Anda di halaman 1dari 6

Korupsi Manusia Indonesia

Diterbitkan April 12, 2010 Artikel Pengamat Ditutup


Tags: Indonesia, korupsi, Yonky Karman, manusia

Oleh Yonky Karman

Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan kaki di


gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali.
(Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, 108-9).
Saat bermukim enam bulan di Belanda (1953),
Pramoedya menulis roman yang memproyeksikan
kenyataan sosial pascakemerdekaan. Jadilah sebuah
karangan yang mendahului zaman, sebelum korupsi
menggurita dengan makelar kasus dan mafia hukum
menjadi sebuah bagian dari sejarah Indonesia. Bakir telah
mengabdi 20 tahun sebagai pegawai negeri dengan
posisi terakhir kepala bagian. Namun, kehidupan dan
penampilannya sederhana. Penghasilannya pas-pasan,
tidak mampu memberi nilai tambah bagi kesejahteraan
orang lain. Bakir pun kurang dihormati di luar rumah
meski di rumah ia menerima cinta tulus dari istri dan
anak.
Sebagai manusia Indonesia yang beragama, awalnya
Bakir mengalami pergumulan batin yang berat antara
godaan korupsi mengikuti rekan-rekannya dan
mempertahankan integritas. Akhirnya, ia menyerah. Ia
meninggalkan sikap pasif menunggu kenaikan gaji. Ia
menggunakan kemerdekaannya untuk memperkaya diri
sendiri dengan cara yang mengkhianati tujuan Indonesia
merdeka.
Ia melakukan penggelembungan proyek dan
memanipulasi kuitansi. Demikianlah ia jadi bagian
kelompok masyarakat yang memperoleh kebahagiaan
dan kekayaan di atas kerugian negara. Hilanglah
kesederhanaan hatinya. Persetan sumpah jabatan. Untuk
meredam protes batin sendiri, ia aktif memberi kontribusi
bagi kegiatan amal. Ia percaya Tuhan memiliki
matematika yang adil berapa dikorupsi dan berapa yang
diamalkan.
Dengan dua filter moral, sanksi di dunia ini dan di dunia
akhirat, sebenarnya manusia Indonesia lebih sulit korupsi
dibandingkan dengan insan sekuler ataupun komunis.
Nyatanya, indeks korupsi Indonesia tahun lalu adalah 2,8
dan itu berarti belum beranjak dari skor 2 sejak kehadiran
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementara itu skor
indeks korupsi negara-negara sekuler di Barat di atas 5
dan China 3,6.
Mengapa sepintas tidak ada hubungan antara
keberagamaan dan korupsi? Saat korupsi, terjadi
deaktivasi hukum moral. Dengan rasionalisasi yang
bukan lagi bersumber dari kebutuhan (need), korupsi di
Indonesia menjadi istana keserakahan (greed). Di
lingkungan pegawai negeri, tak sulit mendapati orang
yang hidup bukan dari gajinya, bahkan dengan bangga
memamerkan kekayaannya.
Korupsi di Indonesia adalah masalah kegagalan
pemerintah membangun karakter bangsa (character and
nation building). Mengalihkan persoalan korupsi kepada
agama hanya bentuk kambing hitam sebab
keberagamaan di Indonesia sendiri bersikap ambigu.
Penghayatan agama belum sampai memotivasi orang
untuk jihad melawan korupsi. Pemerintah pun lebih serius
memerangi terorisme daripada korupsi.
Sosiologi korupsi
Masyarakat Indonesia pun sudah terbiasa dengan
fenomena korupsi dan cenderung menerimanya sebagai
bagian dari realitas keindonesiaan. Apalagi, belum ada
kemauan pemerintah untuk melakukan asas pembuktian
kekayaan secara terbalik. Secara konstitusional, korupsi
diakui sebagai kejahatan luar biasa. Dalam praktiknya,
kasus korupsi yang terungkap cenderung direduksi jadi
persoalan oknum, bukan persoalan sistem ataupun
kultur.
Maka, penanganan secara internal didahulukan.
Penyelesaian secara adat diutamakan. Itu semua untuk
memelihara citra. Kalaupun ada sanksi, biasanya pejabat
terkait dimutasi agar yang bersangkutan tidak terlalu
sakit hati dan bernyanyi tentang kebobrokan instansinya.
Rekan sejawat dan atasan saling melindungi. Kultur tahu
sama tahu dan pembiaran menyuburkan perilaku
koruptif.
Tidak sulit menemukan kultur koruptif di instansi
pemerintah. Salah satu godaan kuat orang berani korupsi
adalah koruptor merasa tidak sendirian. Korupsi
dilakukan beramai-ramai dan tertib, dalam lingkungan
yang saling kenal, dengan pengaplingan jatah, semua
kebagian. Kawanan koruptor merasa negara tidak
mungkin memproses hukum banyak personel suatu
instansi secara bersamaan, dengan risiko layanan publik
terganggu.
Negara disandera kawanan koruptor. Sesat logika
membuat korupsi yang dilakukan beramai-ramai menjadi
seperti bukan pelanggaran lagi. Sejawat yang
membocorkan kebusukan praktik korupsi di instansinya
akan dicap pengkhianat. Penanggung jawab instansi
merasa lebih penting menjaga citra, bukan penguatan
lembaga dengan birokrasi yang bersih dan efektif. Warga
yang tak mau melayani kemauan oknum korup dipersulit.
Benar, sejak ada KPK, tak sedikit pejabat dan penegak
hukum dijerumuskan ke dalam bui. Namun, niat korupsi
tidak menjadi surut. Malah, risiko tertangkap membuat
korupsi berbiaya tinggi melibatkan jumlah uang yang
semakin besar. Dalam kultur korup, yang tertangkap
tangan dianggap sedang sial. Jauh lebih besar tingkat
keberhasilan daripada kegagalan.
Kegawatan korupsi di Indonesia sejatinya sudah di tingkat
sabotase ekonomi. Berhadapan dengan kepentingan
swasta, negara sering dikalahkan di pengadilan pajak
ataupun perdata. Abdi negeri diam-diam merekayasa
perkara sehingga swasta diuntungkan di atas kerugian
negara. Begitu seringnya negara dirugikan sehingga
kemampuan untuk menyejahterakan pun digerogoti.
Program remunerasi yang dibangga-banggakan
menyedot dana lebih dari Rp 10 triliun dari pinjaman
Bank Dunia. Besar pasak daripada tiang. Malu kita untuk
urusan gaji pegawai harus berutang, sementara kita
memakai uang untuk menyervis pejabat dengan
kemewahan yang tidak perlu. Sebaiknya dana
remunerasi diambil dari hasil pengetatan anggaran
belanja untuk servis pejabat, seperti pembelian mobil
mewah. Jika ada teladan dari pejabat yang bergaji
puluhan juta untuk sementara ditunda kenaikan gajinya
agar negara mampu meningkatkan kesejahteraan
pegawai rendahan lebih baik lagi, niscaya Indonesia akan
dibangun di atas pengorbanan dan cinta negeri. Orang
tidak akan mengorupsi yang dicintainya.
Gaji rendah penyebab korupsi adalah simplifikasi masalah
kultural dan struktural. Saat Indonesia masih dijajah
Belanda, Indonesia tidak dikenal sebagai bangsa korup,
bahkan jauh lebih berdisiplin daripada sekarang.
Remunerasi penting, tetapi harus berbasis prestasi. Dan,
lebih penting lagi, internalisasi ”cukupkanlah dirimu
dengan gajimu”. Tanpa keutamaan merasa cukup,
berapa pun gaji yang diterima akan selalu dirasa kurang,
terlebih di era konsumtif.
Korupsi manusia Indonesia adalah masalah maju mundur
sikap eksekutif dan legislatif (political will). Dan, sikap
politik itu ditangkap oleh yudikatif. Penegakan hukum
pun jadi beraroma politik dan tebang pilih. Indonesia
Inc(orporated) dapat tinggal angan-angan jika penegakan
hukum tak konsisten, administrasi pemerintahan tak
tertib, pemerintah miskin manusia Indonesia yang
berkualitas. (Sumber: Kompas, 10 April 2010)
Tentang penulis:
Yonky Karman Penulis adalah Pengajar di Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta

Anda mungkin juga menyukai