab dalam
lebih dekat. Sebagai sahabat
acara Malam Solidaritas untuk
dekatnya, Gus Mus banyak
Palestina. Lantas Gus Dur pun
bersinggungan langsung dengan
menunjuk Gus Mus sebagai
Gus Dur. Bahkan sebagian
penyair dadakan itu. Gus
karakter Gus Mus saat ini
Mus kemudian membacakan
terbentuk dari pengaruh Gus
puisi-puisi karya para penyair
Dur. Di tengah obrolannya
33
Majalah Santri Gus Dur
Assalamualaikum Gus.
Waalaikumsalam, mas. Monggo.(Gus Dur
mempersilahkan kami duduk santai, lesehan, di
kediamannya; Ciganjur-Jakarta Selatan)
Begini gus, mau tanya-tanya soal keislaman dalam
pandangan Gus Dur. Saya pernah membaca biografi
Anda gus, bahwa Anda dulu pernah terlibat dengan
gerakan Ikhwanul Muslimin, apa benar, gus?
Ya benar. Semula, saya pernah mengikuti jalan pikiran
kaum ekstrimis, yang menganggap Islam sebagai
alternatif terhadap pola pemikiran Barat. Dan saya
juga turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di
Jombang, sekitar tahun 50-an. Saya juga mempelajari
secara mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada
tahun 60-an, dan Sosialisme Arab di Baghdad. Namun,
sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an, saya
melihat Islam sebagai jalan hidup yang saling belajar
dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama,
serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.
34
Majalah Santri Gus Dur
Sastra
Artikel
Lepas
Dok. Istimewa
Detik Waktu
Ataukah memang tidak akan kembali
Sang detik yang berlalu dengan sia-sia
Benarkah alam ini terus berjalan
Tanpa memedulikanku yang sedang kelaparan
Waktu berlalu begitu saja
Seperti detik jam yang selalu memutar dalam lingkaran yang tertempel
Mungkinkah kita akan bahagia
Seraya berdoa pinta sebongkah emas yang menghidupi hari tua
Ataukah sia-sia tanpa puisi yang terpampang dalam bilik
Dan secarik kertas bertuliskan perjalanan bermakna nanti
Mulailah nak
Sampai batas nanti dipaksa untuk terhenti
Terbaik, ciptakan yang terbaik
Bukan untuk orang- orang melihat mu
Tapi untuk pengabdian sebagai manusia
Bagaimana memanusiakan, dan bagaimana menciptakan kemanusiaan
Saatnya melanjutkan
Bukan untuk terdiam
Tapi bangkit dan menderu dengan lantang
Kehidupan yang akan terus berjalan
Pe-mimpin
Halaman Belakang
Teroris, Aksesoris,
dan Turis
Oleh: Muhammad Autad An-Nasher
38
Majalah Santri Gus Dur
Halaman Belakang
bahasa Gus DurPribumisasi Islamitu hadir di
sini. Bagaimana masyarakat tidak tercerabut dari
akar budayanya dengan proses arabisasi dengan
meniru Timur Tengah. (Sebagaimana diketahui
bersama bahwa di wilayah Arab, terutama di
Saudi Arabia, banyak peninggalan, situs sejarah,
yang dibumihanguskan oleh pemerintah Saudi atas
nama menghindari kemusyrikan, pengkultusan,
sehingga warisan sejarah pada masa Rasulullah
Saw. yang seharusnya bisa dinikmati saat ini,
malah dilenyapkan).
Apabila pribumisasi Islam ini dipahami oleh
orang Islam dengan baik, maka tidak perlu risau
juga ketika muncul istilah Islam Nusantara
dewasa ini. Di mana Islam Nusantara bukan
bermaksud untuk memecah adanya Islam yang
bermacam-macam, akan tetapi, agama Islam
yang menghargai lokalitas yang ada di wilayahnya
masing-masing. Lagi-lagi dalam istilah Gus Dur,
terkait Pribumisasi Islamyang bukan berarti
jawanisasi ataupun sinkretismeyang mana
Islam harus tetap berada pada Islamnya, alQuran juga tetap harus menggunakan bahasa
Arab, terutama dalam shalat, sebab hal itu telah
menjadi norma. Karena pribumisasi Islam adalah
memadukan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam
merumuskan hukum-hukum agama, tanpa
mengubah hukum itu sendiri.
Pada akhirnya, cita rasa keislaman yang
dilakukan oleh seseorang mempunyai nilai
spiritual yang berbeda-beda tingkatannya. Ada
yang merasa belum sempurna (kaffah)
keislamannya kalau belum melakukan sweeping
dan kekerasan. Ada juga yang merasa belum
berislam kalau tidak memakai jubah, berjenggot,
dan isbal. Ada juga yang belum merasa puas
keislamannya ketika tidak berziarah dalam satu
minggu, seperti yang dilakoni para ahli sarkub
(sarjana kuburan).
Jenis keislaman orang yang gemar melakukan
teror, kekerasan, mengumbar kebencian, serta
jenis keislaman seseorang yang tunduk pada
identitas dan simbol budaya Arab; seperti pakaian
dan penggunaan istilah yang kearab-araban,
adalah bagian dari bentuk keislaman yang lebih
cocok hidup di negara bagian Timur Tengah.
Sementara orang Islam Indonesia, tentu
mempunyai corak keislaman tersendiri yang tidak
harus meniru Arab, tetapi nilai Islam itu bisa
melebur ke dalam kultur dan nilai lokalitasnya
masing-masing, yakni dengan menghargai
keanekaragaman budaya, toleransi, yang nir
kekerasan, bukan begitu? Wallahhualam.[]
39
Majalah Santri Gus Dur
Selamat atas diluncurkannya Majalah Santri Gus Dur. Semoga menjadi yang terdepan dalam
menggali, menyebarluaskan, & mengembangkan gagasan Gus Dur untuk kemaslahatan umat.
Memulai adalah langkah pertama, semoga terus berlanjut menuju puncak pencapaian harapan!
Alissa Wahid, Koordinator Jaringan GUSDURian Indonesia
Salam Pirukun. Kurang lebih dua bulan terakhir ini secara rutin saya menerima kiriman Buletin
Santri secara online dari teman GUSDURian secara gratis. Saya boleh menikmati tulisan yang berisi
buah pikiran, rasan-rasan, argumen, dan pergumulan teman-teman GUSDURian dalam menghadapi
realitas kehidupan sosial secara umum maupun keagamaan. Dengan kesadaran saya ikut
menghanyutkan diri pada arus tulisan tersebut, walau belum ambil bagian dalam penulisan di
media ini (saya ngrumangsani diri!). Akhirnya saya disadarkan bahwa diam-diam saya telah
menjadi "Santrinya Gus Dur" melalui Buletin Santri, walau tanpa mendaftar dan tidak perlu pindah
agama, bahkan dengan tetap bejabatan pendeta. Dengan bergantinya baju penerbitan sebagai
majalah, kiranya santri bisa berkontribusi lebih besar dan luas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, khususnya dalam ikut serta membangun kebersamaan dan perdamaian
dalam keragaman, khususnya dalam hal perbedaan suku-ras dan agama. Teruslah berkarya nyata
sebagai santri-santri perdamaian melalui penerbitan Majalah Santri. Teriring salam dan doa: Sukses
santri Gus Dur dalam berkat Tuhan!
-Pendeta Indrianto Adiatmo, LPM Omah Pirukun, Program Pelayanan Perdamaian Lintas Budaya
dan Agama. GUSDURian Jogja.
Saya hanya bisa mengucapkan selamat atas karya anak-anak muda GUSDURian dalam bentuk
majalah dua bahasa ini. Baru pertama kali saya mengetahui ada majalah dua bahasa yang
diproduksi secara nonprofit oleh kaum muda. Selamat!
Imam Aziz, Ketua PBNU, GUSDURian Jogja
Selamat atas lahirnya majalah Santri Gus Dur. Semoga ini membawa angin segar bagi kaum muda
yang ingin meneladani dan mengambil inspirasi dari perjuangan dan nilai-nilai Gus Dur.
Hairus Salim, Direktur Utama Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), GUSDURian Jogja
Gus Dur adalah kamus kehidupan. Maka memengerti Gus Dur menjadi sebuah keniscayaan,
khususnya bagi generasi yang tak sejaman. Majalah ini semoga menjadi wasilah kita belajar
kehidupan pada Sang Guru. Selamat dan ikut bahagia atas terbitnya Majalah Santri Gus Dur.
Hakim Jayli, Direktur Utama TV9 Nusantara, GUSDURian Jawa Timur
Selamat atas terbitnya majalah Santri Gus Dur. Kebahagiaan dan kebanggaanku untuk majalah ini.
Gus Dur sangat sadar tentang pentingnya media, yang selalu dimasukkan dalam bagian kelompok
strategis sepanjang masa. Tentu berharap, media ini tidak saja menyediakan info yg memadai bagi
kaum muda yg ingin meng-gus-dur, tetapi jg harus mampu mengelola sejarah perjuangan Gus Dur
menjadi ilmu pengetahuan yang kontekstual, menjawab masalah-masalah hari ini.
Marzuki Wahid, Direktur FAHMINA Institute, GUSDURian Jawa Barat
latief
Selamat atas kelahiran Majalah Santri Gus Dur, semoga ini menjadi media yang dapat
menyampaikan ke masyarakat nilai-nilai pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang selalu berpegang
demi kemaslahatan umat. Dan semoga ini membawa angin segar buat Indonesia. Dan tetap
berpegang pada prinsip jurnalis yang tidak memihak, serta menjadi media yang menjadi wadah
inspirasi semua masyarakat tanpa SARA. Amin.
Savic Ali, Direktur Utama NU Online, GUSDURian Jakarta
Luar biasa!!! Inilah buah pemikiran progresif anak muda yang memahami Islam secara kosmopolit
sebagaimana diteladankan Gus Dur sang guru bangsa. Semoga karya ini menjadi pemicu kaum
muda lainnya untuk terus menggelorakan semangat Islam yang tak tercerabut dengan akar tanah
airnya.
Nenni Safitri, Entrepreneur. GUSDURian Jogja