Anda di halaman 1dari 16

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)


Tumbuhan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) termasuk
suku Zingiberaceae. Tumbuhan ini berasal dari kawasan Indo-Malaysia
dan telah tersebar di seluruh nusantara. Sejak dahulu temulawak telah
dimanfaatkan masyarakat dalam bentuk jamu dan sebagainya. Temulawak
merupakan salah satu tumbuhan obat yang telah diketahui khasiatnya
terutama untuk menambah nafsu makan, penurun kolesterol, melindungi
lambung dan mengatasi gangguan pencernaan seperti radang lambung,
perut kembung, diare, disentri dan sebagainya), dan juga berkhasiat
sebagai anti radang dan anti bakteri. Temulawak juga berkhasiat
membantu mengatasi gangguan hati dan empedu, demam dan radang
saluran napas (Meilisa, 2009).
1.

Morfologi Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)


Temulawak berasal dari kawasan Indo-Malaysia dan telah
tersebar diseluruh nusantara dan dimanfaatkan masyarakat dalam
bentuk jamu dan sebagainya. Temulawak bisa tumbuh dan
berproduksi dengan baik di daratan rendah sampai pegunungan
(dataran tinggi) yakni mulai 5-1200 m diatas permukaan laut, tumbuh
liar ditempat yang terlindung dari sinar matahari langsung seperti
dibawah naungan hutan dan pepohonan dan juga cocok ditanam dan

dibudidayakan di lahan pekarangan atau di kebun. Tumbuhan ini


hidup pada berbagai jenis tanah seperti tanah liat, berpasir, tetapi
untuk mendapatkan rimpang yang berkualitas baik diperlukan tanah
yang subur yang mengandung banyak unsur hara (Salma, 2014).
Sistematika Tumbuhan :
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledoneae

Bangsa

: Zingiberales

Suku

: Zingiberaceae

Marga

: Curcuma xanthorrhiza, Roxb.

Gambar 2. Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza
Roxb.)

Temulawak merupakan tumbuhan berumur tahunan, tingginya


sekitar 0,5-2,5 m dan batangnya merupakan batang semu yang terdiri
atas beberapa gabungan pangkal daun yang terpadu. Daun berbentuk
lanset memanjang berwarna hijau tua dengan garis-garis coklat
(Salma, 2014).
Menurut Meilisa (2009), bunga temulawak biasanya muncul
dari samping batang semunya setelah tumbuhan tersebut cukup
dewasa. Bunganya berukuran pendek dan lebar, warna putih atau
kuning muda bercampur merah dan daun pelindung bunga berukuran
besar. Rimpangnya berukuran besar dan berbentuk bulat. Rimpang
induk dapat memiliki banyak cabang sehingga bentuk keseluruhan
rimpang beraneka. Kulit luar rimpang berwarna coklat kemerahan
atau kuning tua. Apabila dibelah akan terlihat daging rimpang
berwarna orange tua atau kecoklatan, beraroma tajam khas, dan
rasanya pahit. Warna rimpang cabang umumnya lebih muda dari
rimpang induk
2.

Kandungan kimia
Kandungan kimia temulawak ialah zat warna kuning yang
disebut kurkumin, minyak atsiri seperti : xanthorrizhol, borneol, dan
zingiberen, serta juga mengandung serat, pati, kalium oksalat, dan
juga saponin, flavonoida (Hariana, 2006).
Komponen aktif dalam temulawak yang berperan adalah
kurkumin. Kurkumin adalah komponen yang memberikan warna
kuning yang bersifat sebagai antioksidan dan berkhasiat antara lain

sebagai hipokolesteromik, kolagogum, koleretik, bakteriostatik,


spasmolitik, antihepatotoksik, dan anti-inflamasi. Selain kurkumin,
kandungan l-turmeron pada rimpang temu lawak berkhasiat untuk
mengobati berbagai penyakit. Berbagai penelitian telah membuktikan
khasiat

kurkuminoid

dalam

pengobatan

terutama

sebagai

antihepatoksik dan antikolesterol, serta obat tumor dan kanker


(Christina W., 2005).
Senyawa xanthorrhizol merupakan komponen utama dari
minyak atsiri yang termasuk golongan fenolik sesquiterpen yang
berkhasiat sebagai anti jamur dan anti bakteri (Deni Noviza, 2013).

B.

Shigella dysentriae
Shigella adalah bakteri enterik patogen yang penting sebagai
penyebab diare yang juga merupakan bakteri penyebab penyakit
shigellosis yang ditularkan melalui makanan dan air yang terkontaminasi
(Jurnal 9 Shigella). Insidens shigellosis yang tinggi didapatkan di negara
berkembang di mana standar hidup rendah dan kondisi sanitasi yang
buruk.

Sementara

itu

bakteri

Shigella

menunjukkan

perluasan

resistensinya terhadap antimikroba yang digunakan untuk mengatasi diare


(Elly Herwana, 2006).
Shigellosis merupakan salah satu permasalahan kesehatan bagi
masyarakat di negara berkembang yang disebabkan oleh Shigella sp.
Penyakit gastroenteritis ini bersifat akut dan menjadi salah satu penyebab

paling umum tingginya angka kesakitan dan kematian di negara


berkembang (Iswadi, 2012).
1.

Morfologi Shigella sp.


Shigella sp. adalah bakteri berbentuk basil (batang) dengan
pengecatan gram bersifat gram negatif, tumbuh baik pada suasana
aerob dan fakultatif aerob, tidak dapat bergerak (tidak motil) dan
merupakan bakteri patogen pada saluran pencernaan. Bakteri ini
termasuk dalam famili Enterobacteriace genus Shigella (Marco
Alvarez, 2007).

Gambar 2. Shigella dysentriae

Shigella sp. dibagi menjadi 4 spesies yaitu : Shigella


dysentriae, Shigella flexneri, Shigella boydii dan Shigella sonnei.
Bakteri ini berbentuk basil (batang) dengan pengecatan gram bersifat
gram negatif dengan ukuran 0,5-0,7 m x 2-3 m, tidak mempunyai
flagel sehingga bersifat imotil (tidak dapat bergerak) dan tidak
berspora. Pertumbuhan cepat pada suhu 370 C pada media Mc Conkey,

10

SSA, EMBA, dan Endo. Tampak koloni kecil dan transparan tidak
dapat meragikan laktosa kecuali pada Shigella sonnei bersifat laktosa
fermenter lambat. Pada uji sitrat adanya perubahan warna hijau ke
biru karena kuman tersebut menggunakan sitrat sebagai sumber
karbon (Marco Alvarez, 2007).

Gambar 3. Shigella dysentriae dalam berbagai


media pertumbuhan

2.

Klasifikasi Shigella sp.


Menurut Salma A. W. (2014), Shigella mempunyai susunan
antigen yang kompleks. Terdapat banyak tumpang tindih dalam sifat

11

serologis berbagai spesies dan sebagian besar kuman ini mempunyai


antigen O yang juga dimiliki oleh kuman enterik lainnya. Antigen
somatik O dari Shigella adalah lipopolisakarida. Kekhususan
serologiknya tergantung pada polisakarida. Terdapat lebih dari 40
serotipe. Klasifikasi Shigella didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan
antigenik adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Bacteria

Phylum

: Proteobacteria

Class

: Gamma Proteobacteria

Order

: Enterobacteriales

Family

: Enterobacteriaceae

Genus

: Shigella

Species

: Shigella dysentriae, Shigella flexneri,


Shigella boydii, Shigella sonnei

Spesies Shigella diklasifikasi menjadi empat serogroup yaitu :


a. Serogroup A : S. dysenteriae (12 serotypes)
b. Serogroup B : S. flexneri (6 serotypes)
c. Serogroup C : S. boydii (23 serotypes)
d. Serogroup D : S. sonnei (1 serotype).
3.

Patogenitas Shigella sp.


Shigellosis disebut juga disentri basiler. Disentri sendiri artinya
salah satu dari berbagai gangguan yang ditandai dengan peradangan
usus , terutama kolon dan disertai nyeri perut, tenesmus dan buang air
besar yang sering mengandung darah dan lendir. Habitat alamiah

12

bakteri disentri adalah usus besar manusia, dimana bakteri tersebut


dapat menyebabkan disentri basiler. Infeksi Shigella praktis selalu
terbatas pada saluran pencernaan, invasi dalam darah sangat jarang.
Shigella menimbulkan penyakit yang sangat menular. Dosis infektif
kurang dari 103 organisme (Salma A. W., 2014).
Proses patologik yang penting adalah invasi epitel selaput
lendir, mikroabses pada dinding usus besar dan ileum terminal yang
cenderung mengakibatkan nekrosis selaput lendir, ulserasi superfisial,
perdarahan, pembentukan pseudomembran pada daerah ulkus. Ini
terdiri dari fibrin, lekosit, sisa sel, selaput lendir yang nekrotik, dan
kuman. Waktu proses berkurang, jaringan granulasi mengisi ulkus dan
terbentuk jaringan parut (Salma A. W., 2014).
Shigella sp. yang sering menimbulkan gejala penyakit diare
spesifik yang disebut disentri ialah Shigella dysenteriae serotype 1.
Disentri adalah diare yang disertai dengan tinja bercampur lendir dan
darah (CDC/NCID, 1999).
Epidemi disentri pada negara berkembang biasanya tersering
dikarenakan Shigella dysenteriae serotype 1 dan serotype ini
menyebabkan epidemi maupun endemi disentri dengan angka
kematian yang tinggi dan sering berskala besar serta menimbulkan
kejadian luar biasa dari disentri. Hanya jenis Shigella dysenteriae
serotype 1 yang menyebabkan wabah yang besar dan berkepanjangan.
Infeksi karena jenis serotipe ini juga yang menyebabkan disentri yang

13

parah, berkepanjangan dan sering berakibat fatal dibandingan dengan


jenis spesies Shigella lainnya (CDC/NCID, 1999).
Semua Shigella mengeluarkan toksin yang merupakan
lipopolisakarida yang toksik. Toksin yang dihasilkan ada 2 macam
yaitu (Salma A. W., 2014) :
a. Endotoksin
Infeksi bakteri Shigella sp. hampir selalu terbatas pada
saluran pencernaan, invasi ke aliran darah sangat jarang dan sangat
menular. Infeksi di usus besar yang disebabkan bakteri ini disebut
sebagai

shigellosis/disentri

basiler

yang

mengakibatkan

peradangan yang hebat yang terbatas pada usus besar tersebut.


Selain itu juga dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa
demam,

nyeri

abdomen,

dan

tenesmus

ani

(rasa

mulas

berkepanjangan tanpa hasil pada hajat besar). Waktu terjadinya


autolisis

semua

bakteri

Shigella

sp.

mengeluarkan

lipopolisakaridanya yang toksik dan ini akan menambah iritasi


pada dinding usus besarnya.
b. Eksotoksin
Selain itu Shigella dysentriae tipe 1 menghasilkan
eksotoksin yang tidak tahan panas yang dapat menambah
gambaran klinik neurotoksik dan enterotoksik yang nyata.
Eksotoksin merupakan protein yang antigenik (merangsang
produksi antitoksin). Toksin ini menyebar ke daerah inflamasi
ulseratif dan menyebabkan rusaknya pembuluh darah kapiler pada

14

lamina propria sehingga menyebabkan kolitis ulseratif akut dan


perdarahan pada mukosa usus. Aktivitas enterotoksin terutama
pada usus halus dan besar yang dapat menimbulkan diare.
Eksotoksin menghambat absorpsi gula dan asam amino pada usus
halus. Neurotoksin juga berperan dalam menyebabkan keparahan
penyakit dan sifat infeksi Shigella dysentriae serta menimbulkan
reaksi susunan saraf pusat (meningitis, koma).
4.

Manifestasi Klinis
Disentri basiler ditandai dengan peradangan akut dinding usus
besar yang jarang menyerang aliran adarah. Terjadi setelah masa
inkubasinya yang pendek yaitu 1-4 hari, ditandai dengan nyeri perut,
kejang perut, diare, dan demam. Tinja yang cair dan sedikit sesudah
beberapa kali mengejan dan buang air besar kemudian keluar lendir
dan darah berhubungan dengan kerja eksotoksin dalam usus besar.
Tiap gerakan usus disertai dengan mengejan, tenesmus ini
menyebabkan nyeri perut bagian bawah. Demam dan diare dapat
sembuh secara spontan dalam 2-5 hari. Pada anak-anak dan orang
lanjut

usia

sering

terjadi

dehidrasi

akibat

diarenya

yang

mengakibatkan kehilangan elektrolit, asidosis bahkan kematian jika


tidak ditolong sesegera mungkin (Shanta Dutta, 2003).
Menurut Shanta Dutta (2003), kebanyakan orang pada
penyembuhan mengeluarkan bakteri disentri untuk waktu yang
singkat, tetapi beberapa diantaranya tetap menjadi pembawa bakteri
usus menahun dan dapat mengalami serangan penyakit berulang-

15

ulang. Pada penyembuhan infeksi, kebanyakan orang membentuk


antibodi terhadap Shigella dalam darahnya, tetapi antibodi ini tidak
melindungi terhadap reinfeksi.

C.

Mekanisme Kerja Antibakteri


Mekanisme kerja suatu bahan antibakteri terhadap sel dapat
dibedakan atas beberapa kelompok yaitu menghambat sintesis dinding sel,
menghambat fungsi membran sel, menghambat sintesis protein, dan
menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA) (Salma A. W., 2014) :
1.

Menghambat sintesis dinding sel


Bakteri memiliki lapisan luar yang kaku yaitu dinding sel.
Dinding sel mempertahankan bentuk dan ukuran mikroorganisme
yang memiliki tekanan osmotik internal tinggi. Dinding sel
mengandung polimer kompleks peptidoglikan yang terdiri dari
polisakarida dan polipeptida. Bila dinding sel terganggu maka mudah
sekali untuk terjadi kerusakan pada dalam sel bakteri tersebut.

2.

Menghambat fungsi membran sel


Membran sitoplasma bekerja sebagai barier permeabilitas
selektif yang berfungsi sebagai transpor aktif sehingga mengontrol
komposisi internal sel. Jika integritas fungsional membran sitoplasma
terganggu, makromolekul dan ion dapat keluar dari sel sehingga dapat
menyebabkan kerusakan atau kematian sel.

3.

Menghambat sintesis protein

16

Protein merupakan penyusun utama struktur sel. Semua reaksi


metabolisme dikatalisis oleh enzim yang terbuat dari protein. Reaksi
metabolisme ini merupakan reaksi biosintesis zat-zat penting dan
reaksi penting lainnya yang menghasilkan energi. Suhu tinggi dan
konsentrasi yang tinggi dari suatu senyawa antibakteri dapat
menyebabkan koagulasi dan denaturasi terhadap protein dan asam
nukleat.
4.

Menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)


Beberapa senyawa kimia sintetik dan alami merupakan
inhibitor dalam sintesis RNA dan DNA. Senyawa-senyaawa yang
menghambat sintesis asam nukleat dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu senyawa-senyawa yang menghambat pembentukan
komponen penyusun asam nukleat (purin dan pirimidin) dan senyawa
yang menghambat polimerisasi nukleotida menjadi asam nukleat.
DNA dan RNA merupakan komponen penting dalam sintesa asam
nukleat karena dapat menghambat pertumbuhan sel atau menyebabkan
kematian sel.

D.

Hubungan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Sebagai


Antibakteri Shigella dysentriae
Rimpang

Curcuma

xanthorrhiza

Roxb.

memiliki

aktivitas

antimikrobial dalam menghambat aktivitas beberapa bakteri seperti


Streptococcus mutans, Staphylococcus aureus, Salmonella, dan Shigella.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek sebagai antimikroba tersebut

17

berasal dari xanthorrhizol yang terkandung dalam minyak atsiri dari


rimpang. Hanya dengan dua mikrogram per milliliter, xanthorrhizol
berhasil menghambat aktivitas bakteri-bakteri tersebut. (Hwang, J.K.,
2000).
Kurkumin berwarna kuning alami dan termasuk kelompok
senyawa polifenol yang dapat menyebabkan denaturasi protein dan
merusak membran sel (Nurina R., 2010).
Proses penghambatan kurkumin terhadap aktivitas bakteri Shigella
dysentriae dengan cara menghambat aktivitas enzim siklooksigenase-2
(cox-2) yang mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin yang
menyebabkan timbulnya rasa sakit. Kurkumin merupakan senyawa fenolik
yang juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara
mendenaturasi dan merusak membran sel sehingga proses metabolisme sel
akan terganggu (Nurina R., 2010).
Menurut Nurina R. (2010), gangguan pembentukan dinding sel
disebabkan oleh akumulasi komponen lipofilat pada dinding atau
membran sel sehingga menyebabkan perubahan komposisi dinding sel.
Akumulasi tersebut terjadi karena senyawa antimikroba dipengaruhi oleh
bentuk tak terdisosiasi. Pada konsentrasi rendah molekul-molekul fenol
yang terdapat pada minyak thyme kebanyakan berbentuk tak terdisosiasi,
lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein dan
dapat melarut baik pada fase lipid dari membran bakteri. Reaksi dengan
membran sel terjadi karena komponen bioaktif dapat menganggu dan
mempengaruhi integrasi membran sitoplasma yang mengakibatkan

18

kebocoran intraseluler sehingga menyebabkan lisis sel, denaturasi protein


dan menghambat ikatan ATP ase pada membran sel. Selain itu, cara yang
digunakan adalah dengan menginaktivasi enzim. Mekanisme tersebut
menunjukkan kerja enzim akan menganggu dalam mempertahankan
kelangsungan aktivitas mikroba sehingga mengakibatkan enzim akan
memerlukan

energi

dalam

jumlah

besar

untuk

mempertahankan

kelangsungan aktivitasnya. Akibatnya energi yang dibutuhkan untuk


pertumbuhan menjadi berkurang dan aktivitas mikroba menjadi terhambat.
Pertumbuhan bakteri akan terhenti jika kondisi tersebut berlangsung secara
terus menerus. Di dalam sel juga terdapat enzim dan protein yang
membantu kelangsungan proses-proses metabolisme. Beberapa zat kimia
telah diketahui dapat mengganggu reaksi biokimia seperti logam-logam
berat, golongan tembaga, perak dan air raksa. Senyawa logam berat
lainnya umumnya efektif sebagai bahan antimikroba pada konsentrasi
yang relatif rendah. Logamlogam tersebut akan mengikat gugus enzim
sulfihidril yang berakibat terhadap perubahan protein yang terbentuk.
Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme sel.

19

DAFTAR PUSTAKA

CDC/NCID. 1999. Laboratory Methods for The Diagnosis of Epidemic Disentery


and Cholera. Atlanta, Georgia.
Christina W. dan Nanan Nurdjanah. 2005. Peluang Tanaman Rempah dan Obat
Sebagai Sumber Pangan Fungsional. Dalam Jurnal Libang Pertanian, Vol.
2, No. 24, Halaman 47-55.
Deni Noviza, dkk. 2013. Formulasi Tablet Hisap Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dengan Gelatin Sebagai Pengikat. Dalam Prosiding
Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III,
ISSN : 2339-2592, Halaman 16-20. Fakultas Farmasi Universitas Andalas,
Padang.
Elly Herwana, dkk. 2006. Efek Hambatan Zink Sulfat Terhadap Pertumbuhan
Shigella sp. Dalam Universa Medicina Journal, Vol.25, No.1, Halaman 1-6.
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta.
Hariana. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Cetakan kedua, seri 3, Halaman
133-136. Jakarta : Penebar Swadaya.
Hwang, J.K., Shim, J.S., In, B.N., & Pyun, Y.R. 2000. Antibacterial Activity of
Xantorrhizol From Curcuma Xanthorrhiza Against Oral Pathogens. Dalam
Journal of Fitoterapia, No. 71, Halaman 321-323.
Iswadi. 2012. Isolasi Fage Litik Spesifik Shigella sp. Dalam Jurnal Ilmiah
Pendidikan Biologi, Biologi Edukasi, Vol.4, No.2, Halaman 112-117. FKIP
Universitas Syiah Kuala.
Marco Alvarez, dkk. 2007. Excretion Product of Shigella dysentriae and
Apoptotic Cell Death on Chick Embryo Muscle Tissue. Dalam International
Journal Morphologi, Vol. 25, No. 3, Halaman 615-620.
Meilisa. 2009. Uji Aktivitas Anti Bakteri dan Formulasi Dalam Sediaan Kapsul
Dari Ekstrak Etanol Rimpang Tumbuhan Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Beberapa Bakteri. Universitas Sumatera
Utara Repository Journal.
Miftakhul H. 2008. Efek Anti Diare Ekstrak Etanol Rimpang Kunyit (Curcuma
domestica Val.) Pada Mencit Jantan Galur Swiss Webster. Fakultas Farmasi,
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

20

Nurina R., dkk. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Herbal Terhadap Bakteri
Escherichia coli. Dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, Vol. 24, No. 3,
Halaman 24-31. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.
Salma A. W. 2014. Uji Aktivitas Ekstrak Biji Jintan Hitam (Nigella sativa)
Terhadap Pertumbuhan Bakteri Shigella dysentriae. Fakultas Kedokteran,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Shanta Dutta, dkk. 2003. Shigella dysentriae Serotype 1, Kolkata, India. Dalam
Emerging Infectious Disease Journal, Vol. 9, No. 11, Halaman 1471-1474.

Anda mungkin juga menyukai